Anda di halaman 1dari 16

KEPERAWATAN KRITIS

“ Konsep pengkajian dan manajemen kebutuhan tidur ”

Dosen pengampu :

Ns. Diah Tika Anggraeni, M.kep

Disusun oleh :

Riska hidayattullah 1710711044


Rani Mutrika 1710711045
Hillalia Nurseha 1710711046
Priskillia Marisa Rory 1710711047
Nur Fitriah Efendy 1710711049
Valery Oktavia 1710711051
Kandia Dwi S 1710711052

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN


FAKULTAS ILMU-ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN”JAKARTA
2020
A. Pengertianistirahatdantidur
a) Istirahat
Istirahat Keadaan tenang, relaks, tanpa tekanan emosional dan bebas dari
perasaan gelisah. Istirahat bukan berarti tidak melakukan aktivitas sama sekali,
tapi juga kondisi yang membtuhkan ketenangan. Terkadang, jalan-jalan di
taman, nonton tv, dan sebagainya juga dapat dikatakan sebagai bentuk istirahat.
Keadaan istirahat berarti berhenti sebentar untuk melepaskan lelah, bersantai
untuk menyegarkan diri, atau suatu keadaan untuk melepaskan diri dari segala
hal yang membosankan, menyulitkan bahkan menjengkelkan.
b) Tidur
Tidur Status perubahan kesadaran ketika persepsi dan reaksi individu
terhadap lingkunan menurun.
Tidur juga dikatakan merupakan keadaan tidak sadar dimana individu
dapat dibangunkan oleh stimulus atau sensoris yang sesuai (Guyton, 1986
dalam Alimul 2006), atau juga dapat dikatakan sebagai keadaan tidak sadarkan
diri yang relatif, bukan hanya keadaan penuh ketenangan tanpa kegiatan, tetapi
lebih merupakan suatu urutan siklus yang berulang, dengan ciri adanya aktivitas
yang minimum, memiliki kesadaran yang bervariasi, terdapat perubahan proses
fisiologis dan terjadi penurunan respons terhadap rangsangan dari luar.
Hampir sepertiga dari waktu kita,kita gunakan untuk tidur. Hal tersebut
didasarkan pada keyakinan bahwa tidur dapat memulihkan atau
mengistirahatkan fisik setelah seharian beraktivitas, mengurangi stress dan
kecemasan,serta dapat meningkatkan kemampuan dan konsenterasi saat hendak
melakukan aktivitas sehari-hari.
Efek Lingkungan, pasien-pasien yang dirawat di ICU mayoritas
mengalami kecemasan. Mereka jarang sekali memiliki persiapan untuk
penerimaan mereka terhadap lingkungan yang baru sehingga pasien merasa
bingung dan khawatir. Hal ini terjadi ketika pasien tidak dapat berkomunikasi
dengan, dalam keadaan dibius dan pengaruh obat sedatif, atau tidak dapat
bergerak dari hambatan kimia atau fisik. Ketakutan dan kekhawatiran tersebut
menyebabkan gangguan pada pola tidur dan aktivitas yang rendah.
Gangguan tidur di ICU disebabkan oleh banyak faktor, diantaranya
lingkungan, kebisingan, pencahayaan, kegiatan perawat, penyakit yang diderita,
tindakan keperawatan, terapi obat, dan ventilasi mekanik. Efek yang
ditimbulkan akan memengaruhi fungsi kekebalan tubuh, sistem metabolisme,
regulasi sistem saraf pusat, dan kondisi psikologis(Mutarobin et al., 2019),

B. Fisiologistidur
Fisiologitidurmerupakanpengaturankegiatantidur yang
melibatkanhubunganmekanismeserebralsecarabergatian agar
mengaktifkandanmenekanpusatotakuntukdapattidurdanbangun.
Aktivitas tidur diatur dan dikontrol oleh dua sistem pada batang otak,
yaitu Reticular Activating System (RAS) dan Bulbar Synchronizing Region
(BSR). RAS yang terletak di bagian atas batang otak diyakini memiliki sel-sel
khusus yang dapat mempertahankan kewaspadaan dan kesadaran,
memberikemampuan mental. Pada saat sadar, RAS melepaskan katekolamin,
sedangkan pada saat tidur terjadi pelepasan serum serotonin dari BSR. Stabilitas
emosional pun terganggu.Biasanya, wanita muda lebih mengantuk di siang hingga
sore hari dibandingkan pria seusianya. Dengan jam tidur yang lebih panjang,
wanita lebih mudah untuk bangun daripada pria(Widhiyanti et al., 2017)
Setiap makhluk hidup memiliki bioritme (jam biologis) yang berbeda.
Pada manusia, bioritme ini dikontrol oleh tubuh dan disesuaikan dengan faktor
lingkungan (misalnya: cahaya, kegelapan, gravitasi dan stimulus
elektromagnetik). Bentuk bioritme yang paling umum adalah ritme sirkadian yang
melengkapi siklus selama 24 jam. Dalam hal ini, fluktuasi denyut jantung,
tekanan darah, temperature, sekresi hormon, metabolism dan penampilan serta
perasaan individu bergantung pada ritme sirkadiannya.

C. Tahapan tidur
Berdasarkan penelitian yang dilakukan dengan bantuan alat elektroensefalogram
(EEG), elektro-okulogram (EOG), dan elektrokiogram (EMG), diketahui ada dua
kategori tidur, yaitu non-rapid eye movement (NREM) dan rapid eye movement
(REM). (Asmadi, 2008).
1. Tidur NREM
Tidur NREM disebut juga sebagai tidur gelombang-pendek karena
gelombang otak yang ditunjukkan oleh orang yang tidur lebih pendek
daripada gelombang alfa dan beta yang ditunjukkan orang yang sadar. Pada
tidur NREM terjadi penurunan sejumlah fungsi fisiologi tubuh. Di samping
itu, semua proses metabolic termasuk tanda-tanda vital, metabolism, dan kerja
otot melambat. Tidur NREM sendiri terbagi atas 4 tahap (I-IV). Tahap I-II
disebut sebagai tidur ringan (light sleep) dan tahap III-IV disebut sebagai tidur
dalam (deep sleep atau delta sleep).
Apabila sesorang mengalami kehilangan tidur REM , maka akan
menunjukkan gejala-gejala sebagai berikut:
 Cenderung hiperaktif
 Kurang dapat mengendalikan diri dan emosi
 Nafsu makan bertambah
 Bingung dan curiga

Tahapan tidur menurut Potter & Perry (2005), yaitu :

a. NREM tahap I
a) Tingkat transisi
b) Merespons cahaya
c) Berlangsung beberapa menit
d) Mudah terbangun dengan rangsangan
e) Aktivitas fisik, tanda vital, dan metabolism menurun
f) Bila terbangun terasa sedang bermimpi
b. NREM tahap II
a) Periode suara tidur
b) Mulai relaksasi otot
c) Berlangsung 10-20 menit
d) Fungsi tubuh berlangsung lambat
e) Dapat dibangunkan dengan mudah
c. NREM tahap III
a) Awal tahap dari keadaan tidur nyenyak
b) Sulit dibangunkan
c) Relaksasi otot menyeluruh
d) Tekanan darah menurun
e) Berlangsung 15-30 menit
d. NREM tahap IV
a) Tidur nyenyak
b) Sulit untuk dibangunkan, butuh stimulus intensif
c) Untuk restorasi dan istirahat, tonus otot menurun
d) Sekresi lambung menurun
e) Gerak bola mata cepat
2. Tidur REM
Tidur REM biasanya terjadi setiap 90 menit dan berlangsung selama 5-30
menit. Tidur REM tidak senyenyak tidur NREM, dan sebagian besar mimpi
terjadi pada tahap ini. Selama tidur REM, otak cenderung aktif dan
metabolismenya meningkat hingga 20%. Pada tahap individu menjadi sulit
untuk dibangunkan atau justru dapat bangun dengan tiba-tiba, tonus otot
terdepresi, sekresi lambung meningkat, dan frekuensi jantung dan pernapasan
sering kali tidak teratur.
Tahapan tidur REM
a. Lebih sulit dibangunkan dibandingkan dengan tidur NREM
b. Pada orang dewasa normal REM yaitu 20-25% dari tidur malamnya
c. Jika individu terbangun pada tidur REM, maka biasanya terjadi mimpi
d. Tidur REM penting untuk keseimbangan mental, emosi juga berperan
dalam belajar, memori, dan adaptasi.

Selama tidur, individu melewati tahap tidur NREM dan REM. Siklus tidur
yang komplet normalnya berlangsung selama 1,5 jam, dan setiap orang biasanya
melalui empat hingga lima siklus selama 7-8 jam tidur. Siklus tersebut dimulai
dari tahap NREM yang berlanjut ke tahap REM. Tahap NREM I-III berlangsung
selama 30 menit, kemudian diteruskan ke tahap IV selama ± 20 menit. Setelah itu,
individu kembali melalui tahap III dan II selama 20 menit. Tahap I REM muncul
sesudahnya dan berlangsung selama 10 menit.

D. Karakteristik

Karakteristik tidur REM


a. Mata : cepat tertutup dan terbuka
b. Otot-otot : kejang otot kecil, otot besar imobilisasi
c. Pernapasan : tidak teratur, kadang dengan apnea
d. Nadi : cepat dan regular
e. Tekanan darah : meningkat atau fluktuasi
f. Sekresi gaster : meningkat
g. Metabolisme : meningkat, temperatur tubuh naik
h. Gelombang otak : EEG aktif
i. Siklus tidur : sulit dibangunkan

E. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kuantitas dan Kualitas Tidur


Faktor-faktor yang mempengaruhi kuantitas dan kualitas tidur menurut Alimul
(2015), ada enam yaitu:

a. Penyakit

Setiap penyakit menyebabkan ketidaknyamanaan fisik yang menyebabkan


masalah pada tidur. Seseorang dengan masalah pernafasan dapat mengganggu
tidurnya, nafas yang pendek membuat orang sulit tidur dan orang yang memiliki
kongesti di hidung dan adanya drainase sinus mungkin mengalami gangguan
untuk bernafas dan sulit untuk tidur.
b. Lingkungan

Tingkat cahaya dapat mempengaruhi seseorang untuk tidur, ada yang bisa tidur
dengan cahaya lampu ada juga yang bisa tidur apabila lampu dimatikan atau
dalam keadaan gelap. Ketidaknyamanan dari suhu lingkungan dan kurangnya
ventilasi dapat mempengaruhi tidur.

c. Latihan fisik dan kelelahan


Kelelahan yang berlebihan akibat kerja yang meletihkan mempunyai REM yang
pendek tidur siang dapat mengganggu waktu tidur malam dan harus dihindari jika
seseorang mengalami insomnia.

d. Obat-obatan dan zat-zat kimia

Hypnotics atau obat tidur dapat mengganggu tidur NREM tahap 3 dan 4 serta
dapat menekan REM. Beta blockers dapat menyebabkan insomnia dan mimpi
buruk. Narkotik seperti morfin, dapat menekan tidur REM dan meningkatkan
frekuensi bangun dari tidur dan mengantuk. Orang yang minum alkohol dalam
jumlah banyak sering mengalami gangguan tidur dan mimpi buruk.

e. Diet dan kalori

Kehilangan berat badan berkaitan dengan penurunan waktu tidur total,


terganggunya tidur dan bangun lebih awal. Sedangkan kelebihan berat badan
akan meningkatkan waktu tidur total.

f. Stres psikologis

Stres psikologis mempengaruhi tidur dengan dua cara, yang pertama orang
mengalami stres merasa sulit untuk merasakan tidur yang nyaman sesuai dengan
yang dibutuhkan. Kedua, tidur REM berkurang dalam jumlah yang cenderung
menambah kecemasan dan stres. Salah satu jenis stres yang sering ditemukan di
kalangan mahasiswa ialah stres akademik. Stres akademik dapat terjadi di
lingkungan sekolah atau pendidikan.

g. Merokok

Nikotin yang terkandung dalam rokok memiliki efek stimulasi pada tubuh.
Akibatnya, perokok sering kali kesulitan untuk tidur dan mudah terbangun di
malam hari.

h. Motivasi

Keinginan untuk tetap terjaga terkadang dapat menutupi perasaan lelah


seseorang. Sebaliknya, perasaan bosan atau tidak adanya motivasi untuk terjaga
sering kali dapat mendatangkan kantuk.

F. Penilaian Struktur Tidur Pada Pasien Tidak Sadar Yang Dirawat Di ICU
Setelah pasien sadar kembali dan dia dapat berkomunikasi dengan dunia
luar, skor penilaian siap pakai tersedia. Ada dua jenis skor, yaitu objektif dan
subyektif.
a. Polisomnografi adalah tes standar emas untuk penilaian tidur. Pemeriksaan meliputi
electroencephalography (EEG), electrooculography (EOG), electromyography
subkutan (EMG), electrocardiography (ECG), pemantauan gerakan dada dan
oksimetri nadi. Hal ini untuk menandai tahap tidur tertentu, serta menentukan
durasinya. Elektroda elektroensefalografi (EEG) dipasang ke kulit kepala pasien
untuk mengukur gelombang otak. Perubahan frekuensi EEG (jumlah bentuk
gelombang) dan amplitudo (tinggi bentuk gelombang) selama studi memungkinkan
tidur dinilai menjadi beberapa tahap. Tahapan tidur dibedakan terutama oleh bentuk
gelombang EEG yang mereka hasilkan. Elektrookulografi (EOG) mengukur aktivitas
gerakan mata. Penelitian ini dapat membantu untuk menentukan kapan pasien dalam
tidur gerakan mata cepat (REM); itu juga dapat terjadi ketika awal tidur terjadi seperti
yang tercermin dari gerakan mata memutar yang lambat. Elektromiografi (EMG)
melibatkan sadapan yang ditempatkan pada berbagai kelompok otot. Jika diletakkan
di atas dagu, kabel dapat membantu mendeteksi atonia otot yang terkait dengan tidur
REM. Sadapan interkostal mendeteksi upaya pernapasan, sedangkan sadapan di atas
tibialis anterior mendeteksi gerakan kaki yang mungkin menyebabkan pasien bangun.
Elektrokardiogram (EKG) menunjukkan kelainan jantung, oksimetri memantau
tingkat saturasi oksigen, dan pita piezoelastik di sekitar dada dan perut mendeteksi
gangguan pernapasan seperti apnea. Termokopel digunakan untuk memantau aliran
udara melalui hidung dan mulut.
b. Indeks Bispectral (BIS) memproses sinyal elektroensefalografik untuk mendapatkan
nilai, yang mencerminkan tingkat kesadaran pasien. Monitor BIS mengumpulkan data
EEG mentah melalui sensornya dan menggunakan algoritme untuk menganalisis dan
menafsirkan data. Data ditampilkan sebagai angka pada monitor tampilan BIS. Nilai
BIS berkisar dari 0 hingga 100. Nilai 0 mewakili tidak adanya aktivitas otak, dan 100
mewakili kondisi terjaga. Nilai BIS antara 40 sampai 60 mewakili anestesi umum
yang memadai untuk pembedahan, nilai kurang dari 40 menunjukkan keadaan
hipnosis yang dalam. Nilai BIS biasanya dipertahankan antara 40 hingga 60 untuk
mencegah kesadaran saat anestesi. (Lewis et al. 2019)
c. Actigraphy adalah salah satu metode untuk penilaian tidur yang biasa disebut dalam
literatur. Ini adalah metode berkelanjutan untuk mendaftarkan aktivitas pasien di
siang dan malam hari menggunakan perangkat khusus yang disebut actigraph
(biasanya berlangsung beberapa hari). Secara teknis, perangkat hadir dalam bentuk
arloji. Arloji ditempatkan di pergelangan tangan pasien, yang memungkinkan peneliti
untuk mengevaluasi kesadaran pasien berdasarkan gerakan mereka. Setelah subjek
tertidur, perangkat tidak mendeteksi gerakan sama sekali. Actigraphy memungkinkan
perhitungan total dan rata-rata durasi tidur, latensi onset tidur (lamanya waktu yang
diperlukan untuk tertidur), jumlah terjaga selama tidur, jumlah tidur siang, dan jumlah
aktif dan non-tidur, waktu aktif di siang hari. Namun, pasien ICU umumnya
menunjukkan kelelahan neuromuskuler dan membutuhkan sedasi terus menerus, yang
membuatnya tidak mungkin untuk mendapatkan hasil yang tepat.

G. Penilaian tidur oleh pasien


Metode subyektif memungkinkan untuk menilai tidur pada lebih banyak pasien
ICU. Salah satu metode tersebut adalah RCSQ (Richards-Campbell Sleep
Questionnaire). Skala lima item ini mengevaluasi persepsi pasien tentang
kedalaman tidur mereka, latensi onset tidur, durasi tidur, latensi onset tidur setelah
bangun, dan kualitas tidur secara keseluruhan. Pasien yang mampu
mempertahankan komunikasi logis menandai skor mereka pada skala 0-10. Studi
yang menghubungkan teknik BIS dengan kuesioner RCSQ, yang dilakukan pada
tahun 2007, mengungkapkan bahwa pasien melebih-lebihkan kualitas tidur malam.
Pasien yang sakit kritis mungkin memiliki masalah ingatan karena pemberian obat
penenang, serta mengalami halusinasi. Gangguan ritme sirkadian tambahan dan
kurangnyakesadaran sadar, tentang jam berapa hari itu sebenarnya, dapat
berdampak negatif terhadap hasilnya. Dengan demikian, penggunaan alat subjektif
dibatasi oleh disfungsi kognitif dan persepsi terbatas yang dialami oleh pasien ICU.

H. Penilaiantidurolehperawat
Perawat dapat menilai tidur pasien dengan pengamatan langsung, serta dengan
menggunakan skala dan kuesioner. Studi yang dilakukan pada 1980-an, di mana
perawat mengamati pasien setiap 15 menit, mengungkapkan perbedaan dalam total
waktu tidur (TST) yang diukur dengan menggunakan polisomnografi dan oleh
perawat. Studi terbaru membuktikan bahwa pengamatan langsung oleh perawat
mungkin kurang akurat untuk evaluasi jumlah tidur dan untuk mengidentifikasi
gangguan tidur. Hasil penelitian yang diterbitkan pada 2012, yang membandingkan
tidur yang dinilai sendiri pasien dan penilaian yang dilakukan oleh perawat yang
merawat pasien selama perubahan tertentu menggunakan kuesioner RCSQ,
menunjukkan bahwa perawat cenderung melebih-lebihkan skor. Kedalaman tidur
dan jumlah pencerahan selama istirahat malam hari dinilai oleh perawat dan pasien
adalah 67 (21) vs 48 (35), (p = 0,001), dan 68 (21) vs 60 (33) (p = 0,03 ) [11],
masing-masing. Karena sifat berkelanjutan dari perawatan yang diberikan perawat
kepada pasien, mereka harus tidur dan mempertimbangkan dalam proses merawat
pasien.

I. Gangguan Tidur Pasien ICU


Masalah tidur merupakan masalah yang seringkali dialami pasien selama di
rumah sakit. Sebanyak 22% pasien melaporkan mengalami tidur yang buruk selama
dirawat di rumah sakit (Radeker, 2000) sedangkan menurut Simini (1991) dalam
Nesbitt dan Goode (2014), 61% pasien di ruang Intensive Care Unit (ICU)
mengalami deprivasi tidur. Pasien yang dirawat di ruang ICU mengalami perubahan
pada tidurnya dimana pasien yang mengalami sakit kritis mengalami jam tidur
singkat sehingga membuat pasien mengalami kesulitan pencapaian REM dan tidur
yang dalam, mengakibatkan pasien mudah terbangun (Weinhouse & Schwab,
2006).Pasien yang menjalani perawatan di ruang ICU, banyak yang mempunyai
pengalaman gangguan tidur, penyebabnya diantaranya akibat kebisingan,
pencahayaan, intervensi yang diberikan serta pengobatan (Elliott, McKinley, &
Eagerm 2010).Hal lain juga disebabkan oleh faktor penyakit, kondisi psikologis
seperti rasa cemas, serta lingkungan rumahsakit (seperti: suara bising, cahaya, dan
suhu ruangan). Tidur pasien ICU ringan dan intermiten. Peningkatan jumlah
kesadaran mungkin memiliki konsekuensi yang sama dengan kurang tidur. Mereka
termasuk: melemahnya sistem imunologis yang mengarah pada peningkatan risiko
infeksi, berkurangnya parameter pernapasan, peningkatan persepsi nyeri,
berkurangnya toleransi glukosa, peningkatan aktivitas simpatis dan peningkatan
katabolisme protein. Kelelahan yang diamati pada pasien unit perawatan intensif
menyebabkan konsekuensi yang lebih jelas dari kurang tidur, yang pada gilirannya
dapat menghambat proses pemulihan. Kualitas tidur yang rendah juga berkontribusi
pada terjadinya keadaan psikotik, yaitu delirium pada pasien ICU. Lebih dari 60%
pasien yang dipulangkan dari ICU melaporkan gangguan tidur atau kurang tidur.
Studi lain mengungkapkan bahwa pasien dapat mengingat gangguan yang sering,
rasa sakit, kecemasan dan ketakutan, yang semuanya mengurangi kemampuan
mereka untuk tidur.
464 pasien, menunjukkan bahwa 51% dari mereka mengalami mimpi dan mimpi
buruk, sedangkan 14% dari subyek ini melaporkan mimpi buruk secara negatif
mempengaruhi kualitas hidup mereka bahkan 6 bulan setelah ICU mereka tinggal.
Pemeriksaan polisomnografi pertama pada pasien ICU mengungkapkan adanya
gangguan tidur, mengurangi TST dan perubahan struktur tidur, yaitu tahap N1 dan
N2 yang berkepanjangan, sedangkan durasi tahap N3 dan REM diperpendek.
Pemeriksaan dilakukan hanya selama 8 jam tidur malam saja, dan pasien yang
diventilasi dan dibius secara mekanis dikeluarkan dari penelitian. Polisomnografi
24 jam dilakukan untuk menentukan ritme sirkadian pada pasien ICU. Hasil yang
diperoleh bervariasi secara signifikan dalam hal TST (3,2-19,4 jam), dan hasil
ekstrem seperti 1 jam dari total waktu tidur juga diamati. Lebih dari 14% tidur
terjadi pada siang hari. Struktur tidur yang terganggu tanpa tahap tidur fisiologis
diamati juga. Kebanyakan gangguan terjadi pada tahap N1 dan N2, sedangkan
durasi tahap N3 dan REM diperpendek. Sebuah terobosan besar, bagaimanapun,
adalah studi yang termasuk subyek sedasi menerima dukungan hemodinamik
intensif. Pemeriksaan polisomnografi 24 jam dilakukan pada masing-masing 20
pasien ini. Tiga kelompok pasien dibedakan berdasarkan pola EEG dominan: tidur
terganggu (setiap tahap tidur hadir, tetapi proporsi mereka terganggu), tidur atipikal
(tanpa tahap N2) dan koma (SWS-Slow Wave Sleep dan N3 menyumbang 50% dari
tidur).

J. Meningkatkan Kualitas Dan Kuantitas Tidur

Tidur merupakan salah satu irama sirkardian yang dimiliki manusia. Kualitas tidur
yang buruk, akan berdampak pada perburukan kondisi seseorang, termasuk di dalamnya
adalah perburukan kondisi kesehatan pada pasien kritis yang dirawat di ruang ICU. Oleh
karena itu, perawat dan profesi kesehatan lainnya harus dapat menjamin kebutuhan tidur
pada pasien bisa terpenuhi dengan baik. Ada banyak faktor yang dapat mempengaruhi
kualitas tidur pada pasien yang dirawat di ruang ICU, diantaranya faktor lingkungan ICU
(misalnya: cahaya, suhu, kebisingan, dll), kondisi penyakit yang diderita pasien
(misalnya: tingkat nyeri, kecemasan, stress, dll), efek penggunaan obat, kebiasaan tidur,
dll.
Tindakan terbaik untuk meningkatkan kualitas tidur pada pasien kritis adalah
dengan cara mengontrol faktor yang menyebabkan gangguan tidur pada pasien. Berikut
ada beberapa intervensi (guideline) yang bisa diterapkan oleh perawat ruang ICU untuk
meningkatkan kualitas tidur pada pasien kritis :

1) Modifikasi lingkungan
a. Mengidentifikasi peralatan yang sudah rusak. Peralatan yang rusak, terkadang
menimbulkan suara bising yang dapat mengganggu pasien. Misal roda trolly,
suara pintu, dll.
b. Menggunakan sepatu yang tidak menimbulkan suara berisik. Sepatu dengan sol
yang dapat menimbilkan suara berisik, seharusnya tidak dipakai saat memasuki
ruang ICU.
c. Pembersihan lingkungan ICU hanya di siang hari. Jadwal membersihkan
ruangan ICU seharusnya dibuat rentang antara jam 07.00 – 18.00, untuk
mengurangi suara-suara yang dapat mengganggu pasien. Selain itu, tempat
sampah seharusnya sudah dikosongkan/dibersihkan tidak lebih dari jam 22.00.
d. Berbicara dengan pelan Seluruh petugas kesehatan di ruang ICU seharusnya
mengingatkan petugas lain, untuk berbicara pelan di ruangan agar tidak
mengganggu istirahat pasien.
e. Mengatur pencahayaan lampu ruangan Sebaiknya lampu ruangan dikurangi
waktu tidur jam malam pasien (sebelum jam 23.00)
2) Intervensi untuk mendukung istirahat dan tidur pasien
a. Manajemen untuk mengatasi nyeri pasien Pengkajian dan manajemen nyeri
yang tepat, diperlukan bagi pasien yang dirawat di ICU. Manajemen sedasi
yang tepat juga sangat menentukan.
b. Mengoptimalkan irama sirkardian sesuai dengan kondisi normal Intervensi
yang bisa dilakukan perawat antara lain : melatih mobilisasi dini sesuai dengan
indikasi di pagi hari, memberikan penerangan yang optimal di siang hari, dan
mengurangi penerangan di malam hari, melakukan stimulasi mental setiap hari,
orientasi hari, dll.

K. Terapi Komplementer untuk Meningkatkan Kualitas Tidur Pasien ICU

Terdapat beberapa terapi komplementer yang dapat digunakan pada pasien di


ruang perawatan kritis (ICU). Terapi komplementer sangat digemari di masyarakat
awam karena hemat biaya dan tidak memerlukan alat dan bahan yang banyak, namun
tetap efektif mengurangi masalah kesehatan. Terapi komplementer pun bisa digunakan
pasien ICU untuk indikasi tertentu, salah satunya yaitu mengatasi gangguan tidur.
Tidur merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia yang sangat sederhana
namun penting. Pasien yang dirawat di ruang ICU mengalami perubahan pada
tidurnya dimana pasien akan mengalami jam tidur yang singkat sehingga membuat
pasien mengalami kesulitan pencapaian REM dan tidur yang dalam, mengakibatkan
pasien mudah terbangun. Gangguan tidur di ICU disebabkan oleh banyak faktor,
diantaranya lingkungan, kebisingan, pencahayaan, kegiatan perawat, penyakit yang
diderita, tindakan keperawatan, dan terapi obat.
Banyak penelitian yang sudah mengembangkan ide – ide terapi komplementer
untuk mingkatkan kualitas tidur pasien ICU. Berikut beberapa terapi komplementer
yang bisa dilakukan pada pasien ICU.

 Terapi Suara Alam


Musik suara alam merupakan suara alam seperti suara burung, gelombang
laut, angin, air mengalir dll, sebagai terapi kesehatan yang mencapai hasil yang
sangat memuaskan antara lain peningkatan kualitas tidur, kondisi fisik, mental
bagi individu diberbagai tingkat umur. Musik yang digunakan adalah musik suara
alam yang sudah ditentukan selama 30 menit dipagi hari dan 30 menit dimalam
hari selama enam hari dengan menggunakan pengeras suara.
Hubungan musik dengan fungsi otak manusia yang dapat dapat
mempengaruhi kualitas tidur yaitu jarak retikuler-talamus. musik akan diterima
langsung oleh thalamus, lalu melalui axon neuron rangsangan mencapai thalamus,
maka secara otomatis pusat otak telah diinfasi.mengurangi aktivitas sistem syaraf
simpatik, mengurangi kecemasan, jantung dan laju pernapasan serta memiliki
efek positif pada tidur melelui relaksasi otak gangguan dari pikiran.

 Terapi Pijat Kaki/ Foot Masage


Foot Massage adalah manipulasi jaringan ikat melalui pukulan, gosokan
atau meremas untuk memberikan dampak pada peningkatan sirkulasi,
memperbaiki sifat otot dan memberikan efek relaksasi. Foot massage dilakukan
pada malam hari menjelang pasien tidur selama dua hari berturut-turut. Foot
massage diberikan selama 10 menit pada masing-masing bagian kaki sehingga
total lama perlakuan 20 menit.
Pijatan pada kaki ini dapat meningkatkan neurotransmiter serotonin dan
dopamin yang rangsangannya diteruskan ke hipotalamus dan menghasilkan
Cortocotropin Releasing Factor (CRF) yang merangsang kelenjar pituary untuk
meningkatkan produksi Proopioidmelanocortin (POMC) dan merangsang medula
adrenal meningkatkan sekresi endorfin yang mengaktifkan parasimpatik sehingga
terjadi vasodilatasi pada pembuluh serta memperlancar aliran darah sehingga
membantu otot-otot yang tegang menjadi relaks sehingga RAS terstimulasi untuk
melepaskan serotonin dan membantu munculnya rangsangan tidur serta
meningkatkan kualitas tidur seseorang.

 Terapi Earplug dan Eyemask


Earplug dan Eye Mask merupakan intervensi keperawatan yang dapat
dilakukan untuk mengurangi gangguan tidur pasien untuk mempertahankan ritme
sirkadian secara normal.
Earplug dan Eye Mask adalah suatu cara yang relevan dan logis menutup
telinga dan masker penutup mata yang dapat digunakan untuk mencegah
terbangunnya saat tidur yang dise-babkan oleh rangsangan eksternal. Earplug
digunakan setiap malam sebelum klien tidur.

L. Peran Perawat dalam Kualitas Tidur Pasien ICU


Perawat memiliki peranan penting dalam mengatasi masalah tidur pasien melalui
intervensi keperawatan yang diberikan. Intervensi keperawatan untuk mengatasi
masalah tidur diantaranya mengontrol lingkungan, meningkatkan kenyamananan
dan relaksasi, dan melakukan promosi kesehatan. Intervensi keperawatan ini
dianggap cukup efektif dalam mengatasi masalah tidur.
Penelitian Eliassen dan Hopsock (2011) menunjukkan bahwa 62,5% perawat
sudah melakukan intervensi untuk keperawatan meningkatkan tidur di ruang ICU.
Data ini menunjukkan bahwa perawat di ruang ICU sudah memiliki kesadaran yang
tinggi dalam meningkatkan tidur pasien. Pengetahuandan motivasi merupakan
faktor yangmemiliki hubungan signifikan dengan penerapan intervensi keperawatan
untuk mengatasi masalah tidur. Sementara itu, faktor umur, jenis kelamin, lama
kerja, pengetahuan, persepsi, tingkat pendidikan, dan pengalaman tidak
berhubungan dengan penerapan intervensi keperawatan untuk mengatasi masalah
tidur. Selain itu, penelitian ini juga menunjukkan bahwa lebih dari separuh perawat
masih belum menerapkan intervensi keperawatan untuk mengatasi masalah tidur
dengan baik di rumah sakit.
DAFTAR PUSTAKA

Afianti, N., & Mardhiyah, A. (2017). Pengaruh Foot Massage terhadap Kualitas Tidur
Pasien di Ruang ICU. Jurnal Keperawatan Padjadjaran, 5(1), 86–97.
https://doi.org/10.24198/jkp.v5n1.10
Iman, N., Novalinda, Devis, & Darwisman. (2019). Pengaruh terapi musik suara alam
terhadap kualitas tidur pasien kritis di ruang icu rsu royal prima medan tahun 2019.
Jurnal Ilmiah Keperawatan Imelda, 5(2), 674–679.
Mutarobin, M., Nurachmah, E., Adam, M., Sekarsari, R., & Erwin, E. (2019).
PENERAPAN EVIDENCE-BASED NURSING PENGARUH EARPLUG DAN
EYE MASK TERHADAP KUALITAS TIDUR PADA PASIEN DI ICU. Jurnal
Keperawatan Indonesia, 22(2), 129–138. https://doi.org/10.7454/jki.v22i2.735

Mutarobin, M., Nurachmah, E., Adam, M., Sekarsari, R., & Erwin, E. (2019). Penerapan
Evidence-Based Nursing Pengaruh Earplug Dan Eye Mask Terhadap Kualitas Tidur Pada
Pasien Di Icu. Jurnal Keperawatan Indonesia, 22(2), 129–138.
https://doi.org/10.7454/jki.v22i2.735
Widhiyanti, K. A. T., Ariawati, N. W., & Rusitayanti, N. W. A. (2017). PEMBERIAN BACK
MASSAGE DURASI 60 MENIT DAN 30 MENIT MENINGKATKAN KUALITAS
TIDUR PADAMAHASISWA VI A PENJASKESREK FPOK IKIP PGRI BALI
SEMESTER GENAP TAHUN 2016/2017 K.A.Tri. Jurnal Pendidikan Kesehatan Rekreasi,
3(1), 9–18. https://doi.org/10.1017/CBO9781107415324.004

Reza, R. R., Berawi, K., Karima, N., & Budiarto, A. (2019). Fungsi Tidur dalam Manajemen
Kesehatan. Jurnal Majority Universitas Lampung, 8(2), 247–253.
Urden, L. D., Stacy, K. M., & Lough, M. E. (2014). Critical Care Nursing : Diagnosis and
Management (7th ed.). Mosby.
Urden, Linda D, Kathleen M. Stacy, dan Mary E. Lough. 2014. Critical Care
Nursing :
Diagnosis and Management 7th Edition. Canada : Elsevier.
Lu, Weina, Qinghui Fu, Xiaoqian Luo, Shuiqiao Fu, and Kai Hu. 2017. “Effects of
Dexmedetomidine on Sleep Quality of Patients after Surgery without
Mechanical
Ventilation in ICU.” Medicine (United States) 96(23):330.
Lewis, Sharon R., Michael W. Pritchard, Lizzy J. Fawcett, and Yodying Punjasawadwong. 2019.
“Bispectral Index for Improving Intraoperative Awareness and Early Postoperative
Recovery in Adults.” Cochrane Database of Systematic Reviews 2019(9).

Anda mungkin juga menyukai