Dosen pengampu :
Disusun oleh :
B. Fisiologistidur
Fisiologitidurmerupakanpengaturankegiatantidur yang
melibatkanhubunganmekanismeserebralsecarabergatian agar
mengaktifkandanmenekanpusatotakuntukdapattidurdanbangun.
Aktivitas tidur diatur dan dikontrol oleh dua sistem pada batang otak,
yaitu Reticular Activating System (RAS) dan Bulbar Synchronizing Region
(BSR). RAS yang terletak di bagian atas batang otak diyakini memiliki sel-sel
khusus yang dapat mempertahankan kewaspadaan dan kesadaran,
memberikemampuan mental. Pada saat sadar, RAS melepaskan katekolamin,
sedangkan pada saat tidur terjadi pelepasan serum serotonin dari BSR. Stabilitas
emosional pun terganggu.Biasanya, wanita muda lebih mengantuk di siang hingga
sore hari dibandingkan pria seusianya. Dengan jam tidur yang lebih panjang,
wanita lebih mudah untuk bangun daripada pria(Widhiyanti et al., 2017)
Setiap makhluk hidup memiliki bioritme (jam biologis) yang berbeda.
Pada manusia, bioritme ini dikontrol oleh tubuh dan disesuaikan dengan faktor
lingkungan (misalnya: cahaya, kegelapan, gravitasi dan stimulus
elektromagnetik). Bentuk bioritme yang paling umum adalah ritme sirkadian yang
melengkapi siklus selama 24 jam. Dalam hal ini, fluktuasi denyut jantung,
tekanan darah, temperature, sekresi hormon, metabolism dan penampilan serta
perasaan individu bergantung pada ritme sirkadiannya.
C. Tahapan tidur
Berdasarkan penelitian yang dilakukan dengan bantuan alat elektroensefalogram
(EEG), elektro-okulogram (EOG), dan elektrokiogram (EMG), diketahui ada dua
kategori tidur, yaitu non-rapid eye movement (NREM) dan rapid eye movement
(REM). (Asmadi, 2008).
1. Tidur NREM
Tidur NREM disebut juga sebagai tidur gelombang-pendek karena
gelombang otak yang ditunjukkan oleh orang yang tidur lebih pendek
daripada gelombang alfa dan beta yang ditunjukkan orang yang sadar. Pada
tidur NREM terjadi penurunan sejumlah fungsi fisiologi tubuh. Di samping
itu, semua proses metabolic termasuk tanda-tanda vital, metabolism, dan kerja
otot melambat. Tidur NREM sendiri terbagi atas 4 tahap (I-IV). Tahap I-II
disebut sebagai tidur ringan (light sleep) dan tahap III-IV disebut sebagai tidur
dalam (deep sleep atau delta sleep).
Apabila sesorang mengalami kehilangan tidur REM , maka akan
menunjukkan gejala-gejala sebagai berikut:
Cenderung hiperaktif
Kurang dapat mengendalikan diri dan emosi
Nafsu makan bertambah
Bingung dan curiga
a. NREM tahap I
a) Tingkat transisi
b) Merespons cahaya
c) Berlangsung beberapa menit
d) Mudah terbangun dengan rangsangan
e) Aktivitas fisik, tanda vital, dan metabolism menurun
f) Bila terbangun terasa sedang bermimpi
b. NREM tahap II
a) Periode suara tidur
b) Mulai relaksasi otot
c) Berlangsung 10-20 menit
d) Fungsi tubuh berlangsung lambat
e) Dapat dibangunkan dengan mudah
c. NREM tahap III
a) Awal tahap dari keadaan tidur nyenyak
b) Sulit dibangunkan
c) Relaksasi otot menyeluruh
d) Tekanan darah menurun
e) Berlangsung 15-30 menit
d. NREM tahap IV
a) Tidur nyenyak
b) Sulit untuk dibangunkan, butuh stimulus intensif
c) Untuk restorasi dan istirahat, tonus otot menurun
d) Sekresi lambung menurun
e) Gerak bola mata cepat
2. Tidur REM
Tidur REM biasanya terjadi setiap 90 menit dan berlangsung selama 5-30
menit. Tidur REM tidak senyenyak tidur NREM, dan sebagian besar mimpi
terjadi pada tahap ini. Selama tidur REM, otak cenderung aktif dan
metabolismenya meningkat hingga 20%. Pada tahap individu menjadi sulit
untuk dibangunkan atau justru dapat bangun dengan tiba-tiba, tonus otot
terdepresi, sekresi lambung meningkat, dan frekuensi jantung dan pernapasan
sering kali tidak teratur.
Tahapan tidur REM
a. Lebih sulit dibangunkan dibandingkan dengan tidur NREM
b. Pada orang dewasa normal REM yaitu 20-25% dari tidur malamnya
c. Jika individu terbangun pada tidur REM, maka biasanya terjadi mimpi
d. Tidur REM penting untuk keseimbangan mental, emosi juga berperan
dalam belajar, memori, dan adaptasi.
Selama tidur, individu melewati tahap tidur NREM dan REM. Siklus tidur
yang komplet normalnya berlangsung selama 1,5 jam, dan setiap orang biasanya
melalui empat hingga lima siklus selama 7-8 jam tidur. Siklus tersebut dimulai
dari tahap NREM yang berlanjut ke tahap REM. Tahap NREM I-III berlangsung
selama 30 menit, kemudian diteruskan ke tahap IV selama ± 20 menit. Setelah itu,
individu kembali melalui tahap III dan II selama 20 menit. Tahap I REM muncul
sesudahnya dan berlangsung selama 10 menit.
D. Karakteristik
a. Penyakit
Tingkat cahaya dapat mempengaruhi seseorang untuk tidur, ada yang bisa tidur
dengan cahaya lampu ada juga yang bisa tidur apabila lampu dimatikan atau
dalam keadaan gelap. Ketidaknyamanan dari suhu lingkungan dan kurangnya
ventilasi dapat mempengaruhi tidur.
Hypnotics atau obat tidur dapat mengganggu tidur NREM tahap 3 dan 4 serta
dapat menekan REM. Beta blockers dapat menyebabkan insomnia dan mimpi
buruk. Narkotik seperti morfin, dapat menekan tidur REM dan meningkatkan
frekuensi bangun dari tidur dan mengantuk. Orang yang minum alkohol dalam
jumlah banyak sering mengalami gangguan tidur dan mimpi buruk.
f. Stres psikologis
Stres psikologis mempengaruhi tidur dengan dua cara, yang pertama orang
mengalami stres merasa sulit untuk merasakan tidur yang nyaman sesuai dengan
yang dibutuhkan. Kedua, tidur REM berkurang dalam jumlah yang cenderung
menambah kecemasan dan stres. Salah satu jenis stres yang sering ditemukan di
kalangan mahasiswa ialah stres akademik. Stres akademik dapat terjadi di
lingkungan sekolah atau pendidikan.
g. Merokok
Nikotin yang terkandung dalam rokok memiliki efek stimulasi pada tubuh.
Akibatnya, perokok sering kali kesulitan untuk tidur dan mudah terbangun di
malam hari.
h. Motivasi
F. Penilaian Struktur Tidur Pada Pasien Tidak Sadar Yang Dirawat Di ICU
Setelah pasien sadar kembali dan dia dapat berkomunikasi dengan dunia
luar, skor penilaian siap pakai tersedia. Ada dua jenis skor, yaitu objektif dan
subyektif.
a. Polisomnografi adalah tes standar emas untuk penilaian tidur. Pemeriksaan meliputi
electroencephalography (EEG), electrooculography (EOG), electromyography
subkutan (EMG), electrocardiography (ECG), pemantauan gerakan dada dan
oksimetri nadi. Hal ini untuk menandai tahap tidur tertentu, serta menentukan
durasinya. Elektroda elektroensefalografi (EEG) dipasang ke kulit kepala pasien
untuk mengukur gelombang otak. Perubahan frekuensi EEG (jumlah bentuk
gelombang) dan amplitudo (tinggi bentuk gelombang) selama studi memungkinkan
tidur dinilai menjadi beberapa tahap. Tahapan tidur dibedakan terutama oleh bentuk
gelombang EEG yang mereka hasilkan. Elektrookulografi (EOG) mengukur aktivitas
gerakan mata. Penelitian ini dapat membantu untuk menentukan kapan pasien dalam
tidur gerakan mata cepat (REM); itu juga dapat terjadi ketika awal tidur terjadi seperti
yang tercermin dari gerakan mata memutar yang lambat. Elektromiografi (EMG)
melibatkan sadapan yang ditempatkan pada berbagai kelompok otot. Jika diletakkan
di atas dagu, kabel dapat membantu mendeteksi atonia otot yang terkait dengan tidur
REM. Sadapan interkostal mendeteksi upaya pernapasan, sedangkan sadapan di atas
tibialis anterior mendeteksi gerakan kaki yang mungkin menyebabkan pasien bangun.
Elektrokardiogram (EKG) menunjukkan kelainan jantung, oksimetri memantau
tingkat saturasi oksigen, dan pita piezoelastik di sekitar dada dan perut mendeteksi
gangguan pernapasan seperti apnea. Termokopel digunakan untuk memantau aliran
udara melalui hidung dan mulut.
b. Indeks Bispectral (BIS) memproses sinyal elektroensefalografik untuk mendapatkan
nilai, yang mencerminkan tingkat kesadaran pasien. Monitor BIS mengumpulkan data
EEG mentah melalui sensornya dan menggunakan algoritme untuk menganalisis dan
menafsirkan data. Data ditampilkan sebagai angka pada monitor tampilan BIS. Nilai
BIS berkisar dari 0 hingga 100. Nilai 0 mewakili tidak adanya aktivitas otak, dan 100
mewakili kondisi terjaga. Nilai BIS antara 40 sampai 60 mewakili anestesi umum
yang memadai untuk pembedahan, nilai kurang dari 40 menunjukkan keadaan
hipnosis yang dalam. Nilai BIS biasanya dipertahankan antara 40 hingga 60 untuk
mencegah kesadaran saat anestesi. (Lewis et al. 2019)
c. Actigraphy adalah salah satu metode untuk penilaian tidur yang biasa disebut dalam
literatur. Ini adalah metode berkelanjutan untuk mendaftarkan aktivitas pasien di
siang dan malam hari menggunakan perangkat khusus yang disebut actigraph
(biasanya berlangsung beberapa hari). Secara teknis, perangkat hadir dalam bentuk
arloji. Arloji ditempatkan di pergelangan tangan pasien, yang memungkinkan peneliti
untuk mengevaluasi kesadaran pasien berdasarkan gerakan mereka. Setelah subjek
tertidur, perangkat tidak mendeteksi gerakan sama sekali. Actigraphy memungkinkan
perhitungan total dan rata-rata durasi tidur, latensi onset tidur (lamanya waktu yang
diperlukan untuk tertidur), jumlah terjaga selama tidur, jumlah tidur siang, dan jumlah
aktif dan non-tidur, waktu aktif di siang hari. Namun, pasien ICU umumnya
menunjukkan kelelahan neuromuskuler dan membutuhkan sedasi terus menerus, yang
membuatnya tidak mungkin untuk mendapatkan hasil yang tepat.
H. Penilaiantidurolehperawat
Perawat dapat menilai tidur pasien dengan pengamatan langsung, serta dengan
menggunakan skala dan kuesioner. Studi yang dilakukan pada 1980-an, di mana
perawat mengamati pasien setiap 15 menit, mengungkapkan perbedaan dalam total
waktu tidur (TST) yang diukur dengan menggunakan polisomnografi dan oleh
perawat. Studi terbaru membuktikan bahwa pengamatan langsung oleh perawat
mungkin kurang akurat untuk evaluasi jumlah tidur dan untuk mengidentifikasi
gangguan tidur. Hasil penelitian yang diterbitkan pada 2012, yang membandingkan
tidur yang dinilai sendiri pasien dan penilaian yang dilakukan oleh perawat yang
merawat pasien selama perubahan tertentu menggunakan kuesioner RCSQ,
menunjukkan bahwa perawat cenderung melebih-lebihkan skor. Kedalaman tidur
dan jumlah pencerahan selama istirahat malam hari dinilai oleh perawat dan pasien
adalah 67 (21) vs 48 (35), (p = 0,001), dan 68 (21) vs 60 (33) (p = 0,03 ) [11],
masing-masing. Karena sifat berkelanjutan dari perawatan yang diberikan perawat
kepada pasien, mereka harus tidur dan mempertimbangkan dalam proses merawat
pasien.
Tidur merupakan salah satu irama sirkardian yang dimiliki manusia. Kualitas tidur
yang buruk, akan berdampak pada perburukan kondisi seseorang, termasuk di dalamnya
adalah perburukan kondisi kesehatan pada pasien kritis yang dirawat di ruang ICU. Oleh
karena itu, perawat dan profesi kesehatan lainnya harus dapat menjamin kebutuhan tidur
pada pasien bisa terpenuhi dengan baik. Ada banyak faktor yang dapat mempengaruhi
kualitas tidur pada pasien yang dirawat di ruang ICU, diantaranya faktor lingkungan ICU
(misalnya: cahaya, suhu, kebisingan, dll), kondisi penyakit yang diderita pasien
(misalnya: tingkat nyeri, kecemasan, stress, dll), efek penggunaan obat, kebiasaan tidur,
dll.
Tindakan terbaik untuk meningkatkan kualitas tidur pada pasien kritis adalah
dengan cara mengontrol faktor yang menyebabkan gangguan tidur pada pasien. Berikut
ada beberapa intervensi (guideline) yang bisa diterapkan oleh perawat ruang ICU untuk
meningkatkan kualitas tidur pada pasien kritis :
1) Modifikasi lingkungan
a. Mengidentifikasi peralatan yang sudah rusak. Peralatan yang rusak, terkadang
menimbulkan suara bising yang dapat mengganggu pasien. Misal roda trolly,
suara pintu, dll.
b. Menggunakan sepatu yang tidak menimbulkan suara berisik. Sepatu dengan sol
yang dapat menimbilkan suara berisik, seharusnya tidak dipakai saat memasuki
ruang ICU.
c. Pembersihan lingkungan ICU hanya di siang hari. Jadwal membersihkan
ruangan ICU seharusnya dibuat rentang antara jam 07.00 – 18.00, untuk
mengurangi suara-suara yang dapat mengganggu pasien. Selain itu, tempat
sampah seharusnya sudah dikosongkan/dibersihkan tidak lebih dari jam 22.00.
d. Berbicara dengan pelan Seluruh petugas kesehatan di ruang ICU seharusnya
mengingatkan petugas lain, untuk berbicara pelan di ruangan agar tidak
mengganggu istirahat pasien.
e. Mengatur pencahayaan lampu ruangan Sebaiknya lampu ruangan dikurangi
waktu tidur jam malam pasien (sebelum jam 23.00)
2) Intervensi untuk mendukung istirahat dan tidur pasien
a. Manajemen untuk mengatasi nyeri pasien Pengkajian dan manajemen nyeri
yang tepat, diperlukan bagi pasien yang dirawat di ICU. Manajemen sedasi
yang tepat juga sangat menentukan.
b. Mengoptimalkan irama sirkardian sesuai dengan kondisi normal Intervensi
yang bisa dilakukan perawat antara lain : melatih mobilisasi dini sesuai dengan
indikasi di pagi hari, memberikan penerangan yang optimal di siang hari, dan
mengurangi penerangan di malam hari, melakukan stimulasi mental setiap hari,
orientasi hari, dll.
Afianti, N., & Mardhiyah, A. (2017). Pengaruh Foot Massage terhadap Kualitas Tidur
Pasien di Ruang ICU. Jurnal Keperawatan Padjadjaran, 5(1), 86–97.
https://doi.org/10.24198/jkp.v5n1.10
Iman, N., Novalinda, Devis, & Darwisman. (2019). Pengaruh terapi musik suara alam
terhadap kualitas tidur pasien kritis di ruang icu rsu royal prima medan tahun 2019.
Jurnal Ilmiah Keperawatan Imelda, 5(2), 674–679.
Mutarobin, M., Nurachmah, E., Adam, M., Sekarsari, R., & Erwin, E. (2019).
PENERAPAN EVIDENCE-BASED NURSING PENGARUH EARPLUG DAN
EYE MASK TERHADAP KUALITAS TIDUR PADA PASIEN DI ICU. Jurnal
Keperawatan Indonesia, 22(2), 129–138. https://doi.org/10.7454/jki.v22i2.735
Mutarobin, M., Nurachmah, E., Adam, M., Sekarsari, R., & Erwin, E. (2019). Penerapan
Evidence-Based Nursing Pengaruh Earplug Dan Eye Mask Terhadap Kualitas Tidur Pada
Pasien Di Icu. Jurnal Keperawatan Indonesia, 22(2), 129–138.
https://doi.org/10.7454/jki.v22i2.735
Widhiyanti, K. A. T., Ariawati, N. W., & Rusitayanti, N. W. A. (2017). PEMBERIAN BACK
MASSAGE DURASI 60 MENIT DAN 30 MENIT MENINGKATKAN KUALITAS
TIDUR PADAMAHASISWA VI A PENJASKESREK FPOK IKIP PGRI BALI
SEMESTER GENAP TAHUN 2016/2017 K.A.Tri. Jurnal Pendidikan Kesehatan Rekreasi,
3(1), 9–18. https://doi.org/10.1017/CBO9781107415324.004
Reza, R. R., Berawi, K., Karima, N., & Budiarto, A. (2019). Fungsi Tidur dalam Manajemen
Kesehatan. Jurnal Majority Universitas Lampung, 8(2), 247–253.
Urden, L. D., Stacy, K. M., & Lough, M. E. (2014). Critical Care Nursing : Diagnosis and
Management (7th ed.). Mosby.
Urden, Linda D, Kathleen M. Stacy, dan Mary E. Lough. 2014. Critical Care
Nursing :
Diagnosis and Management 7th Edition. Canada : Elsevier.
Lu, Weina, Qinghui Fu, Xiaoqian Luo, Shuiqiao Fu, and Kai Hu. 2017. “Effects of
Dexmedetomidine on Sleep Quality of Patients after Surgery without
Mechanical
Ventilation in ICU.” Medicine (United States) 96(23):330.
Lewis, Sharon R., Michael W. Pritchard, Lizzy J. Fawcett, and Yodying Punjasawadwong. 2019.
“Bispectral Index for Improving Intraoperative Awareness and Early Postoperative
Recovery in Adults.” Cochrane Database of Systematic Reviews 2019(9).