Anda di halaman 1dari 13

KASUS 2 : APENDISITIS PERFORASI

Kasus kegawatan Gastrointestinal : Apendisitis perforasi Pasien seorang pria, 27


tahun, masuk unit gawat darurat rumah sakit pelangi, dengan keluhan nyeri hebat
pada abdomen kanan bawah sejak semalam, nyeri dirasa makin berat sehingga
tidak mampu bergerak, pasien juga mengeluh mual dan tidak nafsu makan. pada
pengkajian, nyeri tekan +, nyeri lepas +, hasil pemeriksaan, TD 130/90 mmHg,
Nadi 120 x/mnt, suhu 38.7 C, RR 23 x/mnt. Hasil pemeriksaan laboratorium,
Leukosit 19 ribu, Hb 12,5 gr/dl. Dokter melakukan apendikogram, dengan hasil
adanya perforasi appendiks dan memerlukan tindakan operasi segera.

PEMICU BERPIKIR KASUS KEGAWATAN GASTROINTESTINAL :


APENDISITIS PERFORASI

1. Apakah Jenis penyakit yang mungkin / kegawatan yang mungkin terjadi


pada pasien?
Jenis penyakit yang mungkin / kegawatan yang mungkin terjadi pada pasien
adalah kegawatan Gastrointestinal dengan diagnosa medis Apendisitis
perforasi

2. Apa tindakan awal yang tepat untuk dilakukan untuk menstabilkan pasien
ini?
Tindakan awal yang tepat untuk dilakukan untuk menstabilkan pasien ini
adalah
○ melakukan diagnosis
■ Demam umumnya tidak ada. Bila ada, maka sakit perut akan
timbul lebih dahulu. Jika dijumpai demam pada kasus
apendisitis, pikirkan kemungkinan terjadinya perforasi
apendisitis.
■ Awalnya berupa nyeri periumbilikal, namun temuan klinis yang
paling penting adalah rasa nyeri yang terus-menerus pada
kuadran bagian bawah sebelah kanan.
■ Dapat disalahartikan infeksi saluran kemih, batu ginjal, masalah
ovarium, adenitis mesenterik, ileitis. Bedakan dengan DBD.
■ Leukositosis.
○ Menerapkan Tatalaksana
■ Puasakan
■ Beri cairan melalui intravena
■ Kolaborasi:
● Ganti cairan yang hilang dengan memberikan garam
normal sebanyak 10–20 ml/kgBB cairan bolus, ulangi
sesuai kebutuhan, ikuti dengan kebutuhan cairan rumatan
150% kebutuhan normal
● Beri antibiotik segera setelah diagnosis ditentukan:
ampisilin (25–50 mg/ kgBB/dosis IV/IM empat kali
sehari), gentamisin (7.5 mg/kgBB/dosis IV/IM sekali
sehari) dan metronidazol (7.5 mg/kgBB/dosis tiga kali
sehari).
■ RUJUK SEGERA kepada dokter bedah. Apendektomi harus
dilakukan sesegera mungkin untuk mencegah perforasi dan
terbentuknya abses.

DISKUSI KASUS KEGAWATAN GASTROINTESTINAL : APENDISITIS


PERFORASI

Patofisiologi

Patologi apendisitis berawal dari mukosa dan kemudian melibatkan seluruh


lapisan dinding apendiks vermiformis dalam waktu 24-48 jam pertama. Jaringan
mukosa pada apendiks vermiformis menghasilkan mukus (lendir) setiap harinya.
Terjadinya obstruksi lumen menyebabkan sekresi mukus dan cairan, akibatnya
terjadi peningkatan tekanan luminal sebesar 60 cmH2O, yang seharusnya hanya
berkapasitas 0,1-0,2 mL.
Bakteri dalam lumen apendiks vermiformis berkembang dan menginvasi dinding
apendiks vermiformis sejalan dengan terjadinya pembesaran vena dan kemudian
terganggunya arteri akibat tekanan intraluminal yang tinggi. Ketika tekanan kapiler
melampaui batas, terjadi iskemi mukosa, inflamasi dan ulserasi. Pada akhirnya,
pertumbuhan bakteri yang berlebihan di dalam lumen dan invasi bakteri ke dalam
mukosa dan submukosa menyebabkan peradangan transmural, edema, stasis
pembuluh darah, dan nekrosis muskularis yang dinamakan apendisitis kataralis.
Jika proses ini terus berlangsung, menyebabkan edema dan kongesti pembuluh
darah yang semakin parah dan membentuk abses di dinding apendiks vermiformis
serta cairan purulen, proses ini dinamakan apendisitis flegmonosa. Kemudian
terjadi gangren atau kematian jaringan yang disebut apendisitis gangrenosa. Jika
dinding apendiks vermiformis yang terjadi gangren pecah, tandanya apendisitis
berada dalam keadaan perforasi.

Untuk membatasi proses radang ini tubuh juga melakukan upaya pertahanan
dengan menutup apendiks vermiformis dengan omentum, usus halus, atau adneksa
sehingga terbentuk massa periapendikuler yang secara salah dikenal dengan istilah
infiltrat apendiks. Pada anak-anak dengan omentum yang lebih pendek, apendiks
vermiformis yang lebih panjang, dan dinding apendiks vermiformis yang lebih
tipis, serta daya tahan tubuh yang masih kurang, dapat memudahkan terjadinya
apendisitis perforasi. Sedangkan pada orang tua, apendisitis perforasi mudah
terjadi karena adanya gangguan pembuluh darah. Apendiks vermiformis yang
pernah meradang tidak akan sembuh sempurna tetapi membentuk jaringan parut
yang melengket dengan jaringan sekitarnya. Perlengketan ini dapat menimbulkan
keluhan berulang di perut kanan bawah. Sehingga suatu saat, organ ini dapat
mengalami peradangan akut lagi dan dinyatakan mengalami eksaserbasi akut.
Pathway Appendicitis

Infeksi akibat bakteri, virus, jamur, feses yang membatu, pola hidup, benda asing.

Apendiksitis

Inflamasi

Edema(Berisi Pus)

Infeksi

Apendik
Bakteri flora Obs. usus
usus (bawah kanan rongga
abdomen)

Abses
Konstipasi sekunder
Rangsang syaraf
reseptor

Pelvis Diafragma Hati


Nyeri

Jumlah
lekosit

Hiperthermy
Tanda/Gejala Khas

Gejala utama perforasi adalah:

 Nyeri pada bagian perut.


 Perut dapat menonjol dan keras pada perabaan.
 Lubang atau luka pada bagian perut atau usus kecil dapat menimbulkan
nyeri yang datang secara tiba-tiba. Sementara, lubang atau luka pada usus besar
akan menimbulkan nyeri yang datang secara bertahap. Kedua kasus tersebut
dapat mengakibatkan rasa sakit atau nyeri yang konstan.
 Nyeri dapat memburuk jika seseorang mengubah posisi tubuh atau menekan
bagian abdomen, dan akan berkurang ketika berbaring.

Selain itu, terdapat gejala lainnya yang dapat mengindikasikan perforasi yaitu:

 Keringat dingin
 Demam
 Mual
 Muntah
 Syok

Perforasi yang menyebabkan peritonitis atau radang selaput rongga perut dapat
menyebabkan gejala lainnya, seperti:

 Kelelahan berat
 Demam
 Jarang buang air kecil
 Sesak napas
 Detak jantung yang cepat
 Pusing dan linglung

Menurut Diane C. Baughman dan JiAnn C. Hackley (2000), manifestasi klinis


apendisitis adalah sebagai berikut :

1. Nyeri kuadran kanan bawah dan biasanya disertai dengan demam derajat rendah,
mual, dan seringkali muntah
2. Pada titik Mc Burney terdapat nyeri tekan setempat karena tekanan dan sedikit
kaku dari bagian bawah otot rektus kanan

3. Nyeri alih mungkin saja ada; letak apendiks mengakibatkan sejumlah nueri
tekan, spasme otot, dan konstipasi serta diare

4. Tanda Rovsing (dapat diketahui dengan mempalpasi kuadran kanan bawah ,


yang menyebabkan nyeri kuadran kiri bawah)

5. Jika terjadi ruptur apendiks, maka nyeri akan menjadi lebih menyebar; terjadi
distensi abdomen akibat ileus paralitik dan kondisi memburuk

Komplikasi

- Komplikasi utama apendisitis adalah perforasi apendiks yang dapat


berkembang menjadi peritonitis atau abses. Insidens perforasi adalah 10%
sampai 32%. Insidens lebih tinggi pada anak kecil dan lansia. Perforasi secara
umum terjadi 24 jam setelah awitan nyeri. Gejala mencakup demam dengan
suhu 37,70C atau lebih tinggi, penampilan toksik, dan nyeri atau nyeri tekan
abdomen yang kontinyu (Smeltzer C.Suzanne, 2002).
- Pada pasien ini sudah terjadi perforasi dan peritonitis lokal. Hal ini ditandai
dengan adanya nyeri perut yang sangat hebat di seluruh lapang abdomen serta
peningkatan suhu tubuh terus-menerus. Pada tanda klinis biasanya didapatkan
defans muscular lokal di kuadran kanan bawah serta bising usus menurun.
- Komplikasi yang lain yaitu peritonitis generalisata dan terbentuknya massa
periapendikular.
- Peradangan peritoneum merupakan penyulit berbahaya yang dapat terjadi
dalam bentuk akut maupun kronis. Keadaan ini biasanya terjadi akibat
penyebaran infeksi dari apendisitis. Bila bahan yang menginfeksi tersebar luas
pada permukaan peritoneum menyebabkan timbulnya peritonitis generalisata.
Dengan begitu, aktivitas peristaltik berkurang sampai timbul ileus paralitik,
usus kemudian menjadi atoni dan meregang. Cairan dan elektrolit hilang ke
dalam lumen usus menyebabkan dehidrasi, gangguan sirkulasi, oligouria, dan
mungkin syok. Gejala : demam, lekositosis, nyeri abdomen, muntah, Abdomen
tegang, kaku, nyeri tekan, dan bunyi usus menghilang.

Diagnosis (Lab dan Radiologi)

1. Laboratorium

Jumlah leukosit diatas 10.000 ditemukan pada lebih dari 90% anak dengan
appendicitis akuta. Jumlah leukosit pada penderita appendicitis berkisar antara
12.000- 18.000/mm3. Peningkatan persentase jumlah neutrofil (shift to the left)
dengan jumlah normal leukosit menunjang diagnosis klinis appendicitis. Jumlah
leukosit yang normal jarang ditemukan pada pasien dengan appendicitis1.

2. Pemeriksaan urinalisis

Membantu untuk membedakan appendicitis dengan pyelonephritis atau batu ginjal.


Meskipun demikian, hematuria ringan dan pyuria dapat terjadi jika inflamasi
appendiks terjadi di dekat ureter.

3. Ultrasonografi

Ultrasonografi sering dipakai sebagai salah satu pemeriksaan untuk menunjang


diagnosis pada kebanyakan pasien dengan gejala appendicitis. Beberapa penelitian
menunjukkan bahwa sensitifitas USG lebih dari 85% dan spesifitasnya lebih dari
90%. Gambaran USG yang merupakan kriteria diagnosis appendicitis akut adalah
appendix dengan diameter anteroposterior 7 mm atau lebih, didapatkan suatu
appendicolith, adanya cairan atau massa periappendix1. False positif dapat muncul
dikarenakan infeksi sekunder appendix sebagai hasil dari salphingitis atau
inflammatory bowel disease.

4. CT-Scan

CT scan merupakan pemeriksaan yang dapat digunakan untuk mendiagnosis


appendicitis akut jika diagnosisnya tidak jelas.sensitifitas dan spesifisitasnya kira-
kira 95-98%. Pasien-pasien yang obesitas, presentasi klinis tidak jelas, dan curiga
adanya abses, maka CT-scan dapat digunakan sebagai pilihan test diagnostik.
Diagnosis appendicitis dengan CT-scan ditegakkan jika appendiks dilatasi lebih
dari 5-7 mm pada diameternya. Dinding pada appendix yang terinfeksi akan
mengecil.

5. Pengukuran enzim hati dan tingkatan amilase membantu mendiagnosa


peradangan hati, kandung empedu, dan pankreas.

6. Pemeriksaan barium enema untuk menentukan lokasi sekum. Pemeriksaan


Barium enema dan Colonoscopy merupakan pemeriksaan awal untuk
kemungkinan karsinoma kolon.

7. Pemeriksaan foto polos abdomen tidak menunjukkan tanda pasti Apendisitis,


tetapi mempunyai arti penting dalam membedakan Apendisitis dengan obstruksi
usus halus.

Manajemen Pengobatan Appendisitis

1. Penanggulangan konservatif
Penanggulangan konservatif terutama diberikan pada penderita yang tidak
mempunyai akses ke pelayanan bedah berupa pemberian antibiotik.
Pemberian antibiotik berguna untuk mencegah infeksi. Pada penderita
Apendisitis perforasi, sebelum operasi dilakukan penggantian cairan dan
elektrolit, serta pemberian antibiotik sistemik
2. Operasi
Bila diagnosa sudah tepat dan jelas ditemukan Apendisitis maka tindakan
yang dilakukan adalah operasi membuang appendiks (appendektomi).
Penundaan appendektomi dengan pemberian antibiotik dapat mengakibatkan
abses dan perforasi. Pada abses appendiks
dilakukan drainage (mengeluarkan nanah).

3. Pencegahan Tersier

Tujuan utama dari pencegahan tersier yaitu mencegah terjadinya komplikasi


yang lebih berat seperti komplikasi intra-abdomen. Komplikasi utama adalah
infeksi luka dan abses intraperitonium. Bila diperkirakan terjadi perforasi
maka abdomen dicuci dengan garam fisiologis atau antibiotik. Pasca
appendektomi diperlukan perawatan intensif dan pemberian antibiotik
dengan lama terapi disesuaikan dengan besar infeksi intra-abdomen.

Apendectomy/ operasi pengambilan usus buntu  adalah satu-satunya cara


pengobatan yang efektif. Laparoskopi apendectomy dilakukan melalui irisan
sangat kecil , mempercepat waktu penyembuhan . Jika infeksi telah menyebar
dan terbentuk radang selaput perut dokter akan menggunakan antibiotik untuk
mengobatinya dan menggunakan selang untuk mengeluarkan isi rongga perut.

Menurut Arief Mansjoer (2000), penatalaksanaan apendisitis adalah sebagai


berikut:

1. Tindakan medis
a. Observasi terhadap diagnosa

Dalam 8 – 12 jam pertama setelah timbul gejala dan tanda


apendisitis, sering tidak terdiagnosa, dalam hal ini sangat penting
dilakukan observasi yang cermat. Penderita dibaringkan ditempat tidur
dan tidak diberi apapun melalui mulut.  Bila diperlukan maka dapat
diberikan cairan aperviteral. Hindarkan pemberian narkotik jika
memungkinkan, tetapi obat sedatif seperti barbitural atau penenang tidak
karena merupakan kontra indikasi. Pemeriksaan abdomen dan rektum, sel
darah putih dan hitung jenis di ulangi secara periodik. Perlu dilakukan
foto abdomen dan thorak posisi tegak pada semua kasus apendisitis,
diagnosa dapat jadi jelas dari tanda lokalisasi kuadran kanan bawah dalam
waktu 24 jam setelah timbul gejala.

b. Intubasi

Dimasukkan pipa naso gastrik preoperatif jika terjadi peritonitis atau


toksitas yang menandakan bahwa ileus pasca operatif yang sangat
menggangu. Pada penderita ini dilakukan aspirasi kubah lambung jika
diperlukan. Penderita dibawa kekamar operasi dengan pipa tetap
terpasang.

c. Antibiotik
Pemberian antibiotik preoperatif dianjurkan pada reaksi sistematik
dengan toksitas yang berat dan demam yang tinggi .

2. Terapi bedah
Pada apendisitis tanpa komplikasi, apendiktomi dilakukan segera setelah
terkontrol ketidakseimbangan cairan dalam tubuh dan gangguan sistematik
lainnya. Biasanya hanya diperlukan sedikit persiapan. Pembedahan yang
direncanakan secara dini baik mempunyai  praksi mortalitas 1 % secara
primer  angka morbiditas dan mortalitas penyakit ini tampaknya disebabkan
oleh komplikasi ganggren dan perforasi yang terjadi akibat yang tertunda.
3. Terapi pasca operasi
Perlu dilakukan obstruksi tanda-tanda vital untuk mengetahui terjadinya
perdarahan didalam, syok hipertermia, atau gangguan  pernapasan angket
sonde lambung bila pasien telah sadar, sehingga aspirasi cairan lambung
dapat dicegah. Baringkan pasien dalam posisi fowler. Pasien dikatakan baik
bila dalam 12 jam tidak terjadi gangguan. Selama itu pasien dipuasakan. Bila
tindakan operasi lebih besar, misalnya pada perforasi atau peritonitis umum,
puasa diteruskan sampai fungsi usus kembali normal. Kemudian berikan
minum mulai  15 ml/jam selama 4-5 jam lalu naikkan menjadi 30 ml/jam. 
Keesokan harinya diberikan makan saring, dan hari berikutnya diberikan
makanan lunak. Satu hari pasca operasi pasien dianjurkan untuk duduk tegak
ditempat tidur selama 2 x 30 menit. Pada hari kedua pasien dapat berdiri dan
duduk  diluar kamar. Hari ketujuh jahitan dapat diangkat dan pasien
diperbolehkan pulang.

Terapi Definitive
Penatalaksanaan definitif appendicitis adalah dengan apendektomi. Rujuk
pasien ke rumah sakit dengan fasilitas ruang operasi untuk melakukan
apendektomi. Walau demikian, pada appendicitis akut dengan kondisi
khusus seperti tidak ada akses untuk operasi atau apendektomi berisiko
tinggi bagi pasien, pemberian terapi nonbedah berupa antibiotik dapat
menjadi pilihan.

Appendektomi dapat dilakukan dengan laparoskopi dan laparatomi.


Appendektomi melalui laparoskopi memiliki beberapa keunggulan yaitu
nyeri pasca operasi yang lebih ringan, hasil estetik yang lebih baik, risiko
infeksi yang lebih rendah, dan waktu penyembuhan yang lebih cepat.
Antibiotik dapat menjadi pilihan pada keadaan tertentu. Antibiotik yang
menjadi pilihan untuk appendicitis adalah antibiotik spektrum luas yang
mencakup bakteri aerob dan anaerob. Berikan antibiotik IV selama
perawatan dan dilanjutkan dengan antibiotik oral selama 7 hari. Contoh
antibiotik yang dapat menjadi pilihan adalah cefotaxime, levofloxacin,
metronidazole, gentamisin.
Penggunaan antibiotik bila dibandingkan dengan appendektomi dapat
bermanfaat pada appendicitis yang tidak memiliki komplikasi. Namun harus
diingat bahwa penggunaannya perlu mempertimbangkan tingkat edukasi
pasien dan askes terhadap layanan kesehatan. Pasien yang mampu mengerti
mengenai risiko kekambuhan serta memiliki akses yang baik terhadap
layanankesehatan dapat dipertimbangkan untuk mendapat antibiotik saja

Tindakan Keperawatan Utama

1. Posisikan pasien berbaring ditempat tidur.


2. Observasi terhadap diagnosa
3. Pemeriksaan abdomen dan rektum, sel darah putih dan hitung jenis di ulangi
secara periodik.
4. Lakukan foto abdomen dan thorak posisi tegak
5. Lakukan intubasi
6. Pemberian antibiotik preoperatif dianjurkan pada reaksi sistematik dengan
toksitas yang berat dan demam yang tinggi .

Anda mungkin juga menyukai