Carl Ransom Rogers lahir pada tanggal 8 Januari 1902, di Oak Park, Illinois, Amerika
Serikat. Ia merupakan anak keempat dari pasangan Walter A. Rogers dan Julia Cushing.
Keluarganya merupakan keluarga yang sangat religius dan konservatif.
Rogers tumbuh dalam lingkungan yang memberikan penghargaan pada pendidikan dan
kecerdasan. Sejak kecil, ia menunjukkan minat yang besar dalam mempelajari dunia dan
mencari pemahaman yang mendalam tentang kehidupan.
Pada awalnya, Rogers bermaksud untuk mengejar karir dalam agama, dan ia menjadi seorang
pendeta di gereja Baptis. Namun, ketertarikannya pada psikologi terus tumbuh, dan pada
tahun 1924, ia memutuskan untuk memasuki bidang tersebut.
Selama beberapa tahun, Rogers bekerja sebagai psikolog dan peneliti di beberapa lembaga,
termasuk Rochester Society for the Prevention of Cruelty to Children dan Society for the
Prevention of Cruelty to Children di New York City. Pengalamannya dalam bekerja dengan
anak-anak yang mengalami kesulitan emosional dan perilaku memberinya pemahaman yang
mendalam tentang pentingnya hubungan konseling yang mendukung.
Pada tahun 1940-an dan 1950-an, Rogers menjadi salah satu pendiri gerakan psikoterapi
humanistik. Ia mengembangkan pendekatan konseling yang dikenal sebagai Konseling
Berpusat pada Klien (Client-Centered Counseling) atau Konseling Rogerian. Pendekatan ini
menempatkan klien sebagai ahli dalam dirinya sendiri dan menekankan pentingnya empati,
penerimaan tanpa syarat, dan kehadiran terapeutik yang autentik.
Selama hidupnya, Rogers terus mengajar, menulis, dan memberikan kontribusi penting dalam
bidang psikologi. Ia juga mendirikan Center for Studies of the Person di La Jolla, California,
yang merupakan pusat riset dan pendidikan dalam pendekatan konseling dan psikoterapi
humanistik.
Carl Rogers meninggal dunia pada tanggal 4 Februari 1987, namun warisannya dalam bidang
psikologi dan pendekatan humanistik tetap relevan dan berpengaruh hingga saat ini
DINAMIKA KEPRIBADIAN
A. POSITIF REGARD
Penghargaan positif, dalam konteks teori kepribadian Carl Rogers, mengacu pada penerimaan
tanpa syarat, rasa hormat, dan cinta seorang individu oleh orang lain. Ini berarti sepenuhnya
menghormati dan menerima individu tanpa syarat atau penilaian negatif terhadap mereka.
Penghargaan positif melibatkan empati, pengertian, dan penerimaan yang hangat terhadap
pengalaman, perasaan, dan pandangan individu.
Namun, Rogers juga mengakui bahwa ada situasi di mana individu dapat mengalami
conditional positive respect, yaitu penerimaan dan penghargaan yang bergantung pada
pemenuhan persyaratan atau harapan tertentu. Hal ini dapat menyebabkan individu merasa
perlu memenuhi harapan orang lain atau mengabaikan dan menekan aspek dirinya yang tidak
disetujui demi mendapatkan rasa hormat. Penghargaan positif bersyarat dapat membatasi
perkembangan pribadi dan menghambat aktualisasi diri.
Dalam konteks terapi Rogerian, pendekatan konseling yang berpusat pada klien berusaha
memberikan penerimaan tanpa syarat dan penghargaan positif kepada klien. Terapis berusaha
untuk membangun hubungan empati, pengertian, dan penuh kasih dengan klien mereka,
sehingga menciptakan suasana di mana klien merasa didukung, diterima, dan dihargai
sepenuhnya. Hal ini memungkinkan klien untuk mengeksplorasi dan menerima aspek diri
mereka dengan lebih baik, mengembangkan kesadaran diri, dan mencapai pertumbuhan
pribadi
Ketika ada konsistensi antara konsep diri seseorang dan pikiran, perasaan, dan tindakan
mereka, individu mengalami rasa kesejahteraan psikologis dan keaslian. Di sisi lain,
ketidakkonsistenan atau kurangnya kesesuaian antara diri dan pengalaman seseorang
dapat menyebabkan tekanan psikologis, konflik batin, dan rasa ketidaksesuaian.
B. Kongruensi
Kesesuaian, dalam konteks teori Rogers, mengacu pada keselarasan atau keselarasan
antara konsep diri seseorang dan pengalaman aktual mereka. Itu melibatkan menjadi asli,
otentik, dan jujur pada diri sendiri. Kesesuaian dicirikan oleh individu yang secara
terbuka mengekspresikan pikiran, perasaan, dan pengalaman mereka tanpa mendistorsi
atau menyangkalnya agar sesuai dengan harapan masyarakat atau mencari persetujuan
dari orang lain.
Rogers percaya bahwa keselarasan adalah aspek penting dari kesejahteraan psikologis dan
pertumbuhan pribadi. Ketika individu kongruen, mereka mengalami rasa keutuhan,
harmoni, dan penerimaan diri. Mereka berhubungan dengan emosi dan nilai asli mereka,
dan mereka hidup sesuai dengan diri mereka yang sebenarnya daripada mengadopsi fasad
atau mencoba memenuhi standar eksternal.
Dalam konteks terapeutik, keselarasan adalah kualitas penting bagi terapis. Seorang
terapis yang kongruen adalah asli, transparan, dan otentik dalam interaksinya dengan
klien. Dengan mewujudkan kongruensi, terapis menciptakan ruang yang aman dan
menerima bagi klien untuk mengeksplorasi pikiran dan emosi mereka secara terbuka,
tanpa takut dihakimi atau ditolak.
Secara keseluruhan, konsistensi diri dan kongruensi adalah konsep yang saling
berhubungan dalam teori Rogers, menekankan pentingnya menyelaraskan konsep diri
seseorang dengan pengalaman aktual mereka dan hidup secara otentik untuk mendorong
pertumbuhan pribadi dan kesejahteraan psikologis.
C. AKTUALISASI DIRI
Aktualisasi diri, menurut Carl Rogers, adalah proses dimana individu mencapai potensi
penuh mereka dan menjadi diri mereka yang sebenarnya. Ini melibatkan pengembangan
diri yang mengarah pada kesejahteraan psikologis dan pertumbuhan pribadi.
Rogers berpendapat bahwa aktualisasi diri terjadi ketika individu mengalami kongruensi
atau keselarasan antara diri (self) dengan pengalaman aktualnya. Artinya, individu
menghargai dan menerima dirinya tanpa syarat, dan berani mengungkapkan dirinya
secara jujur dan terbuka.
Proses aktualisasi diri dapat didorong oleh lingkungan yang mendukung, terutama dalam
konteks hubungan terapeutik. Pendekatan konseling Rogerian menekankan pentingnya
penerimaan tanpa syarat dan empati dari terapis untuk membantu individu dalam
mencapai aktualisasi diri. Dalam lingkungan yang peduli dan menerima, individu dapat
merasa aman untuk mengeksplorasi, mengekspresikan, dan mengembangkan diri mereka
secara maksimal.
Melalui fasilitasi terapis, klien didorong untuk menjadi lebih sadar diri, mendapatkan
pemahaman yang lebih dalam tentang diri mereka sendiri, dan berupaya menyelaraskan
pikiran, perasaan, dan perilaku mereka dengan diri-sejati mereka. Hubungan terapeutik
menjadi katalis untuk aktualisasi diri, memungkinkan klien memanfaatkan potensi mereka
sendiri, membuat pilihan yang bermakna, dan menjalani kehidupan yang lebih memuaskan
dan otentik.
Secara keseluruhan, Rogers percaya bahwa dengan menyediakan lingkungan terapeutik yang
aman, empatik, dan menerima, terapis dapat membantu memfasilitasi perjalanan klien
menuju aktualisasi diri dan pertumbuhan pribadi.
Melalui pengembangan ide dan prinsip ini, Rogers menetapkan dasar dari sudut pandang
nondirektif dalam terapi. Pendekatannya memprioritaskan otonomi klien, pengarahan diri,
dan pertumbuhan pribadi, dan merevolusi bidang psikoterapi dengan mengalihkan fokus dari
terapis sebagai figur otoritas ke klien sebagai agen utama perubahan dalam kehidupan mereka
sendiri.
Penting untuk dicatat bahwa tingkat perubahan kepribadian yang ditimbulkan oleh hubungan
terapeutik bervariasi dari orang ke orang. Beberapa individu mungkin mengalami
transformasi yang mendalam, sementara yang lain mungkin mengalami perubahan yang lebih
halus. Hubungan terapeutik bertindak sebagai katalis untuk perubahan dengan menyediakan
kondisi dan dukungan yang diperlukan bagi individu untuk terlibat dalam eksplorasi diri,
penemuan diri, dan pertumbuhan pribadi.
Menurut Rogers juga Fully Functioning Person dicirikan oleh beberapa kualitas dan atribut
utama:
Openness to Experience: Orang yang berfungsi penuh terbuka untuk mengalami dan
menjelajahi berbagai emosi, pikiran, dan perspektif. Mereka menerima informasi baru,
bersedia menantang keyakinan mereka, dan merangkul kekayaan pengalaman hidup.
Existential Living: Orang yang berfungsi penuh hidup pada saat ini, sepenuhnya terlibat
dalam pengalaman mereka dan selaras dengan kebutuhan dan keinginan mereka sendiri.
Mereka tidak terlalu memikirkan masa lalu atau terlalu mengkhawatirkan masa depan.
Sebaliknya, mereka fokus pada hidup secara otentik dan bermakna di sini dan saat ini.
Trust in Inner Experience: Orang yang berfungsi penuh mempercayai pengalaman batin
mereka sendiri, termasuk emosi, intuisi, dan nilai-nilai mereka. Mereka memiliki rasa diri
yang kuat dan dipandu oleh kompas internal mereka sendiri daripada terlalu dipengaruhi oleh
ekspektasi atau tekanan eksternal.
Sense of Freedom and Autonomy: Orang yang berfungsi penuh merangkul kebebasan dan
otonomi pribadi. Mereka bertanggung jawab atas pilihan dan tindakan mereka, menyadari
bahwa mereka memiliki kekuatan untuk membentuk hidup mereka sendiri. Mereka tidak
merasa terkekang oleh norma masyarakat atau ekspektasi orang lain, melainkan mengikuti
jalan mereka sendiri.
Self-Actualization: Orang yang berfungsi penuh berkomitmen untuk aktualisasi diri, yang
melibatkan realisasi dan ekspresi potensi unik mereka. Mereka berjuang untuk pertumbuhan
pribadi, terus berusaha mengembangkan bakat, minat, dan kapasitas mereka. Mereka
didorong oleh motivasi batin untuk menjadi versi terbaik dari diri mereka sendiri.
Trust in Others and Genuine Relationships: Orang yang berfungsi penuh memiliki
kapasitas untuk hubungan yang dalam dan bermakna. Mereka mampu membentuk
kepercayaan dan koneksi otentik dengan orang lain, berdasarkan empati, rasa hormat, dan
saling pengertian. Mereka menghargai dan menghargai keunikan orang lain dan memupuk
hubungan yang mendukung dan memelihara.
Penting untuk dicatat bahwa orang yang berfungsi penuh bukanlah titik akhir atau keadaan
tetap, melainkan proses dinamis dari pertumbuhan dan aktualisasi diri yang berkelanjutan.
Rogers percaya bahwa individu memiliki kapasitas bawaan untuk berjuang menuju kondisi
kesehatan mental dan pemenuhan pribadi yang ideal ini, mengingat kondisi empati, keaslian,
dan penghargaan positif tanpa syarat yang tepat di lingkungan mereka, termasuk terapi.
Konsep seseorang yang berfungsi penuh berfungsi sebagai cita-cita aspiratif, menginspirasi
individu untuk menumbuhkan kesadaran diri, terlibat dalam pertumbuhan pribadi, dan
menciptakan kehidupan yang otentik, bermakna, dan selaras dengan diri mereka yang
sebenarnya.
INCONGRUENCE BETWEEN SELF AND EXPERIENCE
Ketidaksesuaian antara diri dan pengalaman, seperti yang dijelaskan oleh Carl Rogers,
mengacu pada keadaan di mana ada ketidaksesuaian atau ketidaksesuaian antara konsep diri
seseorang dan pengalaman atau persepsi mereka yang sebenarnya tentang diri mereka sendiri.
Ketika individu mengalami ketidaksesuaian, hal itu dapat menyebabkan tekanan psikologis
dan menghambat pertumbuhan dan kesejahteraan pribadi mereka.
melihat lebih dekat ketidaksesuaian antara diri dan pengalaman:
Self-Concept: Konsep diri mengacu pada keyakinan, persepsi, dan evaluasi individu tentang
diri mereka sendiri. Ini mencakup citra diri mereka, harga diri, dan perasaan mereka tentang
siapa mereka. Konsep diri dibentuk oleh berbagai faktor, termasuk pengalaman awal,
pengaruh sosial, dan refleksi diri.
Actual Experience: Pengalaman aktual mengacu pada situasi kehidupan nyata, interaksi, dan
peristiwa yang dihadapi individu. Itu mencakup pikiran, perasaan, perilaku, dan umpan balik
yang mereka terima dari orang lain. Pengalaman aktual menyediakan bahan mentah bagi
individu untuk menilai dan mengevaluasi diri mereka sendiri.
Incongruence: Ketidaksesuaian terjadi ketika ada perbedaan yang signifikan antara konsep
diri seseorang dan pengalaman aktual mereka. Misalnya, jika seseorang melihat dirinya
percaya diri dan mampu tetapi secara konsisten menghadapi situasi yang menantang
kepercayaan diri mereka dan membuat mereka meragukan kemampuan mereka,
ketidaksesuaian ini dapat menyebabkan konflik batin, kecemasan, dan rasa ketidakaslian.
Psychological Distress: Ketidaksesuaian antara diri dan pengalaman dapat menciptakan
tekanan psikologis. Ketika konsep diri individu dan pengalaman aktual mereka bertentangan,
mereka mungkin mengalami kebingungan, ketidakpuasan, dan rasa disonansi. Konflik batin
ini dapat menyebabkan ketidaknyamanan emosional, rendah diri, dan kesulitan dalam
mengelola emosi dan hubungan.
Hindrance to Growth: Ketidaksesuaian bertindak sebagai penghalang untuk pertumbuhan
pribadi dan aktualisasi diri. Ketika individu tidak berhubungan dengan pengalaman mereka
yang sebenarnya atau menyangkal aspek diri mereka yang tidak selaras dengan konsep diri
mereka, hal itu menghambat kemampuan mereka untuk sepenuhnya memahami dan
mengintegrasikan pengalaman mereka. Kurangnya kesesuaian ini menghambat kemampuan
mereka untuk belajar, beradaptasi, dan membuat perubahan yang berarti dalam hidup mereka.
Dalam terapi yang berpusat pada klien, mengatasi ketidaksesuaian antara diri dan
pengalaman merupakan fokus yang penting. Terapis menyediakan lingkungan yang
mendukung yang mendorong individu untuk mengeksplorasi dan menerima pemikiran,
perasaan, dan pengalaman mereka yang tulus. Melalui pemahaman empatik, terapis
membantu klien mengembangkan keselarasan yang lebih besar antara konsep diri mereka dan
pengalaman aktual mereka, mendorong pertumbuhan pribadi, dan kesejahteraan.
Dengan mengakui dan mengatasi ketidaksesuaian, individu dapat memperoleh kesadaran diri,
meningkatkan penerimaan diri mereka, dan menyelaraskan konsep diri mereka dengan
pengalaman hidup mereka. Proses ini mempromosikan kehidupan yang lebih otentik dan
memuaskan.
PERSONALITY DISORGANIZATION
Disorganisasi kepribadian mengacu pada suatu kondisi di mana seorang individu mengalami
gangguan atau gangguan yang signifikan dalam fungsi psikologis mereka dan integrasi
kepribadian mereka. Ini ditandai dengan kesulitan dalam mempertahankan rasa diri yang
koheren, identitas yang stabil, dan pola pemikiran, emosi, dan perilaku yang konsisten.
Disorganisasi kepribadian dapat bermanifestasi dalam berbagai cara dan dapat dikaitkan
dengan berbagai gangguan psikologis, trauma, atau faktor mendasar lainnya.
Berikut adalah beberapa aspek dan faktor utama yang terkait dengan disorganisasi
kepribadian:
Dissociation: Disosiasi adalah fitur umum dari disorganisasi kepribadian. Ini melibatkan
gangguan dalam integrasi normal kesadaran, ingatan, identitas, dan persepsi diri dan dunia
luar. Pengalaman disosiatif dapat berkisar dari detasemen ringan atau melamun hingga
episode disosiatif yang lebih parah atau gangguan identitas.
Emotional Instability: Individu dengan disorganisasi kepribadian sering bergumul dengan
disregulasi emosional dan perubahan suasana hati yang intens. Mereka mungkin mengalami
perubahan emosi yang cepat dan tidak dapat diprediksi, menyebabkan kesulitan dalam
mengatur dan mengekspresikan perasaan mereka dengan tepat.
Identity Diffusion: Difusi identitas mengacu pada kurangnya kejelasan dan stabilitas dalam
perasaan diri dan identitas pribadi seseorang. Individu dengan disorganisasi kepribadian
mungkin memiliki konsep diri yang terfragmentasi atau tidak konsisten, berjuang untuk
membentuk identitas yang koheren dan terintegrasi. Mereka mungkin merasa tidak yakin
tentang nilai, kepercayaan, tujuan, dan bahkan preferensi dasar atau sifat kepribadian mereka.
Impaired Interpersonal Relationships: Disorganisasi kepribadian dapat berdampak
signifikan pada kemampuan individu untuk membangun dan memelihara hubungan yang
stabil dan sehat. Kesulitan dalam mempertahankan pola perilaku yang konsisten, disregulasi
emosi, dan masalah identitas dapat mengganggu pembentukan keterikatan yang aman dan
mengembangkan hubungan yang bermakna dengan orang lain.
History of Trauma or Adversity: Disorganisasi kepribadian sering terjadi dalam konteks
trauma yang signifikan atau pengalaman hidup yang merugikan. Pelecehan, penelantaran,
atau bentuk kekerasan antarpribadi lainnya pada masa kanak-kanak dapat mengganggu
perkembangan normal struktur kepribadian dan berkontribusi pada disorganisasi kepribadian
di kemudian hari.
Associated Disorders: Disorganisasi kepribadian dapat muncul dalam berbagai gangguan
psikologis, seperti gangguan kepribadian borderline, gangguan stres pasca-trauma kompleks
(C-PTSD), dan gangguan disosiatif. Gangguan ini sering melibatkan gangguan pada identitas
diri, regulasi emosi, dan fungsi interpersonal.
Contoh penerapan konsep kepribadian Rogersian dalam kehidupan nyata adalah dalam
hubungan antara seorang guru dan murid di sekolah. Seorang guru yang menerapkan
pendekatan Rogersian akan menciptakan lingkungan kelas yang aman, penerimaan tanpa
syarat, dan menghargai keragaman individu. Guru ini akan mendengarkan dengan penuh
perhatian terhadap siswa, menunjukkan empati, dan memahami perspektif dan pengalaman
siswa.
Guru juga akan memfasilitasi pertumbuhan pribadi siswa dengan mendorong mereka untuk
mengembangkan pemahaman tentang minat, nilai-nilai, dan tujuan hidup mereka sendiri.
Mereka akan memberikan kebebasan kepada siswa untuk mengungkapkan diri mereka
dengan cara yang mereka pilih, serta memberikan dukungan dan dorongan dalam mencapai
potensi mereka.
Dalam hubungan ini, guru menghargai konsep diri siswa dengan mengakui kekuatan dan
kemampuan mereka, dan memberikan umpan balik yang konstruktif untuk membangun
konsep diri yang positif. Guru juga membangun hubungan yang saling percaya dengan siswa,
menciptakan lingkungan yang mendukung dan mendorong pertumbuhan pribadi mereka.
Contoh konkret dalam konteks konseling bisa berupa seorang konselor yang menerapkan
pendekatan Rogersian dalam membantu klien mengatasi masalah kecemasan sosial. Konselor
akan membangun hubungan yang penuh kepercayaan dengan klien, memberikan penerimaan
tanpa syarat, dan mendorong klien untuk mengungkapkan perasaan dan pengalaman mereka
terkait kecemasan sosial.
Konselor akan menggunakan pendekatan yang empatik dan mendengarkan dengan penuh
perhatian saat klien berbicara tentang kecemasan sosial yang mereka alami. Mereka akan
mencerminkan kembali pengalaman klien untuk membantu mereka mendapatkan pemahaman
yang lebih dalam tentang perasaan dan pikiran mereka.
Selain itu, konselor akan mendorong klien untuk mengembangkan kesadaran diri tentang
pola-pola pikiran dan perilaku yang terkait dengan kecemasan sosial mereka. Konselor dapat
membantu klien mengidentifikasi pemikiran negatif atau kekhawatiran yang muncul saat
berinteraksi sosial dan membantu mereka menggantinya dengan pemikiran yang lebih positif
dan realistis.
Konselor juga akan memberikan dukungan dan dorongan kepada klien untuk menghadapi
situasi-situasi sosial yang menimbulkan kecemasan. Mereka dapat menggunakan teknik-
teknik relaksasi atau visualisasi untuk membantu klien mengelola kecemasan mereka secara
efektif.
Selama proses konseling, konselor akan terus menghargai dan menghormati klien sebagai
individu yang memiliki keunikan dan potensi untuk pertumbuhan pribadi. Mereka akan
bekerja sama dengan klien untuk mengidentifikasi tujuan-tujuan yang dapat membantu klien
mengatasi kecemasan sosial dan mencapai kualitas hidup yang lebih baik.
Dengan pendekatan Rogersian, konselor membantu klien dalam proses pengembangan diri
yang melibatkan pengakuan dan penerimaan terhadap diri sendiri, pemahaman yang lebih
dalam tentang diri dan kebutuhan, serta kemampuan untuk mengambil tanggung jawab atas
perubahan dan pertumbuhan pribadi.
Dalam kasus ini, pendekatan Rogersian akan membantu klien mengembangkan rasa percaya
diri, mengatasi kecemasan sosial, dan meningkatkan kualitas hubungan sosial mereka
Terlalu individualistik: Kritik yang diajukan adalah bahwa pendekatan Rogersian terlalu
fokus pada individu dan kurang mempertimbangkan faktor-faktor sosial, budaya, dan
lingkungan dalam pengembangan kepribadian. Kritikus berpendapat bahwa konteks sosial
dan budaya memiliki peran yang signifikan dalam pembentukan kepribadian seseorang.