Anda di halaman 1dari 10

everdnandya

Stay Tuned, Gain Benefits!

PENDEKATAN KONSELING
NON – DIREKTIF
A.      Prinsip-prinsip Konseling Non-Direktif
1.        Pengertian Konseling Non-Direktif
Client-Centered Therapy  atau Psikoterapi Non-Direktif adalah suatu metode perawatan
psikis yang dilakukan dengan cara berdialog antara konselor dengan klien, agar tercapai
gambaran yang serasi antaraideal self (diri klien yang ideal) dengan actual self (diri klien
sesuai kenyataan yang sebenarnya).
2.        Ciri-ciri Hubungan Non-Direktif
a.         Menempatkan klien pada kedudukan sentral, klien aktif untuk mengungkapkan dan
mencari pemecahan masalah. Jadi, hubungan ini menekankan pada aktivitas klien dan
tanggung jawab klien sendiri.
b.         Konselor berperan hanya sebagai pendorong dan pencipta situasi yang
memungkinkan klien untuk bisa berkembang sendiri. Jadi, konselor berperan membantu
klien dalam merefleksikan sikap dan perasaan-perasaannya.
Ciri-ciri hubungan otoriter:
a.         Klien atau siswa adalah merupakan objek dari subjek yang memegang otoritas (guru,
orang tua, atau konselor). Sedangkan siswa/klien harus mengikuti dan taat kepada apa yang
digariskan oleh pemegang otoritas.
b.         Pemegang otoritas adalah orang yang paling tahu segala hal, dialah yang
menunjukkan, mencarikan atau memberikan jalan pada klien. Jadi, pemegang otoritas
adalah berperan sebagai faktor penentu bagi klien.
3.        Dasar Pandangan Non-Direktif tentang Individu
Konseling non-direktif sering pula disebut “client-centered counseling”, yang memberikan
suatu gambaran bahwa proses konseling yang menjadi pusatnya adalah klien, dan bukan
konselor. Karena itu, dalam proses konseling ini kegiatan sebagian besar diletakkan di
pundak klien itu sendiri. Dalam pemecahan masalah, maka klien itu sendiri didorong oleh
konselor untuk mencari serta menemukan cara yang terbaik dalam pemecahan masalahnya.
Konseling non-direktif dikembangkan oleh Carl R. Rogers guru besar dalam Psikologi dan
Psikiatri, Universitas Wisconsin, dan dipandang sebagai Bapak Konseling Non-Direktif (client-
centered counseling).
a)         Dasar filsafat Rogers mengenai manusia
Dasar filsafat Rogers mengenai manusia berorientasi kepada filosofi humanistic. Dasar
filsafat Rogers dimaksud ialah bahwa:
1)        Inti sifat manusia adalah positif, sosial, menuju ke muka, dan realistik.
2)        Manusia pada dasarnya adalah kooperatif, konstruktif, dan dapat dipercaya.
3)        Manusia mempunyai tendensi dan usaha dasar untuk mengaktualisasi pribadi,
berprestasi dan mempertahankan diri.
4)        Manusia mempunyai kemampuan dasar untuk memilih tujuan yang benar, dan
membuat pemilihan yang benar, apabila ia diberi situasi yang bebas dari ancaman.
b)        Pokok-pokok teori Rogers
Ada tiga pokok teori mengenai kepribadian yang di kemukakan oleh Rogers yang mendasari
teknik konselingnya. Di antaranya adalah sebagai berikut :
(1)     Organisme
       Organisme yaitu totalitas inividu yanf memiliki sifat-sifat sebagai berikut :
(a)      Bereaksi secara keseluruhan sebagai satu kesatuan yang teratur terhadap medan
phenomenal untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhannya.
(b)     Memiliki motif dasar, yaitu mengaktualisasi, mempertahankan dan mengembangkan
diri.
(c)      Organisme kemungkinan melambangkan pengalaman-pengalaman, sehingga menjadi
disadari atau menolak untuk melambangkan pengalaman-pengalaman tersebut sehingga
tetap tidak disadari, atau kemmungkinan tidak memperdulikan pengalaman tersebut.
(2)     Medan phenomenal
Medan phenomenal adalah keseluruhan pengalaman yang pernah dialami. Pengalaman
tersebut disadari atau tidak tergantung dari apakah pengalaman tersebut disimbolkan atau
tidak. Medan phenomenal hanya dapat mengetahui pengalaman seseorang melalui
kesimpulan atas dasar empatik (empatic inference). Kesadaran tercapai kalau pengalaman
itu disimbolisasikan.
Menurut Rogers, pengalaman terdiri dari :
a)        Pengalaman yang tersimbolisasikan, dan
b)        Pengalaman yang tidak tersimbolisasikan.
Organisme bereaksi terhadap kedua hal tersebut. Kemungkinan ada bahwa pengalaman
tidak dapat dites dengan kenyataan, sehingga mungkin dilaksanakan tindakan yang tak
realistis.
(3)     Self
Self merupakan bagian yang terpisah dari medan phenomenal, yang berisi pola pengalaman
dari penilaian yang sadar dari subjek. Dari pengalaman-pengalaman, seseorang akan dapat
membentuk pola pengamatan dan penilaian terhadap diri sendiri secara sadar baik okrang
tersebut sebagai objek. Self ini juga dinamakan juga self-concept (konsep diri).
Berkaitan dengan client-centered counseling dari Carl R. Rogers menyatakan bahwa
konseling yang berpusat pada klien haruslah dilandasi pada pemahaman klien tentang
dirinya. Atau dengan kata lain pendekatan. Rogers mentitikberatkan kepada kemampuan
klien untuk menentukan sendiri masalah-masalah yang terpenting bagi dirinya dan
memecahkan sendiri masalahnya. Campur tangan konselor sedikit sekali. Klien akan mampu
menghadapi sifat-sifat dirinya yang tidak dapat diterima lingkungannya tanpa ada perasaan
terancam dan cemas, sehingga ia menuju kearah menerima dirinya dan nilai-nilai yang
selama ini dimiliki dan dianutnya, serta mampu mengubah aspek-aspek dirinya sebagai
sesuatu yang dirasakan perlu diubah.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa konsepdiri (self-concept or self structure) adalah
merupakan gambaran seseorang tentang dirinya sendiri. Gambaran yang lengkap tentang
dirinya meliputi berbagai kemampuan, kelemahan, sifat-sifatnya, dan bagaimana hubungan
dirinya dengan lingkungannya. Jadi, konsep diri adalah bagaimana inividu menyadari dirinya
sendiri, dan mengenal dirinya sendiri.
c)         Teori kepribadian Rogers
Rogers memandangmanusia sebagai makhluk sosial, maju terus, rasional, dan realistik.
Manusia bukan robot atau mesin, bukan pula kumpulan dan reaksi-reaksi terhadap berbagai
respon dan bukan objek. Manusia itu adalah subjek yang utuh, aktif dan unik. Pendapat Carl
R. Rogers dirumuskan dalam 19 dalil (Carl R. Rogers Ph.D., Client-Centered Therapy,
Houghton-Mifflin Company, Boston 1962, halaman 483-424) disarikan sebagai berikut:
(1)          Tiap inividu ada dalam dua pengalamannya yang selalu berubah-ubah, yang
pusatnya adalah dia. Manusia selalu ada dalam dunianya, yang dunia sebagaimana
dihayatinya. Maknanya pada inividu bersangkutan. Karena itu sumber informasi yang paling
tepat mengenai seseorang adalah orang yang bersangkutan itu sendiri.
(2)          Organisme bereaksi terhadap medan termpat dia ada menurut penghayatannya
mengenai medan itu. Medan persepsi itu adalah realistas bagi inividu yang bersangkutan.
Sesuatu hal yang secara objektif sama mungkin berarti berbeda bagi inividu lain atau bagi
inividu yang sam dalam kondisi yang berlainan.
(3)          Organisme bereaksi terhadap medan phenomenal sebagai suatu kesatuan yang
terorganisasi. Apa yang dilakukan inividu dalam sesuatu keseluruhan, meliputi keseluruhan
kepribadiannya.
(4)          Organisasi mempunyai satu kencenderungan, dan dorongan dasar, yaitu
mangaktualisasikan, mempertahankan, dan meningkatkan organisme yang menghayati.
Pada diri inividu terdapat dorongan untuk maju dan dorongan untuk mengejar
perkembangan yang lebih lanjut dan meningkat, yang pada akhirnya mencapai aktualisasi
dir, yaitu pribadi yang dalam taraf optimal.
(5)          Perilaku pada dasarnya adalah terarah kepada tujuan, yang dilakukan oleh inividu
untuk memuaskan kebutuhannya sebagaimana dihayatinya dalam dunianya, yaitu dunia
menurut penghayatannya.
(6)          Emosi menyertai dan pada umumnya menunjang perilaku yang terarah pada
tujuan itu. Emosi ada sebagai dari reaksi total organisme terhadap phenomenalnya. Dengan
artilain dapat dikatakan bahwa kebanyakan cara-cara bertingkah laku yang diambil oleh
inividu adalah sesuai dengan konsep dirinya (self-concept). Sehingga cara yang terbaik
untuk mengubah perilaku adalah dengan terlebih dahulu mengubah konsep mengenai
dirinya.
(7)          Sudut pandang terbaik untuk memahami perilaku inividu adalah kerangka acuan
yang ada dalam diri inividu yang bersangkutan. Dengan arti lain bahwa untuk memahami
perilaku inividu ialah dengan cara memahami kerangka oreantsinya (bagaimana inividu
memandang dunia sekitarnya)
(8)          Suatu bagian dari medan penghidupan secara keseluruhan secara berangsur-
angsur terdefinisikan menjadi diri atau self.
(9)          Sebagai hasil dari interaksi dengan lingkungan, terutama sebagai hasil dari
interaksi evaluasi dengan orang-orang lain, terbentuklah “diri” itu, yaitu suatu konsep pola
kehidupan aku yang kenyal dan konsisten, yang padanya terletak pola sistem nilai. Atau
dengan kata lain “konsep diri” itu terbentuk karena inividu berinteraksi dengan lingkungan.
(10)      Nilai-nilai yang terletak pada pengalaman, dan nilai-nilai yang merupakan bagian
dari struktur diri, adalah nilai-nilai yang dihayati langsung oleh inividu atau yang
diintrojeksikan dari penghayatan orang lain, tetapi yang telah diwarnai oleh makna yang
diberikan oleh inividu yang bersangkutan. Jadi, nilai-nilai yang membentuk konsep diri itu
diperoleh inividu secara langusng atau dari orang lain.
(11)      Hal-hal dalam dunia pengalaman seseorang itu ditangkap oleh orang yang
bersangkutan dalam tiga cara, yaitu :
(a)           Dilambangkan, dihayati, dan diorganisasikan ke dalam hubungan tertentu dengan
diri,
(b)          Diabaikan karena tidak ada terlihat hubungan dengan struktur diri, atau
(c)           Ditolak atau dilambangkan dengan perubahan karena hal yang dihadapi itu tidak
konsisten dengan struktur diri.
Jadi, pengalaman yang diperoleh inividu, mungkin akan diterima dan dihubungkan dengan
konsep diri, mungkin pula ditolak, dibuang, atau disingkirkan karena tidak cocok dengan
konsep diri.
(12)      Kebanyakan cara-cara berperilaku yang dijalankan oleh inividu adalah perilaku yang
konsisten dengan konsep diri. Perilaku seseorang itu sejalan dengan konsep tentang dirinya.
(13)      Dalam beberapa hal perilaku mungkin ditimbulkan oleh pengalaman organik atau
kebutuhan yang belum dilambangkan. Perilaku yang demikian itu tidak konsisten dengan
struktur diri, tetapi yang demikian itu sebenarnya perilaku menjadi “bagian” dari inividu
yang bersangkutan atau perilaku itu dapat berasal dari  pengalaman dan dapat pula berasal
dari kebutuhan yang belum diketahui.
(14)      Penyesuaian  psikologis yang tidak baik terjadi bilamana organisme menolak
menyadari pengalaman-pengalaman dan viseral yang penting, yang karenanya
dilambangkan dan diorganisasikan ke dalam struktur diri. Apabila hal yang demikian ini
berlangsung, maka akan terjadi ketegangan psikologis. Ganguan psikologis (mental) terjadi
apabila inividu menolak kenyataan yang tidak sesuai dengan konsep dirinya.
(15)      Penyesuainan psikologis yang baik terjadi apabila diri itu memungkinkan semua
pengalaman sensoris dan viseral organisme dapat diasimilasikan dengan simbolik kedalam
relasasi yang konsisten dengan konsep diri.
(16)      Setiap pengalaman yang tidak konsisten dengan organissasi atau struktur diri
mungkin diamati sebagai ancaman, dan semakin banyak struktur pengalaman yang
demikian kukuhlah diri itu diorganissasikan, untuk mempertahankan diri.
(17)      Pada kondisi-kondisi tertentu, bila sama sekali tidak menimbulkan ancaman
terhadap struktur diri, maka pengalaman-pengalaman yang tidak konsisten dengan struktur
diri itu mungkin diamati, diuji, dan struktur diri direvis agar dapat mengasimilasi dan
mencakup pengalaman-pengalaman yang demikian itu. Dengan demikian, dapat dikatakan
apabila pengalaman baru itu tidak menimbulkan ancaman, maka pengalaman ini akan
diterima dan dapat merubah atau memperbaiki konsep diri.
(18)      Apabila inividu mengamati dan menerima semua pengalamannya yang sensoris dan
viseral kedalam suatu integral, maka ia akan dapat lebih memahami dan menerima orang
lain. Dengan arti  kata lebih sederhana dapat dikatakan, bahwa apabila pengalaman sosial
diterima dan membentuk konsep diri, kemudian inividu dapat memahami inividu lainnya,
maka ia pun akan lebih diterima oleh lingkungannya.
(19)      Apabila inividu mengamati dan menerima lebih banyak pengalaman organismenya,
maka ia akan menyadari bahwa ia sedang menggantikan sistem nilai-nilainya yang
sekarang dengan baru, dengan suati proses evaluasi organis.
Teori Rogers ini telah menjadi dasar pengembangan konseling non-direktif dan usaha-usaha
lain yang bertujuan membantu inividu untuk mengembangkan apa  yang telah ada pada
dirinya. Dengan memahami teori ini, maka akan dipahami pula hubungan dunia kehidupan –
pengalaman-konsep diri – penerimaan lingkungan – kondisi sehat mental.
4.        Karakteristik Konseling Non-direktif
Peran klien yang besar dibandingkan dengan konselornya dalam hubungan konseling adalah
merupakan karakterisisik utama dari konseling non-direktif.
Karakteristik untuk dari konseling non-direktif, masing-masing menekankan pada:
(a)      Tanggung jawab dan kemampuan klien dalam menghadapi kenyataan.
Seseorang berfungsi sempurna apabila memiliki pemahaman tentang dirinya sendiri,
terbuka terhadap pengalaman baru. Untuk memperoleh pemahaman akan dirinya, terbuka
hal-hal yang baru itu haruslan diberikan suatu kesempatan, pengalaman dan tanggung
jawab untuk menghadapi kenyataan. Kenyataan itu pada hakikatnya adalah sesuatu yang
diamati dan dialami inividu (Carl R. Rogers). Jadi, klien didorong untuk menentukan pilihan
dan keputusan serta tanggung jawab atas pilihan dan keputusan yang telah di ambilnya
(b)      Pengalaman-pengalaman sekarang.
Konseling non-direktif tidak beorientasi pada pengalaman masa lalu, tetapi menitikberatkan
pada pengalaman-pengalaman sekarang. Untuk mengungkapkan pengalaman dan
permasalahannya yang dihadapi sekarang ini (saat ini), konselor mendorong klien untuk
mengungkapkannya dengan sikap yang empatik, terbuka, asli (tidak berpura-pura), dan
permisif.
(c)      Konseling non-direktif tidak bersifat dogmatis.
Konseling non-direktif bukanlah suatu bentuk hubungan atau pendekatan yang bersifat kaku
atau merupakan suatu dogma. Tetapi merupakan suatu pola kehidupan yang berisikan
penukaran pengalaman, dimana konselor dan klien memperlihatkan sifat-sifat kemanusiaan
dan berpartisipasi dalam menemukan berbagai pengalaman baru.
(d)     Konseling non-direktif menekankan kepada persepsi klien.
Konseling ini mengutamakan dunia fenomenal dari klien. Konselor berusaha memahami
keseluruhan pengalaman yang pernah dialami (dunia fenomenal) dari klien dari sudut
pandang persepsi klien sendiri, apakah itu berupa persepsi klien tentang dirinya sendiri
maupun tentang dunia luar.
(e)      Tujuan konseling non-direktif ada pada diri klien dan tidak ditentukan oleh konselor.
Konseling non-direktif ini menempatkan klien pada kedudukan sentral, sedangkan konselor
berusaha membantu klien mengungkap dan menemukan pemecahan masalah oleh dirinya
sendiri. Jadi, tujuan konseling dengan sendirinya ada dan di tentukan oleh klien itu sendiri.
5.        Fungsi Konselor dalam Konseling Non-Direktif.
            Dalam konseling non-direktif ada beberapa fungsi yang perlu dipenuhi oleh seorang
konselor. Fungsi yang dimaksud, sebagai berikut :
(a)      Menciptakan hubungan yang bersifat permisif.
Menciptakan hubungan yang bersifat permisif, penuh pengertian, penuh penerimaan,
kehangatan, terhindar dari segala bentuk ketegangan, tanpa memberikan penilaian baik
positif maupun negatif. Dengan terciptanya hubungan yang demikian itu, secara langsung
dapat melupakan ketegangan-ketegangan, perasaan-perasaan, dan mempertahankan diri
klien. Menciptakan hubungan permisif bukan saja secara verbal tetapi juga secara
nonverbal.
(b)      Mendorong pertumbuhan pribadi
Dalam konseling non-direktif fungsi konselor bukan saja membantu klien untuk melepaskan
diri dari masalah-masalah yang dihadapinya, tetapi lebih dari itu adalah berfungsi untuk
menumbuhkan perubahan-perubahab yang fudamental (terutama perubahan sikap). Jadi,
proses hubungan konseling di sini adalah proses untuk membantu pertumbuhan dan
pengembangan pribadi klien.
(c)      Mendorong kemampuan memecahkan masalah.
Dalam konseling non-direktif, konselor berfungsi dalam membantu klien agar ia
mengambangkan kemampuan untuk memecahkan masalah. Jadi, dengan demikian salah
satu potensi yang perli dikembangkan atau diaktualisasikan diri klien adalah potensi untuk
memecahkan masalahnya sendiri.
6.      Persyaratan Sifat dan Sikap Seorang Konselor Non-Direktif.
            Beberapa persyaratan yang berhubungan dengan sifat dan sikap agar dapat
melaksanakan hubungan konseling non-direktif, diantaranya adalah sebagai berikut :
(a)                Kemampuan berempati.
Empati pada dasarnya adalah mengerti dan dapat merasakan orang lain (klien). Empati ini
akan lebih lengkap dan sempurna apabila diiringi oleh pengertian dan penerimaan konselor
tentang apa yang dipikirkan oleh klien. Empati adalah saling hubungan akan dua orang, dan
kuat lemahnya empati itu sangat bergantung pada saling pengertian dan penerimaan
terhadap suasana yang diutarakan oleh klien. Empati yang dalam, dapat dirasakan oleh
kedua belah pihak, yaitu baik oleh konselor maupun oleh klien itu sendiri
(b)               Kemampuan menerima klien.
Kemampuan konselor untuk benar-benar menerima klien sebagaimana adanya adalah
memegang peran penting dalam hubungan konseling. Dasar dari kemampuan ini adalah
penghargaan terhadap orang lain (dalam diri kllien) sebagai seorang yang pada dasarnya
baik. Dalam menerima klien ini ada dua unsur yang perlu diingat ialah :
a)      Konselor berkehenda untuk membiarkan adanya perbedaan antara konselor dengan
klien
b)      Konselor menyadari bahwa pengalaman yang akan dilalui oleh klien ada usaha yang
penuh dengan perjuangan, pembinaan, dan perasaan.
Penerimaan konselor terhadap klien secara langsung bersangkut paut dengan kemampuan
konselor untuk tidak memberikan penilaian tertentu terhadap klien.
(c)                Kemampuan untuk menghargai klien.
Seorang konselor non-direktif harus menghargai pribadi klien tanpa syarat apapun. Apabila
rasa dihargai dirasakan oleh klien, maka timbullah rasa percaya bahwa dirinya mempunyai
harga sebagai individu (tidak dipandang rendah/tidak berarti), maka klien akan berani
mengemukakan segala masalahnya, maka timbul pula keinginan bahwa dirinya berharga
untuk mengambil keputusan bagi dirinya sendiri. Konselor harus dapat menerima klien
sebagaimana adanya. Dengan sikap dan kemampuan yang dimiliki konselor untuk
menghargai klien tanpa syarat, serta menerima klien apa adanya secara langsung akan
membina hubungan yang akrab penuh rasa persahabatan, hangat, terbuka dengan
kliennya.
(d)               Kemampuan untuk memperhatikan.
Kemampuan memperhatikan menuntut keterlibatan sepenuhnya dari konselor terhadap
segala sesuatu yang dikemukakan oleh klien. Kemampuan ini memerlukan keterampilan
dalam mendengarkan dan mengamati untuk dapat mengetahui dan mengerti inti dari isi
dan suasana perasaan bagaimana yang diungkapkan klien. Melalui mendengarkan dan
mengamati itu konselor tidak hanya menangkap dan mengerti apa yang dikemukakan oleh
klien, tetapi juga bagaimana klien menyampaikan hal itu. Bagaimanapun juga, suka atau
tidak suka, klien menginginkan perhatian penuh terhadap apa yang diungkapkan oleh klien,
baik melalui kata-kata (verbal) maupun isyarat (non-verbal).
(e)                Kemampuan membina keakraban.
Keakraban merupakan syarat yang sangat penting demi terbinanya hubungan yang nyaman
dan serasi antara konselor dan klien. Keakraban ini akan tumbuh terus-menerus dan terbina
dengan baik apabila konselor benar-benar menaruh perhatian dan menerima klien dengan
permisif. Perhatian dan penerimaan yang murni (tidak semu dan palsu) ini sebenarnya tidak
dipaksakan, direncanakan ataupun dibuat-buat. Seorang konselor yang memaksakan dirinya
menaruh perhatian dan menerima klien, maka wujud perhatian itu tidak akan wajar,
ketidakwajaran itu sendiri akan mewarnai hubungan tersebut. Keakraban yang murni dan
wajar diwarnai oleh adanya perhatian, tanggapan, dan keterlibatan perasaan secara tulus
dan tanpa pamrih. Keakraban itu adalah lebih dalam dari hanya sekadar ucapan salam atau
mengenakkan hati klien. Lebih jauh dari itu keakraban itu merupakan keastuan suasana
hubungan yang ditandai oleh rasa saling percaya mempercayai, kerjasama, kesungguhan,
ketulusan hati, dan perhatian.
(f)                Sifat keaslian (gunuin)
Seorang konselor non-direktif harus memperlihatkan sifat keaslian dan tidak berpura-pura.
Kepura-puraan dalam hubungan konseling menyebabkan klien menutup diri. Jadi, proses
konseling non-direktif mengharapkan keterbukaan dari klien. Klien akan terbuka apabila
konselor dapat dipercaya dan bersungguh-sungguh.
(g)               Sikap terbuka
Konselin non-direktif mengharapkan adanya keterbukaan dari klien baik untuk
mengemukakan segala masalahnya maupun untuk menerima pengalaman-pengalaman.
Keterbukaan dari klien akan terwujud apabila ada keterbukaan dari konselor pula.
B.     Proses Konseling Non-Direktif
1.                           Ilustrasi Kasus
2.                           Tujuan
Secara umum tujuan yang ingin dicapai melalui pendekatan Konseling Non-Direktif adalah
untuk membantu klien agar berkembang secara optimal sehingga ia mampu menjadi
manusia yang berguna. Dimana tujuan dasar Konseling Non-Direktif secara rinci adalah
sebagai berikut:
1.    Membebaskan klien dari berbagai konflik psikologis yang dihadapinya.
2.    Menumbuhkan kepercayaan diri klien untuk mengambil satu atau serangkaian
keputusan yang terbaik bagi dirinya sendiri tanpa merugikan orang lain.
3.    Memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada klien untuk belajar mempercayai orang
lain dan memiliki kesiapan secara terbuka untuk menerima berbagai pengalaman orang lain
yang bermanfaat bagi dirinya sendiri.
4.    Memberikan kesadaran diri pada klien bahwa dirinya adalah merupakan bagian dari
suatu lingkup social budaya yang luas, dimana ia masih memiliki keunikan tersendiri.
5.    Menumbuhkan suatu keyakinan pada klien bahwa dirinya terus bertumbuh dan
berkembang (process of becoming).
6.                           Ciri-ciri Proses
Adapun ciri-ciri dalam pendekatan Konseling Non-Direktif, yaitu:
1.    Klien berperan lebih dominan daripada konselor. Dimana  konselor hanya sebagai
fasilitator atau cermin.
2.    Keputusan akhir tetap berada ditangan klien, sedangkan konselor berperan dalam
mengarahkan klien untuk mampu mengambil keputusan sendiri atas masalah yang
dihadapinya.
3.    Dalam proses Konseling Non-Direktif menekankan pada pentingnya hubungan yang
bersifat permisif, intim sebgai persyaratan mutlak bagi berhasilnya hubungan konseling.
Komunikasi antara konselor dan klien akan lebih mudah apabila berbentuk
keakraban  (raport), karena keakraban adalah dasar membentuk kepercayaan antara klien
dan konselor. Dimana konselor harus memberikan keleluasaan pada klien untuk
mengungkapkan perasaannya dan pada saat yang bersamaan konselor memisahkan semua
informasi yang relevan dengan tujuan dari konseling,
4.    Konselor harus benar-benar menerima klien apa adanya dan sebelum memberikan
bantuan konselor harus menghadapi klien dengan tulus sebagai individu yang berpotensi
untuk mengambil keputusan sendiri atas permasalahannya.
5.    Proses konseling tidak bisa ditentukan oleh konselor. Sehingga lebih cepat klien
mengungkapkan masalahnya, maka secepat itu pula konselor dapat mengarahkan klien
dalam menyelesaikan masalahnya.
6.    Empati menduduki tempat terpenting. Karena dengan empati konselor dapat mengerti
dan merasakan perasaan klien seutuhnya.
7.                           Langkah-langkah
Adapun menurut Carl R. Rogers, ada dua belas langkah yang dapat digunakan
sebagai  pedoman dalam melaksanakan konseling Non-Direktif. Namun kedua belas langkah
yang dikemukan itu bukanlah langkah yang baku, dapat diubah-ubah. Langkah-langkah
dimaksud adalah sebagai berikut:
1.    Klien datang untuk meminta bantuan kepada konselor secara sukarela.
Bila klien datang atas petunjuk seseorang, maka konselor harus mampu menciptakan
suasana permisif, santai, penuh keakraban dan kehangatan, serta terbuka, sehingga klien
dapat menetukan sikap dalam pemecahan masalahnya.
2.    Merumuskan situasi bantuan.
Dalam merumuskan konseling sebagai bantuan untuk klien , klien didorong untuk menerima
tanggung jawab untuk melaksanakan pemecahan masalahnya sendiri. Dimana dorongan ini
hanya bisa dilakukan apabila konselor yakin pada kemampuan klien untuk mampu
membantu dirinya sendiri.
3.    Konselor mendorong klien untuk mengungkapkan perasaannya secara bebas, berkaitan
dengan masalahnya.
Dengan menunjukkan sikap permisif, santai, penuh keakraban, kehangatan, terbuka, serta
terhindar dari ketegangan-ketegangan, memungkinkan klien untuk mengungkapkan
perasaannya, sehingga dirasakan meredanya ketegangan atau tekanan batinnya.
4.    Konselor secara tulus menerima dan menjernihkan perasaan klien yang sifatnya
negative dengan memberikan respons yang tulus dan menjernihkan kembali perasaan
negative dari klien.
5.    Setelah perasaan negative dari klien terungkapkan,maka secara psikologis bebannya
mulai berkurang. Sehingga ekspresi-ekspresi positif akan muncul, dan memungkinkan klien
untuk bertumbuh dan berkembang.
6.    Konselor menerima perasaan positif yang diungkapkan klien.
7.    Saat klien mencurahkan perasaannya secara berangsur muncul
perkembangan  terhadap wawasan (insight) klien mengenal dirinya, dan
pemahaman (understanding)serta penerimaan diri tersebut.
8.    Apabila klien telah memiliki pemahaman terhadap masalahnya dan menerimanya,
maka klien mulai membuat keputusan untuk melangkah memikirkan tindakan selanjutnya.
Artinya bersamaan dengan timbulnya pemahaman, muncul proses verfikasi untuk
mengambil keputusan dan tindakan memungkinkan yang akan diambil.
9.                           Dasar Pertimbangan Penggunaan
Pertimbangan yang menjadi pendorong digunakannya konseling Non-Direktif didasarkan
pada :
1.    Sifat Klien
Dalam proses konseling diharapkan konselor mampu memahami sifat-sifat kliennya secara
baik. Karena pada hakikatnya klien sebagai individu memiliki keunikan tersendiri.  Dimana
Konseling Non-Direktif sebagai suatu pendekatan memberikan keleluasaan pada klien yang
memiliki sifat-sifat: agresif, terbuka, terus terang, serta mampu mengungkapkan
masalahnya secara terus terang, bebas, dan lancar.
2.    Sifat Konselor
Sifat-sifat yang harus dimiliki oleh seorang konselor dalam Konseling Non-Direktif, yaitu:
1.                  Kemampuan dan kesediaan untuk menjadi pendengar yang baik. Disamping itu
juga bersedian untuk menyimak, mengkaji, dan menangkap apa yang diungkapkan oleh
klien.
2.                  Kemampuan menciptakan hubungan keakraban(raport). Karena  hal ini
merupakan dasar dalam membentuk kepercayaan dan pengertian antara konselor dan klien.
3.                  Kesediaan konselor untuk meluangkan waktu yang cukup banyak, karena
Konseling Non-Direktif berpotensi untuk memakan waktu yang lama.
4.    Sifat Masalah
Dalam Konseling  Non-Direktif pada dasarny dapat digunakan pada setiap masalah yang
dihadapi klien. Tetapi konseling ini lebih tepat digunakan untuk masalah-masalah yang
bersifat konflik psikologis. Konflik psikologis yang dimaksudkan adalah yang terkait dengan
ketegangan-ketegangan psikologis, sebagai akibat tertekannya individu oleh lingkungan
maupun dirinya sendiri.
5.                           Kelemahan dan Kelebihan
1.    Kelemahan
Penggunaan pendekatan konseling Non-Direktif memiliki beberapa keterbatasan:
1.                  Cara Pendekatan yang berpusat pada klien sedangkan waktu yang tersedia
terbatas. Sehingga bila konselor tidak mampu mengatur arah pembicaraan, maka akan
menyita banyak waktu dalam wawancara.
2.                  Keterbatasan kemampuan dan keberanian klien dalam menyampaikan
permasalahannya secara verbal.
3.                  Kesukaran klien dalam memahami kesukarannya sendiri
4.                  Pendekatannya menuntut kedewasaan klien dalam bersikap untuk memahami
dirinya dan memecahkan masalahnya sendiri.
5.                  Keterbatasan konselor dalam menghadapi masalah klinis akibat konselor
belum terlatih dalam masalah psikologis.
6.    Kelebihan
Pendekatan konseling Non-Direktif biasanya banyak membantu dalam proses konseling,
terutama bila :
1.                  Klien dalam kondisi emosional yang labil sehingga sulit berpikir logis
2.                  Konselor memiliki kemampuan yang cukup tinggi dalam menangkap emosi
yang ditonjolkan klien dan merefleksikan kembali ke klien dalam bahasa dan tindakan yang
sesuai.
3.                  Klien mampu merefleksikan dirinya baik itu perasaan maupun pikirannya
melalui penyampaian secara verbal.
4.                  Pendekatan ini sangat cocok dipergunakan sebab masalah klien tetap menjadi
tanggung jawab klien, sekalipun konselor memberikan beberapa bantuan berupa
pertanyaan penggali (probbing), namun penekanan tetap berpusat pada kemampuan
refleksi diri klien terhadap masalahnya.

Stay tuned, gain benefits! 


Share this:

 Click to email this to a friend (Opens in new window)


 Click to print (Opens in new window)
 Click to share on Facebook (Opens in new window)
 Click to share on Twitter (Opens in new window)
 Click to share on LinkedIn (Opens in new window)
 More

Related
Konseling DirektifIn "Psikologi"
PSIKOTERAPIIn "Psikologi"
Berkenalan dengan PsikologiIn "Psikologi"

By everdnandya • Posted in Psikologi • Tagged humanis, konseling, non direktif, psikologi


1
Post navigation
Catharsis in Psychology and Beyond: A Historic Overview
Konseling Direktif
One comment on “PENDEKATAN KONSELING NON
– DIREKTIF”
1. PINGBACK: Konseling Direktif « everdnandya
Leave a Reply

Search
Recent Posts
 (no title)
 (no title)
 (no title)
 (no title)
 (no title)
Categories
 Games
 Psikologi
 Tips and Tricks
 Uncategorized
Follow Blog
Enter your email address to follow this blog and receive notifications of new posts by email.

Stay Tuned, Gain Benefits!

Calendar
S M T W T F S
  1 2 3 4 5

6 7 8 9 10 11 12

13 14 15 16 17 18 19

20 21 22 23 24 25 26

27 28 29 30 31  
May 2012
« Apr   Jun »
My Tweet
Error: Please make sure the Twitter account is public.
 Follow

Anda mungkin juga menyukai