Anda di halaman 1dari 13

Konseling self

Pandangan Teori Konseling Self terhadap manusia


     Konseling yang berpusat pada klien (client-centreted) sering pula disebut dengan
konseling teori diri (self theory), konseling non-direktif dan konseling Rogerian. Konseling
self (client-Centred) ini dipelopori oleh Rogers. Menurut Rogers konseling dan psikoterapi
tidak mempunyai perbedaan. Konseling yang berpusat pada klien berkembang dengan pesat
di Amerika Serikat dan diterima sebagai konsep dan alat baru dalam terapi yang diterapkan
tidak hanya bagi orang dewasa akan tetapi juga bagi remaja dan anak-anak. Adapun asumsi
tentang manusia menurut Konseling self ini adalah sebagai berikut :
A. Manusia adalah rasional, tersosialisasikan dan dapat menentukan nasibnya sendiri.
b. Dalam kondisi yang memungkinkan, manusia akan mampu mengarahkan diri sendiri, maju
dan menjadi individu yang positif dan konstruktif.
                       
B. Struktur Kepribadian
            Rogers membentuk teori kepribadian berdasarkan tiga komponen pokok yaitu :
organisme, lapangan phenomenal dan self.
a.       Organisme
Istilah organisme menjelaskan individu secara totalitas. Organisme adalah sebuah sistem
yang diorganisir secara total dimana apabila salah satu bagian sistem berubah maka akan
mengakibatkan pula perubahan bagian yang lainnya”. Maka disini organisme menjelaskan
bahwa seseorang itu tercermin dari cara berpikir, cara bertingkah laku dan wujud fisik.
Menurut Rogers organisme bereaksi secara menyeluruh terhadap lapangan phenomenal dan
reaksi tersebut merupakan upaya untuk kebutuhan dasar, aktualisasi diri, dan sebagai simbol
reaksi terhadap pengalaman yang dihadapi.
b.      Lapangan Phenomenal
Lapangan phenomenal adalah keseluruhan pengalaman yang pernah dialami seseorang.
Setiap individu dalam kehidupannya secara terus menerus mengalami perubahan pengalaman
hidup dimana dia sendiri adalah pusat dari kejadian itu. Melalui lapanagn phenomenal
individu selalu mengalami perubahan terus menerus meliputi kejadian-kejadian eksternal dan
internal dari individu tersebut. Sebagian kejadian disadari (diterima secara sadar) dan
sebagian lagi diterima secara tidak sadar. Namun yang terpenting adalah apa yang dia terima
dari pengalaman yang dialaminya yaitu hal-hal yang dipersepsi dan yang dianggapnya
penting.
c.       Self
Menurut Rogers self berbeda dari lapangan phenomenal yang terdiri dari berbagai persepsi
dan nilai-nilai ”I” dan “me”. Menurut Rogers dalam konsep struktur kepribadian, self adalah
pusat dari struktur. Self menggerakkan organisme untuk berinteraksi dengan lingkungannya.
Begitu dia berinteraksi akan menimbulkan dua kemungkinan, bisa berinteraksi baik dengan
lingkungan atau malah mendistorsi nilai-nilai yang sudah dimiliki oleh orang lain. Maka
disini self berupaya menjaga konsisten perilaku organisme dan perilaku dirinya sendiri.
Pengalaman yang konsisten dengan konsep self dapat disebut berintegrasi, sedangkan yang
tidak maka akan diterima sebagai ancaman atau kendala. Sentral menurut konsep self adalah
segala sesuatu yang selalu berproses, bertumbuh dan berubah sebagai akibat dari interaksi
berkesinambungan dengan lapangan phenomenal

C. Perkembangan Kepribadian
            Semua perilaku manusia dimotivasi oleh self-actualization. Kepribadian merupakan
produk interaksi yang terus menerus antara organisme, lapangan fenomena dan self.
Karenanya kepribadian itu tidak statis, tetapi terus berkembang.
a)      Organismic Valuing Process ( OVP)
Pengalaman yang diperoleh seorang bayi saat dia gagal memenuhi  kebutuhannya akan
memberikan pesepsi tentang nilai-nilai negatif sedangkan pengalaman dimana ia dapat
memenuhi kebutuhannya akan memberikan nilai-nilai positif, proses mendapatkan nilai-nilai
positif dan negatif itulah yang dinamakan OVP. Dalam OVP nilai-nilai tidak pernah bertahan
tetap pada diri seseorang, karena nilai-nilai tersebut secara berkesinambungan akan
mengalami perubahan sesuai dengan pengalaman yang tersimbolisasi secara akurat.
b)      Positive Regard From Others (PRO)
Positive Regard From Others adalah kondisi dimana individu memulai menerima nilai-nilai
dari orang lain dibandingkan dengan nilai-nilai yang ia miliki, inilah yang akhirnya
membentuk evaluasi cara berfikirnya berdasarkan perilaku yang  dinilai orang lain.
c)      Self Regard (SRG)
Seorang mulai membangun penghargaan untuk dirinya sendiri berdasarkan persepsinya
terhadap penghargaan yang ia terima dari orang lain. Seseorang mulai mengendalikan
perilakunya baik atau buruk karena memperhatikan penilaian orang lain, tanpa peduli apakah
menurut diri sendiri tingkah laku itu baik atau buruk. Dengan kata lain memaksakan nilai-
nilai dari orang lain terhadap diri sendiri.
d)     Condition Of Worth (COW)
Individu berada dalam kondisi yang menunjukkan bahwa ia tidak dapat menilai diri sendiri
dengan ‘kaca mata’ positif tetapi dengan nilai-nilai yang dipaksakan. Sepertihalnya individu
memberikan nilai-nilai positif terhadap pengalaman yang tidak menyenangkan dan dia dapat
pula memberikan nilai-nilai negatif terhadap pengalaman yang menyenangkan.

D. Perkembangan kepribadian yang Normal


            Kondisi-kondisi yang membentuk perkembangan kepribadian normal adalah individu
secara terus menerus mengalami pengalaman positif berdasarkan penilaian dari orang lain.
Misalnya ”jika seorang anak selalu merasa dicintai oleh lingkungannya walaupun lingkungan
atau keluarganya itu tidak bisa menerima beberapa perilaku si anak tadi”. Jika individu terus
menerus dievaluasi secara positif oleh lingkungannya maka individu ini akan tumbuh
menjadi pribadi yang sehat”. Terdapat keseimbangan antara organisme, lapangan fenomena
dan self sebagai hasil dari interaksi individu untuk selalu berkembang. 

E. Perkembangan Tingkah Laku Salah Suai


            Salah suai terjadi apabila pengalaman organisme dan self tidak sejalan. Contoh ”
ketika pengalaman yang terjadi tidak cocok dengan nilai-nilai yang semestinya terjadi”.
Ibunya mengajari anak-anak tidak boleh bohong, tapi ketika ada seseorang mencari ibunya,
anak tadi disuruh untuk mengatakan bahwa ibunya tidak ada dirumah.
1.      Karakteristik Pribadi Salah Suai
a)      Estrangement (keterasingan)
Rogers berpendapat bahwa keterasingan adalah individu yang dalam perkembangannya
mendapat nilai-nilai tertentu yang tidak dapat membenarkan dirinya sendiri. Seorang anak
yang melakukan banyak hal yang dapat memuaskan dirinya tapi dapat menyebabkan orang
lain memberikan respon negatif kepadanya dan diapun menyadari bahwa apa yang
dilakukannya tersebut tidak dapat dibenarkan.
b)      Incongruity (Ketidaksesuaian tingkah laku)
Perilaku yang dianut individu berdasarkan dengan nilai-nilai yang tidak sesuai dengan self
konsep tetapi justru sejalan dengan pengalaman yang bertentangan dengan struktur
kepribadian. Ketidak sesuaian tingkah laku sebagai akibat dari perkembangan keadaan dan
ketidak sesuaian antara konsep diri dan pengalaman maka timbulah ketidaksesuaian  tingkah
laku karena ketidak mampuan menilai diri sendiri secara positif, kecuali nilai-nilai yang
dipaksakan. Hal ini sering menimbulkan kecemasan terhadap individu tersebut.
c)      Anxiety (Kecemasan)
Kecemasan muncul sebagai reaksi terhadap penolakan, merasa terancam, takut disakiti yang
akhirmya memicu bagaimana ia melakukan pembelaan terhadap dirinya.
d)     Defence Mechanism ( Mekanisme pertahanan)
Mekanisme pertahanan adalah tindakan yang dilakukan oleh individu untuk mempertahankan
diri agar persepsinya terhadap pengalaman yang terjadi tetap konsisten dengan struktur self
(yang salah tersebut).
e)      Maladaptive Behavior (Tingkah laku yang salah suai)
Perilaku menyimpang biasanya menggiring individu berada pada tingkat ketegangan atau
kecemasan, perilaku ini cenderung kaku (tidak fleksibel) karena adanya kerancuan persepsi
dirinya terhadap pengalaman yang sudah ia alami sendiri. Dampaknya individu tersebut tidak
mampu menjadi pribadi yang fleksibel, tidak bisa berbaur dengan lingkungan dan irasional.

F. Tujuan

1.      Pada dasarnya :
a)       Klien sendiri yang menentukan tujuan konseling.
b)      Membantu klien menjadi lebih matang dan kembali melakukan self-actualization
(SA) dengan menghilangkan hambatan-hambatannya.
2.      Secara lebih khusus : membebaskan klien dari lingkungan tingkah laku (yang dipelajarinya)
selama ini, yang semuanya itu membuat dirinya palsu dan terganggu dalam SA-nya .

G. Proses Konseling
            1. Kondisi-Kondisi Penting dalam Proses Konseling
a)      Kontak psikologis dengan klien
b)      Meminimalisasikan tingkat kecemasan klien
c)      Konselor harus tampil apa adanya
d)     Konselor memberikan penghargaan yang tulus
e)      Konselor harus empati dan mengerti keadaan klien
f)       Konselor mampu merubah persepsi klien
            2. Proses Konseling
a)      Dalam proses konseling konselor harus berupaya agar klien bebas mengekspresikan
perasaannya.
b)      Klaien merasa nyaman berada bersama konselor karena konselor tidak pernah merespon
negative
c)      Klien didorong sebanyak mungkin menggunakan kata ganti saya
d)     Klien didorong untuk melihat pengalaman-pengalamannya dari sudut yang realistic
e)      Klien didorong untuk kembali menjadi dirinya sendiri.
H. Teknik
            1. Kondisi yang diperlukan untuk proses konseling :
a)       Psychological contact (secara minimum harus ada).
b)      Minimum state of anxiety (MSA) : apabila klien merasa tidak enak dengan keadaannya
sekarang maka ia cenderung berkehendak untuk mengubah dirinya.
c)       Conselor genuiness : jujur, tulus, tanpa pamrih.
d)      Unconditioned positive regard and respect : Penghargaan yang tulus kepada klien (KTPS).
e)       Emphatic understanding : konselor benar-benar memahami kondisi internal klien,
merasakan jika seandainya konselor sendiri yang menjadi klien.
f)       Client perception : klien perlu merasakan bahwa kondisi-kondisi diatas memang ada.
g)      Concretness, immediacy, and confrontation : ini merupakan teknik-teknik khusus dalam
proses konseling.
            2. Pendekatan “jika-maka” (PJM)
a)       Jika konselor mampu menciptakan kondisi-kondisi di atas,maka proses konseling dapat
terjadi
b)      Jika  proses konseling dapat terjadi, maka suatu hal nyata (yaitu perubahan pada diri klien)
akan dapat diraih. Hasil ini mengacu pada kembalinya klien ke jalan menuju SA.
            3. Penerapan :
a)       Konselor menjadi alter ego bagi klien.
b)      Tanggung jawab dalam hubugan konseling diletakkan pada klien, bukan pada konselor.
c)       Waktu perlu dibatasi, hal ini disampaikan kepada klien.
d)      Fokus kegiatan konseling adalah terhadap individu klien, bukan terhadap masalah.
e)       Menekankan asas kekinian: disini dan sekarang.
f)       Diagnosis oleh konselor tidak perlu, klien mendiagnosis diri sendiri.
g)      Lebih menekankan aspek-aspek emosional dari pada intelektual.
h)      Konselor tidak perlu memberikan berbagai informasi kepada klien.
i)        Tes dipergunakan dengan amat sangat terbatas.

Konseling Gestalt
A. Pandangan teori konseling gestalt kepada manusia
Pendekatan konseling Gestalt  berpandangan bahwa manusia dalam kehidupannya selalu aktif
sebagai suatu keseluruhan. Setiap individu bukan semata-mata merupakan penjumlahan dari
bagian-bagian organ-organ seperti hati, jantung, otak, dan sebagainya, melainkan merupakan
suatu koordinasi semua bagian tersebut. Manusia aktif terdorong kearah keseluruhan dan
integrasi pemikiran, perasaan, dan tingkah lakunya
Setiap individu memiliki kemampuan untuk menerima tanggung jawab pribadi, memiliki
dorongan untuk mengembangkan kesadaran yang akan mengarahkan menuju terbentuknya
integritas atau keutuhan pribadi. Jadi hakikat manusia menurut pendekatan konseling ini
adalah : (1) tidak dapat dipahami, kecuali dalam keseluruhan konteksnya, (2) merupakan
bagian dari lingkungannya dan hanya dapat dipahami dalam kaitannya dengan lingkungannya
itu, (3) aktor bukan reaktor, (4) berpotensi untuk menyadari sepenuhnya sensasi, emosi,
persepsi, dan pemikirannya, (5) dapat memilih secara sadar dan bertanggung jawab, (6)
mampu mengatur dan mengarahkan hidupnya secara efektif.

Dalam hubungannya dengan perjalanan kehidupan manusia, pendekatan Konseling Gestalt


memandang bahwa tidak ada yang “ada” kecuali “sekarang”. Masa lalu telah pergi dan masa
depan belum dijalani, oleh karena itu yang menentukan kehidupan manusia adalah masa
sekarang.

Dalam pendekatan Konseling Gestalt ini, kecemasan dipandang sebagai “kesenjangan antara
saat sekarang dan kemudian”. Jika individu menyimpang dari saat sekarang dan menjadi
terlalu terpaku pada masa depan, maka mereka mengalami kecemasan.

Dalam pendekatan gestalt terdapat konsep tentang urusan yang tak selesai (unfinished


business), yakni mencakup perasaan-perasaan yang tidak terungkapkan seperti dendam,
kemarahan, kebencian, sakit hati, kecemasan, kedudukan, rasa berdosa, rasa diabaikan.
Meskipun tidak bisa diungkapkan, perasaan-perasaan itu diasosiasikan dengan ingatan-
ingatan dan fantasi-fantasi tertentu. Karena tidak terungkapkan di dalam kesadaran, perasaan-
perasaan itu tetap tinggal pada latar belakang dan di bawa pada kehidupan sekarang dengan
cara-cara yang menghambat hubungan yang efektif dengan dirinya sendiri dan orang lain.
Urusan yang tak selesai itu akan bertahan sampai ia menghadapi dan menangani perasaan-
perasaan yang tak terungkapkan itu.
B. Asumsi Tingkah Laku Bermasalah
Individu bermasalah kaena terjadi pertentangan antara kekuatan “top dog” dan keberadaan
“under dog”. Top dog adalah kekuatan yang mengharuskan, menuntut, mengancam. Under
dog adalah keadaan defensif, membela diri, tidak berdaya, lemah, pasif, ingin dimaklumi.
Perkembangan yang terganggu adalah tidak terjadi keseimbangan antara apa-apa yang harus
(self-image) dan apa-apa yang diinginkan (self).
1. Terjadi pertentangan antara keberadaan sosial dan biologis
2. Ketidakmampuan individu mengintegrasikan pikiran, perasaan, dan tingkah
lakunya
3. Mengalami gap/kesenjangan sekarang dan yang akan datang
4. Melarikan diri dari kenyataan yang harus dihadapi

Spektrum tingkah laku bermasalah pada individu meliputi :

1. Kepribadian kaku (rigid)


2. Tidak mau bebas-bertanggung jawab, ingin tetap tergantung
3. Menolak berhubungan dengan lingkungan
4. Memeliharan unfinished bussiness
5. Menolak kebutuhan diri sendiri
6. Melihat diri sendiri dalam kontinum “hitam-putih”.

C. Tujuan Konseling Gestalt

Tujuan utama konseling Gestalt adalah membantu klien agar berani mengahadapi berbagai
macam tantangan maupun kenyataan yang harus dihadapi. Tujuan ini mengandung makna
bahwa klien haruslah dapat berubah dari ketergantungan terhadap lingkungan/orang lain
menjadi percaya pada diri, dapat berbuat lebih banyak untuk meingkatkan kebermaknaan
hidupnya.

Individu yang bermasalah pada umumnya belum memanfaatkan potensinya secara penuh,
melainkan baru memanfaatkan sebagaian dari potensinya yang dimilikinya. Melalui
konseling konselor membantu klien agar potensi yang baru dimanfaatkan sebagian ini
dimanfaatkan dan dikembangkan secara optimal.

Secara lebih spesifik tujuan konseling Gestalt adalah sebagai berikut.

1. Membantu klien agar dapat memperoleh kesadaran pribadi, memahami kenyataan


atau realitas, serta mendapatkan insight secara penuh.
2. Membantu klien menuju pencapaian integritas kepribadiannya
3. Mengentaskan klien dari kondisinya yang tergantung pada pertimbangan orang
lain ke mengatur diri sendiri (to be true to himself)
4. Meningkatkan kesadaran individual agar klien dapat beringkah laku menurut
prinsip-prinsip Gestalt, semua situasi bermasalah (unfisihed bussines) yang
muncul dan selalu akan muncul dapat diatasi dengan baik.
D. Deskripsi Proses Konseling Gestalt

Fokus utama konseling gestalt adalah terletak pada bagaimana keadaan klien sekarang serta
hambatan-hambatan apa yang muncul dalam kesadarannya. Oleh karena itu tugas konselor
adalah mendorong klien untuk dapat melihat kenyataan yang ada pada dirinya serta mau
mencoba menghadapinya. Dalam hal ini perlu diarahkan agar klien mau belajar
menggunakan perasaannya secara penuh. Untuk itu klien bisa diajak untuk memilih dua
alternatif, ia akan menolak kenyataan yang ada pada dirinya atau membuka diri untuk melihat
apa yang sebenarnya terjadi pada dirinya sekarang.

Konselor hendaknya menghindarkan diri dari pikiran-pikiran yang abstrak, keinginan-


keinginannya untuk melakukan diagnosis, interpretasi maupun memberi nasihat.

Konselor sejak awal konseling sudah mengarahkan tujuan agar klien menjadi matang dan
mampu menyingkirkan hambatan-hambatn yang menyebabkan klien tidak dapat berdiri
sendiri. Dalam hal ini, fungsi konselor adalah membantu klien untuk melakukan transisi dari
ketergantungannya terhadap faktor luar menjadi percaya akan kekuatannya sendiri. Usaha ini
dilakukan dengan menemukan dan membuka ketersesatan atau kebuntuan klien.
Pada saat klien mengalami gejala kesesatan dan klien menyatakan kekalahannya terhadap
lingkungan dengan cara mengungkapkan kelemahannya, dirinya tidak berdaya, bodoh, atau
gila, maka tugas konselor adalah membuat perasaan klien untuk bangkit dan mau
menghadapi ketersesatannya sehingga potensinya dapat berkembang lebih optimal.

E. Deskripsi Fase-fase Proses Konseling Gestalt :

Fase pertama, konselor mengembangkan pertemuan konseling, agar tercapai situasi yang
memungkinkan perubahan-perubahan yang diharapkan pada klien. Pola hubungan yang
diciptakan untuk setiap klien berbeda, karena masing-masing klien mempunyai keunikan
sebagai individu serta memiliki kebutuhan yang bergantung kepada masalah yang harus
dipecahkan.

Fase kedua, konselor berusaha meyakinkan dan mengkondisikan klien untuk mengikuti
prosedur yang telah ditetapkan sesuai dengan kondisi klien. Ada dua hal yang dilakukan
konselor dalam fase ini, yaitu :

Membangkitkan motivasi klien, dalam hal ini klien diberi kesempatan untuk menyadari
ketidaksenangannya atau ketidakpuasannya. Makin tinggi kesadaran klien terhadap
ketidakpuasannya semakin besar motivasi untuk mencapai perubahan dirinya, sehingga
makin tinggi pula keinginannya untuk bekerja sama dengan konselor.

Membangkitkan dan mengembangkan otonomi klien dan menekankan kepada klien bahwa
klien boleh menolak saran-saran konselor asal dapat mengemukakan alasan-alasannya secara
bertanggung jawab.

Fase ketiga, konselor mendorong klien untuk mengatakan perasaan-perasaannya pada saat
ini, klien diberi kesempatan untuk mengalami kembali segala perasaan dan perbuatan pada
masa lalu, dalam situasi di sini dan saat ini. Kadang-kadang klien diperbolahkan
memproyeksikan dirinya kepada konselor.

Melalui fase ini, konselor berusaha menemukan celah-celah kepribadian atau aspek-aspek
kepribadian yang hilang, dari sini dapat diidentifikasi apa yang harus dilakukan klien.

Fase keempat, setelah klien memperoleh pemahaman dan penyadaran tentang pikiran,
perasaan, dan tingkah lakunya, konselor mengantarkan klien memasuki fase akhir konseling.

Pada fase ini klien menunjukkan gejala-gejala yang mengindikasikan integritas


kepribadiannya sebagai individu yang unik dan manusiawi.

Klien telah memiliki kepercayaan pada potensinya, menyadari keadaan dirinya pada saat
sekarang, sadar dan bertanggung jawab atas sifat otonominya, perasaan-perasaannya, pikiran-
pikirannya dan tingkah lakunya.

Dalam situasi ini klien secara sadar dan bertanggung jawab memutuskan untuk “melepaskan”
diri dari konselor, dan siap untuk mengembangan potensi dirinya.
Teknik Konseling Gestalt

Hubungan personal antara konselor dengan klien merupakan inti yang perlu diciptakan dan
dikembangkan dalam proses konseling. Dalam kaitan itu, teknik-teknik yang dilaksanakan
selama proses konseling berlangsung adalah merupakan alat yang penting untuk membantu
klien memperoleh kesadaran secara penuh.

Prinsip Kerja Teknik Konseling Gestalt


Penekanan Tanggung Jawab Klien, konselor menekankan bahwa konselor bersedia
membantu klien tetapi tidak akan bisa mengubah klien, konselor menekankan agar klien
mengambil tanggung jawab atas tingkah lakunya.
Orientasi Sekarang dan Di Sini, dalam proses konseling konselor tidak merekonstruksi
masa lalu atau motif-motif tidak sadar, tetapi memfokuskan keadaan sekarang. Hal ini bukan
berarti bahwa masa lalu tidak penting. Masa lalu hanya dalam kaitannya dengan keadaan
sekarang. Dalam kaitan ini pula konselor tidak pernah bertanya “mengapa”.
Orientasi Eksperiensial, konselor meningkatkan kesadaran klien tentang diri sendiri dan
masalah-masalahnya, sehingga dengan demikian klien mengintegrasikan kembali dirinya: (a)
klien mempergunakan kata ganti personal

klien mengubah kalimat pertanyaan menjadi pernyataan; (b)klien mengambil peran dan
tanggung jawab; (c) klien menyadari bahwa ada hal-hal positif dan/atau negative pada diri
atau tingkah lakunya

F. Teknik-teknik Konseling Gestalt


1. Permainan Dialog

Teknik ini dilakukan dengan cara klien dikondisikan untuk mendialogan dua kecenderungan
yang saling bertentangan, yaitu kecenderungan top dog dan kecenderungan under dog,
misalnya : (a) kecenderungan orang tua lawan kecenderungan anak; (b) kecenderungan
bertanggung jawab lawan kecenderungan masa bodoh; (c) kecenderungan “anak baik” lawan
kecenderungan “anak bodoh” (d) kecenderungan otonom lawan kecenderungan tergantung;
(e) kecenderungan kuat atau tegar lawan kecenderungan lemah

Melalui dialog yang kontradiktif ini, menurut pandangan Gestalt pada akhirnya klien akan
mengarahkan dirinya pada suatu posisi di mana ia berani mengambil resiko. Penerapan
permainan dialog ini dapat dilaksanakan dengan menggunakan teknik “kursi kosong”.

2. Latihan Saya Bertanggung Jawab

Merupakan teknik yang dimaksudkan untuk membantu klien agar mengakui dan menerima
perasaan-perasaannya dari pada memproyeksikan perasaannya itu kepada orang lain.

Dalam teknik ini konselor meminta klien untuk membuat suatu pernyataan dan kemudian
klien menambahkan dalam pernyataan itu dengan kalimat : “…dan saya bertanggung jawab
atas hal itu”.
Misalnya :

“Saya merasa jenuh, dan saya bertanggung jawab atas kejenuhan itu”
“Saya tidak tahu apa yang harus saya katakan sekarang, dan saya bertanggung jawab
ketidaktahuan itu”.
“Saya malas, dan saya bertanggung jawab atas kemalasan itu”.

Meskipun tampaknya mekanis, tetapi menurut Gestalt akan membantu meningkatkan


kesadaraan klien akan perasaan-perasaan yang mungkin selama ini diingkarinya.

3. Bermain Proyeksi

Proyeksi artinya memantulkan kepada orang lain perasaan-perasaan yang dirinya sendiri
tidak mau melihat atau menerimanya. Mengingkari perasaan-perasaan sendiri dengan cara
memantulkannya kepada orang lain.Sering terjadi, perasaan-perasaan yang dipantulkan
kepada orang lain merupakan atribut yang dimilikinya.

Dalam teknik bermain proyeksi konselor meminta kepada klien untuk mencobakan atau
melakukan hal-hal yang diproyeksikan kepada orang lain.

4. Teknik Pembalikan

Gejala-gejala dan tingkah laku tertentu sering kali mempresentasikan pembalikan dari
dorongan-dorongan yang mendasarinya. Dalam teknik ini konselor meminta klien untuk
memainkan peran yang berkebalikan dengan perasaan-perasaan yang dikeluhkannya.

Misalnya : konselor memberi kesempatan kepada klien untuk memainkan peran


“ekshibisionis” bagi klien pemalu yang berlebihan.

5. Tetap dengan Perasaan

Teknik dapat digunakan untuk klien yang menunjukkan perasaan atau suasana hati yang tidak
menyenangkan atau ia sangat ingin menghindarinya. Konselor mendorong klien untuk tetap
bertahan dengan perasaan yang ingin dihindarinya itu.

Kebanyakan klien ingin melarikan diri dari stimulus yang menakutkan dan menghindari
perasaan-perasaan yang tidak menyenangkan. Dalam hal ini konselor tetap mendorong klien
untuk bertahan dengan ketakutan atau kesakitan perasaan yang dialaminya sekarang dan
mendorong klien untuk menyelam lebih dalam ke dalam tingklah laku dan perasaan yang
ingin dihindarinya itu.

Untuk membuka dan membuat jalan menuju perkembangan kesadaran perasaan yang lebih
baru tidak cukup hanya mengkonfrontasi dan menghadapi perasaan-perasaan yang ingin
dihindarinya tetapi membutuhkan keberanian dan pengalaman untuk bertahan dalam
kesakitan perasaan yang ingin dihindarinya itu.
Konseling Behavioral
a. Pandangan teori
Behaviorisme adalah suatu pandangan ilmiah tentang tingkah laku manusia. Dalil dasarnya
adalah bahwa tingkah laku itu tertib dan bahwa eksperimen yang dikendalikan dengan cermat
akan menyingkapkan hukum – hukum yang mengendalikan tingkah laku. Behaviorisme
menitik beratkan pada perilaku individu. Menurutnya, perilaku individu ada karena adanya
stimulus (rangsangan eksternal). Reaksinya berupa gerak dan perubahan jasmani yang bisa
diamati secara objektif, serta bisa dipelajari dari luar. Manusia dikatakan sebagai makhluk
kebiasaan belaka sehingga dia bisa dijadikan sedemikian rupa, dengan jalan memberi
perangsangperangsang yang tepat dan momen yang baik, sehingga ada proses belajar dan
berlatih. Menurut Watson dalam Rosjidan (1988: 230) yang merupakan pelopor behaviorisme
radikal menyatakan bahwa reaksi-reaksi dan refleks-refleks bisa dikordinir dan
direkondisioner sehingga semua kebiasaan yang keliru bisa di-rekondisioner lagi. Sesuai
dengan pernyataan di atas, maka perilaku sosialpun bisa dirubah atau dikembangkan dari
perilaku sosial rendah menjadi perilaku sosial yang lebih tinggi. Menurut Santrock dan
Yussen dalam Semiawan, bahwa perilaku tersebut akan menjadi kebiasaan jika diulang-ulang
(semakin sering) perilakunya dimunculkan anak. Dalam pandangan behavioral, kepribadian
manusia itu pada hakikatnya adalah perilaku. Perilaku di bentuk berdasarkan hasil dari
segenap pengalamannya berupa interaksi individu dengan lingkungan sekitarnya. Tidak ada
manusia yang sama, karena kenyataannya manusia memiliki pengalaman yang berbeda dalam
kehidupannya. Kepribadian seseorang merupakan cerminan dari pengalaman, yaitu situasi
atau setimulus yang diterimanya. Corey dalam Koeswara, menyatakan ”bahwa pada dasarnya
terapi tingkah laku diarahkan pada :
b. Penetapan tujuan treatment secara rinci, yaitu treatment dispesifikasi dan
diuraiakan dalam sub-sub tujuan yang lebih khusus. Tujuan-tujuan tersebut
dimaksudkan untuk memperoleh tingkah laku yang maladaptif serta
memperkuat serta memepertahankan tingkah laku yang diinginkan,
c. Setelah tujuan terinci selanjutnya adalah menetapkan metodemetode yang
paling sesuai untuk mencapai tujuan-tujuan itu,
d. hasil-hasil terapi selanjutnya bisa dievaluasi. Evaluasi dapat dilakukan untuk
mengetahui keefektifan teknik-teknik yang digunakan berdasarkan pada
sejauh mana tujuan telah tercapai. Perlu diingat pula adalah bahwa proses
tersebut tetap melibatkan pemberian
b. Perkembangan kepribadian

Sebagian besar teori Skinner adalah tentang perubahan tingkah laku, belajar, dan modifikasi
tingkah laku, karena itu dapat dikatakan bahwa teorinya yang paling relevan dengan
perkembangan kepribadian. Bersama dengan banyak teoritikus, Skinner yakin bahwa
pemahaman tentang kepribadian akan tumbuh dari tinjauan tentang perkembangan tingkah
laku manusia dalam interaksinya yang terus menerus dengan lingkungan. Konsep kunci
dalam sistem Skinner adalah prinsip perkuatan, maka pandangan Skinner seringkali disebut
teori perkuatan operan. (E.Koswara,1991:331)

Konsep perkembangan kepribadian dalam pengertian menuju kemasakan, realisasi diri,


transendensi dan unitas kepribadian tidak diterima Skinner. Memang ada kemasakan fisik,
yang membuat orang menjadi berubah, lebih peka dalam menerima stimulus dan lebih
tangkas dan tanggap dalam merespon. Urutan kemasakan fungsi fisik yang bersifat universal
sesungguhnya memungkinkan penyusunan periodesasi perkembangan kepribadian, namun
tidak dilakukan Skinner karena dia memandang pengaruh eksternal lebih dominan dalam
membentuk tingkah laku.  Peran lingkungan yang dominan dalam perkembangan oraganisme,
digambarkan secara ekstrim oleh Watson sebagai pakar behavioris. (Alwisol,2005:413-414)

Keistimewaan kelompok respon ini menyebabkan Skinner memakai istilah “operan”. Operan
adalah respon yang beroperasi pada lingkungan dan mengubahnya. Perubahan dalam
lingkungan selanjutnya mempengaruhi terjadinya respon tersebut pada kesempatan
berikutnya. Skinner menyatakan dengan penuh keyakinan bahwa kepribadian tidak lain
adalah kumpulan pola tingkah laku, Skinner yakin kita dapat memprediksikan, mengontrol,
dan menjelaskan perkembangan-perkembangan ini dengan melihat bagaimana prinsip
perkuatan mampu menjelaskan tingkah laku individu pada saat ini sebagai akibat dari
perkuatan tahap respon-responnya dimasa lalu. Jadwal perkuatan juga dapat dibentuk dengan
mengabaikan faktor waktu dan banyaknya hadiah yang diperoleh itu semata-mata tergantung
pada tingkah lakunya sendiri. (Ferster dan Skinner,1957; Skinner,1969).

Skinner yakin bahwa pemerkuat-pemerkuat terkondisi atau pemerkuat-pemerkuat sekunder


sangat penting untuk mengontrol tingkah laku manusia. Perkuatan terkondisi merupakan
suatu konsep eksplanatorik atau penjelasan yang sangat bisa diandalkan. Jadi, pengertian
tentang perkuatan terkondisi adalah penting dalam sistem Skinner, dan seperti akan kita liat
bahwa Skinner menggunakannya secara efektif untuk menjelaskan dipertahankan atau
terpelihara banyak respon yang terjadi sebagai bagian dari tingkah laku sosial kita.

Pengertian tentang Generalisasi stimulus juga penting dalam sistem Skinner, sebagaimana
pengertian itu penting dalam semua teori kepribadian yang berasal dari belajar. Skinner tidak
merumuskan generalisasi stimulus maupun deskriminasi stimulus dalam arti proses
perseptual atau proses internal lainnya. Skinner merumuskan masing-masing konsep itu
sebagai hasil-hasil pengukuran respon dalam situasi eksperimental yang dikontrol secara
cermat. Kebanyakan aspek kepribadian muncul dalam suatu konteks sosial, dan tingkah laku
sosial merupakan ciri penting tingkah laku manusia pada umumnya. Satu-satunya ciri tingkah
laku sosial adalah fakta bahwa Skinner melibatkan interaksi antara dua orang atau lebih.
Selain itu, tingkah laku sosial tidak dipandang berbeda dari tingkah laku lainya, sebab
Skinner yakin bahwa prinsip-prinsip yang menentukan perkembangan tingkah laku dalam
suatu lingkungan yang terdiri dari benda-benda hidup.

2.2 Teknik Behavioral Gerald Corey dalam E. Koeswara, (1988: 211) menyatakan, dalam terapi
tingkah laku, teknik-teknik spesifik dapat digunakan secara sistematis, dan hasil-hasilnya bisa
dievaluasi. Teknik-teknik ini bisa diguanakan jika saatnya tepat untuk menggunakannya, dan banyak
diantaranya yang bisa dimasukan ke dalam praktek psikoterapi yang berlandaskan model-model lain.
Teknik-teknik spesifik yang akan diuraikan di bawah ini bisa ditetapkan pada terapi dan konseling
individu maupun kelompok. Teknik-teknik utama terapi tingkah laku diantaranya: a. Disentisisasi
sistematik, adalah salah satu teknik yang paling luas digunakan dalam terapi tingkah laku.
Disentisisasi sistematik digunakan untuk menghapus tingkah laku yang diperkuat secara negatif, dan
ia menyertakan pemunculan tingkah laku atau respon yang berlawanan dengan tingkah laku yang
hendak dihapuskan itu, disentisisasi diarahkan kepada mengajar klien untuk menampilkan suatu
respon yang tidak konsisten dengan kecemasan. b. Teori impolsive dan pembanjiran. Teknik
pembanjiran berlandaskan paradigma mengenai penghapusan eksperimental. Teknik ini terkurang
atas pemunculan stimulus berkondisi secara berulang-ulang tanpa pemberian penguatan. Teapis
memunculkan stimulus-stimulus penghasil kecemasan, klien membayangkan situasi, dan terapis
berusaha memepertahankan kecamasan klien. Stampfl yang diterjemahkan oleh Koeswara (1988:
215) mencatat beberapa contoh bagaimana terapi impolsive berlangsung. Ia melukiskan seseorang
klien yang mengalami kecendrungankecendrungan obsesif kepada kebersihan, klien akan mencuci
tangannya lebih dari seratus kali sehari dan memiliki ketakutan yang berlainan terhadap kuman. c.
Latihan asertif. Pendekatan behavioral yang dengan cepat mencapai popularitas adalah latihan
asertif, yang bisa diterapkan terutama pada situasi-situasi interpersonal dimana individu mengalami
kesulitan untuk menerima kenyataan bahwa menyatakan atau menegaskan diri adalah tindakan
yang layak atau benar. Gunarsa (2004 : 215) menyatakan bahwa, latihan asertif adalah salah satu
dari sekian banyak topik yang tergolong populer dalam terapi perilaku. Latihan asertif akan
membantu bagi orang-orang yang: (1) tidak mampu mengungkapkan kemarahan atau perasaan
tersinggung, (2) menunjukan kesopanan yang berlebihan atau selalu mendorong orang lain untuk
mendahuluinya, (3) memiliki kesulitan untuk menyatakan tidak “tidak”, (4) mengalami kesulitan
untuk mengungkapkan afeksi dan respon-respon positif lainnya, (5) merasa tidak punya hak untuk
memiliki perasaan-perasaan dan pikiran-pikiran sendiri. Pendekatan ini berlangsung menggunakan
metodemetode permainan peran. d. Terapi aversi. Teknik-teknik pengondisian aversi, yang telah
digunakan secara luas untuk meredakan gangguan-gangguan behavioral yang spesifik, melibatkan
pengengasosian tingkah laku simtomatik dengan satu stimulus yang menyakitkan sampai tingkah
laku yang tidak diinginkan terhambat kemunculannya. Stimulusstimulus aversi aversi biasanya
berupa hukuman dengan kejutan listrik atau pemberian ramuan yang membuat mual. Kendali aversi
bisa melibatkan penarikan pemerkuat positif atau penggunaan berbagai bentuk hukuman. Skinner
adalah salah satu tokoh yang terangterangan menentang penggunaan hukuman sebagai cara untuk
mengendalikan hubungan-hubungan manusia ataupun mencapai maksudmaksud lembaga-lembaga
masyarakat. Menurut Skinner, penguatan positif jauh lebih efektif dalam mengendalikan tingkah
laku karena hasil-hasilnya lebih bisa diramalkan serta kemungkinan timbulnya tingkah laku yang
tidak diinginkan akan lebih kecil. Skinner berpendapat bahwa hukuman adalah sesuatu yang buruk
yang meskipun bisa menekan tingkah laku yang diinginkan, tidak melemahkan kecendrungan untuk
merespon bahkan kalaupun ia untuk sementara menekan tingkah laku tertentu. Akibat-akibat yang
tidak diinginkan, menurut Skinner, berkaitan dengan penggunaan pengendalian aversif maupun
penggunaan hukuman (Suadnyana, 2020). e. Pengondisian operant salah satu aliran utama lainnya
dari pendekatan terapi yang berlandaskan teori belajar, melibatkan pemberian ganjaran kepada
individu atas pemunculan tingkah lakunya (yang diharapkan) pada saat tingkah laku itu muncul.
Pengkondisian operant ini dikenal juga dengan sebutan pengkondisian instrumental karena
memperlihatkan bahwa tingkah laku instrumental bisa dimunculkan oleh organis yang aktif sebelum
penguatan itu diberikan untuk tingkah laku tersebut. Skinner, yang dianggap sebagai pencetus
gagasan pengkondisian operant, telah mengembangkan prinsip-prinsip penguatan yang
dipergunakan pada upaya memperoleh pola-pola tingkah laku tertentu yang dipelajari. Dalam
pengkondisian operant, pemberian penguatan positif bisa memperkuat tingkah laku, sedangkan
pemberian penguatan negative bisa memperlemah tingkah laku. Tingkah laku berkondisi muncul
dilingkungan instrumental bagi perolehan ganjaran. Beberapa metode pengkondisian operant
adalah: penguatan positif, pembentukan respon, penguatan intermitan, penghapusan pencontohan
dan token economy. Dari beberapa jenis metode dalam konseling behavioral, peneliti hanya
menggunakan satu metode saja yaitu penguatan positif. Skinner mengungkapkan bahwa penguatan
positif jauh lebih efektif dalam mengendalikan tingkah laku karena hasil-hasilnya lebih bisa
diramalkan serta kemungkinan timbulnya tingkah laku yang tidak diinginkan akan lebih kecil.
Penguatan positif, pembentukan suatu pola tingkah laku dengan memberikan ganjaran atau
penguatan segera setelah tingkah laku yang diharapkan muncul, cara ini adalah cara yang cukup
ampuh dalam mengubah tingkah laku. Pemerkuat-pemerkuat, baik primer maupun sekunder,
diberikan untuk rentang tingkah laku yang luas.

Tujuan Konseling Behavioral


Mengahapus/menghilangkan tingkah laku maldaptif (masalah) untukdigantikan dengan tingkah laku baru
yaitu tingkah laku adaptif yang diinginkan klien.

Tujuan yang sifatnya umum harus dijabarkan ke dalam perilaku yang spesifik : (a) diinginkan oleh klien;
(b) konselor mampu dan bersedia membantu mencapai tujuan tersebut; (c) klien dapat mencapai tujuan
tersebut; (d) dirumuskan secara spesifik

Konselor dan klien bersama-sama (bekerja sama) menetapkan/merumuskan tujuan-tujuan khusus


konseling.

Anda mungkin juga menyukai