Anda di halaman 1dari 21

ASESMEN (OSERVASI, WAWANCARA, TES

PSIKOLOGI) & PERMASALAHAN DALAM


DIAGNOSA DAN KLASIFIKASINYA

Dosen Pengampu: Ernita Zakiah, M. Psi, Psikolog


Psikologi Klinis (Senin, 11.00)

Disusun Oleh:

Afilanda Mustika (1801617070)

Fauzi Budi P (1801617165)


Maura Adisty (1801617234)
Miftahurrozaq (1801617082)

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI


FAKULTAS PENDIDIKAN PSIKOLOGI
UNIVERSITAS NEGERI JAKARTA
2020
Observasi dalam Bidang Psikologi Klinis

Menurut Banister dalam (Poerwandari, 2001) observasi berasal dari bahasa


Latin yang memiliki arti melihat dan memperhatikan. Hasil dari observasi ini
merupakan salah satu sumber informasi penting untuk asesmen klinis. Dengan
menggunakan observasi, psikolog dapat melihat secara langsung apa yang
dilakukan subjek yang merupakan sasaran asesmen. Penggunaan observasi dapat
dilakukan pada situasi yang tepat seperti sekolah, rumah atau lingkungan tempat
bersosialisasi subjek. Namun tidak dipungkiri bahwa pengaruh bias dari observer
menjadi kekurangan pada metode ini (I.S. & Markam, 2003)

Hal yang menjadi dasar dari penilaian atas observasi ialah pemahaman
bahwa perilaku yang dilakukan dengan atau tanpa intensionalitas menunjukan atau
menjadi tanda dari suatu situasi kejiwaan. Jadi terdapat gejala yang ditampilkan
dalam tingkah laku dalam pengertian yang luas. Dalam (Wiramihardja, 2012),
menyebutkan bahwa terdapat tiga jenis tingkah laku, meliputi

a) Tingkah laku terbuka (overt) merupakakan jenis tingkah laku yang


memperlihatkan maksud secara jelas dan kasat mata. Misalnya seseorang
berjalan menghampiri makanan di meja untuk dimakan yang
menggambarkan bahwa ia lapar dan tertarik akan makanan di atas meja
tersebut. Tingkah laku overt ini ditampilkan dalam otot maupun kerangka
badan dalam ruang seperti berlari, berjalan, menari, dll.
b) Tingkah laku tertutup (covert) adalah tingkah laku yang gerak-geriknya
tidak langsung menyatakan maksudnya, seperti rasa malu atau marah yang
sering ditunjukan dalam wujud muka memerah, atau ketakutan yang
ditampilkan pada muka yang pucat.
c) Tingkah laku simbolik (symbolic) ialah kebiasaan atau cara berperilaku
tertentu yang maksud dan tujuannya harus ditafsirkan terlebih dahulu
dengan cara menafsirkan gerak sebagai simbol. Misalnya mengangkat bahu
sebagai simbol dari ketidaktahuan atau acuh
Dalam (I.S. & Markam, 2003) menerangkan bahwa terdapat lima keadaan
atau cara menerapkan observasi ini, diantaranya ialah :

1. Studi Lapangan
Keadaan ini tidak digunakan untuk mengontrol apa yang diobservasi,
melainkan membuat proses dari observasi tersebut dapat diandalkan
semaksimal mungkin. Hal ini dilakukan dengan merumuskan unit-unit
observasi dengan melatih observer atau menggunakan lebih dari satu
observer. Data yang diperoleh dari studi lapangan ini dibuat dengan
menggunakan skala ordinal atau skala nominal
2. Intropeksi
Keadaan ini juga disebut sebagai pengamatan diri sendiri dimana proses
asosiasi hanya dikontrol oleh subjek yang melakukan intropeksi. Asosiasi
bebas dikendalikan oleh observer atau clinician. Data mentah yang
dihasilkan merupakan laporan yang bersifat verbal dan dapat juga
menggunakan skala nominal ataupun ordinal
3. Studi Kasus
Merupakan observasi jenis historis yang didasarkan pada penggunaan
dokumen pribadi. Kontrol dapat dipermudah dengan menggunakan bentuk
standar dan pengembangan norma observer ataupun standar lain.
4. Observasi Klinis
Jenis ini memungkinkan memberikan kontrol dengan menggunakan situasi
standar seperti wawancara dan juga tes. Data mentah dari observasi ini
berupa catatan tingkah laku yang direkam atau ditulis oleh pemeriksa. Dapat
ditulis juga dengan skala nomina, ordinal maupun skala interval.
5. Observasi Eksperimental
Metode ini berbeda dari keempat metode lainnya, dimana obersever
menentukan lebih dahulu hal-hal apa saja yang akan diobservasi dan dimana
atau dari mana ia akan mendapatkannya.

Metode klinis terdiri dari observasi yang dikendalikan oleh wawancara dan
juga tes. Metode klinis digunakan untuk mendapatkan diagnosis informal
(personality description) maupun diagnosis formal (psychiatric description) atau
nama-nama penyakit kejiwaan. Dalam pemeriksaan psikologi klinis, deskripsi
kepribadian, diagnosis, prognosis, dan saran pada kepada orang yang diperiksa
didapatkan melalui data anamnesis, observasi dan juga tes.

Gambar 1.1
Bagan konsep metode klinis

Observasi merupakan bentuk pengamatan yang dilakukan seorang


psikolog terhadap pasien atau subjek. Menurut Wallen (1956) dalam (I.S. &
Markam, 2003), hal-hal berikut inilah yang dapat dilihat atau diamati dalam
penggunaan metode observsi ini, diantaranya ialah :

1. Penampilan Umum
Penampilan ini mencakup penampilan fisik secara keseluruhan seperti
bertubuh gemuk, kurus, atau tinggi. Selain itu, didapat pula data anamnesis
berupa pekerjaa, status perkawinan atau sebagainya, karena mungkin dapat
terjadi hubungan. Misalnya jika seorang klien merupakan seorang
peragawati wanita yang memiliki tubuh gemuk sekali, maka kenyataan ini
dapat memebri informasi tentang akibat-akibat lain yang mungkin terjadi.
Dari penampilan fisik terkadang dapat diduga adanya kelainan
hormonal.Selain penampilan fisik, gaya atau cara berpakaian, penataan
rambut seseorang juga perlu diamati karena seringkali mencerminkan
bagaimana klien dalam lingkungan sosisal dan bagaimana ia memandang
diri sendiri
2. Reaksi Emosi
Dalam wawancara, pemeriksa seringkali dapat merasakan adanya
suasanya wawancara tertentu, misalnya suasana lucu, sedih, tegang, atau
hostile. Jika menilai klien dalam suasana ini, hendaknya pemeriksa yakin
bahwa keadaan klien ini bukan sebab dari pemeriksa. Indikasi ketegangan
yang terlihat pada klien misalnya air mata berlinang, berkeringat di muka
atau tangan, mengeringnya bibir karena rasa takut atau cemas, perubahan
warna muka yang memerah atau pucat dan sebagainya. Kadang-kadang
didapati tremor yaitu gemetar pada jari atau bibir bila ia merasa dalam
keadaan tegang atau sikapnya tidak bisa tenang seperti sering merubah
posisi duduk, menggerakan kaki, dan sebagainya. Klien juga mungkin
menunjukan reaksi yang berlawanan jika berada dalam situasi yang tegang.
Hal ini dapat terlihat seperti suaranya yang memelan dan gerakannya yang
melambat. Klien dapat menunjukan suasana hati atau mood tertentu selama
pemeriksaan, bahkan pada gangguan yang berat, seringkali respons
emosional menjadi kurang atau sama sekali tidak ada.
3. Bicara
Penampilan hanya dapat memberikan kesan sepintas tentang diri
seseorang, karena penampilan seperti misalnya berpakaian dan ekspresi
emosi dapat diubah oleh klien yang bersangkutan. Sedangkan dalam hal
berbicara, klien dan pemeriksa dapat saling berhubungan untuk waktu yang
lebih lama. Hal ini dapat diobservasi melalui gaya bicara, corak bahasa,
bahasa yang digunakan, nada bicara, serta kata-kata yang digunakannya.
Terdapat klien yang selalu minta maaf, sering memberikan pembenaran atas
dirinya atau justifications dan sebagainya.
Beberapa gejala patologis dalam hal bicara bisa saja terjadi seperti
mengaga/stuttering, lipsing, slurred speech, aphasia. Stuttering atau
menggagap kadang-kadang disebabkan oleh organis. Lipsing merupakan
kesalahan dalam mengucapkan huruf-huruf mendesis yang biasanya
disebabkan oleh gangguan dari struktur lidah, gigi, rahang dan langit-langit
mulut. Slurred speech ialah bicara yang “tebal” oleh karena beberapa huruf
mati tidak diucapkan atau dihilangkan bunyinya. Sedangkan aphasia
merupakan kesulitan dalam berucap atau mengartikulasikan dan kesulitan
mencari kata yang artinya tepat untuk menyatakan pikirannya.
Wawancara dalam Bidang Psikologi Klinis

Wawancara didefinisikan sebagai “conversation with a purpose”,


wawancara ini dimaksudkan untuk mendapatkan informasi dan membangun
hubungan yang koorperatif serta banyak membantu (Bingham & Moore, 1924).
Wawancara klinis atau wawancara mendalam (depth interview) adalah wawancara
yang dilakukan untuk mengetahui latar belakang masalah dan gangguan seseorang
(Sumarmo Markam, 2015). Dinamakan wawancara mendalam karena terdapat
asumsi bahwa latar belakang gangguan seseorang belum tentu sama denan apa yang
ia katakannya secara sadar, sehingga pewawancara terkadang harus menggalinya
lebih dalam (Sumarmo Markam, 2015). Wawancara memiliki beberapa kelemahan
yaitu mudah terdistorsi oeh sifat pewawancara dan pertanyaan apa yang diajukan,
dipengaruhi oleh keadaan klien yang diwawancara, dan dipengaruhi oleh situasi
dan/atau keadaan tempat wawancara dilaksanakan (Sumarmo Markam, 2015).
Selain memiliki kelemahan wawancara juga memiliki kelebihan yaitu memiliki
metode asesmen yang relatif mudah dan murah, pelaksanaannya dapat dilakukan
dimana saja, dan alat asesmen yang paling fleksibel (Sumarmo Markam, 2015).
Wawancara memiliki beberapa tipe yaitu (Lestari dkk, 2016):

1. Intake Interview: terjadi pada proses awal asesmen, tujuannya


adalah untuk mengetahui alasan klien datang ke psikolog dan latar
belakang klien.
2. Case History: wawancara untuk mengetahui detail mengenai
kesehatan, keluarga, dll
3. Testing Orientation Interview: wawancara yang dilakukan
bersamaan denan psikotes atau setelah tes.

Dalam melakukan wawancara dibutuhkan keterampilan wawancara yaitu (Lestari


dkk, 2016):

• Ketarampilan wawancara klinis antara lain ramah dan santai, tetapi tetap
terkontrol: waktu, isi, cara menjawab (kapan pakai pertanyaan terbuka atau
hanya jawaban ya atau tidak dan kedekatan dengan klien.
• Keterampilan wawancara umum, antara lain mendengar dan berbicara,
tanggap akan emosi dari klien, mendengarkan secara mendalam (mendengar
kata-katanya, pikirannya, makna pribadinya bahkan makna didalam alam
bawah sadarnya.
• Keterampilan wawancara khusus antara lain, paraphrase, refleksi perasaan,
pengecekan persepsi, dan peka terhadap perbedaan perilaku, pikiran dan
juga perasaan.

Pada umumnya wawancara dilakukan dengan menanyakan data diri dan


kehidupan sehari-hari dari klien (Sumarmo Markam, 2015). Setelah pertanyaan
mengenai data diri objek seperti nama, alamat, pekerjaan, pendidikan didapat, maka
pertanyaan selanjutnya yang dilakukan dalam pemeriksaan klinis adalah mengenai
masalah/keluhan (Sumarmo Markam, 2015). Tahapan dalam melakukan
wawancara yaitu:pengaturan dan dimulainya wawancara (rapport), bagaimana
sebuah wawancara klinis dimulai biasa megumpulkan informasi, dan
menyimpulkan (Lestari dkk, 2016). Terdapat beberapa teknik bertanya yang
dikemukakan oleh Wallen (1956) dalam (Sumarmo Markam, 2015) sehubungan
dengan pengambilan anamnesis, teknik ini dapat digunakan sesuai dengan situasi
dan juga keperluan pemeriksaan. Teknik bertanya tersebut adalah:

1. Narrowing Question, dimulai dengan mengajukan pertanyaan luas,


kemudian disusul dengan pertanyaan mendetail.
2. Progressing Question, dimulai dengan memberikan pertanyaan mengenai
sesuatu yang dekat dengan apa yang ingin diketahui disusul dengan
pertanyaan secara progresif yang mengrah pada hal yang sesungguhnya
ingin diketahui.
3. Embedding Question, menyembunyikan pertanyaan yang lebih signifikan,
kedalam pertanyaan lain mengenai kegiatan yang dilakukan secara.
4. Leading Question, memberikan pertanyaan yang terarah pada sesuatu yang
ingin diketahui, dengan cara yang hati-hati.
5. Holdover Question, menunda suatu pertanyaan yang tiba tiba muncul dalam
pemikiran pemeriksa.
6. Projective Question, menanyakan pendapat klien/oran lain tentang hal-hal
tertentu, untuk mengetahui pandangan atau pendapat klien sesuai dengan
nilai yang diterapkan pada dirinya sendiri atau orang lain.
Setelah wawancara selesai dibutuhkan anamnesis sebagai data pendukung
wawancara. Anamnesis merupakan kegiatan menanyakan kepada klien mengenai
suatu persoalan yang dialaminya dan mengenai riwayat hidupnya. Anamnesis
terbagi menjadi 2 yaitu (Sumarmo Markam, 2015):

1. Autoanamnesis adalah klien menceritakan keluhan atau persoalan serta


riwayat hidupnya sendiri.

2. Alloanamnesis adalah keluhan atau persoalan serta riwayat hidup klien


ditanyakan kepada orang lain.

Tes Psikologi dalam Psikologi Klinis

Tes psikologi sangat banyak digunakan dan dibutuhkan pada aras mikro.
Hal ini dapat berguna untuk membantu dalam pengambilan keputusan. Dalam
bidang-bidang klinis, seperti psikiatri, psikotes dapat dipakai untuk mengambil
keputusan bagi pasien dalam hal menilai status pasien, misalnya menilai taraf
kebahayaan terhadap diri sendiri dan orang lain, tepat atau tidaknya ia
dirumahsakitkan, atau siap tidaknya ia kembali ke rumah. Tes psikologi dapat juga
digunakan untuk menentukan diagnosis, melihat gaya kognitif, hubungan sosial,
pola kepribadian ataupun kestabilan emosi pasien (Prawitasari, 2011).

Menurut Cronbach (Nietzel dkk, 1994) tes adalah prosedur sistematis untuk
mengamati dan menggambarkan perilaku seseorang dalam situasi standar. Tes
menyajikan serangkaian stimuli yang direncanakan (noda tinta, atau pertanyaan
benar-salah, misalnya) yang kemudian meminta klien untuk merespons soal
tersebut dengan cara tertentu. Respon klien nantinya akan dicatat sebagai hasil tes
atau skor yang akan digunakan sebagai sampel penilaian klinis.

Tes-tes psikologi yang biasanya diadministrasikan pada subjek antara lain


(Slamet & Markam, 2003) :

1. Tes Inteligensi Umum

Tes inteligensi umum diberikan untuk mengetahui tingkat kecerdasan pada


waktu kini untuk membandingkan keadaan kini dengan keadaan sebelum sakit.
Beberapa contoh tes inteligensi umum yang dapat digunakan yaitu tes Wechsler
Bellevue (WB), tes bourdon, dan tes kraepelin.

✓ Tes Wechsler Bellevue (WB) : pada tes ini kita dapat menghitung
deterioration rate yang bisa berguna untuk melihat ada atau tidaknya
kemunduran inteligensi.
✓ Tes Bourdon : tes ini dipakai untuk mengevaluasi konsentrasi, perhatian,
kecepatan bekerja untuk tugas-tugas yang rutin dan monoton, ketelitian
kerja, dan daya tahan dalam bekerja (Joelian dkk, 2015). Pada tes ini, testee
diminta untuk mencoret gambar titik-titik yang berjumlah 4 pada tiap baris,
mulai dari tepi kiri sampai tepi kanan dan lanjut pada baris dibawahnya
✓ Tes kraepelin : Tes ini dapat digunakan untuk melihat konsentrasi dalam
bekerjatestee akan diminta untuk menjumlahkan 2 buah angka mulai dari
angka paling bawah pada tiap-tiap lajur dalam batas waktu yang singkat

Pada tes bourdon dan tes Kraepelin perlu diberikan pada klien yang memiliki
keluhan sering lupa, sukar konsentrasi, sakit kepala, dll. Tujuannya adalah untuk
melihat kestabilan perhatian, ketelitian dan kecepatan kerja (Slamet & Markam,
2003)

2. Tes Proyeksi

Tes proyeksi merupakan hal yang penting dilakukan untuk pemeriksaan klinis
dengan tujuan mengungkapkan hal-hal yang kurang atau tidak disadari. Tes
proyeksi biasanya menggunakan stimulus yang tidak jelas dan tugas yang tak
terstruktur. Tes projektif biasanya diberikan secara individual (Joelian dkk, 2015).
Beberapa tes proyeksi, diantaranya ialah (Slamet & Markam, 2003):

✓ Tes Rorschach : Beberapa peneliti tes Rorschach telah menemukan


tanda-tanda adanya patologis pada tes itu, misalnya untuk gangguan
cemas, schizophrenia, psikosis dan lain-lain
✓ Thematic Apperception Test (TAT) : Tes ini dapat mengungkapkan
gambaran hubungan antarmanusia klien dengan orang-orang dalam
lingkungan sosialnya, konflik, fantasi, dll.
Bila dievalusi secara psikometrik, tes-tes proyeksi memiliki banyak
kelemahan. Diantaranya interpretasi bergantung pada keahlian dan pengalaman
klinis. Makin sering menggunakan tes proyeksi maka akan semakin mahir ia
membedakan antara respons normal dan respons abnormal (Prawitasari, 2011).

3. Tes Grafis

Tes ini paling digemari oleh psikolog di Indonesia karena memakan waktu yang
relative singkat dan kebanyakan menggunakan analisis kualitatif, tidak perlu sistem
skoring kuantitatif yang rumit. Kelemahannya seringkali pemeriksa terpengaruh
oleh keindahan gambar atau keterampilan menggambar klien dan melupakan segi
segi formal gambar seperti: ukuran gambar, jenis garis yang digunakan, tekanan
garis, penempatan gambar, dsb (Slamet & Markam, 2003).

✓ Tes wartegg adalah tes proyektif yang merupakan kombinasi dari teknik
completions dan expressions karena telah memiliki stimulus-stimulus yang
perlu diselesaikan dengan mengekspresikan suatu gambar. Hasil karya
wartegg kemudian lebih dikenal dengan istilah drawing completion test, hal
ini karena subjek diminta untuk melengkapi gambar-gambar kecil yang
telah tersedia dengan tujuan mengeksplorasi struktur kepribadian/ fungsi
fungsi dasar (Widiasavitri, 2016).
✓ Tes House, Tree, Person (HTP), pada tes ini, subjek diminta untuk
menggambar bebas tanpa ukuran berupa rumah, pohon, orang. Fungsi tes
ini untuk melihat interaksi di dalam keluarga. Dalam HTP pohon
dianalogikan sebagai ayah, rumah dianalogikan sebagai ibu, yang ideal
adalah ketika posisi pohon, rumah dan orang posisinya tidak terlalu
berjauhan dan orang tidak terlalu dekat dengan hanya dengan salah satu
gambar pohon/rumah (Widiasavitri dkk, 2016).

4. Tes Inventori Kepribadian

Tes inventori kepribadian akhir-akhir ini lebih banyak digunakan sebagai


pengganti tes proyeksi. Tes ini juga sangat banyak jenisnya, antara lain Eysenck
Personality Inventory (EPI), Minnessota Multiphasic Personality Inventory
(MMPI), Beck Depression Scale (BDI), Taylor Manifest Anxiety Scale (TAMAS),
State Trait Anxiety, dll. Ada juga skala untuk mengetahui keadaan normal-abnormal
seseorang, misalnya Positive Negative Affect Scale, skala hostility, dll (Slamet &
Markam, 2003).

✓ Minnessota Multiphasic Personality Inventory (MMPI, sekarang


MMPI-2) adalah penilaian yang paling banyak digunakan di dunia untuk
gejala klinis dan kepribadian. Tes MMPI dapat digunakan untuk
membedakan kelompok normal dan abnormal dalam penegakkan
diagnosis gangguan psikiatrik dan psikologis, serta untuk memprediksi
potensi neurotik atau psikotik dari seorang individu sebelum tanda klinis
muncul (Putri, 2018).

Diagnosis Multiaksial

Diagnosis multiaksial berasal dari dua kata, yaitu Diagnosis dan


Multiaksial. Diagnosis dalam KBBI berarti penentuan jenis penyakit/gangguan
dengan cara meneliti atau memeriksa gejala-gejalanya. Sedangkan multiaksial
berarti lebih dari satu aksis. Jadi diagnosis multiaksial adalah suatu proses dalam
klinis untuk menemukan atau menentukan jenis gangguan dengan cara memeriksa
gejala-gejalanya yang berdasarkan pada aksis-aksis yang terdapat pada DSM IV,
DSM IV-TR, dan DSM V atau PPDGJ III atau ICD 10.

Diagnosis multiaksial ini merupakan penggolongan gangguan kesehatan


mental yang terdiri dari lima aksis. Berikut ini merupakan penjelasan mengenai
kelima aksis tersebut menurut DSM IV-TR:

• Aksis I : Berisi tentang gangguan klinis dan kondisi lain yang menjadi fokus
perhatian klinis
o Aksis I berisi tentang semua berbagai gangguan atau kondisi dalam
Klasifikasi kecuali untuk Gangguan Kepribadian dan
Keterbelakangan Mental
o Jika ada lebih dari satu gangguan Aksis, diagnosis utama atau alasan
kunjungan (reason for visit) harus ditunjukkan dengan memasukkan
ke dalam daftar terlebih dahulu.
o Ketika seorang individu memiliki gangguan Aksis I dan Axis II,
diagnosis utama atau alasan kunjungan akan dianggap pada Aksis I
kecuali diagnosis Aksis II diikuti oleh frasa kualifikasi "(Diagnosis
Utama/Principal Diagnosis)" atau "(Alasan untuk
mengunjungi/Reason for Visit)."
o Jika seseorang memiliki lebih dari satu gangguan di Aksis I, maka
semuanya harus dilaporkan
o Jika tidak ada gangguan Aksis I, ini harus dikodekan sebagai
V71.09.
o Jika diagnosis Aksis I ditunda, sambil menunggu pengumpulan
informasi tambahan, ini harus diberi kode 799.9.

• Aksis II : Gangguan kepribadian dan retardasi mental


o Di dalam Aksis II ini merupakan ciri atau gangguan kepribadian
yaitu pola perilaku yang menetap (kebiasaan, sifat) yang tampak
dalam persepsi tentang diri dan lingkungan (yang akan ditampilkan
dalam pola interaksi dengan orang lain).
o Ini juga dapat digunakan untuk mencatat kepribadian maladaptif
yang menonjol dan mekanisme pertahanan.
o Jika seorang individu memiliki lebih dari satu diagnosis Aksis II,
semua harus dilaporkan
o Ketika seseorang memiliki diagnosis Aksis I dan Aksis II dan
diagnosis Aksis II adalah diagnosis utama atau alasan kunjungan, ini
harus ditunjukkan dengan menambahkan frasa kualifikasi
"(Diagnosis Utama/Principal Diagnosis)" atau "(Alasan untuk
mengunjungi/Reason for Visit)."
o Jika tidak ada gangguan Aksis II, ini harus diberi kode V71.09.
o Jika diagnosis Aksis II ditunda, sambil menunggu pengumpulan
informasi tambahan, ini harus diberi kode 799.9.
• Aksis III : Kondisi medik secara umum atau penyakit fisik
o Aksis III ini merupakan penyakit atau kondisi fisik, khususnya yang
perlu diperhatikan dan menjadi penyebab munculnya gangguan
yang dituliskan pada Aksis I.
o Aksis III adalah untuk melaporkan kondisi medis umum saat ini
yang berpotensi relevan dengan pemahaman atau manajemen
gangguan mental individu.
o Ketika seorang individu memiliki lebih dari satu diagnosa Aksis III
yang relevan secara klinis, semua harus dilaporkan.
o Jika tidak ada kelainan Aksis III, ini harus diindikasikan dengan
notasi "Aksis III: Tidak ada."
o Jika diagnosa Aksis III ditangguhkan, sambil menunggu
pengumpulan informasi tambahan, ini harus ditunjukkan dengan
notasi "Aksis III Ditangguhkan.

• Aksis IV : Masalah psikososial dan lingkungan


o Aksis IV adalah untuk melaporkan masalah psikososial dan
lingkungan yang dapat mempengaruhi diagnosis, perawatan, dan
prognosis gangguan mental (Aksis I dan II).
o Masalah psikososial atau lingkungan mungkin merupakan peristiwa
kehidupan yang negatif, kesulitan atau kekurangan lingkungan,
tekanan keluarga atau interpersonal lainnya, kurangnya dukungan
sosial atau sumber daya pribadi, atau masalah lain yang berkaitan
dengan konteks di mana kesulitan seseorang telah berkembang.
o Ketika seorang individu memiliki beberapa masalah psikososial atau
lingkungan, psikiater mungkin mencatat sebanyak yang dinilai
relevan.
o Secara umum, dokter harus mencatat hanya masalah-masalah
psikososial dan lingkungan yang telah ada selama tahun sebelum
evaluasi saat ini.
o Namun, psikiater dapat memilih untuk mencatat masalah psikososial
dan lingkungan yang terjadi sebelum tahun sebelumnya jika ini jelas
berkontribusi pada gangguan mental atau telah menjadi fokus
pengobatan.
o Ketika masalah psikososial atau lingkungan adalah fokus utama
perhatian klinis, itu juga harus dicatat pada Aksis I, dengan kode
yang berasal dari bagian "Kondisi Lain yang Mungkin Menjadi
Fokus Perhatian Klinis".
o Aksis IV dibagi menjadi beberapa kelompok, yaitu:
o Masalah dengan “primary support group” (keluarga),
seperti: Kematian anggota keluarga; masalah kesehatan
dalam keluarga; gangguan keluarga dengan perpisahan,
perceraian, atau pengasingan; pemindahan dari rumah;
pernikahan kembali orang tua; pelecehan seksual atau fisik;
perlindungan orangtua yang berlebihan; pengabaian anak;
disiplin yang tidak memadai; perselisihan dengan saudara
kandung; kelahiran saudara kandung
o Masalah berkaitan dengan lingkungan sosial, seperti:
Kematian atau kehilangan teman; dukungan sosial yang
tidak memadai; hidup sendiri; kesulitan dengan akulturasi;
diskriminasi; penyesuaian ke transisi siklus hidup (seperti
pensiun)
o Masalah pendidikan, seperti: Buta huruf; masalah
akademik; perselisihan dengan guru atau teman sekelas;
lingkungan sekolah yang tidak memadai
o Masalah pekerjaan, seperti: Pengangguran; ancaman
kehilangan pekerjaan; jadwal kerja yang penuh tekanan;
kondisi kerja yang sulit; ketidakpuasan kerja; perubahan
pekerjaan; perselisihan dengan bos atau rekan kerja
o Masalah perumahan, seperti: Tuna wisma; perumahan
yang tidak memadai; lingkungan yang tidak aman;
perselisihan dengan tetangga atau pemilik
o Masalah ekonomi, seperti: Kemiskinan ekstrem; keuangan
yang tidak memadai; dukungan kesejahteraan yang tidak
mencukupi
o Masalah akses ke pelayanan kesehatan, seperti: Layanan
perawatan kesehatan yang tidak memadai; transportasi ke
fasilitas perawatan kesehatan tidak tersedia; asuransi
kesehatan yang tidak memadai
o Masalah berkaitan interaksi dengan hukum/kriminal,
seperti: penangkapan; penahanan; proses pengadilan; korban
kejahatan
o Masalah psikososial dan lingkungan lain, seperti: Paparan
bencana, perang, permusuhan lainnya; perselisihan dengan
pengasuh non keluarga seperti konselor, pekerja sosial, atau
dokter; tidak tersedianya agen layanan sosial

• Aksis V : Penilaian fungsi secara global


o Aksis V adalah untuk melaporkan penilaian dokter terhadap
keseluruhan tingkat fungsi individu. Informasi ini berguna dalam
merencanakan perawatan dan mengukur dampaknya, dan dalam
memprediksi hasil.
o Pelaporan fungsi secara keseluruhan pada Aksis V dapat dilakukan
dengan menggunakan Skala Global Assessment of Functioning
(GAF). Skala GAF harus dinilai sehubungan dengan fungsi
psikologis, sosial, dan pekerjaan.
o Skala GAF dibagi menjadi 10 rentang fungsi. Membuat peringkat
GAF melibatkan memilih nilai tunggal yang paling mencerminkan
tingkat fungsi keseluruhan individu.
o Deskripsi setiap rentang 10-titik dalam skala GAF memiliki
komponen-komponen yang berbeda: bagian pertama mencakup
tingkat keparahan gejala, dan bagian kedua mencakup fungsi.
o Peringkat GAF berada dalam desil tertentu jika tingkat keparahan
gejala atau tingkat fungsinya berada dalam kisaran tersebut. Sebagai
contoh, bagian pertama dari kisaran 41-50 menggambarkan "gejala
serius (misalnya, ide bunuh diri, ritual obsesif yang parah, sering
mengutil)" dan bagian kedua mencakup "setiap kerusakan serius
dalam fungsi sosial, pekerjaan, atau sekolah (misalnya, tidak ada
teman, tidak dapat mempertahankan pekerjaan). "
o Perlu dicatat bahwa dalam situasi di mana tingkat keparahan gejala
dan tingkat fungsi individu berbeda, peringkat GAF akhir selalu
mencerminkan yang lebih buruk dari keduanya. Misalnya, peringkat
GAF untuk seorang individu yang berbahaya bagi diri sendiri tetapi
jika tidak berfungsi dengan baik akan berada di bawah 20. Demikian
pula, peringkat GAF untuk individu dengan gejala psikologis
minimal tetapi penurunan fungsi yang signifikan (misalnya, individu
yang kelebihan keasyikan dengan penggunaan narkoba telah
mengakibatkan hilangnya pekerjaan dan teman-teman tetapi tidak
ada psikopatologi lain) akan 40 atau lebih rendah.

Dalam PPDGJ III pun disebutkan ada dua buah catatan mengenai diagnosis
multiaksial ini, yaitu:

- Antara aksis I, II, dan III tidak selalu harus ada hubungan estiologik atau
patogenesis.
- Hubungan antara Aksis “I, II, III” dan “Aksis IV” dapat timbal balik dan
saling mempengaruhi.

Tujuan dari diagnosis multiaksial dalam PPDGJ III adalah:

1. Mencakup informasi yang komprehensif (Gangguan Jiwa, Kondisi Medik


Umum, Masalah Psikososial dan Lingkungan, Taraf Fungsi Secara Global),
sehingga dapat membantu dalam:
a. Perencanaan terapi
b. Meramalkan outcome atau prognosis
2. Format yang “mudah” dan “sistematik”, sehingga membantu dalam:
a. Menata dan mengkomunikasikan informasi klinis
b. Menangkap kompleksitas situasi klinis
c. Menggambarkan heterogenitas individual dengan diagnosis klinis
yang sama.
3. Memacu penggunaan “model biopsikososial” dalam klinis, pendidikan, dan
penelitian.

Studi Kasus

Kondisi pasien dan gejalanya:

Wanita 46 tahun datang dengan keluhan mengamuk tanpa alasan yang jelas.
Sekitar 1 bulan sebelum masuk rumah sakit jiwa, keluarga pasien menyampaikan
bahwa pasien sering terlihat bicara sendiri dan tertawa sendiri. Selain itu, pasien
susah untuk diajak berkomunikasi dan apabila ditanya maka pembicaraannya tidak
menyambung dan sulit dimengerti. Keluhan disertai dengan sering menceramahi
anggota keluarganya dan juga tetangga sekitarnya. Pasien juga sering terlihat
gelisah dan berjalan mondar-mandir tanpa tujuan. Pasien terlihat mengalami
perubahan dalam perilaku seperti hilangnya minat untuk beraktivitas sehari-hari
seperti jarang mandi, makan dan pasien sering terlihat jarang tidur pada malam hari.

Tiga hari sebelum masuk rumah sakit jiwa, keluarga pasien menyampaikan
bahwa pasien mengamuk tanpa sebab yang jelas. Menurut pasien, dirinya pada saat
itu diberi kekuatan untuk menyembuhkan dan mengemban tugas untuk mengajak
orang ke jalan yang benar. Namun menurut keluarganya, pasien tampak mengamuk
dan memarahi orang-orang di sekitarnya tanpa alasan jelas. Pasien mengatakan
sering mendengar bisikan-bisikan ada orang yang tidak menyukai dirinya. Selain
itu, pasien melihat bayangan makhluk besar bermata merah.

Saat pemeriksaan di rumah sakit jiwa setelah 5 hari perawatan, pasien masih
terlihat bicara sendiri dan suka bernyanyi sendiri serta sering menceramahi orang
di sekitarnya. Pasien mengatakan dan merasa bahwa dirinya tidak sakit, sehingga
dia tidak tahu alasan mengapa ia dibawa ke rumah sakit.

Perubahan perilaku muncul 4 bulan lalu, ketika itu pasien mengalami


tekanan akibat tidak memiliki cukup uang ketika sedang membangun rumah. Selain
itu, pasien juga sempat terlibat masalah dengan tetangganya disebabkan
pembangunan rumah tersebut. Semenjak itu pasien juga mulai terlihat bicara sendiri
dan susah untuk diajak berkomunikasi, karena perubahan perilakunya tersebut
akhirnya pasien dibawa ke tabib dan orang pintar. Namun setelah berobat pun
kondisi pasien tidak menunjukkan perubahan. Puncaknya pada April 2014, sekitar
3 hari sebelum masuk rumah sakit jiwa, pasien marah dan mengamuk di rumahnya.
Akhirnya pasien dibawa ke Rumah Sakit Jiwa Provinsi Lampung dan dirawat
selama 20 hari. Akhirnya pasien mengalami perbaikan dan boleh pulang.

Selama perawatan di rumah, pasien tidak rutin minum obat dan minum obat
hanya ketika pasien ingin minum saja. Keluarga mencoba mengingatkan dan
membujuk untuk minum obat secara teratur, namun pasien malah tersinggung,
marah, dan tidak mau meminum obatnya lagi karena merasa bahwa dirinya tidak
sakit. Akhirnya pasien dibawa kembali ke Rumah Sakit Jiwa Provinsi Lampung.

Pasien tidak pernah mengalami kejang atau epilepsi. Adanya riwayat trauma
seperti terjatuh dan terbentur pada kepala serta infeksi pada otak seperti meningitis,
ensefalitis, malaria serebral, serta keganasan seperti tumor otak disangkal baik
pasien maupun keluarga. Adanya riwayat penyakit seperti diabetes mellitus, asma,
penyakit jantung dan paru-paru, serta penyakit yang mengharuskan pasien minum
obat dalam jangka waktu lama disangkal oleh pasien maupun keluarga. Riwayat
penggunaan zat psikoaktif dan alkohol disangkal oleh pasien maupun keluarga.

Adapun riwayat masa kanak awal (0-3tahun) pasien tidak ingat masa kanak-
kanaknya. Keluarga pasien mengatakan bahwa pasien menjalani masa
pendidikannya di Sekolah Dasar namun hanya sampai kelas 4 SD dikarenakan
kesulitan ekonomi. Pada masa kanak akhir dan remaja, pasien mengatakan bahwa
pasien memiliki banyak teman saat di bangku SD. Adapun masa dewasa meliputi
riwayat pekerjaan sehari hari pasien bekerja sebagai tukang pijit. Riwayat
psikoseksual pasien yaitu pasien menikah dan dikaruniai 4 orang anak. Pasien
beragama Islam dan rajin beribadah. Dalam aktivitas sosial, Keluarga mengatakan
bahwa pasien mempunyai hubungan baik dengan tetangga dan lingkungan
sekitarnya.
Berdasarkan gangguan persepsi yang ditemukan meliputi adanya halusinasi
auditorik dimana pasien mendengar bisikan yang memerintahkan dia untuk
menyembuhkan orang-orang yang sakit dan memberitahu orang yang dianggap
tersesat untuk kembali ke jalan yang benar disertai halusinasi visual dimana pasien
melihat bayangan makhluk besar bermata merah. Adapun ilusi, depersonalisasi dan
derealisasi belum ditemukan.

Dalam penilaian pada pikiran pasien seperti arus dan proses pikir serta isi
pikir. Pada arus dan proses pikir meliputi produktivitas dirasa cukup, namun tidak
ditemukan relevansi. Kontinuitas jawaban yang disampaikan pasien tidak
berhubungan dengan pertanyaan yang diajukan namun masih dapat dimengerti
(flight of ideas) Sedangkan pada isi pikir ditemukan waham kebesaran dan waham
curiga.

Diagnosis Multiaksial

Diagnosis pasien berupa diagnosis multiaksial, yaitu:

- Aksis I: skizofrenia paranoid remisi parsial


- Aksis II dan III: belum dapat ditegakkan diagnosisnya
- Aksis IV: masalah ekonomi, ketidakpahaman pasien dengan kondisi
penyakit
- Aksis V: Global Assesment of Functioning (GAF) dengan rentang 40-31
dengan arti adanya disabilitas dalam hubungan realita dan komunikasi serta
disabilitas berat dalam beberapa fungsi.
DAFTAR PUSTAKA

Aritonang, Nancy Naomi. (2018). Pedoman Praktikum. Bahan Ajar. Indonesia:


Universitas HKBP Nommensen

Association, A. P. (2000). Diagnostic And Statistical Manual Of Mental Disorders


Fourth Edition Text Revision (DSM IV-TR). Washington DC: American
Psychiatric Association.

Joelian, K. R., Rahayu, M., & Mufidah, I. (2015). Pengukuran Kelelahan Kerja
Menggunakan Metode Bourdon Wiersma Untuk Mengurangi Kelelahan
Kerja Pada Perawat Di Paviliun Anak Rumah Sakit Xyz. eProceedings of
Engineering, 2(2).

KBBI. (t.thn.). Kamus Besar Bahasa Indonesia. Dipetik Maret 26, 2020, dari
https://kbbi.web.id/diagnosis

Lestari, dkk. (2016). Psikologi Klinis. Bahan Ajar. Indonesia: Universitas


Udayana

Maslim, R. (2013). Diagnosis Gangguan Jiwa: Rujukan Ringkas dari PPDGJ III
dan DSM 5. Jakarta: PT Nuh Jaya.

Nietzel, M. T., Beanstein, D. A., & Milich, R. (1994). Clinical Psychology. New
Jersey: Prentice Hall.

Poerwandari. (2001). Pendekatan Kualitatif untuk Penelitian Perilaku Manusia.


Jakarta: LPSP3 UI.

Prawitasari, J. E. (2011). Psikologi Klinis: Pengantar Terapan Mikro & Makro.


Jakarta: Penerbit Erlangga

Putri, P. P. (2018). Hubungan Hasil Tes Minnesota Multiphasic Personality


Inventory 2 (MMPI-2) dengan Indeks Prestasi Kumulatif Mahasiswa
Angkatan 2016 Fakultas Kedokteran Universitas Lampung.

Sanjaya, T. A. (2015). Wanita 46 Tahun dengan Skizofrenia Paranoid. Jurnal


Agromedicine, 2(4), 370-376.
Slamet, S & Markam, S. (2008). Pengantar Psikologi Klinis. Jakarta: UI Press

Sundberg, N. D., Winebarger, A. A & Taplin, J. R. (2007). Psikologi Klinis:


Perkembangan Teori, Praktik dan Penelitian. Edisi Keempat.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Widiasavitri, dkk. (2016). Materi Kuliah Psikodiagnostika I dan Administrasi Alat


Tes Psikologi. Bahan Ajar. Indonesia: Universitas Udayana

Wiramihardja, S. A. (2012). Pengantar Psikologi Klinis . Bandung: PT Refika


Aditama.

Anda mungkin juga menyukai