Disusun Oleh:
Hal yang menjadi dasar dari penilaian atas observasi ialah pemahaman
bahwa perilaku yang dilakukan dengan atau tanpa intensionalitas menunjukan atau
menjadi tanda dari suatu situasi kejiwaan. Jadi terdapat gejala yang ditampilkan
dalam tingkah laku dalam pengertian yang luas. Dalam (Wiramihardja, 2012),
menyebutkan bahwa terdapat tiga jenis tingkah laku, meliputi
1. Studi Lapangan
Keadaan ini tidak digunakan untuk mengontrol apa yang diobservasi,
melainkan membuat proses dari observasi tersebut dapat diandalkan
semaksimal mungkin. Hal ini dilakukan dengan merumuskan unit-unit
observasi dengan melatih observer atau menggunakan lebih dari satu
observer. Data yang diperoleh dari studi lapangan ini dibuat dengan
menggunakan skala ordinal atau skala nominal
2. Intropeksi
Keadaan ini juga disebut sebagai pengamatan diri sendiri dimana proses
asosiasi hanya dikontrol oleh subjek yang melakukan intropeksi. Asosiasi
bebas dikendalikan oleh observer atau clinician. Data mentah yang
dihasilkan merupakan laporan yang bersifat verbal dan dapat juga
menggunakan skala nominal ataupun ordinal
3. Studi Kasus
Merupakan observasi jenis historis yang didasarkan pada penggunaan
dokumen pribadi. Kontrol dapat dipermudah dengan menggunakan bentuk
standar dan pengembangan norma observer ataupun standar lain.
4. Observasi Klinis
Jenis ini memungkinkan memberikan kontrol dengan menggunakan situasi
standar seperti wawancara dan juga tes. Data mentah dari observasi ini
berupa catatan tingkah laku yang direkam atau ditulis oleh pemeriksa. Dapat
ditulis juga dengan skala nomina, ordinal maupun skala interval.
5. Observasi Eksperimental
Metode ini berbeda dari keempat metode lainnya, dimana obersever
menentukan lebih dahulu hal-hal apa saja yang akan diobservasi dan dimana
atau dari mana ia akan mendapatkannya.
Metode klinis terdiri dari observasi yang dikendalikan oleh wawancara dan
juga tes. Metode klinis digunakan untuk mendapatkan diagnosis informal
(personality description) maupun diagnosis formal (psychiatric description) atau
nama-nama penyakit kejiwaan. Dalam pemeriksaan psikologi klinis, deskripsi
kepribadian, diagnosis, prognosis, dan saran pada kepada orang yang diperiksa
didapatkan melalui data anamnesis, observasi dan juga tes.
Gambar 1.1
Bagan konsep metode klinis
1. Penampilan Umum
Penampilan ini mencakup penampilan fisik secara keseluruhan seperti
bertubuh gemuk, kurus, atau tinggi. Selain itu, didapat pula data anamnesis
berupa pekerjaa, status perkawinan atau sebagainya, karena mungkin dapat
terjadi hubungan. Misalnya jika seorang klien merupakan seorang
peragawati wanita yang memiliki tubuh gemuk sekali, maka kenyataan ini
dapat memebri informasi tentang akibat-akibat lain yang mungkin terjadi.
Dari penampilan fisik terkadang dapat diduga adanya kelainan
hormonal.Selain penampilan fisik, gaya atau cara berpakaian, penataan
rambut seseorang juga perlu diamati karena seringkali mencerminkan
bagaimana klien dalam lingkungan sosisal dan bagaimana ia memandang
diri sendiri
2. Reaksi Emosi
Dalam wawancara, pemeriksa seringkali dapat merasakan adanya
suasanya wawancara tertentu, misalnya suasana lucu, sedih, tegang, atau
hostile. Jika menilai klien dalam suasana ini, hendaknya pemeriksa yakin
bahwa keadaan klien ini bukan sebab dari pemeriksa. Indikasi ketegangan
yang terlihat pada klien misalnya air mata berlinang, berkeringat di muka
atau tangan, mengeringnya bibir karena rasa takut atau cemas, perubahan
warna muka yang memerah atau pucat dan sebagainya. Kadang-kadang
didapati tremor yaitu gemetar pada jari atau bibir bila ia merasa dalam
keadaan tegang atau sikapnya tidak bisa tenang seperti sering merubah
posisi duduk, menggerakan kaki, dan sebagainya. Klien juga mungkin
menunjukan reaksi yang berlawanan jika berada dalam situasi yang tegang.
Hal ini dapat terlihat seperti suaranya yang memelan dan gerakannya yang
melambat. Klien dapat menunjukan suasana hati atau mood tertentu selama
pemeriksaan, bahkan pada gangguan yang berat, seringkali respons
emosional menjadi kurang atau sama sekali tidak ada.
3. Bicara
Penampilan hanya dapat memberikan kesan sepintas tentang diri
seseorang, karena penampilan seperti misalnya berpakaian dan ekspresi
emosi dapat diubah oleh klien yang bersangkutan. Sedangkan dalam hal
berbicara, klien dan pemeriksa dapat saling berhubungan untuk waktu yang
lebih lama. Hal ini dapat diobservasi melalui gaya bicara, corak bahasa,
bahasa yang digunakan, nada bicara, serta kata-kata yang digunakannya.
Terdapat klien yang selalu minta maaf, sering memberikan pembenaran atas
dirinya atau justifications dan sebagainya.
Beberapa gejala patologis dalam hal bicara bisa saja terjadi seperti
mengaga/stuttering, lipsing, slurred speech, aphasia. Stuttering atau
menggagap kadang-kadang disebabkan oleh organis. Lipsing merupakan
kesalahan dalam mengucapkan huruf-huruf mendesis yang biasanya
disebabkan oleh gangguan dari struktur lidah, gigi, rahang dan langit-langit
mulut. Slurred speech ialah bicara yang “tebal” oleh karena beberapa huruf
mati tidak diucapkan atau dihilangkan bunyinya. Sedangkan aphasia
merupakan kesulitan dalam berucap atau mengartikulasikan dan kesulitan
mencari kata yang artinya tepat untuk menyatakan pikirannya.
Wawancara dalam Bidang Psikologi Klinis
• Ketarampilan wawancara klinis antara lain ramah dan santai, tetapi tetap
terkontrol: waktu, isi, cara menjawab (kapan pakai pertanyaan terbuka atau
hanya jawaban ya atau tidak dan kedekatan dengan klien.
• Keterampilan wawancara umum, antara lain mendengar dan berbicara,
tanggap akan emosi dari klien, mendengarkan secara mendalam (mendengar
kata-katanya, pikirannya, makna pribadinya bahkan makna didalam alam
bawah sadarnya.
• Keterampilan wawancara khusus antara lain, paraphrase, refleksi perasaan,
pengecekan persepsi, dan peka terhadap perbedaan perilaku, pikiran dan
juga perasaan.
Tes psikologi sangat banyak digunakan dan dibutuhkan pada aras mikro.
Hal ini dapat berguna untuk membantu dalam pengambilan keputusan. Dalam
bidang-bidang klinis, seperti psikiatri, psikotes dapat dipakai untuk mengambil
keputusan bagi pasien dalam hal menilai status pasien, misalnya menilai taraf
kebahayaan terhadap diri sendiri dan orang lain, tepat atau tidaknya ia
dirumahsakitkan, atau siap tidaknya ia kembali ke rumah. Tes psikologi dapat juga
digunakan untuk menentukan diagnosis, melihat gaya kognitif, hubungan sosial,
pola kepribadian ataupun kestabilan emosi pasien (Prawitasari, 2011).
Menurut Cronbach (Nietzel dkk, 1994) tes adalah prosedur sistematis untuk
mengamati dan menggambarkan perilaku seseorang dalam situasi standar. Tes
menyajikan serangkaian stimuli yang direncanakan (noda tinta, atau pertanyaan
benar-salah, misalnya) yang kemudian meminta klien untuk merespons soal
tersebut dengan cara tertentu. Respon klien nantinya akan dicatat sebagai hasil tes
atau skor yang akan digunakan sebagai sampel penilaian klinis.
✓ Tes Wechsler Bellevue (WB) : pada tes ini kita dapat menghitung
deterioration rate yang bisa berguna untuk melihat ada atau tidaknya
kemunduran inteligensi.
✓ Tes Bourdon : tes ini dipakai untuk mengevaluasi konsentrasi, perhatian,
kecepatan bekerja untuk tugas-tugas yang rutin dan monoton, ketelitian
kerja, dan daya tahan dalam bekerja (Joelian dkk, 2015). Pada tes ini, testee
diminta untuk mencoret gambar titik-titik yang berjumlah 4 pada tiap baris,
mulai dari tepi kiri sampai tepi kanan dan lanjut pada baris dibawahnya
✓ Tes kraepelin : Tes ini dapat digunakan untuk melihat konsentrasi dalam
bekerjatestee akan diminta untuk menjumlahkan 2 buah angka mulai dari
angka paling bawah pada tiap-tiap lajur dalam batas waktu yang singkat
Pada tes bourdon dan tes Kraepelin perlu diberikan pada klien yang memiliki
keluhan sering lupa, sukar konsentrasi, sakit kepala, dll. Tujuannya adalah untuk
melihat kestabilan perhatian, ketelitian dan kecepatan kerja (Slamet & Markam,
2003)
2. Tes Proyeksi
Tes proyeksi merupakan hal yang penting dilakukan untuk pemeriksaan klinis
dengan tujuan mengungkapkan hal-hal yang kurang atau tidak disadari. Tes
proyeksi biasanya menggunakan stimulus yang tidak jelas dan tugas yang tak
terstruktur. Tes projektif biasanya diberikan secara individual (Joelian dkk, 2015).
Beberapa tes proyeksi, diantaranya ialah (Slamet & Markam, 2003):
3. Tes Grafis
Tes ini paling digemari oleh psikolog di Indonesia karena memakan waktu yang
relative singkat dan kebanyakan menggunakan analisis kualitatif, tidak perlu sistem
skoring kuantitatif yang rumit. Kelemahannya seringkali pemeriksa terpengaruh
oleh keindahan gambar atau keterampilan menggambar klien dan melupakan segi
segi formal gambar seperti: ukuran gambar, jenis garis yang digunakan, tekanan
garis, penempatan gambar, dsb (Slamet & Markam, 2003).
✓ Tes wartegg adalah tes proyektif yang merupakan kombinasi dari teknik
completions dan expressions karena telah memiliki stimulus-stimulus yang
perlu diselesaikan dengan mengekspresikan suatu gambar. Hasil karya
wartegg kemudian lebih dikenal dengan istilah drawing completion test, hal
ini karena subjek diminta untuk melengkapi gambar-gambar kecil yang
telah tersedia dengan tujuan mengeksplorasi struktur kepribadian/ fungsi
fungsi dasar (Widiasavitri, 2016).
✓ Tes House, Tree, Person (HTP), pada tes ini, subjek diminta untuk
menggambar bebas tanpa ukuran berupa rumah, pohon, orang. Fungsi tes
ini untuk melihat interaksi di dalam keluarga. Dalam HTP pohon
dianalogikan sebagai ayah, rumah dianalogikan sebagai ibu, yang ideal
adalah ketika posisi pohon, rumah dan orang posisinya tidak terlalu
berjauhan dan orang tidak terlalu dekat dengan hanya dengan salah satu
gambar pohon/rumah (Widiasavitri dkk, 2016).
Diagnosis Multiaksial
• Aksis I : Berisi tentang gangguan klinis dan kondisi lain yang menjadi fokus
perhatian klinis
o Aksis I berisi tentang semua berbagai gangguan atau kondisi dalam
Klasifikasi kecuali untuk Gangguan Kepribadian dan
Keterbelakangan Mental
o Jika ada lebih dari satu gangguan Aksis, diagnosis utama atau alasan
kunjungan (reason for visit) harus ditunjukkan dengan memasukkan
ke dalam daftar terlebih dahulu.
o Ketika seorang individu memiliki gangguan Aksis I dan Axis II,
diagnosis utama atau alasan kunjungan akan dianggap pada Aksis I
kecuali diagnosis Aksis II diikuti oleh frasa kualifikasi "(Diagnosis
Utama/Principal Diagnosis)" atau "(Alasan untuk
mengunjungi/Reason for Visit)."
o Jika seseorang memiliki lebih dari satu gangguan di Aksis I, maka
semuanya harus dilaporkan
o Jika tidak ada gangguan Aksis I, ini harus dikodekan sebagai
V71.09.
o Jika diagnosis Aksis I ditunda, sambil menunggu pengumpulan
informasi tambahan, ini harus diberi kode 799.9.
Dalam PPDGJ III pun disebutkan ada dua buah catatan mengenai diagnosis
multiaksial ini, yaitu:
- Antara aksis I, II, dan III tidak selalu harus ada hubungan estiologik atau
patogenesis.
- Hubungan antara Aksis “I, II, III” dan “Aksis IV” dapat timbal balik dan
saling mempengaruhi.
Studi Kasus
Wanita 46 tahun datang dengan keluhan mengamuk tanpa alasan yang jelas.
Sekitar 1 bulan sebelum masuk rumah sakit jiwa, keluarga pasien menyampaikan
bahwa pasien sering terlihat bicara sendiri dan tertawa sendiri. Selain itu, pasien
susah untuk diajak berkomunikasi dan apabila ditanya maka pembicaraannya tidak
menyambung dan sulit dimengerti. Keluhan disertai dengan sering menceramahi
anggota keluarganya dan juga tetangga sekitarnya. Pasien juga sering terlihat
gelisah dan berjalan mondar-mandir tanpa tujuan. Pasien terlihat mengalami
perubahan dalam perilaku seperti hilangnya minat untuk beraktivitas sehari-hari
seperti jarang mandi, makan dan pasien sering terlihat jarang tidur pada malam hari.
Tiga hari sebelum masuk rumah sakit jiwa, keluarga pasien menyampaikan
bahwa pasien mengamuk tanpa sebab yang jelas. Menurut pasien, dirinya pada saat
itu diberi kekuatan untuk menyembuhkan dan mengemban tugas untuk mengajak
orang ke jalan yang benar. Namun menurut keluarganya, pasien tampak mengamuk
dan memarahi orang-orang di sekitarnya tanpa alasan jelas. Pasien mengatakan
sering mendengar bisikan-bisikan ada orang yang tidak menyukai dirinya. Selain
itu, pasien melihat bayangan makhluk besar bermata merah.
Saat pemeriksaan di rumah sakit jiwa setelah 5 hari perawatan, pasien masih
terlihat bicara sendiri dan suka bernyanyi sendiri serta sering menceramahi orang
di sekitarnya. Pasien mengatakan dan merasa bahwa dirinya tidak sakit, sehingga
dia tidak tahu alasan mengapa ia dibawa ke rumah sakit.
Selama perawatan di rumah, pasien tidak rutin minum obat dan minum obat
hanya ketika pasien ingin minum saja. Keluarga mencoba mengingatkan dan
membujuk untuk minum obat secara teratur, namun pasien malah tersinggung,
marah, dan tidak mau meminum obatnya lagi karena merasa bahwa dirinya tidak
sakit. Akhirnya pasien dibawa kembali ke Rumah Sakit Jiwa Provinsi Lampung.
Pasien tidak pernah mengalami kejang atau epilepsi. Adanya riwayat trauma
seperti terjatuh dan terbentur pada kepala serta infeksi pada otak seperti meningitis,
ensefalitis, malaria serebral, serta keganasan seperti tumor otak disangkal baik
pasien maupun keluarga. Adanya riwayat penyakit seperti diabetes mellitus, asma,
penyakit jantung dan paru-paru, serta penyakit yang mengharuskan pasien minum
obat dalam jangka waktu lama disangkal oleh pasien maupun keluarga. Riwayat
penggunaan zat psikoaktif dan alkohol disangkal oleh pasien maupun keluarga.
Adapun riwayat masa kanak awal (0-3tahun) pasien tidak ingat masa kanak-
kanaknya. Keluarga pasien mengatakan bahwa pasien menjalani masa
pendidikannya di Sekolah Dasar namun hanya sampai kelas 4 SD dikarenakan
kesulitan ekonomi. Pada masa kanak akhir dan remaja, pasien mengatakan bahwa
pasien memiliki banyak teman saat di bangku SD. Adapun masa dewasa meliputi
riwayat pekerjaan sehari hari pasien bekerja sebagai tukang pijit. Riwayat
psikoseksual pasien yaitu pasien menikah dan dikaruniai 4 orang anak. Pasien
beragama Islam dan rajin beribadah. Dalam aktivitas sosial, Keluarga mengatakan
bahwa pasien mempunyai hubungan baik dengan tetangga dan lingkungan
sekitarnya.
Berdasarkan gangguan persepsi yang ditemukan meliputi adanya halusinasi
auditorik dimana pasien mendengar bisikan yang memerintahkan dia untuk
menyembuhkan orang-orang yang sakit dan memberitahu orang yang dianggap
tersesat untuk kembali ke jalan yang benar disertai halusinasi visual dimana pasien
melihat bayangan makhluk besar bermata merah. Adapun ilusi, depersonalisasi dan
derealisasi belum ditemukan.
Dalam penilaian pada pikiran pasien seperti arus dan proses pikir serta isi
pikir. Pada arus dan proses pikir meliputi produktivitas dirasa cukup, namun tidak
ditemukan relevansi. Kontinuitas jawaban yang disampaikan pasien tidak
berhubungan dengan pertanyaan yang diajukan namun masih dapat dimengerti
(flight of ideas) Sedangkan pada isi pikir ditemukan waham kebesaran dan waham
curiga.
Diagnosis Multiaksial
Joelian, K. R., Rahayu, M., & Mufidah, I. (2015). Pengukuran Kelelahan Kerja
Menggunakan Metode Bourdon Wiersma Untuk Mengurangi Kelelahan
Kerja Pada Perawat Di Paviliun Anak Rumah Sakit Xyz. eProceedings of
Engineering, 2(2).
KBBI. (t.thn.). Kamus Besar Bahasa Indonesia. Dipetik Maret 26, 2020, dari
https://kbbi.web.id/diagnosis
Maslim, R. (2013). Diagnosis Gangguan Jiwa: Rujukan Ringkas dari PPDGJ III
dan DSM 5. Jakarta: PT Nuh Jaya.
Nietzel, M. T., Beanstein, D. A., & Milich, R. (1994). Clinical Psychology. New
Jersey: Prentice Hall.