Anda di halaman 1dari 5

Rahmad Sutopo

2411417006

PROFIL KURATOR

1. Mikke Susanto

Lahir: Kencong, Jember, Jawa Timur, 22 Oktober 1973

Mikke Susanto adalah seorang kurator yang mengawali karirnya sebagai dosen di kampus Seni.
Bapak kelahiran Jember, 22 Oktober 1973 menyelesaikan kuliahnya dari Institut Seni Indonesia (ISI)
Yogyakarta tahun 1998. Selesai kuliah ia mengajar di Akademi Seni Rupa dan Desain (AKASERI)
Yogyakarta selama 5 tahun. Lalu ia pun mulai menjadi dosen di kampus Institut Seni Indonesia (ISI)
Yogyakarta tahun 2003 sampai sekarang. Sebelum menjadi dosen ia pernah bekerja di Yayasan Cemeti
Yogyakarta atau sekarang disebut IVAA yang bertugas mendokumentasikan arsip-arsip pada tahun 1998
– 2000. Semasa kuliahnya ia mulai menulis dan mengirimkan karya tulisannya ke media massa mulai
tahun 1993 – 1997. Ketertarikannya di dunia menulis mengalihkan kegiatan melukisnya. Satu waktu ia
pernah dimintai tolong untuk membuat rangkuman tulisan singkat pameran seni rupa di kampus.
Selama mengeyam pendidikan ia mendapatkan beasiswa dari kampus. Saat itu yang ia pikirkan adalah
lulus kuliah cepat dan menjadi dosen begitulah yang dikatakannya saat wawancara. Akhirnya mimpinya
itu menjadi kenyataan dan menjadi seorang dosen yang sekaligus menjadi kurator seni rupa.
Pengalaman di Yayasan Cemeti Yogyakarta membawanya menjadi seorang kurator. Pada tahun
2003 – 2004 ia menginjakkan kaki di Jakarta untuk menguratori sebuah pameran seniman-seniman papan
atas di Andi Galeri. Sehingga ia pun memiliki jaringan dengan seniman-seniman, galeri seni, wartawan,
dan kolektur untuk memperkaya wawasannnya sebagai seorang kurator.
Mulai tahun 2006 – 2008 menjadi kurator pelaksana di Jogja Gallery. Mulai tahun 2008 sampai sekarang
menjadi narasumber/konsultan Kuratorial Museum Istana Kepresidenan Republik Indonesia yang berada
di bawah institusi Sekretariat Negara Republik Indonesia. Tahun 2011 – 2012 menjadi narasumber
penilaian aset negara berupa benda-benda seni koleksi Istana Presiden Republik Indonesia di Kementrian
Keuangan Republik Indonesia. Tahun 2014 menjadi kontributor dan peneliti di Yayasan Bung Karno
Jakarta. Dalam perjalanan karirnya menjadi dosen dan kurator ia membuat beberapa buku bacaan yang
berhubungan dengan ilmu seni rupa. Selain itu juga ia mendapatkan penghargaan dari majalah online
Universes in Universe tercatat sebagai 408 kurator dunia pada tahun 1997.

Selain mengajar sebagai dosen di kampus ISI, ia pun disibukkan dengan aktivitas kuratorial.
Beberapa waktu lalu saat mengunjungi anaknya di Gontor. Ia pun mampir mengunjungi salah satu
seniman lukis di Ponorogo bernama Maspoer. Tahun lalu Mas Mur melakukan pameran di Yogyakarta
yang dikuratori olehnya. Ia pun berkunjung sekaligus berdiskusi mengenai karya mas Mur yang terjual di
Yogyakarta. Sebagai seorang kurator, maka diharuskan membaca berbagai buku untuk menambah
wawasan untuk aktivitas kuratorial. Seorang kurator menurutnya memiliki peran sebagai sejarahwan,
humas, jurnalis, organisator. Selain mengkritisi sebuah karya, kurator juga harus memiliki ide baru untuk
mengembangkan karya para perupa agar menarik perhatian publik. Setiap harinya ia pun membaca buku,
menulis, mencari refrensi juga berdiskusi. Dengan kegiatan berdiskusi itu memperkarya untuk melahirkan
ide-ide baru.

Sosok yang sederhana dan ramah ini memiliki keluarga yang “nyeni banget”. Istrinya adalah
seorang seniman lukis kaca yang bernama Rina Kurniyati. Anak pertamanya, A. Abad Akbar Muhammad
yang sekarang sedang mengenyam pendidikan pesantren di Gontor yang setingkat siswa kelas 3 Sekolah
Menengah Pertama (SMP). Anak terakhirnya, Bintang Tanatimur adalah pelukis cilik yang sekarang
duduk di kelas 4 Sekolah Dasar Islam Terpadu (SD IT) Alam di Yogyakarta. Kehidupan keluarganya pun
begitu harmonis dan penuh warna. Setiap sudut dalam rumah dijadikan tempat seni. Dapur dijadikan
tempat ritual khusus bagi istrinya, Rina Kurniyati untuk melukis kacanya. Ruang menonton TV dijadikan
Bintang untuk melukis dan berkarya. Setiap minggu pagi keluarganya mempunyai ritual berkeliling
kampung dengan jalan kaki tanpa alas. Tujuannya agar mengenal kampungnya, sekaligus mengenalkan
alam kepada anak-anaknya. Rumahnya yang berlokasi di Jl. Pramuka No. 46 Umbulharjo, Dusun Jetak,
Desa Sidokarto, Godean, Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta ini masih terbilang asri. Terbentang
sawah nan hijau, banyak pohon bambu rindang, dan tanaman lain. Aktivitas lain di kala liburan, anak-
anak dibiarkan berkarya dengan membuat konstruksi bentuk dari mainan bekas. Intinya membuat karya
seni dari mainan bekas untuk melatih kreativitas.
2. Rain Rosidi

Rain Rosidi lahir di Magelang, Jawa Tengah 26 Juni 1973, ia tinggal dan bekerja di Yogyakarta. Rain
adalah seorang kurator seni rupa dan dosen di Fakultas Seni Rupa Institute Seni Indonesia.

Ia pernah bekerja sebagai pengelola dan kurator di Gelaran Budaya, yaitu sebuah ruang alternatif yang
menyelenggarakan pameran seni rupa dan diskusi seni secara independen pada tahun 2000. Rain adalah
pendiri Gelaran Budaya Yogyakarta pada tahun 1999.

Rain merupakan lulusan sarjana Seni Rupa di Institute Seni Indonesia dan meraih gelar sarjana S1 nya
pada tahun 1999. Kemudian ia melanjutkan pendidikan masternya pada Jurusan Kajian Budaya dan
Media di Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.

Pada tahun 2003 ia mengikuti program residensi manajemen Seni di Queensland Art Gallery, Brisbane,
dan di Asian Australian Art Centre, Sydney. Rain mengkurasi beberapa pameran seni rupa, antara lain :
Neo Iconoclasts, Magelang (2014), Geneng Street Art Project, Yogyakarta (2013), Future of Us,
Yogyakarta (2012), Jogja Agro Pop, Yogyakarta (2011), Sensual Musical, a. Rouse, Kuala Lumpur
(2011), Jogja Art Scene, at Yogyakarta Art Festival (2011) da9n berbagai pemeran seni lainnya.

Perjalanan Menjadi Kurator

Ia dikutuk teman-temannya. Tapi bukan seperti kutukan Penyihir Jahat dalam dongeng, yang bisa
merubah wujud manusia menjadi batu ataupun katak.  Gara-gara dikutuk teman-temannya di Komunitas
Gelaran, Pria kelahiran Magelang, 26 Juni 1973 ini berhasil menjelma menjadi sosok kurator seni.
Di komunitas Gelaran, Rain Rosidi memang satu-satunya orang yang bertindak sebagai pewacana. Rain
lebih tertarik menulis, meneliti, dan mempelajari sejarah senirupa, saat teman-temannya asyik membuat
karya seni. Jadi sangat pas jika Rain didaulat menjadi kurator, yang mana saat itu Gelaran sendiri benar-
benar independent dalam setiap melakukan pameran.

Tentang kurator sendiri, di Yogyakarta, bahkan Indonesia, pada waktu itu namanya masih jarang terdegar.
Jika ada kurator, awalnya hanya sampai ke pengantar pameran dan tidak sampai ke prosedur mengurasi
yang menyeluruh. Rain pun, awal bertindak sebagai kurator juga sebatas menulis, yaitu pada pameran
bertiga, “Pande, Dipo, Didik” (1999). Ia baru mulai menguratori secara total pada 2000-an.

Bicara tentang seni, menurut Rain, seni itu di satu sisi ada kesepakatan di dalam masyarakatnya. Di sisi
lain, seni itu sangat pribadi pada masing-masing seniman, masing-masing kelompok. Jadi, meskipun ada
yang berusaha membuat kesepakatan dalam seni, dalam seni itu tetap selalu ada ekspresi yang sangat
pribadi. Dan meskipun pengertian seni bermacam-macam, orang tetap akan bisa menikmati keunikan
masing-masing pribadi.

Selanjutnya, dunia seni sekarang ini sudah cukup luas. Sulit untuk mengklasifikaskan lagi bidang-bidang
seni secara tepat. Seni rendah dan seni tinggi pun batasnya mulai pudar. Tapi meskipun begitu, bidang-
bidang khusus selalu dapat tempat. Jadi pematung, pelukis, pegrafis dan kriyawan tetap ada dan
cenderung lebih kuat.

Dunia seni Yogyakarta yang membesarkan namanya, perkembangannya cukup positif. Senirupa
Yogyakarta sudah bisa  bernegosiasi secara langsung  dengan senirupa dunia, setelah sebelumnya hanya
berkutat di lapangan lokal.

Mengenai perkenalan dengan seni, karena bapaknya seorang pematung tradisional di muntilan, tentu ia
sudah mengenal seni sejak kecil. Di bangku SD hingga SMA, ia juga senang menggambar komik. Karena
kesenangannya dan telah dicap sebagai anak seniman, jika ada tugas membuat dekorasi di kampung atau
lomba menggambar di sekolahnya, pasti ia diajukan. Dan anggapan itu terus berlanjut hingga ia masuk di
Jurusan Seni Patung, Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta.

Saat di ISI, ia lebih tau tentang senirupa mulai dari sejarahnya hingga persoalan seni yang lebih luas. Dan
ia pun lebih senang dengan wacana. Ia melihat, di zamannya, di seni patung itu, para senior lebih tertarik
membuat patung proyek karena saat itu masa Orde Baru banyak proyek-proyek seperti membuat
monumen. Ia merasa itu tidak cukup untuk akademisi.

Kalau hanya sekedar membuat patung dan untuk mendapat uang, di kampungnya pun itu sudah biasa.
Dan kalau mengikuti itu, ia merasa tidak dapat apa-apa. Ia pun berfikir seharusnya ada sesuatu yang lebih
bisa dipertanggungjawabkan secara keilmuan. Karena itu ia lebih tertarik ke membaca wacana dan
menulis.

Ketertarikan Rain dalam dunia wacana terus terbawa hingga ia lulus dan saat ikut mendirikan Gelaran. Ia
pun belajar mengkurasi dengan lebih intens. Ia mengikuti workshop-workshop senirupa khususnya
tentang kuratorial. Ia juga pernah residensi untuk kuratorial di Australia. Dan mulai tahun 2001, saat
beberapa galeri komersial Jakarta membutuhkan kurator, ia melibatkan diri dan berkarir sebagai kurator
profesional.
Bagi Rain, seorang kurator harus punya ideologi, harus ada sesuatu yang diperjuangkan. Ia sendiri punya
tiga wilayah: Pertama, ia ingin membangun komunitasnya sendiri yaitu Gelaran. Kedua, Ia tertarik
dengan gerakan-gerakan yang sifatnya antara pinggiran dan mainstream. Jadi bentuk-bentuk karya seni
yang sifatnya masih diabaikan dalam karya seni rupa tinggi, ingin ia campur aduk dan diangkat dalam
senirupa. Dalam hal ini ia dekat dengan orang-orang di underground musik dan mural.

Ketiga, seperti kurator lain, ia tertarik dengan masalah yang lebih besar, misalnya identitas dan
kebudayaan. Dalam hal ini, ia pernah membuat pameran “Jawa Baru”, yang berhubungan dengan
pertanyaan tentang orang-orang Jawa di masa kini yang tidak kelihatan Jawanya, tapi itu sebenarnya
ekspresi Jawa yang baru.

Tentang pengalamannya yang paling berkesan dalam mengkurasi adalah saat membuat Pameran Utopia
Negativa (2008) di Langgeng Gallery. Dalam pameran ini ia bisa memilih sendiri senimannya, dan bisa
diterima oleh galeri komersial yang biasanya membuat tuntutan-tuntutan agar bisa diterima oleh pasar.
Dan secara pasar ternyata pameran ini berhasil, meskipun karya-karya yang diangkat sebenarnya bukan
karya-karya yang umum diterima di pasar.

Dalam mengurasi, Rain mengaku kadang melakukan yang tidak ideal meskipun ia selalu berusaha
mencapai itu. Dan mengkurasi bukan hanya menulis, bahkan menulis bukan keharusan dalam kuratorial.
Meskipun itu dokumentasi penting untuk dibaca orang lain setelah kerja kurasi selesai, tapi yang lebih
penting lagi adalah peran secara teknis. Yaitu menjadi pendamping seniman dalam mempersiapkan
pameran.

Untuk menjadi kurator handal, menurut Rain perlu juga mempelajari ilmu-ilmu lain selain senirupa.
Karena kalau hanya dengan ilmu senirupa akan terasasa monoton. Dan sekarang persaingan dalam
senirupa juga tidak hanya lokal, tapi internasional. Jadi diharapkan kurator lokal bisa meningkatkan
kualitasnya sehingga bisa berbicara di kancah luar.

Anda mungkin juga menyukai