Anda di halaman 1dari 16

Karya Seniman Jalanan Indonesia Tampil di Galeri Kota

Melbourne
Terbit 4 August 2014, 13:19 AEST
Dina Indrasafitri

Karya tiga seniman jalanan dari Yogyakarta: Soni Irawan, Iyok Prayogo dan Lugas Syllabus
tengah dipamerkan di sebuah galeri di pusat kota Melbourne.

Pameran berjudul New Undergrounds: Indonesian Contemporary ini berlangsung dari tanggal
24 Juli hingga 16 Agustus di galeri Fort Delta, yang terletak di Swanston Street, Melbourne.

Sebanyak 15 karya senirupa berbentuk lukisan maupun seni tiga dimensi ditampilkan dalam
pameran yang merupakan kerjasama antara dua lembaga: Fort Delta dan MiFA Gallery.

New Undergrounds_Step by Step


Step by Step, My Friend karya Lugas Syllabus

Menurut keterangan pameran, ini adalah pertama kalinya karya Soni, Iyok dan Lugas
ditampilkan dalam satu pameran. Namun, ketiga seniman tersebut memiliki beberapa
kesamaan.

Antara lain, ketiganya menyuarakan sebuah bentuk revolusi sosial, ketiganya menggunakan
dongeng-dongeng yang sudah diceritakan turun temurun, dan ketiganya seniman yang
terbilang muda yang lulus dari Institut Seni Indonesia, Yogyakarta, antara tahun 1997 hingga
2008.

Soni Irawan telah beberapa kali menjalani pameran tunggal, antara lain yang berjudul 'You
and Me and Everyone We Know' di Jakarta tahun 2011, dan juga ikut dalam sejumlah
pameran bersama seperti Indonesia's Crouching Tigers and Hidden Dragon: Development of
Modern and Contemporary Indonesian Art di London juga tahun 2011.

Karya Soni yang dipamerkan dalam New Undergrounds antara lain 'Ultra Black Flat'
(Fiberglass, kayu, metal, pewarna) dan 'Fake Fact' (Akrilik, enamel, cat minyak, kanvas).

New Undergrounds_atmo
Suasana pembukaan pameran New Undergrounds (Foto: Dina Indrasafitri)

Iyok Prayogo lulus dari ISI Yogyakarta tahun 2004. Ia pernah mengikuti beberapa pameran
bersama antara lain WANGSA MARABAHAYA di Sydney tahun 2012. Karya-karya Iyok
yang ditampilkan dalam New Undergrounds adalah 'Walk on By' (Enamel, plexiglass, kotak
hard case) dan 'Going Metal' (Enamel, plexiglass, kotak hard case).

Lugas Syllabus lulus dari ISI Yogyakarta tahun 2008. Ia pernah mengadakan pameran tunggal
antara lain 'Neo Adaptasi' di Singapura tahun 2008. Karyanya yang ditampilkan kali ini
adalah 'Step by Step, My Friend'.

"Karya-karya seniman ini menguatkan perubahan-perubahan sosio-politis yang dilalui


Indonesia untuk mencapai demokrasi," bunyi rilis pameran.

Bryan Collie, Direktur Kozminksy Art Salon, adalah salah seorang yang berperan penting
dalam penyelenggaraan pameran ini. Collie berprofesi sebagai dealer karya seni, dan sudah
sejak tahun 1980an melakukan jual beli karya seni di kawasan Asia dan Pasifik.

Sebelumnya, Ia juga pernah membawa seniman Darbotz dari Jakarta ke Melbourne.

Menurut Collie, masih banyak orang di Australia yang salah paham tentang dunia seni di
Asia, terutama seni kontemporer. Banyak yang menganggap bahwa begitu ada pameran yang
menampilkan seni dari Asia Pasifik, yang ditampilkan pasti tak jauh dari seni tradisional
seperti batik atau ukiran bercorak tradisional.

Padahal, lanjutnya, justru seni kontemporer di Asia Pasifik berkembang pesat dan
mengalahkan Australia.
New Undergrounds_Lady Candy

Lady Candy karya Soni Irawan (Foto: Dina Indrasafitri)

"Saya rasa seni kontemporer kita bisa lebih baik bila mendekatkan diri pada seniman-
seniman di Asia Pasifik, dan kita harus menerima budaya mereka," ucap Collie pada Australia
Plus, "dan jalannya masih panjang."

Ia mengaku sudah lama bergaul dengan seniman-seniman Yogyakarta. Kali ini, Ia ingin
memberi panggung pada seniman-seniman jalanan kota itu, karena, menurutnya, persaingan
untuk mendapat panggung di galeri-galeri Yogyakarta cukup sengit.

Pameran New Undergrounds menargetkan pengunjung muda, jelas Collier, selain itu juga
pengunjung yang berasal dari Asia.

"Tujuan saya adalah berusaha menghubungkan berbagai budaya melalui seni."


Noor Alifa seorang mahasiswa asal Indonesia yang menghadiri pembukaan pameran New
Undergrounds, mengakui menyukai beberapa karya, namun Ia juga menyayangkan mengapa
tak ada keterangan mengenai cerita atau pesan yang ada di balik karya-karya tersebut.

PROFIL, Biodata

Herri'solo'Soedjarwanto

Herri yang dikenal sebagai seniman pelukis asal Solo, tapi


'numpang' lahir di Jombang ini, tergolong pelukis otodidak. Ia salah satu pewaris tekhnik
realisme Dullah yang terpenting.

Herri yang pernah menjadi murid dan kemudian asisten Dullah itu, sangat dekat dengan
mantan pelukis Istana Presiden Soekarno itu.. Bahkan selama 5 tahun (1978-83 ) Herri
pernah tinggal serumah dengan Raja Realisme itu, di Sanggar Pejeng Bali. Tak heran
bila kemudian Herri dikenal sangat menguasai tehnik Dullah, sehingga pada saat itu,
meskipun tercatat sebagai murid termuda, Herri diangkat sebagai asisten
Dullah dan ditugasi untuk membimbing pelukis-pelukis Sanggar Pejeng lainnya.

Selain pada Dullah, Herri Soedjarwanto juga berguru dan mendapat didikan visi misi
kesenimanan dari S.Sudjojono ( Bapak seni lukis modern Indonesia ).

Saat ini, tahun 2010 , Herri diundang untuk mengajar di Fakultas Seni Rupa ISI
Surakarta , Jurusan Seni Murni dengan status sebagai Dosen Luar Biasa.

Karya Herri Soedjarwanto


-Herri Soedjarwanto melukis berbagai tema. Dari keindahan alam, bunga, manusia yang
menawarkan kesegaran dan kebahagiaan, sampai problem sosial kemanusiaan, yang
membuat dahi berkerut... Dari tema umum yang bersahaja, sampai tema serius yang rumit
dan berat.. Dia melukis semua itu dalam berbagai corak, dan tehnik ungkap, dari yang
realis-naturalis sampai ke impresif-ekspresif.

Karyanya dikoleksi antara lain : Istana Negara RI, Jakarta - Museum Purna Bhakti Pertiwi
(museum Pak Harto) Jakarta - Gedung Negara Grahadi, Surabaya - Wisma Lukisan TMII ,
Jakarta -. Museum Dullah Solo - Museum Rudana, Bali - Para tokoh, pejabat, kolektor dalam
dan luar negeri, gallery ,dll.

Ada karyanya yang dimuat di dalam buku-buku yang diedarkan ke seluruh dunia.
Lukisan yang berjudul "The Newly Wed Ari Putra and Hellena" ("Tatapan Cinta" ) dimuat
dalam buku "BALI INSPIRES, MASTERPIECES OF INDONESIAN ART" ( tahun
2011) yang ditulis oleh JEAN COUTEAU (Perancis).

Satu karyanya yang lain dimuat dalam buku:Treasures of Bali, a Guide to Museums in
Bali terbitan 'Gateway Books International' berkolaborasi dengan 'Museums
Association of Bali'. ( th 2006 )

Salah satu karyanya masuk Finalis Seni Lukis Tingkat Nasional : INDONESIAN ART
AWARDS 1999 yang diadakan YSRI dan PHILIP MORRIS. Masuk seratus karya terbaik
dari sekitar 3000an karya yang diseleksi. Kemudian 100 karya-karya itu dimuat dalam
katalog pameran dan dipamerkan bersama dalam pameran bertajuk: A STROKE OF
GENIUS disponsori PHILIP MORRIS

Pameran Lukisan-
Sejak th 1978, lebih dari 60 pameran di berbagai kota besar telah diikutinya.

Tiga pameran terakhir :

1)- Nopember 2009, Herri diundang Museum Rudana Bali, untuk turut serta
dalam pameran The Spirit of Balinese Art bersama Srihadi Sudarsono, Nyoman
Gunarsa, Made Wianta, Made Jirna, Ida Bagus Indra, Nyoman Erawan dll, Pameran
berlangsung di InterContinental Bali Resort, Jimbaran..

2)- Pameran Seni Rupa "Ratu Kidul dan Dunia Mitos Kita"
di Balai Soedjatmoko ( Bentara Budaya-nya Solo) tgl 24-30 April 2010,

( Pameran dikuti pelukis senior yang cukup ternama seperti Djoko Pekik, Ivan Sagito,
Nasirun, I Gusti Nengah Nurata, Suatmadji dan lain-lain.)

3)-Bali Inspires : Art Exhibition : Inspiration from Bali to the World. di Museum
Rudana , Bali. 21-Mei-2011- dan seterusnya

*Catatan lain-lain:
Pada usia 18 th, diterbitkan karya pertamanya yang berupa komik "Si Tongkat Sakti( 7
jilid ) dengan naskah Asmaraman S Kho Ping Hoo. ( 1976 77 ).

Pada umur 20 th, karya lukis kolosalnya ( 2,5x 1,5 m ), untuk pertama kalinya, terpajang
di Istana Negara RI, Jakarta.

Awalnya ,.. 1977 akhir 1983 Herri aktif di Sanggar Pejeng Bali, asuhan Dullah.
*Th1979- Berdasarkan seleksi karya ia dipilih dan dipercaya Dullah, untuk menggarap
lukisan penting dan bergengsi yang diincar oleh semua murid Dullah ketika itu. Sebuah
lukisan besar kolosal tentang pak Harto (Presiden RI)

*Hal itu menjadi catatan sejarah penting bagi Herri: Pada umur 20 th, baru belajar setahun,
karya lukis kolosalnya ( 2,5x 1, 5 m ), sudah terpajang di Istana Negara RI Jakarta.
Kuratornya langsung Dullah sendiri setelah memilih dari puluhan muridnya, yang beberapa
diantaranya bahkan sudah 9 tahun lebih belajar pada Dullah.**

*) Selanjutnya, raja Realisme Indonesia itu menunjuk Herri sebagai asistennya dengan
tugas khusus sebagai pengajar dan pembimbing teknis melukis di studio maupun alam
terbuka, selain tugas rutin lainnya.

Tokoh Seniman Lukis Indonesia

20 Votes

1. Affandi

Nama : Affandi Koesoema

Lahir : Cirebon, Jawa Barat 1907

Mempunyai 2 istri : 1 . Maryati (istri pertama)

2. Rubiyem (istri kedua)


Mempunyai 3 anak : 1. Kartika Affandi

2. Juki Affandi BSc

3. Rukmini (adik tiri)

Affandi adalah seorang pelukis yang dikenal sebagai Maestro Seni Lukis Indonesia, pelukis
Indonesia yang paling terkenal di dunia internasional, berkat gaya ekspresionisnya dan
romantisme yang khas. Affandi telah melukis lebih dari dua ribu lukisan.

Museum Affandi diresmikan oleh Fuad Hasan . Museum ini didirikan tahun 1973 di atas
tanah yang menjadi tempat tinggalnya. Saat ini, terdapat sekitar 1.000-an lebih lukisan
di Museum Affandi, dan 300-an di antaranya adalah karya Affandi. Lukisan lukisan tersebut
tidak dijual karena itu adlah karya restropektif yang punya nilai kesejarahan mulai dari awal
kariernya hingga selesai , lukisan lukisan tersebut dipajang di galeri I .

Di galeri II adalah lukisan teman-teman Affandi, baik yang masih hidup maupun yang sudah
meninggal seperti Basuki Abdullah,Popo Iskandar, Hendra, Rusli, Fajar Sidik, dan lain-lain.
Adapun galeri III berisi lukisan-lukisan keluarga Affandi.

Di dalam galeri III yang selesai dibangun tahun 1997, saat ini terpajang lukisan-lukisan
terbaru Kartika Affandi yang dibuat pada tahun 1999. Lukisan itu antara lain Apa yang
Harus Kuperbuat (Januari 99), Apa Salahku? Mengapa ini Harus Terjadi (Februari
99), Tidak Adil (Juni 99), Kembali Pada Realita Kehidupan, Semuanya Kuserahkan
KepadaNya (Juli 99), dan lain-lain. Ada pula lukisan Maryati, Rukmini Yusuf, serta Juki
Affandi.

Affandi hanyalah salah satu pelukis besar Indonesia . Karena berbagai kelebihan dan
keistimewaan karya-karyanya, para pengagumnya sampai menganugerahinya berbagai
sebutan dan julukan membanggakan antara lain seperti julukan Pelukis Ekspressionis Baru
Indonesia bahkan julukan Maestro.

Koran International Herald Tribune yang menjulukinya sebagai Pelukis


Ekspressionis Baru Indonesia, di Florence, Italia dia telah diberi gelar Grand Maestro.

Penghargaan dan Hadiah Yang Diraih Affandi

1. Piagam Anugerah Seni, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1969

2. Doktor Honoris Causa dari University of Singapore, 1974

3. Dag Hammarskjld, International Peace Prize (Florence, Italia, 1997)

4. Bintang Jasa Utama, tahun 1978

5. Julukan Pelukis Ekspresionis Baru Indonesia oleh Koran International Herald Tribune

6. Gelar Grand Maestro di Florence, Italia

Pameran
1. Museum of Modern Art (Rio de Janeiro, Brazil, 1966)

2. East-West Center (Honolulu, 1988)

3. Festival of Indonesia (AS, 1990-1992)

4. Gate Foundation (Amsterdam, Belanda, 1993)

5. Singapore Art Museum (1994)

6. Centre for Strategic and International Studies (Jakarta, 1996)

7. Indonesia-Japan Friendship Festival (Morioka, Tokyo, 1997)

8. ASEAN Masterworks (Selangor, Kuala Lumpur, Malaysia, 1997-1998)

9. Pameran keliling di berbagai kota di India.

10. Pameran di Eropa al: London, Amsterdam, Brussels, Paris, Roma

11. Pameran di benua Amerika al: Brazilia, Venezia, So Paulo, Amerika Serikat

12. Pameran di Australia

Buku Tentang Affandi

1. Buku kenang-kenangan tentang Affandi, Prix International Dag Hammarskjld, 1976, 189
halaman. Ditulis dalam empat bahasa, yaitu Bahasa Inggris, Belanda, Perancis, dan
Indonesia.

2. Nugraha Sumaatmadja, buku tentang Affandi, Penerbitan Yayasan Kanisius, 1975

3. Ajip Rosidi, Zaini, Sudarmadji, Affandi 70 Tahun, Dewan Kesenian Jakarta, 1978.
Diterbitkan dalam rangka memperingati ulang tahun ketujuh puluh.

4. Raka Sumichan dan Umar Kayam, buku tentang Affandi, Yayasan Bina Lestari Budaya
Jakarta, 1987, 222 halaman. Diterbitkan dalam rangka memperingati 80 tahun Affandi, dalam
dua bahasa, yakni Bahasa Inggris dan Indonesia.

"Belasan karya kanvas itu digarap dengan konsep kanda


mpat," kata kurator pameran tersebut Wayan Seriyoga
Parta di Denpasar, Selasa (7/10).

Jakarta, Aktual.co Seniman kelahiran perkampungan Ubud, Kabupaten Gianyar, Bali, I


Ketut Budiana (64), yang menghasilkan karya kanvas yang unik akan menggelar pameran
tunggal di Yogyakarta dan Jakarta.
"Belasan karya kanvas itu digarap dengan konsep kanda mpat," kata kurator pameran tersebut
Wayan Seriyoga Parta di Denpasar, Selasa (7/10).

Ia mengungkapkan pameran di kedua kota besar itu berawal dari gagasan Bentara Budaya
Bali (BBB) sebagai lembaga kebudayaan nirlaba Kompas-Gramedia di Ketewel, Gianyar.

Dalam pameran yang berlangsung selama seminggu, 6 hingga 11 Oktober 2014, itu, disajikan
sebuah ritus kelahiran, maka Jakarta diandaikan sebagai rimba kehidupan berikut
kompleksitasnya, menjadi ruang untuk menempa dan menguji diri.

Hal ini tecermin dari karya-karya yang ditampilkan cenderung lebih berwarna dan
mengedepankan medium lukis.

Sementara itu, karya lukis yang dihadirkan di Yogyakarta menggambarkan rangkaian ritus
yang memaknai kesadaran untuk kembali ke asal-muasal (kawitan).

Wayan Seriyoga Parta menambahkan dalam konteks ritus Budiana, pameran di Yogyakarta
dapat dibaca sebagai tahapan "wanaprasta" (tingkatan kehidupan yang meninggalkan hal-hal
duniawi).

Pameran di Bentara Budaya Jakarta berlangsung sembilan hari, 9-18 Oktober 2014, dan di
Bentara Budaya Yogyakarta seminggu, 15-22 Oktober 2014.

Ketut Budiana salah seorang sosok seniman Bali mumpuni dengan karya-karya terpujikan,
menghadirkan suatu dunia fantastik yang khas dirinya, merefleksikan filsafat kosmos Bali
sebagai pertarungan kekal antara kekuatan magis nan-fantastis.

Ia telah menggelar pameran tunggal sejak tahun 1999 di ARMA Museum, Ubud. Tahun 2008,
berpameran tunggal di Maruki Art Museum, Japan dan pada tahun yang sama juga menggelar
pameran tunggal Setagaya Art Museum, Japan.

Sejumlah penghargaan yang pernah diterima, antara lain penghargaan dari "Cormsh Colege
Othe Arts" tahun 1995, Penghargaan dari "La Trobe University Melbourne", Australia tahun
2000, penghargaan dari "Arhus Kunsbygning" Denmark, tahun 2004 dan penghargaan dari
Peace Festival in Itabashi, Japan, Jepang tahun 2005.

Seniman Padang Abdi Setiawan Pameran Tunggal di Redbase Art


Tia Agnes Astut - detikhot

Jumat, 31/10/2014 18:18 WIB


Abdi dan 'The Future is Here' (Dok.Tia Agnes/ detikHOT)

Jakarta -

Nama Abdi Setiawan sudah melanglang buana dan berkiprah dalam Komunitas Seni Sakato (Sakato
Art Community) Yogyakarta. Dalam berkarier di seni rupa khususnya patung, Abdi sering mengangkat
figur-figur manusia dalam karyanya.

Kali ini, di Rebbase Art Galeri Ciputra lantai 12, Abdi memamerkan karya seni instalasinya yang
berjudul 'The Future is Here' hingga 30 November 2014 mendatang. Patung kayu jati yang dibuatnya
ini menggambarkan seorang satpam yang mengawasi anak-anak bermain.

Uniknya, ada yang memegang senjata dan topeng wajah harimau. Serta di ujung terdapat patung
wanita berwarna hitam yang nampak hanya melihat.

Figur anak-anak ini berdasarkan dari pengalaman di lingkungannya. "Studio seni saya beda satu
gedung dengan Taman Kanak-Kanak (TK), dan setiap sore di halaman banyak yang main bola. Ini
mengajak saya ke pemikiran, bagaimana kalau figur mereka berubah," ungkapnya kepada detikHOT
Kamis (30/10/2014).

Dari yang baik berubah menjadi jahat atau memiliki perangai tak baik. "Sebelumnya saya juga pernah
membuat patung preman dan rumah bordir. Mungkin ini yang mempengaruhi saya juga."

Seniman kontemporer kelahiran 29 Desember 1971 ini sehari-hari berkarya di kota Yogyakarta. Ia
merupakan lulusan ISI Yogyakarta di tahun 1993-2003. Karya-karyanya banyak dibeli oleh kolektor
Italia.
16 Nov 2014

Pameran Tunggal Dadang M.A.

31 Oktober 16 November 2014


Bale Tonggoh, Selasar Sunaryo Art Space (SSAS)
Jl. Bukit Pakar Timur No. 100
Bandung 40198
Dikuratori oleh : Rizki A. Zaelani

Dadang Mochamad Achjar, lebih dikenal dengan sebutan nama Dadang MA, adalah salah
seorang contoh penting bagi penjelasan mengenai pertumbuhan generasi seniman Bandung
80an yang belum banyak dijelaskan dalam peta perkembangan seni rupa Indonesia.
Berbeda dengan perkembangan seni rupa di tahun 1990an yang diwarnai panggung
perkembangan seni rupa kontemporer yang berciri eksploratif serta dirayakan berbagai
perhelatan seni rupa internasional, maka tahun 1980an adalah masa kritis dalam tahap
perkembangan seni rupa Indonesia yang cenderung menjadi mapan. Pada tahun 1980an pula
mulai dikenal istilah boom seni lukis Indonesia yang fenomenal. Tantangan bagi para
pelukis muda di tahun 1980an adalah upaya keras dalam penggalian dan persaingan
inspiratif yang datang dari para seniman besar yang telah mapan. Seorang seniman muda
yang bekerja keras untuk menjawab tantangan semacam itu tak hanya membutuhkan tingkat
penguasaan teknis kerja yang mencukupi, tetapi juga ketetapan dalam pencarian kedalaman
suatu ekspresi secara konsisten. Dadang MA mulai menapaki karir artistiknya pada masa itu
bersama-sama dengan puluhan seniman Bandung lain sezamannya. 1977 merupakan tahun
yang penting baginya ketika Dadang MA menjadi bagian dari Pameran Seniman Muda
Bandung.

Para seniman generasi tahun 1980an percaya pada kekuatan medium seni yang bersifat khas,
yang dirumuskan dalam kategori idiom ekspresi secara tertentu, yang dijelaskan dalam
batasan-batas sebagai: seni lukis, seni patung, seni grafis, dll. Para seniman, dengan
demikian, terbiasa menjelajahi idiom dan ekspresi bahasa secara spesifik dan khas. Bagi
Dadang MA seni lukis merupakan pilihan yang dia bela secara sungguh-sungguh,
meneguhkan pesan sang guru yang ia hormati dan kenal secara baik, yaitu sang maestro Popo
Iskandar. Ketegasan Dadang MA menggeluti seni lukis sedari awal membentuknya menjadi
sosok seniman (pelukis) yang memiliki karakter ekspresi yang khas dan mudah dikenang.
Kritikus dan sejarawan seni rupa Sanento Yuliman mencatat karakter artistik yang kuat dalam
perkembangan seni rupa tahun 1980an, khususnya di Bandung, yang disebutnya sebagai
kecenderungan lirisisme (lyricism). Kecenderungan semacam ini terutama berkembang
melalui ekspresi karya-karya abstrak yang bersifat ekspresif. Lukisan-lukisan Dadang MA
yang berkarakter liris (lyrical) bisa dipahami ibarat sebuah muara pertemuan dari berbagai
kecenderungan estetik yang dikerjakan para tokoh perintis seni rupa abstrak Indonesia yang
menentukan, seperti: Popo Iskandar, Srihadi Soedarsono, serta Ahmad Sadali.

Pameran ini, closeness distance, mengetengahkan dua kecenderungan tematik yang sering
dikerjakan Dadang MA, yaitu: tema pemandangan (landscape dan seascape) serta tema
bunga mengesampingkan tema ketiga yang juga penting serta khas, yaitu: penari.
Pemakaian judul closeness distance ini setidaknya sudah menyiratkan penjelasan tentang
pemilihan dua tematik karya yang ditunjukan oleh Dadang MA pada kesempatan pameran
kali ini. Meski seakan bercabang dua, bagaimanapun, kumpulan lukisan-lukisan yang
dipamerkan itu jelas menghadirkan kepaduan karakter artistik yang khas ala Dadang MA.
Tema pemandangan (landscape/seascape) menjelaskan cara Dadang MA menanggapi ihwal
soal yang ada yang jauh di sana yang berjarak dalam sudut pandang tatapan mata kita secara
biasa; sedangkan tema mengenai gambaran bunga menggali ihwal soal pergulatan yang
berpijak dari pengalaman yang dekat, yang di sini. Kematangan Dadang MA dalam
menggeluti proses kerja melukis selama ini, pada akhirnya, tetap menjadikan kedua titik
pandang persoalan itu sebagai sebuah kepaduan pengalaman nilai yang bermakna utuh.

Basoeki Abdullah Sebagai Seniman Gambar

by Imam Muhtarom
Posted 09 Desember, 2013.

Ki Hadjar Dewantara, charchoal di atas kertas, 1957

Pada 1957, Dewangkoro, cucu dari Ki hadjar Dewantara beserta saudara dan ayah ibunya
didatangkan ke Yogyakata dari Bali. Dewangkoro (59 tahun) saat itu masih usia 3 tahunan.
Kabar itu diterima ayah Dewangkoro lewat radiogram. Mereka naik pesawat udara milik
angkatan darat. Tujuan mereka hanya satu: menyaksikan kakeknya digambar oleh Basoeki
Abdullah. Proses menggambar dilakukan di teras belakang Sekolah Taman Siswa yang
sekarang menjadi Universitas Taman Siswa.

Proses menggambar Ki Hadjar Dewantara memakan waktu agak lama karena diselingi
pembicaraan di antara mereka dan minum dalam situasi kekeluargaan. Pada awalnya gambar
Ki Hadjar Dewantara yang lengkap berjas, dasi, dan kopiah sebelumnnya tidak mengenakan
setelan jas. Setelah beberapa saat tanpa jas, Ki Hadjar masuk kamar dan mengenakan jasnya
sebagaimana dalam gambar karya Basoeki Abdullah ukuran 90 cm persegi.

Gambar itu sebagian besar menggunakan arang dan sedikit kapur yang ditorehkan di atas
kertas. Gambar karya Basoeki Abdullah ini menurut Mikke Susanto dibuat seorang yang
sudah sangat menguasai teknik menggambar. Jika awalnya Basoeki Abdullah muda
menggunakan teknik menggerus arang lalu menggosokkan ke kertas dengan kapas, saat
membuat gambar Ki Hadjar tidak. Ia langsung menggunakan pensil yang secara otomatis
mengatur tekanan untuk membuat warna hitam tebal atau hitam transparan.

Potret Sukarno, pensil di atas kertas, 1940-an, reproduksi

Dua tahun kemudian setelah pembuatan gambar itu, tepatnya 1959, Ki Hadjar Dewantara
pendiri Indische Partij, wafat, kata Dewangkoro, cucu Ki Hadjar Dewantara.

Ki Hadjar Dewantara kita tahu adalah salah seorang pahlawan nasional Indonesia atas
jasanya kepada bangsa ini dalam upayanya merintis perjuangan bangsa lewat oganisasi dan
pendidikan. Ki Hadjar Dewantara adalah anggota tiga serangkai bersawa E.F.E. Douwes
Dekker dan Tjipto Mangunkusumo. Protes mereka yang terkenal ketika menolak perayaan
hari perayaan merdekanya Belanda dari penjajahan Perancis di tanah Hindia pada 1913.
Basoeki Abdullah telah mengenal akrab Ki Hadjar Dewantara sejak awal 1940-an di Putera
bersama S. Soedjojono, Agoes Jaya, Affandi, Hendra Gunawan dan seniman lain di bawah
rezim kolonial Jepang.
Potret Mahatma Gandhi, 28x21cm, pensil di atas kertas, 1925

Gambar berjudul Ki Hadjar Dewantara tersebut menjadi petanda utama Basoeki Abdullah
bukan perupa yang hanya gemar melukis panorama indah saja dan lukisan tubuh perempuan.
Bersama 22 karya lainnya dalam berbagai ukuran dan material pada pameran bertajuk Seni
Gambar Basuki Abdullah Museum Basoeki Abdullah di Jakarta menunjukkan keterlibatannya
dalam proses pergerakan nasional Indonesia. Pameran yang berlangsung 7-20 Desember 2013
ingin menjawab tuduhan bahwa Basoeki Abdullan bukan perupa apolitis, anasionalis, dan
hedonis. Selain Mikke Susanto, kurator lainnya ada Agus Dermawan T.

Berbeda dengan karya lukisnya, Basoeki Abdullah dalam karya gambarnya sama sekali tidak
mengangkat panorama alam dan mitologi Jawa. Dalam seni gambarnya Basoeki Abdullah
menunjukkan cerita lain yang selama ini tertutup oleh citra yang dilekatkan kepada perupa
senior dalam sejarah seni rupa Indonesia sebagai perupa mooi indie atau Hindia molek.

Kita bisa melihat wajah Ki Hadjar Dewantara, wajah Soekarno, Soekarno sedang memimpin
rapat, Mahatma Gandhi, ayah Basoeki Abdullah yaitu Abdullah Surjo Subroto yang dikenal
juga sebagai pelukis, Tony Rafty jurnalis pro-kemerdekaan Indonesia dari Australia, dan juga
kerabat elit dari Basoeki Abdullah.

Basoeki Abdullah memang tidak terjun ke medan perang dan merekam situasi perang ke
dalam kanvasnya. Namun bukan berarti tidak ada kepedulian pada masa pergerakan itu. Ia
terlibat aktif dalam rapat-rapat pegerakan di kalangan elite perjuangan, yang dipimpin
Soekarno. Juga pada Konferensi Meja Bundar yang delegasi Indonesia dipimpin Sutan
Syahrir, Basoeki Abdullah ikut di dalamnya, kata Mikke Susanto selaku kurator.
Sri Ayati, pensil di atas kertas, 1945, reproduksi

Antusiasme Basoeki Abdullah pada seni gambar dan objek tokoh perjuangan sudah ada
semenjak usia masih sangat muda. Pada 1925 kala Basoeki Abdullah usia 10 tahun ia sudah
menggambar potret Mahatma Gandhi dengan hasil yang sangat bagus. Gambar berjudul
Potret Mahatma Gandhi ini tekniknya masih menggunakan gerusan arang lalu digosokkan
dengan kapas dan pada kumisnya ia digunakan penghapus untuk mengurangi warna hitam
yang tebal.

Dalam pameran ini juga terdapat gambar potret Sri Ayati yang terkenal lebih dulu dalam puisi
Chairil Anwar yang berjudul Senja di Pelabuhan Kecil dengan keterangan dibawah judul
buat Sri Ayati. Gambar hasil reproduksi ini bertarikh 1945 menggambarkan Sri Ayati dalam
posisi kepala miring sementara kedua bola matanya tajam mengarah ke depan. Rambutnya
tidak disanggul tetapi barangkali mewakili gaya rambut gadis kota Jakarta saat itu.

Pameran gambar karya Basoeki Abdullah ini dilakukan bersamaan dengan pameran lukisan-
lukisan yang memenangkan Kompetisi Lukis Basoeki Abdullah Award 2013. Perupa-perupa
itu adalah Hareanto Simatupang, Niko Wiratma, Camelia Mitasari, Fikri Effendi, Angga
Yuniar, Vinna Puspita, G. Reza Suseno, Adi Sundoro, G Rosit Mulyadi, dan Adi
Setiawan.***

Anda mungkin juga menyukai