Anda di halaman 1dari 4

I Nyoman Tjokot

I Nyoman Tjokot lahir sebagai pematung atas kehendak Alam. Betapa tidak ditengah sunyinya
perkembangan seni patung pada tahun 1920-an di tanah air, ia hadir seakan menyelinap menyibak
tabir kebekuan sejarah. Tidak ada guru yang mengajari ia mematung, sesuai dengan namanya
“Tjokot” yang berarti “ambil”, begitu pulasejarah seni patung dengan aliran “tjokotisme” dimulai,
karena awalnya Tjokot mematung dengan hanya “mengambil” sebongkah kayu yang ditemukan di
aliran sungai kemudian instingnya bergerak mengikuti bentuk dan tekstur kayu. Panggilan alamlah
yang menghantarnya menjadi pematung otodidak tulen.
Karya-karya patung Tjokot hadir memberi pemahaman baru mengenai gagasan kreativitas yang
hadir dari interpretasi sebuah material. Sikap kontemplatif dan meditatifTjokot banyak
dipengaruhi oleh pemahamannya yang sangat baik terhadap naskah-naskah lontar Bali kuno yang
memberikan inspirasi dalam berkarya. Karya-karya patungnya lebih dulu menggetarkan jagad seni
rupa dunia seperti Amerika, Filipina, dan beberapa negara ketimbang negara asalnya, terutama
Bali. Berkat peran pelukis I Nyoman Tusan, maka karya patung Tjokot perlahan mulai diapresiasi
dan dihargai oleh dunia seni rupa Indonesia dan masyarakat Indonesia umumnya.

Tjokot terlahir dari keluarga petani pasangan I Gentar dan Ni Kinut, di Banjar Jati, Desa Sebatu,
Tegallalang, Gianyar sekitar tahun 1886. Tidak ada silsilah keluarga seni di keluarga Tjokot. Sebagai
anak desa, yang tidak pernah mendapat pendidikan seni secara formal, tentu saja pahatan patung
Tjokot pada awalnya kurang baik terlebih pahatannya dianggap tidak lazim, yaitu terlihat kasar,
spontan, dan terkesan belum selesai (unfinish). Bahkan ejekan yang diterimanya dari pelukis
kondang I Gusti Nyoman Lempad kala itu, tidak menyurutkan Tjokot terus berkarya.

Memilih hidup sebagai seniman pada awala abad ke-20 (sekitar tahun 1920-an) memang bukan
perkara mudah karena apresiasi masyarakat pribumi terhadap karya seni kala itu belum tinggi.
Sejalan dengan kebutuhan hidup yang terus meningkat,karena harus menghidupi anak dan isteri,
Tjokot mulai menjual sendiri karya-karya patungnya ke daerah Kintamani, Sanur, dan Ubud,
bahkan tak jarang karya patungnya dibeli dengan harga sangat murah atau bahkan dicicil. Konon di
daerah Ubud inilah Tjokot berkenalan dengan seniman asing yang menetap di Ubud Bali, Rudolf
Bonnet dan Walter Spies. Pertemuan Tjokot dengan dua seniman asing tersebut memberi pengaruh
yang besar pada penciptaan patung-patungnya kemudian, karena mereka memberikan dorongan
dan spirit tentang kekuatan patung Tjokot.

Ketekunan dan perjuangan Tjokot membuahkan hasil ketika karyanya mulai diapresiasi diluar
negri, justru di dalam negeri (terutama Bali), patung-patung Tjokot kurang mendapat penghargaan.
Pada tahun 1960-an justru karya-karya Tjokot sudah dikenal di Amerika Serikat dan ia sudah
disebut sebagai seorang maestro dalam bidang seni patung.
Adalah pelukis Nyoman Tusan yang tanpa sengaja menemukan karya patung Tjokot di Filipina,
ketika ditugaskan membawa misi kesenian Indonesia.Sejak itu Nyoman Tusan terus
memperjuangkan dan meyakinkan masyarakat Bali bahwa karya patung Tjokot memiliki nilai
estetika yang sangat tinggi. Usaha Nyoman Tusan ternyata tidak sia-sia karena secara perlahan
masyarakat Indonesia menyadarai kekuatan dan kelebihan karya Tjokot. Atas perannya terhadap
perkembangan seni patung Indonesia, pada tahun 1969 Pemerintah Indonesia memberikan
penghargaan berupa Anugerah Seni Wijaya Kusuma.

Kekuatan karya patung Tjokot terletak pada ekspresi bentuk yang sangat dinamis, ekspresif tapi
cenderung magis. Tjokot tidak menggagas sebuah bentuk rupa dalam pikirannya ketika
menemukan sebongkah kayu atau akar pohon, namun sebaliknya bentuk bongkahan kayu atau akar
tersebutlah yang memberikan inspirasi. Sejalan dengan kualitas hidupnya yang semakin meningkat
terutama akan nilai-nilai kehidupan, Tjokot mulai menyadari pentingya mensinergikan antara
ajaran Hindu dan proses berkesenian.

Sebagai orang Bali, I Nyoman Tjokot memiliki keyakinan bahwa hukum Karmaphala dan
reinkarnasi (punarbhawa) merupakan bagian dari ajaran Hindu yang melandasi kehidupan. Pada
siklus kehidupan dalam ajaran itu, sebab akibat dari perbuatan manusia bisa dibaca lewat mitos-
mitos yang melahirkan simbol dalam bentuk mitis atau magis. Keyakinan tersebut membawa
Tjokot memperdalam naskah-naskah kuno pada tulisan daun lontar sampai akhirnya ia memiliki
kemantapan hati bahwa cerita-cerita klasik pada naskah daun lontar merupakan sumber inspirasi
yang paling hakiki dalam berkarya.

Beberapa karya patung Tjokot yang terinspirasi dari mitologi Hindu atau cerita rakyatantara
lain,”Betari Durga,” “Panca Resi,” “Garuda,” “Tri Murti”, “Bima Bertapa,” “Singa Butasiu,” dan
patung-patung binatang. Figur-figur mitologi sarat akan makna simbolis yang dipahat dengan
tekstur kasar dan pewarnaan natural kehitaman dengan polesan air kapur pada karya Tjokot
seakan menghadirkan kekuatan magis sekaligus primitif yang kuat.

SYARIZAL KOTO 
 Ia selesai belajar pahat di Fakultas Seni Rupa dan Desain Institut Seni Indonesia Yogyakarta
pada tahun 1991. Karyanya mendapat penghargaan dalam kategori non-abstrak di Rancang
Patung Lingkungan Citra Raya (Citra Raya Sclupture Design ) pada tahun 1995, dan dia
adalah satu dari tiga pemenang Hadiah di kompetisi Ancol Ancol 2001 di Jakarta. Dia telah
menggelar pameran tunggal di Galeri Sika, Ubud, Bali pada tahun 1997, Yogyakarta pada
tahun 1998 dan Jakarta pada tahun 2001. Dia sekarang tinggal dan bekerja di Yogyakarta.
 Syahrizal kebanyakan menggunakan perunggu untuk menunjukkan bentuk cacat atau
distorsi yang berlebihan dalam karya-karyanya. Dia mengembangkan gaya ini dengan
memulai dengan meningkatnya tingkat asosiasi artistik. Faktor penting yang perlu
dipertimbangkan dalam melihat pahatannya adalah bahwa figur-figur tersebut sering
dimutilasi, diregangkan, ditekuk, atau memiliki ruang hampa di dalamnya. Hal ini
disebabkan pengaruh dari benda-benda seperti patung kuno, hiasan pada barang antik, dan
kesan sihir, yang ia rasakan terhadap benda-benda dan karya pematung besar lainnya di
dunia.
Pendidikan[sunting | sunting sumber]

 INS Kayutanam
 SSRI (sekarang SMSR) Padang
 Fakultas Seni Rupa Jurusan Seni Patung ISI Yogyakarta (S1)

Seniman menangkap eksotisme alam dan narasi kehidupan dengan gaya tersendiri yang unik.
Beberapa karya abstrak ini menggemakan gambar antropomorfis, karena konturnya lebih dekat
dengan figur binatang atau manusia daripada bentuk geometris. Daya tarik khusus mereka dicapai
melalui distorsi, pemanjangan dan kelengkungan bersamaan dengan permukaan kasar dan halus
yang dicapai dengan memahat, mencubit, dan menerapkan hal-hal pada model yang dia bentuk.
Syahrizal tidak membuat ilusi muncul di pahatannya. Sebaliknya, seolah-olah ia ingin memamerkan
pesona klasik dari bentuk kepentingan fisik, yang dapat dilihat pada materi, teknik, rincian, dan
gagasan non-artistik dasar yang semuanya menjadi satu kesatuan dalam karya-karyanya.

BASRIZAL ALBARA
Pekerjaan Basrizal Al Bara saat ini adalah membuat patung atau pematung. Anak ke 4 dari 7
bersaudara ini bukan berasal dari keluarga seni, orangtuanya bekerja sebagai pegawai negri yang
jauh dari aktivitas kesenian. Basrizal adalah satu-satunya anak dari 7 bersaudara di keluarganya
yang memilih di jalur kesenian. Sejak kecil ia sudah sangat tertarik dengan kesenian dan senang
menggambar.
Pendidikan formal yang ditempuhnya mulai SD, SMP, SMSR jurusan patung dihabiskannya di
Padang Sumatera Barat. Selulus SMSR ia melanjutkan ke Institut Seni Indonesia Yogyakarta jurusan
patung. Tahun 1994, Basrizal mulai menekuni dunia patung secara serius, ia memilih patung
karena di dalamnya terdapat banyak tantangan dan akan selalu bekerja di teknik-teknik pengerjaan
patung serta harus mampu melihat dari segala dimensi.
Selain kuliah ia juga berguru ilmu dari eksperimen-eksperimen pencarian bentuk-bentuk baru.
Keputusannya mendalami seni patung nampaknya tidak akan berubah, karena ia merasa yakin
akan pilihan jalan hidup di dunia seni, khususnya seni patung.

Banyak karya yang telah dihasilkannya, tema-tema sosial juga tak luput dari perhatian pematung
yang pernah mendapatkan penghargaan Lomba Citra Raya "Patung Monumen Citra Raya". Karya-
karyanya sering dipamerkan dalam pameran-pameran di Yogyakarta dan kota-kota besar lainnya
seperti Jakarta, Semarang, dan lainnya. Salah satu karyanya menjadi koleksi orang Belanda.

Jhoni Waldi 

Jhoni Waldi (lahir 29 Juni 1972) adalah seorang seniman Indonesia yang berprofesi


sebagai pematung.[1] Ia meraih gelar S1 Seni Patung di Institut Seni Indonesia Yogyakarta (ISI
Yogyakarta).[2] Sebelumnya ia menempuh pendidikan menengahnya di Sekolah Menengah Seni
Rupa (SMSR) Padang, Sumatra Barat.

Jhoni Waldi adalah sosok pematung yang konsisten berkarya hingga kini. Secara formal dia mulai
mempelajari seni patung semenjak menempuh pendidikan di Sekolah Menengah Seni Rupa (SMSR)
Padang, Sumatera Barat. Lulus dari SMSR, dia meneyelesaikan pendidikan Strata 1 Seni Patung di
Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta.
Pameran tunggal Jhoni Waldi akan diselenggarakan pada 17 – 24 Desember 2013 di Bentara
Budaya Yogyakarta, Jalan Suroto 2 Kotabaru, Yogyakarta.
Seni patung atau pahat adalah cabang seni rupa yang menghasilkan karya berwujud tiga dimensi.
Biasanya diciptakan dengan cara memahat, modeling (misal dengan tanah liat)
ataukasting (cetakan).
Seiring dengan perkembangan seni patung modern, maka karya – karya seninya juga semakin
beragam, baik dari segi bentuk maupun bahan dan teknik yang digunakan. Hal tersebut sejalan
dengan perkembangan teknologi serta penemuan bahan – bahan yang baru.
Di Indonesia, seni patung memiliki berbagai fungsi, misalnya di Bali, patung digunakan sebagai
media peribadatan. Di daerah lain patung digunakan sebagai monumen guna mengabadikan
peristiwa penting atau menghormati seorang tokoh, terutama pejuang kemerdekaan.
Kelahiran seni patung modern di tanah air, dipelopori oleh para seniman angkatan tahun 50-an,
diantaranya Hendra Gunawan, Trubus, Edhi Soenarso dan masih banyak lagi. Mereka membuat
karya – karya patung pahatan dari batu vulkanik di Yogyakarta.
Jhoni meyakini bahwa patung merupakan medium seni yang dapat menampung seluruh ide dan
gagasannya. Pada pameran ini, ia ingin mengartikulasi respons subjek yakni manusia kala
mengalami benturan tata aturan baik biologis maupun konsepsi – konsepsi, konvensi, atau sistem
tradisi.
Sejumlah 17 patung Jhoni Waldi menggambarkan situasi ini sebagai bentuk inklinasi tubuh.
Inklinasi memiliki makna suatu perasaan ingin melakukan sesuatu.
Dengan teknik yang unik dan ditunjang dengan pemakaian bahan solid, menjadikan pameran ini
layak untuk dinikmati.

Anda mungkin juga menyukai