Anda di halaman 1dari 4

Heri Dono

Nama : Heri Wardono

Lahir : Jakarta, 12 Juni 1960

Pendidikan : Institut Seni Indonesia, Yogyakata (1980-1987), (tidak selesai)

Karir : Mengadakan pameran lukisan dan patung serta seni instalasi dan sound art di
dalam dan luar negeri

Penghargaan :
- Penghargaan Seni Lukis Terbaik dari Institut Seni Indonesia, Yogyakarta (1981/1985) -
Seniman Muda Indonesian Artists dari L’Alliance Francaise dan ITB (1989) - I Gusti
Nyoman Lempad Prize dari Sanggar Dewata Indonesia, Yogyakarta (1992) - Prince
Clause Award (1998) - Unesco Prize for the International Art Biennale, Shanghai, Cina
(2000)

Keluarga :
Ayah : Sahirman Ibu : Suwar

HERI Dono menyebut dirinya sebagai seniman borongan: melukis, membuat patung,
membuat wayang, dan seni instalasi. Kalau sedang jenuh melukis, pengagum pelukis
Affandi dan Sujarna Kerton ini menginstalasi; kalau jenuh dengan seni instalasi, ia
menulis konsep pertunjukan seni rupa. Dengan nada bercanda, ia mengategorikan
aliran karyanya sebagai “aliran sesat seni rupa”.

Apa pun, Heri Dono adalah perupa Indonesia yang cukup menonjol saat ini. Jebolan
Institut Seni Indonesia, Yogyakarta, itu kerap mengadakan pameran di dalam dan luar
negeri, baik pameran bersama maupun tunggal. Negara-negara yang pernah menjadi
ajang pameran karya-karyanya antara lain Singapura, Australia, Inggris, Kanada, dan
Jepang. Heri berniat memamerkan Daruma, karya berupa patung dari kertas, di markas
PBB di New York, Amerika serikat.

Anak kelima dari tujuh bersaudara ini melewatkan masa kanak-kanaknya di Jakarta. Ia
bukan dari keluarga seniman. “Saya menjadi seniman lebih banyak terbentuk oleh
lingkungan,” kata Heri. Ketika berumur tujuh tahun, ia sering melihat acara pelajaran
menggambar TV yang diasuh oleh pelukis Tino Sidin (almarhum). Ia pun kerap diajak
ayahnya, yang bekerja pada mantan Presiden Sukarno, ke Istana Bogor dan di sana ia
bisa melihat-lihat beberapa patung dan lukisan sejumlah pelukis terkenal.

Senang menggambar sejak duduk di sekolah dasar, papar Heri, “Saya memang sejak
kecil ingin menjadi seniman dan ikut kegiatan menggambar.” Tapi herannya, untuk
pelajaran menggambar, dari SD sampai SMA, rapor Heri selalu merah. Karena, ia tak
pernah menggambar sesuai dengan perintah gurunya.

Orangtuanya sempat mengkhawatirkan masa depan si anak yang sejak SD sampai SMA
berambut gondrong itu. Apalagi kuliahnya di Institut Seni Indonesia tidak selesai.
Ketika ia drop out, orang tuanya sempat mengkhawatirkan. Tapi justru kemudian,
papar Heri, “Saya membuktikan pada orangtua bahwa saya bisa berpameran dan
mendapatkan uang dari hasilnya.” Sebagian uangnya ia simpan, sebagian lagi diberikan
pada ayahbundanya. Dari pemberian itu, katanya, mereka tahu bahwa ia bisa survive.”

Sejak SMA ia sudah berpameran di tempat-tempat kecil, sekitar 1987-an. Ia juga


membuat patung. Ketika masih kuliah, Heri sudah ikut pameran, antara lain di
Monumen Pers Solo dan di Parangtritis, Yogyakarta. “Kemudian saya membuat karya-
karya eksperimental, walaupun tidak diakui sebagai seni,” kisah Heri. Antara lain, ia
membuat Aquarium Art, Mubeng Art yang mengkritik birokrasi yang muter-muter.
Karyanya berjudul The Drunken Master of Semar—sebuah cerita wayang tentang raja
yang ingin bijaksana tapi malah jadi jahat—ketika dipamerkan di Eropa, disuruh ditarik
kembali oleh penguasa Orde Baru. “Saya diancam tidak bisa pulang ke Indonesia,”
ujarnya. Dengan berat hati, akhirnya katalog pemeran tersebut ditarik kembali.

Di rumahnya yang seram di Yogyakarta—yang banyak sarang laba-laba dan boneka


seram, serta rumput dibiarkan tumbuh liar di halaman—seniman lajang berkacamata
dan berambut panjang ini membuat eksperimen dengan bunyi-bunyian. Sekitar
rumahnya diisi dengan bel agar ia bisa mendengarkan kualitas suara. Berkat bunyi-
bunyian itu, di beberapa negara ia dapat julukan sound artist. Ia menjadi peserta pada
Sound Art Festival di New Zealand.

Heri berkeinginan menginternasionalkan seni rupa Indonesia secara lebih intensif.


Menurut pengamatannya, sudah banyak seniman Indonesia berpameran ke luar negeri,
tapi masih secara sendiri-sendiri.

Agus Suwage
Agus Suwage lahir pada tanggal 14 April 1959 di Purworejo, Jawa Tengah. Pada periode tahun 1979-
1986, Agus mendapat pendidikan di Jurusan Desain Grafis, Fakultas Seni Rupa dan Desain ITB
Bandung. Agus mulai melakukan pameran tunggal pertama kali pada tahun 1995 di Rumah Seni Cemeti
Yogyakarta. Kemudian di tahun berikutnya, Agus melakukan pameran tunggal di luar negeri untuk
pertama kali di H Block Gallery QUT, di Brisbane, Australia. Karya Agus mulai mengikuti pameran
bersama pada tahun 1997. Pada tahun tersebut karya Agus dipamerkan dalam lima pameran bersama,
yang empat diantaranya diselenggarakan di luar negeri, yaitu India, Malaysia, Cuba, dan Jepang.
Beberapa pameran tunggal Agus yang cukup menarik perhatian antara lain “CYCLE No.2” dan “CYCLE
No.3” (2013) dan “The End Is Just Beginning Is The End” (2011) di The Tyler Rollins Fine Art, New York,
Amerika; dan “Pause/Re-Play” (2005) di ITB, Bandung. Sampai tahun 2016, karya Agus tercatat telah
dipamerkan di lebih dari 150 museum dan gallery dalam berbagai pameran di berbagai negara.
Agus Suwage adalah seorang perupa yang lahir pada 14 April 1959.[1] Banyak ide-ide nya
dituangkan dalam karya-karya yang besar. Bahkan ketika usianya tak lagi muda, Agus Suwage
merayakan 50 tahun eksistensinya melalui pameran retropektif yang menampilkan 99 karya sejak
tahun 1985 hingga 2009. Seorang perupa yang dikenal dengan ide-ide aneh seperti karya
terbarunya Passion of Play. Hasil karyanya berupa enam patung berpakaian putih yang
merefleksikan wajah wajah para pesohor di bidang seni rupa Indonesia. Enam figur tersebut
diantaranya ada Oei Hong Djien, Melani Setiawan, Dedi Kusuma dan Douglas Lim. Wajah lain
seperti Nadi Biantoro Santoso, serta Rifky Effendi pun menjadi karya nya yang dimunculkan.
Ketika awal berkecimpung dalam dunia seni rupa, karya Agus Suwage lebih condong ke tema
komentar sosial. Bahan atau alat yang digunakan Suwage dalam berkarya juga tak lepas dari
keanehan atau tidak lazim. Seperti menggunakan pelat alumunium atau juga menggunakan aspal
dan tanah sebagai media. Bagi nya melukis di atas kertas lebih menarik daripada melukis
menggunakan kanvas. Melalui penggunaan cat air dan cat minyak, Agus Suwage mampu
mengekplorasi teknik yang menampilkan efek transparan.
Bayak hasil karyanya telah dipamerkan di dalam dan luar negeri, baik berpameran tunggal atau
secara kelompok, dan telah menerima banyak penghargaan, salah satunya dari Phillip Morris
Indonesia Art Award dan Phillip Morris ASEAN Art Award. Agus lebih menyukai wajah manusia atau
gerak tubuh manusia untuk dijadikan model karyanya. Seringkali Agus menggunakan wajah dan
tubuh nya sendiri sebagai sarana dalam mengekspresikan sikap terhadap diri sendiri. Hal ini sesuai
dengan prinsip pribadinya yaitu "Sebelum mengkritik orang lain, lebih baik mengkritik diri sendiri
dulu". Agus Suwage merupakan seorang perupa yang merasa cepat jenuh, namun ia juga adalah
seorang perupa dengan semangat tinggi untuk terus berkarya dengan media dan ide-ide gilanya.
Room of Mine adalah pameran Solo Agus Suwage yang ketiga kalinya di Tyler Rollins Fine
Art, setelah The End Is Just Beginning Is The End pada tahun 2011 dan CYCLE #2. Pada pameran
ini dia membawakan beberapa karya yang mengutamakan ketertarikkan dia untuk mengeksplorasi
kertas dan bahan dasar lainnya.[2]

Michelangelo Buonarroti Biografi


Michelangelo Buonarroti bisa dibilang artis paling terkenal dari High to Late Italian
Renaissance , dan tak diragukan lagi salah satu seniman terbesar sepanjang masa - bersama
dengan sesama pria Renaissance Leonardo DiVinci dan Raphael ( Raffaello Sanzio) . Dia
menganggap dirinya sebagai seorang pematung, terutama, tetapi juga terkenal karena lukisan-
lukisan yang diinduksi (dibuat dengan enggan). Dia juga seorang arsitek dan penyair amatir.

Masa muda:
Michelangelo lahir pada 6 Maret 1475, di Caprese (dekat Florence) di Tuscany. Ia tidak memiliki
ibu pada usia enam tahun dan berjuang lama dan keras dengan ayahnya untuk mendapatkan ijin
sebagai mahluk seni. Pada usia 12 tahun, dia mulai belajar di bawah Domenico Ghirlandajo,
yang merupakan pelukis paling modis di Florence pada saat itu. Fashionable, tapi sangat
cemburu dengan bakat yang muncul dari Michelangelo. Ghirlandajo menyerahkan anak lelaki itu
untuk magang ke pematung bernama Bertoldo di Giovanni. Di sini Michelangelo menemukan
pekerjaan yang menjadi hasrat sejatinya. Patungnya menjadi perhatian keluarga yang paling kuat
di Florence, Medici, dan ia mendapatkan perlindungan mereka.

Output Michelangelo adalah, cukup sederhana, menakjubkan, dalam kualitas, kuantitas, dan
skala. Patung-patungnya yang paling terkenal termasuk David 18-kaki (1501-1504) dan (1499),
yang keduanya selesai sebelum ia menginjak usia 30 tahun. Potongan-potongan patung lainnya
termasuk kuburan yang dihias secara rinci.

Dia tidak menganggap dirinya pelukis, dan (dibenarkan) mengeluh selama empat tahun berturut-
turut pekerjaan, tetapi Michelangelo menciptakan salah satu mahakarya terbesar sepanjang masa
di langit-langit Kapel Sistina (1508-1512). Selain itu, ia melukis The Last Judgment (1534-1541)
di dinding altar kapel yang sama bertahun-tahun kemudian.

Kedua fresco itu membantu Michelangelo mendapatkan julukan Il Divino atau "The Divine
One."

Sebagai seorang lelaki tua, ia disadap oleh Paus untuk menyelesaikan Basilika Santo Petrus yang
setengah jadi di Vatikan. Tidak semua rencana yang dia tarik dimanfaatkan tetapi, setelah
kematiannya, arsitek membangun kubah masih digunakan sampai sekarang. Puisinya sangat
pribadi dan tidak sebesar karya-karyanya yang lain, namun sangat berharga bagi mereka yang
ingin mengenal Michelangelo.

Kisah-kisah dalam hidupnya kelihatannya menggambarkan Michelangelo sebagai pria yang


pemarah, tidak percaya dan kesepian, kurang dalam keterampilan interpersonal dan kepercayaan
diri dalam penampilan fisiknya. Mungkin itulah sebabnya dia menciptakan karya-karya
kecantikan dan kepahlawanan yang memilukan yang masih mereka kagumi berabad-abad
kemudian. Michelangelo meninggal di Roma pada 18 Februari 1564, pada usia 88 tahun.

Henry Moore
Henry Moore adalah seniman patung Inggris yang lahir pada 30 Juli 1898, di Castleford,
Yorkshire. Ia merupakan salah satu pematung paling terkenal pada abad ke-20.

Moore memutuskan untuk menjadi pematung pada usia 11 tahun, setelah mendengar cerita
tentang seniman patung terkenal Italia, Michaelangelo. Pada masa Perang Dunia I, Moore
bergabung dalam militer, dan setelah itu mendapat beasiswa dari sekolah seni Royal College of
Art di London.

Di sanalah ia mulai mempelajari seni patung. Semula, karya-karya Moore dianggap jelek oleh
gurunya, karena menggabung-gabungkan unsur seni patung Mesir, Oseania, Afrika, dan lain-
lain.

Setelah lulus dari sekolah seni, Henry Moore memulai karirnya sebagai pematung, dan sedikit
demi sedikit karya-karyanya mulai mendapat penghargaan. Pada tahun 1946, karyanya
mendapat pengakuan dari Museum of Modern Art, dan pada 1948 dia memenangkan hadiah
utama untuk karya seni patung pada festival seni Venice Biennale ke-24.

Sejak saat itu, reputasi Moore menanjak, dan karya-karyanya banyak mendapat sambutan
masyarakat. Karya-karya utama Henry Moore di antaranya adalah patung yang dipajang di
markas UNESCO di Paris, di Lincoln Center di New York, dan di University of Chicago. Henry
Moore meninggal dunia pada tahun 1986.

Anda mungkin juga menyukai