Anda di halaman 1dari 2

Nama : Daniati

Kelas : XI IPS 4
Biografi : Anak Agung Gede Sobrat

Anak Agung Gede Sobrat lahir tahun 1912 di


Padangtegal, Bali. Lahir dari pasangan seniman Anak
Agung Putu Yasa dan Jero Gambir, masa kecil Sobrat—
panggilan akrabnya—dipenuhi berbagai suasana tarian dan
upacara Bali yang sakral. Ayahnya dikenal masyarakat
Ubud sebagai penari gambuh tersohor di desanya. Selain
dari garis ayah, bakat seninya juga menurun dari garis ibu,
yakni dari kakeknya yang bernama I Seleseh,
seorang undagi—seniman arsitektur tradisional Bali—
tersohor di desa mereka.

Sobrat dikenal sebagai seorang pelukis alam. Sebagai pelukis dengan


anugerah bakat alami. Sobrat kecil sudah pandai membuat wayang dari
bahan apa saja yang ditemuinya di alam. Dia pernah membuat wayang dari
daun kamboja. Lantas, begitu semakin mahir, dia pun membuat wayang dari
bambu. Semua tentang wayang ia pelajari sebagian besar dari sang kakek
dari pihak ibu. Kakeknya pula yang menempa dasar-dasar kemampuannya
sebagai seniman rupa dan pengetahuan mengenai dunia pewayangan Bali.

Awal 1930-an, Anak Agung Sobrat memberanikan diri bertemu dan belajar
pada pelukis Walter Spies dan Marcel Bonnet. Spies dan Bonnet adallah
orang yang dianggap sebagai pelopor seni rupa modern Bali, yang mengajari
dan menyebarluaskan teknik dan cara pandang modern dalam melukis.
Setelah belajar dari Spies dan Bonnet, Sobrat semakin kuat menapakkan
jejaknya sebagai seniman seni rupa di Bali. Jika sebelumnya Sobrat hanya
menggambar wayang, setelah bertemu Spies dan Bonnet, tema lukisan dan
tekniknya menjadi meluas. Dia mulai menangkap tema-tema keseharian
dalam lukisannya. Sebutlah seperti kehidupan pasar, lukisan potret, penari,
alam pedesaan dan lain sebagainya.
Sobrat juga rajin mengikuti berbagai pameran. Tahun 1958, dia mengadakan
pameran di Yogyakarta atas sponsor Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan. Tahun 1963, mengadakan pameran di Jakarta, disusul
kemudian (1970) mengadakan pameran di Surabaya dengan sponsor
Lembaga Indonesia Amerika. Tahun 1971, ia pameran di Jakarta atas
sponsor dari Goethe Institute. Pada tahun 1957 hingga 1959 Sobrat menjadi
pengajar di Akademi Seni Rupa Indonesia (ASRI) di Yogyakarta. Ia pun terus
berkarya, hingga akhirnya pada tahun 1980-an Sobrat mendapat
penghargaan dari pemerintah (Wijaya Kusuma dan Dharma Kusuma).

Sampai kini, karya-karyanya tersebar di berbagai tempat, seperti di Taman


Budaya Denpasar, Bali; Museum Neka dan Ubud di Bali; Museum Sono
Budoyo di Yogyakarta; Tropenmuseum di Amsterdam dan juga di
Rijksmuseum voor Volkenkunde, Leiden, Belanda. Ada juga di Museum Puri
Lukisan Ratna Warta, di Singapore Art Museum (1994) dan di Centre for
Strategic and International Studies (CSIS) Jakarta.

Seniman besar Anak Agung Gede Sobrat menghembuskan napas terakhirnya


di Bali pada 1992. Anak Agung Gede Sobrat memiliki sembilan orang putra
dan putri. Sebagian besar di antaranya berkecimpung juga dalam dunia seni,
baik itu seni rupa, tari atau seni lainnya. “Setidaknya semua anak-anak Pak
Sobrat punya kecintaan pada seni. Karena ayah kami ini mengajarkan
kearifan seni budaya secara bijaksana kepada kami, anak-anaknya, juga
kepada masyarakat luas,” kata Oka Katjipta, putra pertama Sobrat di suatu
pertemuan di kediaman keluarga Agung Sobrat, beberapa waktu lalu. Oka
Katjipta ditemani adik-adiknya, yakni Anak Agung Netri dan Anak Agung Rai
Putri menceritakan perjalanan hidup ayah mereka.

Oka menceritakan bagaimana sang ayah sangat peduli pada kesejahteraan


para seniman lukis di Bali. Dia ingat betul saat rumah mereka sering
dijadikan tempat berkumpul para seniman yang tergabung dalam organisasi
Pita Maha. “Saya ingat waktu itu banyak teman ayah berkumpul
membicarakan kesenian. Saya sebagai anak muda tentu saja sangat tertarik.
Saya pun mencoba mengikuti jejak ayah sebagai seniman, tapi lebih pada
pendidikan seni,” ujar Oka.

Netri, salah satu putri Anak Agung Sobrat, diakui oleh keluarga sebagai anak
yang paling menuruni bakat ayah mereka dalam hal melukis. Itu karena
Netri seringkali dijadikan objek lukisan potret oleh sang ayah dan diajarkan
secara seksama bagaimana gaya melukis sang ayah. “Saya senang sekali
belajar melukis bersama ayah kami. Beliau sosok yang humoris dan sangat
demokratis dalam mendidik kami, anak-anaknya,” kata Netri yang kini
berprofesi sebagai guru kesenian di sebuah sekolah negeri di Ubud.

Anda mungkin juga menyukai