Anda di halaman 1dari 7

Materi US Kesenian Daerah

Uraian
51. Seni tari tradisi di Surakarta
Tari Bedhaya
Tari Bedhaya Surakarta merupakan salah satu contoh Tari Tradisi masa lampau yang tumbuh di Istana dengan
berbagai filosofis dan simboliknya, juga merupakan salah satu aktifitas religius kaum bangsawan dan bersifat
Syiwaistis, yaitu kepercayaan pada Dewa Siwa.

Dengan demikian diperkirakan Tari Bedhaya dilatar belakangi pemikiran Hindu Jawa. Dalam penyajian Tari
Bedhaya dapat disajikan dengan 7 penari maupun 9 penari. 7 penari melambangkan 7 bidadari di khayangan,
sedangkan 9 penari merupakan simbolik dari 9 lubang kehidupan atau dapat juga karena pengaruh dari Agama
Islam, yaitu adanya Wali Sanga.

Tari Bedhaya dari Keraton Kasunanan Surakarta yang dianggap sakral adalah Tari Bedhaya Ketawang, karena
berhubungan dengan alam gaip yaitu mistis antara keturunan Panembahan Senapati sebagai Raja Mataram
dengan penguasa Ratu Laut Selatan yaitu, Kanjeng Ratu Kidul. Hal ini diawali ketika Panembahan Senapati
bertapa, mengakibatkan kekacauan dan ketidak tentraman wilayah laut selatan, maka Kanjeng Ratu Kidul
memohon agar Panembahan Senapati menghentikan pertapaanya dengan pernyataan bahwa Kajeng Ratu Kidul
dan bala tentaranya akan selalu membantu apabila Panembahan Senapati memerlukan dan keduanya menjalin
hubungan asamara. Tari Bedhaya Ketawang di Keraton Kasunanan Surakarta pementasannya hanya pada waktu
upacara “JUMENENGAN” (ulang tahun raja menduduki tahta) ditarikan oleh 9 penari putri dengan karakter
putri halus, tanpa antawecana menggunakan rias busana sama/kembar yaitu basahan atau dodot ageng dan
tatarias seperti temanten jawa lengkap dengan paes gelung bokor mengkurep.

52. Seni tari tradisi di Surakarta


Kethoprak
Kethoprak adalah sejenis seni pentas drama tradisional yang diyakini berasal dari Surakarta dan berkembang
pesat di Yogyakarta, oleh karena itu kesenian ini sering disebut sebagai Ketoprak Mataram. Pada awal mulanya,
ketoprak menggunakan iringan lesung (tempat menumbuk padi) yang dipukul secara berirama sebagai
pembuka, iringan saat pergantian adegan, dan penutup pertunjukan sehingga terkenal disebut sebagai Ketoprak
Lesung.

Dalam perkembangannya, Ketoprak kemudian menggunakan iringan gamelan jawa, dan penggarapan cerita


maupun iringan yang lebih rumit. Tema cerita dalam sebuah pertunjukan ketoprak bermacam-macam. Biasanya
diambil dari cerita legenda atau sejarah Jawa, meski juga ada cerita fiksi. Banyak pula diambil cerita dari atau
berseting luar negeri (yang terkenal adalah cerita sampek engtay). Tetapi tema cerita tidak pernah diambil
dari repertoar cerita epos (wiracarita): Ramayana dan Mahabharata.

53. Sejarah perkembangan gamelan


Sejarah perkembangan gamelan dapat ditinjau dari 3 aspek, meliputi:
a) Tinjauan Sejarah
b) Tinjauan Bentuk Orkes
c) Tinjauan Segi Bahan

A. Tinjauan Sejarah
Ditinjau dari sejarah, gamelan dikenal sejak jaman Prasejarah (zaman logam). Hal ini dibuktikan dengan
diketemukannya alat bunyi-bunyian yang berupa Nekara dan Genderang Perunggu yang biasanya digunakan
ntuk upacara kepercayaan pada waktu itu, missal dalam rangka mendatangkan hujan.

Pada zaman Sejarah juga diketemukan bukti-bukti konkrit berupa gambar-gambar yang terdapat pada releief-
relief candi. Misalnya
Dinasti Sailendra terdapat alat bunyi-bunyian yang erat hubungannya dengan gamelan, yaiu pada relief
Candi Borobudur. Misalnya; Kenthongan Bulat, Kecer , Suling melintang, kecapi berdawai dua, Kendhang
Priok besar, gambang dan jenis Kendhang Bali.
Dinasti Sanjaya terutama di Candi Prambanan terdapat pula alat bunyi-bunyian seperti Kendhang loro,
Gentha, jenis kendhang batangan dan banyak lagi.
Apalagi pada zaman Kemerdekaan sekitar tahun 1950 pemerintah berkenan membuka Lembaga Pendidikan
Kesenian seperti Konservatori Karawitan (SMKI) di Surakarta yang sekarang sudah menjadi SMK N 8, yang
kemudian di ikuti Bandung dan Bali. Kemudian disusul Lembaga Pendidikan Tinggi Kesenian seperti ISI
Surakarta, ISI Yogyakarta dan IKJ (Institut Kesenan Jakarta) di Jakarta. Dengan berdirinya beberapa
Pendidikan Keseniannberarti bahwa pengembangan Karawitan tidak saja hanya terletak pada ilmu pegeahuan
dan ketrampilan saja tetapi juga terhadap pemunculan fisik gamelan baru, sehingga sekarang ujud gamelan
abad XX nampak sangat lengkap dan bermacam-macam sesuai jenis dan fungsinya.

B. Tinjauan Bentuk Orkes


Di dalam garapan gamelan, tinjauan Bentuk Orkes ini lebih dikenal dengan istilah Tinjauan Bentuk
Tabuhan. Bentuk tabuhan dalam garapan tabuhan Jawa Tengah khususnya Surakarta dibedakan menjadi 4
bagian, meliput:
a. Bentuk Tabuhan gendhing Alit (kecil), misalnya: Gangsaran, Lancaran, Ketawang dan Ladrang
b. Bentuk Tabuhan gendhing Madya (sedang), misalnya : Ketawang Gendhing
c. Bentuk Tabuhan gendhing Ageng (besar), misalnya: Gendhing kethuk 2 kerep minggah 4, Gendhng
kethuk 4 kerep minggah 8.
d. Bentuk Gendhing Khusus, misalnya: Sampak, Srepeg, Kemuda, Ayak-Ayakan.
Contoh vokabuler gendhing khusus
a) Srepeg
1. Srepeg slendro manyura
.n3.n2.n3.n2 .n5.n3.n5.n3 .n2.n3.n2.nG1
.n2.n1.n2.n1 .n3.n2.n3.n2 .n5.n6.n5.ng6
.n5.n6.n5.n6 .n5.n3.n5.n3 .n6.n5.n3.ng2

b) Sampak
.2.2.2.2 .3.3.3.3 .1.1.1.G1
.1.1.1.1 .2.2.2.2 .6.6.6.G6
.6.6.6.6 .3.3.3.3 .2.2.2.G2

c) Ayak-ayak
.3.G2 .3.G2 .5.G3 .2.G1
.2.3.2.G1 .2.3.2.G1 .3.5.3.G2
.3.5.3.G2 .5.3.5.g6
.5.3.5.G6 .5.3.5.G6 .5.3.2.G3 .6.5.3.G2
.3.5.3.G2 .3.5.3.G2 .5.6.5.G3 .2.3.2.G1

d) Kemuda
.2.n6.2.np6 .2.n6.2.np6 .3.n3.2.np3 .2.n1.2.np1 .6.n5.4.gnp5
.4.n2.4.np5 .4.n2.4.pn5 .3.n2.1.np2 .3.n2.1.npg6

54. Jenis bahan gamelan


C. Tinjauan Segi Bahan
Pada dasarnya gamelan di Indonesia sebagian besar ricikan atau insrumen nya terdiri atas instrument perkusi.
Hal ini sesuai dengan kata “Gamel” mendapat akhiran “an” yang berarti dipukul atau ditabuh, walaupun erdapat
juga instrument petik, tiup dan gesek. Sesuai dengan keadaan tersebut maka gamelan di Indonesia dapat dibat
dari bahan antara lain:
1. Gangsa (Perunggu)
Banyak diantara orang-orang menyebut gamelan Gangsa dengan istilah Gamelan Perunggu. Tetapi menurut
para Empu pembuat gamelan yang benar adalah Gamelan Gangsa. Karena memang dibuat dari Logam
campuran antara Tembaga dengan Timah Putih (Rejasa). Yang mana kedua kata terakhirnya disambung
menjadi Ga-Sa, sehingga mungkin karena waktu kata Gasa didalam pengaruh kehidupan masyarakat berubah
menjadi “Gangsa”.
2. Gangsa-kuningan
Gamelan ini dibuat dari campuran tembaga, rejasa dan kuningan dengan perbandingan 10-3-2. Tujuannya
untuk mencari karakter suara gamelan yang sesuai dengan lingkungan masyarakatnya. Tetapi di pihak lain
karena alas an ekonomi (harga lebih murah).
3. Besi
Gamelan dari bahan besi ini dapat dibuat dengan jenis besi antara lain drum, besi plat dan besi cor.
4. Kuningan
Seperti halnya besi, kuningan pun dapat dipergunakan untuk membuat gamelan. Biasanya kuningan tersebut
dalam wujudnya lembaran-lembaran.
5. Kayu
Selan logam seperti yang telah diuraikan diaas, kayu pun dapat digunakan sebagai bahan untuk membuat
gamelan. Hal demikan dimaksudkan untuk memberikan kesan terhadap wujud, garapan ketrampilan dan
karakter suara gamean yang berlainan dengan gamelan pada umumnya.
6. Bambu
Diketahui bahwa dalam lingkup music, bambu banyak dimanfaatkan sebagai instrument music antara lain
jenis suling, saluang atau calung, angklung dan sebagainya. Dari kenyataan itu menunjukan kita bahwa
bambu memungkinkan sekali untuk dikembangkan dalam bentuk perangkat gamelan, seperti bentuk gamelan
calung dari daerah Banyumas.

Gamelan sebagai Fungsi Ritual Keagamaan


1. Pada zaman dahulu kala
Menurut cerita dari para empu Karawitan, bahwa gamelan pada zaman dulu tdak saja berkedudukan sebagai alat
music belaka, tetapi sudah merupakan suatau sarana kelengkapan rohani, dimana ada gamelan dibunyikan,
disitu banyak orang berkumpul. Kiranya pada zamannya Raden Patah, gamelan ini pun dipergunaka sebagai
salah satu alat nntuk menarik, mengumpulkan orang-orang yang akan memasuki Masjid. Setelah banyak orang
berkumpul kemudian diberi ceramah tentang ajaran Islam. Perkembangan berikutnya kepada orang-orang yang
akan dating disitu diwajibkan mengucapkan kalimat Syahadat.

2. Perkembangan dewasa ini


Berdasarkan Upacara adat yang terdapat dikraton Surakarta, bahwa pada setiap bulan Mulud, dari sejak tanggal
6 sampai dengan tanggal 12 di Kraton Surakarta memperingati Maulud Nabi Muhamad SAW dengan
menempatkan dua perangkat gamelan di halaman masjid besar, ditabuh di agi hari, siang, sore dan malam hari.
Peringatan Maulud Nabi Muhammad SAW tersebut sampai sekarang terkenal dengan istilah SEKATEN dan
menjadi semacam seni tradisi di Surakarta.

3. Arti kata Sekaten


Kata Sekaten diperkirakan berasal dari Bahasa Arab yang berbunyi “Syahadatain” yang berarti “bersumpah atau
bersaksi”. Kata Syahadat mengandung dua makna yaitu:
a. Syahadat Tauhid dalam Bahasa Arabnya “Asyhadualla illaahaillalah ”. Aku bersaksi bahwa tiada Tuhan
(yang disembah) kecuali Allah.
b. Syahadat Rasul dalam Bahasa Arabnya “ Wa ashaduanna Muhammadad Rasullullah”. Aku bersaksi bahwa
Muhammad utusan Allah.
Dengan demikian maka gamelan Sekaten berarti Gamelan yang dipergunakan untuk bersaksi. Dengan kata lain
digunakan untuk penyebaran Agama Islam.

Berikut ini akan kita bahas mengenai Gamelan Sekaten.


1. Gamelan Sekaten
Kraton Surakarta mempunyai dua perangkat Gamelan Sekaten yaitu Kyai Guntur Sari dan Kyai Guntur
Madu. Gamelan Kyai Guntur Sari dibuat pada zaman Sultan Agung Hanyakrakusuma, yang memerintah
Kerajaan Mataram. Kyai Guntur Sari ini memiliki Gong yang dinamakan Kyai Paksa dan memiliki Bedhug
yang dinamakan Kyai Kholiq. Dalam perayaan sekaten ditempatkan di bangsal Pradangga sebelah utara
halaman Masjid Besar Surakarta. Sedangkan Gamelan Sekaten Kyai Guntur Madu adalah Gamelan Sekaten
yang dibuat atas perkenan Paku Buwono IV yang dikerjakan oleh seorang Empu yang bernama Raden
Demang Gun Prawiro. Gamelan Kyai Guntur Madu ini semua bahannya dibuat lebih besar dari Kyai Guntur
Sari. Gamelan Kyai Gntur Madu memiliki Gong yang dinamakan Kyai Jagur dan Bedhug dinamakan Kyai
Sobak.

2. Bentuk Gamelan Sekaten


a. Bentuk Gamean Sekaten tidak selengkap seperti bentuk gamelan bonangan pada umumnya. Tetapi gamelan
Sekaten termasuk bentuk gamelan Bonangan.
b. Bentuk tabuhan gamelan sekaten termasuk tabuhan bonangan. Hal ini didasarkan bahwa perangkat gamelan
sekaten keterampilannya hanya pada Bonang. Balungan dan pamangku irama dari kempyang dan gong serta
Bedhug sebagai Pamurba Irama.
c. Bentuk bilahan Gamelan Sekaten adalah bentuk bilahan nyigar penjalin.
3. Kewajiban
Yang berkewajiban menabuh dan bertugas pada gamelan sekaten di Surakarta (zaman PB X) tidak boleh
sembarangan orang, melainkan hanyalah ditabh oleh petugas khusus yang disebut Abdi Dalem Niyaga
Kasepuhan yang erdiri dari 2 golongan, antara lain:
a. Abdi Dalem Niyaga Kasepuhan bagian kiwa (kiri), sebutan namanya selalu menggunakan kata
“pengrawit”. Contohnya; Ponco Pangrawit, Marto Pangrawit, Guno Pangrawit.
b. Dalem Niyaga Kasepuhan golongan tengen (kanan), sebutan namanya selalu menggunakan kata “mlaya”.
Contohnya; Warso mlaya, Joyo Mlaya, Mlaya Widodo.

4. Lagu/ Gendhing Pusaka


Ada 3 gendhing pusaka dalam garap Gamelan Sekaten di Surakarta, yaitu:
a. Ladrang Rambu, berasal dari Bahasa Arab “Robbana” yang berarti Allah Pangeranku.
b. Ladrang Rangkung, berasal dari Bahasa Arab “Roukhuun” yang berarti Jiwa yang Agung.
c. Ladrang Barang Miring, tidak disebut.

5. Keadaan Dalam Sekaten


Bebrapa hari sebelum Sekatenan atau Perayaan Sekaten dimulai, sekitar Masjid dan Alun-Alun telah ramai
dengan orang yang ingin menjajakan dagangannya seperti makanan, minuman, tempat-tempat pameran,
permainan serta panggung pertunjukan. Keramaian tersebut telah menjadi adat yang ditandai dengan ciri-ciri
khusus yang tidak terdapat dalam pasar malam.
Ciri-ciri tersebut antara lain:
a) Kinang (ramuan tembakau, gambir, daun sirih, injet)
b) Nasi liwet
c) Telur kamal
d) Pecut
e) Kapal kapalan
f) Wahana permainan
g) Celengan
h) Kodhok kodhokan
i) Jenang dodol
j) Brondong jagung
k) Gangsingan
l) Dhawet
m) Gunungan
n) Prosesi pengembalian gamelan

55. Unsur seni pedhalangan


Unsur garap pakeliran
A. Pengertian Catur
Seni pedhalangan mengandhung berbagai unsur diantaranya :
1. Seni sastra
2. Seni kriya
3. Seni drama
4. Seni karawitan, dsb

Seni sastra merupakan bagian yang sangat dominan dalam seni pakeliran wayang purwa, karena dalang
mengekspresikan suasana-suasana adegan maupun tokoh melalui antawecana yang disebut catur. Pengertian
catur dalam pakeliran adalah semua wujud Bahasa atau wacana yang diucapkan oleh dalang dalam pakeliran
(Bambang Murtiyoso 1981:6). Pendapat lain menyatakan catur ialah semua bentuk ekspresi dalang lewat
wacana yang berupa narasi maupun dialog tokoh pakeliran. Pada dasarnya catur adalah hasil pengolahan
medium Bahasa dan sastra.

B. Jenis catur
Di dalam pakeliran gaya Surakarta catur ditinjau dari aspek penggunaannya dapat digolongkan menjadi 3
jenis, yaitu:
1. Janturan
Janturan adalah wacana dalang yang berupa deskripsi suatu adegan yang berlangsung, mencakup suasana
tempat(negara), tokoh, dan peristiwa dengan diiringi gendhing sirepan(dibunyikan dengan lirih). Fungsi
janturan ada 2 macam yaitu fungsi tehnis dan fungsi estetis.
Fungsi tehnis :
1) Mendeskripsikan suasana yang beluim terungkap melalui sarana ekspresi dramatik lainnya
2) Memperjelas penampilan gambaran baik mengenai tokoh, tempat, suasana maupun peristiwa
Fungsi estetis
1) Membuat suasana atau kesan tertentu
2) Mempertebal kesan dan/atau suasana yang telah muncul

2. Pocapan
a. Pengertian pocapan
Pocapan adalah wacana dhalang berupa narasi yang pada umumnya menceritakan peristiwa yang sudah,
sedang, dan akan berlangsung, tanpa iringan gendhing sirepan. Apabila dilihat dari ungkapannya,
pocapan berbeda dengan janturan. Perbedaannya yaitu pada penggunaan bahasanya lebih sederhana
disbanding janturan(prosa), tidak menggunakan Bahasa arkhais atau Bahasa kawi yang rumit dan
penyampaianya tanpa menggunakan sirepan gendhing.
b. Fungsi pocapan
Pocapan dalam pakeliran memiliki dua fungsi yaitu fungsi tehnis sebagai sarana untuk memberikan
penjelasan kepada penonton tentang hal yang sudah, sedang maupun akan terjadi. Sedangkan fungsi
estetiknya adalah sebagai pendukung atau pembentuk suasana suatu peristiwa.
Contoh pocapan : adegan Kresna dan Janaka dalam lakon Kresna Dhuta
c. Ginem
Ginem berasal dari Bahasa ngoko gunem(jawa) artinya berbicara. Didalam pedhalangan istilah ginem
mempunyai pengertian khusus yaitu ucapan dalang yang mengeskpresikan wacana tokoh wayang, baik
dalam bentuk monolog maupun dialog. Ginem monolog contohnya yaitu tokoh wayang sedang
bergumam, ngudarasa, berbicara sendiri tanpa lawan bicara. Sedangkan ginem dialog yaitu wacana
wayang yang melukiskan pembicaraan antara dua tokoh wayang atau lebih yang memiliki karakter
berbeda-beda.
Fungsi ginem yaitu untuk mengungkapkan permasalahan dalam lakon melalui tokoh wayang sesuai
dengan kedudukannya dalam lakon. Selain itu ginem juga mengungkapkan perwatakan tokoh-tokoh
sesuai dengan karakter masing-masing.
d. Antawecana
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Antawacana adalah suara dalang dalam pewayangan
(wayang kulit) yang disesuaikan dengan tokoh sebenarnya, misalnya suara Arjuna lemah lembut, suara
Burisrawa keras dan gagah. Pengertian antawecana dalam pakeliran adalah semua hal yang
berhubungan dengan konsep maupun tehnik pengungkapan catur, baik berupa janturan, pocapan,
maupun ginem, agar menghasilkan kesan sesuai dengan suasana yang diperlukan, seperti kesan mrabu,
prenes, greget, sedih dan sebagainya, sehingga ungkapan yang disampaikan oleh dalang dapat mengena
pada penonton terasa mantab, indah dan menarik. Dalam hal ini dalang harus mengausai teknik
pengungkapan wacana dalam pakeliran, Teknik tersebut adalah pemilihan kata, artikulasi, volume atau
tebal(keras lirih), intonasi (tekanan tebal tipis suara, dan dinamika serta keseimbangan.

56. Tembang dalam karawitan


Macam-macam vocal dalam Karawitan
Dalam penyajian karawitan, baik karawitan yang untuk mengiringi seni tari maupun karawitan yang berdiri
sendiri atau klenengan, agar supaya lebih semarak biasanya menggunakan berbagai macam bentuk-bentuk vocal
(tembang)
Bentuk vocal pada karawitan meliputi dua macam, yaitu :
1. Vokal yang dilagukan bersama-sama/dibarengi dengan karawitan/gamelan
2. Vokal yang dilagukan tidak bersama-sama dengan gamelan

1. Vokal yang dilagukan bersama-sama dengan gamelan atau vocal yang dilagukan dalam sajian gendhing,
antara lain :
a. Gerong
Tembang yang dilagukan oleh lebih dari satu orang pria maupun wanita dengan tempo teratur dalam
penyajian gendhing.
b. Sindhen
Tembang yang dilagukan oleh satu orang wanita menyertai dalam karawitan, orang yang melakukan
sindhen disebut Pesindhen/Swarawati. Sedangkan Wiraswara/Penembang putra.
c. Jineman
Sebagian dari pada Bawa yang sudah dibarengi atau sudah diiringi gamelan dan disurakan bersama.
d. Senggakan
Vocal yang menyela dalam sindhenan atau gerongan yang berbentuk rangkaian kata-kata dengan makna
tertentu.
e. Alok
Suara pria yang dimasukan dalam lagu dan bernada agak bebas Bersama-sama dengan gamelan.
Contoh : Haa…eeee!!!!
f. Panembromo
Suara campuran wanita dan pria dengan iringan gamelan. Biasanya Panembraa ditempatkan di pentas
(seperti Koor), tidak menjadi satu dengan penabuh gamelan (Niyaga) seperti Swarawati atau wiraswara
g. Palaran
Tembang ( biasanya cakepan sekar macapat) yang dilagukan seorang Swarawati dan Wiraswara dengan
tempo teratur dan dibarengi sajian lagu maupun rangkaian suara dari beberapa ricikan gamelan (gendhing
bentuk sregepan)
h. Keplok
Tepuk tangan yang menyertai karawitan, tetapi biasanya digunakan pada gendhing-gendhing tertentu dan
bersifat riang dan cara bertepuk tangan pun tidak hanya asal menepuk tangan tetapi dengan irama yang
sesuai.

2. Vokal yang dilakukan tidak Bersama atau tidak dibarengi dengan gamelan atau tidak dalam sajain
gendhing :
a. Bawa
Permulaan gendhing dengan susatu tembang yang dilagukan oleh seorang wanita atau pria sebelum
gamelan dibunyikan Bersama. Tembang tersebut bias mengambil dari sekar ageng, Sekar tengahan
ataupun Sekar Macapat dan biasanya dilagukan dalam satu bait.
b. Celuk atau Buka Celuk
Sama dengan Bawa tetapi hanya mengambil sebagian (satu kalimat) dari pada Bawa yang terakhir tanpa
iringan gamelan.
c. Buka
Permulaan gendhing dengan salah satu instrument atau ricikan gamelan dan hanya mengambil bagian
terakhir dari pada gendhing yang akan dibunyikan tanpa iringan gamelan.

Wayang Orang
Wayang orang adalah seni pertunjukan yang memadukan tiga cabang kesenian :
1. Seni Tari
2. Seni Drama
3. Seni Karawitan

Wayang Orang disebut juga Wayang Wong. Lahir pada pertengahan abab XVIII di dua Istana yaitu :
1) Keraton Surakarta
2) Ketaron Yogyakarta
Kemudian berkembang diluar istana.

Wayang Orang merupakan personifikasi dari Wayang Kulit yang terlihat jelas dari berbagai aspek antara lain:
 Sumber cerita
 Penggolongan karakter
 Karawitan
 Antawacana/dialog
 Pemeran
 Dalang
 Busana dan tata rias

Sumber cerita baik di Surakarta maupun Yogyakarta mengambil cerita Mahabarata maupun Ramayana. Dan
dua sumber tersebut bisa dibagi menjadi beberapa episode serta beberapa jenis lakon antara lain :
 Lakon Baku, lakon yang diangkat dari cerita Induk Ramayana dan Mahabarata
 Lakon Carangan, lakon yang dikembangkan dari sebuah peristiwa yang termuat dalam cerita induk
Ramayana dan Mahabarta

Dalam penyajian Wayang Wong menggunakan gerak Tradisi dengan norma gerak sesuai masing-masing
karakter pada tokohnya. Wayang orang diiringi dengan karawitan dan dibantu oelh seorang dalang yang
bertugas mengatur jalannya pertunjukan agar lebih jelas alur ceritanya
Adapun tugas dalang dalam wayang orang adalah :
 Memberi narasi tentang apa yang telah dan akan terjadi
 Mengisi suasana dengan vocal yang berupa suluk, sendon atau ada-ada
 Memberi tanda-tanda lewat vocal maupun bunyi kecrek dan kepyak apa pemaian

Rias dan busana pada Wayang Orang identik dengan busana pada wayang kulit di Surakarta, maka sering
disebut Rias Baku, yaitu rias yang tidak dapat diubah.
Bentuk jamang/Irah-irahan yang digunakan oleh masing-masing tokoh juga dibedakan menurut kedudukannya,
misalnya :
 Jamang susun tiga untuk raja
 Jamang bentuk runcing (lancip) untuk peran yang mbranyak/keras
 Jamang Berelung-elung (lung) untuk peran lembut.

Khusus untuk peran raksasa dan kera menggunakan cangkeman (tiruan mulut) yang dikenakan untuk menutup
mulut dan dikaitkan pada kedua telinga. Sedangkan antawacana/dialog yang digunakan sama seperti dialog
pada wanga kulit, yakni dengan menggunakan Bahasa Jawa Kawi, Bahasa Jawa Ngoko maupun Krama sesuai
dengan tokoh pada wayang tersebut. Sebagai contoh Anoman dan Gathutkaca harus mengenakan jarik motif
poleng.

Tari Gambyong
Tari Gambyong merupakan tari Tradisi dari Surakarta yang biasa digunakan untuk berbagai macam acara,
antara lain acara resepsi pernikahan, penghormatan tamu, pentas seni dsb. Tari Gambyong merupakan
penggambaran dari seorang remaja putri yang berhias diri. Busana pada tari Gambyong biasanya menggunakan
jarik model wiru putri dengan angkin dan gelung malang. Sedangkan kata belakang Gambyong menunjukan
gendhing/iringannya.
Macam-macam Tari Gambyong adalah :
 Gambyong Parianom
 Gambyong Ayun-ayun
 Gambyong Pancerana dsb \

Tari srimpi
Tari Srimpi juga merupakan Tari Tradisi Klasik dari Keraton Surakarta yang sarat dengan makna simbolik,
ditarikan oleh 4 orang penari putri yang merupakan simbol dari empat arah mata angin atau bisa juga pengaruh
kasta pada Agama Hindu. Dengan karakter putri halus dan pakaian kembar tidak menggunakan antawacana.
Tari Srimpi yang masih dianggap sakral di Keraton Kasunanan Surakarta adalah Tari Srimpi Anglir Mendung,
sebab tarian ini suatu Doa permohonan yang ditarikan pada saat kemarau panjang dengan harapan setelah
selesai ditarikan akan segera turu hujan. Busana pada Tari Srimpi menggunanakan Baju Rompi atau
Mekak,Jarik/kain model samparan dan Berjamang.
Macam-macam Tari Srimpi antara lain :
 Tari Srimpi Dhempel
 Tari Srimpi Ludiramadu
 Tari Srimpi Gandokusuma
 Tari Srimpi Gambirsawit dsb
Sama seperti tari Bedhaya, kata di belakang Srimpi menunjukan nama gendhing iringannya

Anda mungkin juga menyukai