Uraian
51. Seni tari tradisi di Surakarta
Tari Bedhaya
Tari Bedhaya Surakarta merupakan salah satu contoh Tari Tradisi masa lampau yang tumbuh di Istana dengan
berbagai filosofis dan simboliknya, juga merupakan salah satu aktifitas religius kaum bangsawan dan bersifat
Syiwaistis, yaitu kepercayaan pada Dewa Siwa.
Dengan demikian diperkirakan Tari Bedhaya dilatar belakangi pemikiran Hindu Jawa. Dalam penyajian Tari
Bedhaya dapat disajikan dengan 7 penari maupun 9 penari. 7 penari melambangkan 7 bidadari di khayangan,
sedangkan 9 penari merupakan simbolik dari 9 lubang kehidupan atau dapat juga karena pengaruh dari Agama
Islam, yaitu adanya Wali Sanga.
Tari Bedhaya dari Keraton Kasunanan Surakarta yang dianggap sakral adalah Tari Bedhaya Ketawang, karena
berhubungan dengan alam gaip yaitu mistis antara keturunan Panembahan Senapati sebagai Raja Mataram
dengan penguasa Ratu Laut Selatan yaitu, Kanjeng Ratu Kidul. Hal ini diawali ketika Panembahan Senapati
bertapa, mengakibatkan kekacauan dan ketidak tentraman wilayah laut selatan, maka Kanjeng Ratu Kidul
memohon agar Panembahan Senapati menghentikan pertapaanya dengan pernyataan bahwa Kajeng Ratu Kidul
dan bala tentaranya akan selalu membantu apabila Panembahan Senapati memerlukan dan keduanya menjalin
hubungan asamara. Tari Bedhaya Ketawang di Keraton Kasunanan Surakarta pementasannya hanya pada waktu
upacara “JUMENENGAN” (ulang tahun raja menduduki tahta) ditarikan oleh 9 penari putri dengan karakter
putri halus, tanpa antawecana menggunakan rias busana sama/kembar yaitu basahan atau dodot ageng dan
tatarias seperti temanten jawa lengkap dengan paes gelung bokor mengkurep.
A. Tinjauan Sejarah
Ditinjau dari sejarah, gamelan dikenal sejak jaman Prasejarah (zaman logam). Hal ini dibuktikan dengan
diketemukannya alat bunyi-bunyian yang berupa Nekara dan Genderang Perunggu yang biasanya digunakan
ntuk upacara kepercayaan pada waktu itu, missal dalam rangka mendatangkan hujan.
Pada zaman Sejarah juga diketemukan bukti-bukti konkrit berupa gambar-gambar yang terdapat pada releief-
relief candi. Misalnya
Dinasti Sailendra terdapat alat bunyi-bunyian yang erat hubungannya dengan gamelan, yaiu pada relief
Candi Borobudur. Misalnya; Kenthongan Bulat, Kecer , Suling melintang, kecapi berdawai dua, Kendhang
Priok besar, gambang dan jenis Kendhang Bali.
Dinasti Sanjaya terutama di Candi Prambanan terdapat pula alat bunyi-bunyian seperti Kendhang loro,
Gentha, jenis kendhang batangan dan banyak lagi.
Apalagi pada zaman Kemerdekaan sekitar tahun 1950 pemerintah berkenan membuka Lembaga Pendidikan
Kesenian seperti Konservatori Karawitan (SMKI) di Surakarta yang sekarang sudah menjadi SMK N 8, yang
kemudian di ikuti Bandung dan Bali. Kemudian disusul Lembaga Pendidikan Tinggi Kesenian seperti ISI
Surakarta, ISI Yogyakarta dan IKJ (Institut Kesenan Jakarta) di Jakarta. Dengan berdirinya beberapa
Pendidikan Keseniannberarti bahwa pengembangan Karawitan tidak saja hanya terletak pada ilmu pegeahuan
dan ketrampilan saja tetapi juga terhadap pemunculan fisik gamelan baru, sehingga sekarang ujud gamelan
abad XX nampak sangat lengkap dan bermacam-macam sesuai jenis dan fungsinya.
b) Sampak
.2.2.2.2 .3.3.3.3 .1.1.1.G1
.1.1.1.1 .2.2.2.2 .6.6.6.G6
.6.6.6.6 .3.3.3.3 .2.2.2.G2
c) Ayak-ayak
.3.G2 .3.G2 .5.G3 .2.G1
.2.3.2.G1 .2.3.2.G1 .3.5.3.G2
.3.5.3.G2 .5.3.5.g6
.5.3.5.G6 .5.3.5.G6 .5.3.2.G3 .6.5.3.G2
.3.5.3.G2 .3.5.3.G2 .5.6.5.G3 .2.3.2.G1
d) Kemuda
.2.n6.2.np6 .2.n6.2.np6 .3.n3.2.np3 .2.n1.2.np1 .6.n5.4.gnp5
.4.n2.4.np5 .4.n2.4.pn5 .3.n2.1.np2 .3.n2.1.npg6
Seni sastra merupakan bagian yang sangat dominan dalam seni pakeliran wayang purwa, karena dalang
mengekspresikan suasana-suasana adegan maupun tokoh melalui antawecana yang disebut catur. Pengertian
catur dalam pakeliran adalah semua wujud Bahasa atau wacana yang diucapkan oleh dalang dalam pakeliran
(Bambang Murtiyoso 1981:6). Pendapat lain menyatakan catur ialah semua bentuk ekspresi dalang lewat
wacana yang berupa narasi maupun dialog tokoh pakeliran. Pada dasarnya catur adalah hasil pengolahan
medium Bahasa dan sastra.
B. Jenis catur
Di dalam pakeliran gaya Surakarta catur ditinjau dari aspek penggunaannya dapat digolongkan menjadi 3
jenis, yaitu:
1. Janturan
Janturan adalah wacana dalang yang berupa deskripsi suatu adegan yang berlangsung, mencakup suasana
tempat(negara), tokoh, dan peristiwa dengan diiringi gendhing sirepan(dibunyikan dengan lirih). Fungsi
janturan ada 2 macam yaitu fungsi tehnis dan fungsi estetis.
Fungsi tehnis :
1) Mendeskripsikan suasana yang beluim terungkap melalui sarana ekspresi dramatik lainnya
2) Memperjelas penampilan gambaran baik mengenai tokoh, tempat, suasana maupun peristiwa
Fungsi estetis
1) Membuat suasana atau kesan tertentu
2) Mempertebal kesan dan/atau suasana yang telah muncul
2. Pocapan
a. Pengertian pocapan
Pocapan adalah wacana dhalang berupa narasi yang pada umumnya menceritakan peristiwa yang sudah,
sedang, dan akan berlangsung, tanpa iringan gendhing sirepan. Apabila dilihat dari ungkapannya,
pocapan berbeda dengan janturan. Perbedaannya yaitu pada penggunaan bahasanya lebih sederhana
disbanding janturan(prosa), tidak menggunakan Bahasa arkhais atau Bahasa kawi yang rumit dan
penyampaianya tanpa menggunakan sirepan gendhing.
b. Fungsi pocapan
Pocapan dalam pakeliran memiliki dua fungsi yaitu fungsi tehnis sebagai sarana untuk memberikan
penjelasan kepada penonton tentang hal yang sudah, sedang maupun akan terjadi. Sedangkan fungsi
estetiknya adalah sebagai pendukung atau pembentuk suasana suatu peristiwa.
Contoh pocapan : adegan Kresna dan Janaka dalam lakon Kresna Dhuta
c. Ginem
Ginem berasal dari Bahasa ngoko gunem(jawa) artinya berbicara. Didalam pedhalangan istilah ginem
mempunyai pengertian khusus yaitu ucapan dalang yang mengeskpresikan wacana tokoh wayang, baik
dalam bentuk monolog maupun dialog. Ginem monolog contohnya yaitu tokoh wayang sedang
bergumam, ngudarasa, berbicara sendiri tanpa lawan bicara. Sedangkan ginem dialog yaitu wacana
wayang yang melukiskan pembicaraan antara dua tokoh wayang atau lebih yang memiliki karakter
berbeda-beda.
Fungsi ginem yaitu untuk mengungkapkan permasalahan dalam lakon melalui tokoh wayang sesuai
dengan kedudukannya dalam lakon. Selain itu ginem juga mengungkapkan perwatakan tokoh-tokoh
sesuai dengan karakter masing-masing.
d. Antawecana
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Antawacana adalah suara dalang dalam pewayangan
(wayang kulit) yang disesuaikan dengan tokoh sebenarnya, misalnya suara Arjuna lemah lembut, suara
Burisrawa keras dan gagah. Pengertian antawecana dalam pakeliran adalah semua hal yang
berhubungan dengan konsep maupun tehnik pengungkapan catur, baik berupa janturan, pocapan,
maupun ginem, agar menghasilkan kesan sesuai dengan suasana yang diperlukan, seperti kesan mrabu,
prenes, greget, sedih dan sebagainya, sehingga ungkapan yang disampaikan oleh dalang dapat mengena
pada penonton terasa mantab, indah dan menarik. Dalam hal ini dalang harus mengausai teknik
pengungkapan wacana dalam pakeliran, Teknik tersebut adalah pemilihan kata, artikulasi, volume atau
tebal(keras lirih), intonasi (tekanan tebal tipis suara, dan dinamika serta keseimbangan.
1. Vokal yang dilagukan bersama-sama dengan gamelan atau vocal yang dilagukan dalam sajian gendhing,
antara lain :
a. Gerong
Tembang yang dilagukan oleh lebih dari satu orang pria maupun wanita dengan tempo teratur dalam
penyajian gendhing.
b. Sindhen
Tembang yang dilagukan oleh satu orang wanita menyertai dalam karawitan, orang yang melakukan
sindhen disebut Pesindhen/Swarawati. Sedangkan Wiraswara/Penembang putra.
c. Jineman
Sebagian dari pada Bawa yang sudah dibarengi atau sudah diiringi gamelan dan disurakan bersama.
d. Senggakan
Vocal yang menyela dalam sindhenan atau gerongan yang berbentuk rangkaian kata-kata dengan makna
tertentu.
e. Alok
Suara pria yang dimasukan dalam lagu dan bernada agak bebas Bersama-sama dengan gamelan.
Contoh : Haa…eeee!!!!
f. Panembromo
Suara campuran wanita dan pria dengan iringan gamelan. Biasanya Panembraa ditempatkan di pentas
(seperti Koor), tidak menjadi satu dengan penabuh gamelan (Niyaga) seperti Swarawati atau wiraswara
g. Palaran
Tembang ( biasanya cakepan sekar macapat) yang dilagukan seorang Swarawati dan Wiraswara dengan
tempo teratur dan dibarengi sajian lagu maupun rangkaian suara dari beberapa ricikan gamelan (gendhing
bentuk sregepan)
h. Keplok
Tepuk tangan yang menyertai karawitan, tetapi biasanya digunakan pada gendhing-gendhing tertentu dan
bersifat riang dan cara bertepuk tangan pun tidak hanya asal menepuk tangan tetapi dengan irama yang
sesuai.
2. Vokal yang dilakukan tidak Bersama atau tidak dibarengi dengan gamelan atau tidak dalam sajain
gendhing :
a. Bawa
Permulaan gendhing dengan susatu tembang yang dilagukan oleh seorang wanita atau pria sebelum
gamelan dibunyikan Bersama. Tembang tersebut bias mengambil dari sekar ageng, Sekar tengahan
ataupun Sekar Macapat dan biasanya dilagukan dalam satu bait.
b. Celuk atau Buka Celuk
Sama dengan Bawa tetapi hanya mengambil sebagian (satu kalimat) dari pada Bawa yang terakhir tanpa
iringan gamelan.
c. Buka
Permulaan gendhing dengan salah satu instrument atau ricikan gamelan dan hanya mengambil bagian
terakhir dari pada gendhing yang akan dibunyikan tanpa iringan gamelan.
Wayang Orang
Wayang orang adalah seni pertunjukan yang memadukan tiga cabang kesenian :
1. Seni Tari
2. Seni Drama
3. Seni Karawitan
Wayang Orang disebut juga Wayang Wong. Lahir pada pertengahan abab XVIII di dua Istana yaitu :
1) Keraton Surakarta
2) Ketaron Yogyakarta
Kemudian berkembang diluar istana.
Wayang Orang merupakan personifikasi dari Wayang Kulit yang terlihat jelas dari berbagai aspek antara lain:
Sumber cerita
Penggolongan karakter
Karawitan
Antawacana/dialog
Pemeran
Dalang
Busana dan tata rias
Sumber cerita baik di Surakarta maupun Yogyakarta mengambil cerita Mahabarata maupun Ramayana. Dan
dua sumber tersebut bisa dibagi menjadi beberapa episode serta beberapa jenis lakon antara lain :
Lakon Baku, lakon yang diangkat dari cerita Induk Ramayana dan Mahabarata
Lakon Carangan, lakon yang dikembangkan dari sebuah peristiwa yang termuat dalam cerita induk
Ramayana dan Mahabarta
Dalam penyajian Wayang Wong menggunakan gerak Tradisi dengan norma gerak sesuai masing-masing
karakter pada tokohnya. Wayang orang diiringi dengan karawitan dan dibantu oelh seorang dalang yang
bertugas mengatur jalannya pertunjukan agar lebih jelas alur ceritanya
Adapun tugas dalang dalam wayang orang adalah :
Memberi narasi tentang apa yang telah dan akan terjadi
Mengisi suasana dengan vocal yang berupa suluk, sendon atau ada-ada
Memberi tanda-tanda lewat vocal maupun bunyi kecrek dan kepyak apa pemaian
Rias dan busana pada Wayang Orang identik dengan busana pada wayang kulit di Surakarta, maka sering
disebut Rias Baku, yaitu rias yang tidak dapat diubah.
Bentuk jamang/Irah-irahan yang digunakan oleh masing-masing tokoh juga dibedakan menurut kedudukannya,
misalnya :
Jamang susun tiga untuk raja
Jamang bentuk runcing (lancip) untuk peran yang mbranyak/keras
Jamang Berelung-elung (lung) untuk peran lembut.
Khusus untuk peran raksasa dan kera menggunakan cangkeman (tiruan mulut) yang dikenakan untuk menutup
mulut dan dikaitkan pada kedua telinga. Sedangkan antawacana/dialog yang digunakan sama seperti dialog
pada wanga kulit, yakni dengan menggunakan Bahasa Jawa Kawi, Bahasa Jawa Ngoko maupun Krama sesuai
dengan tokoh pada wayang tersebut. Sebagai contoh Anoman dan Gathutkaca harus mengenakan jarik motif
poleng.
Tari Gambyong
Tari Gambyong merupakan tari Tradisi dari Surakarta yang biasa digunakan untuk berbagai macam acara,
antara lain acara resepsi pernikahan, penghormatan tamu, pentas seni dsb. Tari Gambyong merupakan
penggambaran dari seorang remaja putri yang berhias diri. Busana pada tari Gambyong biasanya menggunakan
jarik model wiru putri dengan angkin dan gelung malang. Sedangkan kata belakang Gambyong menunjukan
gendhing/iringannya.
Macam-macam Tari Gambyong adalah :
Gambyong Parianom
Gambyong Ayun-ayun
Gambyong Pancerana dsb \
Tari srimpi
Tari Srimpi juga merupakan Tari Tradisi Klasik dari Keraton Surakarta yang sarat dengan makna simbolik,
ditarikan oleh 4 orang penari putri yang merupakan simbol dari empat arah mata angin atau bisa juga pengaruh
kasta pada Agama Hindu. Dengan karakter putri halus dan pakaian kembar tidak menggunakan antawacana.
Tari Srimpi yang masih dianggap sakral di Keraton Kasunanan Surakarta adalah Tari Srimpi Anglir Mendung,
sebab tarian ini suatu Doa permohonan yang ditarikan pada saat kemarau panjang dengan harapan setelah
selesai ditarikan akan segera turu hujan. Busana pada Tari Srimpi menggunanakan Baju Rompi atau
Mekak,Jarik/kain model samparan dan Berjamang.
Macam-macam Tari Srimpi antara lain :
Tari Srimpi Dhempel
Tari Srimpi Ludiramadu
Tari Srimpi Gandokusuma
Tari Srimpi Gambirsawit dsb
Sama seperti tari Bedhaya, kata di belakang Srimpi menunjukan nama gendhing iringannya