Anda di halaman 1dari 43

FORMULIR PENETAPAN WARISAN BUDAYA TAKBENDA

1. Kode Pencatatan (diisi oleh Kementerian)


Tahun Nomor
2 0 2 3

2. Nama karya budaya (isi a. Nama karya budaya (isi nama yang paling umum dipakai)
Bedhaya Bontit

2. b. Nama karya budaya dalam aksara dan bahasa yang bersangkutan

2. c. Nama lain karya budaya (varian atau alias nama karya budaya)

3. Domain karya budaya (contreng satu atau lebih)

Tradisi dan ekspresi lisan, termasuk bahasa sebagai wahana warisan budaya
(01) takbenda, termasuk cerita rakyat, naskah kuno, permainan tradisional
Seni pertunjukan, termasuk seni visual, seni teater, seni suara, seni tari, seni
√ (02)
musik, film
Adat istiadat masyarakat, ritus, dan perayaan-perayaan, sistem ekonomi
(03)
tradisional, sistem organisasi sosial, upacara tradisional
Pengetahuan dan kebiasaan perilaku mengenai alam dan semesta, termasuk
(04) pengetahuan tradisional, kearifan lokal, pengobatan tradisional

Kemahiran kerajinan tradisional, termasuk seni lukis, seni pahat/ukir, arsitektur


(05)v tradisional, pakaian tradisional, aksesoris tradisional, makanan/ minuman
tradisional, moda transportasi tradisional
4. Kondisi karya budaya saat ini (contreng salah satu)

(01) Sedang berkembang

√ (02) Masih bertahan

(03) Sudah berkurang


(04) Terancam punah
(05) Sudah punah atau tidak berfungsi lagi dalam masyarakat

5. Lokasi dan persebaran karya budaya


Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat

6. Identifikasi dan definisi mengenai karya budaya (termasuk aspek kesejarahan, aspek sosial,
dan fungsinya dalam masyarakat), maksimal 1000 kata.

SEJARAH LAHIRNYA TARI BEDHAYA BONTIT


Dalam bukunya Teater Wayang Orang Yogyakarta (1990-1991:4-5) menyatakan bahwa
Keraton Kasultanan Yogyakarta berdiri pada tanggal 13 Februari 1755, sejak ditandatanganinya
perjanjian Giyanti. Perjanjian Giyanti tersebut merupakan kesepakatan yang mengakhiri
perselisihan, bahkan perang saudara dengan melawan penguasa kerajaan Mataram. Dengan
demikian Kerajaan Mataram pecah menjadi dua, yaitu Kasultanan Yogyakarta dan Kasunanan
Surakarta. Pangeran Mngkubumi dinobatkansebagai Raja yang berkuasa di Kasultanan
Yogyakarta dengan gelar Sri Sultan Hamengku Buwono I. Sebagai seorang raja, Sri Sultan
Hamengku Buwono I memerlukan kelengkapan pengabsahan sebagai sarana legitimasi. Secara
politis territorial Sri Sultan memiliki wilayah yang sah. Area yang dikuasai serta benda-benda
pusaka kerajaan, seperti senjata keramat, benda-benda upacara (regalia), instrument music
(gamelan) keramat, kereta kebesaran, serta wayang kulit sacral mendukung keabsahan Sri Sultan
sebagai raja di Keraton Kasultanan Yogyakarta. Segi lain sebagai upaya pengembangan sarana
legitimasi kerjaan Kasultanan Yogyakarta terdapat pada diri Sultan Hamengku Buwono sendiri.
Karena raja diyakini sebagai titisan dewa, raja yang diagungkan sebagai pemelihara kedamaian
dunia dan juga raja yang mempunyai garis kelanjutan dinasti besar penguasa-penguasa Jawa.
Sri Sultan Hamengku Buwono I yang bertahta di Kasultanan Yogyakarta sangat
memperhatikan segala segi kehiudpan masyarakatnya. Bidang kesenian khususnya seni tari dan
karawitan, tidak luput dari perhatiannya. Sri Sultan Hamengku Buwono I yang bertahta dari
tahun 1755 sampai 1792 mempelopori lahirnya tari klasik gaya yogyakarta. Suasana perang yang
berkecambuk dialihkan ke suasana seni. Seluruh bidang kesenian mendapat perhatian dari Sri
Sultan Hamnegku Buwono I dan dikembangkan sejauh mungkin terutama dalam bidang seni tari
(Suryobrongto: 1981: 30).
Keraton Kasultanan Yogyakarta yang mewarisi kebudayaan Mataram kaya akan tari
kalisk gaya Yogyakarta. Karena hamper setiap Sultan yang bertahta selalu menciptakan tarian.
Untuk keperluan-keperluan tertentu, seperti pernikahan putra-putri raja, Sultan memerintahkan
seniman istana atau empu jogged untuk menciptakan tarian, seperti lawung, bedhaya dan srimpi.
Namun tarian istana tersebut sampai pada masa pemerintahan Sri Sultan Hamengku Buwono VII
masih tertutup dan hanya dapat dipelajari serta hidup dan berkembang di dalam lingkungan
Keraton saja. Bau setelah didirikannya perkumpulan tari klasik gaya Yogyakarta pada tanggal 17
Agustus 1918 dengan nama Kridha Beksa Wirama oleh B.P.H Suryodiningrat dan G.B.H
Tejokusumo, tari istana tersebut dapat dipelajari di luar lingkungan Keraton. Tari-tarian di istana
semakin berkembang dengan mencapai titik kejayaannya pada maasa pemerintahan Sri Sultan
Hamengku Buwono VIII.
Pada masa pemerintahan Sri Sultan Hamengku Buwono VIII, seni tari klasik gaya
Yogyakarta mengalami perkembangan yang pesat dan banyak sekali diadakan pembaharuan
dalam kesenian Joged Mataram, mulai dari tata busana sampai penambahan ragam tari dan
penyempurnaan gerak-geraknya maupun iringan tarinya (Suharto: 1981: 118-121). Tari klasik
gaya Yogyakarta yang menjadi kebanggaan dari Keraton Kasultanan Yogyakarta ialah tari
bedhaya. Karena tari bedhaya mempunyai latar belakang filsafat yang dalam, kehalusan, sulit
dipelajari dan dianggap paling menonjol di bidang tari putri. Selain itu tari bedhaya
dipergunakan untuk mengangkat Sultan, karena Sultan dianggap sebagai pelindung kesenian.
Pada umumnya tari bedhaya ditarikan oleh Sembilan orang penari putri, akan tetapi
pada awal mulanya tarian ini dibawakan oleh tujuh orang penari, yaitu tujuh bidadari dari surga,
yang terdiri dari Dewi Supraba, Wilutama, Rasiki, Surendra, Gagarmayang, Iirm-irim dan Dewi
Tanjung Biru. Kemudian pada jaman pemerintahan Sri Sultan Agung Hanyakrakusuma di
Mataram, berkenan mengubah tari bedhaya tujuh orang menjadi Sembilan rang penari. Sri Sultan
Agung memerintahkan gadis-gadis cantik rupawan, putir-putri dari delapan orang menteri,
ditambah seorang putri dari patih Negara Mataram, untuk dijadikan penari bedhaya. Sejak saat
itu tari bedhaya ditarikan oleh sembian orang penari.
Tari bedhaya yang merupakan lambang kebesaran Keraton ditetapkan menjadi tari
Keraton resmi dan menjadi bagian dari kelengkapan raja atau keprabon. Karena raja dan bedhaya
hamper tidak dapat dipisahkan, bedhaya merupakan salah stau bentuk sakti dari raja. Hamper
setiap Sultan yang bertahta selalu menciptakan tari bedhaya. Demikian pula pada masa
pemerintahan Sri Sultan Hamengku Buwono VIII, yang bertahta pada tahun 1921 sampai 1939.
Beliau menciptakan tari bedhaya, yang salah satunya adalah Bedhaya Bontit. Tari Bedhaya
Bontit diciptakan pada tahun 1925, oleh abdi dalem yang menjabat sebagai empu jogged, yaitu
K.R.T Purbaningrat. Beliau menciptakan menciptakan tari Bedhaya Bontit yang kemudian
dipersembahkan kepada raja. K.R.T. Purbaningrat merasa tidak mempunyai hak atau tidak
pantas mencantumkan namanya sendiri di belakang sebuah karya seni yang telah diciptakan. Hal
ini disebabkan karena Sultan dianggap sebagai titisan dewa atau keturunan dewa, serta penguasa
kerajaan yang mengatur kehidupan rakyatnya. Dengan demikian Bedhaya Bontit tersebut
menjadi milik raja dan sebagai ciptaan Sri Sultan Hamengku Buwono VIII.
Di lingkungan Keraton Yogyakarta lahir dan berkembang beberapa jenis bentuk tari
klasik yang bergaya Yogyakarta, salah satunya adalah tari bedhaya. Tari Bedhaya ada beberapa
macam, dan dari sekian banyak tari bedhaya, salah satu diantaranya adalah tari Bedhaya Bontit.
Seperti halnya dalam tari bedhaya, tari Bedhaya Bontit di dalamnya mengandung symbol-simbol
dan nilai-nilai yang cukup tinggi serta maksud yang dalam, mulai dari gerak-geraknya,
iringannya, tata rias dan tata busana, rakit-rakitnya, serta peran-peran dalam tari Bedhaya
mempunyai arti dan maksud tertentu. Selain itu tari bedhaya termasuk jenis tarian yang sacral,
karena pementasan tidak dapat dilakukan setiap saat. Hanya pada acara tertentu di Keraton,
seperti ulang tahun raja atau pernikahan putra putri raja. Penarinyapun pada saat akan
mementaskan Bedhaya Bontit harus melakukan puasa, bersih diri sebagai suatu “laku”
pemusatan batin jiwanya menghadapi tugas suci.
Arti kata Bontit ialah rambut yang keriting (jw: pating prenthel; saemper brintik). selain
itu arti Bontit adalah mengambil kata dari kata Boncit; buntet; yang berarti paling ujung,
terakhir; buntu, tidak ada jalan lain (Poerwadarminta: 1939: 53). Kata Bontit tersebut merupakan
ekspresi atau ungkapan seorang pujangga untuk menyatakan hal yang dianggap tabu, sehingga
harus diungkapkan secara simbolis. Kata Bontit tersebut untuk menggambarkan orang yang
sedang “bercinta”, sehingga sampai mengetahui yang sedalam-dalamnya. Berkaitan denga isi
cerita dalam tari Bedhaya Bontit, maka kata Bontit dapat dilihat dalam penggambaran
peperangan antara Raden Permadi dan Raden Suryatmaja yang berusaha untuk mendapatkan
Dewi Surtikanthi. Dalam perangnya kedua prajurit tersebut sangat seru dan saling adu kekuatan,
sehingga sampai keduanya kehabisan akal, sudah buntu, tidak punya jalan keluar karena
keduanya sama-sama kuat, maka dalam peperangan tersebut tidak ada yang kalah. Kemudian
keduanya tampak bersatu menjadi loro-loroning atunggal. untuk memberikan arti atau makna
dalam setiap gerakan tari Bedhaya Bontit, selain mengacu pada arti kata Bontit tersebut juga
tidak akan terlepas dari unsur cerita yang melatarbelakangi tari bedhaya ini.
Bedhaya merupakan salah satu bentuk tarian kelompok yang ditarikan oleh Sembilan penari
putri. Tari bedhaya hidup dan tumbuh di lingkungan istana. Sebagai tarian istana atau Keraton,
taro bedhaya terikat oleh berbagai macam aturan yang dikenakan pada bentuk tarinya, maupun
pada pelaku trainya. Untuk menarikan tari bedhaya memerlukan laku-laku khusus, misalnya
harus berpuasa terlebih dahulu, bersih diri untuk pemusatan batin jiwa menghadapi tugas suci
(Wibawa: 1981:44). Karena tari bedhaya merupakan tarian sacral yang pementasannya hanya
pada waktu-waktu tertentu, missal pada ulangtahun penobatan raja, jumenengan raja, dan
pernikahan putra-putri eaja.
Pengertian bedhaya adalah bidadari yang sedang menari. Tari bedhaya ditarikan oleh
Sembilan orang penari putri yang masing-masing mempunyai nama, dengan rias dan busana
yang sama. Hal ini ditegaskan oleh Brontadiningrta (1981:17) sebagai berikut

Untuk nama tarian dalam tari bedhaya gaya Yogyakarta pada umumnya, diambil dari nama
gendhing pengiring tarinya. Sedangkan nama peran dalam tari bedhaya gaya Yogyakarta pada
dasarnya sama antara bedhaya satu dengan bedhaya yang lain. Nama-nama peran tersebut,
yaitu : 1) Endhel Pajeg, 2) Batak, 3) Jangga, 4) Dhadha, 5) Buntil, 6) Apit Ngajeng, 7) Apit
Wingking, 8) Endhel Wedhalan Ngajeng, 9) Endhel Wedhalan Wingking. Untuk tata rakitnya
terdiri dari, 1) Rakit Lajur, 2) Rakit Ajeng-ajengan, 3) Rakit Lajuran, 4) Rakit Tiga-tiga, 5) Rakit
Gelar.
Pada umumnya, tari bedhaya gaya Yogyakarta mempunyai tema, yang didalamnya
menggambarkan suatu cerita atau isi dari bedhaya tersebut. Menurut Soedarsono (1992:106),
tema yang tertuang didalam tari bedhaya sangat simbolis, disertai gerakan-gerakan halus dan
lemah gemulai.

FUNGSI TARI BEDHAYA BONTIT


Dalam kehidupan manusia fungsi tari dibagi menjadi tiga macam. Fungsi yang
pertama sebagai sarana dalam upacara-upacara, seperti upacara ritual keagamaan. Sedangkan
fungsi yang kedua sebagai sarana untuk mengungkapkan kegembiraan atau disebut dengan tari
pergaulan atau tari social. Fungsi yang ketiga sebagai seni tontonan atau seni pertunjukkan. Seni
pertunjukkan lebih mengarah kepada bentuk santapan estetis dan lebih banyak memberikan
hiburan kepada manusia. Istilah hiburan mempunyai dua macam arti, yaitu hiburan yang bersifat
serius dengan istilah performance atau concert, dan hiburan ringan yang disebut dengan istilah
show (Soedarsono: 1978:6-8).
Fungsi tari klasik khususnya tari bedhaya pada mulanya sebagai ritual, yaitu sebagai
sarana upacara, baik upacara perkawinan putra-putri raja, ulang tahun penobatan raja, serta untuk
memnyambut tamu agung. Namun fungsi tersebut sudah mengalami pergeseran yaitu sebagai
seni pertunjukkan yang bersifat hiburan. Demikian halnya dengan tari Bedhaya Bontit.
Pergeseran fungsi dalam tari bedhaya tersebut dapat dlihat dengan seringnya diadakan
pementasan-pementasan tari bedhaya. Pergeseran yang terjadi dalam tari bedhaya masih berpijak
pada patokan-patokan yang berlaku dalam tari bedhaya pada umumnya, misalnya rakit yang
digunakan masih tetap sama dengan tari bedhaya yang terdahulu. Tari Bedhaya Bontit
merupakan salah satu bentuk tari kelompok putri milik Keraton Yogyakarta, yang merupakan
Yasan nDalem Sri Sultan Hamengku Buwono VIII pada tahun 1925. Bedhaya ini mengambil
pada epos Mahabarata yang menggambarkan peperangan antara Permadi dan Suryatmaja.
Spesifikasi tari Bedhaya Bontit terletak pada motif gerak Atrap Cundhuk dan Atrap
Sumping, yang motif gerak tersebut jarang dipakai dalam tari bedhaya yang lain. Disamping itu
ada pola lantai empat persegi panjang dan lengkung ular atau variasi dari beberapa garis
lengkung. Tari Bedhaya Bontit yang berasal dari Keraton Yogyakarta mempunyai kekhususan
atau ciri khas yang membedakan tari Bedhaya Bontit tersebut dengan tari Bedhaya yang lain.
Spesifikasi tari Bedhaya Bontit terletak pada pola lantainya, yaitu pada waktu membuat rakit
Gelar dengan menggunakan gerak Kicar Erek Nyangkol Udhet semua penari membuat pola
lantai empat persegi panjang
Selain pola-pola lantai tersebut, ada gerak tari atau ragam gerak dalam tari Bedhaya Bontit yang
jarang digunakan dalam tari bedhaya yang lainnya. Ragam gerak tersebut adalah gerap Atrap
Cundhuk dan Atrap Sumping yang hanya digunakan dalam tari Bedhaya Bontit dan tari Bedhaya
Sumiring. Demikian pula dengan gerak Ndumuk Cara Semang yag digunakan pada awal tarian
hanya terdapat pada tari Bedhaya Bontit dan Srimpi Rangga Janur.
Pada dasarnya kekhususan yang terdapat dalam tari Bedhaya Bontit berada pada pola
lantai maupun ragam geraknya berkaitan dengan cerita yang ada dalam tari Bedhaya Bontit
tersebut
STRUKTUR TARI
Struktur adalah susunan unsur-unsur yang membentul satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan.
Untuk menyusun sebuah tarian diperlukan unsur-unsur pendukung, sehingga membentuk sebuah
komposisi tari. Unsur-unsur yang membentuk komposisi tari Bedhaya Bontit terdiri dari gerak
tari, iringan tari, tata rias dan busana, tema, tempat pertunjukkan, tata cara penyajian dan desain
lantai.
a. Gerak Tari

Gerak tari merupakan materi baku dari tari atau bahan dasar untuk membentuk
sebuah komposisi tari. Gerak-gerak tersebut dirangkai dari beberapa motif gerak atau
sering disebut dengan ragam gerak, sehingga menjadi sebuah sajian komposisi tari
yang indah.
Motif gerak yang dipergunakan dalam tari Bedhaya Bontit ada beberapa macam.
Motif-motif gerak tersebut terdiri dari motif gerak yberdiri sendiri atau sebagai pokok
gerak, yang biasa disebut ragam tari, dan motif gerak yang tidak dipakai sebagai
pokok gerak disebut sendhi atau penghubung yang merupakan penghubunga natara
ragam gerak yang satu ke motif gerak berikutnya. Ragam tari yang dipergunakan
dalam tari bedhaya ini adalah gerak tari putri yang ragam baku atau pokoknya adalah
ragam gerak Ngenceng, kemudian dikembangkan dan bervariasi.
Adapun ragam tari yang tersusun dalam tari Bedhaya Bontit meliputi: Kapang-
kapang, Lampah Pocong, Sembahan, Ndumuk Cara Semang, Nglayang, Ngenceng
Encot, Ngenceng, Atrap Cundhuk, Atrap Sumping, Lembehan, Mlampah Imbal,
Impang Ngewer Udhet, Pucang Kanginan, Ngundhuh Sekar, Kicat Gajah Ngoling,
Ukel Asta, Nyathok Udhet Maju Mundur, Samberan , Kicat Cangkol Udhet,
Ngenceng Tawing, Ngenceng Jengkeng, Bangomate, Kengser Tawing, Kipat Asta,
Lembehan Sirig Mundur, Perangan (Oyog-oyogan, Sudukan, Jeblosan), Lampah
Semang, Gidrah dam Gudhawa Asta Minggah.
Sedangkan sendhi atau gerak penghubung yang digunakan dalam Bedhaya Bontit
antara lain: Sendhi Maju Kanan, Panggel, Ngancap, Kengser, Pendhapan, Ongkek
dan Kipat Gedruk

b. Iringan Tari

Pada umumnya nama tari bedhaya mengikuti atau menggunakan nama gendhing
iringan pokoknya. Misalnya Bedhaya Bontit diiringi dengan gendhing Bontit. Iringan
yang digunakan dalam tari Bedhaya Bontit ini menggunakan instrument gendhing
Jawa, yaitu Gendhing Bontit Kendangan Semang. Adapun pola iringan yang
dipergunakan dalam Bedhaya Bontit seperti berikut:
c. Tata Rias dan Busana

Tata rias dan busana yang digunakan dalam tari bedhaya sama antara penari satu
dengan penari yang lainnya. Hal ini dimaksudkan agar tidak menimbulkan
kecemburuan dan menyombongkan diri.
Pada umumnya tata rias yang dipakai dalam tari bedhaya riasnya dinamakan ria
jahitan. Rias jahitan sebenrnya merupakan salah satu model rias mata yang berbentuk
seperti mata burung elang. Karena spesifikasi tata rias ini, maka tata rias wajah secara
keseluruhan dinamakan jahitan.
Tata busana yang digunakan dalam tari ini terdiri dari baju bludiran tanpa lengan,
kain motif parang rusak, sampur cindhe dan dilengkapi dengan perhiasan seperti
jamang, bulu-bulu, sinyong, sumping ron, godhegan, ceplok jebehan, jungkat,
cundhuk menthol, pelik, subang, klat bahu, kalung sungsun, slepe, gelang dan keris.
Tata busana dan corak rias muka tari bedhaya sebelum mas a pemerintahan Sri Sultan
Hamengku Buwono VIII berbeda dengan corak rias yang digunakan untuk tari
bedhaya pada masa sekarang. Corak riasnya menggunakan corak rias pengantin putri
Keraton Yogyakarta yang dilengkapi dengan gelung bokor, jungkat, cundhuk
menthul, ceplok jebehan, centhung, ron dan subang. Kemudian tata busananya terdiri
dari mekak, kain dengan motif parang rusak dipakai dengan model seredan di kiri dan
dilengkapi dengan sampur cindhe, slepe, keris, kalung sungsun, dengan klat bahu
serta gelang.
Pada masa pemerintahan Sri Sultan Hamengku Buwono VIII sampai sekarang corak
rias dan tata busananya sudah mengalami perubahan, yaitu tata riasnya menggunakan
rias jahitan, memakai jamang, dengan busana memakai baju bludiran tanpa lengan,
kain dengan motif parang rusak dipakai dengan model sredan kiri, dilengkapi dengan
sampur cindhe, slepe, keris,klat bahu, kaung sungsun, gelang, sumping, sinyong,
pelik, ceplok jebehan, jungkat, cundhuk menthul, godhegan, bulu-bulu dan juga keris
d. Tema

Menurut Soedarsono (1972:25), tari-tarian di Indonesia jika ditinjau dari segi isi atau
temanya dapat dibagi menjadi empat, yaitu tari pantomim, tari erotic, tari heroic dan
dramatari. Berdasarkan penuturan tersebut, Bedhaya Bontit termasuk dalam kategori
tari erotic. Hal ini disebabkan karena tarian berisi tentang kisah percintaan antara
Suryatmaja dan Dewi Surtikanthi. Sehingga tari Bedhaya Bontit tersebut sering
disebut dengan tari Bedhaya Suryatmaja Krama. (B.R.Ay. Yudanegara: 1997)
Adapun isi cerita dari tari Bedhaya Bontit sebagai berikut: Prabu Salya seorang raja
dari Negara Mandaraka mempunyai putri bernama Dewi Surtikanthi, ia dipinang oleh
Prabu Duryudana seorang raja dari Negara Astina. Dewi Surtikanthi sanggup kawin
dengan Prabu Duryudana asalkan kelak pada upacara temu pengantin, ia dirias atau
dipaesi oleh Raden Permadi (penengah Pandawa). Permintaan Dewi Surtikanthi
disanggupi oleh Prabu Duryudana. Pada waktu Raden Permadi hendak meias Dewi
Surtikanthi ia melihat bahwa ada pencuri hati Dewi Surtikanthi yang bersembunyi di
dalam subang, cincin dan semekan Dewi Surtikanthi. Raden Permadi selalu mengejar
Suryatmaja dimanapun Suryatmaja bersembunyi, sehingga terjadi perang antara
Raden Permadi melawan Raden Suryatmaja dan dimenangkan oleh Raden Permadi.
Dewi Surtikanthi dan Raden Suryatmaja kemudian meminta pertolongan Raden
Peermadi untuk memohonkan kepada Prabu Salya agar keduanya dapat dikawinkan.
Atas bantuan dari Raden Permadi, maka Dewi Surtikanthi dapat menikah dengan
Raden Suryatmaja.
Dalam cerita ini yang ditonjolkan adalah pada waktu peperangan antara Raden
Permadi dan Raden Suryatmaja, yang dalam tari Bedhaya Bontit ini digambarkan
peperangan antara Endhel Pajeg dan Batak. Untuk tokoh Permadi diperankan oleh
Batak dan tokoh Suryatmaja ditarikan oleh Endhel Pajeg.
e. Tempat Pertunjukkan

Tari-tarian didalam Keraton, khususnya tari bedhaya pementasannya dilaksanakan di


dalam ruang yang berbentuk pendapa, demikian pula dengan tari Bedhaya Bontit.
Bedhaya ini apabila dipentaskan di dalam Keraton dan untuk keperluan upacara
tertentu atau bukan berfungsi sebagai seni pertunjukkan, maka tempat pementasannya
dilaksanakan di ruang utama yaitu Bangsal Kencana Keraton Yogyakarta.

f. Tata Cara Penyajian

Tari bedhaya yang terdapat di Keraton merupakan tradisi turun-temurun. Tari


bedhaya tersebut oleh masyarakat umum masih dianggap adiluhung dan sacral. Syarat
untuk menarikannya masih memerlukan “laku” khusus, seperti harus berpuasa
terlebih dahulu, bersih diri untuk pemusatan batin jiwanya, serta dalam latihan
maupun pementasannya harus disertai dengan sajen. Namun tidak semua tari bedhaya
tergolong tarian yang sacral. Kategori sacral karena mempunyai kriteria kemagisan
yang tinggi dan tidak sembarang waktu dapat dipentaskan meskipun di dalam
lingkungan Keraton.
Mengenai tata cara penyajian tari Bedhaya Bontit adalah sebagai berikut: setelah
persiapan selesai, baik penari pengrawit maupun saran pendukung lain, maka para
penari keluar dari Tratag Prabayeksa, yaitu dari sebelah kana dengan melakukan
gerak Kapang-Kapang Maju menuju Bangsal Kencana. Setelah sampai di Bangsal
Kencana mulailah formasi pertama yaitu rakit Lajur. Arah hadap dan arah pandang
penari pada hakekatnya adalah pada satu titik objek yaitu raja. Setelah formasi Lajur,
maka formasi selanjutnya adalah rakit Ajeng-ajengan, Lanjuran, Medhal Lajur, Lajur,
Ajeng-ajengan, Iring-iringan, Tiga-tiga, Ajeng-ajengan, rakit Gelar, Tiga-tiga dan
diakhiri dengan rakit Lajur. Perpindahan dari Tiga-tiga ke rakit yang terakhir atau
rakit lajur ini dilakukan denga gerak Lampah Pocong (Lampah Dhodhok).
Selanjutnya para penari keluar (kearah kiri) dari Bangsal Kencana dengan gerak
Kapang-kapang Mundur.
g. Pola Lantai

Pola lantai merupakan istilah dari sebuah tarian yang memiliki arti garis-garis di
lantai yang dilalui oleh seorang penari atau garis-garis dilantai yang dibuat oleh
formasi penari kelompok. Dalam tari bedhaya pola lantai disebut dengan rakit. Proses
tata urutan pola lantai atau rakit dalam Bedhaya Bontit adalah sebagai berikut
Kaum ningrat Jawa merupakan komunitas yang dilingkungannya sarat dengan
symbol-simbol kehidupan. Seluruh symbol yang ada bisa dihayati melalui hamper
semua bentuk aktifitas di lingkungan hidupnya. Didalam aktifitas seni pertunjukkan
didalam norma dan etika, dan sebagainya mengandung nilai-nilai simbolik yang
tinggi. Berkaitan dengan symbol ini, seni pertunjukkan mengandung symbol-simbol
yang paling lengkap. Sebagai contohnya adalah pada dunia tari, symbol-simbol
hamper memenuhi pada seluruh aspek koreografinya. Misalnya pada aspek gerak,
setiap gerakan yang dibawakan oleh penari merupakan penghalusan gerak yang
mempunyai arti simbolis dari suatu maksud tarian itu sendiri.
Tari bedhaya dalam hal ini adalah tari Bedhaya Bontit yang lahir didalam keraton
memiliki nilai simbolis yang tinggi. Kostum yang dipergunakan serta tata riasnya
yang serba sama melambangkan bahwa manusia mempunyai derajat yang sama, tidak
boleh iri ataupun saling berebut kekuasaan. Selain itu tari bedhaya mengandung nilai
dua, tiga, dan Sembilan (Pudjasworo: 1984: 28).
Makna nilai dua terdapat dalam kemanunggalan antara Endhel Pajeg dan Batak.
Bentuk kemanunggalan antara Endhel Pajeg dan Batak akan tampak dalam rakit
Gelar. Dalam rakit gelar ini Endhel Pajeg dan Batak memegang peranan yang paling
baku, sedangkan tujuh penari lainnya menjadi bersifat figurative. dalam rakit Gelar
tersebut Endhel Pajeg berupaya menakhlukkan Batak yang melambangkankonflik
batin, perebutan kekuasaan rasa (daredahing karsa), yaitu berebut menang antara dua
hal, seperti baik buruk, benar salah, tinggi rendah, dan lain sebagainya. Namun dalam
peperangan tersebut diantara keduanya tidak ada yang kalah dan yang menang.
Endhel Pajeg dan Batak tampak bersatu menjadi Loro-loroning atunggal. Loro-
loroning atunggal merupakan suatu kesatuan tunggal antara dua keadaan (sifat) yang
kontradiktif.
Makna nilai tiga dapat dilihat pada bentuk formasi (rakit) Tiga-tiga. Bentuk formasi
ini muncul pertama kali adalah menjelang berlangsungnya rakit Gelar. Pada tari
Bedhaya gaya Yogyakarta rakit Tiga-tiga merupakan bagian yang mengakhiri pada
bagian gendhing dan ladrangan.
Rakit Tiga-tiga dalam tari bedhaya merupakan lambing dari proses kehidupan
manusia yang senantiasa terikat oleh tiga dimensi waktu, yaitu lahir, hidup dan mati.
Ketiganya adalah telu-teluning atunggal dalam menuju kesempurnaan, yaitu
“manunggaling Kawula Gusti”. Selain itu rakit Tiga-tiga menunjukkan suatu
hubungan dengan kesatuan anasir kehidupan menurut religio mistik kejawen, yaitu
sari maruta, Sari tirta kamandanu dan Sari bagaswara. Sedangkan dalam agama Islam
disebt Betal makmur (tempat otak), Betal Mukaram (tempat hati), dan Betal Mukadas
(tempat pesucian). Dari semua itu, maka semakin jelas kedudukan rakit Tiga-tiga
dalam tari bedhaya dalam hubungannya dengan symbol telu-teluning atunggal atau
Tri Murti.
Makna nilai Sembilan dalam tari bedhaya digambarkan melalui jumlah penari
Sembilan orang. jumlah Sembilan tersebut merupakan lambing dari Sembilan lubang
yang ada di dalam badan jasmani manusia, yaitu mata dua buah, mulut satu buah,
telinga dua buah, lubang hidung dua buah, dubur satu buah dan lubang kelamin satu
buah. Bentuk rakit Lajurnya merupakan gambaran bentuk jasmani manusia. Seperti
yang dikatakan oleh Pudjasworo (1985: 33), bahwa:
Dalam hal ini bagian kepala dilambangkan dengan Endhel Pajeg, Batak, Jangga.
Bagian badan (gembung) dilambangkan oleh peran Dhadha dan Buntil, sedangkan
Apit Ngajeng dan Apit Wingking melambangkan tangan kanan dan kiri. Sementara
Endhel Wedhalan Ngajeng dan Endhel Wedhalan Wingking adalah merupakan
symbol dari kaki kanan dan kaki kiri.
Endhel Pajeg sebagai lambing kepala didalamnya terdapat panca indra, yaitu indra
penglihatan, pendengar, pencium, peraba dan perasa. Batak sebagai lmabang jiwa
manusia, sehingga Jangga, Dhadha dan Buntil hanya mengikuti jalannya Batak.
Sedangkan maksud dari nama masing-masing adalah Endhel Pajeg melambangkan
akal budi, Batak melambangkan jiwa manusai. Jangga sebagai jalnnya makanan yang
dibutuhkan oleh badan, Dhadha sebagai pusat untuk menggerakkan badan, Bunthil
melambangkan alat kelamin dan alat pembuangan. Sedangkan Apit Ngajeng dan Apit
Wingking melambangkan kedua tangan manusia, dan Endhel Wedhalan Ngajeng
serta Endhel Wedhalan Wingking sebagai symbol kedua kaki manusia.
Apabila dikaji secara keseluruhan dalam proses tarinya, maka akan menunjukkan
gambaran dari proses kehidupan manusia dari purwa, madya dan wasana. Perubahan
pola lantainya dari Kapang-kapang Maju sampai dengan rakit Gelar menyimbolkan
kehidupan manusia, sedangkan Kapang-kapang Mundur menyimbolkan manusia mati
atau kembali ke asalnya (mulih mulanira dumadi).

Dalam setiap gerakan Bedhaya Bontit memilik makna yang terkandung didalamnya,
yaitu
1. Kapang-kapang

Kapang-kapang dilakukan untuk mengawali dan mengakhiri suatu tarian, dalam


hal ini bedhaya menyimbulkan atau melambangkan kelahiran manusia.
Sedangkan makna yang terkandung didalamnya adalah niat awal dan kebulatan
tekad untuk melaksanakan tugas.

2. Lampah Pocong

Lampah Pocong merupakan rangkaian dari gerak Kapang-kapang, yaitu berjalan


dengan merunduk kemudian berjalan dengan posisi jongkok. Gerak ini
melambangkan pernyataan hormat terhadap sesame, terutama kepada raja. Makna
yang tersirat dalam gerakan ini adalah di dalam kehidupan kita harus saling
hormat menghormati.

3. Sembahan

Sembahan merupakan salah satu aspek gerak dalam tari klasik Yogyakarta yang
selalu dilakukan pada awal dan akhir dari sebuah tarian. Sembahan yang lengkap
dalam tari klasik gaya Yogyakarta dilakukan dua kali, yaitu Sembahan Sila dan
Sembahan Jengkeng.
Sembahan berasal dari kata sembah dan ditambah akhiran –an. Menurut kamus
Besar Bahasa Indonesia, kata sembahan merupakan pernyatan hormat secara
khidmat yang dinyatakan dengan cara menangkupkan kedua belah tangan.
Sembahan dalam tari klasik gaya Yogyakarta bertujuan untuk menghormati raja.
Apabila Sembahan dilakukan oleh seorang penari yang menari di luar Keraton,
maka Sembahan tersebut adalah untuk menghormati orang yang lebih tua dan
pencipta tari yang dibawakan. Dengan demikian Sembahan merupakan symbol
pernyataan hormat dan ungkapan tanda terima kasih. Sedangkan makna yang
terdapat dalam gerak Sembahan adalah di dalam mengerjakan sesuatu atau
melaksanakan tugas senantiasa harus diawali dengan memohon atau berdoa
kepada Tuhan agar segala sesuatunya dapat berjalan lancer dan setelah selesai
juga haus diakhiri dengan doa untuk mengucapkan syukur dan terima kasih.
Disamping makna tersebut, Sembahan merupakan pernyataan Takqwa kepada
Tuhan, karena sembah merupakan penyatuan lahir dan batin untuk memuja Tuhan
Yang Maha Esa.
4. Ndumuk Cara Semang

Ragam gerak Ndumuk Cra aSemang merupakan ragam yang jarang sekali
digunakan dalam tari bedhaya. Ragam ini merupakan salah satu ciri khusus dari
tari Bedhaya Bontit. Raga mini menyimbolkan bahwa manusia itu berasal dari
tanah dan akan kembali ke tanah. Maknanya adalah bahwa manusia harus selalu
ingat kepada penciptanya yaitu Tuhan

5. Nglayang

Ragam gerak Nglayang pada umumnya dilakukan sebelum Sembahan Jengkeng.


Kata Nglayang dalam Bausastra Jawa berarti terbang, mengembara, melayang,
dan juga menyimbolkan keinginan untuk bebas.
Makna dari gerak Nglayang dalam tari Bedhaya Bontit ini adalah pikiran yang
melayang-layang. Manusia didalm hidupnya pasti empunyai keinginan atau cita-
cita yang tinggi, yang kadang-kadang sudah ada dalam angan-angan atau
dibayangkan serta menginginkan kebebasan dalam meraih cita-cita. Seperti dala
isi cerita tari Bedhaya Bontit, Dewi Surtikanthi mempunyai keinginan untuk
menikah dengan Rden Suryatmaja. Demikian pula dengan Raden Suyatmaja,
karena keduanya sudah saling mencintai.

6. Ngenceng Encot

Ragam Ngenceng Encot merupakan perkembangan dari gerak Ngenceng.


Sedangkan gerak Ngenceng merupakan gerak dasar putri gaya Yogyakarta. Hal
ini terlihat pada beberapa ragam gerak tari Bedhaya Bontit, antara lain Ngenceng
Tawing, Ngenceng Jengkeng, Pucang Kanginan, Impang Ngewer Udhet dan
Ngundhuh Sekar.
Ragam Ngenceng mempunyai symbol kekuatan. Adapun makna dari ragam
Ngenceng ini berkaitan dengan kehidupan manusia. Maksudnya adalah bahwa
manusia dalam kehidupannya harus mempunyai dasar dan berkepribadian, sebab
dengan dasar yang kuat seseorang dalam hidupnya akan terbentuk sosok pribadi
yang tenang dan memiliki tata karma. Makna lain dari ragam Ngenceng adalah
bahwa setiap kemauan atau tekad untuk mencapai cita-cita harus selalu berpegang
teguh pada prinsip. Sedangkan encot mengandung maksud keragu-raguan dlam
menjalankannya, karena menghadapi berbagai rintangan. Tetapi bagaimanapun
juga harus tetap dilaksanakan, hal ini merupakan maksud dari gerak seblak
sampur yang mengakhiri ragam Ngenceng Encot tersebut.
Suryatmaja yang mempunyai cita-cita ingin beristrikan Dewi Surtikanthi, menjadi
ragu-ragu karena Dewi Surtikanthi sudah dipinang oleh Duryudana. Tetapi
Suryatmaja tetap bersikeras untuk mendapatkan Dewi Surtikanthi karena sudah
terlanjur mencintainya. Sehingga Suryatmaja menempuh jalan dengan “mencuri”
Dewi Surtikanthi.

7. Atrap Cundhuk dan Atrap Sumping

Cundhuk dan Sumping merupakan hiasan yang digunakan pada kepala dan
telinga. Kepala merupakan tempat panca indera, termasuk telinga yang
dipergunakan untuk mendengarkan. Dalam tari bedhaya ini gerak Atrap Cundhuk
dan Atrap Sumping mempunyai makna menggunakan pendengaran untuk
mendengarkan nasehat dari orang lain, sehingga dapat membenahi diri dan
mengontrol diri dari hal-hal yang tidak baik. Dalam hal ini Suryatmaja harus
dapat mengontrol diri atau introspeksi diri dengan tindakan yang telah dilakukan.

8. Lembehan

Kata Lembehan dalam Bausastra Jawa berarti bergeraknya tangan maju dan
mundur pada saat berjalan. Berdasarkan arti kata tersebut, Lembehan mempunyai
makna dalam usaha mencapai suatu cita-cita harus disertai dengan tekad dan
semnagt yang mendapat memotivasi pencapaian cita-cita tersebut.

9. Mlampah Imbal

Ragam gerak Mlampah Imbal mengandung maksud bahwa didalam mlangkah


atau mengerjakan segala sesuatu harus dengan kesungguhan hati. Isi cerita dalam
tari Bedhaya Bontit kaitannya dengan raga mini yaitu Dewi Surtikanthi berusaha
untuk menolak dinikahkan dengan Duryudana dengan cara yang halus, yaitu
dengan meminta agar pada saat pernikahannya dipaesi atau didandani oleh Raden
Permadi. Hal tersebut merupakan suatu usaha dari Dewi Surtikanthi agar cita-
citanya untuk dikawinkan denga Raden Suryatmaja dapat tercapai.

10. Impang Ngewer Udhet

Mkana yang terkandung dalam ragam Impang Ngewer Udhet ini adalah bahwa
dalam kehidupannya manusia harus dapat mandiri dan tidak bergantung kepada
orang lain, serta harus percaya pada diri sendiri dan kemampuan yang dimilikinya

11. Pucang Kanginan

Kata pucang diambil dari nama pohon pucang, yaitu pohon yang besar dan kuat
apabila kena angina tidak roboh. Ragam gerak Pucang Kanginan ini
menyimbolkan kekuatan, kekokohan dan keteguhan.
Manusia dalam kehidupannya juga harus seperti pohon pucang, yaitu mempunyai
pendirian yang kuat, tidak ragu-ragu dalam melangkah atau mengerjakan sesuatu
agar tidak terpengaruh oleh segala sesuatu yang dapat merusak cita-citanya.
Melalui gerak Pucang Kanginan digambarkan bahwa dalam tari Bedhaya Bontit,
Dewi Surtikanthi sudah menjadi hak Duryudana, maka Raden Permadi yang
sedang merias Dewi Surtikanthi dengan berperang melawan Raden Suryatmaja.
Akan tetapi Raden Suryatmaja tetap berpegang pada pendiriannya yaitu ingin
memperistri Dewi Surtikanthi.
Makna yang dapat diambil dari visualisasi melalui gerak Pucang Kanginan yaitu
berpendirian kuat dan mempunyai rasa kesetiaan.
12. Ngundhuh Sekar

Ragam Ngundhuh Sekar merupakan ragam yang menirukan gerak sedang


memetik (ngundhuh) bunga (sekar). Sekar atau bunga menyimbolkan seorang
gadis. Apabila dikaitkan dengan isi cerita tari Bedhaya Bontit, sekar atau gadis
tersebut adalah Dewi Surtikanthi yang “dipetik” oleh Raden Suryatmaja.
Dalam kehidupannya manusia tidak lepas dari masalah dan kegagalan dalam
hidup. Demikian pula dengan Raden Suryatmaja yang menghadapi masalah untuk
mendapatkan Dewi Surtikanthi. Oleh sebab itu Raden Suryatmaja tetap mencari
jalan keluar dari masalah yang menghadangnya walaupun harus dengan jalan
“mencuri” Dewi Surtikanthi.
Dari visualisasi gerak Ngundhuh Sekar tersebut makna yang tersirat adalah dalam
setiap kegagalan atau masalah yang dihadapi, kita harus dapat memetik pelajaran
dari masalah dan kegagalan tersebut.
13. Kicat Gajah Ngoling

Gajah Ngoling menggambarkan gajah memainkan belalainya. Kicat berarti


perjalanan, penjajagan. Makna dari ragam Kicat Gajah Ngoling yaitu manusia
dalam kehidupannya harus selalu menjajagi setiap kemungkinan-kemungkinan
yang akan terjadi. Dalam tari Bedhaya Bontit, Suryatmaja dalam perjalanan
cintanya berusaha menjajagi seberapa besar cinta Dewi SUrtikanthi kepadanya.
Suryatmaja menjajagi cinta Dewi Surtikanthi sampai sejauh mungkin bahkan
sampai mengetahui hal yang sedalam-dalamnya.

14. Ukel Asta

Ragam gerak Ukel Asta dalam tari ini mengandung maksud bahwa manusia yang
mempunyai berbagai keinginan atau mendapat suatu godaan, sehingga tujuan
utamanya dalam usaha mencapai cita-cita menjadi ragu-ragu. Sikap ragu-ragu
tersebut disimbolkan dengan gerakan encot-encot. Mkana dari gerak Ukel Asta
hubungannya dengan isi cerita dalam tari yaitu, Dewi Surtikanthi yang sudah
mencintai Raden Suryatmaja menjadi ragu-ragu karena dirinya akan dianggap
melawan orang tuanya, yaitu Prabu Salya yang telah menjodohkan Dewi
Surtikanthi dengan Duryudana.
Jaid makna yang dapat diambil dari gerak Ukel Asta ialah harus dapat
mengendalikan diri dan dapat menpis godaan yang akan menghalangi cita-
citanya.
15. Nyathok Udhet Maju Mundur

Makna dari gerak Nyatok Udhet Maju Mundur ialah manusia dalam keragu-
raguannya membutuhkan saran dari orang lain. Dari berbagai nasehat yang
diterimanya, harus dapat mempertimbangkan atau memikirkan yang baik dan
yang tidak baik dalam mengerjakan tugas.

16. Samberan

Dalam ragam gerak Samberan ini semua penari membentuk formasi atau rakit
Tiga-tiga. Makna yang tersirat dari ragam gerak Samberan yaitu apabila
menerima berbagai saran atau nasehat, harus dapat menyimpulkan atau
mengambil suatu keputusan yang tepat.

17. Kicat Cangkol Udhet

Cangkol Udhet merupakan penggambaran apabila seseorang mempunyai


pendapat atau gagasan harus disimpan terlebih dahulu, tidak boleh tergesa-gesa
untuk menyimpulkan sesuatu. Sedangkan Kicat berarti perjalanan, penjajagan.
Manusia dalam kehidpannya harus selalu menjajagi setiap kemungkinan-
kemungkinan yang akan terjadi. Setelah selesai melakukan gerak Kicat Cangkol
Udhet, dilanjutkan dengan Kipat Sampur yang menggambarkan bahwa setelah
melakukan berbagai cara manusia harus dapat menyimpulkan untuk mendapatkan
jawaban.
Gerak Kicat Cangkol Udhet dalam tari Bedhaya Bontit apabila dikaitkan isi
ceritanya dapat diketahui ketika Raden Permadi melihat dari kejauhan kalau
Raden Suryatmaja mempunyai suatu gagasan, maka Raden Permadi menjajagi
selaga kemungkinan dari gagasan yang belum terpecahkan. Akhirnya Raden
Permadi mengetahui kalau Raden Suryatmaja hendak "mencuri” Dewi
Surtikanthi.
Makna yang dapat disambil dari gerak Kicat Cangkol Udhet yaitu apabila
seseorang mempunyai pendapat atau menyampaikan pendapat tidak boleh emosi
dan tergesa-gesa dalam bertindak, harus selalu berhati-hati, berpikir dan
mempertimbangkan segala sesuatu terlebih dahulu tentang baik buruk maupun
untung ruginya, karena dengan hati-hati dapat mengendalikan diri dan dapat
menyimpulkan sesuatu dengan tepat.

18. Ngenceng Tawing

Seperti ragam Ngenceng Encot, ragam Ngenceng Tawing merupakan variasi dari
ragam ngenceng ssebagai gerak tari puteri gaya Yogyakarta. Ragam Ngenceng
menyimbolkan kekuatan. Sedangkan kata Tawing berarti telinga merupakan salah
satu alat indera manusia yang berguna untuk mendengarkan.
Raden Permadi mendapat perintah dari Prabu Salya untuk menangkap pencuri
yang masuk ke Pura Mandaraka. Dengan kebulatan tekad dan kesungguhan hati
Raden Permadi melaksankan tugas yang dibebankan kepadanya.
Makna yang dapat diambil dari ragam gerak Ngenceng Tawing yaitu apabila
seseorang mendapat perintah atau tugas harus dilaksanakan dengan eksungguhan
hati dan tidak akan goyah wakalupun menghadapi berbagai rintangan.

19. Ngenceng Jengkeng

Gerak jengkeng merupakan gerakan seperti jongkok dengan bertumpu pada kedua
kaki. Gerak Jengkeng tersebut menyimbolkan pernyataan hormat,
merendah/rendah hati dan tidak sombong. Dengan demikian ragam Ngenceng
Jengkeng mengandung arti bahwa dalam kehidupannya manusia harus
mempunyai dasar dan kepribadian yang kuat, sehingga akan terbentuk sosok
pribadi yang tenang, tidak sombong dan mempunyai tata karma.

20. Bangomate

Ragam Bangomate dilakukan menjelang berlangsungnya rakit Gelar. Dalam tari


Bedhaya Bontit rakit Gelar merupakan inti dari cerita yang ada dalam tari
bedhaya tersebut.
Ragam Bangomate melambangkan orang yang sedang bercumbu. Sesuai dengan
cerita dalam tari Bedhaya Bontit, ragam ini menggambarkan Raden Suryatmaja
yang sedang bercumbu dengan Dewi Surtikanthi.
Makna yang dapat diambil dari ragam gerak Bangomate adalah dalam
kehidupannya manusia harus saling menghargai dan saling mengasihi terhadap
sesame.

21. Kengser Tawing

Kata kengser diambil dari kata wedi kengser yang menggambarkan pasir
mendesir karena tiupan angina. Sedangkan tawing berarti telinga yang berfungsi
untuk mendengar.
Berkaitan dengan cerita dalam tari bedhaya Bontit ragam Kengser Tawing
menggambrakan Suryatmaja yang adalah “pencuri” mengetahui kalau ada
seseorang yang telah mengetahui perbuatannya, yaitu Raden Permadi sehingga
Suryatmaja harus bersikap waspada.
Makna yang tersirat dalam ragam Kengser Tawing yaitu dalam
kehidupanseseorang senantiasa harus mempunyai pikiran yang jernih, tenang dan
selalu waspada terhadap segala sesuatu.

22. Kipat Asta

Kata Kipat Asta dalam Bausastra Jawa berarti dibuang dengan cara yang keras
(dibuwang sarana dibabitke/ diantingake). Sedang asta adalah tangan. Ragam
Kipas Asta apabila dihubungkan dengan cerita dalam tari Bedhaya Bontit
menggambarkan Suryatmaja yang berusaha menghindar dari maslaah yang sdang
dihadapinya, dengan maksud agar tidak terjadi keributan.
Ragam Kipat Asta mempunyai arti atau makna bahwa dalam kehidupan manusia
harus dapat menghindari hal-hal yang tidak baik.
23. Lembehan Sirig Mundur

Kata Lembehan berarti berjalan dengan kedua tangan bergerak maju dan mundur,
sirig berarti berjalan agak berjingkat-jingkat dalam tempo yang cepat, sedangkan
mundur adalah berjalan kearah belakang. Dari arti kata-kata tersebut dalam tari
Bedhaya Bontit, Suryatmaja berusaha untuk menyingkirkan hal-hal yang tidak
baik, disamping itu juga harus dapat mengendalikan diri agar tidak tergesa-gesa
dalam melangkah.
24. Perangan

Gerak perangan dalam tari Bedhaya Bontit ini dilakukan setelah melakukan gerak
Kicat Cangkol Udhet. Gerak Kicat Cangkol Udhet telah dikemukakan bahwa
memiliki makna apabila mempunyai pendapat atau menyampaikan pendapat tidak
boleh emosi dan tergesa-gesa dalam bertindak, harus selalu berhati-hati, harus
dipikirkan dan dipertimbangkan terlebih dahulu, sehingga dapat mengendalikan
diri serta dapat menyimpulkan sesuatu yang tepat. Tetapi apabila perselisihan
pendapat sudah tidak dapat dikendalikan, maka selah satu cara terakhir untuk
mengatasinya adalah dengan cara fisik. Demikian pula dalam tari Bedhaya Bontit,
cara terakhir untuk mengatasi perselisihan pendapat antara Raden Suryatmaja dan
Raden Permadi adalah dengan berperang. Perangan dalam tari bedhaya ini
mempergunakan senjata keris. Bentuk perang yang dipergunakan, yaitu Oyog-
oyogan, Jeblosan dan Sundukan.
Makna gerak yang ada dalam perangan ini dapat dilihat dari cerita yang
melatarbelakanginya. Oyog-oyogan mempunyai makna masing-masing
mempunyai pendapat yang berlainan. Kemudian Jeblosan mempunyai makna
silang pendapat, masing-masing mempunyai pendapat yang berlainan dan saling
melontarkan atau mengemukakan pendapat tersebut. Suryatmaja merasa dirinya
benar karena diantara Suryatmaja dan Dewi Surtikanthi saling mencintai,
sedangkan Raden Permadi juga berpendapat bahwa dirinya benar karena
melaksankan perintah dari Prabu Salya agar menagkap Suryatmaja seorang
“pencuri” yang tidak melalui jalan yang benar. Sudukan mempunyai makna
bahwa di antara Raden Permadi dan Raden Suryatmaja sudah tidak mau
menerima alasan dari masing-masing pihak, sehingga emosinya tidak dapat
dikendalikan, kemudian nasehat ataupun teguran yang disampaikan dianggap
mencela dan menentang serta berakhir dengan kemarahan.
Dengan demikian arti kata Bontit yaitu rambut yang keriting menggambarkan
Raden Suryatmaja yang berusaha untuk mendapatkan Dewi Surtikanthi dengan
jalan yang berliku-liku, yaitu dengan “mencuri” Dewi Surtikanthi bahkan sampai
terjadi peperangan yaitu begitu seru antara Raden Suryatmaja dengan Raden
Permadi. Apabila dihubungkan dengan kehidupan manusia menyimbolkan
pencapaian suatu cita-cita yang harus menghadapi berbagai rintangan atau
cobaan, namun pada akhirnya akan menemukan jalan yang baik.
Dalam peperangan yang ada dalam tari Bedhaya Bontit, dilakukan dengan
pengolahan pola lantai yang selalu berpindah-pindah, karena menggambarkan
kesaktian dari masing-masing prajurit. Raden Suryatmaja dapat menghilang dan
bersembunyi di dalam subang, cincin dan kemben Dewi Surtikanthi. Akan tetapi
Raden Permadi tidak kalah sakti, sehingga dimanapun Suryatmaja bersembunyi
dapat ditemukan oleh Raden Permadi.
Berdasarkan uraian tentang bentuk perangan tersebut diatas ternyata dapat
diambil makna, yaitu harus bersikap sabar dan tidak mudah terpancing oleh emosi
atau sikap gegabah, harus dapat mengendalikan diri, kesetiaan, terampil dan
mempunyai daya ingat yang tajam.

25. Lampah Semang

Kata Lampah berarti perjalanan, sedangkan Semang berarti tidak khawatir atau
ragu-ragu. Ragam Lampah Semang dalam tari Bedhaya Bontit, melambangkan
Raden Suryatmaja yang tidak ragu-ragu lagi dalam meraih cita-citanya yaitu
memperistri Dewi Surtikanthi sebagai istinya karena sudah menemukan jalan
yang terbaik. Raden Suryatmaja dan Raden Permadi saling adu kekuatan, tetapi
diantara keduanya tidak ada yang kalah ataupun menang. Kemudian keduanya
dipisahkan oleh Eyang Abiyasa dan mereka menyadari kalau mereka masih
saudara dan selanjutnya Raden Permadi bersedia mengantar Raden Suryatmaja
untuk menghadap Prabu Salya, meminta izin agar Dewi Surtikanthi dapat
dipersunting oleh Raden Suryatmaja. Cerita tersebut divisualisasikan melalui
gerak Lampah Semang dengan pola lantai lengkung ular yang menggambarkan
sebuah perjalanan untuk menghadap kepada Prabu Salya.
Dari gerak Lampah Semang serta cerita yang melatarbelakanginya, maka makna
yang dapat dilihat yaitu harus mempunyai sikap tegas dan tidak ada keraguan
dalam melangkah atau mengerjakan sesuatu.

26. Gidrah

Ragam Gidrah merupakan ragam gerak yang diakhiri dengan mempertemukan


tangan kiri dan tangan kanan didepan perut. Sikap kedua tangan tersebut seperti
orang yang sedang bersemadi, menyatukan jiwa dan raga untuk memohon
petunjuk kepada Tuhan.
Suryatmaja yang sudah menghadap kepada Prabu Salya, didalam hatinya
senantiasa berdoa memohon petunjuk Tuhan agar dirinya diterima sebagai
menantu.
Jadi makna yang dapat dilihat dari gerakGidrah adalah sebagai manusia ciptaan
Tuhan senantiasa harus selalu berdoa dan berbakti kepada Tuhan.

27. Gudhawa Asta Minggah

Gerak dalam tari Bedhaya Bontit ini dilakukan dalam formasi atau rakit Tiga-tiga
yang kedua. Gerak ini menyimbolkan keadaan masa tua manusia. Dalam masa tua
tersebut, manusia harus introspeksi diri, emnggunakan masa tuanya dengan baik
serta harus menyerahkan hidupnya kepada Tuhan.
Makna yang dapat diambil dari gerak Gedhawa Asta Minggah ini adalah bahwa
dalam kehidupan manusia harus dapat introspeksi diri atau mengoreksi diri
sendiri, sehingga dapat bertindak dan bertingkah laku baik.

Dari berbagai makna yang terkandung didalam ragam-ragam gerak tari Bedhaya Bontit, tidak
lepas dari filsafat Joged Mataram yang diarahkan ke Ketuhanan dan ke suatu way of life. Filsafat
Joged Mataram yang diarakan ke Ketuhanan adalah sewiji yaitu orang harus selalu ingat jepada
Yang Maha Kuasa. Greget berarti seluruh aktivitas dan gairahnya harus disalurkan melalui jalan
Allah. Sengguh yaitu harus merasa bangga ditakdirkan sebagai makhluk yang terhormat. Ora
Mingkuh berarti meskipun mengalami banyak kesulitan di dalam hidup, namun harus selalu
percaya pada Yang Maha Adil. Sedangkan filsafat Joged Mataram yang diarahkan ke suatu way
of life meliputi sewiji yaitu seseorang mempunyai cita-cita maka konsentrasi harus siarahkan ke
tujuan tersbut. Greget ialah dinamik dan semangatnya harus diarahkan ke tujuan tersebut melalui
saluran-saluran yang wajar. Sengguh berarti percaya penuh pada kemampuan pribadinya,
sedangkan Ora Mingkuh berarti meskipun dalam perjalanan menuju ke tujuan akan menghadapi
halangan, tetapi tidak akan mundur setapakpun.

7. Upaya pelestarian karya budaya

. Upaya Pelestarian

1. Penelitian dan Kajian, upaya untuk melakukan kajian dan pemutakhiran data secara
berkala pada karya budaya ini. Penelitian Kajian dimaksudkan sebagai bagian rekam
arsip sekaligus rekam jejak tulis yang dijelaskan secara rinci mengenai karya budaya ini
berikut dengan representasi keadaan karya budaya terkini, rekomendasi melaksanakan
aksi tindak lanjut, upaya-upaya yang sudah dilakukan, reportase tahunan kegiatan yang
dilakukan dan perincian lain yang memuat secara detail terkait dengan upaya
pelaksanaan. Penelitian dan pengkajian dilakukan meskipun tidak rutin sudah dilakukan
oleh Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat bekerjasama dengan ISI Yogyakarta dan
Akademi Komunitas Yogyakarta. Upaya pengkajian gending dan segala yang berkaitan
dengan Bedhaya Genjong juga terus dilakukan oleh para pemucal karaton

2. Pewarisan, pola pewarisan diupayakan dalam dua metode yakni metode tulis dalam
bentuk modul, buku saku, dan panduan mengenai deskripsi singkat karya budaya berikut
dengan catatan mengenai persebaran yang ada di dalamnya. Kedua, metode transformasi
ilmu dan keahlian yang diwujudkan dalam bentuk pelatihan, workshop, fasilitasi
perlengkapan, mentoring, dan fasilitator yang mempu menjembatani adanya proses
transfer ilmu tersebut. Metode pewarisan dilakukan dengan melibatkan Keraton
Yogyakarta, subjek pelestari tari Bedhaya Genjong pelaku seni dan juga Pemerintah
Daerah. Pewarisan dilakukan dengan dibentuknya divisi KHP Kridomardowo, divisi tari
yang ada di Karaton Ngayogyakarta ini secara massive, regular dan teratur
menjembatani para abdi dalem untuk pendidikan seni tari Bedhaya Genjong.
Masyarakat luar yang ingin belajar mengenai tari ini pun diperbolehkan ikut dengan
latihan dasar terlebih dahulu yang selesnggarakan oleh Kraton.

3. Pelindungan, upaya pelindungan yang dilakukan dengan melakukan arsip dokumen baik
kajian, foto dan video dari karya budaya yang merupakan khasanah lokal dari awal
adanya karya budaya ini. Upaya pelindungan juga dilakukan dengan melakukan
koordinasi dengan Kemenkumham terkait dengan adanya basis pencatatan Kekayaan
Intelektual Komunal. Upaya pelindungan juga dilakukan dengan melakukan fasilitasi
sebagai bentuk dukungan kepada pelestari karya budaya tersebut. Upaya pelindungan
dilakukan dengan adanya media publikasi mengenai sifat nilai dan ajaran Bedhaya
Genjong kepada dunia luar dengan media sosial Karaton Ngayogyakarta. Upaya ini
dapat dipantau dengan baik melalui media sosial

4. Pengembangan/Revitalisasi, upaya pengembangan dilakukan dengan dilakukannya


upaya rekonstruksi tari, pengembangan ragam tari, tata rias, busana dan seterusnya.
Upaya pengembangan ini dilakukan untuk melakukan adaptasi, mediasi, dan ruang
dialog karya budaya dalam merespon perkembangan zaman dan perkembangan yang
muncul seiring adanya penambahan nilai dan fungsi yang ingin dilekatkan pada karya
budaya yang bersangkutan. Revitalisasi dilakukan dengan media uyon-uyon hadiluhung,
program rutin yang diselenggarakan Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat ini menjadi
media eksplorasi maupun pembelajarann bagi penaripenari untuk difasilitasi dalam
sebuah pertunjukkan pementasan. Uyon-uyon hadiluhung juga bekerja sebagai media
untuk kaderisasi dan komunikasi anatara pemucal dan penari.

5. Promosi dan Publikasi, upaya publikasi dan promosi dibutuhkan untuk setiap karya
budaya, apalagi untuk karya budaya yang dikatakan tidak berkembang dan hampir
punah, selain upaya regenerasi, promosi dan upaya publikasi juga diperlukan untuk
mendukung hadirnya semangat daya tarik yang lebih besar terhadap karya budaya ini.
Promosi dan publikasi dilakukan secara teratur oleh Karaton Ngayogyakarta
Hadiningrat melalui akun medos Karaton Ngayogyakarta baik dalam website, youtube
maupun Instagram.

Rencana Aksi

1. Rencana Aksi oleh Keraton Yogyakarta dalam hal ini menjadi sektor sentral yang akan
melakukan aksi-aksi pemeliharaan dan pengembangan taraf pertama, Keraton
Yogyakarta untuk dapat melakukan pembinaan, pelatihan, dan fasilitasi kegiatan yang
bersifat temporal. Keraton Yogyakarta juga berperan untuk melakukan pendampingan,
evaluasi dan monitoring bersama pelaku budaya karya budaya untuk terus melakukan
pemeliharaan dan pengembangan tari Bedhaya Genjong

2. Langkah dukungan oleh Pemerintah Daerah, Pemerintah Daerah-Daerah Istimewa


Yogyakarta dalam hal ini telah dan akan terus melakukan upaya-upaya pemeliharaan
dan pengembangan warisan budaya takbenda Daerah Istimewa Yogyakarta, di antara
hal-hal langkah yang dilakukan adalah :

a. Adanya Peraturan Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 37 Tahun 2021


tentang Perubahan Atas Peraturan Gubernur DIY nomor 100 Tahun 2020 tentang
Pedoman Pelaksanaan Bantuan Keuangan Khusus Dana Keistimewaan kepada
Pemerintahan Kalurahan, dalam Pergub ini juga memuat adanya BKK Khusus
percepatan WBTb di Daerah Istimewa Yogyakarta

b. Adanya pemutakhiran data, pemantauan dan evaluasi melalui pendamping Desa


Budaya, ada sekitar 76 desa budaya yang sudah ditetapkan melalui peraturan
Gubernur DIY Nomor 351/KEP/2021 tanggal 3 November 2021 . Sedangkan untuk
WBTb yang berada di luar desa budaya diupayakan melalui Pemerintah
Kabupaten/Kota setempat

c. Pada tahun 2021, Pemerintah Daerah-Daerah Istimewa Yogyakarta melalui Dinas


Kebudayaan (Kundha Kabudayan) Daerah Iatimewa Yogyakarta juga telah
dilakukan adanya peresmian Website WBTb DIY dengan nama Sistem Informasi
WBTb (SI WBTb diy) , website ini ditujukan sebagai satu database WBTb Daerah
Istimewa Yogyakarta yang telah ditetapkan sebagai Warisan Budaya Takbenda
Indonesia baik yang sudah maupun akan diusulkan pada tahun-tahun berikutnya
d. Perayaan WBTb, Program tahunan untuk memberikan aksi tindaklanjut jangka
pendek paska ditetapkan sebagai WBTb Indonesia pada H+1 tahun penetapan,
Kegiatan perayaan berisikan workshop, platihan, pameran, seminar, dan penyerahan
sertifikat Gubernur DIY kepada Bupati Walikota se-DIY

e. Program Fasilitasi Seni Pertunjukan berkala yang diprioritaskan bagi karya budaya
yang sudah ditetapkan sebagai WBTb Indonesia melalui program fasilitasi langsung
oleh masyarakat

f. Penyusunan Rencana Aksi Tindak Lanjut, penyusunan rencana aksi dengan Dewan
Kebudayaan Daerah Istimewa Yogyakarta, masih dalam proses pembahasan

3. Usulan rancangan rencana aksi oleh Pemerintah Pusat

Usulan untuk rencana aksi yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat diantaranya :
a. Melakukan kajian dan penyusunan rentra nasional jangka pendek, menegah dan
panjang terkait rumusan pola-pola aksi tindak lanjut paska Penetapan WBTb DIY,
sedang ragam dan implementasinya bias disesuaikan oleh Pemerintah Daerah
masing-masing, rumusan juga memuat terkait sistem kerjasama pusat-daerah dalam
kerja pelestarian WBTb, ranah pelaksanaan monitoring dan evaluasi bersama pusat
dan daerah;

b. Memperbanyak publikasi WBTb Daerah yang sudah ditetapkan sebagai WBTb


Indonesia secara temporal dan berkelanjutan;

c. Pelibatan kegiatan pusat yang berbasis pada subjek budaya WBTb Daerah yang
telah ditetapkan sebagai WBTb Indonesia (bukan saja pada Perayaan WBTb
Indonesia) sebagai dukungan dan akomodasi adanya publikasi nasional untuk
daerah;

d. Melakukan workshop-pelatihan yang bagi para fasilitator dan koordinator WBTb


daerah dalam melakukan penjaringan, pengkajian, pengusulan, dan fasilitasi kepada
subjek WBTb;

e. Melakukan koordinasi berkala untuk adanya perlindungan hokum bersama


Kemenkumham;

8. Nama komunitas/ organisasi/ asosiasi/ badan/ paguyuban/ kelompok sosial/ atau


perorangan yang bersangkutan

Nama : Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat


Alamat : Jl. Rotowijayan Blok No. 1, Panembahan, Kecamatan Kraton,
Kota Yogyakarta, Daerah Istimewa Yogyakarta
Kode Pos : 55131
No Telp/Fax/Mobile : (0274) 373721
Alamat email : -

9. Guru budaya/maestro (diisi nama orang-orang yang memiliki pengetahuan dan


keterampilan tentang karya budaya tersebut beserta usia yang bersangkutan)
Nama : Theresia Suharti
Alamat : Jl. Rotowijayan Blok No. 1, Panembahan, Kecamatan Kraton,
Kota Yogyakarta, Daerah Istimewa Yogyakarta
Kode Pos : -
No Telp/Fax/Mobile : -
Alamat email : -
Usia : 75 tahun

Nama : KPH. Notonegoro


Alamat : Jl. Rotowijayan Blok No. 1, Panembahan, Kecamatan Kraton,
Kota Yogyakarta, Daerah Istimewa Yogyakarta
Kode Pos : 55131
No Telp/Fax/Mobile : (0274) 373721
Alamat email : -
Usia : 50
10. Foto terbaru karya budaya dengan penjelasan ( 5 lembar)

Pola lantai yang khas tampak saat para penari Busana penari Bedhaya Bontit utamanya
membuat pola lantai tiga-tiga dan bergeser ke terdiri dari kampuh dengan rias paes ageng.
kanan secara bersamaan dengan gerak kengser, Namun, pada pementasan Uyon-Uyon
kemudian kembali lagi ke posisi awal secara Hadiluhung 11 Juli 2022, para penari
bersamaan pula. Hal ini sangat jarang ditemui Bedhaya Bontit mengenakan busana
dalam bedhaya lainnya, hanya Bedhaya Sinom gladhen yang sedikit berbeda dari biasanya,
yang menggunakannya. yakni sanggul tekuk dipadukan dengan
kampuh latar hitam, nyamping dringin
berwarna merah (diwiru), keris, sondher
gendhala giri merah, ditambah aksesori
subang dan cincin.

Busana penari Bedhaya Bontit utamanya terdiri adegan pertarungan, penari endhel
dari kampuh dengan rias paes ageng. Namun, memerankan tokoh Raden Suryatmaja dan
pada pementasan Uyon-Uyon Hadiluhung 11 penari batak yang memerankan tokoh
Juli 2022, para penari Bedhaya Bontit Raden Permadi berputar mengelilingi penari
mengenakan busana gladhen yang sedikit yang jengkeng. Gerakan tersebut dilakukan
berbeda dari biasanya, yakni sanggul tekuk beberapa kali. Dalam adegan tersebut penari
dipadukan dengan kampuh latar hitam, apit ngajeng menari dengan posisi jengkeng
nyamping dringin berwarna merah (diwiru), namun badannya membelakangi penonton.
keris, sondher gendhala giri merah, ditambah Hal ini juga tidak ditemui dalam bedhaya
aksesori subang dan cincin. lainnya.

Penari secara iring – iringan berjalan menuju


pendapa

11. Film dokumenter mengenai karya budaya (sertakan judul dari film dan dilampirkan
bersama formulir)

- Kraton Jogja. “Bedhaya Bontit Uyon-uyon Hadiluhung 11 Besar 1955 Alip / 11 Juli 2022”.
https://www.youtube.com/watch?v=sd7p1acUli8
12. Kajian akademis oleh lembaga penelitian yang terkait (sertakan judul dari kajian
akademis dan dilampirkan bersama formulir)

Cahyani, Dewi. 1997. Makna Simbolik Gerak Tari Bedhaya Bontit. Yogyakarta. Institut Seni
Indonesia Yogyakarta

13. Referensi (ditulis sumber secara lengkap nama penulis, tahun, judul buku, tempat terbit,
penerbit, naskah kuno, prasasti, sumber lisan/nama pelaku (saksi sejarah) yang masih
hidup, usia, dan lainnya

Ahimsa-Putra, Heddy Shri, 1998, "Scbagai Teks Dalam Konteks: Seni Dalam Kajian
Antropologi Budaya'", dalam Seni: Jurnal Pengetahuan dan Penciptaan Seni, Edisi
VI/01, Yogyakarta: BP ISI Yogyakarta

2001, Strukturalisne Levi-Strauss: Mitos dan Karya Sartra, Yogyakarta: Galang Press

Alfian, Teuku Ibrahim, 2003, Paradigma Dalam Merekonstruksi Suatu Fenomena Sejarah",
disajikan dalam seminar di Yogyakarta, 6 Juni 2003

Artha, Arwan Tuti, Heddy Shri Ahimsa-Putra, 2004, Jejak Masa Lalu: Sejuta Warisan Budaya,
Yogyakarta: Kunci Ilmu

Brakel-Papenhuyzen, Clara, 1992, The Bedhaya Court Dance of Central Java, Leiden, New
York, Kohn: E.J. Brill

Brongtodiningrat, K.P.H., 1979, "Lelangen-Dalem Bedhaya sarta Srimpi", Yogyakarta:


Akademi Seni Tari Indonesia Yogyakarta

dll
14. Persetujuan dari provinsi terkait sebagai pengusul

Yogyakarta, 28 Februari 2023

15. Nama petugas penerima formulir (diisi oleh Kementerian)


Nama :-

16. Tempat dan tanggal penerimaan formulir karya budaya (diisi oleh Kementerian)

Tempat : - Tanggal : -

Anda mungkin juga menyukai