2. Nama karya budaya (isi a. Nama karya budaya (isi nama yang paling umum dipakai)
Bedhaya Bontit
2. c. Nama lain karya budaya (varian atau alias nama karya budaya)
Tradisi dan ekspresi lisan, termasuk bahasa sebagai wahana warisan budaya
(01) takbenda, termasuk cerita rakyat, naskah kuno, permainan tradisional
Seni pertunjukan, termasuk seni visual, seni teater, seni suara, seni tari, seni
√ (02)
musik, film
Adat istiadat masyarakat, ritus, dan perayaan-perayaan, sistem ekonomi
(03)
tradisional, sistem organisasi sosial, upacara tradisional
Pengetahuan dan kebiasaan perilaku mengenai alam dan semesta, termasuk
(04) pengetahuan tradisional, kearifan lokal, pengobatan tradisional
6. Identifikasi dan definisi mengenai karya budaya (termasuk aspek kesejarahan, aspek sosial,
dan fungsinya dalam masyarakat), maksimal 1000 kata.
Untuk nama tarian dalam tari bedhaya gaya Yogyakarta pada umumnya, diambil dari nama
gendhing pengiring tarinya. Sedangkan nama peran dalam tari bedhaya gaya Yogyakarta pada
dasarnya sama antara bedhaya satu dengan bedhaya yang lain. Nama-nama peran tersebut,
yaitu : 1) Endhel Pajeg, 2) Batak, 3) Jangga, 4) Dhadha, 5) Buntil, 6) Apit Ngajeng, 7) Apit
Wingking, 8) Endhel Wedhalan Ngajeng, 9) Endhel Wedhalan Wingking. Untuk tata rakitnya
terdiri dari, 1) Rakit Lajur, 2) Rakit Ajeng-ajengan, 3) Rakit Lajuran, 4) Rakit Tiga-tiga, 5) Rakit
Gelar.
Pada umumnya, tari bedhaya gaya Yogyakarta mempunyai tema, yang didalamnya
menggambarkan suatu cerita atau isi dari bedhaya tersebut. Menurut Soedarsono (1992:106),
tema yang tertuang didalam tari bedhaya sangat simbolis, disertai gerakan-gerakan halus dan
lemah gemulai.
Gerak tari merupakan materi baku dari tari atau bahan dasar untuk membentuk
sebuah komposisi tari. Gerak-gerak tersebut dirangkai dari beberapa motif gerak atau
sering disebut dengan ragam gerak, sehingga menjadi sebuah sajian komposisi tari
yang indah.
Motif gerak yang dipergunakan dalam tari Bedhaya Bontit ada beberapa macam.
Motif-motif gerak tersebut terdiri dari motif gerak yberdiri sendiri atau sebagai pokok
gerak, yang biasa disebut ragam tari, dan motif gerak yang tidak dipakai sebagai
pokok gerak disebut sendhi atau penghubung yang merupakan penghubunga natara
ragam gerak yang satu ke motif gerak berikutnya. Ragam tari yang dipergunakan
dalam tari bedhaya ini adalah gerak tari putri yang ragam baku atau pokoknya adalah
ragam gerak Ngenceng, kemudian dikembangkan dan bervariasi.
Adapun ragam tari yang tersusun dalam tari Bedhaya Bontit meliputi: Kapang-
kapang, Lampah Pocong, Sembahan, Ndumuk Cara Semang, Nglayang, Ngenceng
Encot, Ngenceng, Atrap Cundhuk, Atrap Sumping, Lembehan, Mlampah Imbal,
Impang Ngewer Udhet, Pucang Kanginan, Ngundhuh Sekar, Kicat Gajah Ngoling,
Ukel Asta, Nyathok Udhet Maju Mundur, Samberan , Kicat Cangkol Udhet,
Ngenceng Tawing, Ngenceng Jengkeng, Bangomate, Kengser Tawing, Kipat Asta,
Lembehan Sirig Mundur, Perangan (Oyog-oyogan, Sudukan, Jeblosan), Lampah
Semang, Gidrah dam Gudhawa Asta Minggah.
Sedangkan sendhi atau gerak penghubung yang digunakan dalam Bedhaya Bontit
antara lain: Sendhi Maju Kanan, Panggel, Ngancap, Kengser, Pendhapan, Ongkek
dan Kipat Gedruk
b. Iringan Tari
Pada umumnya nama tari bedhaya mengikuti atau menggunakan nama gendhing
iringan pokoknya. Misalnya Bedhaya Bontit diiringi dengan gendhing Bontit. Iringan
yang digunakan dalam tari Bedhaya Bontit ini menggunakan instrument gendhing
Jawa, yaitu Gendhing Bontit Kendangan Semang. Adapun pola iringan yang
dipergunakan dalam Bedhaya Bontit seperti berikut:
c. Tata Rias dan Busana
Tata rias dan busana yang digunakan dalam tari bedhaya sama antara penari satu
dengan penari yang lainnya. Hal ini dimaksudkan agar tidak menimbulkan
kecemburuan dan menyombongkan diri.
Pada umumnya tata rias yang dipakai dalam tari bedhaya riasnya dinamakan ria
jahitan. Rias jahitan sebenrnya merupakan salah satu model rias mata yang berbentuk
seperti mata burung elang. Karena spesifikasi tata rias ini, maka tata rias wajah secara
keseluruhan dinamakan jahitan.
Tata busana yang digunakan dalam tari ini terdiri dari baju bludiran tanpa lengan,
kain motif parang rusak, sampur cindhe dan dilengkapi dengan perhiasan seperti
jamang, bulu-bulu, sinyong, sumping ron, godhegan, ceplok jebehan, jungkat,
cundhuk menthol, pelik, subang, klat bahu, kalung sungsun, slepe, gelang dan keris.
Tata busana dan corak rias muka tari bedhaya sebelum mas a pemerintahan Sri Sultan
Hamengku Buwono VIII berbeda dengan corak rias yang digunakan untuk tari
bedhaya pada masa sekarang. Corak riasnya menggunakan corak rias pengantin putri
Keraton Yogyakarta yang dilengkapi dengan gelung bokor, jungkat, cundhuk
menthul, ceplok jebehan, centhung, ron dan subang. Kemudian tata busananya terdiri
dari mekak, kain dengan motif parang rusak dipakai dengan model seredan di kiri dan
dilengkapi dengan sampur cindhe, slepe, keris, kalung sungsun, dengan klat bahu
serta gelang.
Pada masa pemerintahan Sri Sultan Hamengku Buwono VIII sampai sekarang corak
rias dan tata busananya sudah mengalami perubahan, yaitu tata riasnya menggunakan
rias jahitan, memakai jamang, dengan busana memakai baju bludiran tanpa lengan,
kain dengan motif parang rusak dipakai dengan model sredan kiri, dilengkapi dengan
sampur cindhe, slepe, keris,klat bahu, kaung sungsun, gelang, sumping, sinyong,
pelik, ceplok jebehan, jungkat, cundhuk menthul, godhegan, bulu-bulu dan juga keris
d. Tema
Menurut Soedarsono (1972:25), tari-tarian di Indonesia jika ditinjau dari segi isi atau
temanya dapat dibagi menjadi empat, yaitu tari pantomim, tari erotic, tari heroic dan
dramatari. Berdasarkan penuturan tersebut, Bedhaya Bontit termasuk dalam kategori
tari erotic. Hal ini disebabkan karena tarian berisi tentang kisah percintaan antara
Suryatmaja dan Dewi Surtikanthi. Sehingga tari Bedhaya Bontit tersebut sering
disebut dengan tari Bedhaya Suryatmaja Krama. (B.R.Ay. Yudanegara: 1997)
Adapun isi cerita dari tari Bedhaya Bontit sebagai berikut: Prabu Salya seorang raja
dari Negara Mandaraka mempunyai putri bernama Dewi Surtikanthi, ia dipinang oleh
Prabu Duryudana seorang raja dari Negara Astina. Dewi Surtikanthi sanggup kawin
dengan Prabu Duryudana asalkan kelak pada upacara temu pengantin, ia dirias atau
dipaesi oleh Raden Permadi (penengah Pandawa). Permintaan Dewi Surtikanthi
disanggupi oleh Prabu Duryudana. Pada waktu Raden Permadi hendak meias Dewi
Surtikanthi ia melihat bahwa ada pencuri hati Dewi Surtikanthi yang bersembunyi di
dalam subang, cincin dan semekan Dewi Surtikanthi. Raden Permadi selalu mengejar
Suryatmaja dimanapun Suryatmaja bersembunyi, sehingga terjadi perang antara
Raden Permadi melawan Raden Suryatmaja dan dimenangkan oleh Raden Permadi.
Dewi Surtikanthi dan Raden Suryatmaja kemudian meminta pertolongan Raden
Peermadi untuk memohonkan kepada Prabu Salya agar keduanya dapat dikawinkan.
Atas bantuan dari Raden Permadi, maka Dewi Surtikanthi dapat menikah dengan
Raden Suryatmaja.
Dalam cerita ini yang ditonjolkan adalah pada waktu peperangan antara Raden
Permadi dan Raden Suryatmaja, yang dalam tari Bedhaya Bontit ini digambarkan
peperangan antara Endhel Pajeg dan Batak. Untuk tokoh Permadi diperankan oleh
Batak dan tokoh Suryatmaja ditarikan oleh Endhel Pajeg.
e. Tempat Pertunjukkan
Pola lantai merupakan istilah dari sebuah tarian yang memiliki arti garis-garis di
lantai yang dilalui oleh seorang penari atau garis-garis dilantai yang dibuat oleh
formasi penari kelompok. Dalam tari bedhaya pola lantai disebut dengan rakit. Proses
tata urutan pola lantai atau rakit dalam Bedhaya Bontit adalah sebagai berikut
Kaum ningrat Jawa merupakan komunitas yang dilingkungannya sarat dengan
symbol-simbol kehidupan. Seluruh symbol yang ada bisa dihayati melalui hamper
semua bentuk aktifitas di lingkungan hidupnya. Didalam aktifitas seni pertunjukkan
didalam norma dan etika, dan sebagainya mengandung nilai-nilai simbolik yang
tinggi. Berkaitan dengan symbol ini, seni pertunjukkan mengandung symbol-simbol
yang paling lengkap. Sebagai contohnya adalah pada dunia tari, symbol-simbol
hamper memenuhi pada seluruh aspek koreografinya. Misalnya pada aspek gerak,
setiap gerakan yang dibawakan oleh penari merupakan penghalusan gerak yang
mempunyai arti simbolis dari suatu maksud tarian itu sendiri.
Tari bedhaya dalam hal ini adalah tari Bedhaya Bontit yang lahir didalam keraton
memiliki nilai simbolis yang tinggi. Kostum yang dipergunakan serta tata riasnya
yang serba sama melambangkan bahwa manusia mempunyai derajat yang sama, tidak
boleh iri ataupun saling berebut kekuasaan. Selain itu tari bedhaya mengandung nilai
dua, tiga, dan Sembilan (Pudjasworo: 1984: 28).
Makna nilai dua terdapat dalam kemanunggalan antara Endhel Pajeg dan Batak.
Bentuk kemanunggalan antara Endhel Pajeg dan Batak akan tampak dalam rakit
Gelar. Dalam rakit gelar ini Endhel Pajeg dan Batak memegang peranan yang paling
baku, sedangkan tujuh penari lainnya menjadi bersifat figurative. dalam rakit Gelar
tersebut Endhel Pajeg berupaya menakhlukkan Batak yang melambangkankonflik
batin, perebutan kekuasaan rasa (daredahing karsa), yaitu berebut menang antara dua
hal, seperti baik buruk, benar salah, tinggi rendah, dan lain sebagainya. Namun dalam
peperangan tersebut diantara keduanya tidak ada yang kalah dan yang menang.
Endhel Pajeg dan Batak tampak bersatu menjadi Loro-loroning atunggal. Loro-
loroning atunggal merupakan suatu kesatuan tunggal antara dua keadaan (sifat) yang
kontradiktif.
Makna nilai tiga dapat dilihat pada bentuk formasi (rakit) Tiga-tiga. Bentuk formasi
ini muncul pertama kali adalah menjelang berlangsungnya rakit Gelar. Pada tari
Bedhaya gaya Yogyakarta rakit Tiga-tiga merupakan bagian yang mengakhiri pada
bagian gendhing dan ladrangan.
Rakit Tiga-tiga dalam tari bedhaya merupakan lambing dari proses kehidupan
manusia yang senantiasa terikat oleh tiga dimensi waktu, yaitu lahir, hidup dan mati.
Ketiganya adalah telu-teluning atunggal dalam menuju kesempurnaan, yaitu
“manunggaling Kawula Gusti”. Selain itu rakit Tiga-tiga menunjukkan suatu
hubungan dengan kesatuan anasir kehidupan menurut religio mistik kejawen, yaitu
sari maruta, Sari tirta kamandanu dan Sari bagaswara. Sedangkan dalam agama Islam
disebt Betal makmur (tempat otak), Betal Mukaram (tempat hati), dan Betal Mukadas
(tempat pesucian). Dari semua itu, maka semakin jelas kedudukan rakit Tiga-tiga
dalam tari bedhaya dalam hubungannya dengan symbol telu-teluning atunggal atau
Tri Murti.
Makna nilai Sembilan dalam tari bedhaya digambarkan melalui jumlah penari
Sembilan orang. jumlah Sembilan tersebut merupakan lambing dari Sembilan lubang
yang ada di dalam badan jasmani manusia, yaitu mata dua buah, mulut satu buah,
telinga dua buah, lubang hidung dua buah, dubur satu buah dan lubang kelamin satu
buah. Bentuk rakit Lajurnya merupakan gambaran bentuk jasmani manusia. Seperti
yang dikatakan oleh Pudjasworo (1985: 33), bahwa:
Dalam hal ini bagian kepala dilambangkan dengan Endhel Pajeg, Batak, Jangga.
Bagian badan (gembung) dilambangkan oleh peran Dhadha dan Buntil, sedangkan
Apit Ngajeng dan Apit Wingking melambangkan tangan kanan dan kiri. Sementara
Endhel Wedhalan Ngajeng dan Endhel Wedhalan Wingking adalah merupakan
symbol dari kaki kanan dan kaki kiri.
Endhel Pajeg sebagai lambing kepala didalamnya terdapat panca indra, yaitu indra
penglihatan, pendengar, pencium, peraba dan perasa. Batak sebagai lmabang jiwa
manusia, sehingga Jangga, Dhadha dan Buntil hanya mengikuti jalannya Batak.
Sedangkan maksud dari nama masing-masing adalah Endhel Pajeg melambangkan
akal budi, Batak melambangkan jiwa manusai. Jangga sebagai jalnnya makanan yang
dibutuhkan oleh badan, Dhadha sebagai pusat untuk menggerakkan badan, Bunthil
melambangkan alat kelamin dan alat pembuangan. Sedangkan Apit Ngajeng dan Apit
Wingking melambangkan kedua tangan manusia, dan Endhel Wedhalan Ngajeng
serta Endhel Wedhalan Wingking sebagai symbol kedua kaki manusia.
Apabila dikaji secara keseluruhan dalam proses tarinya, maka akan menunjukkan
gambaran dari proses kehidupan manusia dari purwa, madya dan wasana. Perubahan
pola lantainya dari Kapang-kapang Maju sampai dengan rakit Gelar menyimbolkan
kehidupan manusia, sedangkan Kapang-kapang Mundur menyimbolkan manusia mati
atau kembali ke asalnya (mulih mulanira dumadi).
Dalam setiap gerakan Bedhaya Bontit memilik makna yang terkandung didalamnya,
yaitu
1. Kapang-kapang
2. Lampah Pocong
3. Sembahan
Sembahan merupakan salah satu aspek gerak dalam tari klasik Yogyakarta yang
selalu dilakukan pada awal dan akhir dari sebuah tarian. Sembahan yang lengkap
dalam tari klasik gaya Yogyakarta dilakukan dua kali, yaitu Sembahan Sila dan
Sembahan Jengkeng.
Sembahan berasal dari kata sembah dan ditambah akhiran –an. Menurut kamus
Besar Bahasa Indonesia, kata sembahan merupakan pernyatan hormat secara
khidmat yang dinyatakan dengan cara menangkupkan kedua belah tangan.
Sembahan dalam tari klasik gaya Yogyakarta bertujuan untuk menghormati raja.
Apabila Sembahan dilakukan oleh seorang penari yang menari di luar Keraton,
maka Sembahan tersebut adalah untuk menghormati orang yang lebih tua dan
pencipta tari yang dibawakan. Dengan demikian Sembahan merupakan symbol
pernyataan hormat dan ungkapan tanda terima kasih. Sedangkan makna yang
terdapat dalam gerak Sembahan adalah di dalam mengerjakan sesuatu atau
melaksanakan tugas senantiasa harus diawali dengan memohon atau berdoa
kepada Tuhan agar segala sesuatunya dapat berjalan lancer dan setelah selesai
juga haus diakhiri dengan doa untuk mengucapkan syukur dan terima kasih.
Disamping makna tersebut, Sembahan merupakan pernyataan Takqwa kepada
Tuhan, karena sembah merupakan penyatuan lahir dan batin untuk memuja Tuhan
Yang Maha Esa.
4. Ndumuk Cara Semang
Ragam gerak Ndumuk Cra aSemang merupakan ragam yang jarang sekali
digunakan dalam tari bedhaya. Ragam ini merupakan salah satu ciri khusus dari
tari Bedhaya Bontit. Raga mini menyimbolkan bahwa manusia itu berasal dari
tanah dan akan kembali ke tanah. Maknanya adalah bahwa manusia harus selalu
ingat kepada penciptanya yaitu Tuhan
5. Nglayang
6. Ngenceng Encot
Cundhuk dan Sumping merupakan hiasan yang digunakan pada kepala dan
telinga. Kepala merupakan tempat panca indera, termasuk telinga yang
dipergunakan untuk mendengarkan. Dalam tari bedhaya ini gerak Atrap Cundhuk
dan Atrap Sumping mempunyai makna menggunakan pendengaran untuk
mendengarkan nasehat dari orang lain, sehingga dapat membenahi diri dan
mengontrol diri dari hal-hal yang tidak baik. Dalam hal ini Suryatmaja harus
dapat mengontrol diri atau introspeksi diri dengan tindakan yang telah dilakukan.
8. Lembehan
Kata Lembehan dalam Bausastra Jawa berarti bergeraknya tangan maju dan
mundur pada saat berjalan. Berdasarkan arti kata tersebut, Lembehan mempunyai
makna dalam usaha mencapai suatu cita-cita harus disertai dengan tekad dan
semnagt yang mendapat memotivasi pencapaian cita-cita tersebut.
9. Mlampah Imbal
Mkana yang terkandung dalam ragam Impang Ngewer Udhet ini adalah bahwa
dalam kehidupannya manusia harus dapat mandiri dan tidak bergantung kepada
orang lain, serta harus percaya pada diri sendiri dan kemampuan yang dimilikinya
Kata pucang diambil dari nama pohon pucang, yaitu pohon yang besar dan kuat
apabila kena angina tidak roboh. Ragam gerak Pucang Kanginan ini
menyimbolkan kekuatan, kekokohan dan keteguhan.
Manusia dalam kehidupannya juga harus seperti pohon pucang, yaitu mempunyai
pendirian yang kuat, tidak ragu-ragu dalam melangkah atau mengerjakan sesuatu
agar tidak terpengaruh oleh segala sesuatu yang dapat merusak cita-citanya.
Melalui gerak Pucang Kanginan digambarkan bahwa dalam tari Bedhaya Bontit,
Dewi Surtikanthi sudah menjadi hak Duryudana, maka Raden Permadi yang
sedang merias Dewi Surtikanthi dengan berperang melawan Raden Suryatmaja.
Akan tetapi Raden Suryatmaja tetap berpegang pada pendiriannya yaitu ingin
memperistri Dewi Surtikanthi.
Makna yang dapat diambil dari visualisasi melalui gerak Pucang Kanginan yaitu
berpendirian kuat dan mempunyai rasa kesetiaan.
12. Ngundhuh Sekar
Ragam gerak Ukel Asta dalam tari ini mengandung maksud bahwa manusia yang
mempunyai berbagai keinginan atau mendapat suatu godaan, sehingga tujuan
utamanya dalam usaha mencapai cita-cita menjadi ragu-ragu. Sikap ragu-ragu
tersebut disimbolkan dengan gerakan encot-encot. Mkana dari gerak Ukel Asta
hubungannya dengan isi cerita dalam tari yaitu, Dewi Surtikanthi yang sudah
mencintai Raden Suryatmaja menjadi ragu-ragu karena dirinya akan dianggap
melawan orang tuanya, yaitu Prabu Salya yang telah menjodohkan Dewi
Surtikanthi dengan Duryudana.
Jaid makna yang dapat diambil dari gerak Ukel Asta ialah harus dapat
mengendalikan diri dan dapat menpis godaan yang akan menghalangi cita-
citanya.
15. Nyathok Udhet Maju Mundur
Makna dari gerak Nyatok Udhet Maju Mundur ialah manusia dalam keragu-
raguannya membutuhkan saran dari orang lain. Dari berbagai nasehat yang
diterimanya, harus dapat mempertimbangkan atau memikirkan yang baik dan
yang tidak baik dalam mengerjakan tugas.
16. Samberan
Dalam ragam gerak Samberan ini semua penari membentuk formasi atau rakit
Tiga-tiga. Makna yang tersirat dari ragam gerak Samberan yaitu apabila
menerima berbagai saran atau nasehat, harus dapat menyimpulkan atau
mengambil suatu keputusan yang tepat.
Seperti ragam Ngenceng Encot, ragam Ngenceng Tawing merupakan variasi dari
ragam ngenceng ssebagai gerak tari puteri gaya Yogyakarta. Ragam Ngenceng
menyimbolkan kekuatan. Sedangkan kata Tawing berarti telinga merupakan salah
satu alat indera manusia yang berguna untuk mendengarkan.
Raden Permadi mendapat perintah dari Prabu Salya untuk menangkap pencuri
yang masuk ke Pura Mandaraka. Dengan kebulatan tekad dan kesungguhan hati
Raden Permadi melaksankan tugas yang dibebankan kepadanya.
Makna yang dapat diambil dari ragam gerak Ngenceng Tawing yaitu apabila
seseorang mendapat perintah atau tugas harus dilaksanakan dengan eksungguhan
hati dan tidak akan goyah wakalupun menghadapi berbagai rintangan.
Gerak jengkeng merupakan gerakan seperti jongkok dengan bertumpu pada kedua
kaki. Gerak Jengkeng tersebut menyimbolkan pernyataan hormat,
merendah/rendah hati dan tidak sombong. Dengan demikian ragam Ngenceng
Jengkeng mengandung arti bahwa dalam kehidupannya manusia harus
mempunyai dasar dan kepribadian yang kuat, sehingga akan terbentuk sosok
pribadi yang tenang, tidak sombong dan mempunyai tata karma.
20. Bangomate
Kata kengser diambil dari kata wedi kengser yang menggambarkan pasir
mendesir karena tiupan angina. Sedangkan tawing berarti telinga yang berfungsi
untuk mendengar.
Berkaitan dengan cerita dalam tari bedhaya Bontit ragam Kengser Tawing
menggambrakan Suryatmaja yang adalah “pencuri” mengetahui kalau ada
seseorang yang telah mengetahui perbuatannya, yaitu Raden Permadi sehingga
Suryatmaja harus bersikap waspada.
Makna yang tersirat dalam ragam Kengser Tawing yaitu dalam
kehidupanseseorang senantiasa harus mempunyai pikiran yang jernih, tenang dan
selalu waspada terhadap segala sesuatu.
Kata Kipat Asta dalam Bausastra Jawa berarti dibuang dengan cara yang keras
(dibuwang sarana dibabitke/ diantingake). Sedang asta adalah tangan. Ragam
Kipas Asta apabila dihubungkan dengan cerita dalam tari Bedhaya Bontit
menggambarkan Suryatmaja yang berusaha menghindar dari maslaah yang sdang
dihadapinya, dengan maksud agar tidak terjadi keributan.
Ragam Kipat Asta mempunyai arti atau makna bahwa dalam kehidupan manusia
harus dapat menghindari hal-hal yang tidak baik.
23. Lembehan Sirig Mundur
Kata Lembehan berarti berjalan dengan kedua tangan bergerak maju dan mundur,
sirig berarti berjalan agak berjingkat-jingkat dalam tempo yang cepat, sedangkan
mundur adalah berjalan kearah belakang. Dari arti kata-kata tersebut dalam tari
Bedhaya Bontit, Suryatmaja berusaha untuk menyingkirkan hal-hal yang tidak
baik, disamping itu juga harus dapat mengendalikan diri agar tidak tergesa-gesa
dalam melangkah.
24. Perangan
Gerak perangan dalam tari Bedhaya Bontit ini dilakukan setelah melakukan gerak
Kicat Cangkol Udhet. Gerak Kicat Cangkol Udhet telah dikemukakan bahwa
memiliki makna apabila mempunyai pendapat atau menyampaikan pendapat tidak
boleh emosi dan tergesa-gesa dalam bertindak, harus selalu berhati-hati, harus
dipikirkan dan dipertimbangkan terlebih dahulu, sehingga dapat mengendalikan
diri serta dapat menyimpulkan sesuatu yang tepat. Tetapi apabila perselisihan
pendapat sudah tidak dapat dikendalikan, maka selah satu cara terakhir untuk
mengatasinya adalah dengan cara fisik. Demikian pula dalam tari Bedhaya Bontit,
cara terakhir untuk mengatasi perselisihan pendapat antara Raden Suryatmaja dan
Raden Permadi adalah dengan berperang. Perangan dalam tari bedhaya ini
mempergunakan senjata keris. Bentuk perang yang dipergunakan, yaitu Oyog-
oyogan, Jeblosan dan Sundukan.
Makna gerak yang ada dalam perangan ini dapat dilihat dari cerita yang
melatarbelakanginya. Oyog-oyogan mempunyai makna masing-masing
mempunyai pendapat yang berlainan. Kemudian Jeblosan mempunyai makna
silang pendapat, masing-masing mempunyai pendapat yang berlainan dan saling
melontarkan atau mengemukakan pendapat tersebut. Suryatmaja merasa dirinya
benar karena diantara Suryatmaja dan Dewi Surtikanthi saling mencintai,
sedangkan Raden Permadi juga berpendapat bahwa dirinya benar karena
melaksankan perintah dari Prabu Salya agar menagkap Suryatmaja seorang
“pencuri” yang tidak melalui jalan yang benar. Sudukan mempunyai makna
bahwa di antara Raden Permadi dan Raden Suryatmaja sudah tidak mau
menerima alasan dari masing-masing pihak, sehingga emosinya tidak dapat
dikendalikan, kemudian nasehat ataupun teguran yang disampaikan dianggap
mencela dan menentang serta berakhir dengan kemarahan.
Dengan demikian arti kata Bontit yaitu rambut yang keriting menggambarkan
Raden Suryatmaja yang berusaha untuk mendapatkan Dewi Surtikanthi dengan
jalan yang berliku-liku, yaitu dengan “mencuri” Dewi Surtikanthi bahkan sampai
terjadi peperangan yaitu begitu seru antara Raden Suryatmaja dengan Raden
Permadi. Apabila dihubungkan dengan kehidupan manusia menyimbolkan
pencapaian suatu cita-cita yang harus menghadapi berbagai rintangan atau
cobaan, namun pada akhirnya akan menemukan jalan yang baik.
Dalam peperangan yang ada dalam tari Bedhaya Bontit, dilakukan dengan
pengolahan pola lantai yang selalu berpindah-pindah, karena menggambarkan
kesaktian dari masing-masing prajurit. Raden Suryatmaja dapat menghilang dan
bersembunyi di dalam subang, cincin dan kemben Dewi Surtikanthi. Akan tetapi
Raden Permadi tidak kalah sakti, sehingga dimanapun Suryatmaja bersembunyi
dapat ditemukan oleh Raden Permadi.
Berdasarkan uraian tentang bentuk perangan tersebut diatas ternyata dapat
diambil makna, yaitu harus bersikap sabar dan tidak mudah terpancing oleh emosi
atau sikap gegabah, harus dapat mengendalikan diri, kesetiaan, terampil dan
mempunyai daya ingat yang tajam.
Kata Lampah berarti perjalanan, sedangkan Semang berarti tidak khawatir atau
ragu-ragu. Ragam Lampah Semang dalam tari Bedhaya Bontit, melambangkan
Raden Suryatmaja yang tidak ragu-ragu lagi dalam meraih cita-citanya yaitu
memperistri Dewi Surtikanthi sebagai istinya karena sudah menemukan jalan
yang terbaik. Raden Suryatmaja dan Raden Permadi saling adu kekuatan, tetapi
diantara keduanya tidak ada yang kalah ataupun menang. Kemudian keduanya
dipisahkan oleh Eyang Abiyasa dan mereka menyadari kalau mereka masih
saudara dan selanjutnya Raden Permadi bersedia mengantar Raden Suryatmaja
untuk menghadap Prabu Salya, meminta izin agar Dewi Surtikanthi dapat
dipersunting oleh Raden Suryatmaja. Cerita tersebut divisualisasikan melalui
gerak Lampah Semang dengan pola lantai lengkung ular yang menggambarkan
sebuah perjalanan untuk menghadap kepada Prabu Salya.
Dari gerak Lampah Semang serta cerita yang melatarbelakanginya, maka makna
yang dapat dilihat yaitu harus mempunyai sikap tegas dan tidak ada keraguan
dalam melangkah atau mengerjakan sesuatu.
26. Gidrah
Gerak dalam tari Bedhaya Bontit ini dilakukan dalam formasi atau rakit Tiga-tiga
yang kedua. Gerak ini menyimbolkan keadaan masa tua manusia. Dalam masa tua
tersebut, manusia harus introspeksi diri, emnggunakan masa tuanya dengan baik
serta harus menyerahkan hidupnya kepada Tuhan.
Makna yang dapat diambil dari gerak Gedhawa Asta Minggah ini adalah bahwa
dalam kehidupan manusia harus dapat introspeksi diri atau mengoreksi diri
sendiri, sehingga dapat bertindak dan bertingkah laku baik.
Dari berbagai makna yang terkandung didalam ragam-ragam gerak tari Bedhaya Bontit, tidak
lepas dari filsafat Joged Mataram yang diarahkan ke Ketuhanan dan ke suatu way of life. Filsafat
Joged Mataram yang diarakan ke Ketuhanan adalah sewiji yaitu orang harus selalu ingat jepada
Yang Maha Kuasa. Greget berarti seluruh aktivitas dan gairahnya harus disalurkan melalui jalan
Allah. Sengguh yaitu harus merasa bangga ditakdirkan sebagai makhluk yang terhormat. Ora
Mingkuh berarti meskipun mengalami banyak kesulitan di dalam hidup, namun harus selalu
percaya pada Yang Maha Adil. Sedangkan filsafat Joged Mataram yang diarahkan ke suatu way
of life meliputi sewiji yaitu seseorang mempunyai cita-cita maka konsentrasi harus siarahkan ke
tujuan tersbut. Greget ialah dinamik dan semangatnya harus diarahkan ke tujuan tersebut melalui
saluran-saluran yang wajar. Sengguh berarti percaya penuh pada kemampuan pribadinya,
sedangkan Ora Mingkuh berarti meskipun dalam perjalanan menuju ke tujuan akan menghadapi
halangan, tetapi tidak akan mundur setapakpun.
. Upaya Pelestarian
1. Penelitian dan Kajian, upaya untuk melakukan kajian dan pemutakhiran data secara
berkala pada karya budaya ini. Penelitian Kajian dimaksudkan sebagai bagian rekam
arsip sekaligus rekam jejak tulis yang dijelaskan secara rinci mengenai karya budaya ini
berikut dengan representasi keadaan karya budaya terkini, rekomendasi melaksanakan
aksi tindak lanjut, upaya-upaya yang sudah dilakukan, reportase tahunan kegiatan yang
dilakukan dan perincian lain yang memuat secara detail terkait dengan upaya
pelaksanaan. Penelitian dan pengkajian dilakukan meskipun tidak rutin sudah dilakukan
oleh Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat bekerjasama dengan ISI Yogyakarta dan
Akademi Komunitas Yogyakarta. Upaya pengkajian gending dan segala yang berkaitan
dengan Bedhaya Genjong juga terus dilakukan oleh para pemucal karaton
2. Pewarisan, pola pewarisan diupayakan dalam dua metode yakni metode tulis dalam
bentuk modul, buku saku, dan panduan mengenai deskripsi singkat karya budaya berikut
dengan catatan mengenai persebaran yang ada di dalamnya. Kedua, metode transformasi
ilmu dan keahlian yang diwujudkan dalam bentuk pelatihan, workshop, fasilitasi
perlengkapan, mentoring, dan fasilitator yang mempu menjembatani adanya proses
transfer ilmu tersebut. Metode pewarisan dilakukan dengan melibatkan Keraton
Yogyakarta, subjek pelestari tari Bedhaya Genjong pelaku seni dan juga Pemerintah
Daerah. Pewarisan dilakukan dengan dibentuknya divisi KHP Kridomardowo, divisi tari
yang ada di Karaton Ngayogyakarta ini secara massive, regular dan teratur
menjembatani para abdi dalem untuk pendidikan seni tari Bedhaya Genjong.
Masyarakat luar yang ingin belajar mengenai tari ini pun diperbolehkan ikut dengan
latihan dasar terlebih dahulu yang selesnggarakan oleh Kraton.
3. Pelindungan, upaya pelindungan yang dilakukan dengan melakukan arsip dokumen baik
kajian, foto dan video dari karya budaya yang merupakan khasanah lokal dari awal
adanya karya budaya ini. Upaya pelindungan juga dilakukan dengan melakukan
koordinasi dengan Kemenkumham terkait dengan adanya basis pencatatan Kekayaan
Intelektual Komunal. Upaya pelindungan juga dilakukan dengan melakukan fasilitasi
sebagai bentuk dukungan kepada pelestari karya budaya tersebut. Upaya pelindungan
dilakukan dengan adanya media publikasi mengenai sifat nilai dan ajaran Bedhaya
Genjong kepada dunia luar dengan media sosial Karaton Ngayogyakarta. Upaya ini
dapat dipantau dengan baik melalui media sosial
5. Promosi dan Publikasi, upaya publikasi dan promosi dibutuhkan untuk setiap karya
budaya, apalagi untuk karya budaya yang dikatakan tidak berkembang dan hampir
punah, selain upaya regenerasi, promosi dan upaya publikasi juga diperlukan untuk
mendukung hadirnya semangat daya tarik yang lebih besar terhadap karya budaya ini.
Promosi dan publikasi dilakukan secara teratur oleh Karaton Ngayogyakarta
Hadiningrat melalui akun medos Karaton Ngayogyakarta baik dalam website, youtube
maupun Instagram.
Rencana Aksi
1. Rencana Aksi oleh Keraton Yogyakarta dalam hal ini menjadi sektor sentral yang akan
melakukan aksi-aksi pemeliharaan dan pengembangan taraf pertama, Keraton
Yogyakarta untuk dapat melakukan pembinaan, pelatihan, dan fasilitasi kegiatan yang
bersifat temporal. Keraton Yogyakarta juga berperan untuk melakukan pendampingan,
evaluasi dan monitoring bersama pelaku budaya karya budaya untuk terus melakukan
pemeliharaan dan pengembangan tari Bedhaya Genjong
e. Program Fasilitasi Seni Pertunjukan berkala yang diprioritaskan bagi karya budaya
yang sudah ditetapkan sebagai WBTb Indonesia melalui program fasilitasi langsung
oleh masyarakat
f. Penyusunan Rencana Aksi Tindak Lanjut, penyusunan rencana aksi dengan Dewan
Kebudayaan Daerah Istimewa Yogyakarta, masih dalam proses pembahasan
Usulan untuk rencana aksi yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat diantaranya :
a. Melakukan kajian dan penyusunan rentra nasional jangka pendek, menegah dan
panjang terkait rumusan pola-pola aksi tindak lanjut paska Penetapan WBTb DIY,
sedang ragam dan implementasinya bias disesuaikan oleh Pemerintah Daerah
masing-masing, rumusan juga memuat terkait sistem kerjasama pusat-daerah dalam
kerja pelestarian WBTb, ranah pelaksanaan monitoring dan evaluasi bersama pusat
dan daerah;
c. Pelibatan kegiatan pusat yang berbasis pada subjek budaya WBTb Daerah yang
telah ditetapkan sebagai WBTb Indonesia (bukan saja pada Perayaan WBTb
Indonesia) sebagai dukungan dan akomodasi adanya publikasi nasional untuk
daerah;
Pola lantai yang khas tampak saat para penari Busana penari Bedhaya Bontit utamanya
membuat pola lantai tiga-tiga dan bergeser ke terdiri dari kampuh dengan rias paes ageng.
kanan secara bersamaan dengan gerak kengser, Namun, pada pementasan Uyon-Uyon
kemudian kembali lagi ke posisi awal secara Hadiluhung 11 Juli 2022, para penari
bersamaan pula. Hal ini sangat jarang ditemui Bedhaya Bontit mengenakan busana
dalam bedhaya lainnya, hanya Bedhaya Sinom gladhen yang sedikit berbeda dari biasanya,
yang menggunakannya. yakni sanggul tekuk dipadukan dengan
kampuh latar hitam, nyamping dringin
berwarna merah (diwiru), keris, sondher
gendhala giri merah, ditambah aksesori
subang dan cincin.
Busana penari Bedhaya Bontit utamanya terdiri adegan pertarungan, penari endhel
dari kampuh dengan rias paes ageng. Namun, memerankan tokoh Raden Suryatmaja dan
pada pementasan Uyon-Uyon Hadiluhung 11 penari batak yang memerankan tokoh
Juli 2022, para penari Bedhaya Bontit Raden Permadi berputar mengelilingi penari
mengenakan busana gladhen yang sedikit yang jengkeng. Gerakan tersebut dilakukan
berbeda dari biasanya, yakni sanggul tekuk beberapa kali. Dalam adegan tersebut penari
dipadukan dengan kampuh latar hitam, apit ngajeng menari dengan posisi jengkeng
nyamping dringin berwarna merah (diwiru), namun badannya membelakangi penonton.
keris, sondher gendhala giri merah, ditambah Hal ini juga tidak ditemui dalam bedhaya
aksesori subang dan cincin. lainnya.
11. Film dokumenter mengenai karya budaya (sertakan judul dari film dan dilampirkan
bersama formulir)
- Kraton Jogja. “Bedhaya Bontit Uyon-uyon Hadiluhung 11 Besar 1955 Alip / 11 Juli 2022”.
https://www.youtube.com/watch?v=sd7p1acUli8
12. Kajian akademis oleh lembaga penelitian yang terkait (sertakan judul dari kajian
akademis dan dilampirkan bersama formulir)
Cahyani, Dewi. 1997. Makna Simbolik Gerak Tari Bedhaya Bontit. Yogyakarta. Institut Seni
Indonesia Yogyakarta
13. Referensi (ditulis sumber secara lengkap nama penulis, tahun, judul buku, tempat terbit,
penerbit, naskah kuno, prasasti, sumber lisan/nama pelaku (saksi sejarah) yang masih
hidup, usia, dan lainnya
Ahimsa-Putra, Heddy Shri, 1998, "Scbagai Teks Dalam Konteks: Seni Dalam Kajian
Antropologi Budaya'", dalam Seni: Jurnal Pengetahuan dan Penciptaan Seni, Edisi
VI/01, Yogyakarta: BP ISI Yogyakarta
2001, Strukturalisne Levi-Strauss: Mitos dan Karya Sartra, Yogyakarta: Galang Press
Alfian, Teuku Ibrahim, 2003, Paradigma Dalam Merekonstruksi Suatu Fenomena Sejarah",
disajikan dalam seminar di Yogyakarta, 6 Juni 2003
Artha, Arwan Tuti, Heddy Shri Ahimsa-Putra, 2004, Jejak Masa Lalu: Sejuta Warisan Budaya,
Yogyakarta: Kunci Ilmu
Brakel-Papenhuyzen, Clara, 1992, The Bedhaya Court Dance of Central Java, Leiden, New
York, Kohn: E.J. Brill
dll
14. Persetujuan dari provinsi terkait sebagai pengusul
16. Tempat dan tanggal penerimaan formulir karya budaya (diisi oleh Kementerian)
Tempat : - Tanggal : -