Anda di halaman 1dari 35

Sejarah Seni Pertunjukan dalam Perspektif Arkeologi*

Oleh: Timbul Haryono**

Kesenian adalah salah satu unsur kebudayaan yang keberadaannya


sangat diperlukan manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya.
Kesenian merupakan sesuatu yang hidup senafas dengan mekarnya rasa
keindahan yang tumbuh dalam sanubari manusia dari masa ke masa dan
hanya dapat dinilai dengan ukuran rasa. Seni diciptakan untuk
melahirkan gelombang kalbu rasa keindahan (Israr, 1995:2); dan
merupakan kreasi bentuk-bentuk simbolis dari perasaan manusia (Langer,
1982:73-74). Penginderaan rasa kalbu seseorang dapat diciptakan dengan
berbagai saluran, seperti: seni rupa, seni bangun, seni musik, seni tari, seni
drama, seni sastra, dan lain-lain. Oleh karena itu kesenian mempunyai
bidang-bidang cakupan yang cukup luas dan beragam (Koentjaraningrat,
1974:107-109).1
Sementara itu menurut Richard L. Anderson (1989:6-27; Sedyawati,
1992:8) seni mempunyai sifat umum yang dapat dijumpai dimanapun.
Sifat-sifat tersebut adalah:
1. mempunyai arti yang bermakna budaya, seperti menjadi sarana
hubungan dengan kekuatan adikodrati, menjadi sarana komunikasi
dan pendidikan,
2. memperlihatkan gaya, yaitu gaya yang dipandang sebagai tradisi
milik bersama dalam suatu kebudayaan dan sebagai tanda agar
seni dapat menyampaikan arti,
3. memerlukan kemahiran khusus untuk menghasilkan suatu karya
seni sehingga seseorang seniman dapat dibedakan dari orang
dewasa.
Sifat-sifat seperti tersebut kiranya juga dimiliki oleh kesenian yang hidup
dan berkembang pada masa Jawa kuno.
Membicarakan kesenian yang hidup pada masa Jawa kuno,
khususnya seni pertunjukan, tidaklah semudah membicarakan kesenian
masa sekarang. Seni pertunjukan masa sekarang masih dapat disaksikan
dan kita mungkin masih terlibat di dalamnya baik sebagai pelaku
maupun sebagai penikmat (penonton). Sumber-sumber informasi tentang
itu masih lengkap. Namun untuk seni pertunjukan masa Jawa kuna,
bukti-bukti yang masih ada tinggal bukti-bukti tertulis dan butki-bukti
relief dan itu pun tidak lengkap. Seni pertunjukan masa Jawa kuno sudah
terjadi ratusan tahun yang lalu. Untuk merunut dan mengetahui informasi

* Makalah disampaikan pada Diskusi Sejarah dengan tema Sejarah Seni


Pertunjukan dan Pembangunan Bangsa, diselenggarakan oleh Balai Kajian Sejarah dan
Nilai Tradisional Yogyakarta , 17-18 Mei 2006
** Guru Besar Ilmu Arkeologi pada Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah
Mada
2

seni pertunjukan masa Jawa kuna memerlukan sumber-sumber data yang


dapat digolongkan ke dalam sumber data arkeologis. Karangan ini tidak
dimaksudkan untuk memberikan gambaran yang lengkap dan
menyeluruh, tetapi pemaparan secara deskriptif berdasarkan data
arkeologis yang ada.
Yang dimaksud dengan ‘masa Jawa kuno’ dalam pergertian ini
adalah suatu masa yang cukup panjang ketika kebudayaan Jawa
mendapatkan pengaruh unsur-unsur kebudayaan India.2) Ditinjau dari
dimensi waktu, masa yang dibahas adalah sejak abad VIII sampai abad
XVI. Selama kurun waktu yang panjang tersebut secara hipotetis seni
pertunjukan di Jawa mengalami perkembangan dan perubahan. Data-data
yang dipakai adalah data-data verbal serta data-data piktorial. Data verbal
adalah data yang diperoleh dari sumber tertulis yang berupa prasasti dan
kitab-kitab kesastraan. Adapun data piktorial adalah data yang berwujud
gambar yaitu relief pada bangunan candi-candi di Jawa.
Di dalam sejarah kebudayaan Indonesia kuno, masa yang panjang
tersebut dibagi menjadi dua periode yaitu (a) periode klasik tua atau
periode klasik Jawa Tengah dan (b) periode klasik muda atau periode
Jawa Timur. Periode klasik tua berlangsung dari sejak datangnya
pengaruh Hindu sampai abad X; sedang periode klasik muda sejak abad
XI sampai abad XVI. Pembagian menjadi dua periode seperti tersebut
selain berdasarkan langgam atau gaya seni juga adanya perpindahan
aktivitas politik dari Jawa Tengah ke Jawa Timur. Agar gambaran
kehidupan seni pertunjukan Jawa kuno dapat dilihat dalam perspektif
historis maka pembicaraannya akan dibagi menjadi dua bagian
berdasarkan periode yang telah disebut.

Sejarah Seni Pertunjukan pada abad VIII - X


Sumber-sumber untuk mengetahui kehidupan dan keberadaan seni
pertunjukan masa ini adalah prasasti, kitab kesastraan, dan relief pada
bangunan candi.
Sumber-Sumber yang berupa prasasti
Prasasti adalah pertulisan kuno yang dituliskan pada lempengan
logam atau batu. Prasasti Jawa kuno biasanya berisi tentang upacara
penetapan sima (tanah perdikan) oleh pejabat kerajaan. Meskipun uraian
di dalam prasasti itu secara singkat namun kita memperoleh gambaran
tentang jalannya upacara sima, perlengkapan dan alat-alat upacara, siapa
saja yang hadir, pesta makanan dan minuman, seni pertunjukan yang
menyertainya (Haryono, 1980).

Prasasti Gandasuli II tahun 769 Saka


Di dalam prasasti yang berasal dari desa Gandasuli, Temanggung,
tidak banyak keterangan tentang seni pertunjukan kecuali hanya

2
3

penyebutan alat musik 'curing' dalam kaitannya dengan perlengkapan


upacara. Kutiban singkat kalimatnya adalah:
8. (hu) minamahkan pangliwattan
9. 1 padamaran 1 pamapi(r)nya
10. ngan 6 curi (ng) 1 …

Prasasti Kuti tahun 762 Saka (18 Juli 840)


Prasasti yang ditemukan di Joho, Sidoarjo (Jawa Timur) ini terdiri
atas 12 lempengan. Pada lempengan IVa dijumpai kata 'juru bañol'
bersama-sama dengan para pejabat lainnya seperti tuha dagang, misra hino,
misra hanginangin (baris 3). Keterangan tenteng seni pertunjukan dijumpai
pada lempengan IVa sebagai berikut:
1. hanapuk warahan kecaka tarimba hatapukan haringgit abañol salahan.
2. tanparabyapara samangilalā drbya haji sawakanya manganti i sang hyang
dharmā simanira cañcu
3. makuta sira cañcu manggala ring kuti. Mangkana yan pamujā
mangungkunga curing hamaguta payung.
Istilah hanapuka, hatapukan, berasal dari kata ‘tapuk’ yang berarti ‘topeng’,
sedangkan kata ‘haringgit’ berasal dari kata ‘ringgit’ yang berarti
‘wayang’. Kata ‘ringgit’ sampai sekarang masih ada di dalam bahasa jawa
baru yang artinya juga ‘wayang’ atau bentuk bahasa Jawa krama
‘wayang’. Kata ‘abañol’ artinya lawak atau dagelan. Mereka termasuk di
dalam kelompok 'sang mangilala drbya haji' yaitu pejabat kraton yang
memperoleh gaji dari kraton (abdi dalem).3 Kalimat 'mangkana yan pamuja
mangungkunga curing' dapat diartikan: 'demikianlah jika mengadakan
pemujaan supaya menabuh curing'. Dari kalimat tersebut dapat
dinyatakan bahwa membunyikan curing dalam kaitannya dengan
upacara pemujaan.

Prasasti Waharu I tahun 795 Saka (20 April 873)


Prasasti ini berupa satu lempengan tembaga ditemukan di desa
Keboan Pasar, Sidoarjo, dan merupakan salinan yang dibuat pada jaman
Majapahit. Pada sisi belakang (Ib) di jumpai kata: widu mangidung dan
mapadahi, yang termasuk di dalam daftar para pejabat kerajaan yang tidak
boleh 'masuk' di daerah 'sima'. Beberapa di antaranya seperti kutipan
berikut:
a. … tuha dagang juru gusali mangrumbe manggunje tuha nambi tuha judi.
b. tuha hunjaman juru jalir pabisar pawung kuwung pulung padi misra hino
wli tambang … tpung
c. kawung sungsung pangurang pasuk alas payungan sipat jukung
pānginangin pamawasya hopan pangurangan skar tahun kdi walyan widu
ma-

3
4

d. ngidung mapadahi sambal sumbul hulun haji amrsi watak i jro ityewamādi
kabeh tan katamana ikanang sīma…
Dari kalimat tersebut, kata yang menunjukkan adanya jenis seni
pertunjukan adalah kata ‘widu mangidung’ dan ‘mapadahi’. Widu
mangidung dapat diterjemahkan dengan penyanyi wanita. Kata ‘widu’
sekarang ini berubah menjadi ‘biduan’. Adapaun kata ‘mapadahi’ berasal
dari kata ‘padahi’ yang berarti ‘kendang. Kutipan tersebut menunjukkan
dengan jelas bahwa 'widu mangidung’ dan ’mapadahi’ termasuk dalam
'watak i jro' yaitu golongan dalam (abdi dalem).
Dalam prasasti Waharu I (B) diperoleh keterangan pula bahwa
seniman mapadahi (pengendang) hadir dalam upacara penetapan sima dan
melakukan tugasnya menabuh kendang setelah acara pesta makan:
"sakrama ni manadah ring dangu umangse ta jnu skar, manabêh ta sang
mapadahi".
Artinya: "setelah mereka selesai makan demikian lama, kemudian jnu
skar (?) maju dan sang penabuh kendang menabuh instrument
musikknya.

Prasasti Mulak tahun 800 Saka (3 Oktober 878)


Prasasti yang terdiri dari 4 lempengan tembaga ini ditemukan di
desa Ngabean (Magelang). Dalam salah satu baris kalimatnya (lempeng III
a brs 5) disebutkan bahwa seniman tuha padahi bernama si Kuwuk hadir
dalam upacara sebagai saksi dan kepadanya diberi hadiah (pasêk-pasêk)
berupa kain:
III.a.5… tuha padahi si kuwuk rama ni mitra wdihan rangga yu 1
Artinya: … pimpinan pengendang (yang bernama) si Kuwuk ayahnya
Mitra (diberi) kain wdihan rangga 1 pasang"

Prasasti Kwak I (Ngabean II) tahun 801 Saka (27 Juli 879)
Prasasti Kwak yang berasal dari desa yang sama dengan prasasti
Mulak di atas berupa 1 lempeng tembaga. Dari prasasti tersebut diperoleh
pula informasi tentang seniman yang hadir dalam upacara sima:
I.b.3… tuha padahi si dhanam/maregang si sukla/mangla
4. si buddha/madang si kundi/mawuai si pawan kapua wineh mas mā 1
wdihan ragi yu 1 sowang sowang.4
Artinya:
3."… pimpinan pengendang, bernama Si Dhanam, penabuh rêgang (kecer)
(bernama) si Sukla/
4. tukang masak sayur (bernama) si Buddha, tukang menanak nasi
(bernama) si Kundi, tukang memasak air (bernama) si Pawan
semuanya diberi emas 1 mãsa dan kain wdihan ragi 1 pasang
masing-masing.

4
5

Dalam kutiban tersebut selain seniman tuha padahi juga seniman yang
lain yaitu 'marêgang’ (penabuh regang – simbal atau kecer?).

Prasasti Taji tahun 823 Saka (8 April 901)


Dalam prasasti tersebut upacara penetapan sima diuraikan dengan
lengkap. Dalam pada itu tuha padahi juga hadir sebagai saksi. Pesta yang
diadakan adalah selain makan minum juga menari atau mangigêl, serta
adu ayam. Menarik perhatian adalah tarian dilakukan oleh semua yang
hadir termasuk para pejabat kerajaan secara bergantian:
IV.a.9."… i sampun tanda rakryan masawungan mangigêl ikanang rama kabeh
molih
10. patang kuliling gumanti renanta mangigal …"

Prasasti Panggumulan 902 M (Titi Surti Nastiti, 1982)


Di dalam prasasti tersebut selain disebutkan tarian juga disebutkan
gamelan yang ditabuh yaitu padahi, rêgang, dan brêkuk, seperti dapat
dibaca dalam kutiban berikut:
III.a.20. "…samangkana ng ingêlakên hana mapadahi marêgang si catu rama ni
kriya mabrêkuk si
III.b.1 wara rama ni bhoga winaih wdihan sahlai mas ma 1 ing sowang
sowang//
Artinya: "…adapun (yang) akan ditarikan ada mapadahi, marêgang
(bernama) Si Catu ayahnya Kriya, mabrêkuk (bernama) si Wara
ayahnya Bhoga, (mereka) diberi sehelai kain bebed dan emas 1
masa masing-masing".

Prasasti Poh tahun 905 M (Stutterheim, 1940:3-28)


Di dalam prasasti Poh selain disebutkan adanya seni musik
gamelan dan juga seni tari dan lawak. Mereka (para seniman) diundang
untuk menghadiri upacara penetapan sima sebagai saksi. Barangkali
mereka juga menggelar pertunjukan. Gamelan yang ditabuh adalah
padahi, rêgang, tuwung; sedangkan tariannya adalah tari topeng dan lawak:
IIb.13."…mapadahi matuwung si pati rama ni turawus ana
14. kwanus i rapoh winaih wdihan yu 1 mas mā 1 ku 1 muwah mapadahai
syuha rama ni wakul anakwanua i hinangan watak luwakan winaih mas
ku 2 marêgang si wicar rama ni wisama anakwanu
15. a i hijo watak luwakan winaih wdihan yu 1 mas mã 1//matapukan 2 si
mala anakwanua 1 sawyan watak kiniwang muang si parasi anakwanua 1
tira watak mdang kapua winaih mas mā 1
16. ing sowangsowang mabañol jurunya 2 si lugundung anakwanua i rasuk
watak luwakan muang si kulika anakwanua i lunglang watak tnep winaih
wdihan yu 1 mas mā 6 kinabaihannya
17. ruang juru //"

5
6

Artinya
13. "…penabuh padahi penabuh tuwung (bernama) si Pati
14. ayahnya Turawus penduduk desa Rapoh diberi kain 1 yugala dan
emas 1 mãsa 1 kupang, dan penabuh padahi (bernama) Syuha
ayahnya Wakul penduduk desa Hinangan wilayah Luwakan diberi
emas 2 kupang, penabuh regang (bernama) si Wicar ayahnya
Wisama penduduk desa
15. Hijo wilayah Luwakan diberi kain 1 yugala dan emas 1 masa //
penari topeng ada 2 (bernama) si Mala penduduk desa Sawyan
wilayah Kiniwang dan Si Parasi penduduk desa Tira wilayah
Medang, semuanya diberi emas 1 masa.
16. Masing-masing, juru pelawak ada 2 (bernama) si Lugundung
penduduk desa Rasuk wilayah Luwakan dan si Kulika penduduk
desa Lunglang wilayah Tnep semuanya diberi kain 1 yugala dan
emas 6 mãsa
17. untuk 2 orang juru

Prasasti Lintakan tahun 841 Saka (12 Juli 919)


Dalam prasasti Lintakan ini diperoleh data tentang instrumen
gamelan yaitu padahai, tuwung, rêgang, brêkuk, gandirawana hasta. Gamelan
tersebut digunakan dalam perlengkapan upacara sima. Selain itu di antara
seniman yang hadir dalam upacara adalah atapukan dan tarimwa (tarimba).
Sangat menarik dalam hal ini adalah jumlah atapukan (penari topeng) ada
30 pasang:
III.8…. pinda atapukan
9. prana 30 hop rarai winehan pirak dha 1 kinabaihannya. Tarimwanya
winehan pirak ma 1 kinabaihannya
Artinya: 8…. Jumlah penari topeng
9. ada 30 pasang semuanya anak muda diberi perak 1 dharana,
(adapun) tarimwa (penari?) diberi perak 1 masa semuanya.5

Prasasti Mantyasih III (OJO CVIII)


Dalam prasasti ini nama instrumen gandirawana hasta yang disebut
dalam prasasti Lintakan ternyata merupakan 2 macam instrumen yang
berbeda, terbukti dari nama penabuhnya disebut terpisah:
b.4. widu si majangut matapukan si barubuh juru padahi si nanja
maganding si ksrni rawanahasta si mandal kapua winaih hlai 1
pirak ma 8 sowang-sowang //
Artinya: widu (penyanyi) bernama Majangut, penari topeng bernama Si
Barubuh, juru kendang bernama si Nanja, maganding (penabuh
gending?) bernama si Kusni, penabuh musik rawanahasta bernama
si Mandal semuanya diberi kain bebed 1 helai dan perak 8 māsa
masing-masing

6
7

Di antara nama-nama pemusik tersebut, Krsni adalah nama wanita.


Dalam prasasti yang lain kata widu sering diikuti oleh kata mangidung,
atau hanya kata mangidung tanpa didahului kata widu.

Prasasti Paradah tahun 865 Saka (OJO XLVIII)


Dalam prasasti tersebut selain disebutkan padahi dan widu
mangidung sebagai watak i jro, mabañol bernama si Kalayar. Selain itu
dalam acara sajian tarian disebutkan:
46. … i tlas ning manamah mangigal yathakrama tuwung bungkuk
ganding rawanahasta sampun sangkap ikanang iniga.
47. lakên malungguh sira …
Artinya:
… sesudah melakukan sembah menarilah mereka yaitu tuwung,
bungkuk, ganding, rawanahasta.
Sesudah selesai semua yang ditarikan mereka kemudian duduk …
Dalam kutiban tersebut terdapat kata 'bungkuk' yang mungkin sekali
artinya sama dengan 'brekuk' pada prasasti lain.
Kalau di dalam prasasti sebelumnya ditemukan istilah tuha padahi,
juru padahai, di dalam prasasti yang berasal dari tahun 853 M (prasasti Air)
ditemukan istilah padahi manggala (pemimpin pemain kendang). Selain itu
juga disebutkan adanya 'muraba'. Barangkali perlu disebutkan juga jenis
seni pertunjukan yang lain ialah 'rara mabhramana tinonton' pada prasasti
Poh IIb.5: "rara mabhramana tinonton si karigna si darini muang si rumpuk
muang wêrêwêrêhnya si jaway si baryyut". Artinya: 'dara (anak gadis) yang
berkeliling ditonton bernama si Karigna, si Darini, dan si Rumpuk serta
tunangannya bernama si Jaway dan si Baryyut". Kata ‘tinonton’ jelas
menunjukkan bahwa gadis-gadis tersebut tentu gadis penari. Perlu
dijelaskan bahwa nama orang yang didahului kata sandang si
menunjukkan bahwa yang bersangkutan adalah rakyat biasa atau gadis
desa.

Prasasti Tajigunung tahun Sanjaya 194 – 910 M


Dalam prasasti tersebut selain disebutkan tuha padahi dan
arawanāsta juga disebutkan jenis pertunjukan dengan istilah 'memen':
'memen rakryan mangigal ri susukkan sima i taji gunung si angkus'. Istilah
'memen' juga dijumpai pada prasasti Jrujru tahun 852 Saka (930 M):
16. ytaha sakamenmen rakryan ta
17. hada rikang kala kapua amintonakên
18. . . . . matapukan wuwup pramukha
19. winaih ma 4 kinabaihannya awa
20. yang ki lungasuh grawana winaih ma
21. 4 sowang abañol si liwuhan

7
8

Dalam kutiban prasasti tersebut selain pertunjukan 'menmen' juga


'matapukan', 'awayang', dan 'abañol'. Istilah seni pertunjukan seperti
tersebut juga ditemukan di dalam prasasti yang berasal dari tahun 902 M
(van Naerssen, 1941): 'muang menmen si patinghalan, mabañol si pati bancil,
muang si bari paceh, atapukan si giranghyasen . . . . ’

Prasasti Wukajana
Prasasti ini tidak berangka tahun, akan tetapi berdasarkan bentuk
huruf diperkirakan berasal dari masa Balitung (van Naerssen, 1937: 444-
446). Uraian tentang pertunjukan yang dipentaskan dalam upacara
penetapan sima adalah:
9. "…hinyunakan tontonan mamidu sang tangkil hyang si nalu macarita
bhimma kumara mangigal kica-
10. ka si jaluk macarita ramayana mamirus mabañol si mungmuk si galigi
mawayang buatt hyang macarita ya kumara …"
Artinya:
9. "…diadakan pertunjukan (yaitu menyanyi oleh sang
Tangkilhyang si Nalu bercerita Bhima Kumara dan menari
10. Kicaka, si Jaluk bercerita Ramayana, menari topeng (mamirus)
dan melawak dilakukan oleh si Mungmuk, si Galigi memainkan
wayang untuk hyang [roh nenek moyang] dengan cerita “bhima
kumara".
Kutipan tersebut tidak hanya menyebutkan jenis-jenis pertunjukan
mamidu, mamirus, mawayang, mangigal, tetapi juga lakon yang diceritakan
yaitu Bhima Kumara (masa muda Bhima) dan nama tarian: tari Kicaka.6
Adapun ungkapan 'mawayang buatt hyang' dapat berarti 'pertunjukan
wayang untuk arwah nenek moyang'.
Masih ada beberapa prasasti yang menyebut tentang seni
pertunjukan secara singkat. Di antara prasasti-prasasti tersebut adalah
prasasti Ratawun 881 M (tuha padahi), prasasti Ramwi 882 M (tuha padahi),
prasasti Er. Hangat (tanpa tahun) menyebutkan: mangigêl, tuha padahi,
widu, mangidung: prasasti kembang 941 M menyebut: kecaka, tarimba,
tapukan. Menarik pula untuk disinggung adalah penyebutan 'tabêh-
tabêhan' di dalam prasasti Waharu IV (931 M):
IIa.2. "…tabêh-tabêhan umiring bala paduka sri ma-
3. haraja …
Artinya: "bunyi-bunyian mengiringi bala tentara Paduka Sri Maharaja".
Keterangan tersebut menunjukkan bahwa bunyi-bunyian musik dipakai
dalam menambahkan semangat bala tentara.
Setelah dikutip beberapa keterangan tentang seni pertunjukan dari
beberapa prasasti sampai abad X, berikut ini akan dikutip pula sumber
tertulis yang berupa kitab sastra pada masa itu. Sementara ini hanya ada

8
9

dua kitab kesastraan yang diambil yang diperkirakan berasal dari abad X
ialah Ramayana Kakawin dan Wirataparwa.

Sumber-Sumber Kesastraan
Kitab Ramayana
Kitab Ramayana tidak diketahui angka tahunnya. Menurut
pendapat H. Kern, kitab Ramayana ditulis pada permulaan abad XIII.
J.L.A. Brandes sebaliknya mengatakan bahwa kita Ramayana berasal dari
abad X. Sementara itu Poerbatjaraka berpendapat bahwa kita Ramayana
berasal dari akhir abad IX atau awal abad X.
Beberapa kutiban yang menyebut alat musik atau kesenian lainnya adalah
sebagai berikut (Dwi Anna Sitoresmi, 1984).
III.39. Anakkebi ring indraloka manurun lawan apsarī ya teka
makuren-kuren ri sira sang tamuy kadbuta Mabangsi
mangidung makinnara malaw wina mangigêl . . .
Artinya: Para wanita di indraloka turun bersama hapsari mereka itu
menjamu (hidup bersama) dengan para tamu yang istimewa.
Pemain bangsi, penyanyi, pemain kinnara, pemain lawuwina
menari …
VII.3. Megha mogha mapupul ya ring langit tulya kendanganirang
manobhawa …
Artinya: Serentak berkumpul di langit seperti kendangnya dewa
asmara ...
VIII.28. Hana manggupit hana mabangsi waneh Suraloka tulya
nikanang nagara
Artinya: Ada yang bercerita ada yang bermain bangsi
47. Hana tambak ujwala pinikya kabeh
Padahi prasada ri dalm tinabêh
Artinya: Ada tanggul yang cemerlang rapi tersusun semuanya. Padahi
bangunan tinggi di dalam ditabuh.
100. Tinabêh tikang bahiri ring taman
Artinya: Dipukullah segera bahiri di taman
151. Atitibra ring lara wimoha bapaku tuwi bangsi kinnara ya …
karnnassula ya
Artinya: Sangatlah sakit bingung bapakku, segala yang kulihat setiap
yang kudengar itu bangsi, kinnara, menyebabkan sakit telinga
lagi pula …
166. Nya ta len maweh uneng atita manglare winarawanāsta
Artinya: Ada yang lain lagi memberikan kerinduan winarawasta
XII.23. … bwat hajinya mangidung saha wina sawadana
Artinya: …untuk tuannya tugasnya menyanyi dengan wina
65. Sawêtu nira rikang sabha sighra monikanang kahala
Artinya: Sekeluarnya di tempat pertemuan segera berbunyilah kahala

9
10

XVI.10. …sacarana hanapsari wara ta kinnari kinnara mabangsi mangidung


makinnara malawuwina …
Artinya: …ada hapsari ada juga kinnari kinnara, pemain bangsi,
penyanyi, pemain kinnara, pemain lawuwina.
12. Asangghani ya manggupit hana sedeng sadarppasiwo
Artinya: Memainkan sangghani, bercerita, ada juga yang sedang sangat
girang berkelakar.
XVII.111. mangkin ika manahnya magirang saharsa ya kabeh len mangidung
makinnara mabangsi len tang angigêl.
Artinya: Semakin hatinya girang gembiralah semua, ada yang
menyanyi, bermain kinnara, bermain bangsi, yang lain
menari.
XIX.13. Len kendang koti-kotyada niyuta humung ghroragambirasabda …
trus twas ning wang pwa denyanarawata kumeter katarang kala-
kala monikang mardaladres saha pataha mahasara masrang
makangsi
Artinya: Lagi pula kendang berkoti-koti jumlahnya gemuruh
menggelegar suaranya … bergetar kala-kala mengerikan
berbunyilah mardala deras serta dengan pataha mahasara
saling berlomba-lomba, pemain kangsi
19. sangkat ning wira mahya padahi pada humung tutu hawan
sangka tinyup …
Artinya: Seberangkatnya para perwira berbunyilah padahi, semua
bergemuruh sepanjang jalan sangka ditiup…
XXI.207. Len sangkat ning manunggang saha ratha lawan nadhorana
muka gambirang bheri ginwal murawa kala-kalaraweng dasadisi.
Artinya: Lagi pula seberangkat mereka yang berkendaraan serta
berkereta serta penunggang gajah di depan menggelengar
bheri murawa kala-kala dipukul disegenap penjuru.
XXII.3. … teka manabeh ta kendang anulup kalasangka waneh murawa
tuwung regang padahi mandra mahaswara
Artinya: …maka manabuhlah kendang meniup kalasangka dan lagi
murawa, tuwung, regang, padahi, mahaswara.
XXVI.23. …tumindak umundakmidik ring paras yabrebet bap mahsara
masrang makangsinusi ramya bandung lawan kinnara
Artinya: … berjalan maju terus naik dengan hati-hati di batu karang
membunyikan brebet bersuara bersama-sama membunyikan
bangsi dengan indah bersama dengan kinnara
24. … suling sing magending salangsang
Artinya: suling yang bergending salangsang

10
11

Kitab Wirataparwa
Kitab Wirataparwa merupakan bagian keempat dari ceritera epos
Mahabharata dan menguraikan kehidupan para pandawa di Istana raja
Wirata. Kitab tersebut diperkirakan berasal dari tahun 996 M (Juynboll,
1912). Selama di istana raja Wirata tersebut para pandawa melakukan
penyamaran: Yudhistira menyamar sebagai seorang guru brahmin, Bhima
sebagai juru masak dan ahli gulat, Arjuna sebagai guru tari, Nakula
sebagai sains, dan Sadewa sebagai seorang gembala.
Beberapa kutiban tentang alat musik gamelan antara lain (Dwi
Anna Sitoresmi, 1984):
I.11. Sajna haji: Nihan iking patik haji sandakarupa temahana kedi,
makasajna Wrhannala, anggucaranakna mantrakayika,
tarmolaheng kanakbyan, marahana stri haji ring
gitanrttawaditra.
Artinya: Ampun tuanku raja: Demikianlah hamba tuanku akan
menjadi kedi, dengan nama Wrhannala, akan mengucapkan
mantra dalam upacara, tinggal di keputren, mengajar para
putri raja dalam hal gita, tarian, dan musik.
IV.30. Hanan kadi lawuwinamyakta kathanikang swara
Artinya: Ada yang seperti lawuwina berbunyi nyaring
VI.49. … prasamanggwal bheri mrdangga, ajemur arok silih-wor
ikang prang silih cidu
Artinya: … sama-sama memukul bheri mrdangga, bercampur saling
berbaur mereka yang berperang saling menyiasati.
52 manulingãngidungãnabeha mahãsãra …
Artinya: supaya membunyikan suling, mengidung, dan menabuh
mahãsãra
VII.55. … humung kendanganya padahinya kadi angara kala ning
pralaya kahidepanya …
Artinya: … riuh kendangnya, padahinya, seperti laut ketika pralaya
rasanya
85. … bheda sangka ring angilwaken bangsi tala panawa muddhama.
Hana tamawa wina rawanahasta, … humung tang bheri murawa
tan pantara …
Artinya: … yang lain lagi membawa serta bangsi, tala (simbal), panawa,
mudahama (alat musik?). Ada yang membawa wina
rawanahasta … riuh suara bheri dan murawa tak ada antaranya
96. … humung tang tabeh-tabehan makadi sakweh sangkha kahala
muangsarwwaditra, umadang sakweh nikang natopataka
menmen sarwwa bhandagina
Artinya: … riuhlah suara tetabuhan terutama segala macam sangkha
kahala dan segala macam bunyi-bunyian, menghadanglah
segenap penari.

11
12

Dari beberapa kutipan yang dikumpulkan dari sumber prasasti dan


kitab kesastraan diperoleh berbagai nama atau istilah yang menunjukkan
keberadaan seni pertunjukan yang telah ada ketika itu adalah:
1. Seni musik gamelan,
2. Seni tari,
3. Seni pertunjukan wayang (pedalangan),
4. Seni suara (tembang),
5. Lawak (dagelan).

Seni Musik Gamelan


Keberadaan gamelan ketika itu dibuktikan oleh penyebutan nama-
nama instrumen gamelan. Instrumen gamelan yang sangat umum dan
banyak disebut-sebut dalam berbagai sumber adalah kelompok idiophone
dan membranophone. Kelompok aerophone dan chordophone juga disebut
meskipun tidak begitu banyak. Ensambel gamelan pada saat itu masih
cukup sederhana, terutama sekali adalah 'musik keras'.
Instrumen gamelan kelompok idiophone adalah: tuwung, curing,
regang, brekuk, bungkuk, kangsi. Sedangkan untuk kelompok membranophone
adalah: padahi, muraba, pataha, mardala, murawa, bahiri, mrdangga,7 dan
kendang. Kelompok aerophone adalah: sangkha, kahala, atau sangkhakala,
suling. Kelompok chordophone adalah: lawuwina, winarawanashasta,
rawanahasta.
Masih ada beberapa istilah atau nama instrumen musik yang belum
begitu jelas seperti mudhama, panawa, tala, bangsi. Tala mungkin sekali
sejenis simbal.8 Panawa merupakan jenis kendang dan bangsi adalah suling
(Kunst, 1968:85). Istilah bangsi di tempat lain disebut wangsi; dalam
bahasa Sanskerta: vamsi berarti suling atau bambu.
Istilah ganding masih belum jelas pula. Dalam beberapa prasasti ka
'ganding' selalu diikuti dengan kata 'rawanahasta'. Di dalam prasasti
Mantyasih III disebut dengan 'maganding', sebagai kata kerja aktif yang
berarti 'memainkan ganding'. Oleh karena itu istilah 'ganding' tentunya
menunjuk pada nama instrumen musik seperti terlihat dalam konteks
kalimat dalam prasasti Paradah yang menyebut nama instrumen gemelan:
"tuwung, bungkuk, ganding, rawanahasta". Kata 'gendhing' dalam bahasa
Jawa baru menunjuk pada komposisi lagu pada karawitan, dapat pula
berarti gamelan secara umum seperti tampak pada toponim Gendhingan
sebagai nama desa tempat para pembuat gamelan (Jacobson & Hasselt,
1975). Adapun kata 'rawanahasta' atau 'rawanasta' secara harafiah sering
didahului dengan kata 'wina' (alat musik petik). Di India 'ravanahasta'
adalah alat musik petik (Kunst, 1968:17). Cukup menarik perhatian bahwa
dalam prasasti Tajigunung 910 M disebutkan adanya 'panday arawanasta'
yang berarti 'pembuat alat musik rawanasta' yang termasuk sebagai

12
13

anggota 'sang mangilala drabya haji'. Hal ini berarti bahwa pada abad X
instrumen musik kecapi sudah dibuat di Jawa.
Di dalam prasasti Mantyasih III disebutkan bahwa 'maganding' dan
'rawanahasta' dimainkan oleh orang yang berbeda: 'maganding' oleh si
Krsni (dengan tanda panjang pada vokal i) menunjuk pada nama wanita.
Dalam bahasa Jawa kuno, kata 'wina' kadang diterjemahkan sebagai
'seruling' (Wojowasito, 1977). Namun demikian karena konteksnya
dengan kata 'lawu' – Lawuwina, maka yang dimaksudkan tentunya kecapi
dengan resonator berbentuk seperti buah labu.
Nama curing ternyata hanya dijumpai dalam prasasti dari tahun
840 M dan 847 M. Sesudah masa-masa tersebut sampai akhir abad X
'curing' tidak pernah disinggung keberadaannya. Pada hal, nama
gamelang 'culuring' sekarang ada di kraton Yogyakarta dan Pura
Pakualaman. Nama curing disebut lagi pada masa-masa abad XII.
Kunst (1968:52) berpendapat bahwa 'curing' dan 'tuwung' adalah
alat musik yang sama (sinonim). Memang di dalam prasasti 'curing' dan
'tuwung' tidak disebut bersama-sama dalam satu prasasti. Demikian pula
barangkali antara 'brekuk' (prasasti Panggumulan 902 M dan prasasti
Lintakan 919 M) dan 'bungkuk' (prasasti Paradah 943 M) juga
penyebutkan untuk instrumen gamelan yang sama karena kedua
instrumen tersebut tidak pernah disebut bersamaan. Kunst (1968:63)
berpendapat bahwa baik 'brekuk' maupun 'bungkuk' adalah jenis kenong
atau kemong.
Berikutnya yang perlu dibahas adalah kendang. Kata 'kendang'
baru muncul pertama kali dalam sumber tertulis sekitar abad X akhir.
Namun bukan berarti bahwa instrumen kendang baru muncul pada abad
X. Pada masa klasik awal (tahun 821 M) instrumen jenis kendang sudah
disinggung dalam prasasti dengan nama 'padahi'. Bahkan jauh sebelum
itu, yaitu pada masa prasejarah instrumen jenis kendang sudah ada
(Haryono, 1986).
Istilah 'padahi' (atau padaha, pataha) cukup populer pada masa
Jawa kuno terbukti dari 14 prasasti menyebut padahi semua (sampai abad
X). Sementara itu istilah 'muraba' dan 'mradangga' hanya disebut sekali.
Kedua istilah tersebut berasal dari bahasa Sanskerta dari akar kata 'mrd'
yang berarti 'tanah'. Di dalam kitab Ramayana selain dijumpai kata
'murawa' juga ada 'mrdala' dan tampaknya berasal dari akar kata yang
sama. Di India kendang yang paling umum dan bentuk paling kuno
dinamakan 'mridangga' atau 'mardala'. Dalam mitologi kendang bentuk
mridangga diciptakan oleh dewa Brahma untuk mengiringi tarian dewa
Siwa ketika berhasil mengalahkan raksasa Trusurapura (Popley, 1950:123;
Haryono, 1986).9 Di dalam kitab Wirataparwa disebutkan 'Bheri mrdangga',
juga 'Bheri-murawa'. Oleh karena itu dapat ditafsirkan bahwa bheri atau
bahiri adalah termasuk jenis kendang atau genderang.

13
14

Instrumen gamelan seperti diuraikan di muka kadang-kadang


secara umum disebut dengan istilah 'tabetabehan' (bhs. Jawa baru:
tetabuhan). Di dalam kitab Wirataparwa selaian tabehtabehan juga disebut
'waditra' (bahasa Sanskrta). Di India instrumen musik secara keseluruhan
disebut 'vaditra'. Vaditra dibedakan menjadi 5 kelas (Walker, 1983:88).
a. tata = instrumen gesek
b. betat = instrumen petik
c. sushira = instrumen tiup
d. dhola = kendang
e. ghana = instrumen pukul
Adapun ritmennya (irama) dalam musik India dibakukan dengan
menggunakan pola tala yang dilakukan dengan kendang (drum). Irama itu
sendiri di India disebut laya yang dibagi menjadi 3 yaitu: druta (cepat),
madhya (sedang) dan lamban (vilambita).10

Seni Tari
Keberadaan seni tari pada abad VIII-X ditunjukkan oleh prasasti
dengan kata 'mangigel', 'angigel', 'inigelaken' (dari kata dasar 'igel' = tari).
Tidak banyak informasi yang diperoleh dari sumber tertulis tentang jenis-
jenis tarian ketika itu. Beberapa istilah yang menunjukkan jenis tari yang
dipertunjukkan adalah: tapukan, kicaka (kecaka), tarimba (tarimwa), memen
(menmen), mamirus, dan rasa mabhramana tinonton.
Kata tapukan, atapukan, berasal dari kata tapuk yang dalam bahasa
Bali kuno berarti topeng, kedok. Oleh karena itu atapukan yang disebut di
dalam prasasti dapat berarti pertunjukan topeng (tentu saja dengan
menari). Tari topeng ini pada abad VIII sudah dipertunjukkan dalam
kegiatan upacara sima. Sampai abad X tapukan masih disebut dalam
prasasti. Kata mamirus dapat diartikan pula menari topeng, dapat pula
berarti 'melawak' (melawak dengan topeng?). Pirus dalam bahasa Jawa
berarti seni pertunjukan (Zoetmulder, 1982).
Sementara itu kata kecaka dan tarimba dalam prasasti belum jelas
benar artinya. Namun demikian dapat disimpulkan bahwa berdasarkan
konteks kalimatnya kata-kata tersebut mengacu pada jenis seni
pertunjukan. Di dalam prasasti Wukajana (abad X) disebutkan 'mangigel
kicaka', mungkin menunjukkan jenis tarian yaitu tari kicaka. Apakah nama
tersebut kemudian menjadi nama 'tari Cak' di Bali, perlu penelitian lagi.
Soalnya ialah bahwa sesudah kata mangigel kicaka kalimat berikutnya
berbunyi macarita ramayana. Di Bali tari Cak mengambil cerita Ramayana.
Ungkapan kalimat 'rara mabhramana tinonton' menarik untuk
dimasukkan dalam seni tari. Kata 'rara' = dara, gadis, kata 'mabhramana' =
berjalan keliling, dan 'tinonton' = ditonton. Kalimat tersebut mengandung
makna bahwa para gadis berjalan keliling (dari desa ke desa) mengadakan

14
15

pertunjukan tari (penari jalanan atau mbarang). Sampai sekarang masih


dijumpai pertunjukan keliling yaitu tledhek mbarang dari desa ke desa.
Sementara itu kata 'menmen' dalam prasasti Tajigunung (910 M)
dan prasasti Jrujru (930 M) berkaitan pula dengan pertunjukan kesenian.
Dalam bahasa Jawa kuno kata 'amen' berarti 'menghibur'; menmen =
penghibur dengan pertunjukan seni (Zoetmulder, 1982) atau permainan
topeng (Wojowasito, 1977). Dalam bahasa sekarang dijumpai pula kata
'ngamen' yang berarti mengadakan pertunjukan musik.

Pertunjukan Wayang
Pertunjukan wayang sudah ada sejak abad IX dibuktikan oleh
adanya istilah 'haringgit' dalam prasasti Kuti 840 M. Padanan kata
'haringgit' adalah 'awayang' dijumpai dalam prasasti Tajigunung 910 M.
Sampai sekarang kata ringgit dan wayang masih digunakan. Pertunjukan
wayang tentu saja menggunakan media (wayang), namun sumber tertulis
ketika itu tidak memberikan keterangan. Barangkali media dalam
pertunjukan wayang pada waktu itu semacam boneka-boneka kecil.
Keterangan menarik diberikan oleh prasasti Wukajana bahwa
pertunjukan wayang waktu itu adalah 'mawayang buatt hyang' =
pertunjukan wayang untuk hyang. Hyang adalah dihormat yaitu dewa
atau nenek moyang. Hal ini berarti bahwa pertunjukan wayang bukan
semata-mata hiburan tetapi lebih bersifat seremonial keagamaan. Cerita
Bhima dan cerita Ramayana sudah cukup populer pada abad X
sebagaimana dijelaskan di dalam prasasti: 'macarita bhima kumara' dan
'macarita ramayana'. Dalang terkenal waktu itu bernama si Galigi karena
namanya disebut-sebit dalam sebuah piagam yang dikeluarkan oleh raja.
Kata 'macarita' dalam prasasti mungkin sekali tidak berhubungan
dengan mawayang. Pelaku atau seniman untuk masing-masing tersebut
berbeda: macarita bhima kumara dilakukan oleh si Nalu sedangkan
mawayang buat hyang oleh si Galigi. Dengan demikian dapat diajukan
dugaan bahwa 'macarita' adalah cabang seni pertunjukan yang lain, yaitu
profesi seni khusus menyampaikan cerita prosa atau 'story teller'.

Seni Suara
Berbeda dengan profesi 'macarita' yang tugasnya membacakan
ceritera prosa, adalah profesi penyanyi yang menyampaikan cerita puisi.
Di dalam beberapa prasasti profesi tersebut dikenal dengan nama 'widu'
dan mangidung' atau 'widu mangidung'. Sejak abad IX (prasasti Waharu I
873 M) kata widu dalam bahasa Indonesia kemudian menjadi 'biduan' =
penyanyi. Profesi 'mamidu' pada masa Jawa kuno mungkin sama dengan
'pesindhen' jaman sekarang. Mangidung berasal dari kata 'kidung' artinya
'lagu', 'tembang'. Dalam bahasa Sanskerta untuk lagu atau nyanyian adalah
'gita'. Menurut kitab Wirataparwa cabang-cabang seni yang dilakukan

15
16

oleh Arjuna dengan nama samaran Wrhannala adalah gitanrttawaditra


yaitu nyanyian, tari, dan musik (gita, nrtta, dan waditra). Kalau ada profesi
penyanyi pada masa Jawa kuno tentu ada jenis-jenis nama lagu. Namun
sayang, pada periode abad IX – X belum ada sumber-sumber yang dapat
diungkap. Barangkali jenis lagu seperti nama-nama bentuk kakawin di
India.

Lawak
Pertunjukan lawak sudah ada sejak abad IX. Kesan yang diperoleh
dari prasasti bahwa kedudukan seniman lawak sejajar dengan seniman-
seniman yang lain. Mereka juga diundang dalam upacara sima sebagai
saksi. Menurut prasasti Wukajana, lawak juga ditampilkan dalam acara
kesenian bersama dengan kesenian lainnya. Di dalam prasasti Kuti ada
istilah abãnol salahan. Kata salahan mempunyai arti salah, keliru. Kalau
kata salahan tersebut termasuk dalam satu ungkapan dengan kata abanol
berarti fungsinya menerangkan 'abãnol'. Oleh karen itu dapat ditafsirkan
jenis lawak yang temanya adalah permainan kata yang sengaja dibuat
'keliru' agar sengaja membuat keliru arti kata-kata. Seandainya kata
salahan memang untuk menerangkan kata 'abãnol' berarti 'lawak plesetan'
sudah ada sejak jaman dulu. Masalahnya akan lain jika kata 'salahan'
terpisah dengan kata 'abãnol'.
Namun sampai sekarang belum ada jenis seni pertunjukan yang
dinamakan 'salahan'.

Seni Pertunjukan dalam relief bangunan candi


Sumber Relief
Setelah ditinjau sepintas tentang berbagai jenis seni pertunjukan
dari sumber-sumber tertulis, berikut ini akan diuraikan berbagai seni
pertunjukan yang ada menurut sumber relief. Bangunan candi yang akan
dipakai sebagai sumber pembahasan adalah candi Borobudur dan candi
Prambanan (Haryono, 1985).

1. Relief Karmawibangangga – Seri O:


0.1. : penggambaran suasana pasar. Alat musik yang ada ialah
kendang bertali yang dikalungkan di leher. Kendang dipukul
dengan menggunakan alat pemukul.
0.20. : seseorang menabuh kendang, dan tokoh lain membunyikan
alat musik petik.
0.39. : dua orang sedang membunyikan alat musik tiup dan
memegang tongkat geserk (scraping stick).
Mungkin yang dilukiskan ini adalah gambaran suasana
ngamen.

16
17

0.53. : alat musik yang digambarkan adalah alat musik tiup dan
sejenis alat musik perkusi.
0.52. : alat musik yang digambarkan adalah semacam kendang. Di
sini digambarkan pula tokoh bangsawan yang menyaksikan.
0.72. : adegan yang menggambarkan seorang wanita yang sedang
menari diiringi dengan musik jenis simbal dan kendang yang
bentuknya seperti periuk.
0.101. : dua kinnara sedang bermain musik. Alat musik yang
digambarkan adalah alat musik petik (bar-zither) dan suling.
0.102. : tokoh bangsawan sedang mendengarkan musik. Alat yang
ada adalah kecapi berdawai dua dan simbal.
0.117. : adegan yang mungkin menggambarkan pemusik jalannya
(ngamen). Alat musik yang ada ialah suling.
0.125. : adegan tokoh bangsawan sedang mendengarkan musik. Alat
musik yang digambarkan adalah alat musik petik dan kecapi
berdawai tiga.
0.137. : penggambaran tokoh bangsawan yang menyaksikan
pertunjukan musik siter dan simbal.
0.143. : tokoh bangsawan yang sedang mendengarkan musik, siter.
0.147. : dua kinnara sedang memainkan alat musik siter dan simbal.
0.149. : adegan pertunjukan tari oleh seorang penari wanita yang
disaksikan oleh para bangsawan. Alat musik yang ada ialah
kendang bentuk periuk, simbal mangkuk, simbal pipih, dan
siter.
0.151. : pertunjukan musik yang disaksikan oleh tokoh bangsawan.
Alat musik yang ada yaitu: dua buah siter, dua buah kendang
ukuran kecil, kecapi berdawai 4.
0.157. : penggambaran tokoh bangsawan dan alat musik siter.

2. Relief Lalitawistara – Seri Ia (Deretan Kesatu)


Ia.1 : Tokoh bangsawan menikmati puji-pujian, alat musik yang
digambarkan adalah empat buah kendang silindris lurus, tiga
buah kendang cembung, simbal besar, suling, dan kecapi.
Ia. 32 : Tokoh bangsawan sedang mendengarkan musik. Alat musik
yang digambarkan adalah kecapi, harpa, simbal, dan suling.
Ia.19 : Adegan yang menggambarkan seorang penari wanita dengan
diiringi musik simbal mangkuk, simbal besar, suling, dan
kendang bentuk periuk.
a
I .95 : Adegan yang menggambarkan Mara dan pengikutnya yang
menggoda Bodhisatwa yang sedang bermeditasi dengan
tarian-tarian erotis, diiringi dengan alat musik lima buah
simbal kecil, dua buah kendang silindris cembung.

17
18

Ia.98 : Dalam relief ini digambarkan alat musik yang mungkin dapat
diidentifikasi sebagai saron.

3. Relief Lalitawistara dan Jataka-Awadana – Seri Ib (Deretan Kedua)


Ib.19 : Adegan tokoh bangsawan sedang menyaksikan pertunjukan
tari yang ditarikan oleh penari wanita. Alat musik yang
dimainkan lima buah simbal kecil, sebuah simbal besar,
kendang berbentuk periuk, dan dua buah suling.
b
I .70 : Penggambaran para prajurit yang sedang mengikuti seorang
tokoh mendendarai gajah. Mereka diiringi pula para pemusik
yang membunyikan terompet kha (keong).
Ib.83 : penggambaran sebuah pelaksanaan upacara. Ada pemusik
yang membunyikan kendang silindris dan simbal besar.

4. Relief Lalitawistara dan Jãtaka-Awadãna (Deretan Ketiga) (Seri IBa)


IBa.V.42. : Suatu adegan sandiwara yang dibawakan oleh lima
orang laki-laki. Tampak seorang melambai-lambaikan
sehelai saputangan, sedang tiga orang lainnya
mengangkat tangannya di atas dadanya seolah-olah
menirukan gaya seorang pendengar yang tekun.
Seorang lainnya memainkan sebuah kendang silindris
lurus.
a
IB -XI.46. : Adegan sebuah permainan orkes musik yang
didukung oleh beberapa orang yang tampaknya
berdiri dengan memakai pakaian yang serba mewah,
sedang pemain-pemain musik yang duduk di bawah
kelihatannya terdiri dari orang-orang kebanyakan.
Alat-alat musik yang ada, terdiri dari: tiga buah
simbal kecil, sebuah simbal besar, sebuah kendang
seperti jambangan dan dua buah seruling.
a
IB .XXVI.233a. : Suatu pertunjukan tari yang dibawakan oleh seorang
penari wanita, yang didampingi oleh seorang
pendeta/brahmana yang ikut penari pula. Dengan
diiringi sebuah orkes musik. Alat-alat musik yang
mengiringinya terdiri dari tujuh buah simbal kecil,
sebuah kendang berpasangan. Sayang relief bagian
kanan sudah aus, sehingga tak begitu jelas alat-alat
musik yang sedang dimainkan.
a
IB XXX.260. : Adegan seorang raja dan brahmana berdiri
menyaksikan orang-orang yang berarak-arak
mengusung sebuah rumah-rumahan kecil. Di sebelah
kanan tampak iringi-iringan para pemain musik yang
sedang memainkan musiknya. Alat musik yang

18
19

tampak yaitu: dua buah kendang silindris dan sebuah


simbal besar.
a
IB XXXIV.300. : Suatu adegan tarian dibawakan seorang penari wanita
yang didampingi seorang brahmana (ahli tari). Alat-
alat musik yang mengiringinya yaitu: dua simbal
kecil, sebuah kendang berbentuk pot dan sebuah
seruling.
IBa.XXX.318. : Seorang raja seorang menyaksikan suatu pertunjukan
tari yang dibawakan seorang penari wanita yang
didampingi ahli tari (brahmana). Pertunjukan ini
diiringi sebuah orkes musik, yang terdiri dari sebuah
kendang tangan berpinggang (berukuran kecil),
sebuah seruling, sepasang kendang berbentuk
cembung besar dan sebuah kendang bentuk
jambangan.

5. Relief Lalitawistara dan Jãtaka-Awadãna (Deretan Keempat) Seri


IBb. Keadaan semua relief bagian atas telah hilang.
IBb.I.1 : Melukiskan seorang penari wanita sedang
mempertunjukan kebolehannya. Musik pengiringnya
terdiri dari sebuah kendang berbentuk seperti pot.
IBb.V.30 : Terlihat suatu iringan arak-arakan dengan binatang
gajah ikut serta dalam barisan tersebut. Terlihat alat
kendang dengan alat pukul mengiringi barisan tadi.
b
IB .VII.43b. : Suatu adegan pertunjukan tarian yang diiringi sebuah
grup musik. Alat musik yang mengiringi yaitu:
sebuah kendang yang berpasangan berbentuk
cembung besar, dua buah seruling dan dua buah
simbal kecil.
IBb.VIII.51. : Melukiskan suatu adegan tarian yang dibawakan
seorang penari wanita. Kelihatannya sedang
disaksikan oleh seorang raja atau bangsawan yang
ditemani dua orang puteri, di sampingnya para abdi
sedang duduk menghadap. Alat musik yang ada
yaitu: sebuah kendang berbentuk jambangan, sebuah
kendang berpasangan berbentuk cembung besar
(seperti tong).
IBb.X.65 : Terlihat seorang laki-laki terhormat sedang duduk
dihadap oleh para abdinya. Alat musik yang ada yaitu
sebuah siter bar.
OBb.X.66 : Suatu adegan upacara ritus bagi stupa, yang diberi
hiasan dan diletakkan di atas sebuah batur dengan
diiringi oleh para dayang yang membawa saji-sajian.

19
20

Terlihat seorang biksu sedang khidmat melakukan


sembahyang. Alat musik yang terlihat yaitu: tiga buah
kendang, dua di antaranya berbentuk silindris lurus
dengan alat pukulnya sedang satu di antaranya
berbentuk lebih kecil, sebuah kendang cembung
berukuran sedang.
IBb.XIV.89. : Suatu adegan tari berpasang-pasangan pria dan
wanita, dengan iringan sebuah orkes musik. Alat-alat
musik yang mengiringinya ialah: sebuah (semacam)
calung, sebuah bel/genta bertangkai dengan alat
pukulnya dan sebuah (semacam) gambang dengan
dua buah alat pukul.
IBb.XIV.90. : Suatu adegan pemujaan terhadap Caitya, dimana
terlihat seorang pendeta sedang memberi hiasan
untaian bunga. Dibelakangnya duduk para dayang
yang membawa sesaji dan para abdi melakukan
sembah. Tampak di sebelah kiri pemain musik sedang
mengiringi upacara pemujaan tersebut. Alat musik
yang ada, yaitu: dua buah kendang silindris lurus
yang digantungkan di bahunya dengan alat pukul.

6. Tingkat II Relief Gandawyuha (Deretan keenam) (Seri II) yaitu:


II.I.1. : Adegan di kahyangan. Di mana Budha sedang
menguraikan pelajarannya yang didengar oleh para
pendengarnya. Sedang memberi pelajaran kepada
Budhana. Di sekelilingnya para hambanya sedang
melakukan puji-pujian dengan iringan musik atas
kebesarannya. Alat musik yang mengiringi puji-
pujian itu adalah: dua buah siter-bar, sebuah terompet
dari keong besar, dua buah kecapi bertali tiga, sebuah
simbal berukuran sedang, sebuah wina, sebuah simbal
kecil dan sebuah seruling.
II.IX.18. : Suatu adegan Sãgaramegha (sebagai bhiku) sedang
memberi pelajaran kepada Sudhana. Di dekatnya
turut mendengarkan pula para hambanya. Di sebelah
atas terlihat penghuni surga sedang memainkan
musiknya. Alat-alat musik yang dimainkan, yaitu:
sebuah kendang kecil "berpinggang", sebuah simbal
besar, terompet dari tanduk binatang, sebuah simbal
berukuran sedang, dan sebuah kendang seperti
II.XIII.25 : Sebuah adegan dari Sudhana yang sedang
mendengarkan pelajaran dari Maitroya. Di angkasan
para penghuni surga sedang mengalunkan bunyi-

20
21

bunyian. Alat-alat musik yang dimainkan yaitu:


sebuah kendang cembung berukuran sedang, sebuah
terompet dari keong dan sebuah siter-bar.
II.XXVIII.55. : Adegan Sudaha sedang duduk dihadap para
hambanya. Sedang di angkasa penghuni-penghuni
surga memainkan musiknya. Alat musik yang
dimainkan, yaitu: sebuah kendang "berpinggang"
berukuran besar, dua buah simbal besar, dan sebuah
kendang silindris lurus.
II.LIII.105. : Melukiskan seorang dewi di istana, sedang duduk di
balairung memberi pelajaran kepada Sudhana. Dan di
atas angkasa penghuni surga sedang bermain musik.
Alat-alat musik yang ada, yaitu: sebuah kendang yang
dipanggul berbentuk seperti tong, dan sebuah simbal
berukuran sedang.
II.LVIII.116. : Suatu adegan dari dewi Wasanti yang sedang duduk
di paseban, memberi 'penerangan' kepada Sudhana.
Alat musik yang ada, yaitu: sebuah siter-bar.
II.LIX.118. : Dilukiskan seorang Brahmana duduk memberi
pelajaran kepada Sudhana. Sementara itu penghuni-
penghuni surga memainkan musik. Alat-alat musik
yang ada, yaitu: sebuah kendang bentuk seperti tong
berukuran sedang, dua buah simbal kecil.
II.IX.120. : Suatu adegan di kahyangan, dimana Surendrãbhã
sedang memberi pelajaran kepada Sudhana. Alat
musik yang, yaitu: sebuah siter-bar dan terompet dari
keong.
II.LXI.121. : Adegan Sudhana sedang menghadap Wicamitra,
sementara itu di angkasa terlihat seekor kinnara
membawa alat musik siter-bar.
II.LXI.122. : Lukisan dari Sudhana yang sedang mendengarkan
pelajaran dari Surendrã. Di angkasa para penghuni
surga memainkan musiknya. Alat musik yang dipakai
sebagai pengiring, di antaranya: sebuah kendang
berbentuk seperti tong, sebuah kendang tangan
'berpinggang', sebuah simbal ukuran sedang dan
sebuah kecapi bertali tiga.
II.XXII.124. : Suatu adegan dimana Sudhana sedang mendengarkan
wejangan dari Brahmana Siwirãtra. Sementara di
angkasa terlihat seekor kinnara membawa sebuah
siter-bar.
II.LXIII.126. : Adegan pemujaan terhadap bangunan suci, dimana di
sebelah kanan terlihat Sudhana sedang duduk

21
22

berjongkok menghadap bangunan tersebut.


Sementara di awan terlihat di antara penghuni surga
sedang memainkan musiknya. Alat-alat musik yang
dimainkan, yaitu: sebuah siter-bar dan sebuah simbal
berukuran kecil.
II.LXIV.128. : Suatu adegan pemujaan terhadap Maitreya, di kanan-
kirinya para abdi dalem dalam sikap hormat sedang
menghadap, di antaranya para dayang yang
membawa sajian buat Maitreya. Sementara itu terlihat
ensambel musik memainkan musik-musiknya. Alat-
alat musik yang ada, yaitu: sebuah simbal besar yang
berukuran sedang, sebuah kendang bentuk seperti
tong berukuran sedang, sebuah kendang
berpasangan, dua buah kecapi bertali tiga dan sebuah
bertali dua.

7. Relief Gandawyuha (Deretan Keenam) Seri II B:


II.B.IX.44. : Suatu pertunjukan tarian berpasangan yang
dibawakan para penari wanita yang diiringi oleh
sebuah orkes musik. Pertunjukan itu disaksikan oleh
seorang raja beserta empat orang isterinya, yang
duduk di balairung. Alat-alat musik yang
mengiringinya, yaitu: sebuah seruling, sebuah
(semacam) gambang, sebuah kendang berbentuk
jembangan, dua buah simbal kecil.
II.B.X.53b. : Sebuah iring-iringan dimana tampak diantaranya
seorang pendeta. Iring-iringan tersebut membawa
sebuah peti besar yang diusung oleh dua orang laki-
laki. Tampak dibelakangnya seorang laki-laki
memukul kendang yang berbentuk silindris lurus.

8. Tingkat III Relief Gandhawyuha (Deretan ketujuh, delapan,


sembilan) Seri III)
III.III.5. : Suatu adegan seorang raja sedang dihadap oleh para
pembantunya, duduk di tempat batur yang agak
tinggi. Alat musik yang ada, yaitu: sebuah siter-bar,
dan terompet dari keong yang besar.
III.XII.24. : Seorang raja sedang dihadap para pembantu dan abdi
dalem, sementara di angkasa terlihat penghuni surga
membawa sebuah siter-bar.
III.XXV.50. : Melukiskan seorang raja sedang menyaksikan sebuah
arak-arakan yang di dalamnya terdapat sebuah orkes
musik sedang memainkan musiknya. Arak-arakan itu

22
23

kelihatannya sangat meriah, terbukti dengan


dibawanya serta beberapa panji-panji serta terlihat
seekor gajah ikut serta di dalam barisan tersebut. Alat-
alat musik yang ada yaitu: sebuah simbal besar,
sebuah terompet keong, dua buah kendang silindris
lurus dengan alat pukulnya, sebuah kendang
berbentuk tong berukuran sedang.

9. Relief Gandwyuna dan Bhadracari (Deretan kesepuluh (Seri IV)


IV.IV.7. : Suatu adegan puji-pujian terhadap sang Budha, puji-
pujian tersebut diiringi dengan berbagai bunyi-
bunyian. Alat-alat musik yang ada sebagai pengiring,
yaitu: empat buah kendang silindris lurus (satu di
antaranya berbentuk kecil), sebuah kendang dengan
alat pukulnya, sebuah kendang berbentuk seperti tong
berukuran sedang, dua buah genta bertangkai dengan
alat pukulnya, tiga buah terompet bambu, sebuah
seruling, dan sebuah kendang tangan 'berpinggang',
dan sebuah simbal besar berdawai tiga, simbal
mangkuk, simbal besar, dan suling. Sedangkan pada
bidang dalam yaitu yang melukiskan cerita Ramahaya
hanya ada satu panil yang menggambarkan adegan
tari dan alat musik kendang.
Dari relief yang sudah dibicarakan di muka diperoleh suatu
gambaran umum tentang seni pertunjukan secara visual yang dapat
dikaitkan dengan keterangan tertulis. Dari relief pun tampak jelas bahwa
musik Jawa kuno dapat dibagi menjadi kelompok membranophone,
chordophone, idiophone, dan merophone. Kendang yang dalam sumber
prasasti disebut dengan berbagai nama, di dalam relief juga dijumpai
kendang dalam berbagai bentuk seperti silindris lurus, cembung.
Demikian pula simbal yang disebut dengan berbagai nama dalam prasasti
juga dapat ditemui bermacam bentuk simbal dalam relief. Yang masih
sulit dilakukan adalah untuk mensejajarkan antara masing-masing nama
alat musik dalam prasasti dan kitab sastra dengan masing-masing
bentuknya yang terdapat dalam relief.
Informasi yang menarik yang diperoleh dari relief adalah bahwa
ada dua kelas masyarakat seniman yaitu seniman dari kalangan atas dan
seniman dari kalangan bawah (rakyat biasa). Hal ini tampak jelas
dilukiskan oleh relief pada candi Borobudur. Instrumen musik yang selalu
khas digambarkan dalam konteksnya dengan masyarakat bangsawan
adalah siter, kecapi, dan harpa. Instrumen-instrumen tersebut jarang
sekali dilukiskan dalam konteksnya dengan masyarakat bawah. Pada seni

23
24

pertunjukan yang dilaksanakan oleh rakyat bawah, instrumen musik yang


digunakan pada umumnya jenis kendang dan simbal.
Dalam hal seni tari diketahui ada jenis tarian tunggal dan ada pula
tarian berpasangan. Tarian dilakukan oleh penari wanita maupun penari
pria. Menurut hasil penelitian Edi Sedyawati (1985:3-11) ternyata kaidah-
kaidah tari klasik Hindu (di India) dikenal benar di Jawa Tengah abad
VIII – X Masehi.
Melihat konteksnya tari-tarian pada relief candi Jawa Tengah yang sesuai
dengan kaidah tari India Klasik digambarkan selalu dalam hubungan
dengan lingkungan orang bangsawan atau orang berada. Sebaliknya, di
kalangan rakyat kebanyakan, digambarkan tari-tarian yang tidak
mengikuti kaidah tari India klasik.

Seni Pertunjukan Periode Abad X-XVI


Sumber Prasasti
Prasasti Kakuragan 945 Saka (26 September 1023)
Dalam prasasti ini hanya ditemukan istilah widu mangidung dan
istilah 'wnang angungkunga curing':
VI.a.2. …wnang a
3. manabuh curing siang malam …

Prasasti Gandakuti 964 Saka (24 Nopember 1042)


Prasasti ini pun hanya menyebut: 'angungkunga acuring tlung wngi'
–"(diijinkan) menabuh curing tiga malam".
Prasasti Pupus 1022 Saka
Di dalam prasasti ini dijumpai istilah:
Ib.14. "… apadahi si manunggang abãnol si barangkung menmen si nung
wineh
IIa.1. wdihan syani himihimi brat mã 4 ing sowangsowang citrakara
maraket sowati wineh ma 10
Artinya: "…pengendang bernama si Manunggang, pelawak bernama
si Barangkung, pengamen bernama si Nung diberi bebed wdihan
syani himihimi (?) seberat 4 masa masing-masing, Citrakara pemain
topeng Sowati diberi (seberat) 10 masa.
Selain keterangan tersebut juga dijumpai keterangan tentang 'juru bãnol',
sebagai anggota Sang mangilala drbya haji.

Prasasti Tuhañaru 1245 Saka (13 Desember 1323)


Di dalam prasasti ini disebutkan adanya ijin yang berhubungan
dengan seni pertunjukan:
VIIIa.2. "…tuhu nikang kinawnangaken samāsanak ing tuhañaru muang
kusambyan
3. …curing kinangsyan, …apangharêp gênding

24
25

VIIIb.3. anggênding gênding …"


Data-data yang dapat diperoleh dari prasasti tersebut antara lain: curing
kinangsyan dan gending.

Prasasti Waharu III (tidak berangka tahun)


Dalam prasasti ini juga masih ditemukan istilah: curing dan menmen
dalam kaitannya dengan anugrah raja.
VIIIb.3. …muwah anugraha pāduka
4. sri mahārāja ri wnanga dyah kaki para warga akolahulahana.
Acuringa rahina sawegong
Artinya: "…dan anugrah paduka sri maharaja akan kewenangan
dyah kaki (dan) para warga untuk melaksanakan (menabuh)
curing sepanjang siang".

IVb.3. …mwang ananggapa me


4. n men ring galanggang.
Artinya: … dan (diijinkan) menanggap pertunjukan ngamen di
gelanggang.
Prasasti Leran (tidak berang tahun)
Dalam prasasti ini juga disebutkan anugrah yang berupa
kewenangan untuk menabuh curing:
IIIb.2. kunêng anugraha bhatara wisnu irika anungkunga curing sawngi
rwang wngi
Artinya: "adapun anugrah dewa Wisnu (adalah) menabuh curing
semalam dua malam".

Prasasti Panumbangan 1062 Saka (1140 M)


Dalam prasasti tersebut masih dijumpai pula ungkapan 'wnang
ananggapa men men' kewenangan untui menanggap men men. Selain itu
diterangkan bahwa 'widu mangidung' sebagai anggota sang mangilala drbya
haji.

Prasasti dari desa Kemulan (Trenggalek) tahun 116 Saka (1194 M)


Prasasti Kemulan juga menyebutkan bahwa 'widu mangidung'
adalah watêk i jro (golongan dalam) dan ungkapan yang berhubungan
dengan kewenangan menabuh curing. Ungkapan yang sama ternyata juga
ditemukan dalam prasasti raja Srangga (OJO LXXVII) yaitu kewenangan
'angungkunga curing'.
Dari kutiban prasasti-prasasti masa klasik Jawa Timur tersebut
tampak jelas bahwa kehidupan seni pertunjukan periode abad X – XVI
relatif sama dengan masa sebelumnya. Suatu hal yang menarik adalah
ungkapan 'wnang angungkunga curing' yang banyak disinggung. Hal
tersebut mungkin menunjukan betapa pentingnya instrumen 'curing'

25
26

ketika itu. Instrumen gamelan yang disebut dalam prasasti sampai abad
XVI adalah: padahi, curing, kangsi. Adapun pertunjukan yang lain adalah:
abãnol, widu, mangindung, dan gending.

Kitab Kesastraan
Jaap Kunst (1968:93-117) telah membuat tabel nama alat-alat musik
gamelan dari berbagai kitab kesastraan. Dari berbagai nama alat musik
tersebut ada yang belum dijumpai di dalam sumber-sumber tertulis abad
X dan sebelumnya. Di antara nama yang baru ditemukan pada masa
sesudah abad X adalah:
gerantung gong Tarayan redep mongmong
selukat sundari Ronji gamelan gubar
selunding tabang-tabang rojeh barebet
kamanak bende reyong
saragi guntang calung

Dari beberapa contoh nama instrumen gamelan tersebut jelas


bahwa gamelan sebagai satu ansambel agak lengkap.11 Ada beberapa
instrumen yang sampai sekarang masih dapat dijumpai di Jawa maupun
di Bali. Nama 'salunding' sudah ada sejak abad XII.12 Meskipun gong baru
dijumpai secara jelas sebagai alat musik pada abad XII bukan berarti
bahwa masa sebelumnya belum ada. Menuruit berita Cina, gong sudah
ada dan digunakan sebagai musik mengiringi raja pada jaman Mataram
Hindu (Groeneveldt, 1960). Kamanak dan gerantung juga sudah dikenal
sejak abad XII Kitab Nāgarakrtāgama (1365 M).
Kitab Nāgarakrtāgama adalah kitab puja sastra yang digubah oleh
Mpu Prapanca. Meskipun sebagian besar syairnya menceritakan
perjalanan keliling raja Hayam Wuruk (Majapahit) namun ada beberapa
pupuh yang memuat tentang seni pertunjukan masa Majapahit.13
Pupuh 27:2. Tan tunggal tikanang wilāsa ginawe naréndrā kasukhan,
sing wastwasunga tustacitta rikanang pradesa
winangun,
baryyan karaktan sramasrama maweh jngêr ning umulat,

Berbagai-bagai permainan diadakan demi kesukaan,


berbuat segala apa yang membuat
gembira penduduk menari topeng, bergumul,
bergulat, membuat orang kagum,

Pupuh 31:3 mrdangga padahātri megêliglan magingan dina


genderang dan kendang bergetar mengikuti
gerak tandak,

26
27

Pupuh 65:1 enjing purnnamakāla kālani wijilnira pinark


i madyaning sabhā,
ghurnnang kahala sāngka lan padaha ganjaran i
harp asangkya mangdulur,

Pagi purnamakala arca bunga dikeluarkan untuk


upacara,
gemuruh disambut dengan dengung salung, tam-
bur, terompet serta genderang

Pupuh 66:5 nang wduwamañcangah rakêt anganti sahāna


para gitada pratidina

Nyanyian, wayang, topeng silih berganti setiap


hari dengan paduan suara

Pupuh 84:2 ghurnang padata mrdangga trutika dudung sãng-


ka tarayan atri

Mengguntur gaung gong dan salung disambut


terompet meriah sahut-menyahut

Pupuh 87:2 rikā nggwan sri nãthan parahita maweh netrã-


wisaya, hanan prang tanding prang pupuh i-
kang atembok kanin adu,

Di situlah Baginda memberi rakyat santapan


mata: pertunjukan perang tandaing, perang pu-
kul desuk mendesuk

Pupuh 91:4 ãn para handyan ãpti miha- te siran arakhet


Rakhet,
bahwa para pembesar ingin beliau menari topeng,

Pupuh 91:5 sri krtawarddaneswara memañjaki sira rumuhun,


ngkãna rika witana ri tngah rinacana dinadak,
sorinireki susrama nirukti lituhayu waged,
gita nikanghiribhirib aweh rsepaning umulat,

Sri Kertawardana tampil ke depan menari pan-


jak, bergegas lekas panggung disiapkan di
tengah mandapa,

27
28

Sang permaisuri berhias jamang laras menyanyi-


kan lagu,
luk suaranya mengharu rindu, tingkahnya me-
mikat hati

Dari kutipan Nagarakrtagama tersebut diperoleh gambaran bahwa seni


pertunjukan yang ada adalah seni musik (gamelan), seni tari, wayang,
topeng, dan seni suara.
Beberapa instrumen musik yang disebut dalam Nagarakrtagama
adalah padaha, mrdangga, kahala sangka, gong, tarayan, trut, gañjuran, bubar
(gubar). Tarayan juga sudah disebut di dalam kitab Sumanasantaka (dari
masa Kediri). Tarayan dan trut adalah sejenis terompet. Sementara itu
yang dimaksud deganjuran belum jelas benar, mungkin termasuk dalam
kelompok membranophone. Gubar diperkirakan jenis simbal dalam perang
(Juynboll, 1923).
Dengan berdasar pada data-data seperti telah terkutip di muka,
maka dapat dijelaskan bahwa macam seni pertunjukan pada periode abad
X – XVI tidak terlalu jauh bedanya. Yang tampak jelas adalah perbedaan
perbendaharaan instrumen gamelan lebih banyak. Hal tersebut terlihat
juga dalam pelukisannya pada relief candi.

Sumber Relief
Candi Jago (abad XIII):
Instrumen musik yang ada pada relief di candi Jago adalah kelompok
chordophone yang berupa kecapi berleher panjang dan celempung.

Candi Ngrimbi (abad XIII):


Berbeda dengan di candi lain, pada candi Ngrimbi terdapat relief reyong.

Candi Kedaton (abad XIV):


Pada candi Kedaton dilukiskan gong besar

Candi Tegawangi (abad XIV):


Pada candi Tegawangi dilukiskan relief kendang silindris panjang.

Candi Jawi (abad XIII):


Pada candi Jawi hanya ditemukan relief terompet
Candi Panataran (abad XIV):
Instrumen musik yang digambarkan pada candi ini adalah gong, bendhe
(gong kecil), kemanak, genderang, semacam gambang reyong, dan simbal.

Candi Sukuh (abad XV):


Instrumen musik pada candi Sukuh adalah bendhe dan terompet.

28
29

Candi Penanggungan (abad XV)


Pada asalah satu bangunan di lereng penanggungan ada relief yang
menggambarkan wina.
Setelah dikumpulkan data-data tentang seni pertunjukan pada
periode abad X – XV maka dapat diuraikan sebagai berikut.

Seni Musik (Gamelan)


Istilah gamelan untuk menyebut seni musik ditemukan dalam
naskah Sri Tanjung. Kidung Sorãndaka, Kidung Pamañcangah dan
Bharatayudha. Demikianlah dapat dikatakan bahwa mulai abad XII istilah
gamelan terus disebut-sebut sampai masa-masa berikutnya sampai
sekarang. Sedangkan istilah gangsa yang dikaitkan dengan musik ada
pada abad XIII awal yaitu di dalam kitab Smaradahana. Sebenarnya kata
gangsa yang dalam bahasa Jawa baru berarti gamelan adalah
perkembangan atau perubahan dari kata kamsa, kangsa (Sanskrta) yang
sudah disebut pada abad IX atau X, yang berarti 'perunggu'.
Sampai pada abad XV instrumen 'curing' masih selalu disebut.
Bahwa ungkapan yang tetap adalah 'wnang anggungkunga curing' disebut
dalam prasasti. Nama 'reyong' yang sebelumnya tidak ada, mulai abad
XVI disebut dalam sumber tertulis. Meskipun demikian keberadaannya
sudah ada pada abad XIV. Demikian pula 'rojeh' mulai disebut pada abad
XII. Tuwung yang sudah dikenal sejak abad X ternyata sampai abad XVI
masih disebut. Masih banyak instrumen musik yang perlu dibicarakan.
Namun dari data yang sudah terkumpul tersebut secara sekilas terlihat
adanya perkembangan instrumen musik secara kwantitatif. Tentu saja
perkembangan secara kuantitatif tersebut juga dibarengi dengan
perkembangan secara kualitatif.
Secara fungsional, seni musik masa itu dipakai untuk mengiringi
seni pertunjukan yang lain dan untuk pertunjukan yang lain dan untuk
pertunjukan tunggal dalam arti tidak untuk mengiringi atau melengkapi
pertunjukan yang lain.

Seni Tari
Pertunjukan tari yang dapat dikenali dari sumber yang ada adalah:
tari Topeng, tari Pinjak, pertunjukan tari dengan ngamen. Adanya tari
topeng dibuktikan oleh kata 'rakêt dalam Nagarakrtagama dan prasasti
tahun 1100 M. Istilah 'panjak' dapat berarti penabuh gamelan untuk
mengiringi tari. Dalam pertunjukan tari topeng mungkin sekali juga
menggunakan dialog. Di dalam sumber tertulis yang lain yaitu kitab
Wangbang Wideya disebutkan jenis pertunjukan rakêt bernama ‘rakêt
lêngkara':
"ndan linge pukulun lemah telampakanira milwa

29
30

aningalana raket lalangkaran lingnira raden


mantri/ (I:60a)
nenggeh ta gambuh anyar pangraketira apañji
wireswara punang linuhung meneng raden Warastra-
sari/" (I:60b)

Artinya:
"Ia berkata: Yang mulia hendaknya menonton raket lelangkaran.
Kata raden Mantri, sungguh pertunjukan tersebut adalah sejenis
gambuh, dan pertunjukan topeng oleh panji Wiraswara adalah
pertunjukan yang terbaik". Raden Warastrasari tidak berkata
apa-apa.

Menarik pula bahwa ronggeng pun telah ada pada sekitar abad XVI. Di
dalam kitab Kidung Sunda (3:49) dikatakan: "ronggeng solahe angrawit,
pawayangan asri lawan patapelan". Pertunjukan menmen yang sudah ada
sejak abad X masih berlanjut sampai masa Jawa Timur.

Seni Pertunjukan Wayang


Kalau pada abad X sudah ada pertunjukan wayang maka tentu saja
pertunjukan wayang masih berlangsung sampai masa berikutnya
khususnya naskah sastra banyak menyebut tentang pertunjukan wayang.
Bahkan menarik untuk disinggung adalah tentang wayang Cina.14 Istilah
tersebut muncul dalam naskah yang lebih muda seperti Malat dan
Nawaruci. Di dalam Nawaruci misalnya, dikatakan: 'anggambuh,
amañcangah, alalangkaran mwang awayang Cina".
Di dalam Malat disebutkan: 'amañcangah, angringgit cina'.
Hal tersebut menunjukkan bahwa wayang cina sudah masuk ke Jawa
sekitar abad XVI atau XVII.

Seni Suara
Sehubungan dengan perkembangan seni sastra yang pesat pada
masa itu yaitu mulai jaman Kediri, memungkinkan pula membawa
perkembangan seni vokal. Seniman yang disebut 'widu' dan 'mangidung'
dalam prasasti abad IX – X masih dijumpai pada prasasti abad XII. Di
dalam Nagarakrtagama pun masih pula disebut. Kalau pada masa yang
lebih tua disebut istilah 'widu mangidung' maka dalam masa Majapahit
dikenal 'widu amancangah' (Nag. 66:5b). Pigeaud menterjemahkan kata
tersebut sebagai 'story-tellers' (Pigeaud, 1960-1963, vol. III:78). Menurut
Stuart O. Robson (1971:18-19) menjelaskan bahwa 'widu mangidung'
adalah orang yang tugasnya bercerita tentang kesabaran raja.

30
31

Lawak
Pertunjukan lawak dengan istilah 'abãnol' masih ditemukan dalam
prasasti abad XI. Istilah amirus seringkali diterjemahkan sebagai
'melawak'. Bahkan untuk menarik tawa para penonton sering dengan
lawakan yang berbau porno seperti terungkap dalam kitab
Sumanasãntaka (CXIII:6):
pirus-amirus men-men denyamet pacêh acêmêh
rabi nika bisa pantes denyabhawa kamangêyêh
laki nika mulat angdreêng kahyunhyun mangungas-ungas
kadi wedus anut anjyan yan tengā teka muringis

Artinya kurang lebih (Sukarto K.Atmodjo, 1979):


Bermain pirus (lawak) dan menmen (topeng) ia berusaha
orang tertawa cabul,
isteri tersebut pandai sekali membawakan peranan
(tontonan) asmara,
para lelaki (suami) melihatnya dan terangsang terengah-
engah,
bagaikan seekor kambing yang dikawinkan (ketakutan)
datang dengan mulut meringis

Istilah: mawayang buat hyang yang berati 'pertunjukan wayang untuk


hyang (dewa atau nenek moyang). Jelaslah bahwa pertunjukan tersebut
merupakan pertunjukan yang bersifat sakral.
Selain itu pertunjukan masa Jawa kuno juga ada yang semata-mata
bersifat hiburan. Hal ini tercermin dalam uraian tentang upacara sradha di
kerajaan Majapahit oleh Raja Hayamwuruk. Dalam kesempatan tersebut
disajikan berbagai tontonan untuk menghibur rakyat. Pada abad X
tontonan yang bersifat hiburan semata (profan) adalah 'rara mabramana
tinonton' yaitu pertunjukan keliling yang dilakukan oleh para gadis
(tledhek mbarang). Istilah 'menmen' mungkin sekali juga termasuk jenis
tontonan yang bersifat hiburan. Kata ‘menmen’ masa sekarang ini menjadi
seniman ngamen
Pada masa Bali kuno disebutkan istilah 'ambaran' yang berarti juga
pertunjukan keliling yang sekarang disebut menjadi kata ‘barangan’. Di
dalam prasasti Julah dari Raja Anak Wungsu yang bertarikh 1065 M
disebutkan adanya dua jenis seni pertunjukan yaitu untuk raja dan
pertunjukan keliling dari desa ke desa. Mereka juga mendapat honor,
hanya saja seniman yang mengadakan pertunjukan untuk raja (golongan
atas) upahnya lebih tinggi dari pada seniman keliling. Patulak (upah)
untuk agêndhing i haji yang datang ke desa Julah sebesar 1 mā (māsa);
sedangkan untuk agênding ambaran hanya sebesar 2 ku (kupang), dimana 1
masa = 4 kupang. Jumlah 1 masa sama dengan emas sekitar 2,48 hram dan

31
32

1 kupang sama dengan sekitar 0,60 gram. Kutiban kalimat dalam prasasti
Julah tersebut adalah: …mangkana yan hana bhandagina salwiranya
maranmak irikanang karāman i julah sadhikara, yan pagênding i haji ma 1
paweha iriya agênding ambaran ku 2 paweha iriya (…demikianlah kalau ada
rombongan kesenian dan semacamnya datang ke desa Julah, apabila
pagênding i haji supaya diberi 1 masa dan untuk agending ambaran 2
kupang). Pagêndhing i haji adalah pertunjukan untuk raja sedang agênding
ambaran adalah untuk rakyat biasa. Selain itu dalam prasasti Bali kuno
disebutkan juga adanya dua jenis pertunjukan wayang yaitu: awayang i
haji dan awayang ambaran (Sukarto, 1979).
Meskipun pertunjukan kesenian di Jawa kuno tidak disebutkan
adanya dua jenis seperti tersebut di dalam sumber prasasti ataupun
naskah sastra, namun kemungkinan pembagian menjadi dua golongan
untuk raja dan untuk rakyat juga ada. Sehubungan dengan hal tersebut
maka seniman dan seniwatinya pun ada dua golongan yaitu seniman
golongan keraton dan seniman golongan rakyat. Prasasti-prasasti abad IX-
X menyebutkan dengan tegas bahwa seminan seperti widu mangidung,
mapadahi, dan yang lainnya adalah termasuk 'watĕk i jro' golongan dalam
(kraton) atau seniman 'jeron beteng'. Dari namanyapun terlihat seperti:
mamidu sang tangkil … mamidu yang bernama Sang Tangkil. Nama Sang
Tangkil jelas menunjukkan nama untuk orang golongan atas karena
dengan kata sandang 'sang'. Sementara itu untuk seniman dari kalangan
rakyat biasa seperti 'rara mabramana tinonton' adalah gadis dari desa.
Namanya adalah si Rumpuk menunjukkan nama rakyat golongan bawah,
dengan kata sandang: si.
Demikianlah sekilas tentang seni pertunjukan yang dapat
diungkapkan melalui data-data arkeologis.

Catatan:
1. Bidang-bidang seni tersebut menurut Koentjaraningrat adalah seni
rupa yang terdiri atas: seni bangunan, arca, relief, lukis, rias, kerajinan,
olah raga. Adapun seni suara termasuk: seni vokal, instrumental, dan
seni sastra yang dibagi dalam prosa dan puisi. Seluruh bidang seni
rupa ditambah dengan seni vokal dan instrumental akan membentuk
seni tari.

2. Masa Jawa Kuno di dalam sejarah kebudayaan sering disebut dengan


masa Hindu Budha atau masa klasik. Masa tersebut dibagi menjadi
dua periode yaitu masa Klasik Tua (abad VII – X) dan masa Klasik
Muda (XI – XVI).

3. Sang mangilala drwya haji adalah petugas kerajaan yang tugasnya


mengumpulkan pajak atau penghasilan untuk kerajaan. Petugas

32
33

tersebut jumlahnya cukup banyak dan mereka sering disebut sebagai


'watek i jro'.

4. Ma adalah kepangan dari māsa. Emas 1 masa = sekitar 2,48 gram.

5. Dha adalah singkatan dari dharana ukuran berat untuk perak.

6. Kata 'mangigel kicaka' dapat berarti 'menari kicaka'. Dalam wayang


sekarang ada nama tokoh ‘Kencaka’, mungkinkah nama tersebut dari
‘kecaka’?
7. Kata "mrdangga" kemudian menjadi kata 'pradangga' bahasa Jawa baru
yang berarti para niyaga atau penabuh gamelan.

8. Pada seni musik moderen dikenal nama 'Garputala'.

9. Selain merdangga di India dikenal berbagai macam kendang: pakhawaj,


nagara, bheri, damaru, tabla.

10. Istilah 'laya' masih dipakai dalam seni karawitan sekarang.

11. Untuk penjelasan masing-masing instrumen gamelan periksa Jaap


Kunst (1968). Tentang 'kemanak' periksa karangan Jaap Kunst, "The
Origin of the Kemanak" BKI CXVI, 1960: hlm. 263-269.

12. Di Bali gamelan slonding adalah gamelan sakral terbuat dari logam besi
dan terdapat di Karangasem, di Tenganan Pagringsingan, dan di
Bongaya. Dalam prasasti Bulihan di Bali tahun 1181 M telah
disebutkan adanya gamelan salunding wsi. Sementara pendapat
mengatakan bahwa kata slonding berasal dari kata salon dan ning yang
berarti tempat suci, atau dari kata saron dan ding. Menurut hemat kami
kata slonding berasal dari kata selunding.
13. Teks Negarakrtagama dikutip dari edisi tahun G.th. Pigeaud, Java in
the 14 th century. Vol. I (The Hague: M. Nijhoff, 1960. Terjemahan
dikutip dari Slamet Mulyono, Nagarakrtagama dan Tafsir Sejarahnya
(Jakarta: Bhratara, 1979).

14. Pada masa klasik muda abad XII bentuk wayang kulit sudah jelas
yaitu dari kulit yang diukir sebagaimana diuraikan di dalam kitab
Arjunawiwaha dari masa Airlangga.

33
34

KEPUSTAKAAN

Diah Purwanti, 1985, Seni Tari pada Relief Cerita Jata-Awadana Candi
Borobudur. Skripsi Sarjana Muda Jurusan Arkeologi, Fak. Sastra
UGM Yogyakarta.

Dwi Anna Sitoresmi, 1984, Alat Musik di Jawa Tengah dalam Periode Klasik
(Abad IX – X). Skripsi Sarjana Jurusan Arkeologi Fak. Sastra UGM
Yogyakarta.

Edi Sedyawati, 1985, Pengaruh India pada Kesenian Jawa: Suatu Tinjauan
Proses Akulturasi. Dalam Soedarsono dkk (ed.) Pengaruh India, Islam
dan Barat dalam Proses Pembentukan Kebudayaan Jawa. Proyek
Javanologi.

Groeneveldt, W.P. 1960. Historical Notes on Indonesia and Malaya Compiled


From Chinese Sourcea. Djakarta: Bhratara.
Haryono, Timbul. 1985, Instrumen Gamelan dalam Relief Candi di Jawa.
Dalam Soedarsono dkk (ed.), Pengaruh India, Islam dan Barat dalam
Proses Pembentukan Kebudayaan Jawa. Proyek Javanologi, halm. 15 –
48.
___________, 1986, Kendang dalam Dimensi Waktu, Ruang dan Bentuk,
Proyek Javanologi, Yogyakarta.

___________. 2004 Seni Pertunjukan Jawa Kuno. Yogyakarta: Pustaka Raja

Israr, C., 1955, Sejarah Kesenian Islam I, Djakarta: PT Pembangunan.

Jacobson dan J.H. Van. Hasselt., 1975, The Manufacture of Gongs in


Semarang. Indonesia No. 19. Hlm. 126 – 161.

Juynboll, H.H., 1923, Oud-Javaansch-Nederlandsche Woordenlijst. Leiden.

Koentjaraningrat. 1974. Kebudayaan Mentalitet dan Pembangunan. Jakarta:


Gramedia.

Kunst, Jaap, 1968, Hindu-Javanese Musical Instruments. The Hague: M.


Nijhoff.

Panji, Drs. I G B N., 1979, Ensiklopedia Musik dan Tari Daerah Bali. Jakarta:
Proyek Penerbitan Buku Bacaan dan Sastra Indonesia dan Daerah.

34
35

Popley, H.A., 1950, The Music of India. Calcutta: YMCA Publishing House.

Robson, Stuart, O., 1971, Wangbang Wideha. Proefschrift. 's-Gravenhage

Stutterheim, W.F., 1940, Oorkonde van Balitung uit 905 AD (Randoesari I).
Dalam Inseripties van Nederlandach Indie I, halm. 3 – 28.

Sukarto K. Atmodjo, 1979, Struktur Masyarakat Jawa Kuna pada Jaman


Mataram Hindu dan Majapahit, Laporan Penelitian Pusat Penelitian
dan Studi Pedesaan & Kawasan Universitas Gadjah Mada,
Yogyakarta.

Titi Surti Nastiti, dkk., 1982, Tiga Prasasti Masa Balitung, Jakarta:
Puslitarkenas.

Van Naerssen, F.H., 1937, Twee Koperen Oorkonde van Balitung in het
Kolonial Instituut te Amsterdam, BKI, XCV: 444-461.

Walker, Benjamin, 1983, Hindu World. Vol. II New Delhi: Munshiram


Manoharlal Publishere pvt, Ltd.

Zoetmulder, P.J., 1982, Old-Javanese – English Dictionary. 2 Jilid. 's-


Gravenhage: M. Nijhoff.

_________, Kalangwan Sastra Jawa Kuno Selayang Pandang. Jakarta:


Djambatan.

35

Anda mungkin juga menyukai