2
3
3
4
d. ngidung mapadahi sambal sumbul hulun haji amrsi watak i jro ityewamādi
kabeh tan katamana ikanang sīma…
Dari kalimat tersebut, kata yang menunjukkan adanya jenis seni
pertunjukan adalah kata ‘widu mangidung’ dan ‘mapadahi’. Widu
mangidung dapat diterjemahkan dengan penyanyi wanita. Kata ‘widu’
sekarang ini berubah menjadi ‘biduan’. Adapaun kata ‘mapadahi’ berasal
dari kata ‘padahi’ yang berarti ‘kendang. Kutipan tersebut menunjukkan
dengan jelas bahwa 'widu mangidung’ dan ’mapadahi’ termasuk dalam
'watak i jro' yaitu golongan dalam (abdi dalem).
Dalam prasasti Waharu I (B) diperoleh keterangan pula bahwa
seniman mapadahi (pengendang) hadir dalam upacara penetapan sima dan
melakukan tugasnya menabuh kendang setelah acara pesta makan:
"sakrama ni manadah ring dangu umangse ta jnu skar, manabêh ta sang
mapadahi".
Artinya: "setelah mereka selesai makan demikian lama, kemudian jnu
skar (?) maju dan sang penabuh kendang menabuh instrument
musikknya.
Prasasti Kwak I (Ngabean II) tahun 801 Saka (27 Juli 879)
Prasasti Kwak yang berasal dari desa yang sama dengan prasasti
Mulak di atas berupa 1 lempeng tembaga. Dari prasasti tersebut diperoleh
pula informasi tentang seniman yang hadir dalam upacara sima:
I.b.3… tuha padahi si dhanam/maregang si sukla/mangla
4. si buddha/madang si kundi/mawuai si pawan kapua wineh mas mā 1
wdihan ragi yu 1 sowang sowang.4
Artinya:
3."… pimpinan pengendang, bernama Si Dhanam, penabuh rêgang (kecer)
(bernama) si Sukla/
4. tukang masak sayur (bernama) si Buddha, tukang menanak nasi
(bernama) si Kundi, tukang memasak air (bernama) si Pawan
semuanya diberi emas 1 mãsa dan kain wdihan ragi 1 pasang
masing-masing.
4
5
Dalam kutiban tersebut selain seniman tuha padahi juga seniman yang
lain yaitu 'marêgang’ (penabuh regang – simbal atau kecer?).
5
6
Artinya
13. "…penabuh padahi penabuh tuwung (bernama) si Pati
14. ayahnya Turawus penduduk desa Rapoh diberi kain 1 yugala dan
emas 1 mãsa 1 kupang, dan penabuh padahi (bernama) Syuha
ayahnya Wakul penduduk desa Hinangan wilayah Luwakan diberi
emas 2 kupang, penabuh regang (bernama) si Wicar ayahnya
Wisama penduduk desa
15. Hijo wilayah Luwakan diberi kain 1 yugala dan emas 1 masa //
penari topeng ada 2 (bernama) si Mala penduduk desa Sawyan
wilayah Kiniwang dan Si Parasi penduduk desa Tira wilayah
Medang, semuanya diberi emas 1 masa.
16. Masing-masing, juru pelawak ada 2 (bernama) si Lugundung
penduduk desa Rasuk wilayah Luwakan dan si Kulika penduduk
desa Lunglang wilayah Tnep semuanya diberi kain 1 yugala dan
emas 6 mãsa
17. untuk 2 orang juru
6
7
7
8
Prasasti Wukajana
Prasasti ini tidak berangka tahun, akan tetapi berdasarkan bentuk
huruf diperkirakan berasal dari masa Balitung (van Naerssen, 1937: 444-
446). Uraian tentang pertunjukan yang dipentaskan dalam upacara
penetapan sima adalah:
9. "…hinyunakan tontonan mamidu sang tangkil hyang si nalu macarita
bhimma kumara mangigal kica-
10. ka si jaluk macarita ramayana mamirus mabañol si mungmuk si galigi
mawayang buatt hyang macarita ya kumara …"
Artinya:
9. "…diadakan pertunjukan (yaitu menyanyi oleh sang
Tangkilhyang si Nalu bercerita Bhima Kumara dan menari
10. Kicaka, si Jaluk bercerita Ramayana, menari topeng (mamirus)
dan melawak dilakukan oleh si Mungmuk, si Galigi memainkan
wayang untuk hyang [roh nenek moyang] dengan cerita “bhima
kumara".
Kutipan tersebut tidak hanya menyebutkan jenis-jenis pertunjukan
mamidu, mamirus, mawayang, mangigal, tetapi juga lakon yang diceritakan
yaitu Bhima Kumara (masa muda Bhima) dan nama tarian: tari Kicaka.6
Adapun ungkapan 'mawayang buatt hyang' dapat berarti 'pertunjukan
wayang untuk arwah nenek moyang'.
Masih ada beberapa prasasti yang menyebut tentang seni
pertunjukan secara singkat. Di antara prasasti-prasasti tersebut adalah
prasasti Ratawun 881 M (tuha padahi), prasasti Ramwi 882 M (tuha padahi),
prasasti Er. Hangat (tanpa tahun) menyebutkan: mangigêl, tuha padahi,
widu, mangidung: prasasti kembang 941 M menyebut: kecaka, tarimba,
tapukan. Menarik pula untuk disinggung adalah penyebutan 'tabêh-
tabêhan' di dalam prasasti Waharu IV (931 M):
IIa.2. "…tabêh-tabêhan umiring bala paduka sri ma-
3. haraja …
Artinya: "bunyi-bunyian mengiringi bala tentara Paduka Sri Maharaja".
Keterangan tersebut menunjukkan bahwa bunyi-bunyian musik dipakai
dalam menambahkan semangat bala tentara.
Setelah dikutip beberapa keterangan tentang seni pertunjukan dari
beberapa prasasti sampai abad X, berikut ini akan dikutip pula sumber
tertulis yang berupa kitab sastra pada masa itu. Sementara ini hanya ada
8
9
dua kitab kesastraan yang diambil yang diperkirakan berasal dari abad X
ialah Ramayana Kakawin dan Wirataparwa.
Sumber-Sumber Kesastraan
Kitab Ramayana
Kitab Ramayana tidak diketahui angka tahunnya. Menurut
pendapat H. Kern, kitab Ramayana ditulis pada permulaan abad XIII.
J.L.A. Brandes sebaliknya mengatakan bahwa kita Ramayana berasal dari
abad X. Sementara itu Poerbatjaraka berpendapat bahwa kita Ramayana
berasal dari akhir abad IX atau awal abad X.
Beberapa kutiban yang menyebut alat musik atau kesenian lainnya adalah
sebagai berikut (Dwi Anna Sitoresmi, 1984).
III.39. Anakkebi ring indraloka manurun lawan apsarī ya teka
makuren-kuren ri sira sang tamuy kadbuta Mabangsi
mangidung makinnara malaw wina mangigêl . . .
Artinya: Para wanita di indraloka turun bersama hapsari mereka itu
menjamu (hidup bersama) dengan para tamu yang istimewa.
Pemain bangsi, penyanyi, pemain kinnara, pemain lawuwina
menari …
VII.3. Megha mogha mapupul ya ring langit tulya kendanganirang
manobhawa …
Artinya: Serentak berkumpul di langit seperti kendangnya dewa
asmara ...
VIII.28. Hana manggupit hana mabangsi waneh Suraloka tulya
nikanang nagara
Artinya: Ada yang bercerita ada yang bermain bangsi
47. Hana tambak ujwala pinikya kabeh
Padahi prasada ri dalm tinabêh
Artinya: Ada tanggul yang cemerlang rapi tersusun semuanya. Padahi
bangunan tinggi di dalam ditabuh.
100. Tinabêh tikang bahiri ring taman
Artinya: Dipukullah segera bahiri di taman
151. Atitibra ring lara wimoha bapaku tuwi bangsi kinnara ya …
karnnassula ya
Artinya: Sangatlah sakit bingung bapakku, segala yang kulihat setiap
yang kudengar itu bangsi, kinnara, menyebabkan sakit telinga
lagi pula …
166. Nya ta len maweh uneng atita manglare winarawanāsta
Artinya: Ada yang lain lagi memberikan kerinduan winarawasta
XII.23. … bwat hajinya mangidung saha wina sawadana
Artinya: …untuk tuannya tugasnya menyanyi dengan wina
65. Sawêtu nira rikang sabha sighra monikanang kahala
Artinya: Sekeluarnya di tempat pertemuan segera berbunyilah kahala
9
10
10
11
Kitab Wirataparwa
Kitab Wirataparwa merupakan bagian keempat dari ceritera epos
Mahabharata dan menguraikan kehidupan para pandawa di Istana raja
Wirata. Kitab tersebut diperkirakan berasal dari tahun 996 M (Juynboll,
1912). Selama di istana raja Wirata tersebut para pandawa melakukan
penyamaran: Yudhistira menyamar sebagai seorang guru brahmin, Bhima
sebagai juru masak dan ahli gulat, Arjuna sebagai guru tari, Nakula
sebagai sains, dan Sadewa sebagai seorang gembala.
Beberapa kutiban tentang alat musik gamelan antara lain (Dwi
Anna Sitoresmi, 1984):
I.11. Sajna haji: Nihan iking patik haji sandakarupa temahana kedi,
makasajna Wrhannala, anggucaranakna mantrakayika,
tarmolaheng kanakbyan, marahana stri haji ring
gitanrttawaditra.
Artinya: Ampun tuanku raja: Demikianlah hamba tuanku akan
menjadi kedi, dengan nama Wrhannala, akan mengucapkan
mantra dalam upacara, tinggal di keputren, mengajar para
putri raja dalam hal gita, tarian, dan musik.
IV.30. Hanan kadi lawuwinamyakta kathanikang swara
Artinya: Ada yang seperti lawuwina berbunyi nyaring
VI.49. … prasamanggwal bheri mrdangga, ajemur arok silih-wor
ikang prang silih cidu
Artinya: … sama-sama memukul bheri mrdangga, bercampur saling
berbaur mereka yang berperang saling menyiasati.
52 manulingãngidungãnabeha mahãsãra …
Artinya: supaya membunyikan suling, mengidung, dan menabuh
mahãsãra
VII.55. … humung kendanganya padahinya kadi angara kala ning
pralaya kahidepanya …
Artinya: … riuh kendangnya, padahinya, seperti laut ketika pralaya
rasanya
85. … bheda sangka ring angilwaken bangsi tala panawa muddhama.
Hana tamawa wina rawanahasta, … humung tang bheri murawa
tan pantara …
Artinya: … yang lain lagi membawa serta bangsi, tala (simbal), panawa,
mudahama (alat musik?). Ada yang membawa wina
rawanahasta … riuh suara bheri dan murawa tak ada antaranya
96. … humung tang tabeh-tabehan makadi sakweh sangkha kahala
muangsarwwaditra, umadang sakweh nikang natopataka
menmen sarwwa bhandagina
Artinya: … riuhlah suara tetabuhan terutama segala macam sangkha
kahala dan segala macam bunyi-bunyian, menghadanglah
segenap penari.
11
12
12
13
anggota 'sang mangilala drabya haji'. Hal ini berarti bahwa pada abad X
instrumen musik kecapi sudah dibuat di Jawa.
Di dalam prasasti Mantyasih III disebutkan bahwa 'maganding' dan
'rawanahasta' dimainkan oleh orang yang berbeda: 'maganding' oleh si
Krsni (dengan tanda panjang pada vokal i) menunjuk pada nama wanita.
Dalam bahasa Jawa kuno, kata 'wina' kadang diterjemahkan sebagai
'seruling' (Wojowasito, 1977). Namun demikian karena konteksnya
dengan kata 'lawu' – Lawuwina, maka yang dimaksudkan tentunya kecapi
dengan resonator berbentuk seperti buah labu.
Nama curing ternyata hanya dijumpai dalam prasasti dari tahun
840 M dan 847 M. Sesudah masa-masa tersebut sampai akhir abad X
'curing' tidak pernah disinggung keberadaannya. Pada hal, nama
gamelang 'culuring' sekarang ada di kraton Yogyakarta dan Pura
Pakualaman. Nama curing disebut lagi pada masa-masa abad XII.
Kunst (1968:52) berpendapat bahwa 'curing' dan 'tuwung' adalah
alat musik yang sama (sinonim). Memang di dalam prasasti 'curing' dan
'tuwung' tidak disebut bersama-sama dalam satu prasasti. Demikian pula
barangkali antara 'brekuk' (prasasti Panggumulan 902 M dan prasasti
Lintakan 919 M) dan 'bungkuk' (prasasti Paradah 943 M) juga
penyebutkan untuk instrumen gamelan yang sama karena kedua
instrumen tersebut tidak pernah disebut bersamaan. Kunst (1968:63)
berpendapat bahwa baik 'brekuk' maupun 'bungkuk' adalah jenis kenong
atau kemong.
Berikutnya yang perlu dibahas adalah kendang. Kata 'kendang'
baru muncul pertama kali dalam sumber tertulis sekitar abad X akhir.
Namun bukan berarti bahwa instrumen kendang baru muncul pada abad
X. Pada masa klasik awal (tahun 821 M) instrumen jenis kendang sudah
disinggung dalam prasasti dengan nama 'padahi'. Bahkan jauh sebelum
itu, yaitu pada masa prasejarah instrumen jenis kendang sudah ada
(Haryono, 1986).
Istilah 'padahi' (atau padaha, pataha) cukup populer pada masa
Jawa kuno terbukti dari 14 prasasti menyebut padahi semua (sampai abad
X). Sementara itu istilah 'muraba' dan 'mradangga' hanya disebut sekali.
Kedua istilah tersebut berasal dari bahasa Sanskerta dari akar kata 'mrd'
yang berarti 'tanah'. Di dalam kitab Ramayana selain dijumpai kata
'murawa' juga ada 'mrdala' dan tampaknya berasal dari akar kata yang
sama. Di India kendang yang paling umum dan bentuk paling kuno
dinamakan 'mridangga' atau 'mardala'. Dalam mitologi kendang bentuk
mridangga diciptakan oleh dewa Brahma untuk mengiringi tarian dewa
Siwa ketika berhasil mengalahkan raksasa Trusurapura (Popley, 1950:123;
Haryono, 1986).9 Di dalam kitab Wirataparwa disebutkan 'Bheri mrdangga',
juga 'Bheri-murawa'. Oleh karena itu dapat ditafsirkan bahwa bheri atau
bahiri adalah termasuk jenis kendang atau genderang.
13
14
Seni Tari
Keberadaan seni tari pada abad VIII-X ditunjukkan oleh prasasti
dengan kata 'mangigel', 'angigel', 'inigelaken' (dari kata dasar 'igel' = tari).
Tidak banyak informasi yang diperoleh dari sumber tertulis tentang jenis-
jenis tarian ketika itu. Beberapa istilah yang menunjukkan jenis tari yang
dipertunjukkan adalah: tapukan, kicaka (kecaka), tarimba (tarimwa), memen
(menmen), mamirus, dan rasa mabhramana tinonton.
Kata tapukan, atapukan, berasal dari kata tapuk yang dalam bahasa
Bali kuno berarti topeng, kedok. Oleh karena itu atapukan yang disebut di
dalam prasasti dapat berarti pertunjukan topeng (tentu saja dengan
menari). Tari topeng ini pada abad VIII sudah dipertunjukkan dalam
kegiatan upacara sima. Sampai abad X tapukan masih disebut dalam
prasasti. Kata mamirus dapat diartikan pula menari topeng, dapat pula
berarti 'melawak' (melawak dengan topeng?). Pirus dalam bahasa Jawa
berarti seni pertunjukan (Zoetmulder, 1982).
Sementara itu kata kecaka dan tarimba dalam prasasti belum jelas
benar artinya. Namun demikian dapat disimpulkan bahwa berdasarkan
konteks kalimatnya kata-kata tersebut mengacu pada jenis seni
pertunjukan. Di dalam prasasti Wukajana (abad X) disebutkan 'mangigel
kicaka', mungkin menunjukkan jenis tarian yaitu tari kicaka. Apakah nama
tersebut kemudian menjadi nama 'tari Cak' di Bali, perlu penelitian lagi.
Soalnya ialah bahwa sesudah kata mangigel kicaka kalimat berikutnya
berbunyi macarita ramayana. Di Bali tari Cak mengambil cerita Ramayana.
Ungkapan kalimat 'rara mabhramana tinonton' menarik untuk
dimasukkan dalam seni tari. Kata 'rara' = dara, gadis, kata 'mabhramana' =
berjalan keliling, dan 'tinonton' = ditonton. Kalimat tersebut mengandung
makna bahwa para gadis berjalan keliling (dari desa ke desa) mengadakan
14
15
Pertunjukan Wayang
Pertunjukan wayang sudah ada sejak abad IX dibuktikan oleh
adanya istilah 'haringgit' dalam prasasti Kuti 840 M. Padanan kata
'haringgit' adalah 'awayang' dijumpai dalam prasasti Tajigunung 910 M.
Sampai sekarang kata ringgit dan wayang masih digunakan. Pertunjukan
wayang tentu saja menggunakan media (wayang), namun sumber tertulis
ketika itu tidak memberikan keterangan. Barangkali media dalam
pertunjukan wayang pada waktu itu semacam boneka-boneka kecil.
Keterangan menarik diberikan oleh prasasti Wukajana bahwa
pertunjukan wayang waktu itu adalah 'mawayang buatt hyang' =
pertunjukan wayang untuk hyang. Hyang adalah dihormat yaitu dewa
atau nenek moyang. Hal ini berarti bahwa pertunjukan wayang bukan
semata-mata hiburan tetapi lebih bersifat seremonial keagamaan. Cerita
Bhima dan cerita Ramayana sudah cukup populer pada abad X
sebagaimana dijelaskan di dalam prasasti: 'macarita bhima kumara' dan
'macarita ramayana'. Dalang terkenal waktu itu bernama si Galigi karena
namanya disebut-sebit dalam sebuah piagam yang dikeluarkan oleh raja.
Kata 'macarita' dalam prasasti mungkin sekali tidak berhubungan
dengan mawayang. Pelaku atau seniman untuk masing-masing tersebut
berbeda: macarita bhima kumara dilakukan oleh si Nalu sedangkan
mawayang buat hyang oleh si Galigi. Dengan demikian dapat diajukan
dugaan bahwa 'macarita' adalah cabang seni pertunjukan yang lain, yaitu
profesi seni khusus menyampaikan cerita prosa atau 'story teller'.
Seni Suara
Berbeda dengan profesi 'macarita' yang tugasnya membacakan
ceritera prosa, adalah profesi penyanyi yang menyampaikan cerita puisi.
Di dalam beberapa prasasti profesi tersebut dikenal dengan nama 'widu'
dan mangidung' atau 'widu mangidung'. Sejak abad IX (prasasti Waharu I
873 M) kata widu dalam bahasa Indonesia kemudian menjadi 'biduan' =
penyanyi. Profesi 'mamidu' pada masa Jawa kuno mungkin sama dengan
'pesindhen' jaman sekarang. Mangidung berasal dari kata 'kidung' artinya
'lagu', 'tembang'. Dalam bahasa Sanskerta untuk lagu atau nyanyian adalah
'gita'. Menurut kitab Wirataparwa cabang-cabang seni yang dilakukan
15
16
Lawak
Pertunjukan lawak sudah ada sejak abad IX. Kesan yang diperoleh
dari prasasti bahwa kedudukan seniman lawak sejajar dengan seniman-
seniman yang lain. Mereka juga diundang dalam upacara sima sebagai
saksi. Menurut prasasti Wukajana, lawak juga ditampilkan dalam acara
kesenian bersama dengan kesenian lainnya. Di dalam prasasti Kuti ada
istilah abãnol salahan. Kata salahan mempunyai arti salah, keliru. Kalau
kata salahan tersebut termasuk dalam satu ungkapan dengan kata abanol
berarti fungsinya menerangkan 'abãnol'. Oleh karen itu dapat ditafsirkan
jenis lawak yang temanya adalah permainan kata yang sengaja dibuat
'keliru' agar sengaja membuat keliru arti kata-kata. Seandainya kata
salahan memang untuk menerangkan kata 'abãnol' berarti 'lawak plesetan'
sudah ada sejak jaman dulu. Masalahnya akan lain jika kata 'salahan'
terpisah dengan kata 'abãnol'.
Namun sampai sekarang belum ada jenis seni pertunjukan yang
dinamakan 'salahan'.
16
17
0.53. : alat musik yang digambarkan adalah alat musik tiup dan
sejenis alat musik perkusi.
0.52. : alat musik yang digambarkan adalah semacam kendang. Di
sini digambarkan pula tokoh bangsawan yang menyaksikan.
0.72. : adegan yang menggambarkan seorang wanita yang sedang
menari diiringi dengan musik jenis simbal dan kendang yang
bentuknya seperti periuk.
0.101. : dua kinnara sedang bermain musik. Alat musik yang
digambarkan adalah alat musik petik (bar-zither) dan suling.
0.102. : tokoh bangsawan sedang mendengarkan musik. Alat yang
ada adalah kecapi berdawai dua dan simbal.
0.117. : adegan yang mungkin menggambarkan pemusik jalannya
(ngamen). Alat musik yang ada ialah suling.
0.125. : adegan tokoh bangsawan sedang mendengarkan musik. Alat
musik yang digambarkan adalah alat musik petik dan kecapi
berdawai tiga.
0.137. : penggambaran tokoh bangsawan yang menyaksikan
pertunjukan musik siter dan simbal.
0.143. : tokoh bangsawan yang sedang mendengarkan musik, siter.
0.147. : dua kinnara sedang memainkan alat musik siter dan simbal.
0.149. : adegan pertunjukan tari oleh seorang penari wanita yang
disaksikan oleh para bangsawan. Alat musik yang ada ialah
kendang bentuk periuk, simbal mangkuk, simbal pipih, dan
siter.
0.151. : pertunjukan musik yang disaksikan oleh tokoh bangsawan.
Alat musik yang ada yaitu: dua buah siter, dua buah kendang
ukuran kecil, kecapi berdawai 4.
0.157. : penggambaran tokoh bangsawan dan alat musik siter.
17
18
Ia.98 : Dalam relief ini digambarkan alat musik yang mungkin dapat
diidentifikasi sebagai saron.
18
19
19
20
20
21
21
22
22
23
23
24
24
25
25
26
ketika itu. Instrumen gamelan yang disebut dalam prasasti sampai abad
XVI adalah: padahi, curing, kangsi. Adapun pertunjukan yang lain adalah:
abãnol, widu, mangindung, dan gending.
Kitab Kesastraan
Jaap Kunst (1968:93-117) telah membuat tabel nama alat-alat musik
gamelan dari berbagai kitab kesastraan. Dari berbagai nama alat musik
tersebut ada yang belum dijumpai di dalam sumber-sumber tertulis abad
X dan sebelumnya. Di antara nama yang baru ditemukan pada masa
sesudah abad X adalah:
gerantung gong Tarayan redep mongmong
selukat sundari Ronji gamelan gubar
selunding tabang-tabang rojeh barebet
kamanak bende reyong
saragi guntang calung
26
27
27
28
Sumber Relief
Candi Jago (abad XIII):
Instrumen musik yang ada pada relief di candi Jago adalah kelompok
chordophone yang berupa kecapi berleher panjang dan celempung.
28
29
Seni Tari
Pertunjukan tari yang dapat dikenali dari sumber yang ada adalah:
tari Topeng, tari Pinjak, pertunjukan tari dengan ngamen. Adanya tari
topeng dibuktikan oleh kata 'rakêt dalam Nagarakrtagama dan prasasti
tahun 1100 M. Istilah 'panjak' dapat berarti penabuh gamelan untuk
mengiringi tari. Dalam pertunjukan tari topeng mungkin sekali juga
menggunakan dialog. Di dalam sumber tertulis yang lain yaitu kitab
Wangbang Wideya disebutkan jenis pertunjukan rakêt bernama ‘rakêt
lêngkara':
"ndan linge pukulun lemah telampakanira milwa
29
30
Artinya:
"Ia berkata: Yang mulia hendaknya menonton raket lelangkaran.
Kata raden Mantri, sungguh pertunjukan tersebut adalah sejenis
gambuh, dan pertunjukan topeng oleh panji Wiraswara adalah
pertunjukan yang terbaik". Raden Warastrasari tidak berkata
apa-apa.
Menarik pula bahwa ronggeng pun telah ada pada sekitar abad XVI. Di
dalam kitab Kidung Sunda (3:49) dikatakan: "ronggeng solahe angrawit,
pawayangan asri lawan patapelan". Pertunjukan menmen yang sudah ada
sejak abad X masih berlanjut sampai masa Jawa Timur.
Seni Suara
Sehubungan dengan perkembangan seni sastra yang pesat pada
masa itu yaitu mulai jaman Kediri, memungkinkan pula membawa
perkembangan seni vokal. Seniman yang disebut 'widu' dan 'mangidung'
dalam prasasti abad IX – X masih dijumpai pada prasasti abad XII. Di
dalam Nagarakrtagama pun masih pula disebut. Kalau pada masa yang
lebih tua disebut istilah 'widu mangidung' maka dalam masa Majapahit
dikenal 'widu amancangah' (Nag. 66:5b). Pigeaud menterjemahkan kata
tersebut sebagai 'story-tellers' (Pigeaud, 1960-1963, vol. III:78). Menurut
Stuart O. Robson (1971:18-19) menjelaskan bahwa 'widu mangidung'
adalah orang yang tugasnya bercerita tentang kesabaran raja.
30
31
Lawak
Pertunjukan lawak dengan istilah 'abãnol' masih ditemukan dalam
prasasti abad XI. Istilah amirus seringkali diterjemahkan sebagai
'melawak'. Bahkan untuk menarik tawa para penonton sering dengan
lawakan yang berbau porno seperti terungkap dalam kitab
Sumanasãntaka (CXIII:6):
pirus-amirus men-men denyamet pacêh acêmêh
rabi nika bisa pantes denyabhawa kamangêyêh
laki nika mulat angdreêng kahyunhyun mangungas-ungas
kadi wedus anut anjyan yan tengā teka muringis
31
32
1 kupang sama dengan sekitar 0,60 gram. Kutiban kalimat dalam prasasti
Julah tersebut adalah: …mangkana yan hana bhandagina salwiranya
maranmak irikanang karāman i julah sadhikara, yan pagênding i haji ma 1
paweha iriya agênding ambaran ku 2 paweha iriya (…demikianlah kalau ada
rombongan kesenian dan semacamnya datang ke desa Julah, apabila
pagênding i haji supaya diberi 1 masa dan untuk agending ambaran 2
kupang). Pagêndhing i haji adalah pertunjukan untuk raja sedang agênding
ambaran adalah untuk rakyat biasa. Selain itu dalam prasasti Bali kuno
disebutkan juga adanya dua jenis pertunjukan wayang yaitu: awayang i
haji dan awayang ambaran (Sukarto, 1979).
Meskipun pertunjukan kesenian di Jawa kuno tidak disebutkan
adanya dua jenis seperti tersebut di dalam sumber prasasti ataupun
naskah sastra, namun kemungkinan pembagian menjadi dua golongan
untuk raja dan untuk rakyat juga ada. Sehubungan dengan hal tersebut
maka seniman dan seniwatinya pun ada dua golongan yaitu seniman
golongan keraton dan seniman golongan rakyat. Prasasti-prasasti abad IX-
X menyebutkan dengan tegas bahwa seminan seperti widu mangidung,
mapadahi, dan yang lainnya adalah termasuk 'watĕk i jro' golongan dalam
(kraton) atau seniman 'jeron beteng'. Dari namanyapun terlihat seperti:
mamidu sang tangkil … mamidu yang bernama Sang Tangkil. Nama Sang
Tangkil jelas menunjukkan nama untuk orang golongan atas karena
dengan kata sandang 'sang'. Sementara itu untuk seniman dari kalangan
rakyat biasa seperti 'rara mabramana tinonton' adalah gadis dari desa.
Namanya adalah si Rumpuk menunjukkan nama rakyat golongan bawah,
dengan kata sandang: si.
Demikianlah sekilas tentang seni pertunjukan yang dapat
diungkapkan melalui data-data arkeologis.
Catatan:
1. Bidang-bidang seni tersebut menurut Koentjaraningrat adalah seni
rupa yang terdiri atas: seni bangunan, arca, relief, lukis, rias, kerajinan,
olah raga. Adapun seni suara termasuk: seni vokal, instrumental, dan
seni sastra yang dibagi dalam prosa dan puisi. Seluruh bidang seni
rupa ditambah dengan seni vokal dan instrumental akan membentuk
seni tari.
32
33
12. Di Bali gamelan slonding adalah gamelan sakral terbuat dari logam besi
dan terdapat di Karangasem, di Tenganan Pagringsingan, dan di
Bongaya. Dalam prasasti Bulihan di Bali tahun 1181 M telah
disebutkan adanya gamelan salunding wsi. Sementara pendapat
mengatakan bahwa kata slonding berasal dari kata salon dan ning yang
berarti tempat suci, atau dari kata saron dan ding. Menurut hemat kami
kata slonding berasal dari kata selunding.
13. Teks Negarakrtagama dikutip dari edisi tahun G.th. Pigeaud, Java in
the 14 th century. Vol. I (The Hague: M. Nijhoff, 1960. Terjemahan
dikutip dari Slamet Mulyono, Nagarakrtagama dan Tafsir Sejarahnya
(Jakarta: Bhratara, 1979).
14. Pada masa klasik muda abad XII bentuk wayang kulit sudah jelas
yaitu dari kulit yang diukir sebagaimana diuraikan di dalam kitab
Arjunawiwaha dari masa Airlangga.
33
34
KEPUSTAKAAN
Diah Purwanti, 1985, Seni Tari pada Relief Cerita Jata-Awadana Candi
Borobudur. Skripsi Sarjana Muda Jurusan Arkeologi, Fak. Sastra
UGM Yogyakarta.
Dwi Anna Sitoresmi, 1984, Alat Musik di Jawa Tengah dalam Periode Klasik
(Abad IX – X). Skripsi Sarjana Jurusan Arkeologi Fak. Sastra UGM
Yogyakarta.
Edi Sedyawati, 1985, Pengaruh India pada Kesenian Jawa: Suatu Tinjauan
Proses Akulturasi. Dalam Soedarsono dkk (ed.) Pengaruh India, Islam
dan Barat dalam Proses Pembentukan Kebudayaan Jawa. Proyek
Javanologi.
Panji, Drs. I G B N., 1979, Ensiklopedia Musik dan Tari Daerah Bali. Jakarta:
Proyek Penerbitan Buku Bacaan dan Sastra Indonesia dan Daerah.
34
35
Popley, H.A., 1950, The Music of India. Calcutta: YMCA Publishing House.
Stutterheim, W.F., 1940, Oorkonde van Balitung uit 905 AD (Randoesari I).
Dalam Inseripties van Nederlandach Indie I, halm. 3 – 28.
Titi Surti Nastiti, dkk., 1982, Tiga Prasasti Masa Balitung, Jakarta:
Puslitarkenas.
Van Naerssen, F.H., 1937, Twee Koperen Oorkonde van Balitung in het
Kolonial Instituut te Amsterdam, BKI, XCV: 444-461.
35