YOGYAKARTA
SEKATEN
Upacara Sekaten pada hakekatnya adalah suatu tradisi yang diwariskan oleh
nenek moyang kita. Pada mulanya, upacara tersebut diselenggarakan tiap tahun oleh
raja-raja di Tanah Hindu, berwujud selamatan atau sesaji untuk arwah para leluhur.
Namun dalam perkembangannya, Upacara Sekaten sebagai sarana untuk
menyebarkan agama Islam melalui kegiatan kesenian gamelan. Penyebarluasan
agama Islam menggunakan media berupa kesenian gamelan karena masyarakat saat
itu menggemari kesenian Jawa dengan gamelannya. Sehingga, untuk memperingati
Maulid Nabi Muhammad SAW tidak lagi dengan kesenian rebana, melainkan
dengan kesenian gamelan.
Asal Usul
Tercetusnya nama Sekaten sendiri diadaptasi dari kata syahadatain yang berarti
persaksian (syahadat) yang dua.
sahutain (menghentikan atau menghindari perkara dua, yaitu sifat lacur dan
menyeleweng), sakhatain (menghilangkan perkara dua, yaitu watak hewan dan sifat
setan)
sakhotain (menanamkan dua perkara, yaitu selalu memelihara budi suci atau budi
luhur yang selalu mendambakan diri pada Tuhan)
sekati (setimbang, orang hidup harus bisa menimbang atau menilai hal-hal yang baik
dan buruk)
sekat (batas, orang hidup harus membatasi diri untuk berlaku jahat).
Prosesi
Upacara tradisional Sekaten dilakukan selama tujuh hari, adapun tahapan-
tahapannya sebagai berikut:
Gamelan sekaten dibunyikan pada pukul 16.00 sampai kira-kira jam 23.00 pada
tanggal 5 Rabi’ul Awal
Gamelan dipindahkan ke pagongan di halaman Masjid Besar mulai jam 23.00.
Hadirnya Sri Sultan beserta pengiringnya ke serambi Masjid Besar untuk
mendengarkan pembacaan Riwayat kelahiran Nabi Muhammad SAW,
diselenggarakan pada tanggal 11 Rabi’ul Awal.
Dikembalikannya gamelan sekaten dari halaman Masjid Besar ke Kraton sebagai
tanda berakhirnya upacara Sekaten.
Terdapat dua tradisi yang dilakukan selama Sekaten berlangsung, yaitu Grebeg
Muludan dan Numpak Wajik.