Anda di halaman 1dari 4

Aneka Ragam Kebudayaan dan Masyarakat

A. Konsep Suku Bangsa


1. Suku Bangsa

Setiap kebudayaan yang hidup dalam suatu masyarakat baik berwujud sebagai komunitas
desa, kota, sebagai kelompok kekerabatan, atau kelompok adat yang lain,bisa menampilkan
suatu corak khas yang terutama terlihat oleh orang yang diluar earga masyarakat yang
bersangkutan.

Corak khas dari suatu kebudayaan bisa tampil karena kebudayaan itu berupa suatu unsur
kecil berupa suatu unsur kebudayaan fisik dengan bentuk khusus atau; atau karena diantara
pranata-pranatanyaada suatu pola sosial khusus; atau dapat juga karena warganya menganut
suatu tema budaya khusus. Sebaliknya, corak khas tadijuga dapat disebabkan karena adanya
kompleks unsur-unsur yang lebih besar.

Pokok perhatian dari suatu deskripsi etnografi adalah kebudayaan-kebudayaan dengan


corak khas seperti itu. Istilah etnografi untuk suatu kebudayaan dengan corak khas adalah
“suatu bangsa” (dalam bahasa inggris disebut ethnic group dan bila diterjemahkan secara
harfiah “kelompok etnik”) namun disini digunakan istilah “suku bangsa” saja karena sifat
kesatuan dari suatu suku bangsa bukan “kelompok” melainkan “golongan”.

Konsep yang tercangkup dalam istilah “suku bangsa” adalah suatu golongan manusia
yang terikat oleh kesadaran dan identitas akan “ kesatuan kebudayaan” sedangkan kesadaran
dan identitas tadi sering kali(tetapi tidak selalu) dikuatkan oleh kesatuan bahasa juga. Jadi
“kesatuan kebudayaan” bukan suatu hal yang ditentukan oleh orang luar (misalnya oleh
seorang antropologi, ahli kebudayaan, atau lainnya, dengan metode-metode analisis alamiah)
melainkan oleh warga kebudayaan bersangkutan itu sendiri. Dengan demikian kebudayaan
Sunda merupakan suatu kesatuan, bukan karena ada peneliti-peneliti yang secara etnografi
telah menentukan bahwa kebudayaan Sunda itu suatu kebudayaan tersendiri yang berbeda
dari kebudayaan Jawa, Banten atau Bali, melainkan karena orang Sunda sendiri sadar bahwa
kebudayaan Sunda mempunyai kepribadian dan identitas khusus, berbeda dengan
kebudayaan-kebudayaan tetangganya itu.

Dalam kenyataan, konsep “suku bangsa” lebih kompleks dari pada yang terurai diatas. Ini
disebabkan karena dalam kenyataan, batas dari kesatuan manusia yang merasakan diri terikat
oleh keseragaman kebudayaan itu dapat meluas atau menyempit, tergantung pada keadaan.
Misalnya penduduk Pulau Flores di Nusa Tenggara terdiri dari beberapa suku bangsa yang
khusus, dan menurut kesadaran orang Flores itu sendiri, yaitu orang Manggarai, Ngada,
Sikka, Riung, Nage-Keo, Ende, dan Larantuka.

Dalam penggolongan politik atau administratif ditingkat nasional tentu lebih praktis
memakai penggolongan suku bangsa secara terakhir tadi, yang sifatnya lebih luas dan lebih
kasar, tetapi dalam analisis ilmiah secara antropologi kita sebaiknya memakai konsep suku
bangsa dalam arti sempit.

Mengenai pemakaian suku bangsa sebaiknya selalu memakianya secara lengkap, dan agar
tidak hanya mempergunakan istilah singkatan “suku” saja. Pemakaian yang tepat misalnya
suku bangsa Mingkabau, suku bangsa Sunda, suku bangsa Ngaju, suku bangsa Makassar,
suku bangsa Ambon; dan jangan hanya: suku Minangkabau. Suku Sunda,suku Ngaju, suku
Ambon. Hal tersebut diatas sangat penting. Karena istilah suku, baik dalam bahasa
Minangkabau maupun dalam sistem peristilahan etnografi dan ilmu hukum adat Indonesia,
sudah mempunyai arti teknis yang khas.

Deskripsi mengenai kebudayaan suatu suku bangsa biasanya merupakan isi dari sebuah
karangan etnografi. Namun karena ada suku bangsa yang besar sekali, terdiri dari berjuta-juta
penduduk (seperti suku bangsa Sunda), maka ahli antropologi yang membuat sebuah
karangan etnografi sudah tentu tidak dapat mencangkup keseluruhan dari suku bangsa besar
itu dalam deskripsinay. Etnografi tentang kebudayaan Sunda misalnya hanya akan terbatas
pada kebudayaan Sunda dalamsatu desa atau beberapa desa tertentu, kebudayaan Sunda di
pegunungan atau kebudayaan Sunda dipantai, atau kebudayaan Sunda dalam suatu lapisan
sosial tertentu dan sebagainya.

2. Beragam Kebudayaan Suku Bangsa

selain mengenai besar-kecilnya jumlah penduduk dalam kesatuan masyarakat suku


bangsa, seorang sarjana Antropologi tentu juga menghadapi menghadapi perbedaan asas dan
kompleksitas dari unsur kebudayaan yang menjadi pokok penelitian atau pokok deskripsi
etnografinya. Dalam hal itu sarjana antropologi sebaiknya membedakan kesatuan masyarakat
suku-suku bangsa didunia berdasarkan atas kriteria mata pencarian dan sistem ekonomi ke
dalam enam macam: (a) masyarakat pemburu dan peramu (hunting and gathering societies).
(b) masyarakat peternak (pastoral societies), (c) masyarakat pedagang (societies of shifting
cultivactors), (d) masyarakat nelayan (fishing communities), (e) masyarakat petani perdesaan
(peasant communities), dan (f) masyarakat perkotaan kompleks (complex urban societies)

kebudayaan suku bangsa yang hidup dari berburu dan meramu (huting and gethering
societies) pada bagian terakhir abad ke-20 ini sudah hampir tidak ada lagi dimuka bumi ini.
Mereka kini tinggal didaerah terisolasi didaerah pinggir atau daerah terpencil karena keadaan
alamnya tidak suka didiami oleh bangsa lain. Daerah seperti itu misalnya daerah Pantai Utara
Kanada yang terlampau dingin, atau daerah yang tidak cocok untuk bercocok tanam seperti
daerah gurun. Pleh karena itu, daerah Pantai Utara Kanada tinggal suku bangsa Eksimo yang
memburu binatang kutub; dipucuk selatan Amerika tinggal suku bangsa Ona dan Yahgan,
yang hidup dari berburudan menangkap ikan, didaerah Gurun Kalihari di Afrika Selatan
tinggal orang Bushmen, danGurun Australia tinggal beberapa suku bangsa penduduk asli
Australia ras Australoid sebagai pemburu binatang gurun.

Pada masa kini jumlah dari semua suku bangsa yang hidup danberburu diseluruh dunia
belum ada setengah juta orang. Dibadingkan dengan seluruh penduduk dunia yang kini
berjumlah lebih dari 3.000 juta, maka hanya tinggal kira-kira 0,01% dari seluruh penduduk
dunia yang masih hidup dari berburu, dan jumlah itu sekarang makin berkurang juga karena
suku bangsa berburu itu akhir-akhir ini sudah banyak yang pindah kekota-kota untuk menjadi
buruh.

Kebudayaan peternak pastoral societies hingga kini masih ada didaerah padang rumput
stepa atau sabana di Asia Barat Daya, Asia Tengah, Siberia, Asia Timur Laut, Afrika Timur,
atau Afrika Selatan. Binatang yang dipelihara berbeda-beda menurut daerah geografinya.
Misalnya, didaerah Oase diGurun Semenanjung Arab hidup disuku bangsa Arab Badui yang
memelihara unta, kambing, dan kuda. Didaerah gurun,stepa, dan sabana, di Asia Barat Daya
hidup suku bangsa seperti Khanzah di Iran dan Pashtun di Afghanistan yang memelihara
domba, sapi, dan kuda. Didaerah stepa di Asia Tengah hidup suku bangsa Mongolia dan
Turki, seperti Buryat, Kazakh,Kirghiz, dan Uzbek yang memelihara domba, kambing, unta,
dan kuda. Didaerah stepa di Siberia hidup suku bangsa Mongolia dan Turki seperti Kalmuk,
Goldi, dan Yakut yang memelihara domba dan kuda. Didaerah tundra di Asia Timur Laut
hidup suku bangsa seperti Lamut dan Gilyak yang memelihara rusa reindeer. Didaerah stepa
dan sabana di Afrika Timur dan Selatan hidup suku bangsa Bantoid yang memelihara sapi.

Kehidupan suku-suku bangsa peternak berpindah-pindah dari suatu perkemahan lain


dengan menggembala ternak mereka menurut musim-musim tertentu. Mereka memerah susu
ternak lalu membuatnya menjadi mentega, keju, dan hasil olahan lain dari susu yang dapat
disimpan lama.

Kebudayaan peladang yang hidup dalam shifting cultivators societies terbatas


pengembaraannya didaerah hutan rimba tropis didaerah pengairan Sungai Kongo di Afrika
Tengah, di Asia Tenggara termasuk Indonesia (diluar Jawa dan Bali), dan di daerah
pengairan Sungai Amazon di Amerika Selatan. Para peladang didaerah teropis tersebut
mempergunakan teknik bercocok tanam yang sama.

Pembatasan deskripsi tentang suatu kebudayaan suku bangsa dalam sebuah tulisan
etnografi tentu memerlukan suatu metode untuk menentukan asas-asas pembatasan tadi. Hal
ini akan dibicarakan secara khusus dalam Bab 8 mengenai “Isi Etnografi”. Untuk itu perlu
suatu konsep yang mencangkup persamaan unsur-unsur kebudayaan anatara suku bangsa
menjadi kesatuan yang lebih besar lagi. Konsep itu adalah konsep “daerah kebudayaan”
(culture area).

B. Konsep Daerah Kebudayaan

Suatu “daerah kebudayaan” (culture aera) merupakan suatu penggabungan atau


penggolongan (yang dilakukan oleh ahli-ahli antropologi) dari suku-suku bangsa yang
beragam kebudayaannya, tetapi mempunyai beberapa unsur dan ciri mencolok yang serupa.
Demikian suatu sistem penggolongan daerah kebudayaan sebenarnya merupakan suatu sistem
klasifikasi yang mengkelaskan beragam suku bangsa yang tersebar disuatu daerah atau benua
besar, kedalam golongan-golongan bedasarkan persamaan unsur kebudayaannya. Hal ini
untuk memudahkan gambaran menyeluruh dalam hal penelitian analisis atau penelitian
komparatif dari suku-suku bangsa didaerah atau benua yang bersangkutan tadi.

Saran-saran pertama untuk perkembangan sistem culture area berasal dari seorang
pendekar ilmu Antropologi di Amerika, F.Boas, walaupun para pengarang dari abad ke-19
tentang kebudayaan dan masyarakat suku-suku bangsa Indian pribumi Benua Amerika telah
mempergunakan sistem klasifikasi berdasarkan daerah geografi di Benua Amerika yang
menunjukan banyak persamaan dengan sistem klasifikasi culture area di Amerika Utara yang
kita kenal sekarang. Walaupun benih-benih untuk sistem klasifikasi culture area itu sudah
lama ada pada para pengarang etnografi di Amerika Serikat, tetapi murid Boas bernama Clark
Wissler yang membuat konsep itu populer dengan bukunya The American Indian (1920).
Buku tersebut membicarakan berbagai kebudayaan suku bangsa Indian Amerika Utara
berdasarkan atas sembilan buah culture area.

Penggolongan beberapa kebudayaan dalam suatu daerah kebudayaan dilakukan


berdasarkan atas persamaan ciri-ciri yang mencolok. Ciri-ciri tersebut tidak hanya berwujud
unsur kebudayaan fisik (misalnya alat-alat berburu, alat-alat bertani,alat-alat transportasi,
senjata, bentuk-bentuk ornamen perhiasan, bentuk-bentuk dan gaya pakaian, bentuk-bentuk
tempat kediaman dan sebagainya), tetapi juga unsur-unsur kebudayaan yang lebih abstrak
dari sistem sosial atau sistem budaya (misalnya unsur-unsur organisasi kemasyarakatan,
sistem perekonomian, upacara-upacara keagamaan, unsur cara berpikir,danadat-istiadat).

Sifat kurang eksak dari metode klasifikasi culture area tadi telah menimbulkan banyak
kritik dari kalangan antropologi sendiri. Kelemahan-kelemahan dari metode itu memang telah
lama dirasakan oleh para sarjana,dan suatu verifikasi yang yang lebih mendalam rupa-
rupanya tidak akan mempertajam batas-batas dan culture area tetapi malah akan
mengaburkannya.

Daerah-daerah kebudayaan penduduk pribumi diberbagai belahan dunia akan disebut satu
demi satu dengansedikit keterangan dan contoh dalam sub-subbab berikut.. daerah-daerah
kebudayaan di Amerika dibahas lebih dulu karena sistem klasifikasi culture area, seperti
yang telah diuraikan (dikembangkan oleh Clark Wissler) mengkelaskan beragam kebudayaan
penduduk Indian pribumi di Amerika Selatan, Oseania, Afrika, dan Asia, semuanya juga
dengan sedikit keterangan dan contoh. Adapun daerah kebudayaan di Asia Tenggara dan
Indonesia akan kita beri perhatian khusus , terutama semua suku bangsa yang tersebar di
daerah itu.

Anda mungkin juga menyukai