BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Kebudayaan yang hidup dalam suatu masyarakat yang berwujud sebagai komunitas
desa, atau kota, atau sebagai kelompok adat yang lain, bisa menampilkan corak yang khas. Corak
khas dari suatu biasa tampil karena kebudayaan itu menghasilkan suatu unsur yang kecil, berupa
suatu unsur kebudayaan fisik dengan bentuk yang khusus. Atau karena diantara pranata-
pranatanya ada suatu pola sosial yang khusus, atau dapat juga karena warganya menganut suatu
tema budaya yang khusus. Sebaliknya, corak khas tadi juga disebabkan karena adanya kompleks
unsur-unsur yang lebih besar. Berdasarkan atas corak khususnya tadi, suatu kebudayaan dapat
dibedakan dari kebudayaan lain. Dalam makalah ini akan memebahas keanekaragaman warna
masyarakat dan kebudayaannya.
B. Rumusan Masalah
1. Seperti apakah konsep suku bangsa itu ?
2. Bagaimana dengan konsep daerah kebudayaan ?
3. Seperti apakah daerah-daerah kebudayaan di Amerika-Asia ?
4. Bagaiman dengan Ras, Bahasa, dan Kebudayaan ?
memiliki perbedaan. Perbedaan itu ada karena manusia adalah mahluk individu
keadaan geografi yang berbeda juga turut mempengaruhi pola kehidupan suatu
B. Saran
Dengan adanya keanekaragaman warna masyarakat dan kebudayaan
َوآَتَا ُك ْم ِم ْن ُك ِّل َما َسأ َ ْلتُ ُموهُ َوإِ ْن تَ ُع ُّدوا نِ ْع َمةَ هَّللا ِ اَلa.س َو ْالقَ َم َر دَائِبَ ْي ِن َو َس َّخ َر لَ ُك ُم اللَّ ْي َل َوالنَّهَا َر
َ َو َس َّخ َر لَ ُك ُم ال َّش ْم
م َكفَّا ٌرaٌ تُحْ صُوهَا إِ َّن اإْل ِ ْن َسانَ لَظَلُو.
“Dan Dia telah menundukkan (pula) bagimu matahari dan bulan yang terus
menerus beredar (dalam orbitnya); dan telah menundukkan bagimu malam dan
siang. Dan Dia telah memberikan kepadamu (keperluanmu) dan segala apa yang
kamu mohonkan kepadanya. Dan jika kamu menghitung nikmat Allah, tidaklah
dapat kamu menghinggakannya. Sesungguhnya manusia itu, sangat zalim dan
sangat mengingkari (nikmat Allah)”. (QS. Ibrahim/ 14: Ayat 33-34).
Dan masih banyak ayat lain dalam al-Qur’an yang menerangkan tentang
pentingnya waktu dan anjuran untuk mempergunakannya dalam rangka ketaatan
kepada Allah Swt.
Rasulullah Saw. dalam banyak hadisnya juga berbicara tentang hal tersebut. Dari
Mu’adz bin Jabal Ra., Rasulullah Saw bersabda:“Tidak akan bergeser dua telapak
kaki seorang hamba pada hari kiamat, sehingga ia ditanya pada empat hal;
umurnyauntuk apa saja ia habiskan selama hidup di dunia; masa mudanya
bagaimana ia manfaatkan; hartanya terkait dari mana ia peroleh dan ia belanjakan;
ilmunya bagaimana ia mengamalkan.”
Dalam hadis lain, Rasulullah Saw. pernah bersabda: “Ada dua kenikmatan yang
sering manusia tertipu dengannya (tidak memanfaatkannya); kesehatan dan waktu
luang.”
Maka, berlakulah adagium dari Imam Syafi’i yang seringkali kita dengar: “ Waktu
itu laksana pedang, apabila engkau tidak memotongnya, maka dialah yang akan
memotongmu.”
Ja’far bin Sulaiman berkata bahwa dia mendengar Robi’ah menasehati Sufyan Ats
Tsauri:“Sesungguhnya engkau adalah kumpulan hari. Jika satu hari berlalu, maka
sebagian dirimu juga akan hilang. Bahkan hampir-hampir sebagian harimu berlalu,
kemudian hilanglah seluruh dirimu (baca: mati) sedangkan engkau mengetahuinya.
Oleh karena itu, beramallah!”.
Rasulullah Saw. dan para Sahabat serta Salafussoleh adalah orang-orang yang
sangat memperhatikan konsep pemanfaatan waktu. Bahkan, dalam sejarah orang-
orang muslim generasi pertama, kita mengetahui bahwa mereka sangat
memperhatikan waktu dibandingkan generasi berikutnya, sehingga mereka mampu
menghasilkan sejumlah karya dan ilmu yang bermanfaat sehingga peradaban Islam
dapat memiliki jutaan khazanah keilmuan yang mengakar sampai zaman ini.
Hasan Al-Bashri pernah berkata: “Janganlah lagi engkau katakan ‘besok’, karena
kamu tidak pernah tahu kapan kamu akan kembali kepada Rabbmu”.
Imam Bukhori tidur diatas tikarnya, bila terlintas di benaknya sebuah masalah,
beliau bangun dari tidurnya, mengambil korek api dan menyalakan lampu,
kemudian menulis hadis dan memberinya tanda. Ketika beliau menaruh kepalanya
untuk tidur, terlintas kembali di hatinya sebuah masalah. Sekali lagi beliau
menyalakan lampu kemudian menulis haditsnya dan memberinya tanda. Hal ini
beliau lakukan lebih dari 15-20 kali dalam satu malam. Semangat membara ini
melahirkan kitab monumentalnya “Shahih Bukhari” yang mejadi rujukan kedua
setelah Al-Qur’an, yang ditulis selama 16 tahun. Ibnu Hajar al-‘Asqalani, menulis
kitab “Fathul Bari Syarah Shahih Bukhari” berjumlah 17 jilid selama 29 tahun.
Imam An-Nawawi, seorang ulama yang sangat menakjubkan. Ia wafat pada usia 45
tahun dan belum sempat berumah tangga. Tapi kitab yang ditulisnya beratus ribu
halaman. Diantara karyanya yang terkenal adalah Al-Majmu’ Syarah Al-Muhazzab
sebanyak 22 Jilid dan Minhajuth thalibin.
Semoga kita dapat mengambil banyak pelajaran dari kesungguhan para ulama
terdahulu kita dalam memanfaatkan waktu. Wallahu A’lam