Anda di halaman 1dari 5

1.

Sd
a. Dasar Hukum Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010 tentang Disiplin Pegawai
Negeri Sipil. Disiplin Pegawai Negeri Sipil adalah kesanggupan Pegawai Negeri Sipil
untuk menaati kewajiban dan menghindari larangan yang ditentukan dalam peraturan
perundang-undangan dan/atau peraturan kedinasan yang apabila tidak ditaati atau
dilanggar dijatuhi hukuman disiplin. Pelanggaran disiplin adalah setiap ucapan,
tulisan, atau perbuatan PNS yang tidak menaati kewajiban dan/atau melanggar
larangan ketentuan disiplin PNS, baik yang dilakukan di dalam maupun di luar jam
kerja.
b. Jenis Hukuman Disiplin
- Jenis hukuman disiplin ringan terdiri dari :
- Teguran lisan;
- Teguran tertulis; dan
- Pernyataan tidak puas secara tertulis.
- Jenis hukuman sedang terdiri dari :
- Penundaan kenaikan gaji berkala selama 1 (satu) tahun
- Penundaan kenaikan pangkat selama 1 (tahun) tahun; dan
- Penurunan pangkat setingkat lebih rendah selama 1 (satu) tahun.
- Jenis hukuman disiplin berat terdiri dari :
- Penurunan pangkat setingkat lebih rendah selama 3 (tiga) tahun;
- Pemindahan dalam rangka penurunan jabatan setingkat lebih rendah;
- Pembebasan dari jabatan;
- Pemberhentian dengan hormat tidak atas permintaan sendiri sebagai PNS, dan
- Pemberhentian tidak dengan hormat sebagai PNS.

2.
a. Belanja Pemerintah Pusat
    A. Pengeluaran rutin
Belanja pegawai, belanja pegawai yaitu terdiri dari :
a) Gaji dan pensiunan pegawai negeri
b) Tunjangan
c) Belanja pegawai luar negeri
d) Dsb.
Belanja barang, yaitu pengeluaran pemerintah untuk membeli peralatan atau
perlengkapan yang digunakan untuk kegiatan pemerintah. Belanja barang terdiri dari :
a) Belanja barang dalam negeri
b) Belanja barang luar negeri
 
Pembayaran bunga utang, yaitu pengeluaran untuk membayar bunga dan cicilan dari
pinjaman pokok. Utang terdiri dari :
a) Utang dalam negeri
b) Utang luar negeri
Subsidi, pengeluaran negara untuk subsidi terdiri dari :
a) Subsidi BBM
b) Subsidi Non BBM
1) Pangan
2) Listrik
3) Bunga kredit program
4) Dll.
    B. Pengeluaran Pembangunan
        Pengeluaran dari segi pembangunan terbagi menjadi dua, yaitu :
 Pembangunan fisik
 Pembangunan non fisik
        Sedangkan dari segi pembiayaan, pengeluaran pembangunan terdiri dari :
1) Pembiayaan rupiah
a) Tabungan pemerintah
b) Pinjaman program
2) Pembiayaan proyek
II. Belanja Pemerintah Daerah
A. Dana Perimbangan
        1) Dana Bagi Hasil
        2) Dana Alokasi Khusus
        3) Dana Alokasi Umum
B. Dana Otonomi Khusus dan Penyesuaian

b. Pemerintah mempertegas sanksi bagi kepala daerah yang tidak menjalankan program
strategis nasional. Kewajiban menjalankan agenda nasional ini tertuang dalam PP No.
12/2017 tentang Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintah Daerah
yang diundangkan pada 7 April lalu. Beleid itu merupakan turunan dari UU No.
23/2014 tentang Pemerintahan Daerah. Pemberian sanksi tersebut ditetapkan oleh
Presiden yang dikeluarkan oleh menteri untuk daerah provinsi. Sementara itu, sanksi
bagi pemerintah kabupaten kota dikeluarkan oleh menteri melalui gubemur. Dalam
aturan tersebut, pemerintah menetapkan 19 kategori kesalahan pemerintah daerah
(pemda) yang dapat dijatuhi sanksi. Di sisi lain, pelanggaran administratif yang akan
dikenai sanksi meliputi tidak melaksanakan program strategis nasional, tidak
menyampaikan laporan penyelenggaraan pemerintahan daerah paling lambat 3 bulan
setelah tahun anggaran berakhir baik kepada Presiden untuk tingkat provinsi dan
gubemur bagi pemerintah kabupaten kota. Sanksi juga diberikan jika pemda tidak
melaporkan pertanggungjawaban kepada DPRD. Kepala daerah yang menjadi
pengurus perusahaan maupun pengurus yayasan bidang apapun juga akan dikenai
sanksi. Aturan ini juga menegaskan kepala daerah dilarang ke luar negeri tanpa
persetujuan dari menteri. Selain itu, sanksi akan diberikan kepada kepala daerah yang
meninggalkan tugasnya selama 7 hari berturut-turut atau 1 bulan tidak berturut-turut.
Selanjutnya, pemda juga harus menyampaikan peraturan daerah atau peraturan kepala
daerah yang telah disahkan paling lambat 7 hari semenjak ditetapkan. Sanksi juga
akan dijatuhkan bagi pemerintah daerah yang tetap memberlakukan perda yang telah
dicabut ataupun memberlakukan pajak retribusi yang sudah ditiadakan. Hal lain yang
akan dikenai sanksi yakni tidak menyebarluaskan peraturan daerah atau peraturan
kepala daerah yang telah diundangkan, tidak menetapkan rencana kerja baik jangka
menengah maupun jangka panjang, serta tidak menetapkan peraturan kepala daerah
tentang rencana kerja pemda. Selain itu, sanksi juga berlaku bagi pemda yang
melakukan pungutan di luar yang diatur undang-undang, tidak mengajukan rancangan
peraturan daerah tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) kepada
DPRD sesuai batas waktu yang ditentukan, serta tidak disetujuinya APBD secara
bersama oleh Kepala Daerah dan DPRD.
3. D
a. Dengan adanya komitmen pemerintah untuk mewujudkan good governance maka
kinerja atas penyelenggaraan organisasi pemerintah menjadi perhatian pemerintah
untuk dibenahi, salah satunya melalui sistem pengawasan yang efektif, dengan
meningkatkan peran dan fungsi dari Aparat Pengawas Intern Pemerintah (APIP).
Pengawasan intern ini dilakukan mulai dari proses audit, reviu, evaluasi, pemantauan,
dan kegiatan pengawasan lain terhadap penyelenggaraan tugas dan fungsi organisasi
dalam rangka memberikan keyakinan yang memadai bahwa kegiatan telah
dilaksanakan sesuai dengan indikator yang telah ditetapkan. Untuk itu, APIP harus
terus melakukan transformasi dalam menjalankan tugasnya guna memberi nilai
tambah bagi Kementerian/Lembaga/Pemerintah Daerah (K/L/PD) dalam
penyelenggaraan pemerintahan. Hal ini sejalan dengan fungsi dan peran APIP, yaitu
melakukan pembinaan Sistem Pengendalian Intern Pemerintah (SPIP) dan mendorong
peningkatan efektivitas manajemen risiko (risk management),
pengendalian (control) dan tata kelola (governance) organisasi sebagaimana
diamanatkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2008 tentang Sistem
Pengendalian Intern Pemerintah.
b. Pengaduan masyarakat dalam pelayanan publik umum terjadi ketika masyarakat
selaku pengguna layanan tidak puas atas pelayanan yang diberikan, bahkan
menambah kekecewaan ketika pengaduan yang disampaikan tidak dikelola atau
ditanggapi secara baik oleh petugas pengaduan. Standar pelayanan publik yang telah
dibuat dan ditetapkan tidak menjamin bahwa penyelenggaraan pelayanan publik
memilik kualitas yang baik. Maka penting pengelolaan pengaduan dikelola dengan
baik dan efektif dalam rangka membuka akses seluas-luasnya kepada masyarakat
selaku pengguna layanan untuk berpartisipasi dalam peningkatan kualitas pelayanan
publik. Peran masyarakat dalam pelayanan publik diatur dalam Pasal 39 Undang
Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik, disebutkan bahwa peran
serta masyarakat diwujudkan mulai dari mulai penyusunan standar pelayanan sampai
evaluasi dan pemberian penghargaan. Dalam pasal 42 Peraturan Pemerintah Nomor
96 Tahun 2012 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2012 tentang
Pelayanan Publik dijelaskan bahwa pengikutsertaan masyarakat dalam pelayanan
publik disampaikan dalam bentuk masukan, tanggapan, laporan dan/atau pengaduan
kepada penyelenggara dan atasan langsung penyelenggara serta pihak terkait atau
melalui media massa. Sebagai pengguna layanan, masyarakat dapat melakukan
pengawasan terhadap standar pelayanan publik yang telah ditetapkan. Bila dalam
prakteknya masyarakat tidak mendapatkan layanan sesuai standar pelayanan yang
telah ditetapkan masyarakat punya hak untuk menyampaikan pengaduannya ke Unit
Pengaduan yang tersedia. Inilah bentuk partisipasi masyarakat itu, di mana pengaduan
yang disampaikan dapat memberikan masukan kepada penyelenggara pelayanan guna
perbaikan kualitas pelayanan yang diselenggarakan. Selain itu, pengelolaan
pengaduan pelayanan publik secara jelas juga diatur dalam Peraturan Presiden Nomor
76 Tahun 2013 tentang Pengelolaan Pengaduan Pelayanan Publik. Di dalam Perpres
ini kita dapat mengetahui hak pengadu, kewajiban penyelenggara, pengelola,
mekanisme pengelola pengaduan, penyelesaian pengaduan, kewajiban dan larangan
bagi pengelola serta perlindungan pengaduan. Pengadu dapat meminta perlindungan
kepada penyelenggara  berupa jaminan kerahasiaan identitas pengadu. Maka dari itu
penyelenggara wajib menyediakan sarana pengaduan untuk pengelolaan pengaduan
tersebut. Pada setiap sarana pengaduan harus tersedia informasi tentang mekanisme
atau tata cara pengaduan secara langsung atau tidak langsung maupun elektronik yang
mudah dipahami oleh penerima layanan. Setiap pengaduan yang masuk harus
ditanggapi serius oleh pengelola pengaduan termasuk bila pengadu adalah dari
kelompok rentan, berkebutuhan khusus. Seperti disebutkan pada pasal 3 ayat (2)
Peraturan Presiden Nomor 76 Tahun 2013 bahwa penyedia sarana pengaduan harus
memperhatikan kepentingan kelompok rentan atau berkebutuhan khusus.
4. Rehabilitasi Sosial dan Reintegrasi Sosial Bagi Anak yang Berhadapan dengan Hukum
sekarang diatur dalam Permensos 26 Tahun 2018 tentang Rehabilitasi Sosial dan
Reintegrasi Sosial Bagi Anak yang Berhadapan dengan Hukum. Permensos 26 Tahun
2018 tentang Rehabilitasi Sosial dan Reintegrasi Sosial Bagi Anak yang Berhadapan
dengan Hukum ditandatangani Menteri Sosial Agus Gumiwang Kartasasmita pada
tanggal 28 November 2018 dan diberlakukan setelah diundangkan dalam Berita Negara
Republik Indonesia Tahun 2018 Nomor 1642 oleh Widodo Ekatjahjana Dirjen Peraturan
Perundang-undangan Kemenkumham RI  pada tanggal 13 Desember 2018 di Jakarta.
Definisi Rehabilitasi Sosial dalam Permensos 26 Tahun 2018 tentang Rehabilitasi Sosial
dan Reintegrasi Sosial Bagi Anak yang Berhadapan dengan Hukum adalah proses
refungsionalisasi dan pengembangan untuk memungkinkan seseorang mampu
melaksanakan fungsi sosialnya secara wajar dalam kehidupan masyarakat. Reintegrasi
Sosial adalah proses penyiapan anak yang berkonflik dengan hukum, anak korban,
dan/atau anak saksi untuk dapat kembali ke dalam lingkungan Keluarga dan masyarakat.
Istilah-istilah penting dalam Permensos 26 Tahun 2018 tentang Rehabilitasi Sosial dan
Reintegrasi Sosial Bagi Anak yang Berhadapan dengan Hukum ini seperti Anak yang
Berhadapan dengan Hukum (ABH) adalah anak yang berkonflik dengan hukum, anak
yang menjadi korban tindak pidana, dan anak yang menjadi saksi tindak pidana. Anak
yang Berkonflik dengan Hukum (Anak) adalah anak yang telah berumur 12 (dua belas)
tahun, tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang diduga melakukan tindak
pidana. Anak yang Menjadi Korban Tindak Pidana (Anak Korban) adalah anak yang
belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang mengalami penderitaan fisik, mental,
dan/atau kerugian ekonomi yang disebabkan oleh tindak pidana. Anak yang Menjadi
Saksi Tindak Pidana (Anak Saksi) adalah anak yang belum berumur 18 (delapan belas)
tahun yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan, dan
pemeriksaan di sidang pengadilan tentang suatu perkara pidana yang didengar, dilihat,
dan/atau dialaminya sendiri. Menjadi acuan bagi kita semua dalam memahami konteks
anak yang berhadapan dengan hukum (ABH). Dalam undang-undang tentang
perlindungan anak, yang dimaksud dengan Anak adalah seseorang yang belum berusia 18
(delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Meski demikian,
khusus untuk penanganan anak berhadapan hukum oleh LKSA menyebutan bahwa anak
berhadapan dengan hukum (ABH) berada pada usia 6 – 18 tahun. Hak anak adalah
bagian dari hak asasi manusia yang wajib dijamin, dilindungi, dan dipenuhi oleh orang
tua, keluarga, masyarakat, pemerintah, dan negara. Anak juga memiliki hak untuk
mendapatkan pendampingan. Dalam undang- undang disebutkan bahwa Pendamping
adalah pekerja sosial yang mempunyai kompetensi profesional dalam bidangnya. 
Permasalahan sosial di Indonesia dewasa ini sudah semakin meluas dan kompleks. Ada
masalah sosial yang disebabkan karena sistem yang kurang tepat sasaran dan juga karena
sengaja dilakukan oleh oknum tertentu. Masalah sosial sebagai fokus kerja Kementerian
Sosial adalah Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS) yang selanjutnya
disebut sebagai Pemerlu Pelayanan Kesejahteraan Sosial (PPKS). Di Indonesia antara
lain adalah anak balita terlantar, anak terlantar, anak yang menjadi korban tindak
kekerasan atau diperlakukan salah, anak nakal, anak jalanan, anak cacat, wanita rawan
sosial ekonomi, wanita yang menjadi korban tindak kekerasan atau diperlakukan salah,
lanjut usia terlantar, lanjut usia yang menjadi korban tindak kekerasan atau diperlakukan
salah, penyandang cacat, penyandang cacat bekas penderita penyakit kronis, tunasusila,
pengemis, gelandangan, bekas narapidana, korban penyalahgunaan napza, keluarga
rentan, keluarga bermasalah sosial psikologis, korban bencana alam, korban bencana
sosial, pekerja migran terlantar,  penyandang AIDS/HIVserta anak bermasalah hukum,
dan lainnya.

Anda mungkin juga menyukai