Kelompok 1 :
MAGISTER AKUNTANSI
FAKULTAS EKONOMI
UNIVERSITAS ANDALAS
2017
BAB 1 PENDAHULUAN
Latar belakang
Rumusan masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, maka rumusan masalah dalam penulisan makalah ini
yaitu
Tujuan penelitian
1. UUD 1945
5. UU No. 33 Tahun 2004 Tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan
Pemerintah Daerah
6. Peraturan Pemerintah No. 20 Tahun 2004 Tentang Rencana Kerja Pemerintah (RKP)
7. Peraturan Pemerintah No. 21 tahun 2004 Tentang Penyusunan Rencana Kerja dan Anggaran
Kementerian Negara/Lembaga
Dalam UUD 1945 Amandemen ke 4 pada Pasal 23 ayat (1) dijelaskan bahwa APBN
sebagai wujud dari pengelolaan keuangan negara ditetapkan setiap tahun dengan UU dan
dilaksanakan secara terbuka dan bertanggung jawab untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Selanjutnya dalam Pasal 23 ayat (2) dijelaskan bahwa RUU APBN diajukan oleh Presiden untuk
dibahas bersama DPR dengan memperhatikan pandangan Dewan Pertimbangan Daerah (DPD).
Sedangkan, Pasal 23 ayat (3) menyatakan bahwa apabila DPR tidak menyetujui RAPBN yang
diusulkan oleh Presiden, maka Pemerintah harus menjalankan APBN tahun yang sebelumnya.
Amanat UUD 1945 tersebut selanjutnya diterjemahkan dalam UU No. 17 Tahun 2003
tentang Keuangan Negara. UU No. 17 tahun 2003 Pasal 8 menerangkan tugas Menteri Keuangan
selaku pengelola fiskal antara lain sebagai berikut:
Sedangkan, UU No. 17 tahun 2003 Pasal 9 menerangkan Tugas Menteri atau Pimpinan
Lembaga sebagai Pengguna Anggaran/Pengguna Barang antara lain sebagai berikut:
Dalam UU No. 17 tahun 2003 pada Pasal 14 dijelaskan beberapa hal sebagai berikut:
2) Rencana kerja dan anggaran sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) disusun berdasarkan
prestasi kerja yang akan dicapai.
3) Rencana kerja dan anggaran sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) disertai dengan prakiraan
belanja untuk tahun berikutnya setelah tahun anggaran yang sedang disusun.
4) Rencana kerja dan anggaran dimaksud dalam ayat (1) disampaikan kepada DPR untuk dibahas
dalam pembicaraan pendahuluan rancangan APBN.
5) Hasil pembahasan rencana kerja dan anggaran disampaikan kepada Menteri Keuangan sebagai
bahan penyusunan rancangan undang-undang tentang APBN tahun berikutnya.
Selanjutnya, PP No. 20 tahun 2004 Pasal 3 ayat (2) menerangkan bahwa program dan
kegiatan disusun dengan pendekatan berbasis kinerja, kerangka pengeluaran jangka menengah, dan
penganggaran terpadu. Hal ini selaras dengan PP No.21 tahun 2004 Pasal 4 yang menyatakan bahwa
RKA-KL disusun dengan menggunakan pendekatan sebagai berikut:
b. Penganggaran Terpadu;
Di samping itu, PP No. 21 tahun 2004 Pasal 7 ayat (4) menyatakan bahwa Menteri
Keuangan menetapkan standar biaya, baik yang bersifat umum maupun yang bersifat khusus bagi
pemerintah pusat setelah berkoordinasi dengan Kementerian/Lembaga terkait. Sedangkan, Pasal 10
ayat (5) menyatakan bahwa Kementerian Keuangan menelaah kesesuaian antara RKA-KL hasil
pembahasan bersama DPR dengan SE MENKEU Tentang Pagu Sementara, prakiraan maju yang
telah disetujui tahun anggaran sebelumnya, dan standar biaya yang telah ditetapkan.
Untuk meningkatkan transparansi dan akuntabilitas keuangan negara, mulai dari tahun
2001 format dan struktur APBN berubah dari format T-Account sesuai dengan prinsip anggaran
dinamis berimbang, menjadi format I-Account sesuai dengan prinsip anggaran pembiayaan
defisit/surplus. Dalam format I-Account, APBN terdiri atas anggaran pendapatan, anggaran belanja,
dan pembiayaan anggaran.
• Pendapatan Negara dan Hibah adalah hak Pemerintah yang diakui sebagai penambah nilai
kekayaan bersih.
• Belanja Negara adalah kewajiban Pemerintah yang diakui sebagai pengurang nilai kekayaan
bersih.
• Surplus Anggaran merupakan selisih lebih pendapatan negara dan hibah terhadap belanja
negara, sedangkan selisih kurang pendapatan negara dan hibah terhadap belanja negara disebut
dengan Defisit Anggaran. Surplus/defisit anggaran tersebut dibiayai dari pembiayaan
anggaran.
• Pembiayaan adalah setiap penerimaan yang perlu dibayar kembali dan atau pengeluaran yang
akan diterima kembali, baik pada tahun anggaran yang bersangkutan maupun tahun-tahun
anggaran berikutnya.
Dalam struktur dan format APBN berdasarkan UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan
Negara, pendapatan negara terdiri atas penerimaan perpajakan, penerimaan bukan pajak, dan hibah.
Sedangkan, belanja negara meliputi belanja-belanja yang dipergunakan untuk keperluan
penyelenggaraan tugas pemerintahan pusat, dan untuk pelaksanaan perimbangan keuangan antara
pemerintah pusat dan daerah. Belanja negara dirinci menurut organisasi, fungsi, dan jenis belanja.
Selanjutnya, pembiayaan anggaran terdiri dari pembiayaan dalam negeri dan luar negeri.
Pengertian I-Account berdasarkan PMK No. 91/PMK.06/2007 tentang Bagan Akun Standar adalah
sebagai berikut.
1. Pendapatan
a. Penerimaan Perpajakan
Pendapatan yang diterima oleh pemerintah yang mana sumbernya didapat dari pajak, bea
dan cukai setelah itu hasil tersebut dipergunakan untuk menutupi seluruh pengeluaran
negara.
Pendapatan yang diterima oleh pemerintah yang bersumber dari penerimaan (PNBP) yang
tidak dapat dikategorikan kedalam penerimaan pajak yang sepenuhnya digunakan untuk
menutupi seluruh pengeluaran negara.
c. Hibah
Penerimaan yang diterima pemerintah berupa uang maupun barang modal yang sumbernya
berasal dari dalam dan luar negeri atau dari hibah lainnya.
2. Belanja
a. Belanja Pegawai
Pengeluaran yang merupakan kompensasi terhadap pegawai baik dalam bentuk uang atau
barang, yang harus dibayarkan kepada pegawai pemerintah dalam maupun luar negeri baik
kepada pejabat negara, pegawai negeri sipil dan pegawai yang dipekerjakan oleh
pemerintah yang belum berstatus PNS sebagai imbalan atas pekerjaan yang telah
dilaksanakan, kecuali pekerjaan yang berkaitan dengan pembentukan modal.
b. Belanja Barang
Pengeluaran untuk menampung pembelian barang dan jasa yang habis pakai untuk
memproduksi barang dan jasa yang dipasarkan maupun yang tidak dipasarkan. Belanja ini
terdiri dari belanja barang dan jasa, belanja pemeliharaan dan belanja perjalanan dinas.
c. Belanja Modal
Pengeluaran anggaran digunakan untuk menambah aset tetap dan aset lainnya yang
memberi manfaat lebih dari satu periode akuntansi serta melebihi batasan minimal
kapitalisasi aset tetap atau aset lainnya yang ditetapkan pemerintah. Aset tetap digunakan
untuk operasional kegiatan sehari-hari bukan untuk dijual.
e. Belanja Subsidi
Pengeluaran pemerintah dalam bentuk uang, barang atau jasa, bersifat tidak wajib yang
telah ditetapkan dan tidak mengikat kepada pemerintahan negara lain, pemerintah daerah,
masyarakat dan organisasi kemasyarakatan, serta organisasi internasional.
Uang atau barang yang diberikan kepada masyarakat bertujuan untuk melindungi dari
terjadinya resiko sosial. Bantuan sosial diberikan kepada anggota masyarakat atau lembaga
kemasyarakatan. Pengeluaran yang diberikan dapat berupa uang, barang atau jasa yang
bertujuan untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat, bersifat tidak terus menerus dan
selektif.
h. Belanja Lain-lain
3. Transfer ke Daerah
a. Dana Perimbangan
Pengeluaran anggaran untuk pemerintah daerah berupa dana bagi hasil, dana alokasi umum,
dan dana alokasi khusus yang ditujukan untuk keperluan pemerintah daerah.
Pengeluaran anggaran untuk pemerintah daerah berupa dana otonomi khusus dan dana
penyesuaian yang ditujukan untuk keperluan pemerintah daerah.
4. Pembiayaan
a. Penerimaan Pembiayaan
b. Pengeluaran Pembiayaan
Setelah itu, disusun langkah-langkah kebijakan (policy measures) yang merupakan koreksi
terhadap perkiraan besaran APBN melalui rangkaian kebijakan yang akan ditempuh, baik di sisi
pendapatan maupun belanja negara. Penjumlahan antara proyeksi dasar dan langkah kebijakan yang
akan diambil akan menghasilkan sasaran yang ingin dicapai (program) ini merupakan tujuan dari
APBN dari hasil koreksi dalam policy measures terhadap proyeksi dasar.
Sistem Anggaran Kinerja, pada pengendalian anggaran sasaran yang ingin dicapai harus
dirumuskan terlebih dahulu, setelah itu baru jumlah biaya yang ditetapkan. Keterbatasan
sistem ini, yaitu terbatasnya tenaga ahli dalam bidang anggaran dan akuntansi, kegiatan
dan jasa umumnya tidak dapat segera diukur.
5. Auditing: merupakan tahap akhir dari siklus APBN, dimana realisasi APBN diaudit oleh badan
pemeriksa keuangan.
Fase-fase dalam siklus APBN di Indonesia, menurut UU No. 17 Tahun 2003 dan UU
No. 1 Tahun 2004 disajikan dalam diagram di bawah ini.
BAPPENAS RPJM PP
KEMENTERIAN/LEMBAGA RENSTRA-KL
BAPPENAS+DEPKEU PAGU INDIKATIF SEB
PERENCANAAN
KEMENTERIAN/LEMBAGA RENJA-KL
BAPPENAS RKP PP
DEP.KEUANGAN PAGU SEMENTARA SE-MK
KEMENTERIAN/LEMBAGA RKA-KL
DEP.KEUANGAN HIMPUNAN RKA-KL
PENGANGGARAN
Dalam diagram di atas dapat dilihat bahwa siklus APBN terdiri dari 5 tahapan, yaitu tahap
perencanaan, penganggaran, pengesahan anggaran, pelaksanaan, dan pertanggungjawaban. Tahap
perencanaan dimulai dari penyusunan arah dan kebijakan umum APBN, yang didasarkan pada
rencana pembangunan jangka menengah (RPJM), dan diakhiri pada saat RKP telah disahkan. Tahap
penganggaran dimulai sejak pagu sementara ditetapkan hingga pembahasan dengan DPR mengenai
Nota Keuangan (NK) & RAPBN.
Sementara itu, tahap pengesahan APBN terdiri dari dua kegiatan penting, yaitu pengesahan
UU dan penetapan Perpres mengenai rincian APBN. Setelah RUU APBN disahkan menjadi UU
APBN, maka setiap K/L wajib mengusulkan draft DIPA dan menyampaikannya ke Departemen
Keuangan untuk disahkan. DIPA tersebut merupakan instrumen untuk melaksanakan APBN.
Selanjutnya, tahap pertanggungjawaban terjadi pada saat Pemerintah dan DPR membahas laporan
keuangan pemerintah pusat (LKPP) menjadi UU.
Dilihat dari kronologis waktu, fase pertama dimulai pada bulan Februari tahun berjalan
untuk membahas persiapan penyusunan pagu indikatif, berdasarkan asumsi ekonomi makro yang
disusun oleh tim. Setelah disetujui oleh Presiden dalam Sidang Kabinet, pagu indikatif tersebut
selanjutkan diedarkan ke kementerian/lembaga melalui Surat Edaran Bersama Menteri Keuangan
dan Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas. Berdasarkan pagu indikatif
tersebut, masing-masing K/L menyusun Rencana Kerja dan Anggaran K/L. Rencana Kerja K/L
tersebut merupakan bahan penyusunan Rencana Kerja Pemerintah, yang dikompilasikan oleh
Bappenas.
Dalam merespon pidato kenegaraan Presiden dalam mengantarkan NK & RAPBN, fraksi-
fraksi akan menyampaikan pemandangan umumnya masing-masing dalam Masa Sidang Pertama.
Berdasarkan pemandangan umum fraksi-fraksi tersebut, Pemerintah yang diwakili oleh
Departemen Keuangan melakukan pembahasan RAPBN tahun berikutnya bersama dengan DPR
RI, dalam hal ini Panitia Anggaran. Bersamaan dengan itu, Kementerian/Lembaga melakukan
pembahasan dengan Komisi terkait secara paralel mengenai RKA K/L masing-masing K/L. RUU
APBN tahun berikutnya tersebut harus disahkan menjadi UU APBN pada akhir Oktober tahun
berjalan. Dengan disahkannya UU APBN, maka pagu sementara akan ditetapkan menjadi pagu
definitif.
Tingkat pembicaraan RUU APBN antara Pemerintah dengan DPR dilakukan dalam 2
tingkat pembicaraan, yaitu Tingkat I yang meliputi: rapat Komisi, rapat gabungan Komisi, rapat
Badan Legislasi, dan rapat Panitia Anggaran, atau rapat Panitia Khusus, serta Tingkat II yang
meliputi: rapat Paripurna pengambilan keputusan. Sebelum dilakukan pembicaraan Tingkat I dan
Tingkat II tersebut diadakan Rapat Fraksi.
Berdasarkan UU APBN yang telah disahkan tersebut, K/L bersama dengan Departemen
Keuangan dan Bappenas menyusun Rincian Anggaran Belanja K/L untuk menetapkan RAB K/L
per jenis belanja dan mencocokan dengan standar biaya agar terjadi efisiensi anggaran. RAB
tersebut harus disahkan paling lambat pada akhir November tahun berjalan. Berdasarkan RAB K/L
tersebut, K/L menerbitkan DIPA K/L yang selanjutnya diserahkan ke Departemen Keuangan c.q
Direktorat Jenderal Perbendaharaan (Ditjen PBN) untuk mencocokan dengan RAB K/L dan proses
pencairan anggaran. DIPA K/L tersebut harus sudah diserahkan oleh masing-masing K/L kepada
DJPb paling lambat 31 Desember tahun berjalan.
a. Tujuan aktivitas, dinyatakan dalam suatu cara yang membuat tujuan yang
diharapkan menjadi jelas.
b. Alternatif aktivitas atau alat untuk mencapai tujuan yang sama dan alasan
mengapa alternatif-alternatif tersebut ditolak.
c. Konsekuensi dari tidak dilakukannya aktivitas tersebut.
d. Input, kuantitas atau unit pelayanan yang disediakan (output) dan hasil
(outcome) pada beberapa tingkat pendanaan.
Prinsip-Prinsip Penganggaran
a. Transparansi dan akuntabilitas anggaran
Anggaran harus dapat menyajikan informasi yang jelas mengenai tujuan, sasaran, hasil, dan
manfaat yang diperoleh masyarakat dari suatu kegiatan atau proyek yang dianggarkan.
Anggota masyarakat memiliki hak dan akses yang sama untuk mengetahui proses anggaran
karena menyangkut aspirasi dan kepentingan masyarakat, terutama pemenuhan kebutuhan-
kebutuhan hidup masyarakat. Masyarakat juga berhak untuk menuntut pertanggungjawaban
atas rencana ataupun pelaksanaan anggaran tersebut.
b. Disiplin anggaran
Pendapatan yang direncanakan merupakan perkiraan yang terukur secara rasional yang dapat
dicapai untuk setiap sumber pendapatan. Sedangkan belanja yang dianggarkan pada setiap
pos/pasal merupakan batas tertinggi pengeluaran belanja. Penganggaran pengeluaran harus
didukung dengan adanya kepastian tersedianya penerimaan dalam jumlah yang cukup dan tidak
dibenarkan melaksanakan kegiatan/proyek yang belum/tidak tersedia anggarannya. Dengan
kata lain, bahwa penggunaan setiap pos anggaran harus sesuai dengan kegiatan/proyek yang
diusulkan
c. Keadilan anggaran
Pemerintah wajib mengalokasikan penggunaan anggarannya secara adil agar dapat dinikmati
oleh seluruh kelompok masyarakat tanpa diskriminasi dalam pemberian pelayanan, karena
pendapatan pemerintah pada hakikatnya diperoleh melalui peran serta masyarakat secara
keseluruhan
Anggaran disusun berdasarkan aktivitas yang di dukung oleh estimasi biaya dan
pencapaian yang di ukur secara kuantitatif.
Penekanannya pada kebutuhan untuk mengukur output dan input.
Anggaran kinerja memasyarakatkan adanya data-data kinerja memungkinkan
legislatif untuk menambah atau mengurangi dari jumlah yang diminta dalam
fungsi dan aktivitas tertentu.
Menyediakan pada eksekutip pengendalian yang lebih terhadap bawahannya.
Anggaran kinerja menekankan aktivitas yang memakai anggaran daripada
berapa jumlah anggaran yang terpakai.
Hanya sedikit dari pemerintah pusat dan daerah yang memiliki staf anggaran
atau akuntansi yang memiliki kemampuan memadai untuk mengidentifikasi
unit pengukuran dan melaksanakan analisis biaya.
Banyak jasa dan aktifitas pemerintah telah secara khusus dibuat dengan dasar
anggaran yang dikeluarkan (cash basis)
Kadang kala, aktivitas diukur biaya secara detail dan dilakukan pengukuran
secara detail lainnya tanpa adanya pertimbangan memadai yang diperlukan
pada perlu atau tidaknya aktivitas itu sendiri.
Selain prinsip-prinsip secara umum seperti yang telah diuraikan di atas, Undang-Undang
Nomor 17 Tahun 2003 mengamanatkan perubahan-perubahan kunci tentang penganggaran
sebagai berikut:
a. Penerapan pendekatan penganggaran dengan perspektif jangka menengah
Pendekatan dengan perspektif jangka menengah memberikan kerangka yang
menyeluruh, meningkatkan keterkaitan antara proses perencanaan dan penganggaran,
mengembangkan disiplin fiskal, mengarahkan alokasi sumber daya agar lebih rasional dan
strategis, dan meningkatkan kepercayaan masyarakat kepada pemerintah dengan pemberian
pelayanan yang optimal dan lebih efisien.
Dengan melakukan proyeksi jangka menengah, dapat dikurangi ketidakpastian di masa
yang akan datang dalam penyediaan dana untuk membiayai pelaksanaan berbagai inisiatif
kebijakan baru, dalam penganggaran tahunan. Pada saat yang sama, harus pula dihitung
implikasi kebijakan baru tersebut dalam konteks keberlanjutan fiskal dalam jangka menengah.
Cara ini juga memberikan peluang untuk melakukan analisis apakah pemerintah perlu
melakukan perubahan terhadap kebijakan yang ada, termasuk menghentikan program-program
yang tidak efektif, agar kebijakan-kebijakan baru dapat diakomodasikan.
b. Penerapan penganggaran secara terpadu
Dengan pendekatan ini, semua kegiatan instansi pemerintah disusun secara terpadu,
termasuk mengintegrasikan anggaran belanja rutin dan anggaran belanja pembangunan. Hal
tersebut merupakan tahapan yang diperlukan sebagai bagian upaya jangka panjang untuk
membawa penganggaran menjadi lebih transparan, dan memudahkan penyusunan dan
pelaksanaan anggaran yang berorientasi kinerja. Dalam kaitan dengan menghitung biaya input
dan menaksir kinerja program, sangat penting untuk mempertimbangkan biaya secara
keseluruhan, baik yang bersifat investasi maupun biaya yang bersifat operasional.
c. Penerapan penganggaran berdasarkan kinerja
Pendekatan ini memperjelas tujuan dan indikator kinerja sebagai bagian dari
pengembangan sistem penganggaran berdasarkan kinerja. Hal ini akan mendukung perbaikan
efisiensi dan efektivitas dalam pemanfaatan sumber daya dan memperkuat proses pengambilan
keputusan tentang kebijakan dalam kerangka jangka menengah. Rencana kerja dan anggaran
(RKA) yang disusun berdasarkan prestasi kerja dimaksudkan untuk memperoleh manfaat yang
sebesar-besarnya dengan menggunakan sumber daya yang terbatas. Oleh karena itu, program
dan kegiatan Kementerian Negara/Lembaga atau SKPD harus diarahkan untuk mencapai hasil
dan keluaran yang telah ditetapkan sesuai dengan Rencana Kerja Pemerintah (RKP) atau
rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD).
3. Penetapan aktivitas
Aktivitas dipilih berdasarkan strategi organisasi dan tujuan operasional yang telah
ditetapkan. Organisasi kemudian membuat sebuah unit atau peket keputusan yang berisi
beberapa alternatif keputusan atas setiap aktivitas. Alternatif keputusan tersebut menjadi
identitas dan penjelasan bagi aktivitas yang bersangkutan. Secara umum alternatif keputusan
berisi komponen sebagai berikut :
e. Tujuan aktivitas, dinyatakan dalam suatu cara yang membuat tujuan yang
diharapkan menjadi jelas.
f. Alternatif aktivitas atau alat untuk mencapai tujuan yang sama dan alasan
mengapa alternatif-alternatif tersebut ditolak.
g. Konsekuensi dari tidak dilakukannya aktivitas tersebut.
h. Input, kuantitas atau unit pelayanan yang disediakan (output) dan hasil
(outcome) pada beberapa tingkat pendanaan.
Salah satu pendekatan penganggaran yang digunakan adalah kerangka pengeluaran jangka
menengah, biasa disingkat dengan KPJM (medium term expenditure framework). KPJM
sebenarnya merujuk pada suatu perspektif atau cakrawala berpikir bahwa pengalokasian
anggaran juga wajib memikirkan dampak pelaksanaan suatu kebijakan (dalam bentuk
program/kegiatan) beserta kebutuhan anggarannya untuk jangka waktu 3 atau 5 tahun dari
tahun yang direncanakan. apakah program/kegiatan yang akan direncanakan berlangsung
hanya satu, dua, atau tiga tahun dari tahun yang direncanakan.
Konsep KPJM ini dinyatakan dalam Undang-Undang Nomor 17 tahun 2003 tentang Keuangan
Negara. Namun kenyataannya, pendekatan ini masih belum banyak dipahami oleh kementerian
negara/lembaga (KL). Bukti bahwa KPJM belum diterapkan sepenuhnya oleh KL adalah isian
yang ada dalam dokumen Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian Negara/Lembaga
(RKAKL). Dokumen RKAKL sebagai dokumen perencanaan dan penganggaran sampai saat
ini (tahun anggaran 2014) tidak bisa dijadikan dasar perencanaan kebutuhan anggaran untuk 3
tahun ke depan1[1] bagi KL itu sendiri. Padahal, keuntungan menerapkan KPJM akan kembali
kepada tiap-tiap K/L yang menggunakannya.
Penerapan anggaran bergulir tidak memerlukan sumber daya banyak (usaha, waktu, dan dana)
dalam proses perencanaan anggarannya. Yang diperlukan adalah penggabungan perubahan
dari periode sebelumnya. Dengan demikian, penyusunan proyeksi anggaran untuk tahun yang
direncanakan lebih menghemat biaya dan waktu. Perencana tidak perlu lagi menyusun proyeksi
anggaran pada tahun yang direncanakan dengan memulainya usaha mengumpulkan data-data
dari nol. Anda hanya perlu meneliti data-data yang dijadikan dasar proyeksi pada tahun
berjalan, mengamati kesenjangan (deviasi) antara rencana dan realisasi, apa penyebabnya,
mengumpulkan data-data baru sebagai antisipasi kebijakan (termasuk asumsi baru) yang akan
digunakan. Selanjutnya, perencana hanya perlu melakukan koreksi angka
(menambahkan/mengurangi) besaran alokasi anggaran tahun berdasarkan perubahan yang
terjadi pada saat pelaksanaan anggaran tahun sebelumnya. Untuk selanjutnya, hasil koreksi
angka inilah yang menjadi angka proyeksi belanja anggaran pada tahun yang direncanakan.
Kedua, penggunaan angka dasar sebagai pijakan menentukan besaran anggaran yang
dibutuhkan. Angka dasar merupakan alokasi anggaran tahun berjalan yang telah dilihat, diteliti,
ditimbang-timbang kembali (review): biaya-biaya mana saja yang sudah tidak relevan dengan
program/kegiatan pada tahun yang direncanakan. Jadi, angka dasar tersebut benar-benar angka
yang mencerminkan besaran kebutuhan anggaran yang riil dibutuhkan, tidak ada anggaran
cadangan. Misal, anggaran suatu Program A pada tahun berjalan Rp500,00 juta. Setelah review,
anggaran yang masih relevan pada tahun yang direncanakan hanya sebesar Rp300,00 juta.
Besaran anggaran Rp300,00 juta inilah yang disebut angka dasar.
Konsep ketiga adalah penggunaan parameter. Yang dimaksud dengan parameter adalah angka
sebagai patokan atau indeks yang nantinya digunakan sebagai faktor pengali dengan angka
dasar. Hasilnya adalah angka proyeksi untuk alokasi anggaran pada tahun yang direncanakan.
Apabila angka dasar di atas (sebesar Rp300,00 juta) nantinya sangat dipengaruhi angka inflasi
pada tahun yang direncanakan (misal 10%), besaran anggaran sebagai proyeksi kebutuhan
anggaran Program A pada tahun direncanakan adalah Rp300,00 juta kali 10% atau sebesar
Rp330,00 juta. Angka inflasi 10% inilah yang disebut parameter. Jenis parameter ada 2, yaitu
parameter ekonomi dan nonekonomi. Parameter ekonomi merupakan parameter yang secara
khusus berkaitan dengan biaya tertentu. Misal, kebijakan anggaran pada tahun 2014 untuk
bantuan operasional sekolah (BOS) bagi siswa SD adalah Rp500,00 ribu per tahun. Pada tahun
2015 (tahun yang direncanakan) kebijakan pemberian BOS diubah menjadi Rp600,00 ribu.
Besaran anggaran BOS inilah yang disebut parameter ekonomi. Sedangkan besaran angka
inflasi sebagaimana contoh di atas merupakan jenis parameter nonekonomi karena dapat
digunakan secara umum oleh komponen biaya yang sangat dipengaruhi inflasi pada tahun yang
direncanakan.
Konsep terakhir adalah inisiatif baru. Inisiatif baru merupakan kebijakan dalam bentuk
program/kegiatan/keluaran yang benar-benar baru dilaksanakan pada tahun yang
direncanakan. Program/kegiatan/keluran yang akan dilaksanakan tersebut ada yang benar-
benar program/kegiatan/keluaran baru yang tidak ada hubungannya dengan
program/kegiatan/keluaran yang dilaksanakan pada tahun berjalan. Bisa juga dalam bentuk
keluaran dari program/kegiatan yang sedang berjalan, hanya saja targetnya ditambah. Misal,
semula direncanakan target BOS hanya untuk 500 siswa tetapi karena untuk percepatan
ditambah menjadi 700 siswa.
Untuk menjelaskan secara sederhana penerapan pendekatan KPJM, berikut ini adalah contoh
perhitungan dan pengalokasian anggaran belanja dalam suatu KL. Anggaran belanja tersebut
terdiri dari belanja operasional dan belanja nonoperasional. Belanja operasional adalah belanja
yang dipergunakan untuk keperluan biaya gaji, keperluan sehari-hari perkantoran, dan
pemeliharaan aset. Sementara belanja nonoperasional biaya-biaya yang digunakan untuk
membiayai kegiatan pelayanan, penyusunan regulasi, dan/atau investasi.
Sebagai contoh, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan pada tahun anggaran 2001
mempunyai alokasi anggaran Rp1.000 milyar untuk biaya operasional kementerian yang
digunakan untuk belanja pegawai Rp500 milyar, pemeliharaan aset Rp 200 milyar, dan lain-
lain keperluan kantor Rp 300 milyar. Beberapa perubahan yang perlu dipertimbangkan dalam
penyusunan anggaran tahun 2002 adalah perkiraan inflasinya (berdasarkan tren 5 tahunan,
misal 10%). Disamping itu juga, tiap tahun ada kebijakan pemerintah menaikkan gaji pegawai
sebesar 6%. Selain itu Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan mempunyai alokasi anggaran
Rp50,00 milyar dalam rangka program BOS.
Dengan demikian, jika Anda sebagai perencana pada kementerian tersebut di atas, Anda wajib
membuat proyeksi anggaran tahun 2002 untuk biaya operasional sebesar Rp1.080 milyar
dengan rincian perhitungan sebagai berikut:
Uraian 2001 Perubahan 2002 Keterangan
1 2 3 4=2 + 3 5
- Belanja Pegawai 500 500 x 6% = 30 530 Dipengaruhi
kebijakan
kenaikan gaji
- Belanja pemeliharaan 200 200 x 10% = 20 220 Dipengaruhi
asset inflasi
- Belanja lain-lain 300 300 x 10% = 30 330 Dipengaruhi
keperluan kantor inflasi
Jumlah 1.000 80 1.080
Sebagaimana disinggung di awal, pendekatan KPJM merupakan penganggaran berdasarkan
kebijakan. Artinya, kebijakan anggaran tahun sebelumnya (2001) apabila berdampak pada
keberlanjutan program/kegiatan beserta pendanaannya harus dimasukkan atau diusulkan
sebagai bagian dari besaran proyeksi anggaran pada tahun yang direncanakan (2002). Konsep
ini dikenal dengan angka dasar (baseline). Begitu juga dengan adanya kebijakan baru (di luar
kebijakan dalam baseline), alokasi anggaran seperti ini juga sebaiknya diusulkan. Konsep ini
dikenal dengan inisiatif baru (new inisiatif). Tapi harus digarisbawahi, usulan inisiatif baru
harus melalui suatu verfikasi terlebih dahulu sampai disetujui anggarannya. Berbeda halnya
dengan alokasi anggaran untuk angka dasar, besaran alokasinya sudah pasti ada tetapi
besarannya tergantung pada kebijakan yang akan dijalankan/disetujui.
Jadi, dalam anggaran pada tahun yang direncanakan itu ada sebagian yang merupakan
pendanaan lanjutan dari kegiatan tahun sebelumnya. Sebagian yang lain merupakan
pendanaan dari kegiatan yang baru. Kondisi ini merupakan hal yang alami dalam pandangan
ilmu ekonomi (ilmu yang mencoba memahami dan mengatasi soal kelangkaan sumber daya)
karena menyangkut kelangkaan anggaran
Kesimpulan
Jadi anggaran pendapatan dan belanja Negara dalam suatu pemerintahan merupakan
salah satu structural yang berperan sebagai tulang punggung dalam menopang kehidupan
Negara baik itu dalam hal kemakmuran, kesejahteraan,bahkan berlangsungnya perkembangan
suatu Negara untuk mencapai sebuah kemajuan. Selain itu persoalan APBN sangatlah penting
tatkala Negara tersebut sedang mengalami kondisi dimana pengeluaran jauh lebih banyak
daripada pemasukannya.
Pendapatan APBN paling banyak disumbang dari penerimaan pajak yang didominasi
oleh sumber-sumber antara lain pajak penghasilan, pajak pertambahan nilai barang atau pajak
penjualan barang mewah, pajak bumi dan bangunan, penerimaan cukai dll. Dari tahun ke tahun
penerimaan/pendapatan negara dari pajak terus meningkat.
Namun, masih banyak persoalan-persoalan menyangkut APBN, mulai dari penyusunan
anggaran sampai pelaksanaan anggaran yang sering kali lebih besar pengeluaran dari pendapat
dan mengalami deficit anggaran yang menyebabkan Indonesia masih memilih jalan keluar
untuk menutupi deficit tersebut dengan cara meminjam dana ke lembaga-lembaga keuangan
dunia dan Negara-negara maju di dunia.
Dengan adanya APBN yang tersusun secara terperinci, seharusnya negara indonesia
bisa mengatasi berbagai persoalan yang ada dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan
meminimalisasi berbagai dampak buruk dari semua masalah yang timbul di masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA