Anda di halaman 1dari 25

1

BAB I
PENDAHULUAN

1. Latar Belakang
Di Indonesia, isu mengenai etika akuntan berkembang seiring dengan terjadinya
beberapa pelanggaran etika, baik yang dilakukan oleh akuntan publik, akuntan intern,
maupun akuntan pemerintah. Pelanggaran etika oleh akuntan publik misalnya dapat berupa
pemberian opini wajar tanpa pengecualian untuk laporan keuangan yang tidak memenuhi
kualifikasi tertentu menurut norma pemeriksaan akuntan atau Standar Profesional Akuntan
Publik (SPAP). Pelanggaran etika oleh akuntan intern dapat berupa perekayasaan data
akuntansi untuk menunjukkan kinerja keuangan perusahaan agar tampak lebih baik dari yang
sebenarnya. Sedangkan pelanggaran etika yang dilakukan oleh akuntan pemerintah misalnya
dapat berupa pelaksanaan tugas pemeriksaan yang tidak semestinya karena didapatkannya
insentif tambahan dalam jumlah tertentu dari pihak yang laporan keuangannya diperiksa
(Wulandari dan Sularso, 2002).
Etika pada dasarnya mempelajari perilaku atau tindakan seseorang dan kelompok atau
lembaga yang dianggap baik atau tidak baik. Agoes dan Ardana (2009:74) dalam
Helniyoman (2014) menambahkan bahwa ukuran untuk dapat menilai baik atau tidaknya
suatu tindakan bila dilihat dari hakikat manusia utuh adalah dilihat dari manfaat atau
kerugiannya bagi orang lain, kemampuan tindakan tersebut dalam menciptakan kebahagiaan
individu, dan kemampuan tindakan tersebut dalam meningkatkan kesadaran spiritual
seseorang.
Setiap profesi yang menjual jasanya kepada masyarakat membutuhkan kepercayaan
dari masyarakat yang dilayaninya. Umumnya masyarakat sangat awam mengenai pekerjaan
yang dilakukan oleh profesi tersebut karena kompleksnya pekerjaan yang dilakukan oleh
profesi. Masyarakat akan sangat menghargai profesi yang menerapkan standar mutu tinggi
terhadap pelaksanaan pekerjaan anggota profesinya, karena dengan demikian masyarakat
akan terjamin untuk memperoleh jasa yang dapat diandalkan dari profesi yang bersangkutan.
Jika masyarakat pemakai jasa tidak memiliki kepercayaan terhadap profesi akuntan, maka
pelayanan profesi tersebut kepada masyarakat pada umumnya menjadi tidak efektif (Satoto,
2004).
Dalam kongresnya tahun 1973 Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) untuk pertama kalinya
menetapkan kode etik bagi profesi akuntan di Indonesia.Dengan adanya Kode Etik Akuntan
2

Profesional diharapkan akan meningkatkan kepercayaan masyarakat kepada akuntan, serta


meningkatkan kontribusi akuntan bagi kepentingan masyarakat dan negara.
Etika profesional bagi praktik akuntan di Indonesia diatur dalam Kode Etik Ikatan
Akuntan Indonesia yang dikeluarkan oleh Ikatan Akuntan Indonesia (IAI). Ikatan Akuntan
Indonesia (IAI) adalah satu-satunya organisasi profesi akuntan Indonesia yang beranggotakan
auditor dari berbagai tipe (auditor pemerintah, auditor intern dan auditor independen),
akuntan manajemen, akuntan yang bekerja sebagai pendidik, serta akuntan yang bekerja di
luar profesi auditor.
Kode etik profesi merupakan salah satu upaya dari suatu asosiasi profesi untuk
menjaga integritas profesi tersebut agar mampu menghadapi berbagai tekanan yang dapat
muncul dari dirinya sendiri atau pihak luar. Anggota profesi seharusnya mentaati kode etik
profesi sebagai wujud kontra prestasi bagi masyarakat dan kepercayaan yang diberikannya
(Rustiana dan Indri (2002), dalam Retnowati (2002).
Menurut Agoes (2012), kode etik akuntan ini dimaksudkan sebagai pedoman dan
aturan bagi seluruh anggota, baik yang berpraktik sebagai akuntan publik, bekerja di
lingkungan dunia usaha, di instansi pemerintah, maupun di lingkungan dunia pendidikan
dalam pemenuhan tanggung jawab profesionalnya.
Prinsip Etika Profesi dalam Kode Etik Ikatan Akuntan Indonesia menyatakan
pengakuan profesi akan tanggung jawabnya kepada publik, pemakai jasa akuntan, dan rekan.
Prinsip ini memandu anggota dalam memenuhi tanggung jawab profesionalnya dan
merupakan landasan dasar perilaku etika dan perilaku profesionalnya. Selain itu, prinsip ini
meminta komitmen untuk berperilaku terhormat, bahkan dengan pengorbanan keuntungan
pribadi.
Dalam Kode Etik Akuntan Indonesia disebutkan bahwa tujuan profesi akuntansi
adalah memenuhi tanggung jawabnya dengan standar profesionalisme tertinggi, mencapai
tingkat kinerja tertinggi, dengan orientasi kepada kepentingan publik. Ikatan Akuntansi
Indonesia telah berupaya untuk melakukan penegakan etika profesi bagi akuntan. Namun,
perilaku tidak etis dari para akuntan masih tetap ada. Etika profesi berperan penting dalam
membentuk tenaga–tenaga yang profesional dengan mempertahankan kode etik.
Sebagai anggota suatu profesi, akuntan juga mempunyai tanggung jawab untuk
menjaga standar perilaku etis tertinggi mereka kepada organisasi dimana mereka bernaung,
profesi mereka, masyarakat dan diri mereka sendiri. Akuntan mempunyai tanggung jawab
untuk kompeten dan menjaga integritas dan obyektif mereka. Kewajiban untuk menjaga
standar perilaku etis berhubungan dengan adanya tuntunan masyarakat terhadap peran profesi
3

akuntan, khususnya atas kinerja akuntan publik. Masyarakat yang merupakan pengguna jasa
profesi membutuhkan seorang akuntan yang profesional. Label profesional disini
mengisyaratkan suatu kebanggaan, komitmen pada kualitas, dedikasi pada kepentingan klien
dan keinginan yang tulus membantu permasalahan yang dihadapi klien sehingga profesi
tersebut dapat menjadi kepercayaan masyarakat.
Seharusnya pelanggaran tersebut tidak akan terjadi jika setiap akuntan dan calon
akuntan mempunyai pengetahuan, pemahaman dan dapat menerapkan etika secara memadai
dalam melaksanakan tugasnya sebagai seorang akuntan yang profesional. Dengan sikap
akuntan yang profesional maka akan mampu menghadapi tekanan yang muncul dari dirinya
sendiri ataupun dari pihak eksternal.
Berdasarkan uraian diatas, maka penyusun telah membuat makalah yang akan
membahas materi mengenai hal tersebut. Makalah ini berjudul “PRINSIP-PRINSIP ETIS
PROFESI AKUNTANSI”.

2. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas maka yang menjadi rumusan masalah dalam
makalah ini adalah :
a. Apa pengertian etika profesi akuntansi?
b. Bagaimana prinsip-prinsip etis profesi akuntansi ?
c. Bagaimana penerapan prinsip-prinsip etis profesi akuntansi ?

3. Tujuan Penulisan

Berdasarkan rumusan masalah diatas maka yang menjadi tujuan penulisan dalam
makalah ini adalah untuk mengetahui :
a. Pengertian etika profesi akuntansi
b. Prinsip-prinsip etis profesi akuntansi
c. Contoh kasus pelanggaran prinsip-prinsip etis profesi akuntansi
4

BAB II
PEMBAHASAN

1. Pengertian Etika Profesi Akuntansi


Boynton et al (2001) menyatakan bahwa “Etika (ethic) berasal dari bahasa Yunani
ethis, yang berarti karakter. Kata lain untuk etika ialah moralias (morality), yang berasal dari
bahasa latin mores, yang berarti kebiasaan. Oleh karena itu etika berkaitan dengan pertanyaan
tentang bagaimana orang akan berperilaku terhadap sesamanya.”
Menurut Kisnawati (2012), dalam pengertian sempit etika berarti seperangkat nilai
atau prinsip moral yang berfungsi sebagai panduan untuk berbuat, bertindak atau berperilaku.
Menurut Maryani & Ludigdo (2001) “Etika adalah Seperangkat aturan atau norma
atau pedoman yang mengatur perilaku manusia, baik yang harus dilakukan maupun yang
harus ditinggalkan yang di anut oleh sekelompok atau segolongan masyarakat atau profesi”
Berdasarkan definisi-definisi yang dikemukakan oleh para ahli, maka pengertian etika
adalah aturan atau tingkah laku yang digunakan oleh golongan atau individu dalam
berperilaku.
Sedangkan Profesi adalah pekerjaan yang membutuhkan pelatihan dan penguasaan
terhadap suatu pengetahuan khusus. Etika Profesi Akuntansi adalah Merupakan suatu ilmu
yang membahas perilaku perbuatan baik dan buruk manusia sejauh yang dapat dipahami oleh
pikiran manusia terhadap pekerjaan yang membutuhkan pelatihan dan penguasaan terhadap
suatu pengetahuan khusus sebagai Akuntan.
Menurut Rahayu (2013) kode etik dibuat dengan tujuan untuk menentukan standar
perilaku bagi para akuntan, kode etik profesi diperlukan karena alasan – alasan sebagai
berikut :
a. Kebutuhan akan kepercayaan masyarakat terhadap kualitas jasa yang diberikan.
b. Masyarakat tidak dapat diharapkan mampu menilai kualitas jasa yang diberikan oleh
profesi.
c. Meningkatnya kompetensi diantara anggota profesi.
2. Prinsip-Prinsip Etis Profesi Akuntansi
a. Tanggung Jawab Moral
1. Hakikat Tanggung Jawab Moral
Tanggung jawab moral merupakan perpaduan dari dua kata, yakni tanggung jawab
dan moral. Kata “tanggung jawab” merupakan terjemahan dari bahasa inggris yakni
5

responsibility. Dari etimologinya kata reponsibility merupakan paduan kata dari


response yang berarti jawaban dan ability yang berarti kemampuan. Kalau kedua kata
digabungkan memilki arti sederhana tanggung jawab adalah kemampuan sesorang
untuk memberikan jawaban.
Kata “moral” berasal dari bahasa Latin yakni mos mores yang artinya adalah adat
istiadat. Moral menurut J.Sudarminta, moralitas dikaitkan dengan inti kepribadian
seseorang atau dengan kata lain dikaitkan dengan kualitas etis seseorang. Disini
moralitas lebih kepada batiniah, sedangkan tata krama dan aturan-aturan lebih
menekankan dimensi lahiriah manusia.
Sacar literal, Thomas Lickona mengartikan tanggung jawab dalam tiga hal, yaitu:
1) Kemampuan untuk merespon atau menjawab. Hal ini berkaitan dengan potensi
seseorang untuk memberikan tanggapan terhadap situasi atau persoalan yang
terjadi dan ini merupakan sesuata yang melekat dalam diri seseorang.
2) Sikap saling membutuhkan, tidak mengabaikan orang lain yang sedang kesulitan,
melainkan memberi bimbingan.
3) Nilai prioritas dan mendesak.orang yang bertanggung jawab menutamakan hal-
hal yang sangat pentingdalam situasi aktual.
2. Unsur-unsur Tanggung Jawab moral
Tanggung jawab moral melekat dalam diri setiap orang. Dari pengertian diatas
sifat melekat itu sudah terlihat. Secara lain dapat dikatakan, sumber tanggung
jawab moral adalah hakikat manusia sebagai makluk sadar, cinta akan pekerjaan
dan mampu menunjukkan keberaniannya dalam melakukan hal- hal yang benar.
Dengan demikian tanggung jawab moral memiliki tiga unsur utama, yaitu:
a) Kesadaran. Yang berarti tahu, mengerti dan melibatkan pertimbangan dalam
menjalankan pekerjaan.
b) Kecintaan. Cinta merupakan dorongan untuk melakukan sesuatu yang luhur.
Cinta adalah daya gerak batin yang paling fundamental bagi manusia.
c) Keberanian. Berani didorong oleh rasa keiklasan, tidak ragu atau takut pada
rintangan yang timbul, apalagi atas resiko suatu perbuatan demi nilai yang
tertinggi.
b. Independensi
1. Pengertian Independensi
Kata independensi sering disamakan dengan kebebasan, walaupun ada yang
membedakan keduanya. Independensi adalah situasi atau keadaan di mana
6

seseorang tidak terikat dengan pihak manapun. Artinya, suatu keadaan di mana
seseorang mandiri dan bebas serta tidak tergantung pada siapapun. Setiap orang
adalah orang bebas, karena itu ia independen, karena hal itu ia bisa berkembang
dengan baik dan mengungkapkan diri secara maksimal. Kreativitas, inovasi dan
kreasi hanya ada manakala seseorang diberi ruang. Ini berarti ada kebebasan.
2. Jenis Independensi (Kebebasan)
Franz Magnis Suseno membagi dua jenis kebebasan, yakni kebebasan
eksistensial dan kebebasan sosial.
a. Kebebasan eksistensial menyatu dengan manusia sebagai pribadi. Kebebasan ini
termasuk eksistensi kemanusiaan. Dalam arti ini orang yang bebas adalah dia yang
memiliki kemampuan untuk menentukan dirinya sendiri dan mengakui diri
sebagai pribadi yang otonom serta bersikap dewasa dalam bertindak. Kebebasan
eksistensial berkaitan dengan perealisasian kemungkinan di dalam diri seseorang
secara mandiri. Intensitas kebebasan eksistensial seseorang terletak pada
kemampuannya menentukan perbuatan dan kesadaran dalam menjalankan
aktivitasnya. Karena itulah menurut Gajo Petrovic, sebuah tindakan adalah bebas
hanya ketika seseorang menentukan sendiri perbuatannya
b. Kebebasan sosial terkait dengan orang lain. Kebebasan ini dipahami sebagai
”keadaan di mana seseorang tidak dibatasi untuk bertindak secara terpaksa oleh
orang lain". Dengan demikian arah kebebasan ini adalah keluar, dalam arti terarah
pada yang lain. Kalau dikatakan seseorang bebas secara sosial, itu berarti orang
lain tidak menghalangi dia untuk melakukan sesuatu. Karena kebebasan sosial
dikaitkan hidup bersama, maka kebebasan ini sangat mungkin dibatasi.
Pembatasan itu sebagaimana diakui oleh Franz Magnis Suseno bisa terjadi dalam
tiga hal yakni: (a) Pembatasan secara fisik dalam arti bahwa secara fisik
membatasi kebebasan bertindak(b) pembatasan secara psikis dalam arti bahwa
secara psikis orang lain bisa dipaksa untuk melakukan sesuatu (c) pembatasan
secara normatif dalam arti bahwa pembatasan ini dilakukan melalui larangan dan
perintah.
c. Integritas dan Objektivitas
1) Pengertian Integritas
Kata integritas berasal dari bahasa Latin, yakni integer (kata sifat), artinya
”utuh”, ”seluruhnya". Dari kata integer diturunkan lagi kata integritas (kata
benda), yang artinya adalah ”keutuhan” ”kelengkapan”, ”kesempurnaan”,
7

”kebulatan”. Dari kata integer diturunkan berbagai kata seperti intact, integrate
dan entirety. Kata-kata ini menurut Stephen L. Carter mengandung arti yang
sama, yakni ”semuanya bekerja dengan baik, tidak terbagi, terpadu, utuh dan
tidak mengalami kerusakan”.
Mengacu pada pengertian di atas, orang yang berintegritas berarti dia yang
mempunyai keutuhan diri, seluruh bagian dirinya bekerja dengan baik dan
berfungsi sesuai rancangan. Singkatnya, orang yang berintegritas memiliki
kepribadian yang utuh dan efektif. Menurut Stephen MR Covey, integritas
seseorang tidak hanya terlihat dalam sikap jujur, tetapi juga dalam cara
menghayati hidup. Dalam hal ini Covey menekankan pentingnya impresi yang
benar. Mungkin saja orang mengatakan kebenaran, namun meninggalkan kesan
yang buruk.
2) Pengertian Objektivitas
Berdasarkan etimologi kata ”objektivitas” berasal dari bahasa Latin, yakni
objectus, yang merupakan gabungan dari dua kata Latin ob, yang artinya
”berhadapan", dan iacere, yang artinya ”melempar”. Dari dua kata itu, objek
berarti ”terletak di depan atau di hadapan kita” atau ”berada berhadap-hadapan”
atau ”tidak bias, berdiri sendiri”. Dalam pengertian ini kata ”objek" berhubungan
dengan sesuatu yang konkret dan dapat ditangkap oleh indra.
Dalam empirisme”, objek diterima sebagai sumber utama, bahkan satu-
satunya sumber pengetahuan. Objek adalah apa Yang dihadapi secara konkret dan
ditangkap oleh pancaindra. Di sini kebenaran adalah kesesuaian antara apa yang
dipikirkan dengan kenyataan, jadi bukan menurut interpretasi. Fenomenolog
Edmund Husserl mengatakan bahwa manusia selalu terarah pada sesuatu yang
diistilahkannya dengan intensionalitas. Di sini objek merupakan sasaran
keterarahan. Menurut Husserl pengertian betul-betul mempunyai objek, karena
pengertian hanya ada dalam bingkai objek. Lebih lanjut dikatakan, manusia
mengarahkan kesadarannya pada hal yang tampak dan yang dialami. Pengetahuan
merupakan hasil dari keterarahan subjek terhadap sesuatu. Jadi, objektivitas
mengisyaratkan fakta dan kebenaran. Ia hadir apa adanya tanpa rekayasa.
d. Kepentingan Publik dan Konfidensialitas
1) Pengertian Kepentingan Publik
Kata ”publik”, sebagaimana ditunjukkan oleh A. Setyo Wibowo, memiliki
tekanan yang berbeda dari satu zaman ke zaman yang lain. Kata ”publik" berasal
8

dari Yunani, kemudian diteruskan ke zaman Romawi. Pada Yunani, kata ”public”
dikaitkan dengan kata ”polis”, yang artinya adalah kota. Di sini pengertian publik
hadir dalam konteks politik, yakni ”mengurus kepentingan umum atau
masyarakat”.Artinya, publik ditempatkan sebagai penguasa bagi rakyat. Karena
itu dalam zaman Yunani dibedakan dua hal, yakni privat dalam pengertian bukan
bertindak untuk kepentingan bersama, dan publik dalam arti bertindak demi
kepentingan umum.
Adapun ciri-ciri pelayanan public, yaitu:
a) Berorientasi pada kepentingan public
b) Tidak bebas nilai
c) Partisipatif

2) Pengertian Konfidensialitas
Konfidensialitas merupakan bagian prinsip etika profesi akuntansi. Ini
berarti akuntan mempunyai kewajiban untuk menjaga rahasia dalam pekerjaan.
Hal ini sangat jelas ditegaskan dalam IFAC”. Dalam Seksi 140 ada empat hal
yang ditegaskan sebagai esensi konfidensialitas. Pertama, akuntan tidak boleh
membuka ke luar informasi organisasi atau perusahaan yang berkaitan dengan
bisnis tanpa izin yang khusus atau, kalau tidak ada hak atau kewajiban untuk
membukanya. Kedua, akuntan tidak boleh menggunakan informasi yang bersifat
konfidensialitas sebagai hasil hubungan bisnis dan profesional demi kepentingan
pribadi atau pihak ketiga. Ketiga, akuntan harus menjaga rahasia bahkan dalam
satu lingkungan sosial sekalipun, termasuk pada anggota keluarga atau kerabat
bisnis. Keempat, akuntan juga harus melindungi informasi dengan menjaga dan
mengontrol pihak-pihak mana pun, termasuk stafnya untuk tidak membocorkan
rahasia ke luar.
Jadi, konfidensialitas ini dipegang untuk dua hal, yakni pertama dalam
rangka menghindari penyalahgunaan informasi dalam hubungan bisnis dan
profesi tanpa otoritas yang benar atau tanpa persetujuan hukum atau hak untuk
membukanya. Kedua, menghindari penggunaan informasi dalam hubungan bisnis
demi keuntungan pribadi atau pihak ketiga.
9

3. Penerapan prinsip-prinsip etis akuntansi


a. Tanggung Jawab Moral
John Martin Fisher dan Mark Revizza menunjukkan dua hal sebagai
implementasi tanggung jawab moral seorang akuntan, yakni kualitas pekerjaan dan
sikap dalam menanggung risiko dari keputusan atau opini yang diberikan.
a. Kualitas Pekerjaan
Tanggung jawab moral seorang akuntan pertama-tama terlihat dalam
kualitas pekerjaannya. Semakin maksimal dan bermutu hasil pekerjaannya,
semakin terlihat tanggung jawab orang bersangkutan. Dan kualitas mutu
pekerjaan seseorang tidak bisa terlepas dari kualitas pribadinya. Secara lain
dapat dikatakan, orang yang bertanggungjawab melibatkan diri secara total
dalam pekerjaannya. Justru pelibatan diri secara total itulah yang memberi
hasil yang maksimal dalam pekerjaan. Sebaliknya orang yang bekerja
setengah-setengah tidak akan mampu menghasilkan karya yang maksimal.
Dengan demikian kualitas pribadi menjadi faktor utama dalam
mewujudkan kualitas pekerjaan.
1) Menjadi subjek yang bebas
Dalam menjalankan profesinya, Akuntan adalah orang bebas dalam
menjalankan profesinya. Mengutip the Cohen Comission, John R Boatrigh
bahkan menegaskan, akuntan tidak bertanggung jawab kepada klien,
selain pada pengguna pernyataan finansial. Dengan membebaskan diri
dari keberpihakan seorang akuntan menunjukkan diri yang bermutu, yang
implikasinya adalah mampu menghasilkan karya yang bermutu pula.
2) Menjadi subjek yang sadar
Selain mengakui diri sebagai orang bebas, akuntan juga harus
melibatkan kesadaran secara penuh dalam pekerjaannya. Perlibatan
kesadaran ini diperlukan untuk dua hal, yakni menempatkan pekerjaan
sebagai aktualisasi diri dan meminimalkan kesalahan dalam memberikan
opini atau penilaian terhadap objek material pekerjaan.
Kesadaran bahwa pekerjaan menjadi wadah aktualisasi diri membuat
akuntan tidak lagi memikirkan kebutuhan fisik semata, melainkan
bagaimana agar memberi herhatian pada nilai-nilai humanistic mendasari
seluruh pekerjaannya
3) Menjadi subjek yang berkehendak dan mencintai pekerjaan
10

Selain kebebasan dan kesadaran, kemauan dan kecintaan merupakan


dua hal lain yang memberi bobot bagi profesi akuntan. Kehendak baik
menurut Immanuel Kant merupakan nilai moral tertinggi, karena dengan
kehendak baik seseorang menghadirkan dirinya sebagai pribadi yang
otonom. Menjadi akuntan seyogianya dikehendaki dan seluruh
pekerjaannya dilakukan secara bebas. Bagi seorang pelayan publik
kualitas demikian merupakan syarat yang mendasar, karena pelayanan
publik yang maksimal hanya bisa terwujud kalau itu dilakukan dengan
kehendak baik. Untuk memaksimalkan pelayanannya, akuntan harus
mencintai pekerjaannya.
4) Menjadi Subjek yang berpengetahuan luas
Hal lain yang memberi bobot pada tanggung jawab profesi akuntansi
adalah pengetahuan. Menyadari diri sebagai pribadi yang bebas, yang
sadar akan apa yang dikerjakan, berkehendak baik dan mencintai
pekerjaannya belum cukup dalam memberi bobot tanggung jawab etis bagi
seorang akuntan. Kualitas personal ini bersifat sufficient. Namun akuntan
juga memerlukan sesuatu yang sifatnya necessary. Artinya, kompetensi
etis perlu dibarengi dengan kompetensi teknis. Ken McPhail dan Diane
Walter bahkan menekankan pentingnya kedua kompetensi ini berjalan
seiring untuk menunjang profesionalitas.
b. Menanggung Risiko Pekerjaan
Selain menunjukkan kualitas pekerjaan, akuntan juga perlu
memperhatikan konsekuensi pekerjaan. John Martin Fischer dan Mark Revizza
menyatakan bahwa kualitas tanggung jawab seseorang tidak hanya dilihat dari
tindakannya, melainkan juga bagaimana ia mempertanggungjawabkan
konsekuensinya. Kualitas seseorang bisa dilihat juga dari segi keberaniannya
menanggung risiko dari perbuatan atau keputusan yang dibuat. Orang yang
menghindar dari konsekuensi perbuatan bukan orang yang bertanggung jawab.
Apa yang dikatakan oleh John Martin dan Mark Revizza ini sangat tepat
dihayati oleh akuntan. Artinya, seorang akuntan harus berani memper-
tanggungjawabkan konsekuensi dari tindakan dan keputusannya. Terkait
dengan ini, esensi momen sebelum mengambil keputusan, yakni perlunya
pengetahuan yang memadai, keterbukaan serta pencarian informasi yang
lengkap harus dimiliki oleh akuntan. Semua ini bertujuan untuk menghasilkan
11

keputusan yang baik dan berbobot. Karena itulah akuntan perlu menyiapkan
diri dengan menyertakan sikap hati-hati dan ketelitian serta perencanaan yang
matang dalam pekerjaannya. Sikap ini menurut Emmanuel Levinas merupakan
wujud tanggung jawab moral.
Berhadapan dengan dampak negatif, akuntan juga harus memperlihatkan
tanggung jawab moral. Tak satupun akuntan mengharapkan hal yang buruk
terjadi dalam pekerjaannya. Namun hal ini sering tidak bisa dihindari, karena
berbagai faktor antara lain, kurangnya pengetahuan dan ketelitian sebelum
mengambil keputusan. Dalam hal ini tanggung jawab retrospektif berlaku.
Sebagaimana dikatakan oleh Ronald F Duska, seorang akuntan tidak bisa
menghindar dari kekeliruan yang dilakukannya dalam tugas, sebaliknya ia
harus bertanggungjawab atas risiko tindakan dan keputusan yang diambil.
Memang tugas-tugas seorang akuntan secara umum adalah mengevaluasi
catatan-catatan keuangan, tindakan perusahaan atau institusi yang
berhubungan dengan pengelolaan atau arus keuangan yang sudah berjalan di
masa lalu. Dalam menjalankan tugas itu idealnya, seorang akuntan tidak boleh
melakukan kekeliruan. Namun demikian sering terjadi karena kelalaian, ia
melakukan kesalahan dalam mengevaluasi atau memberi opini. Di sini akuntan
harus menunjukkan tanggung jawab moral.
Terhadap kekeliruan keputusan akuntan perlu menghindari tiga hal yang
menurut oleh Michael Pakaluk dan Mark Cheffers menjadi upaya untuk
mengurangi, bahkan menghindari tanggung jawab moral, yakni emosi yang
tidak bisa dikontrol, kondisi-kondisi psikologis yang sulit diatasi dan dislokasi
eksternal. Bisa saja seorang akuntan mencari alasan emosi berlebihan untuk
mengurangi tanggungjawabnya. Menurut Pakaluk dan Cheffers, ini merupakan
sebuah kekeliruan, sebab akuntan tidak membutuhkan emosi ekstrim dalam
melakukan tugasnya, termasuk membentuk opininya. Juga merupakan suatu
kekeliruan bagi seorang akuntan, kalau dia bersembunyi di belakang alasan
psikologis untuk tidak memperlihatkan tanggung jawab profesi, karena sebagai
seorang profesional ia harus menyadari kondisi-kondisi psikologis yang dapat
mempengaruhi profesionalitasnya. Juga merupakan suatu kekeliruan, kalau
seorang akuntan mengklaim kesalahannya karena dislokasi eksternal, sebab
dia diharapkan mempunyai penilaian yang objektif dalam segala waktu dan
keadaan.
12

b. Independensi
Pekerjaan seorang akuntan berkaitan dengan independensi. Ia tidak boleh
dipengaruhi oleh apapun dalam memberikan penilaian atas pekerjaannya.
Pentingnya independensi bagi profesi akuntansi terkait dengan dua hal, yakni
memberi makna dalam pekerjaan dan meningkatkan tanggung jawab. Dalam bebas,
akuntan dapat semakin memberi makna bagi Pekerjaannya. Dengan independensi
akuntan mengembangkan dirinya. Dalam situasi ini, ia menemukan apa yang disebut
Chirstoper Gleeson dengan nilai keseimbangan. Dengan pengakuan independensi,
akuntan juga semakin mampu menunjukkan tanggung jawabnya kepada publik. Di
sana hakikat dirinya sebagai seorang profesional semakin menyatu dan dengan
demikian pelayanannya pun dapat dirasakan oleh masyarakat luas dengan lebih
maksimal
Akuntan menghayati independensi dalam dua hal, yakni dalam fakta dan dalam
hal pengaruh berbagai pihak dalam memberikan opini atau kesimpulan dalam
pekerjaannya. Terkait dengan itu independensi akuntan dibagi dalam dua jenis,
yakni independen dalam fakta ( independence in fact) dan independensi dalam
penampilan ( independence in appearance).
Independence in fact, yang diistilahkan The International Federacion of
Accountant (IFAC) dengan independensi pikiran (independence in mind) adalah
kondisi pikiran di mana seorang akuntan mengambil kesimpulan tanpa kompromi
dengan pihak manapun atas penilaian profesional, melainkan bertindak dengan
integritas dan berlandaskan objektivitas serta terus berikap skeptis secara
profesional. Singkatnya, independence in fact berkaitan dengan kemampuan sang
akuntan untuk mandiri dalam pekerjaannya. Ia tidak mudah terpengaruh, melainkan
berpegang teguh pada prinsip.
Sementara independence in appearence terkait dengan pandangan pihak lain
terhadap apa yang dilakukan oleh akuntan. Di sini akuntan harus menghindari adanya
interpretasi pihak orang luar bahwa hasil keputusan atau opininya merupakan
pengaruh dari pihak lain. Dan bentuk pengaruh itu bisa bermacam-macam seperti
kepentingan keluarga, rasa kekerabatan, atau kepentingan lain, sehingga objektivitas
penilaian atau opini bisa terganggu. Dengan kata lain, akuntan harus menghindari
kesan bahwa keputusannya berpihak pada kepentingan berbagai pihak atau karena
hubungan tertentu, misalnya hubungan keluarga dengan kliennya yang mana
hubungan ini dapat memengaruhi keputusan sang auditor secara emosional.
13

Jadi, akuntan tidak boleh tersandera oleh kepentingan, baik kepentingan klien
maupun pihak pengguna jasa yang memercayainya. Akuntan profesional harus bebas
dari konflik kepentingan, tekanan dan faktor-faktor yang mengarahkan kompromi.
Akuntan hanya bertanggung jawab pada kepentingan publik.
c. Integritas dan Objektivitas
1) Pentingnya Integritas
Menurut Scott B Rae dan Kenman L Wong, integritas akuntan terlihat
dalam sikapnya berhadapan dengan berbagai situasi.ls Akuntan tidak akan lepas
dari godaan dan memang pekerjaannya sangat rentan untuk itu. Dalam situasi
inilah integritasnya diuji. Kalau dia kuat maka kepercayaan akan timbul
terhadapnya. Dan dalam bisnis menurut John Boatright hal ini sangat penting.
Hal ini ditemukannya ketika melakukan survey. Dari surveynya Boatright
menyimpulkan bahwa etika begitu diperlukan dalam bidang finansial dan dalam
bisnis.
2) Penerapan Objektifitas
Penerapan Objektivitas dibagai menjadi dua, secara umum dan secara
khusus bagi auditor.
a. Secara umum
Apabila pengertian di atas dikaitkan dengan profesi akuntansi, maka
dapat dinyatakan bahwa akuntan harus mendasarkan opini atau evaluasinya
berdasarkan fakta yang sebenarnya. Secara negatif dapat dikatakan, akuntan
tidak boleh mengabaikan fakta dan tidak boleh berkompromi dengan pihak-
pihak mana pun yang mau mengandalkan alasan kepentingan pribadi atau
orang lain. Sebaliknya, akuntan harus bersentuhan dengan kebenaran.
Dalam Pendahuluan Pernyataan Etika Profesi IAI dinyatakan bahwa
Objektivitas merupakan suatu keyakinan, kualitas yang memberikan nilai bagi
siapa saja/pelayanan auditor. Objektivitas merupakan suatu ciri yang
membedakan profesi akuntan dengan profesi-profesi lainnya. Pernyataan ini
mengisyaratkan bahwa seorang auditor hendaknya tidak pernah menempatkan
diri atau ditempatkan dalam posisi di mana objektivitas mereka dapat
dipertanyakan. Kode etik dan standar auditor merupakan aturan-aturan yang
harus ditaati oleh akuntan. Aturan-aturan itu menguatkan prinsip objektivitas.
Tidak hanya itu. Objektivitas diperlukan agar akuntan bebas dari
benturan kepentingan dan tidak boleh membiarkan faktor salah saji yang
14

diketahuinya atau mengalihkan pertimbangannya kepada pihak lain. Dengan


mempertahankan integritas auditor akan bertindak jujur dan tegas, bertindak
adil dan tidak memihak dalam melaksanakan pekerjaannya. Ia juga tidak
gampang terpengaruh oleh tekanan permintaan pihak tertentu atau kepentingan
pribadinya sendiri.
Singkatnya, akuntan haruslah melepaskan diri dari konflik kepentingan
baik bersifat internal maupun bersifat eksternal. Situasi independen ini justru
meneguhkan kepercayaan publik karena pekerjaan yang dihasilkan oleh
akuntan sesuai dengan yang sebenarnya.
b. Secara Khusus bagi Auditor
Tugas utama auditor adalah mengaudit. Dalam tugas itu objektivitas
merupakan prinsip penting yang harus diperhatikan oleh auditor. Menurut
Soekrisno Agus, objektivitas itu terungkap dalam beberapa hal berikut ini.
1) Objektivitas individual: maksudnya, auditor internal melakukan penugasan
dengan keyakinan yang jujur dan tidak membuat kompromi dalam hal
kualitas yang signifikan.
2) Objektivitas individual melibatkan kepala eksekutif audit (Cheaf of
Accountance Executive, disingkat CAE) untuk memberikan penugasan
bagi staf sedemikian rupa sehingga mencegah konflik kepentingan dan
bias, baik yang potensial maupun aktual.
3) Reviu terhadap hasil pekerjaan audit internal sebelum komunikan/laporan
penugasan ditertibkan, akan membantu memberikan keyakinan yang
memadai bahwa pekerjaan auditor internal telah dilakukan secara objektif.
4) Objektivitas auditor internal tidak terpengaruh secara negatif ketika auditor
merekomendasikan standar pengendalian untuk sistem tertentu atau
melakukan reviu terhadap prosedur tertentu sebelum dilaksanakan.
5) Pelaksanaan tugas di luar audit oleh auditor internal, bila dilakukan
pengungkapan penuh dalam pelaporan tugas itu, tidak serta merta
mengganggu objektivitas.
Dengan lima butir di atas jelaslah bahwa akuntan, khususnya auditor
internal, tidak tunduk pada penilaian orang lain. Ia harus mempertahankan
objektivitasnya dan mengelolanya sesuai dengan kompetensi dan karakternya.
Ia juga tidak boleh mudah terpengaruh oleh mereka yang mempunyai
kekerabatan dengannya. Prinsip objektivitas pula mengharuskan auditor untuk
15

melakukan audit dengan objektif sehingga kejujuran atas hasil auditnya dapat
diyakini dan bukan merupakan hasil kompromi yang menimbulkan konflik di
dalam perusahaan.

d. Kepentingan Publik dan Konfidensialitas


1. Penerapan kepentingan publik
Penerapan pelayanan publik meliputi sifat pelayanan publik akuntan dan
situasi pelayanan akuntan. Berikut pemaparannya.
a) Tiga Sifat Publisitas Pelayanan Akuntan
Dalam melayani masyarakat, akuntan menjalankan tiga sifat pelayanan utama.
1) Berkelanjutan. Sesuai dengan sifat inheren gelar akuntan, pelayanan akuntan
tidak mengenal waktu. Artinya, akuntan memberikan pelayanan secara terus-
menerus, selama gelar itu melekat dalam dirinya. Ini berarti kapan saja
jasanya dibutuhkan, seorang akuntan harus siap melayani.
2) Bersifat universal. Pelayanan akuntan tidak ditujukan kepada kelompok
tertentu, melainkan bagi masyarakat secara luas. Dengan fungsi sosial yang
luhur ini pula, seorang akuntan melayani siapa saja yang membutuhkan
jasanya tanpa membedakan tingkat sosial dan ekonomi serta kepentingannya.
Selain itu akuntan tidak memihak kelompok tertentu yang berkepentingan
atau yang mempunyai dampak atas jasanya.
3) Netralitas. Relasi akuntan dengan klien bersifat impersonal. Akuntan adalah
mediator antara kepentingan umum dan klien atau auditee. Dalam hal ini hal
yang harus diperhatikan oleh akuntan adalah netralitas. Secara negatif dapat
dikatakan, akuntan tidak boleh berpihak bagi siapa pun. Ia harus
menempatkan diri pada posisi netral. Sifat ini sangat sesuai dengan
kedudukannya sebagai mediator kepentingan publik.
b) Dua Situasi Pelayanan Akuntan
Dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat, ada dua situasi yang
perlu diperhatikan oleh akuntan. Pertama, situasi normal. Dalam situasi ini
tanggung jawab setiap akuntan adalah melayani kepentingan umum. Akuntan
berhubungan dengan berbagai pihak, yakni klien, pemberi kredit, pemerintah,
pemberi kerja, pegawai, investor, dunia bisnis dan keuangan serta pihak lainnya.
Kendati demikian, sebagaimana dikatakan oleh Michael Pakaluk, akuntan
16

sesungguhnya berhubungan dengan subjek yang anonim, yang disebutnya


sebagai kepentingan publik.
Dengan demikian mutu relasi yang dibangun oleh akuntan dengan para
pihak di atas berbeda dengan relasi dengan kepentingan umum. Melayani
kepentingan umum adalah tujuan utama akuntan karena kepentingan publik ada
di atas semua kepentingan para pihak. Dalam kaitan dengan itu akuntan dituntut
untuk memiliki dedikasi yang tinggi pada masyarakat dan menjalankan sumpah
profesinya secara konsisten. Dengan demikian pelayanan yang berkualitas akan
terwujud, imbal jasa yang pantas akan dikenakan. Kepercayaan publik adalah
yang mendasari pelayanan publik. Oleh karena itu, akuntan harus menjaga betul
modal sosial ini.
Demi memajukan masyarakat, akuntan berpartisipasi dalam beberapa hal
berikut:
1) Membantu memelihara integritas dan efisiensi laporan keuangan yang
disajikan kepada lembaga keuangan untuk mendukung pemberian pinjaman
serta kepada pemegang saham untuk memperoleh modal (auditor
independen).
2) Memberikan konstribusi terhadap efisiensi dan efektiVitas dari penggunaan
sumber daya organisasi (eksekutif keuangan).
3) Memberikan keyakinan tentang sistem pengendalian internal yang baik untuk
meningkatkan keandalan informasi keuangan dari pemberi kepada pihak luar
(auditor internal).
4) Membantu membangun kepercayaan dan efisiensi serta penerapan yang adil
dari sistem pajak (ahli pajak) dan mempunyai tanggung jawab terhadap
kepentingan umum dalam membantu pembuatan keputusan manajemen yang
baik (konsultan manajemen).

Kedua, situasi khusus di mana para akuntan mendapat tekanan dan benturan
berbagai kepentingan. Dalam situasi sulit seperti ini akuntan dituntut untuk
memiliki integritas dengan suatu keyakinan bahwa apabila ia memenuhi
kewajibannya kepada publik, maka kepentingan penerima jasanya terlayani
dengan sebaik-baiknya.
17

Jadi, bagi akuntan kepentingan publik berada di atas segalagalanya karena


keberanian untuk mengalahkan egoisme harus dimiliki oleh seorang akuntan.
Sikap ini merupakan dasar dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat.

3) Penerapan Konfidensialitas
Adapun pada bagian konfidensialitas dalam profesi akuntansi terdapat empat hal
penting untuk diketahui, antara lain.
a. Esensi Konfidensialitas
Konfidensialitas merupakan bagian prinsip etika profesi akuntansi. Ini
berarti akuntan mempunyai kewajiban untuk menjaga rahasia dalam
pekerjaan. Hal ini sangat jelas ditegaskan dalam IFAC”. Dalam Seksi 140 ada
empat hal yang ditegaskan sebagai esensi konfidensialitas. Pertama, akuntan
tidak boleh membuka ke luar informasi organisasi atau perusahaan yang
berkaitan dengan bisnis tanpa izin yang khusus atau, kalau tidak ada hak atau
kewajiban untuk membukanya. Kedua, akuntan tidak boleh menggunakan
informasi yang bersifat konfidensialitas sebagai hasil hubungan bisnis dan
profesional demi kepentingan pribadi atau pihak ketiga. Ketiga, akuntan harus
menjaga rahasia bahkan dalam satu lingkungan sosial sekalipun, termasuk
pada anggota keluarga atau kerabat bisnis. Keempat, akuntan juga harus
melindungi informasi dengan menjaga dan mengontrol pihak-pihak mana pun,
termasuk stafnya untuk tidak membocorkan rahasia ke luar.
Jadi, konfidensialitas ini dipegang untuk dua hal, yakni pertama dalam
rangka menghindari penyalahgunaan informasi dalam hubungan bisnis dan
profesi tanpa otoritas yang benar atau tanpa persetujuan hukum atau hak untuk
membukanya. Kedua, menghindari penggunaan informasi dalam hubungan
bisnis demi keuntungan pribadi atau pihak ketiga.
b. Pentingnya Menjaga Konfidensialitas
Ada dua alasan akuntan wajib menjaga konfidensialitas. Pertama,
informasi yang diberikan oleh akuntan mempunyai peranan yang sangat
krusial bagi kepentingan publik dan kepentingan internal perusahaan diman
profesionalitas akuntan terletak dalam kemampuannya untuk memberikan
opini atau penilaian objektif terhadap pekerjaannya dengan mengacu pada
prinsip-prinsip akuntansi dan standar etis. Atas alasan ini, akuntan tidak boleh
18

memublikasikannya secara sembarangan dan bebas, apalagi untuk kepentingan


tertentu, di luar kepentingan publik.
Kedua, konfidensialitas akuntan sangat berkaitan dengan otonomi dan
objektivitas. Dalam memberikan opininya, akuntan menempatkan diri sebagai
orang yang independen. Ia tidak boleh dipengaruhi oleh pihak manapun,
kecuali Suara hatinya sendiri. Dalam memberikan opini atau evaluasi terhadap
objek material di lapangan ia mengacu pada fakta dan data yang sebenarnya,
bukan pada penafsiran atau asumsi, apalagi berdasarkan pada kemauan pihak
tertentu. Ini berarti data merupakan acuan utama bagi seorang akuntan dalam
pekerjaannya. Di sini, konfidensialitas meneguhkan kualitas profesional
akuntan.
c. Arah Konfidensialitas
Konfidensialitas akuntan memiliki dua arah. Pertama, ke dalam.
Komitmen pribadi sangat diperlukan untuk menjaga konfidensialitas.
Komitmen ini dinyatakan dengan tidak mau memanfaatkan informasi yang
dimilikinya sebagai jalan untuk mendapatkan keuntungan bagi diri sendiri.
Dengan kata lain, informasi yang dimiliki oleh akuntan tidak boleh dipakai
untuk kepentingan pribadi. Selain itu, akuntan juga perlu memastikan agar
stafnya tidak membocorkan rahasia dan menggunakannya untuk kepentingan
dirinya. Dengan ini konfidensialitas pertamatama diarahkan pada diri sendiri.
Kedua, ke luar. Dalam arti ini akuntan tidak boleh membocorkan
informasi klien atau informasi penting yang dipegangnya kepada pihak yang
tidak berkepentingan atau yang berkepentingan selama melakukan jasa profe'
sional. Akuntan harus memegang teguh rahasia itu sev suai dengan sumpah
profesinya. Ia juga tidak boleh membocorkan informasi klien atau organisasi
yang diauditnya demi kepentingan kelompok tertentu atau organisasi. Jadi, di
sini akuntan tidak mudah tergoda dengan iming-iming untuk memperoleh
keuntungan dari pihak luar yang punya kepentingan.
d. Momen dan Batasan Konfidensialitas
Kewajiban akuntan dalam menjaga konfidensialitas tidak hanya berlaku
pada saat menjalankan tugas namun harus menjaga rahasia dengan tidak
bersifat temporal. Artinya, menjaga rahasia itu berlaku tetap baik dalam masa
pekerjaan maupun sesudahnya. Secara lain dapat dikatakan, kewajiban
19

akuntan menjaga rahasia tidak saja pada saat melakukan audit, melainkan
sesudahnya juga. Jadi, kewajiban menjaga konfidensialitas sifatnya atemporal.
Terkait dengan ini akuntan perlu memperhatikan dua momen konfidensialitas,
yakni momen saat menjalankan tugasnya dan momen sesudah menjalankan
tugasnya. Pada momen pertama, akuntan wajib menjaga agar informasi klien
tidak bocor ke luar. Ia harus betul-betul menjaga halhal yang konfidensial agar
jangan sampai diketahui oleh orang yang tidak berkepentingan. Dalam hal ini
integritas pribadi dan komitmen moral yang tinggi sangat diperlukan.
Pada momen kedua, konfidensialitas juga harus tetap dipegang oleh
akuntan. Dengan kata lain, kewajiban kerahasiaan berlanjut bahkan setelah
hubungan antara anggota dan klien atau pemberi kerja berakhir. Dengan
demikian kewajiban akuntan menjaga konfidensialitas tidak bersifat sementara
atau hipotetis, sebagaimana sudah dinyatakan di atas, melainkan bersifat
kategoris.
Kendati demikian menjaga rahasia itu ada batasnya. Tujuan dari menjaga
kerahasiaan adalah demi kesejahteraan bersama (common good). Oleh karena
itu kalau menjaga kerahasiaan justru merusak kepentingan umum atau
membahayakan orang lain, secara etis tidak ada lagi kewajiban untuk menjaga
rahasia dan undang-undang memaksa untuk membukanya. Di bidang
kedokteran misalnya ketika seseorang terkena penyakit yang sangat berbahaya
dan menular, maka undang-undang bisa memaksa dokter untuk membuka
rahasia dan penyebab penyakit pasien demi kepentingan umum. Dengan kata
lain, konfidensialitas dapat dilanggar manakala yang dirahasiakan itu
berkaitan dengan kepentingan publik.
Ada tiga alasan utama mengapa rahasia itu bisa dibuka, yaitu:
1. Pembukaan itu diijinkan secara hukum dan diberikan kuasa oleh klien atau
employer. Kalau secara hukum hal itu tidak diperlukan dan pasien atau
employer berkeberatan untuk membukanya, maka akuntan tidak punya hak
untuk membukanya.
2. Pemberian informasi yang bersifat konfidensial demi tuntutan hukum.
Beberapa situasi yang memberi dukungan dalam hal ini, yakni hasil-hasil
dokumen diperlukan sebagai bukti dalam proses hukum, keterbukaan bagi
otoritas publik yang tepat dari aparat hukum untuk membantu kejelasan
permasalahan yang sedang ditangani.
20

3. Demi kewajiban profesional atau hak untuk membuka, ketika tidak


dilarang oleh hukum misalnya demi revisi mutu sebuah badan atau badan
profesional, atau demi melindungi kepentingan akuntan profesional dalam
proses hukum, atau terkait dengan standar-standar teknis dan tuntutan
etika.

Dalam melakukan semua hal di atas, akuntan harus menyertakan tiga hal
berikut sebagai bahan pertimbangan. Pertama, kepentingan semua pihak,
termasuk pihak ketiga yang kepentingannya terkait, atau dapat dirusak jika
kepentingan klien atau pemberi pekerja demi keterbukaan informasi oleh
akuntan profesional; kedua, perlu mengetahui apakah semua informasi yang
relevan dan penting serta lengkap, seperti apa kesimpulan yang diambil,
bagaimana penilaian yang diberikan; ketiga, tipe komunikasi yang diharapkan
dan kepada siapa itu diarahkan. Akuntan profesional harus
mempertimbangkan secara cermat sehingga pihak-pihak sasaran komunikasi
adalah orang-orang yang tepat.

4. Review Jurnal Terkait Prinsip-Prinsip etis Profesi Akuntan


a. Pengaruh Kode Etik Profesi Akuntan Publik terhadap Kualitas Audit Auditor
Independen di Surabaya
Bhinga Primaraharjo
Jesica Handoko
JURNAL AKUNTANSI KONTEMPORER
Volume 3 Nomor 1 Januari 2011, Halaman 27-51
1) Latar Belakang
Kualitas audit dipengaruhi sikap auditor independen dalam menerapkan Kode
Etik Profesi Akuntan Publik. Kode etik ini menetapkan prinsip dasar dan aturan etika
profesi yang harus diterapkan oleh setiap individu dalam kantor akuntan publik (KAP)
atau Jaringan KAP, baik yang merupakan anggota Ikatan Akuntan Publik Indonesia
(lAPI) maupun yang bukan merupakan anggota IAPI, yang memberikan jasa profesional
yang meliputi jasa assurance dan jasa selain assurance seperti yang tercantum dalam
tandar profesi dan kode etik profesi (lAPI, 2007-2008:3). Dengan adanya Kode Etik
Profesi Akuntan Publik, masyarakat akan dapat menilai sejauh mana seorang auditor
independen telah bekerja sesuai dengan standar-standar etika yang telah ditetapkan oleh
profesinya.
21

Peran Kode Etik Profesi Akuntan Publik yang mencakup prinsip integritas,
objektivitas, kompetensi, dan perilaku profesional diduga berpengaruh terhadap kualitas
audit auditor independen. Oleh karena itu penelitian ini dilakukan untuk mengetahui
adanya pengaruh Kode Etik Profesi Akuntan Publik terhadap kualitas audit auditor
independen di Surabaya.
2) Tujuan Penelitian
Penelitian inibertujuan sebagai berikut.
a. Untuk mengetahui pengaruh prinsip integritas terhadap kualitas audit
b. Untuk mengetahui pengaruh prinsip Objektivitas terhadap kualitas audit
c. Untuk mengetahui pengaruh prinsip Kompetensi terhadap kualitas audit
d. Untuk mengetahui pengaruh prinsip Perilaku Profesional terhadap kualitas audit
3) Metode penelitian
Penelitian dengan metode survei ini dilakukan di Surabaya dengan pertimbangan
Surabaya termasuk kota besar di Indonesia sehingga diduga memiliki jasa akuntan
publik yang terkualifikasi dengan baik
4) Hasil penelitian
a. Berdasarkan penelitian yaitu prinsip integritas dan Prinsip Kompetensi
berpengaruh positif terhadap kualitas audit. Sedangkan prinsip objektivitas dan
prinsip perilaku profesional berpengaruh negative terhadap kualitas audit.
5) Kelebihan jurnal
a. Penelitian menggunakan beberapa hasil-hasil riset sebelumnya sebagai penguat
riset saat ini
b. Penelitian ini sudah dilakukan pengujian validitas, reliabilitas
6) Kekurangan jurnal
a. Peneliti tidak bertemu langsung dengan sampel yang terpilih tetapi di titipkan di
masing-masing KAP untuk dibagikan ke auditornya masing-masing
b. Masih terdapat beberapa referensi yang menggunakan referensi lama (lebih dari
10 tahun)
22

b. Application Of ethics in The Accounting Profession with an Overview of the


Banking Sector
Zoran Todorovic
Faculty of Business Studies, University Mediterranean, Podgorica, Montenegro :
jessicaruntu8194@gmail.com
Journal of Central Banking Theory and Practice, 2018, 3, pp. 139-158

1) Latar Belakang
Kepatuhan terhadap peraturan profesional dan hukum bukan jaminan yang
memadai untuk memastikan kualitas pelaporan keuangan. Pada titik ini kami
mengakui peran perilaku etis yang tak terhindarkan dalam proses memberikan
kualitas yang diinginkan. Antara lain, kurangnya etika bersama adalah umum untuk
semua investigasi di bidang akuntansi dan audit. Mereka menangani kecurangan
akuntansi akibat pelanggaran langsung terhadap peraturan hukum dan profesional.
Dalam keadaan ini, situasinya menjadi lebih sederhana, karena konsekuensi bagi
peserta dalam proses ini jelas. Tampaknya bagi kita bahwa situasinya kompleks ketika
manipulasi akuntansi muncul sebagai akibat dari penyalahgunaan ketidakkonsistenan
peraturan terkait atau interpretasi fleksibel dari norma yang ada untuk mencapai
manfaat bagi kelompok kepentingan tertentu.
Standar perilaku etis mempersempit ruang untuk kegiatan yang tidak sejalan
dengan standar moral. Etika, baik di bidang lain maupun dalam akuntansi, sering kali
dikurangi menjadi kemampuan untuk mengenali apa yang baik dan apa yang buruk.
Faktanya adalah bahwa ada banyak hal di dunia bisnis yang diketahui, tanpa
mengetahui norma-norma profesional yang dikembangkan secara khusus, bahwa
mereka baik atau buruk dalam diri mereka sendiri.
Dalam konteks ini, akuntan menghadapi tekanan yang berbeda: untuk
menunjukkan pendapatan yang tidak terealisasi, mengkapitalisasi pengeluaran yang
harus diakui sebagai pengeluaran periode, meremehkan hasil untuk mengurangi
manfaat pajak, kehilangan beberapa posisi, dll. Ini adalah tuntutan dramatis, tetapi
mereka tidak ditantang secara etis. Semuanya jelas di sini. Keputusan seperti itu
melanggar hukum dan tidak etis.
2) Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kesiapan komunitas akuntansi di
Montenegro untuk menerapkan Kode Etik Akuntan Profesional.
23

3) Metode penelitian
Metode penelitian yang digunakan yaitu Metodologi penelitian empiris. Data
yang digunakan dalam penelitian ini berupa Jenis data dalam penelitian ini
berbentuk kualitatif dan kuantitatif.
4) Hasil penelitian
Hasil penelitian menunjukkan bahwa :
1) Penerapan kode etik per jenis institusi menunjukkan bahwa mayoritas perusahaan
yang memiliki Kode Etik berasal dari industri perdagangan.
2) Tidak ada perbedaan signifikan mengenai kepatuhan terhadap Kode Etik dengan
ukuran badan hukum dari mana responden berasal.
5) Kelebihan jurnal
a. Penelitian menggunakan beberapa hasil-hasil riset sebelumnya sebagai penguat
riset saat ini
b. Penelitian dilengkapi dengan perhitungan secara rinci.
6) Kekurangan jurnal
a. Lokasi penelitian tidak disebutkan dalam judul jurnal
b. Tidak dilakukan uji validitas dan realibilitas
c. Tidak dijelaskan teknik penarikan sampel penelitian
d. Masih terdapat beberapa referensi yang menggunakan referensi lama (lebih dari
10 tahun)
24

BAB III
PENUTUP

1. Kesimpulan
Etika Profesi Akuntansi adalah Merupakan suatu ilmu yang membahas perilaku
perbuatan baik dan buruk manusia sejauh yang dapat dipahami oleh pikiran manusia
terhadap pekerjaan yang membutuhkan pelatihan dan penguasaan terhadap suatu
pengetahuan khusus sebagai Akuntan.
Prinsip-Prinsip Etis Profesi Akuntansi yaitu Tanggung Jawab Moral, Independensi,
Integritas dan Objektivitas dan Kepentingan Publik dan Konfidensialitas
2. Saran
Berdasarkan kesimpulan diatas maka disarankan sebagai berikut :

a. Diharapkan kepada perusahaan agar menerapkan prinsip-prinsip Etika Profesi Akuntansi


25

DAFTAR PUSTAKA

Goes, Sukrisno. 2009. Etika Bisnis dan Profesi. Jakarta : Salemba Empat

Sihotang, Kasdin. Etika Profesi Akuntansi. Yogyakarta : Kanisius

Zoran Todorovic. 2018 Application of Ethics in the Accounting Profession with an Overview
of the Banking Sector, Journal of Central Banking Theory and Practice, Faculty
of Business Studies, University Mediterranean, Podgorica, Montenegro
Primaraharjo, Handoko. 2011 Pengaruh Kode Etik Profesi Akuntan Publik terhadap Kualitas
Audit Auditor Independen di Surabaya Jurnal Akuntansi Kontemporer Volume
3 Nomor 1 Januari 2011, Halaman 27-51

Anda mungkin juga menyukai