Anda di halaman 1dari 4

Perspektif peraturan perundang-undangan Indonesia (ius constitutum) terminologi hukum

adat dikenal dengan istilah „hukum yang hidup dalam masyarakat, living law, nilai-nilai hukum
rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat, hukum tidak tertulis, dan lain sebagainya.
Kemudian muncul terminologi hukum pidana adat, adat delik, hukum adat pidana. Menurut
Muladi bahwa hukum pidana adat dilandasi falsafah harmoni dan communal, bersama dengan itu
juga menegaskan hukum pidana adat apabila akan mencakup “law making‟ dan “law
enforcement‟ setidaknya memenuhi persyaratan sebagai berikut :

a. Tidak semata-mata untuk tujuan pembalasan dalam arti tidak bersifat ad hoc.
b. Harus menimbulkan kerugian atau korban yang jelas (bisa aktual dalam delik materiil dan
bisa potensial dalam delik formal).
c. Apabila masih ada cara yang lain yang lebih baik dan lebih efektif jangan digunakan
hukum pidana.
d. Kerugian yang ditimbulkan karena pemidanaan harus lebih kecil daripada akibat
kejahatan.
e. Harus didukung masyarakat,
f. Harus dapat diterapkan secara efektif.

Hukum adat memiliki ruang dalam hukum nasional yang tercantum secara konstitusional,
pasal 18B ayat (2) Undang-Undang Dasar tahun 1945:

“Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat adat beserta hak-hak


tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip
Negara Kesatuan Republik Indonesia selanjutnya diatur dalam undang-undang”.

Selain pengakuan secara konstitusional hukum adat juga terdapat dalam beberapa
undang-undang, diantaranya UU No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, sebagaimana
tercantum dalam pasal 6 ayat (1) dan ayat (2):

“Dalam rangka penegakan Hak Asasi Manusia, perbedaan dan kebutuhan, dalam masyarakat
hukum adat harus diperhatikan dan dilindungi oleh hukum, masyarakat hukum adat dan
pemerintah. Identitas budaya masyarakat hukum adat termasuk hak atas tanah ulayat dilindungi,
selaras dengan perkembangan jaman”.
Dalam hal lain syarat untuk dikatakan sebagai tindak pidana haruslah suatu perbuatan
melawan hukum, sifat melawan hukum dalam teori ilmu hukum pidana dikenal adanya sifat
melawan hukum yang secara tegas diatur dalam undang-undang tertulis (formil) dan sifat
melawan hukum yang tidak tertulis yakni selama bertentangan dengan norma-norma atau suatu
kenyataan-kenyataan yang berlaku dalam masyarakat adat (materil). Oleh karena itu bahwa
hukum tidak hanya undang-undang maka, dapat disimpulkan hukum pidana adat memiliki
kedudukan yang jelas ialah berada dalam hukum pada umumnya. Penegasan ini yang dimaksud
oleh I. Sriyanto bahwa hukum pidana adat tidaklah dapat diabaikan karena memiliki kaedah-
kaedah yang mencerminkan nilai moral yang tinggidan berlaku secara universal bagi seluruh
masyarakat Indonesia, oleh karena disimpulkan kita dapat simpukan hukum pidana adat adalah
mutlak perlu mendapatkan tempat dalam RUU KUHP sebagai bentuk pengakuan lebih konkret
dalam hukum pidana nasional.

Hukum adat adalah aturan kebiasaan manusia dalam hidup bermasyarakat. Sejak manusia
ada di bumi, maka ia memulai hidupnya berkeluarga, kemudian bermasyarakat dan kemudian
bernegara. Dalam berkeluarga, mereka telah mengatur dirinya dan anggota keluarganya menurut
kebiasaan mereka, misalnya ayah pergi kebun untuk mengambil bahan makanan, ibu
menyalakan api untuk memasak kemudian makan bersama. Perilaku kebiasaan itu berlaku terus
menerus, sehingga merupakan pembagian kerja tetap. Menurut Van Vollenhoven, hukum adat
adalah aturan-aturan perilaku yang berlaku bagi orang-orang pribumi dan orang-orang timur
asing, yang mempunyai sanksi (maka dikatakan hukum) dan di lain pihak tidak dikodifikasikan
(maka dikatakan adat) (Hilman Hadikusuma, 2003:12).

Berbeda dengan Van Vollenhoven, menurut Ter Haar, hukum adat adalah keseluruhan
aturan yang menjelma dari keputusan-keputusan para fungsionaris hukum (dalam arti luas) yang
mempunyai kewibawaan serta mempunyai pengaruh dan yang dalam pelaksanaan berlakunya
serta merta dan ditaati dengan sepenuh hati. Maksudnya bahwa hukum adat ialah adat yang
diputuskan oleh para petugas-petugas hukum adat (Hilman Hadikusuma, 2003:14). Berbeda
dengan Ter Haar, Holleman mengemukakan bahwa hukum adat tidak tergantung pada
keputusan. Maksudnya bahwa norma-norma hukum adalah norma-norma hidup yang disertai
dengan sanksi dan yang jika perlu dapat dipaksakan oleh masyarakat atau badan-badan yang
bersangkutan agar ditaati dan dihormati oleh para warga masyarakat. Tidak merupakan masalah
apakah terhadap norma-norma itu telah pernah ada atau tidaknya keputusan petugas hukum
(Tresna, 1997:428).

Menurut Logemann, hukum adat tidak mutlak sebagai hukum keputusan. Maksudnya
bahwa, norma-norma yang hidup itu adalah normanorma kehidupan bersama, yang merupakan
aturan-aturan perilaku yang harus diikuti oleh semua warga dalam pergaulan hidup bersama. Jika
ternyata bahwa ada sesuatu norma yang berlaku, maka norma itu tentu mempunyai sanksi, ialah
berupa sanksi apapun dari yang sangat ringan sampai yang sangat berat. Orang dapat
menganggap bahwa semua norma yang ada sanksi itu kesemuanya adalah norma hukum (Tresna,
1950:27). Hazairin mengemukakan bahwa adat adalah renapan kesusilaan dalam masyarakat,
yaitu bahwa kaidah-kaidah adat itu berupa kaidah-kaidah kesusilaan yang kebenarannya telah
mendapat pengakuan umum dalam masyarakat itu. Menurutnya, dalam sistem hukum yang
sempurna tidak ada tempat bagi sesuatu yang tidak selaras atau yang bertentangan dengan
kesusilaan. Demikian halnya dengan hukum adat di mana terdapat hubungan dan persesuaian
dengan kesusilaan (Hazairin dalam Hilman Hadikusuma 2003:19). Selanjutnya, menurut
Djojodigoeno, hukum adat apabila dilawankan dengan hukum perundangan (hukum kodifikasi)
maka hukum adat adalah hukum yang tidak bersumber pada peraturan. Jadi hukum adat itu tidak
meliputi peraturan-peraturan desa dan peraturan-peraturan raja-raja, karena peraturan desa dan
perautran raja itu bukan hukum adat.

Membahas hukum adat tidak bisa lepas dari aspek kebudayaan bangsa Indonesia. Oleh
karena hukum dan juga hukum adat merupakan perwujudan dari kebudayaan bangsa Indonesia.
Pada hakikatnya kebudayaanitu mempunyai tipe per-wujudan yaitu:pertama,wujud kebudayaan
sebagai suatu kompleks dari ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan dan
sebagainya;kedua, ke-budayaan dapat mewujudkan diri sebagai kompleks aktivitas kelakuan dari
manusia dalam masyarakat; dan ketiga, kebudayaan dapat berwujud sebagai benda-benda hasil
karya manusia.Norma perilaku adalah aturan yang menentukan apakah perilaku manusia tertentu
patut atau tidak. Berdasarkan hal itu orang dapat mengetahui apa yang dia dapat harapkan dari
orang lain.Untuk suatu kehidupan bersama aturan demikian mutlak perlu. Perilaku kita sehari-
hari dipengaruhi oleh banyak norma yang tidak tercantumdalam undang-undang. Norma yang
mengatur perilakumanusia adalah norma hukum. Didalam hukum adat terdapat hukum delik adat
dan dapat juga disebut sebagaihukum pidana adat, atau hukum pelanggaran adat. Hukum delik
adat adalah aturan-aturan hukum adat yang mengatur peristiwa atau perbuatan kesalahan yang
berakibat terganggunya keseimbangan masyarakat, sehingga perlu diselesaikan agar
keseimbangan masyarakat tidak terganggu. Dengan demikian yang di-uraikan dalam hukum adat
delik adalah tentang peristiwa dan perbuatan yang merupakan delik adat dan cara men-
yelesaikan sehingga keseimbanganmasyarakat tidak lagi merasa terganggu.

DAFTAR PUSTAKA

Badan Pembinaan Hukum Nasional. Seminar Hukum Nasional.Yogyakarta: BPHN. 1995.

Bushar Muhamad. Asas-Asas Hukum Adat. Jakarta: Balai Pustaka. 2015.

Eddy O.S. Hiariej. Asas Legalitas & Penemuan Hukum Dalam Hukum Pidana. Jakarta:
Erlangga. 2009.

Hilman Hadikusuma. Hukum Pidana Adat. Jakarta: Rajawali. 2013.

Moeljanto. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.Jakarta: Bina Aksara. 1995.

Nyoman Serikat Putra Jaya, Relevan Hukum Pidana Adat Dalam Pembaharuan Hukum Pidana
National. Bandung: Citra Aditya Bakti. 2005.

Soedarto. Hukum dan Hukum Pidana. Bandung: Alumni. 1999.

Anda mungkin juga menyukai