Anda di halaman 1dari 15

Abdus Samad al-Palimbani

Syaikh Abdus Shamad al-Palimbani adalah seorang tokoh sufi penulis kitab-kitab sufi yang
berasal dari Palembang.[1] Abdus Shamad lahir pada 1116 H (1704) M dan wafat pada 1203 H
(1789 M) dalam usia 85 tahun,[1] di Palembang.[butuh rujukan] Tentang nama lengkap Syeikh Al-
Falimbani, yang tercatat dalam sejarah, ada tiga versi nama. Yang pertama, seperti yang
diungkapkan dalam Ensiklopedia Islam, dia bernama Abdus Samad Al-Jawi Al-Falembani. Versi
kedua, merujuk pada sumber-sumber Melayu, sebagaimana ditulis oleh Azyumardi Azra dalam
bukunya Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII
(Mizan: 1994), ulama besar ini memiliki nama asli Abdul Samad bin Abdullah Al-Jawi Al-
Falembani. Sementara versi terakhir, tulisan Rektor UIN Jakarta itu, bahawa apabila merujuk
pada sumber-sumber Arab, nama lengkap Syeikh Al-Falembani ialah Sayyid Abdus Al-Samad
bin Abdurrahman Al-Jawi. Dari ketiga nama itu yang diyakini sebagai nama Abdul Samad,
Azyumardi berpendapat bahawa nama terakhirlah yang disebut Syeikh Abdul Samad.

Perbedaan pendapat mengenai nama ulama ini dapat difahami mengingat sejarah panjangnya
sebagai pengembara, baik di dalam negeri maupun luar negeri, dalam menuntut ilmu. Apabila
dilihat latar belakangnya, ketokohan Al-Falembani sebenarnya tidak jauh berbeda dari ulama-
ulama Nusantara lainnya, seperti Hamzah Fansuri, Nuruddin Al-Raniri, Abdurrauf as-Singkili,
Yusuf Al-Makasari.

Dari Persegi silsilah, nasab Syeikh Al-Falembani berketurunan Arab, dari sebelah ayah. Syeikh
Abdul Jalil bin Syeikh Abdul Wahhab bin Syeikh Ahmad Al-Mahdani, ayah Al-Falembani,
adalah ulama yang berasal dari Yaman yang dilantikmenjadi Mufti negeri Kedah pada awal abad
ke-18. Sementara ibunya, Radin Ranti, adalah wanita Palembang yang diperisterikan oleh Syeikh
Abdul Jalil, setelah sebelumnya menikahi Wan Zainab, puteri Dato´ Sri Maharaja Dewa di
Kedah.

Pendidikan

Syeikh Abdus Shamad mendapat pendidikan dasar dari ayahnya sendiri, Syeikh Abdul Jalil, di
Kedah. Kemudian Syeikh Abdul Jalil mengantar semua anaknya ke pondok di negeri Patani.
Zaman itu memang di Patani lah tempat menempa ilmu-ilmu keislaman sistem pondok yang
lebih mendalam lagi.

Mungkin Abdus Shamad dan saudara-saudaranya Wan Abdullah dan Wan Abdul Qadir telah
memasuki pondok-pondok yang terkenal, antaranya ialah Pondok Bendang Gucil di Kerisik, atau
Pondok Kuala Bekah atau Pondok Semala yang semuanya terletak di Patani.

Di antara para gurunya di Patani, yang dapat diketahui dengan jelas hanyalah Syeikh Abdur
Rahman bin Abdul Mubin Pauh Bok. Demikianlah yang diceritakan oleh beberapa orang tokoh
terkemuka Kampung Pauh Bok itu (1989), serta sedikit catatan dalam salah satu manuskrip
terjemahan Al-‘Urwatul Wutsqa, versi Syeikh Abdus Shamad bin Qunbul al-Fathani yang ada.
Kepada Syeikh Abdur Rahman Pauh Bok itulah sehingga membolehkan pelajaran Syeikh Abdus
Shamad al-Falimbani dilanjutkan ke Mekah dan Madinah. Walau bagaimanapun mengenai
Syeikh Abdus Shamad al-Falimbani belajar kepada Syeikh Abdur Rahman Pauh Bok al-Fathani
itu belum pernah ditulis oleh siapa pun, namun sumber asli didengar di Kampung Pauh Bok
sendiri.

Sistem pengajian pondok di Patani pada zaman itu sangat terikat dengan hafalan matan ilmu-
ilmu Arabiyah yang terkenal dengan ‘llmu Alat Dua Belas’. Dalam bidang syariat Islam dimulai
dengan matan-matan fiqh menurut Mazhab Imam Syafi’i. Di bidang tauhid dimulai dengan
menghafal matan-matan ilmu kalam/usuluddin menurut paham Ahlus Sunah wal Jamaah yang
bersumber dari Imam Syeikh Abul Hasan al-Asy’ari dan Syeikh Abu Mansur al-Maturidi.

Dia juga mempelajari ilmu sufi daripada Syeikh Muhammad bin Samman, selain mendalami
kitab-kitab tasawuf daripada Syeikh Abdul Rauf Singkel dan Samsuddin Al-Sumaterani, kedua-
duanya dari Aceh. Oleh sebab dari kecil dia lebih banyak mempelajari ilmu tasawuf, maka dalam
sejarah telah tercatat bahawa dia adalah ulama yang memiliki kepakaran dan keistimewaan
dalam cabang ilmu tersebut.

Setelah Syeikh Abdus Shamad banyak hafal matan lalu dilanjutkan pula dengan penerapan
pengertian yang lebih mendalam lagi. Sewaktu masih di Patani lagi, Syeikh Abdus Shamad telah
dipandang alim, kerana dia adalah sebagai kepala thalaah (tutor), menurut istilah pengajian
pondok. Namun ayahnya berusaha mengantar anak-anaknya melanjutkan pelajarannya ke
Makkah. Memang merupakan satu tradisi pada zaman itu walau bagaimana banyak ilmu
pengetahuan seseorang belumlah di pandang memadai, jika tak sempat mengambil barakah di
Mekah dan Madinah kepada para ulama yang dipandang Wali Allah di tempat pertama lahirnya
agama Islam itu.

Belajar Di Makkah

Orang tua Al-Falembani kemudian menghantar anaknya itu ke Arab yaitu Makkah, dan
Madinah. Tidak jelas, bilakah dia diantar ke salah satu pusat ilmu Islam pada waktu itu. Setakat
yang terakam dalam sejarah, dia dikatakan menganjak dewasa ketika ´berhijrah´ ke tanah Arab.
Di negeri barunya ini, dia terlibat dalam masyarakat Jawa, dan menjadi teman seperguruan,
menuntut ilmu dengan ulama Nusantara lainnya seperti Muhammad Arsyad Al-Banjari, Abdul
Wahhab Bugis, Abdul Rahman Al-Batawi, dan Daud Al-Fatani. Walaupun dia menetap di
Mekah, tidka bermakna dia melupakan negeri leluhurnya. Syeikh Al-Falembani, menurut
Azyumardi, tetap memberikan perhatian besar pada perkembangan sosial, politik, dan
keagamaan di Nusantara.

Sejak perpindahannya ke tanah Arab itu, Syeikh Al-Palembani mengalami perubahan besar
berkaitan dengan intelektualitas dan spiritual. Perkembangan dan perubahan ini tidak terlepas
dari proses ´pencerahan´ yang diberikan para gurunya. Beberapa gurunya yang masyhur dan
berwibawa dalam proses tersebut, antara lain Muhammad bin Abdul Karim Al-Sammani,
Muhammad bin Sulayman Al-Kurdi, dan Abdul Al-Mun´im Al-Damanhuri. Selain itu, tercatat
juga dalam sejarah Al-Palembani berguru kepada ulama besar, antaranya Ibrahim Al-Rais,
Muhammad Murad, Muhammad Al-Jawhari, dan Athaullah Al-Mashri. Tidak sia-sia,
perjuangannya menuntut ilmu di Masjidil Haram dan tempat-tempat lainnya, ´mengangkat´
dirinya menjadi salah seorang ulama Nusantara yang disegani dan dihormati di kalangan ulama
Arab, juga Nusantara.

Mengkritik Tarekat yang Berlebihan

Meskipun mendalami tasawuf, tidak bermakna Syeikh Al-Palembani tidak kritis. Dia dikatakan
kerap mengkritik kalangan yang mempraktikkan tarekat secara berlebihan. Dia selalu
mengingatkan akan bahaya kesesatan yang diakibatkan oleh aliran-aliran tarekat tersebut,
khususnya tarekat Wujudiyah Mulhid yang terbukti telah membawa banyak kesesatan di Aceh.
Untuk mencegah apa yang diperingatkannya itu, Syeikh Al-Palembani menulis intisari dua kitab
karangan ulama dan ahli falsafah agung abad pertengahan, Imam Al-Ghazali, yaitu kitab Lubab
Ihya´ Ulumud Diin (Intisari Ihya´ Ulumud Diin), dan Bidayah Al-Hidayah (Awal Bagi Suatu
Hidayah). Dua karya Imam Al-Ghazali ini dinilainya secara ´moderat´ dan membantu
membimbing mereka yang mempraktikkan aliran sufi.

Berkaitan dengan ajaran tasawufnya, Syeikh Al-Palembani mengambil jalan tengah antara
doktrin tasawuf Imam Al-Ghazali dan ajaran ´wahdatul wujud´ Ibnu Arabi; bahwa manusia
sempurna (insan kamil) adalah manusia yang memandang hakikat Yang Maha Esa itu dalam
fenomena alam yang serba aneka dengan tingkat makrifat tertinggi, sehingga mampu ´melihat´
Allah s.w.t sebagai ´penguasa´ mutlak.

Di Nusantara, khususnya di Indonesia, pengaruh Al-Palembani dianggap cukup besar, khususnya


berkaitan dengan ajaran tasawuf.

Banyak meriwayatkan cerita yang menarik ketika Sheikh Abdus Shamad berada di negerinya
Palembang. Oleh karena rasa bencinya kepada Belanda, ditambah pula dengan peristiwa di atas
kapal itu, dia bertambah kecewa karena melihat pihak Belanda yang kafir telah memegang
pemerintahan di lingkungan Islam dan tiada kuasa sedikit pun bagi Sultan.

Maka dia merasa tidak betah untuk tinggal di Palembang walaupun dia kelahiran negeri itu.
Sheikh Abdus Shamad mengambil keputusan sendiri tanpa musyawarah dengan siapa pun,
semata-mata memohon petunjuk Allah dengan melakukan sholat istikharah. Keputusannya, dia
mesti meninggalkan Palembang, kembali ke Mekah.

Lantaran anti Belanda, dia tidak mau menaiki kapal Belanda sehingga terpaksa menebang kayu
di hutan untuk membuat perahu bersama-sama orang-orang yang patuh sebagai muridnya.
Walaupun sebenarnya dia bukanlah seorang tukang yang pandai membuat perahu, namun dia
sanggup mereka bentuk perahu itu sendiri untuk membawanya ke Mekah. Tentunya ada
beberapa orang muridnya mempunyai pengetahuan membuat perahu seperti itu.

Ini membuktikan Sheikh Abdus Shamadal-Falimbani telah menunjukkan keteguhan pegangan,


tawakal adalah merupakan catatan sejarah yang tidak dapat dilupakan.

Penulis Produktif dan Karya-Karyanya


Karya Sheikh Abdus Shamad al-Falimbani tidak sebanyak karya sahabatnya, Sheikh Daud bin
Abdullah al-Fathani. Ini karena Sheikh Daud bin Abdullah al-Fathani memperoleh ilmu
pengetahuan dalam usia muda dan umurnya juga panjang. Sedangkan Sheikh Abdus Shamad al-
Falimbani, maupun Sheikh Muhammad Arsyad bin Abdullah al-Banjari umumnya jauh lebih tua
daripada Sheikh Daud bin Abdullah al-Fathani bahkan boleh dijadikan ayahnya.

Walau bagaimanapun, Sheikh Abdus Shamad al-Falimbani dan Sheikh Muhammad Arsyad al-
Banjari termasuk dalam klasifikasi pengarang yang produktif. Sheikh Muhammad Arsyad al-
Banjari terkenal dengan fiqhnya yang berjudul Sabilul Muhtadin.

Sheikh Abdush Shamad al-Falimbani adalah yang paling menonjol di bidang tasawuf dengan dua
buah karyanya yang paling terkenal dan masih beredar di pasaran kitab sampai sekarang
Hidayatus Salikin dan Siyarus Salikin.

Karya Tulis

 Zahratul Murid fi Bayani Kalimatit Tauhid, 1178 H/1764 M.


 Risalah Pada Menyatakan Sebab Yang Diharamkan Bagi Nikah, 1179 H/1765 M.
 Hidayatus Salikin fi Suluki MaslakilMuttaqin, 1192 H/1778 M.
 Siyarus Salikin ila ‘Ibadati Rabbil ‘Alamin, 1194 H/1780 M-1203 H/1788 M.
 Al-‘Urwatul Wutsqa wa Silsiltu Waliyil Atqa.
 Ratib Sheikh ‘Abdus Shamad al-Falimbani.
 Nashihatul Muslimina wa Tazkiratul Mu’minina fi Fadhailil Jihadi wa Karaamatil Mujtahidina fi
Sabilillah.
 Ar-Risalatu fi Kaifiyatir Ratib Lailatil Jum’ah
 Mulhiqun fi Bayani Fawaidin Nafi’ah fi Jihadi fi Sabilillah
 Zatul Muttaqin fi Tauhidi Rabbil ‘Alamin
 ‘Ilmut Tasawuf
 Mulkhishut Tuhbatil Mafdhah minar Rahmatil Mahdah ‘Alaihis Shalatu was Salam
 Kitab Mi’raj, 1201 H/1786 M.
 Anisul Muttaqin
 Puisi Kemenangan Kedah

Pulang ke Nusantara untuk Kedua Kalinya

Setelah perahu siap dan kelengkapan berlayar cukup, maka berangkatlah Sheikh Abdus Shamad
al-Falimbani dari Palembang menuju Mekah dengan beberapa orang muridnya. Selama di
Mekah, dia bergiat dalam pengajaran dan penulisan kitab-kitab dalam beberapa bidang
pengetahuan keislaman, terutamanya tentang tasauf, fikah, usuluddin dan lain-lain.

Untuk menunjukkan sikap antinya kepada penjajah, dikarangnya sebuah buku tentang jihad.
Buku yang penting itu berjudul Nasihatul Muslimin wa Tazkiratul Mu’minin fi Fadhail Jihadi fi
Sabilillah wa Karamatul Mujtahidin fi Sabilillah.

Kegiatan-kegiatannya di bidang penulisan akan dibicarakan pada bagian lain.


Di sini terlebih dahulu diceritakan kepulangan dia ke nusantara. Kepulangan Sheikh Abdus
Shamad al-Falimbani kali ini tidak ke Palembang tetapi ke Kedah. Saudara kandungnya Sheikh
Wan Abdul Qadir bin Sheikh Abdul Jalil al-Mahdani ketika itu ialah Mufti Kerajaan Kedah.
Seorang lagi saudaranya, Sheikh Wan Abdullah adalah pembesar Kedah dengan gelar Seri
Maharaja Putera Dewa.

Meskipun Sheikh Abdus Shamad al-Falimbani lama menetap di Mekah, namun hubungan antara
mereka tidak pernah terputus. Sekurang-kurangnya mereka berkirim surat setahun sekali, yaitu
melalui mereka yang pulang setelah melaksanakan ibadah haji.

Selain hubungan dia dengan adik-beradik di Kedah, Sheikh Abdus Shamad al-Falimbani turut
membina hubungan dengan kaum Muslimin di seluruh Asia Tenggara. Pada zaman itu hampir
semua orang yang berhasrat mendalami ilmu tasawuf terutama Tarekat Sammaniyah, Tarekat
Anfasiyah dan Tarekat Khalwatiyah menerima ilmu daripada dia.

Dia sentiasa mengikuti perkembangan di Tanah Jawi (dunia Melayu) dengan menanyakan
kepada pendatang-pendatang dari Pattani, Semenanjung Tanah Melayu, dan negeri-negeri
Nusantara yang di bawah penjajahan Belanda (pada zaman itu masih disebut Hindia Belanda).

Ini terbukti dengan pengiriman dua pucuk surat kepada Sultan Hamengkubuwono I, Sultan
Mataram dan kepada Susuhunan Prabu Jaka atau Pangeran Singasari Putera Amengkurat IV.
Surat-surat tersebut jatuh ke tangan Belanda di Semarang (tahun 1772 M).

Sheikh Abdus Shamad al-Falimbani telah lama bercita-cita untuk ikut serta dalam salah satu
peperangan/pemberontakan melawan penjajah. Namun setelah dipertimbangkan, dia lebih
tertarik membantu umat Islam di Pattani dan Kedah melawan keganasan Siam yang beragama
Buddha.

Sebelum perang itu terjadi, Sheikh Wan Abdul Qadir bin Sheikh Abdul Jalil al-Mahdani, Mufti
Kedah mengirim sepucuk surat kepada Sheikh Abdus Shamad di Mekah. Surat itu membawa
maksud agar diumumkan kepada kaum Muslimin yang berada di Mekah bahawa umat Islam
Melayu Pattani dan Kedah sedang menghadapi jihad mempertahankan agama Islam dan watan
(tanah air) mereka.

Dalam peperangan itu, Sheikh Abdus Shamad al-Falimbani memegang peranan penting dengan
beberapa panglima Melayu lainnya. Ada catatan menarik mengatakan dia bukan berfungsi
sebagai panglima sebenarnya tetapi dia bertindak sebagai seorang ulama sufi yang sentiasa
berwirid, bertasbih, bertahmid, bertakbir dan berselawat setiap siang dan malam.

Banyak orang menuduh bahawa orang sufi adalah orang-orang jumud yang tidak menghiraukan
dunia. Tetapi jika kita kaji beberapa biografi ulama sufi, termasuk Sheikh Abdus Shamad yang
diriwayat ini adalah orang-orang yang bertanggungjawab mempertahankan agama Islam dan
tanah air dari hal-hal yang dapat merosakkan Islam itu.
Golongan ini adalah orang yang berani mati dalam menegakkan jihad fi sabililah. Mereka tidak
terikat dengan sanak keluarga, material duniawi, pangkat dan kedudukan dan sebagainya, mereka
semata-mata mencintai Allah dan Rasul dari segala apa pun juga.

Kepulangan Sheikh Abdus Shamad al-Falimbani ke Kedah memang pada awalnya bertekad demi
jihad, bukan karena mengajar masyarakat mengenai hukum-hukum keislaman walaupun dia
pernah mengajar di Mekah. Akhirnya Sheikh Abdus Shamad al-Falimbani dan rombongan pun
berangkat menuju ke Pattani yang bergelar ‘Cermin Mekah’. Sayangnya kedatangan dia agak
terlambat, pasukan Pattani telah hampir lemah dengan keganasan Siam.

Sementara itu, Sheikh Daud bin Abdullah al-Fathani dan pengikut-pengikutnya telah
mengundurkan diri ke Pulau Duyung, Terengganu untuk menyusun semula langkah perjuangan.
Pattani telah patah dan kekuatan lenyap dengan itu Sheikh Abdus Shamad pun berkhalwat di
salah sebuah masjid di Legor. Ada orang mengatakan dia berkhalwat di Masjid Kerisik yang
terkenal dengan ‘Pintu Gerbang Hang Tuah’ itu.

Para pengikut tasawuf percaya di sanalah dia menghilang diri tetapi bagi kalangan bukan
tasawuf, perkara ini adalah mustahil dan mereka lebih percaya bahawa dia telah mati dibunuh
oleh musuh-musuh Islam.

Wafatnya

Dr M. Chatib Quzwain menulis dalam kertas kerja dan bukunya berjudul Mengenal Allah Suatu
Studi Mengenal Ajaran Tasawuf Sheikh Abdus Shamad al-Palimbani, halaman 180-181: Bahwa
dalam tahun 1244 H/1828 M dikatakan umur Sheikh Abdus Shamad al-Falimbani 124 tahun.
Baik pendapat Dr. M Chatib Quzwain maupun pendapat Dr. Azyumardi Azra perlu disanggah
berdasarkan fakta sejarah.

Azra menulis, “Meskipun saya tidak dapat menentukan secara pasti angka-angka tahun di
seputar kehidupannya, semua sumber bersatu kata bahwa rentang masa hidup Al-Palimbani
adalah dari dasawarsa pertama hingga akhir abad kedelapan belas.

Al-Baythar menyatakan, Al-Palimbani meninggal setelah 1200/1785. Tetapi kemungkinan besar


dia meninggal setelah 1203/1789,tahun ketika dia menyelesaikan karyanya yang terakhir dan
paling masyhur, Sayr Al-Salikin. Ketika dia menyelesaikan karya ini, mestinya umurnya adalah
85 tahun.

“Dalam Tarikh Salasilah Negeri Kedah diriwayatkan, dia terbunuh dalam perang melawan Thai
pada 1244/1828. Tetapi saya sukar menerima penjelasan ini, sebab tidak ada bukti dari sumber-
sumber lain yang menunjukkan Al-Palimbani pernah kembali ke Nusantara. Lebih jauh lagi,
waktu itu mestinya umurnya telah 124 tahun terlalu tua untuk pergi ke medan perang.

“Walaupun Al-Baythar tidak menyebutkan tempat di mana Al-Palimbani meninggal, ada kesan
kuat dia meninggal di Arabia”.
Menurut Ustaz Wan Mohd Shaghir, sumber dari Al-Baythar yang menyebut tahun kewafatan
Sheikh Abdus Shamad al-Falimbani 1200 H/1785 M, seperti yang disebut oleh Dr. Azyumardi
Azra itu adalah ditolak.

Dengan disebutkannya bahawa Sheikh Abdus Shamad al-Falimbani wafat tahun 1200 H/1785 M
adalah sebagai bukti bahawa Al-Baythar tidak banyak tahu tentang Sheikh Abdus Shamad al-
Falimbani. Bahkan tulisannya sendiri bertentangan antara satu sama lainnya.

Coba perhatikan kalimat Dr. Azyumardi Azra dalam buku yang sama halaman 250, “Al-Baythar
meriwayatkan, pada 1201/1787 Al-Palimbani mengadakan perjalanan ke Zabid di mana dia
mengajar murid-murid terutama dari keluarga Ahdal dan Al-Mizjadi”.

Bagaimana bisa terjadi, pada tempat lain Al-Baythar mengatakan Al-Palimbani wafat setelah
1200 H/1785 M. Di tempat yang lain disebutnya Al-Palimbani ke Zabid tahun 1201 H/1787 M.
Oleh itu persoalan-persoalan lain yang bersumber dari Al-Baythar mengenai Sheikh Abdus
Shamad al-Falimbani yang menyalahi sumber-sumber yang telah dianggap benar oleh
tradisi/mutawatir dunia Melayu ditolak juga.

Sumber wafat 1200/1785 M menurut Ustaz Wan Shaghir adalah tidak tepat karena menyalahi
dengan tulisan Sheikh Abdus Shamad al-Falimbani sendiri. Kitab-kitab yang
dikarang/diselesaikan oleh Sheikh Abdus Shamad al-Falimbani sesudah tahun 1200 H/1785 M
itu ialah Risalah Isra’ wa Mi’raj, yang dicatat oleh Sheikh Abdus Shamad al-Falimbani sendiri
selesai menulisnya pada tahun 1201 H, kira-kira bersamaan 1786/87 M. Umumnya, juga
diketahui ialah Siyarus Salikin jilid ke-IV, diselesaikan pada malam Ahad, 20 Ramadhan 1203 H
di Taif, kira-kira bersamaan tahun 1789 M.

Pendapat Dr. Azyumardi Azra pada kalimatnya, “Ketika dia menyelesaikan karya ini, mestinya
umurnya adalah 85 tahun”, tertolak karena tahun kelahiran Sheikh Abdus Shamad al-Falimbani
yang dikemukakan oleh kedua sarjana tersebut ternyata salah seperti yang telah disebutkan
sebelum ini.

Banyak yang menduga kewafatan Sheikh Abdus Shamad al-Falimbani tahun 1203 H/1789 M.

Malah menurut Ustaz Wan Shaghir lagi, dia tetap yakin bahawa Sheikh Abdus Shamad al-
Falimbani memang terlibat langsung dalam peperangan di antara Kedah-Patani melawan Siam
yang terjadi jauh sesudah tahun 1203 H/1789 M itu. Ini berdasarkan cerita yang mutawatir,
dikuatkan sebuah manuskrip salinan Haji Mahmud bin Muhammad Yusuf Terengganu murid
Sheikh Abdus Shamad al-Falimbani, telah diketemukan kubur dia dan lain-lain yang perlu dikaji
dengan lebih teliti.

Dr. M. Chatib Quzwain menyebut bahawa kubur Sheikh Abdus Samad al-Falimbani di
Palembang, Dr. Azyumardi Azra pula menyebut, “ada kesan kuat dia meninggal di Arabia”,
kedua-dua pendapat tersebut bertentangan dengan Al-Tarikh Silsilah Negeri Kedah. Juga
bertentangan dengan cerita populer masyarakat Islam di Kedah, di Patani, Banjar,
Mempawah/Pontianak dan tempat-tempat lain yang ada hubungan pertalian penurunan keilmuan
tradisional Islam dunia Melayu.
Selain itu, bertentangan pula dengan manuskrip Al-Urwatul Wutsqa karya Sheikh Abdus
Shamad al-Falimbani yang disalin oleh Haji Mahmud bin Muhammad Yusuf Terengganu, salah
seorang murid Sheikh Abdus Shamad al-Falimbani. Bertentangan pula dengan pembuktian
bahawa diketemukan kubur Sheikh Abdus Shamad al-Falimbani di perantaraan Kampung Sekom
dengan Cenak termasuk dalam kawasan Tiba, yaitu di Utara Patani.

Menurut Ustaz Wan Shaghir lagi, tidak dipastikan sumber manakah yang digunakan oleh Dr.
Azyumardi Azra yang menyebut, “ada kesan kuat dia meninggal di Arabia” itu.

Catatan kaki
Referensi

1.  Samsul Munir Amin (2008). Karomah para kiai. PT LKiS Pelangi Aksara. hlm. 311–. ISBN 978-
979-8452-49-9.

Rujukan
 Azra, Azyumardi (2004). Edisi Revisi, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad
XVII & XVIII: Prenada Media. ISBN 979-3465-46-8.

 Mengenal Syeikh Abdush Shamad al-Palimbani

 http://www.yadim.com.my/Ulama/UlamaFull.asp?Id=51 Diarsipkan 2011-01-22 di Wayback Machine.

 http://ulama-nusantara-baru.blogspot.com/2007/12/syeikh-abdus-shamad-al-falimbani-ulama.html
1. Kelahiran

Syekh Abdus Samad al-Palembani lahir pada 1116 H atau bertepatan pada tahun 1704 M. Beliau
merupakan putra dari Syekh Abdul Jalil bin Syekh Abdul Wahhab bin Syeikh Ahmad Al-
Mahdani dengan Radin Ranti.

Ayah beliau adalah ulama yang berasal dari Yaman yang dilantik menjadi Mufti negeri Kedah
pada awal abad ke-18. Sementara ibu beliau adalah wanita Palembang yang diperisterikan oleh
Syeikh Abdul Jalil, setelah sebelumnya menikahi Wan Zainab, puteri Dato´ Sri Maharaja Dewa
di Kedah.

2. Wafat

Syekh Abdus Samad al-Palembani wafat tahun 1200 H atau bertepatan pada tahun 1785 M.

3. Pendidikan

Syekh Abdus Samad al-Palembani memulai pendidikan dasar dari ayahnya sendiri, Syekh Abdul
Jalil, di Kedah. Kemudian Syekh Abdul Jalil mengantar semua anaknya ke pondok di negeri
Patani. Zaman itu memang di Patani lah tempat menempa ilmu-ilmu keislaman sistem pondok
yang lebih mendalam lagi.

Mungkin Abdus Samad dan saudara-saudaranya Wan Abdullah dan Wan Abdul Qadir telah
memasuki pondok-pondok yang terkenal, antaranya ialah Pondok Bendang Gucil di Kerisik, atau
Pondok Kuala Bekah atau Pondok Semala yang semuanya terletak di Patani.

Di antara para gurunya di Patani, yang dapat diketahui dengan jelas hanyalah Syekh Abdur
Rahman bin Abdul Mubin Pauh Bok. Demikianlah yang diceritakan oleh beberapa orang tokoh
terkemuka Kampung Pauh Bok itu (1989), serta sedikit catatan dalam salah satu manuskrip
terjemahan Al-‘Urwatul Wutsqa, versi Syeikh Abdus Shamad bin Qunbul al-Fathani yang ada.

Kepada Syekh Abdur Rahman Pauh Bok itulah sehingga membolehkan pelajaran Syeikh Abdus
Shamad al-Falimbani dilanjutkan ke Mekah dan Madinah. Walau bagaimana pun mengenai
Syekh Abdus Samad al-Palimbani belajar kepada Syekh Abdur Rahman Pauh Bok al-Fathani itu
belum pernah ditulis oleh siapa pun, namun sumber asli didengar di Kampung Pauh Bok sendiri.

Sistem pengajian pondok di Patani pada zaman itu sangat terikat dengan hafalan matan ilmu-
ilmu Arabiyah yang terkenal dengan ‘llmu Alat Dua Belas’. Dalam bidang syariat Islam dimulai
dengan matan-matan fiqh menurut Mazhab Imam Syafi’i. Di bidang tauhid dimulai dengan
menghafal matan-matan ilmu kalam/usuluddin menurut paham Ahlus Sunah wal Jamaah yang
bersumber dari Imam Syekh Abul Hasan al-Asy’ari dan Syekh Abu Mansur al-Maturidi.

Dia juga mempelajari ilmu sufi daripada Syekh Muhammad bin Samman, selain mendalami
kitab-kitab tasawuf daripada Syekh Abdul Rauf Singkel dan Samsuddin Al-Sumaterani, kedua-
duanya dari Aceh. Oleh sebab dari kecil dia lebih banyak mempelajari ilmu tasawuf, maka dalam
sejarah telah tercatat bahawa dia adalah ulama yang memiliki kepakaran dan keistimewaan
dalam cabang ilmu tersebut.

Setelah Syekh Abdus Samad banyak hafal matan lalu dilanjutkan pula dengan penerapan
pengertian yang lebih mendalam lagi. Sewaktu masih di Patani lagi, Syekh Abdus Samad telah
dipandang alim, kerana dia adalah sebagai kepala thalaah (tutor), menurut istilah pengajian
pondok. Namun ayahnya berusaha mengantar anak-anaknya melanjutkan pelajarannya ke
Makkah.

Memang merupakan satu tradisi pada zaman itu walau bagaimana banyak ilmu pengetahuan
seseorang belumlah di pandang memadai, jika tak sempat mengambil barakah di Mekah dan
Madinah kepada para ulama yang dipandang Wali Allah di tempat pertama lahirnya agama Islam
itu.

Orang tua al-Palembani kemudian menghantar anaknya itu ke Arab yaitu Makkah, dan Madinah.
Di negeri barunya ini, dia terlibat dalam masyarakat Jawa, dan menjadi teman seperguruan,
menuntut ilmu dengan ulama Nusantara lainnya seperti MuhammadArsyad Al-Banjari, Abdul
Wahhab Bugis, Abdul Rahman Al-Batawi, dan Daud Al-Fatani. Walaupun dia menetap di
Mekah, tidka bermakna dia melupakan negeri leluhurnya. Syeikh Al-Falembani, menurut
Azyumardi, tetap memberikan perhatian besar pada perkembangan sosial, politik, dan
keagamaan di Nusantara.

Sejak perpindahannya ke tanah Arab itu, Syekh Al-Palembani mengalami perubahan besar
berkaitan dengan intelektualitas dan spiritual. Perkembangan dan perubahan ini tidak terlepas
dari proses ´pencerahan´ yang diberikan para gurunya. Beberapa gurunya yang masyhur dan
berwibawa dalam proses tersebut, antara lain Muhammad bin Abdul Karim Al-Sammani,
Muhammad bin Sulayman Al-Kurdi, dan Abdul Al-Mun´im Al-Damanhuri.

Selain itu, tercatat juga dalam sejarah Al-Palembani berguru kepada ulama besar, antaranya
Ibrahim Al-Rais, Muhammad Murad, Muhammad Al-Jawhari, dan Athaullah Al-Mashri. Tidak
sia-sia, perjuangannya menuntut ilmu di Masjidil Haram dan tempat-tempat lainnya,
´mengangkat´ dirinya menjadi salah seorang ulama Nusantara yang disegani dan dihormati di
kalangan ulama Arab, juga Nusantara.

Guru

1. Syekh Abdul Jalil


2. Syekh Abdur Rahman bin Abdul Mubin Pauh Bok
3. Syekh Muhammad bin Samman
4. Syekh Abdul Rauf Singkel dan Samsuddin Al-Sumaterani
5. Muhammad bin Abdul Karim Al-Sammani
6. Muhammad bin Sulayman Al-Kurdi
7. dan Abdul Al-Mun´im Al-Damanhuri
8. Ibrahim Al-Rais
9. Muhammad Murad
10. Muhammad Al-Jawhari
11. Athaullah Al-Mashri
Penerus 

1. Syekh Muhammad Akib Bin Hasanuddin


2. Syekh Ahmad Khatib Sambas
3. Syekh Muhammad Nafis al-Banjari

4. Mengkritik Tarekat yang Berlebihan

Meskipun mendalami tasawuf, tidak bermakna Syeikh Al-Palembani tidak kritis. Dia dikatakan
kerap mengkritik kalangan yang mempraktikkan tarekat secara berlebihan. Dia selalu
mengingatkan akan bahaya kesesatan yang diakibatkan oleh aliran-aliran tarekat tersebut,
khususnya tarekat Wujudiyah Mulhid yang terbukti telah membawa banyak kesesatan di Aceh.

Untuk mencegah apa yang diperingatkannya itu, Syekh Al-Palembani menulis intisari dua kitab
karangan ulama dan ahli falsafah agung abad pertengahan, Imam Al-Ghazali, yaitu kitab Lubab
Ihya´ Ulumud Diin (Intisari Ihya´ Ulumud Diin), dan Bidayah Al-Hidayah (Awal Bagi Suatu
Hidayah). Dua karya Imam Al-Ghazali ini dinilainya secara ´moderat´ dan membantu
membimbing mereka yang mempraktikkan aliran sufi.

Berkaitan dengan ajaran tasawufnya, Syekh Al-Palembani mengambil jalan tengah antara
doktrin tasawuf Imam Al-Ghazali dan ajaran ´wahdatul wujud´ Ibnu Arabi; bahwa manusia
sempurna (insan kamil) adalah manusia yang memandang hakikat Yang Maha Esa itu dalam
fenomena alam yang serba aneka dengan tingkat makrifat tertinggi, sehingga mampu ´melihat´
Allah SWT sebagai ´penguasa´ mutlak.

Di Nusantara, khususnya di Indonesia, pengaruh Al-Palembani dianggap cukup besar, khususnya


berkaitan dengan ajaran tasawuf.

Banyak meriwayatkan cerita yang menarik ketika Syekh Abdus Samad berada di negerinya
Palembang. Oleh karena rasa bencinya kepada Belanda, ditambah pula dengan peristiwa di atas
kapal itu, dia bertambah kecewa karena melihat pihak Belanda yang kafir telah memegang
pemerintahan di lingkungan Islam dan tiada kuasa sedikit pun bagi Sultan.

Maka dia merasa tidak betah untuk tinggal di Palembang walaupun dia kelahiran negeri itu.
Sheikh Abdus Shamad mengambil keputusan sendiri tanpa musyawarah dengan siapa pun,
semata-mata memohon petunjuk Allah dengan melakukan sholat istikharah. Keputusannya, dia
mesti meninggalkan Palembang, kembali ke Mekah.

Lantaran anti Belanda, dia tidak mau menaiki kapal Belanda sehingga terpaksa menebang kayu
di hutan untuk membuat perahu bersama-sama orang-orang yang patuh sebagai muridnya.
Walaupun sebenarnya dia bukanlah seorang tukang yang pandai membuat perahu, namun dia
sanggup mereka bentuk perahu itu sendiri untuk membawanya ke Mekah. Tentunya ada
beberapa orang muridnya mempunyai pengetahuan membuat perahu seperti itu.

Ini membuktikan Sheikh Abdus Shamadal-Falimbani telah menunjukkan keteguhan pegangan,


tawakal adalah merupakan catatan sejarah yang tidak dapat dilupakan.
5. Pulang ke Nusantara

Setelah perahu siap dan kelengkapan berlayar cukup, maka berangkatlah Syekh Abdus Samad al-
Palembani dari Palembang menuju Mekah dengan beberapa orang muridnya. Selama di Mekah,
dia bergiat dalam pengajaran dan penulisan kitab-kitab dalam beberapa bidang pengetahuan
keislaman, terutamanya tentang tasawuf, fikah, usuluddin dan lain-lain.

Untuk menunjukkan sikap antinya kepada penjajah, dikarangnya sebuah buku tentang jihad.
Buku yang penting itu berjudul Nasihatul Muslimin wa Tazkiratul Mu’minin fi Fadhail Jihadi fi
Sabilillah wa Karamatul Mujtahidin fi Sabilillah.

Di sini terlebih dahulu diceritakan kepulangan dia ke nusantara. Kepulangan Syekh Abdus
Samad al-Palembani kali ini tidak ke Palembang tetapi ke Kedah. Saudara kandungnya Syekh
Wan Abdul Qadir bin Syekh Abdul Jalil al-Mahdani ketika itu ialah Mufti Kerajaan Kedah.
Seorang lagi saudaranya, Syekh Wan Abdullah adalah pembesar Kedah dengan gelar Seri
Maharaja Putera Dewa.

Meskipun Syekh Abdus Samad al-Palembani lama menetap di Mekah, namun hubungan antara
mereka tidak pernah terputus. Sekurang-kurangnya mereka berkirim surat setahun sekali, yaitu
melalui mereka yang pulang setelah melaksanakan ibadah haji.

Selain hubungan dia dengan adik-beradik di Kedah, Syekh Abdus Samad al-Palembani turut
membina hubungan dengan kaum Muslimin di seluruh Asia Tenggara. Pada zaman itu hampir
semua orang yang berhasrat mendalami ilmu tasawuf terutama Tarekat Sammaniyah, Tarekat
Anfasiyah dan Tarekat Khalwatiyah menerima ilmu daripada dia.

Dia sentiasa mengikuti perkembangan di Tanah Jawi (dunia Melayu) dengan menanyakan
kepada pendatang-pendatang dari Pattani, Semenanjung Tanah Melayu, dan negeri-negeri
Nusantara yang di bawah penjajahan Belanda (pada zaman itu masih disebut Hindia Belanda).

Ini terbukti dengan pengiriman dua pucuk surat kepada Sultan Hamengkubuwono I, Sultan
Mataram dan kepada Susuhunan Prabu Jaka atau Pangeran Singasari Putera Amengkurat IV.
Surat-surat tersebut jatuh ke tangan Belanda di Semarang (tahun 1772 M).

Syekh Abdus Samad al-Palembani telah lama bercita-cita untuk ikut serta dalam salah satu
peperangan/pemberontakan melawan penjajah. Namun setelah dipertimbangkan, dia lebih
tertarik membantu umat Islam di Patani dan Kedah melawan keganasan Siam yang beragama
Buddha.

Sebelum perang itu terjadi, Syekh Wan Abdul Qadir bin Syekh Abdul Jalil al-Mahdani, Mufti
Kedah mengirim sepucuk surat kepada Syekh Abdus Samad al-Palembani di Mekah. Surat itu
membawa maksud agar diumumkan kepada kaum Muslimin yang berada di Mekah bahawa umat
Islam Melayu Patani dan Kedah sedang menghadapi jihad mempertahankan agama Islam dan
watan (tanah air) mereka.
Dalam peperangan itu, Syekh Abdus Samad al-Palembani memegang peranan penting dengan
beberapa panglima Melayu lainnya. Ada catatan menarik mengatakan dia bukan berfungsi
sebagai panglima sebenarnya tetapi dia bertindak sebagai seorang ulama sufi yang sentiasa
berwirid, bertasbih, bertahmid, bertakbir dan berselawat setiap siang dan malam.

Banyak orang menuduh bahawa orang sufi adalah orang-orang jumud yang tidak menghiraukan
dunia. Tetapi jika kita kaji beberapa biografi ulama sufi, termasuk Syekh Abdus Samad al-
Palembani yang diriwayat ini adalah orang-orang yang bertanggungjawab mempertahankan
agama Islam dan tanah air dari hal-hal yang dapat merosakkan Islam itu.

Golongan ini adalah orang yang berani mati dalam menegakkan jihad fi sabililah. Mereka tidak
terikat dengan sanak keluarga, material duniawi, pangkat dan kedudukan dan sebagainya, mereka
semata-mata mencintai Allah dan Rasul dari segala apa pun juga.

Kepulangan Syekh Abdus Samad al-Palembani ke Kedah memang pada awalnya bertekad demi
jihad, bukan karena mengajar masyarakat mengenai hukum-hukum keislaman walaupun dia
pernah mengajar di Mekah. Akhirnya Syekh Abdus Samad al-Palembani dan rombongan pun
berangkat menuju ke Pattani yang bergelar ‘Cermin Mekah’. Sayangnya kedatangan dia agak
terlambat, pasukan Pattani telah hampir lemah dengan keganasan Siam.

Sementara itu, Syekh Daud bin Abdullah al-Fathani dan pengikut-pengikutnya telah
mengundurkan diri ke Pulau Duyung, Terengganu untuk menyusun semula langkah perjuangan.
Pattani telah patah dan kekuatan lenyap dengan itu Syekh Abdus Samad al-Palembani pun
berkhalwat di salah sebuah masjid di Legor. Ada orang mengatakan dia berkhalwat di Masjid
Kerisik yang terkenal dengan ‘Pintu Gerbang Hang Tuah’ itu.

Para pengikut tasawuf percaya di sanalah dia menghilang diri tetapi bagi kalangan bukan
tasawuf, perkara ini adalah mustahil dan mereka lebih percaya bahawa dia telah mati dibunuh
oleh musuh-musuh Islam.

6. Murid-murid Beliau

Murid beliau yang menjadi ulama :


Wajihud Din Al-Ahdal

7. Karya-Karya

Syekh Abdus Samad al-Palembani tidak sebanyak karya sahabatnya, Syekh Daud bin Abdullah
al-Fathani. Ini karena Syekh Daud bin Abdullah al-Fathani memperoleh ilmu pengetahuan dalam
usia muda dan umurnya juga panjang. Sedangkan Syekh Abdus Shamad al-Falimbani, maupun
Sheikh Muhammad Arsyad bin Abdullah al-Banjari umumnya jauh lebih tua daripada Sheikh
Daud bin Abdullah al-Fathani bahkan boleh dijadikan ayahnya.

Walau bagaimanapun, Syekh Abdus Samad al-Palembani  dan Syekh Muhammad Arsyad al-
Banjari termasuk dalam klasifikasi pengarang yang produktif. Syekh MuhammadArsyad al-
Banjari terkenal dengan fiqhnya yang berjudul Sabilul Muhtadin.
Syekh Abdus Samad al-Palembani adalah yang paling menonjol di bidang tasawuf dengan dua
buah karyanya yang paling terkenal dan masih beredar di pasaran kitab sampai sekarang
Hidayatus Salikin dan Siyarus Salikin. Kitab-kitab karya beliau diantaranya:

1. Zahratul Murid fi Bayani Kalimatit Tauhid, 1178 H/1764 M.


2. Risalah Pada Menyatakan Sebab Yang Diharamkan Bagi Nikah, 1179 H/1765 M.
3. Hidayatus Salikin fi Suluki MaslakilMuttaqin, 1192 H/1778 M.
4. Siyarus Salikin ila ‘Ibadati Rabbil ‘Alamin, 1194 H/1780 M-1203 H/1788 M.
5. Al-‘Urwatul Wutsqa wa Silsiltu Waliyil Atqa.
6. Ratib Sheikh ‘Abdus Shamad al-Falimbani.
7. Nashihatul Muslimina wa Tazkiratul Mu’minina fi Fadhailil Jihadi wa Karaamatil Mujtahidina fi
Sabilillah.
8. Ar-Risalatu fi Kaifiyatir Ratib Lailatil Jum’ah
9. Mulhiqun fi Bayani Fawaidin Nafi’ah fi Jihadi fi Sabilillah
10. Zatul Muttaqin fi Tauhidi Rabbil ‘Alamin
11. ‘Ilmut Tasawuf
12. Mulkhishut Tuhbatil Mafdhah minar Rahmatil Mahdah ‘Alaihis Shalatu was Salam
13. Kitab Mi’raj, 1201 H/1786 M.
14. Anisul Muttaqin
15. Puisi Kemenangan Kedah

8. Chart Silsilah Sanad

Berikut silsilah sanad guru Syekh Abdus Samad al-Palembani dapat dilihat DI SINI, dan chart
silsilah sanad murid beliau dapat dilihat DI SINI.

9. Referensi

Dikumpulkan dari berbagai sumber

Artikel ini sebelumnya diedit tanggal 04 Januari 2021, dan terakhir diedit tanggal 29 Agustus
2022.

Silsilah Syekh Abdus Samad al-Palembani


Pilih Tipe Hubungan :

SILSILAH

Guru
Syekh Muhammad Samman Al-Madani

Murid
Syekh Muhammad Nafis al-Banjari

Murid
Syekh Muhammad Akib Bin Hasanuddin

Murid
Syeikh Ahmad Khatib Sambas

Murid
Biography of Sheikh Ahmad Khatib Sambas

MUHIBBIN (Para Pecinta)

 Belum ada Muhibbin yang terdaftar

LOKASI TERKAIT BELIAU

 Tidak ada lokasi terkait.

Anda mungkin juga menyukai