Anda di halaman 1dari 7

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.

id

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Modernitas hadir melanda kota sebagai arenanya, ini menjadikan budaya pop
turut mendominasi kebudayaan baru kota. Perombakan-perombakan yang dilakukan
sistem globalisasi bergerak atas semangat ideologi positivisme berdasar akal,
kebenaran empiris, universalitas, dan alasan-alasan kemajuan yang sangat memihak
pada kepentingan aktivitas materiil (Giddens, 2001: 14). Dari penjelasan tersebut
maka dapat dikatakan bahwa semua aktivitas kota dalam sistem globalisasi kemudian
dipahami berjalan apa adanya, bahkan tanpa tujuan, manfaat, praktis, dan dehumanis.
Kota sebagai wajah peradaban dunia dan arena lokomotif modernisasi terus
mengalami perubahan dan terkonstruksi berbagai konsepsi baru. Kota Yogyakarta
sebagai salah satu potret kota tua di Indonesia turut mengalami perubahan baik fisik,
sosial, ekonomi maupun kultural, perubahan-perubahan tersebut tampak pada
program pembangunan pemerintah Kota Yogyakarta dengan mendayagunakan
potensi daerah melalui kebijakan otonomi daerah atau desentralisasi seperti yang
tertuang pada Peraturan Daerah Kota Yogyakarta Nomor 7 Tahun 2012 Tentang
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Kota Yogyakarta Tahun
2012-2016. Dalam Peraturan Daerah Kota Yogyakarta Nomor 7 Tahun 2012 tersebut
disebutkan bahwa salah satu jenis program pembangunan Kota Yogyakarta yaitu
melalui program kewilayahan, program ini ditujukan untuk pembangunan daerah di
Yogyakarta untuk terciptanya keterpaduan, keserasian, keseimbangan laju
pertumbuhan, dan keberlanjutan pembangunan antarwilayah/antarkawasan dalam
kecamatan di wilayah Kota Yogyakarta.
Kota Yogyakarta memang nampak kecil jika dibandingkan dengan kota-kota
terpenting Indonesia lainnya. Namun, Yogyakarta menjadi kota yang memiliki
pengaruh dalam skala nasional, terutama karena dua alasan utama. Pertama, karena
sejarah dan kedudukannya sebagai salah satu pusat kebudayaan terpenting di
Indonesia. Kedua, karena kedudukannya sebagai salah satu kota tujuan wisata
terpenting di Indonesia. Karena itulah, peristiwa-peristiwa politik, sosial, dan
commit to user

1
perpustakaan.uns.ac.id 2
digilib.uns.ac.id

kebudayaan yang terjadi di Yogyakarta selalu menjadi wacana nasional, bahkan


terkadang internasional.
Kota Yogyakarta didirikan oleh Pangeran Mangkubumi (kemudian bergelar
Sultan Hamengkubuwono I) pada 1756 sebagai pecahan akibat sengketa pergantian
kekuasaan kerajaan Mataram Jawa (Khudori, 2002: 103). Pusat kerajaan dahulu
hanya merupakan tempat tinggal raja dan orang-orang yang dekat dengannya. Istana
raja dikelilingi oleh tempat tinggal para pegawai istana dan orang-orang lain yang
menyumbangkan barang ataupun jasa kepada istana (Koentjaraningrat, 1994: 72).
Dari keadaan tersebut, mulai banyak pemukiman yang muncul di sekitar istana.
Berdasar sejarah awal pembentukan Kota Yogyakarta tersebut, maka Kota
Yogyakarta berkembang dari kraton dan rumah-rumah pangeran (ndalem) di
sekitarnya yang membentuk perkampungan menurut organisasi sosial, struktur kelas,
dan gaya hidupnya masing-masing.
Yogyakarta tumbuh menjadi sebuah kota administratif atas pengaruh
pemerintah kolonial di Indonesia. Penduduk Belanda membentuk kawasan
perumahan di sekitar pusat kekuatan militer mereka, dengan bukti masih terdapat
perkampungan di sekitar Benteng Vredeburg. Sedangkan pedagang Tionghoa
membangun rumah-rumah toko (ruko) di sepanjang jalan besar yang menuju ke
Alun-alun (Malioboro dan Gondomanan). Pada masa itu, terdapat perkembangan
administrasi, komunikasi, transportasi, dan pendidikan modern, menyebabkan
kawasan-kawasan baru mulai bermunculan di tengah kota. Kawasan-kawasan baru
tersebut kemudian berkembang sebagai tempat pemukiman penduduk. Pemukiman
ini disebut Kampung Kota.
Seiring berjalannya waktu, di tengah Kota Yogyakarta mulai terdapat dua
jenis perkampungan, yaitu kampung-kampung lama tradisional yang umumnya
berada di jalan-jalan besar di tengah kota (kampung-kampung di sekitar kraton
maupun kampung-kampung bekas kawasan pemukiman Belanda), dan kampung baru
akibat urbanisasi yang umumnya berada di sekitar bantaran sungai yang melintasi
tengah kota. Penduduk yang tergolong berpenghasilan menengah ke atas berusaha
bermukim di kawasan yang menjauhi keramaian, sedangkan orang-orang yang
tergolong berpenghasilan menengah ke bawah cenderung bermukim di sekitar tempat
commit
keramaian, khususnya di pinggir-pinggir to user
sungai yang melintasi kota.
perpustakaan.uns.ac.id 3
digilib.uns.ac.id

Melihat tata Kota Yogyakarta semacam itu menunjukkan bahwa Yogyakarta


terbentuk dari berbagai kampung-kampung kota baik kampung-kampung lama
tradisional maupun kampung-kampung baru akibat urbanisasi. Setiap kampung
memiliki aktivitas seni, sosial, dan ekonomi yang berbeda-beda dengan kampung
lainnya. Keberadaan kampung-kampung tersebut mendukung Kota Yogyakarta
memiliki banyak kekayaan budaya salah satunya di bidang kesenian seperti wayang,
ketoprak, sholawatan, tari, dan karawitan sebagai daya tarik wisata tersendiri baik
dalam skala nasional maupun internasional. Oleh karena itu, kesenian menjadi
bagian penting bagi setiap daerah. Selain fungsinya sebagai budaya lokal yang
menyimpan nilai-nilai luhur, kesenian juga mampu mendongkrak devisa negara, hal
ini sesuai dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2009
Tentang Kepariwisataan yang bertujuan untuk kesejahteraan rakyat dan menambah
devisa negara sehingga mampu meningkatkan pembangunan negara bagi
kesejahteraan rakyat. Lebih lanjut, World Tourism Organization (WTO) dalam
rekomendasinya kepada badan statistik PBB sebagai hasil konferensi mengenai
perjalanan dan pariwisata internasional (The United Nations Conference on
International Travel and Tourism) di Roma, 21 Agustus – 5 September 1963,
menguraikan bahwa pariwisata sebagai media aktivitas kemanusiaan dengan tujuan
dan maksud tertentu serta mampu memberikan peningkatan pada devisa negara
(Atmadja, 2010: 17).
Bermacam kesenian yang ada di Kota Yogyakarta dapat ditemukenali, di
antaranya adalah kesenian tradisional kampung yang masih terjaga eksistensinya
hingga sekarang. Modernisasi tentunya dapat mengancam keberadaan kesenian
tradisional yang ada di tengah Kota Yogyakarta, maka penting adanya suatu upaya
untuk mempertahankan eksistensi dari kesenian tradisional tersebut serta
pendayagunaannya untuk meningkatkan kesejahteraan daerah dengan strategi
pariwisata. Terjaganya aktivitas kesenian tradisional tergantung atas kemampuan
publik sendiri dalam menjaganya, seni hanya dapat diberi makna bersama publiknya
sehingga tak ada seni tanpa publik (Dewanto, 1996: 90). Hal tersebut menunjukkan
bahwa terjaganya eksistensi kesenian tradisional tergantung pada pemaknaan dari
publik itu sendiri.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 4
digilib.uns.ac.id

Salah satu daerah di Yogyakarta yang masih menjaga aktivitas kesenian


tradisionalnya adalah kawasan Kotagede. Kotagede terletak di sebelah Tenggara
Kota Yogyakarta. Van Mook menerangkan bahwa Kotagede berasal dari kata Kuta
Gede yang dapat diartikan sebagai Kota Besar (Koentjaraningrat, 1994: 72). Lebih
lanjut Van Mook juga menerangkan bahwa pada tahun 1920-1930 kondisi
perekonomian Kotagede mengalami era emas setelah orang kalang mendapatkan
monopoli dari pemerintah Belanda untuk mengelola perdagangan berlian, membuka
pegadaian swasta dan perdagangan candu (Zubair, 2000: 142). Orang Kalang adalah
pendatang dari masa Majapahit dan dari Bali yang datang ketika Kotagede masih
menjadi pusat kerajaan Mataram. Mereka sengaja diundang oleh raja untuk menjadi
tukang ukir kerajaan. Pada awalnya, orang kalang hidup sebagai masyarakat
pinggiran. Sejak pemerintahan Sultan Agung, mereka terpaksa merubah gaya hidup
dan mencari nafkah di tempat-tempat pemukiman. Di beberapa kota Jawa (Cirebon,
Yogyakarta, dan lain-lain) masih terdapat kampung-kampung yang bernama pe-
kalang-an, di situlah kiranya orang-orang kalang membuka pemukimannya dengan
ada yang menjadi tukang pedati atau penebang kayu yang sering beralih profesi
menjadi pengrajin kayu (Lombard, 2005: 44). Orang kalang inilah sebagai pioner
munculnya buruh di Kotagede.
Peristiwa meletusnya pemberontakan PKI menjadikan perekonomian
Kotagede memburuk. Akibatnya, Kotagede menjadi kota buruh yang miskin dan
beberapa daerah di wilayah Kotagede menjadi daerah termarginalkan pasca peristiwa
1965, beberapa diantaranya adalah kampung-kampung kota yang memiliki hubungan
historis dengan peristiwa 1965. Meski semakin hari semakin membaik kondisi
perekonomiannya, namun krisis ekonomi tahun 1999 telah kembali menjadikan
perekonomian Kotagede melemah. Di Kotagede inilah terdapat sebuah kampung
kota dengan sejarah perkembangannya yang menarik untuk digali lebih mendalam.
Kampung kota tersebut bernama Kampung Bumen.
Secara administratif, Kampung Bumen tercatat dalam wilayah Kelurahan
Purbayan, Kecamatan Kotagede. Adapun dalam bidang kesenian, Kampung Bumen
memiliki kesenian tradisional, seperti srandul, karawitan, sholawatan, tari-tarian
kampung, dan macapatan yang mulai terlihat lagi aktivitasnya pasca 1998. Potensi
commitdalam
kesenian tradisional tersebut digunakan to usermerumuskan identitas kampung
perpustakaan.uns.ac.id 5
digilib.uns.ac.id

terkait pengembangan kampung ke arah yang lebih maju (sebagai Kampung Seni).
Pemilihan sebagai Kampung Seni merupakan implikasi pengembangan wilayah bagi
Kampung Bumen berdasar Keputusan Walikota Yogyakarta Nomor: 557/KEP/2007
Tentang Kegiatan Kepariwisataan Kota Yogyakarta, dimana dalam Keputusan
Walikota Yogyakarta Nomor: 557/KEP/2007 tersebut disebutkan bahwa wilayah
Kota Yogyakarta memiliki potensi kegiatan kepariwisataan yang bersumber pada
nilai-nilai kearifan lokal, nilai-nilai luhur budaya bangsa dan dikembangkan selaras
dan serasi dengan sejarah dan budaya Kraton Yogyakarta Hadiningrat. Selain sebagai
tujuan komersil, kesenian tradisional bagi masyarakat Bumen adalah aktivitas
kemasyarakatan yang penuh dengan makna simbolik dan mengandung pembelajaran
nilai-nilai luhur dalam kehidupan bermasyarakat. Dari kondisi inilah maka kesenian
digunakan sebagai identitas kampung yang tentunya memiliki fungsi komunikasi
antar individu.
Identitas menjadi hal penting sebagai fungsi komunikasi serta menegaskan
suatu ciri khas tertentu agar dapat mengungkap keberadaan seseorang/kelompok
orang di tengah masyarakat. Carey menyatakan bahwa komunikasi menjadi pola
dasar untuk menarik orang lain agar turut serta dalam kebersamaan (Liliweri, 2002:
4). Komunikasi pada akhirnya diartikan sebagai suatu proses, suatu aktivitas
simbolis, dan pertukaran makna antarmanusia. Identitas-identitas yang muncul
sebagai produk pariwisata tersebut menyebabkan identitas budaya Kota Yogyakarta
yang kental dengan tradisi, perlahan akan mati dilevel masyarakat grassroot. Roh
kehidupan kebudayaan Jawa yang seharusnya dilestarikan akan mengalami
kemandegan.
Kebudayaan beserta nilai-nilai kebarat-baratan yang sudah berkembang lama
tentunya lebih mendominasi karakter kebudayaan Kota Yogyakarta kini. Dalam
kondisi tersebut produksi kultural berupa kesenian kini bermunculan dalam
kelompok-kelompok kolektif masyarakat dan komunitas seni, salah satunya berada
di Kampung Bumen dengan identitasnya sebagai Kampung Seni. Produksi kultural di
Kampung Bumen menjadi bentuk reaktif atas kondisi kesenian di Kota Yogyakarta
dimana ruang seni pertunjukan yang ada hampir tidak memberikan ruang bagi para
pelaku seni di Kampung Bumen untuk tampil di depan masyarakat luas, karena
commit to user pendidikan seni. Inilah yang
didominasi oleh seniman dari institusi-institusi
perpustakaan.uns.ac.id 6
digilib.uns.ac.id

menjadikan kelompok-kelompok seni di Kampung Bumen mulai aktif mereproduksi


kebudayaan lokal berupa kesenian tradisional dalam Produksi Kultural Kampung
Seni. Produksi Kutural yang dijalankan melalui reproduksi kebudayaan menjadi
potret praktik dari aktor dengan habitus dan modal yang dimiliki dalam
membangkitkan dan mengatur praktik-praktik yang membentuk kehidupan sosial
pada arena tertentu (Bourdieu, 2011: 53).
Berangkat dari identitas sebagai Kampung Seni itulah, menggunakan
Produksi Kultural milik Pierre Bourdieu, Kampung Seni di Kampung Bumen
dipandang sebagai arena dari produksi kultural di Kampung Bumen yang melibatkan
para aktor dengan habitus dan modal di dalam arena tersebut. Meskipun identitas
sebagai Kampung Seni adalah sebuah produk pariwisata, namun identitas tersebut
juga menjadi arena dari berkembangnya produksi kultural seni di Kampung Bumen.
Sebagai produk dari bentuk pariwisata kota, Kampung Seni di Yogyakarta tumbuh
dan berkembang sesuai dengan isi dari Peraturan Daerah Kota Yogyakarta Nomor 7
Tahun 2012 Tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD)
Kota Yogyakarta Tahun 2012-2016, yang menerangkan bahwa Pembangunan Kota
Yogyakarta salah satunya berbasis kewilayahan dimulai dari Kampung Kota dengan
mendayagunakan potensi lokal sebagai bentuk kegiatan kepariwisataan yang
bersumber pada nilai-nilai kearifan lokal, nilai-nilai luhur budaya bangsa dan
dikembangkan selaras dan serasi dengan sejarah dan budaya Kraton Yogyakarta
Hadiningrat.
Keberadaan Peraturan Daerah Kota Yogyakarta Nomor 7 Tahun 2012
Tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Kota
Yogyakarta Tahun 2012-2016 tentunya sangat mendukung keberadaan Kampung
Seni yang ada di Kampung Bumen sebagai produk untuk pengembangan daerah dan
peningkatan ekonomi bagi masyarakat Kampung Bumen dan juga Kota Yogyakarta.
Alih-alih sebagai produk untuk pengembangan daerah dan peningkatan ekonomi bagi
masyarakat Kampung Bumen dan juga Kota Yogyakarta, Kampung Seni di
Kampung Bumen pada realitanya justru terbilang jauh dari cita-cita dan sasaran yang
diidamkan. Berdasarkan data yang ada, wisatawan yang berkunjung ke Kampung
Seni di Kampung Bumen tercatat rata-rata hanya sekitar 300 orang setiap tahunnya,
commit
yang terdiri dari kelompok-kelompok to user
belajar siswa dan juga beberapa wisatawan
perpustakaan.uns.ac.id 7
digilib.uns.ac.id

asing (Herliana, 2011: 108). Dari temuan inilah, maka Produksi Kultural Kampung
Seni di Kampung Bumen menjadi menarik untuk dikaji sebagai kantong kebudayaan
baru di Kota Yogyakarta dan juga sebagai sebuah telaah sosial atas pengelolaan
Kampung Seni di Kampung Bumen.

B. Rumusan Masalah
Merujuk pada latar belakang di atas terkait Produksi Kultural Kampung Seni
di Kampung Bumen, dengan menggunakan Produksi Kultural Pierre Bourdieu,
dalam penelitian ini dirumuskan permasalahan yaitu Bagaimanakah Produksi
Kultural melalui Habitus Aktor, Modal, dan Ranah dalam Kampung Seni di
Kampung Bumen, Kelurahan Purbayan, Kecamatan Kotagede, Kota Yogyakarta?

C. Tujuan Penelitian
Tujuan yang hendak dicapai dalam mencari titik temu atau jawaban relevan
berdasarkan permasalahan pada penelitian yang dikaji menggunakan Produksi
Kultural Pierre Bourdieu ini yaitu untuk menggambarkan Produksi Kultural melalui
Habitus Aktor, Modal, dan Ranah dalam Kampung Seni di Kampung Bumen,
Kelurahan Purbayan, Kecamatan Kotagede, Kota Yogyakarta?

D. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat yang dapat diperoleh dari penelitian ini adalah:
1. Manfaat Teoritis
a. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangsih bagi pengembangan
ilmu pengetahuan pada umumnya dan Sosiologi pada khususnya.
b. Dapat mendukung perkembangan serta kemajuan di bidang Sosiologi dan
Ilmu Sosial, karena pembahasan dalam penelitian ini melibatkan kajian
penting Sosiologi yaitu masyarakat yang dipadu dengan salah satu Teori
Sosial Postmodern yaitu Produksi Kultural.
2. Manfaat Praktis
Hasil penelitian ini secara praktis diharapkan menjadi bahan
pertimbangan dalam menyusun kebijakan di Kota Yogyakarta terkait
pengelolaan Kampung Seni di Kota Yogyakarta, khususnya kawasan Kotagede.
commit to user

Anda mungkin juga menyukai