Perencanaan Pra-Modern
Mata Kuliah: PL 6017 Teori Perencanaan Lanjut
Dosen Pengampu: Ir. Tubagus Furqon Sofhani, MA, Ph.D.
Members:
Annisa Rachman S.
24022006
Bella Rizkylillah S.
24022010
BAHAN BACAAN
1. Samadhi, T. Nirarta (2001). The Urban Design of A Balinese Town: Placemaking Issues in
The Balinese Urban Setting. Habitat International
2. Suryanto1, Ahmad Djunaedi dan Sudaryono (2015). Aspek Budaya dalam Keistimewaan
Tata Ruang Kota Yogyakarta. Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota ITB
3. Damayanti, Rully (2005). Kawasan “Pusat Kota” dalam Perkembangan Sejarah
Perkotaan Jawa. DIMENSI (Journal of Architecture and Built Environment)
4. Putra, Cokorda(2021). Tri Hita Karana dan Prinsip Harmoni dalam Bangunan
Tradisional Bali. Vidya Wertta Volume 4 Nomor 1
Outline Pre s e n t a s i
Perencanaan Kota di
Kesimpulan
Era Pra-Modern
Kota dan Kebudayaan (1/2)
Kekekalan Tradisi dan Budaya pada Perancangan Kota Pusat Kota Pada Jaman Pra Kolonial
● Konsep 'tradisi' dibahas secara eksplisit oleh Shils ● Kota Jawa pada jaman prakolonial pada
(1981) yang mendefinisikannya sebagai 'yang dasarnya menganut pola kota Mandala,
diwariskan’ sebagai penerusan dari kebiasaan kota-
● Tradisi mencakup benda-benda material, keyakinan kota pada jaman Hindu Jawa, dimana
tentang segala macam benda, gambaran orang terdapat pusat (inti) kota dengan alun-
dan peristiwa, praktik, dan institusi alun dan bangunan penting di sekitarnya.
Kota masa pra sejarah Pemikiran mengenai Pada abad 10 dan 11 Masehi, Venesia adalah
secara umum strukturnya kota ideal muncul di era kota dagang utama di Eropa, tetapi pada
konsentris, dengan pusatnya ini. Kota dibangun lebih abad 17 dan 18, Bristol berkembang sebagai
adalah tempat tinggal sistemik, mengikuti pelabuhan dagang utama di Inggris,
penguasa, bangunan- hasil pemikiran para London menjadi kota dunia di belahan barat
bangunan keagamaan dan ahli dan pemikir. Tetapi Atlantik. Sementara itu, Venesia menjadi
lapangan sebagai tempat secara umum, struktur kota budaya dan seni sebagai daya tariknya,
upacara penting. Pusat kota kota tidak berubah, yaitu bukan lagi perdagangan. (Short, 1984).
tersebut dikelilingi oleh konsentris. Pola tersebut Contoh kota yang mengalami proses
perumahan yang dihuni oleh diteruskan oleh perkembangan cepat antara abad 13–18
strata sosial yang berlapis, Kerajaan Romawi, yang adalah Amsterdam, Bruges, Venesia,
sesuai piramida kekuasaan kemudian menjadi Antwerpen dan Genoa (Bounds, 2004). Kota-
atau strata sosial, kemudian acuan pembangunan kota tersebut secara struktural telah
dikelilingi oleh tembok atau kota-kota di abad bergeser dari konsentrik menjadi sektoral,
pagar pertahanan (Sjoberg, pertengahan (Sjoberg, karena segregasi ruang tidak semata-mata
1960; Radford, 1979; Mumford, 1960). karena pelapisan sosial, tetapi juga karena
1991; Bounds, 2004). adanya diversifikasi kerja dan nilai tanah.
Sejarah dan Perkembangan Kota (2/3)
Pada tahun 1760, Manchester hanya kota Perkembangan kota setelah kota
kecil dengan penduduk 17.000 jiwa, industri secara prinsip
kemudian bertambah menjadi 180.000 menunjukkan gejala yang sama
jiwa pada tahun 1830 dan 20 tahun dengan periode sebelumnya.
kemudian menjadi 303.382 jiwa (Short, Perubahan sosial, budaya, dan
1984). Kecepatan perkembangan yang teknologi berimplikasi langsung
luar biasa tersebut tidak diikuti oleh terhadap perubahan fisik kotanya.
perkembangan layanan Kota semakin memperlihatkan
infrastrukturnya. Akibatnya, kota-kota cirinya sebagai titik aglomerasi
industri di Inggris (dan kota-kota industri ekonomi. Teknologi informasi
lain di Eropa) tumbuh sebagai kota yang dan transportasi telah
jauh dari memenuhi syarat, khususnya menjadikan perkembangan
kesehatan. Urbanisasi yang luar biasa perkotaan yang lebih merata.
juga mendorong disparitas yang semakin Perkembangan kawasan
lebar antara industriawan dan pinggiran kota atau sub urban
pengusaha dengan kalangan pekerja. menjadi fenomena penting,
Struktur kotanya bergeser dari sistemik khususnya di Amerika (Short, 1984;
ke organik. (Short, 1984). Champion, 2001).
Sejarah dan Perkembangan Kota (3/3)
Perkembangan Kota di Indonesia 19 M-sekarang
• Konsep keseimbangan harmonis dalam falsafah masyarakat Bali diyakini sebagai landasan dalam
mencapai kesejahteraan yang dalam penerapannya telah berkembang dan terkristalisasi dalam ajaran
agama. Tri Hita Karana atau secara harfiah 'tiga penyebab kebaikan' (Kaler, 1983; Surpha, 1991; Pitana,
1994). Dalam arsitektur dan perancangan permukiman, ajaran ini pada hakikatnya dimaksudkan untuk
menjalin hubungan yang harmonis antara manusia dengan Tuhannya.
• Tri Hita Karana itu sendiri memiliki makna yang berarti “tiga”, hita memiliki makna “bahagia”, serta
karana memiliki makna “sebab”. Falsafah tersebut memiliki makna bahwa kondisi keseimbangan
hidup yang terdapat dalam kehidupan berasal dari hubungan harmonis sesama manusia
dan dengan sang pencipta.
• Pengertian serupa juga tertuang di dalam Peraturan Daerah Provinsi Bali No.16 Tahun 2019 tentang Rencana
Tata Ruang Wilayah Provinsi Bali Tahun 2009 - 2029 (“RTRWP”) yang telah diamandemen dengan
Peraturan No. 3 Tahun 2020 (secara bersama-sama disebut dengan “Perda”), yang lebih lengkapnya
dikatakan sebagai berikut: “falsafah hidup masyarakat Bali yang memuat tiga unsur yang
membangun keseimbangan dan keharmonisan hubungan antara manusia dengan Tuhan,
manusia dengan manusia, dan manusia dengan lingkungannya yang menjadi sumber
kesejahteraan, kedamaian, dan kebahagian bagi kehidupan manusia”.
Studi Kasus di Indonesia: BALI
Pengaplikasian Tri Hita Karana dalam kaitannya dengan perencanaan perumahan dapat dikaitkan dengan tiga aspek:
Lebih lanjut, Tri Hita Karana memberikan turunan tata letak konsep ruang Tri (tiga) Angga (badan). Angga, dalam hal
ini menekankan pada nilai fisik, yaitu: utama angga, madya angga dan nista angga. Selain itu, seperti yang telah
dijabarkan secara singkat di atas, penerapan Tri Hita Karana juga telah diakomodir dalam berbagai peraturan
daerah provinsi Bali, termasuk Perda, di mana konsep tersebut menjadi salah satu asas yang mendasari RTRWP
Bali. Selain peraturan provinsi, Bali juga memiliki hukum adat yang dilandasi oleh Tri Hita Karana, yaitu awig-awig.
Studi Kasus di Indonesia: BALI
01.
Pengertian hubungan manusia dan lingkungan di Bali adalah menjaga keseimbangan yang
Attitude to human being - harmonis antara mikrokosmos (manusia) dan makrokosmos (lingkungan). Paralelisme
antara mikrokosmos dan makrokosmos ini mengharuskan adanya praktik upacara ritual
environment relationships untuk menjaga keharmonisan antara dunia para dewa dan dunia manusia.
02.
Pengertian pusat bagi orang Bali adalah permulaan, asal usul. Dalam bentuk yang
dibangun, hal ini tidak selalu berarti pusat geometris suatu wilayah (atau wilayah kosmik)
The concept of center tetapi lebih merupakan salah satu dari pusat eksistensial. Pusat ini juga dianggap sebagai
perwujudan simbolis dari pencarian Hindu Bali akan keseimbangan kosmologis suatu
03.
Pengertian penataan ruang dalam tradisi Bali sesuai dengan kesinambungan ruang antara
Attitude to spatial yang sakral dan yang profan. Dengan demikian, ruang Bali, dalam kerangka wilayah kosmik,
disusun berdasarkan atribut ruang yang ditetapkan. Konfigurasi fungsi lahan dan
organization pemukiman merupakan hasil dari pandangan dunia atau mata angin.
04.
Penduduk dan petinggi desa adat berkewajiban untuk berpartisipasi dalam proses
Attitude to Environmental perancangan lingkungan untuk memastikan bahwa aspirasinya dapat
dipertanggungjawabkan. Latihan partisipasi merupakan wahana untuk mewujudkan tujuan
Design bersama bagi seluruh masyarakat Masyarakat Bali mengadakan pertemuan umum untuk
menetapkan tujuan bersama tersebut.
05.
Tradisi Bali merupakan tradisi mitos atau symbol. Sistem symbol mengungkapkan
Attitude to symbols and keyakinan dengan menerjemahkannya ke dalam prinsip-prinsip organisasi; misalnya a)
diagram kosmik seperti dalam organisasi tata ruang, b) jalan hidup seperti dalam
meanings pengorganisasian elemen pusat dan ritual tawur kesanga , c) pusat alam semesta seperti
pada Pembangunan pampatan agung
Studi Kasus di Indonesia: YOGYAKARTA
● Walaupun ada perubahan di sektor ekonomi dan budaya, tata ruang kota sampai awal abad 20 tidak berubah. Perubahan
yang terjadi tidak cukup kuat untuk merubah tata ruang kota yang diciptakan oleh HB I. Pembangunan yang terjadi mengisi
ruang-ruang yang seakan akan disiapkan oleh HB I, yaitu ruang yang berhubungan dengan kepentingan pemerintah
Belanda, di bagian utara kota. Dibagian selatan kota, yang didominasi oleh budaya yang berorientasi kraton, hampir tidak
ada perubahan tata ruang kotanya.
Studi Kasus di Indonesia: YOGYAKARTA
Konsep Catur Konsep Golong Gilig; Sawiji, Greget, Sengguh Ora Mingkuh;
Sagotra Manunggaling Kawulo Gusti; Sangkan Paraning Dumadi
Catur Sagotra atau Catur Gotro Tunggal Golong gilig secara harfiah berarti sesuatu
merupakan konsep kosmologi Jawa, yang utuh, menyiratkan semangat dan niat
yaitu pemikiran tentang teranyamnya 4 yang satu atau menyatukan semua
komponen kehidupan dalam satu golongan. Konsep tersebut diwujudkan
kesatuan ruang. Konsep tersebut dalam bentuk tugu (obelisk) Golong gilig,
merupakan gambaran kondisi yang diletakkan pada garis lurus imajiner dari
harmonis dari alam semesta. Keempat kraton ke puncak Merapi, berjarak 2,5 km
gotro (masa) tersebut dalam posisi dari kraton. Antara kraton dan tugu
arah jarum jam adalah kraton, masjid dihubungkan oleh jalan lurus, yang diberi
gede, pasar dan alun-alun. Keempat nama Margo Utomo, Malioboro, dan Margo
komponen tsb menyatu dalam satu Mulyo. Sumbu utama tersebut membentuk
kawasan, dihubungkan oleh ruang kesatuan symbol lingga – yoni (Purusha dan
jalan, berfungsi sebagai inti kota. Pacitry), sebagai wujud konsep
Keempat komponen ini mewakili fungsi- manunggaling kawulo gusti.
fungsi penting dalam kehidupan kota,
yaitu pemerintahan (kraton), religi, etika Konsep Sangkan Paraning Dumadi, merupakan pesan moral untuk tidak lupa diri, pengingat
dan moral (masjid), ekonomi (pasar) bahwa kehidupan itu berasal dari Allah Kembali ke Allah dan diwujudkan dalam symbol ruang
dan budaya (alun-alun). dan citra kota di sepanjang poros Tugu-Kraton-Panggung Krapyak.
Studi Kasus di Indonesia: YOGYAKARTA
Konsep Pengendalian
Pemerintahan dan
Pertahanan Kota
Perwujudan
Di samping penempatan para
pemegang tanah lungguh dan alokasi Konsep Kota
tanah lungguhnya, HB I juga Militer
menciptakan konsep Masjid Pathok
Pengaruh politik Belanda
Negoro. Konsep tersebut adalah strategi
nampak jelas dalam tata ruang
untuk memperoleh dukungan dari
kota Yogya, dengan
ulama dan santrinya. Dari sudut
ditempatkannya 2 kepentingan
pandang politik kenegaraan, konsep
Belanda, yaitu fasilitas militer
masjid Pathok Negoro adalah sebagai
(Beteng Vredeburg) dan
bagian dari strategi HB I untuk
pemerintahan (Loji Kebon), yang
mengelola kekuatan-kekuatan yang
dibangun tepat di depan
mendukung tegaknya negara
“halaman luar” atau alun-alun
Ngayogyokarto Hadiningrat. Dari sudut
utara.
budaya, struktur tersebut
menggambarkan konsep Mandala
(harmoni pusat pinggiran, konsep keblat
papat limo pancer).
Studi Kasus di Indonesia: YOGYAKARTA
Unsur Penanda/Komponen • Konsep kebudayaan yang mewujud dalam keruangan kota antara lain
konsep Memayu Hayuning Bawono, Manunggaling Kawulo Gusti,
Struktur Ruang • Poros Tugu – Kraton – Panggung Sangkan Paraning Dumadi dan Pathok Negoro. Sikap hidup yang
Krapyak mengakar dan tercermin dalam konsep Sawiji-greget-sengguh-
• Bangunan catur sagotra oramingkuh.
• Loji gede, loji kebon, gereja
• Struktur dan pola ruang yang terbentuk oleh komponen-komponen
• Bangunan catur sagotra ruang yang merupakan simbolisasi konsep-konsep budaya tersebut,
• Masjid Pathok Negoro mengarah pada tipe tertentu dari citra kota, yaitu citra monumental
dan pertahanan.
• Konfigurasi sumbu simetri dan
mandala • Penanda lain yang menguatkan Yogya dibangun atas dasar konsep
sosio kultural dan religi adalah keberadaan Masjid Pathok Negoro.
Pola Ruang • Kawasan kampung prajurit
Masjid tersebut berada di empat penjuru pinggiran Kutho Negoro
• Kawasan jeron beteng
(Mlangi, Ploso Kuning, Babadan dan Dongkelan).
• Kawasan pathok negoro
• Walaupun sifat umum dari struktur ruang konsentris masih
• Kawasan Malioboro Nampak, tetapi aspek lokasitas juga memperlihatkan kekhususan
• Kawasan kampus UGM tata ruang kota Yogya, yakni struktur poros Tugu-Kraton-Panggung
Krapyak dan konfigurasi pola ruang kota militer/pertahanan, yang
mewujud dalam bentuk benteng kraton dan sebaran kampung
prajurit di luar benteng.
Kesimpulan
1. Kota sebagai produk dari perkembangan kebudayaan
manusia, karena hakikat kota adalah tempat bermukim. Kota
adalah lokasi dimana kekuasaan, kekayaan, dan peradaban
manusia berkembang.