Anda di halaman 1dari 25

Filosofi dan Desain Ruang

Perencanaan Pra-Modern
Mata Kuliah: PL 6017 Teori Perencanaan Lanjut
Dosen Pengampu: Ir. Tubagus Furqon Sofhani, MA, Ph.D.
Members:

Annisa Rachman S.
24022006

Bella Rizkylillah S.
24022010
BAHAN BACAAN

1. Samadhi, T. Nirarta (2001). The Urban Design of A Balinese Town: Placemaking Issues in
The Balinese Urban Setting. Habitat International
2. Suryanto1, Ahmad Djunaedi dan Sudaryono (2015). Aspek Budaya dalam Keistimewaan
Tata Ruang Kota Yogyakarta. Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota ITB
3. Damayanti, Rully (2005). Kawasan “Pusat Kota” dalam Perkembangan Sejarah
Perkotaan Jawa. DIMENSI (Journal of Architecture and Built Environment)
4. Putra, Cokorda(2021). Tri Hita Karana dan Prinsip Harmoni dalam Bangunan
Tradisional Bali. Vidya Wertta Volume 4 Nomor 1
Outline Pre s e n t a s i

Kota dan Studi Kasus di


Kebudayaan Indonesia: Bali

Sejarah dan Studi Kasus di


Perkembangan Kota Indonesia: Yogyakarta

Perencanaan Kota di
Kesimpulan
Era Pra-Modern
Kota dan Kebudayaan (1/2)

Tata Kota Sebagai Produk Budaya


● Kota sebagai Produk Budaya. Bangunan, jalan,
tugu, lapangan (square), dan wujud fisik komponen
kota lainnya menjadi "ikon" kota yang menjadi

“The city is the form and symbol of an integrated


penanda dari kebudayaan dan peradaban kota.
● Penelitian-penelitan tentang hubungan
budaya dan tata ruang kota menghasilkan social relationship; it is the seat of the temple,
pengelompokan tata ruang kota seperti the market, the hall of justice, the academy of
pengelompokan perkembangan budaya, yaitu learning. Here in the city the goods of
kota pra Sejarah, tradisional/pra industri, civilization are multiplied and manifold; here is
industri/modern dan post-modern. Setiap periode where human experience is transformed into
kebudayaan meninggalkan jejak-jejak yang viable signs, symbols of conduct, system of
mewujud dalam tata ruang kotanya. order.” (Mumford, L, 1938/1995: 104).
● Kota sebagai Produk dari Perkembangan
Kebudayaan Manusia.
● Perkembangan kota sangat erat kaitannya
dengan perkembangan peradaban dan
kebudayaan manusia. Oleh karena itu, periode
perkembangannya juga sesuai dengan perubahan
budaya penduduk kota.
Kota dan Kebudayaan (2/2)

Kekekalan Tradisi dan Budaya pada Perancangan Kota Pusat Kota Pada Jaman Pra Kolonial
● Konsep 'tradisi' dibahas secara eksplisit oleh Shils ● Kota Jawa pada jaman prakolonial pada
(1981) yang mendefinisikannya sebagai 'yang dasarnya menganut pola kota Mandala,
diwariskan’ sebagai penerusan dari kebiasaan kota-
● Tradisi mencakup benda-benda material, keyakinan kota pada jaman Hindu Jawa, dimana
tentang segala macam benda, gambaran orang terdapat pusat (inti) kota dengan alun-
dan peristiwa, praktik, dan institusi alun dan bangunan penting di sekitarnya.

Budaya sebagai Harapan Bersama Kelompok untuk Hidup dengan Nyaman


● Tradisi menetapkan pola-pola dan generalisasi ● Selama prinsip-prinsip penting kebudayaan tidak
yang memastikan bahwa keyakinan mendasar terancam, lingkungan dan tradisi yang sudah ada
suatu kelompok diungkapkan dan dapat membantu untuk memahami hal-hal baru.
dipertahankan melalui lingkungan yang ● Ketika tidak ada kesinambungan budaya lama dan
budaya baru, maka lingkungan binaan akan
dibangun dengan melestarikan budaya
kehilangan kemampuannya untuk menyatukan
kelompok tersebut.
keakraban budayanya, sehingga menghambat
● Semakin jelas lingkungan binaan upaya masyarakat untuk memahami dunia mereka
mencerminkan budaya mereka, semakin atau menciptakan ruang eksistensial mereka.
sukses pula pola-pola tersebut.
Sejarah dan Perkembangan Kota (1/3)

Awal Keberadaan Kota Kota-kota Klasik Kota-kota Pra-Industri


(600 SM-6M) (6M-17M)

Kota masa pra sejarah Pemikiran mengenai Pada abad 10 dan 11 Masehi, Venesia adalah
secara umum strukturnya kota ideal muncul di era kota dagang utama di Eropa, tetapi pada
konsentris, dengan pusatnya ini. Kota dibangun lebih abad 17 dan 18, Bristol berkembang sebagai
adalah tempat tinggal sistemik, mengikuti pelabuhan dagang utama di Inggris,
penguasa, bangunan- hasil pemikiran para London menjadi kota dunia di belahan barat
bangunan keagamaan dan ahli dan pemikir. Tetapi Atlantik. Sementara itu, Venesia menjadi
lapangan sebagai tempat secara umum, struktur kota budaya dan seni sebagai daya tariknya,
upacara penting. Pusat kota kota tidak berubah, yaitu bukan lagi perdagangan. (Short, 1984).
tersebut dikelilingi oleh konsentris. Pola tersebut Contoh kota yang mengalami proses
perumahan yang dihuni oleh diteruskan oleh perkembangan cepat antara abad 13–18
strata sosial yang berlapis, Kerajaan Romawi, yang adalah Amsterdam, Bruges, Venesia,
sesuai piramida kekuasaan kemudian menjadi Antwerpen dan Genoa (Bounds, 2004). Kota-
atau strata sosial, kemudian acuan pembangunan kota tersebut secara struktural telah
dikelilingi oleh tembok atau kota-kota di abad bergeser dari konsentrik menjadi sektoral,
pagar pertahanan (Sjoberg, pertengahan (Sjoberg, karena segregasi ruang tidak semata-mata
1960; Radford, 1979; Mumford, 1960). karena pelapisan sosial, tetapi juga karena
1991; Bounds, 2004). adanya diversifikasi kerja dan nilai tanah.
Sejarah dan Perkembangan Kota (2/3)

Kota-kota Industri Kota-kota Kontemporer


(18M-19M) (19 M-sekarang)

Pada tahun 1760, Manchester hanya kota Perkembangan kota setelah kota
kecil dengan penduduk 17.000 jiwa, industri secara prinsip
kemudian bertambah menjadi 180.000 menunjukkan gejala yang sama
jiwa pada tahun 1830 dan 20 tahun dengan periode sebelumnya.
kemudian menjadi 303.382 jiwa (Short, Perubahan sosial, budaya, dan
1984). Kecepatan perkembangan yang teknologi berimplikasi langsung
luar biasa tersebut tidak diikuti oleh terhadap perubahan fisik kotanya.
perkembangan layanan Kota semakin memperlihatkan
infrastrukturnya. Akibatnya, kota-kota cirinya sebagai titik aglomerasi
industri di Inggris (dan kota-kota industri ekonomi. Teknologi informasi
lain di Eropa) tumbuh sebagai kota yang dan transportasi telah
jauh dari memenuhi syarat, khususnya menjadikan perkembangan
kesehatan. Urbanisasi yang luar biasa perkotaan yang lebih merata.
juga mendorong disparitas yang semakin Perkembangan kawasan
lebar antara industriawan dan pinggiran kota atau sub urban
pengusaha dengan kalangan pekerja. menjadi fenomena penting,
Struktur kotanya bergeser dari sistemik khususnya di Amerika (Short, 1984;
ke organik. (Short, 1984). Champion, 2001).
Sejarah dan Perkembangan Kota (3/3)
Perkembangan Kota di Indonesia 19 M-sekarang

• Di Indonesia, kaitan antara perkembangan budaya dengan wujud kotanya


periodisasinya mengikuti pola di atas, dengan ritme yang lebih lamban sebagai
akibat dari proses kolonialisasi.
• Sampai abad 19, periode kota dagang dan industri sama sekali tidak terjadi di
Indonesia. Manfaat dari perkembangan perdagangan dan industri sepenuhnya
dinikmati negara penjajah.
• Kota kota di Indonesia perkembanganya tidak lepas dari pengaruh budaya
penjajah.
• Oleh karena itu, kota kota yang menjadi bagian dari sistem kolonisasi akan
mempunyai 3 wajah, wajah yang dipengaruhi budaya Eropa, wajah budaya
pribumi dan wajah campuran (Nas, 2007).
• Sebelum proses kolonisasi di abad 16, pola kota di Indonesia dikelompokkan dalam 2
variabel pokok, yaitu geografis dan pemerintahan.
• Geografis ditandai oleh pantai dan pedalaman, pemerintahan ditandai oleh kraton
(kerajaan) dan tidak ada kraton (perdagangan).
Perencanaan Kota di Era Pra-Modern

Faktor Agama dan Struktur Kota Berlapis


Perencanaan kota di era Kepercayaan
Banyak kota pra-modern memiliki struktur
pra-modern berbeda Agama dan kepercayaan spiritual berlapis atau berlapisan. Ada mungkin
bagian kota lama (pemukiman asli) yang
memainkan peran penting dalam
secara signifikan dengan perencanaan kota. Banyak kota didirikan dielaborasi dengan penambahan tembok
atau benteng yang mengelilingi wilayah
perencanaan kota modern di sekitar tempat-tempat suci atau
penting secara religius. baru yang berkembang.
yang kita kenal saat ini. Era
pra-modern mencakup
Pusat Politik dan Ekonomi Sistem Pertahanan
periode sebelum abad
ke-19, yang mencakup Biasanya terdapat pusat politik atau
ekonomi yang jelas, seperti istana
Kota pra-modern seringkali dilengkapi
dengan benteng atau dinding pertahanan
berbagai budaya dan kerajaan atau pasar utama, yang sering untuk melindungi penduduk dari serangan
kali menjadi fokus utama kegiatan kota. musuh.
peradaban di seluruh dunia.
Berikut yang menjadi ciri
dari perencanaan kota Zonasi Pemukiman dan
Gaya Arsitektur
Perdagangan
di era pra-modern: Banyak kota pra-modern menonjolkan
Pemukiman diatur berdasarkan status sosial estetika dan arsitektur khas dari zaman
atau etnis, dengan kawasan tertentu yang tersebut. Contohnya adalah kota-kota
diperuntukkan bagi kelompok tertentu. Selain Romawi kuno yang memiliki jalan-jalan
itu, terdapat Kawasan perdagangan khusus
yang rapi dan monumen-monumen besar.
di mana barang-barang diperjualbelikan.
Studi Kasus di Indonesia: BALI

• Masyarakat Bali memahami bahwa realitas


membayangi permainan sekala (nyata) dan
niskala kekuatan (tidak berwujud) yang • Kekuatan-kekuatan tersebut dijaga dalam
keduanya bersifat generative atau/dan degenerative. keseimbangan yang harmonis dalam
• Masyarakat Bali menyadari bahwa penciptaan arsitektur dan lingkungan Bali dengan
tidak 'lebih baik' dibandingkan dengan
kemunduran, sehingga mereka tidak mencoba
memberikan atribut pada ruang Bali,
untuk menaklukkan kemunduran, namun mereka menciptakan matriks yang secara simultan
cenderung mencari keseimbangan yang tepat dari bersifat hierarkis dalam agama
kekuatan-kekuatan ini.
(sakral/profan) dan dalam masyarakat
• Dewa-dewa Hindu telah diadaptasi dalam
pemikiran Masyarakat Bali untuk memberikan (mencerminkan kasta dan kekerabatan),
kehidupan dan kepribadian pada kekuatan-kekuatan serta dalam tatanan fisik.
ini
• Setiap benda dianggap menyapa para dewa • Untuk berpindah dari satu tempat ke tempat
dengan cara yang unik.
lain dalam 'antipoda kosmis’ alam membawa
• Kehidupan perlu diperluas ke dunia yang
dibangun, mulai dari pemukiman, kompleks rumah, makna yang berbeda pada setiap tingkatan
hingga paviliun, sehingga mereka juga dapat tempat tersebut.
membantu menyeimbangkan kekuatan-kekuatan ini.
Studi Kasus di Indonesia: BALI

• Gunung Agung, gunung tertinggi yang terletak di tengah


pulau dan menjadi 'pusat dunia' (Swellengrebel, 1960; Eiseman,
1990) dianggap sebagai tempat tinggal para dewa,
leluhur yang didewakan, dan air suci.
• Ada sembilan arah angin (Kaja, Kelod, Kangin, Kauh,
dan arah antar mata anginnya) yang saling bertemu dan
disambut oleh manusia.

• Kaja adalah area untuk maju ke arah yang lebih


sacral atau bernilai sosial.
• Kelod dianggap sebagai penyimpangan ke arah yang
lebih profan; bergerak ke bawah menuju laut.
• Kangin di arah timur, sebagai arah terbitnya
matahari, melambangkan lahirnya kehidupan,
dianggap lebih suci dari barat/ Kauh .

• Namun, arahan yang lebih sakral tidaklah 'lebih baik'


dibandingkan arahan yang lebih profan. Dengan kata lain, itu
adalah untuk menemukan posisi relatif yang sesuai untuk
sesuatu atau tindakan yang dianggap jauh lebih penting.
• Oleh karena itu, konsep pusat penting bagi masyarakat
Bali seperti halnya bagi sebagian besar suku di Asia Tenggara,
tidak hanya dalam bidang agama dan kosmologis tetapi
juga dalam bidang politik (Tambiah, 1985).
Studi Kasus di Indonesia: BALI

• Fungsi-fungsi penting permukiman Bali seperti puri, pura, griya,


wantilan (balai pertemuan), dan pasar diatur di daerah sekitar
perempatan sebagai cara untuk mengumpulkan ‘kekuatan’ –
agama, sosial-ekonomi, dan politik di alam – ke dalam
suatu tempat.
• Dengan demikian, perempatan khusus ini menjadi landmark
dan penanda identitas untuk kota-kota dan permukiman di
Bali.
• Konsep penting lainnya adalah konsep psiko-kosmik tentang
hubungan antara bhuwana agung (makrokosmos)
dengan bhuwana alut (mikrokosmos).
• Tempat mana pun di Bali bisa ditentukan oleh posisi relatifnya
terhadap tempat lain, sehingga dapat dipahami sebagai
sebuah elemen dalam kosmos yang lebih besar .
• Tujuan akhir umat Hindu Bali adalah pembebasan spiritual di
mana manusia sebagai mikrokosmos harus
menyelaraskan diri dengan alam semesta sebagai
makrokosmos .
• Demikian pula setiap area di Bali diciptakan secara teratur
sebagai wujud dari keselarasan manusia dengan alam.
Studi Kasus di Indonesia: BALI

• Konsep keseimbangan harmonis dalam falsafah masyarakat Bali diyakini sebagai landasan dalam
mencapai kesejahteraan yang dalam penerapannya telah berkembang dan terkristalisasi dalam ajaran
agama. Tri Hita Karana atau secara harfiah 'tiga penyebab kebaikan' (Kaler, 1983; Surpha, 1991; Pitana,
1994). Dalam arsitektur dan perancangan permukiman, ajaran ini pada hakikatnya dimaksudkan untuk
menjalin hubungan yang harmonis antara manusia dengan Tuhannya.

• Tri Hita Karana itu sendiri memiliki makna yang berarti “tiga”, hita memiliki makna “bahagia”, serta
karana memiliki makna “sebab”. Falsafah tersebut memiliki makna bahwa kondisi keseimbangan
hidup yang terdapat dalam kehidupan berasal dari hubungan harmonis sesama manusia
dan dengan sang pencipta.

• Pengertian serupa juga tertuang di dalam Peraturan Daerah Provinsi Bali No.16 Tahun 2019 tentang Rencana
Tata Ruang Wilayah Provinsi Bali Tahun 2009 - 2029 (“RTRWP”) yang telah diamandemen dengan
Peraturan No. 3 Tahun 2020 (secara bersama-sama disebut dengan “Perda”), yang lebih lengkapnya
dikatakan sebagai berikut: “falsafah hidup masyarakat Bali yang memuat tiga unsur yang
membangun keseimbangan dan keharmonisan hubungan antara manusia dengan Tuhan,
manusia dengan manusia, dan manusia dengan lingkungannya yang menjadi sumber
kesejahteraan, kedamaian, dan kebahagian bagi kehidupan manusia”.
Studi Kasus di Indonesia: BALI

Pengaplikasian Tri Hita Karana dalam kaitannya dengan perencanaan perumahan dapat dikaitkan dengan tiga aspek:

Aspek Hubungan Penjelasan


Manusia dengan Jika terdapat lahan yang tersedia, perlu dibangun fasilitas persembahyangan pada setiap
Tuhan rumah
Manusia dengan Sebagai makhluk sosial, manusia menata hubungan dengan bermasyarakat.
manusia
Manusia dengan Lingkungan hidup dan pembangunan dapat diartikan sebagai segala benda, kondisi dan
lingkungan pengaruh yang terdapat dalam ruang yang kita tempati dan mempengaruhi hal yang
hidup, termasuk kehidupan manusia.

Lebih lanjut, Tri Hita Karana memberikan turunan tata letak konsep ruang Tri (tiga) Angga (badan). Angga, dalam hal
ini menekankan pada nilai fisik, yaitu: utama angga, madya angga dan nista angga. Selain itu, seperti yang telah
dijabarkan secara singkat di atas, penerapan Tri Hita Karana juga telah diakomodir dalam berbagai peraturan
daerah provinsi Bali, termasuk Perda, di mana konsep tersebut menjadi salah satu asas yang mendasari RTRWP
Bali. Selain peraturan provinsi, Bali juga memiliki hukum adat yang dilandasi oleh Tri Hita Karana, yaitu awig-awig.
Studi Kasus di Indonesia: BALI

• Rumah tradisional bali mengaplikasikan Tri Hita


Karana yang berarti memasukkan aspek-aspek
sebagai berikut: 1) hubungan manusia dengan
Tuhan (penyediaan ruangan untuk
sembahyang); 2) hubungan manusia dengan
manusia (menyediakan ruangan untuk
menyambut tamu, khususnya dalam rangka
mengadakan upacara-upacara besar); dan 3)
hubungan manusia dengan lingkungan
(diantaranya adalah tersedianya sirkulasi
udara yang baik).
• Dalam membangun rumah tradisional Bali, konsep
Tri Hita Karana memiliki turunan konsep yaitu Tri
Angga yang dimana mengutamakan tiga
aspek fisik yaitu: utama (tempat suci untuk
memuliakan arwah suci para leluhur yang
sudah meninggal), madya (rumah itu sendiri,
beserta halaman), dan nista (area memasak,
menerima tamu, dan meletakkan kandang).
Aspek-aspek fisik tersebut pada dasarnya adalah
pembagian ruang dalam satu pekarangan rumah.
Studi Kasus di Indonesia: BALI

• Gianyar merupakan salah satu Kabupaten


di Provinsi Bali yang terletak di sekitar 25
km sebelah timur Denpasar. Kabupaten
ini berada di ketinggian 126 m di atas
permukaan laut dan luas 4.655 Ha.
• Gianyar merupakan pusat pemerintahan
daerah yang menguasai tujuh persen total
luas pulau Bali, atau hampir 36.500 Ha
daratan.
• Tiga sungai mengelilingi Kabupaten ini; sungai
cangkir, Sungai sungsang di bagian barat, dan
sungai blahbatuh di nbagian timur.
• Sebagian besar pembangunan fisik
terjadi di wilayah bagian selatan dan
barat laut Kabupaten Gianyar.
• Mayoritas penduduk Gianyar beragama Hindu
(99,15%) dan keturunan Bali (99,9%), sehingga
masuk akal untuk menyimpulkan bahwa kota
Gianyar memiliki budaya yang homogen.
Studi Kasus di Indonesia: BALI

Esensi Budaya Terlihat Jelas di Gianyar


Esensi budaya akan berperan penting dalam pengembangan tujuan desain perkotaan di masa depan, yang
sebagaimana disebutkan dalam penelitian (Nirartasamadhi, 2001). Esensi arus utama tersebut adalah:

01.
Pengertian hubungan manusia dan lingkungan di Bali adalah menjaga keseimbangan yang
Attitude to human being - harmonis antara mikrokosmos (manusia) dan makrokosmos (lingkungan). Paralelisme
antara mikrokosmos dan makrokosmos ini mengharuskan adanya praktik upacara ritual
environment relationships untuk menjaga keharmonisan antara dunia para dewa dan dunia manusia.

02.
Pengertian pusat bagi orang Bali adalah permulaan, asal usul. Dalam bentuk yang
dibangun, hal ini tidak selalu berarti pusat geometris suatu wilayah (atau wilayah kosmik)
The concept of center tetapi lebih merupakan salah satu dari pusat eksistensial. Pusat ini juga dianggap sebagai
perwujudan simbolis dari pencarian Hindu Bali akan keseimbangan kosmologis suatu

03.
Pengertian penataan ruang dalam tradisi Bali sesuai dengan kesinambungan ruang antara
Attitude to spatial yang sakral dan yang profan. Dengan demikian, ruang Bali, dalam kerangka wilayah kosmik,
disusun berdasarkan atribut ruang yang ditetapkan. Konfigurasi fungsi lahan dan
organization pemukiman merupakan hasil dari pandangan dunia atau mata angin.

04.
Penduduk dan petinggi desa adat berkewajiban untuk berpartisipasi dalam proses
Attitude to Environmental perancangan lingkungan untuk memastikan bahwa aspirasinya dapat
dipertanggungjawabkan. Latihan partisipasi merupakan wahana untuk mewujudkan tujuan
Design bersama bagi seluruh masyarakat Masyarakat Bali mengadakan pertemuan umum untuk
menetapkan tujuan bersama tersebut.

05.
Tradisi Bali merupakan tradisi mitos atau symbol. Sistem symbol mengungkapkan
Attitude to symbols and keyakinan dengan menerjemahkannya ke dalam prinsip-prinsip organisasi; misalnya a)
diagram kosmik seperti dalam organisasi tata ruang, b) jalan hidup seperti dalam
meanings pengorganisasian elemen pusat dan ritual tawur kesanga , c) pusat alam semesta seperti
pada Pembangunan pampatan agung
Studi Kasus di Indonesia: YOGYAKARTA

● Kota Yogyakarta dibangun oleh HB I


pada tahun 1755.
STRUKTUR SOSIAL MASYARAKAT JAWA DI ERA KOLONIAL ● Sebagai kota ibukota Negara, Yogya
Sultan sebagai pusat disebut Kutho Negoro. Kuatnya
kekuasaan
Sentono Dalem (para Pangeran,
kekuasaan kraton menunjukkan
bangsawan kerabat sultan). Kelompok kuatnya budaya feudal di Masyarakat
1 yang menerima langsung limpahan
Yogyakarta masa itu.
kekuasaan Sultan dan merupakan filter
interaksi Sultan dengan Masyarakat.
● Sampai awal abad 20 atau sampai
pemerintahan HB VIII (era colonial),
4 3 2 1 Abdi dalem Priyayi, para pejabat
2 tinggi keraton, yang tinggal di Masyarakat Yogyakarta masih
Kutho negoro (Bupati, Panji, berbudaya tradisional feudal
Ngabel). (Sumardjan, 1962). Konsep feudal yang
Abdi dalem, Masyarakat yang membentuk piramida kekuasaan dan
mengabdi sultan, ttp dibawah
3 berorientasi memusat (konsentris)
4 bangsawan, mengelola tanah
Kawula dalem, wong cilik, lungguh para bangsawan (bekel, tersebut diwujudkan dalam tata ruang
kelompok petani dan pedagang, lurah, dll). wilayah oleh HB I.
tidak punya jabatan.
Sumber: Sumardjan, S. 1962
● Kraton sebagai pusat kekuasaan.
Lapisan kedua adalah kutho negara.
Lapisan ketiga adalah negoro agung.
Studi Kasus di Indonesia: YOGYAKARTA

● Di era colonial juga muncul kelas-kelas lain


yang sejajar. Kelas tersebut dibentuk oleh
keberadaan orang-orang asing di
Yogyakarta. Pejabat tinggi Belanda dan
pemilik usaha perkebunan berkedudukan
setara dengan para bangsawan.

● Di bawah para pejabat yang berkebangsaan


Belanda, terdapat kelas menengah yang
sejajar dengan para priyayi, yaitu penduduk
pribumi yang bekerja di kantor atau
perusahaan Belanda. Situasi berhadapannya
dua kelompok sosial tersebut oleh PJM Nas
disebut sebagai dualisme kehidupan kota-
kota kolonial di wilayah Hindia Belanda (Nas
dan Boender, 2002; Marcussen, L, 1990).

● Walaupun ada perubahan di sektor ekonomi dan budaya, tata ruang kota sampai awal abad 20 tidak berubah. Perubahan
yang terjadi tidak cukup kuat untuk merubah tata ruang kota yang diciptakan oleh HB I. Pembangunan yang terjadi mengisi
ruang-ruang yang seakan akan disiapkan oleh HB I, yaitu ruang yang berhubungan dengan kepentingan pemerintah
Belanda, di bagian utara kota. Dibagian selatan kota, yang didominasi oleh budaya yang berorientasi kraton, hampir tidak
ada perubahan tata ruang kotanya.
Studi Kasus di Indonesia: YOGYAKARTA

Konsep Budaya Pembentuk Ruang Kota


HB I membangun Yogyakarta berdasar konsep-konsep social, kenegaraan dan fungsional. Konsep-konsep yang diwujudkan
dalam struktur, pola ruang dan citra kota.

Konsep Catur Konsep Golong Gilig; Sawiji, Greget, Sengguh Ora Mingkuh;
Sagotra Manunggaling Kawulo Gusti; Sangkan Paraning Dumadi
Catur Sagotra atau Catur Gotro Tunggal Golong gilig secara harfiah berarti sesuatu
merupakan konsep kosmologi Jawa, yang utuh, menyiratkan semangat dan niat
yaitu pemikiran tentang teranyamnya 4 yang satu atau menyatukan semua
komponen kehidupan dalam satu golongan. Konsep tersebut diwujudkan
kesatuan ruang. Konsep tersebut dalam bentuk tugu (obelisk) Golong gilig,
merupakan gambaran kondisi yang diletakkan pada garis lurus imajiner dari
harmonis dari alam semesta. Keempat kraton ke puncak Merapi, berjarak 2,5 km
gotro (masa) tersebut dalam posisi dari kraton. Antara kraton dan tugu
arah jarum jam adalah kraton, masjid dihubungkan oleh jalan lurus, yang diberi
gede, pasar dan alun-alun. Keempat nama Margo Utomo, Malioboro, dan Margo
komponen tsb menyatu dalam satu Mulyo. Sumbu utama tersebut membentuk
kawasan, dihubungkan oleh ruang kesatuan symbol lingga – yoni (Purusha dan
jalan, berfungsi sebagai inti kota. Pacitry), sebagai wujud konsep
Keempat komponen ini mewakili fungsi- manunggaling kawulo gusti.
fungsi penting dalam kehidupan kota,
yaitu pemerintahan (kraton), religi, etika Konsep Sangkan Paraning Dumadi, merupakan pesan moral untuk tidak lupa diri, pengingat
dan moral (masjid), ekonomi (pasar) bahwa kehidupan itu berasal dari Allah Kembali ke Allah dan diwujudkan dalam symbol ruang
dan budaya (alun-alun). dan citra kota di sepanjang poros Tugu-Kraton-Panggung Krapyak.
Studi Kasus di Indonesia: YOGYAKARTA

Konsep Konsep Budaya Pembentuk Ruang Kota


HB I membangun Yogyakarta berdasar konsep-konsep social, kenegaraan dan fungsional. Konsep-konsep yang diwujudkan dalam struktur,
pola ruang dan citra kota.

Konsep Pengendalian
Pemerintahan dan
Pertahanan Kota
Perwujudan
Di samping penempatan para
pemegang tanah lungguh dan alokasi Konsep Kota
tanah lungguhnya, HB I juga Militer
menciptakan konsep Masjid Pathok
Pengaruh politik Belanda
Negoro. Konsep tersebut adalah strategi
nampak jelas dalam tata ruang
untuk memperoleh dukungan dari
kota Yogya, dengan
ulama dan santrinya. Dari sudut
ditempatkannya 2 kepentingan
pandang politik kenegaraan, konsep
Belanda, yaitu fasilitas militer
masjid Pathok Negoro adalah sebagai
(Beteng Vredeburg) dan
bagian dari strategi HB I untuk
pemerintahan (Loji Kebon), yang
mengelola kekuatan-kekuatan yang
dibangun tepat di depan
mendukung tegaknya negara
“halaman luar” atau alun-alun
Ngayogyokarto Hadiningrat. Dari sudut
utara.
budaya, struktur tersebut
menggambarkan konsep Mandala
(harmoni pusat pinggiran, konsep keblat
papat limo pancer).
Studi Kasus di Indonesia: YOGYAKARTA

Budaya Sebagai Penanda Keistimewaan Tata Ruang Kota Yogyakarta


Penentuan obyek keistimewaan adalah ketentuan struktur ruang dan pola ruang kota dari segi aspek budaya.

Unsur Penanda/Komponen • Konsep kebudayaan yang mewujud dalam keruangan kota antara lain
konsep Memayu Hayuning Bawono, Manunggaling Kawulo Gusti,
Struktur Ruang • Poros Tugu – Kraton – Panggung Sangkan Paraning Dumadi dan Pathok Negoro. Sikap hidup yang
Krapyak mengakar dan tercermin dalam konsep Sawiji-greget-sengguh-
• Bangunan catur sagotra oramingkuh.
• Loji gede, loji kebon, gereja
• Struktur dan pola ruang yang terbentuk oleh komponen-komponen
• Bangunan catur sagotra ruang yang merupakan simbolisasi konsep-konsep budaya tersebut,
• Masjid Pathok Negoro mengarah pada tipe tertentu dari citra kota, yaitu citra monumental
dan pertahanan.
• Konfigurasi sumbu simetri dan
mandala • Penanda lain yang menguatkan Yogya dibangun atas dasar konsep
sosio kultural dan religi adalah keberadaan Masjid Pathok Negoro.
Pola Ruang • Kawasan kampung prajurit
Masjid tersebut berada di empat penjuru pinggiran Kutho Negoro
• Kawasan jeron beteng
(Mlangi, Ploso Kuning, Babadan dan Dongkelan).
• Kawasan pathok negoro
• Walaupun sifat umum dari struktur ruang konsentris masih
• Kawasan Malioboro Nampak, tetapi aspek lokasitas juga memperlihatkan kekhususan
• Kawasan kampus UGM tata ruang kota Yogya, yakni struktur poros Tugu-Kraton-Panggung
Krapyak dan konfigurasi pola ruang kota militer/pertahanan, yang
mewujud dalam bentuk benteng kraton dan sebaran kampung
prajurit di luar benteng.
Kesimpulan
1. Kota sebagai produk dari perkembangan kebudayaan
manusia, karena hakikat kota adalah tempat bermukim. Kota
adalah lokasi dimana kekuasaan, kekayaan, dan peradaban
manusia berkembang.

2. Perkembangan kota sangat erat kaitannya dengan


perkembangan peradaban dan kebudayaan manusia. Oleh
karena itu, periode perkembangannya juga sesuai dengan
perubahan budaya penduduk kota. Mulai dari awal
keberadaan kota dengan struktur konsentris, berubah
menjadi lebih sistematik pada masa kota-kota klasik,
bergeser dari konsentrik menjadi sectoral akibat segregasi
ruang pada masa kota-kota dagang, bergeser dari
sistematik ke organic pada masa kota-kota industri, dan
berpusat pada aglomerasi ekonomi pada kota-kota
kontemporer.

3. Warisan budaya yang berwujud sebagai komponen ruang


kota penanda keistimewaan adalah yang berhubungan
dengan konsep-konsep budaya yang “ditempelkan” pada
ruang kota.
Terima kasih!

Anda mungkin juga menyukai