Anda di halaman 1dari 9

BAGIAN 6

PASANG SURUT PERKEMBANGAN KOTA INDONESIA

1. PERAN PERANCANGAN KOTA SEBAGAI KEBIJAKAN PUBLIK DALAM


PERKEMBANGAN BENTUK KOTA DI INDONESIA

Berdasarkan analisa sejarah, Nas (1986) membagi perkembangan kota Indonesia dalam empat masa,
yaitu kota Indonesia awal, kota Indsche, kota kolonial, dan kota meder. Pada tahap pertama,
struktur kota awal Indonesia diturunkan dari peraturan kosmologi dan sosio-budaya. Seperti kota di
Asia Tenggara lainnya, dari pertemuan ini dapat diketahui dua jenis kota ; kota keramat atau kota
pedalaman, dan kota pasar atau kota pantai (McGee; Forbess, 1996). Kota pedalaman bertumpu pada
nilai-nilai keibadatan, dan tradisi hidup, sedangkan kota pantai berdasarkan kegiatan perdagangan.
Masa kedua dari perkembangan bentuk kota Indonesia mulai dengan kedatangan bangsa Eropa,
terutama bangsa Belanda , pada abad ke-16 Masehi. Masa ketiga perkembangan kota Indonesia mulai
pada awal pergerakan liberalisasi atau kebijakan pintu terbuka pada tahun 1870an, Kebjakan Pintu
terbuka merubah pola-pola kota di koloni. Selama masa ini, kebijakan menarik wiraswasta Belanda
untuk mencari peluang ekonomi di Hindia Belanda. Peningkatan kekuatan politik, sosial, ekonomi,
dan budaya bangsa Belanda pada beberapa kota Indies melahirkan dominasi nilai-nilai Barat kedalam
kehidupan sosial dan budaya masyarakat Indonesia. Pada ini panduan antara ideologi Barat dan
lingkungan Timur terwujud dalam bangunan arsitektur Indies dan Bentuk Kota kolonial.

Berdasarkan perkembangan politik, budaya, sejarah Indonesia Sumalyo membagi perkembangan kota
kedalam empat bagian. Masa pertama mulai pada abad ke 5 sampai abad ke 9, masa kedua dari abad
ke 9 sampai abad ke 15, asa ketiga berlanjut ke abad ke 15 sampai abad ke 17, dan massa keempat
mulai abad ke 19 atau fase baru dari pembangunan.

Dengan demikian sejarah pembangunan kota di Indonesia dimana perancangan kota sebagai kebijakan
publik yang diputuskan oleh penguasa dan dilakasanakan oleh masyarakat memegang peranan penting
dapat dibagi menjadi 6 masa, yaitu:

1. Masa prakolonial
2. Masa kolonial
3. Masa awal kemerdekaan
4. masa demokrasi terpimpin
5. masa orde pembangunan, dan
6. masa reformasi

A. Masa Kolonial
- KONSEP KOSMOLOGI DAN MORFOLOGI

Konsep kosmologi dualistik religius dan kosmologi dualistik hirarkis mempengaruhi transformasi dan
perkembanagan bentuk kota-kota awal Indonesia telah dipahami oleh kebanyakan penendidik dan ahli
kajian perkotaan dari aspek politik, sosial, ekonomi, dan budaya. Sebenarnya, sejak awal konsep
dualisme telah dijalankan oleh masyarakat pribumi dalam usaha merancang pemukimannya.
Berdasarkan aspek agama, kepercayaan, tradisi dan sosio-budaya yang dimiliki oleh masyarakat
terbentuklah morfologi kota.

Gagasan yang sakral dan profan , utara dan selatan, gunung dan laut, pusat dan pinggir, tinggi dan
rendah, adalah faktor Fktor penentu tertentu didalam mendirikan bangunan dan membangun
pemukiman masyarakat awal di Indonesia.

Sangat sulit untuk menjelaskan bentuk atau morfologi kota-kota pada awal Budha dan Hindu di
Indonesia. Kebanyakan bangunan-bangunan penting yang mendeliniasi kota-kota pada masa tersebut
umumnya dibuat dari bahan bangunan yang sifatnya sementara seperti kayu, batu-bata dan batu (Nas,
1985). Kesulitan lainnya didalam menelusuri kota asli adalah disebabkan oleh kebiasan penduduk
etnis tertentu yang rumahnya dapat dipindah-pindahkan ketempat baru. Perilaku ini dilakukan ketika
tanah pertanian atau pekebunan sudah tidak menghasilkan bagi kehidupan mereka atau apabila tanah
mereka dijual. Tanah bagi masyarakat tertentu tidak mempunyai nilai keytika mereka mengkaji bahwa
keadaan tanah sudah tidak produktif untuk kehidupan mereka lagi (Reid, 1983).

Salah satu contoh kota paa awal masa prakolonial yang sebagian struktur bangunannya dari konstruksi
batu bata dan kayu adalaj kota Trowulan. Kontruksi rumah berupa rumah panggung atau terletak pada
tupukan batu bata. Konstruksi semacam ini dibuat untuk mencegah kelembapan tanah diteruskan ke
lantai. Kota Trowulan adalah ibu Kota kerajaan Majapahit yang memerintah dari Tahun 1350-1389
SM di Jawa Timur (Munadar, 2008).

Secara mendasar terdapat dua jenis bentuk kota yang dapat dibedakan pada masa prakolonial apabila
dikaji dari sudut pandangan ekonomi, sosio-budaya dan juga oleh letak geografisnya (McGee, 1976;
Reed, 1976; Yeung dan Lo, 1976; Brunn dan Williams, 1993; Forbes, 1996; Santoso, 2008), yaitu
kota keramat atau kota administratif pedalaman seperti Yogyakarta dan Surakarta, dan kota pasar atau
kota administratif pedalaman seperti Banten, Makassar, Cirebon, Ternate, Banda Aceh, dan kota-kota
sepanjang pantai utara pulau jawa. Berdasarkan kepercayaan, keagamaan dan kosmologi yang dianut
oleh masyarakatnya, kota pedalaman awal mempunyai pola lingkaran yang bermula dari pusat ke arah
tepi. Konsep ini berkaitan dengan pengurangan kesucian dan penurununan status konsep kosmologi
Hindu-Jawa. Konsep kosmologi yang diwarisi dari tradisi lokal serta nilai-nilai kepercayaan agama
hindu dan budha dimanisfestasikan dalam bentuk kota oleh keberadaan keraton atau istana yang
dikelilingi oleh dinding. Keraton dan bangunan penting kerajaan di dalamnya adalah pusat dan awal
dari pembagian tata ruang kota. Orientasi utara dan selatan, gunung dan laut adalah faktor kosmologi
dualistik yang menentukan dan masih digunakan untuk perancangan bangunan pada masa Islam,
ketika Islam pada masa Jayanya.

Karena struktur ekonominya tidak progresif, dengan demikian, kota-kota keramat atau pedalaman
dapat dikategorikan sebagai kota yang bersifat ortogenik atau parasitik. Kota-kota keramat sebagian
besar bersifat parasitik karena hidupnya hanya bertumpu pada hasil produksi wilayah hiterland atau
wilayah belakangnya seperti hasil pertanian dan perkebunan dari sebagian besar penduduknya
(Redfield and singer, 1984).

Berbeda dengan kota pedalaman yang berpola ruang konsentrik, kota pantai biasanya mengadopsi
pola perkembanagan kota bentuk linier atau bentuk pita sepanjang pantai atau tepian sunagi. Pola
bentuk pekembangan klasik ini timbul semenjak transportasi menjadi modal utama dalam sistem
ekonomi dalam mendistribusikan barang dan mengumpulkan produk-produk pertanian dari wilayah
di belakangnya.
Beberapa unsur utama kota terdapat di pusat kota antara lain, pelabuhan, pasar dan kantor dagang
bangsa asing. Sarana komersial dan perumahan tersebut yang berada di sepanjang jalan utama adalah
unsur tipikal perkotaan suatu kota pantai.

Kota pantai juga merupakan kota pengumpul hasil bumi wilayah di belakangnya. Peranan pedagang
asing sangat besar di dalam memasarkan hasil bumi yang dihasilkan masyarakat pedesaan. Selain
sebagai kota transit, kota pantai juga merupakan kota transit bagi ilmu pengetahuan yang sedang
berkembang di dunia pada masanya.

B. MASA KOLONIAL

- PERPADUAN BARAT DAN TIMUR

Kota di indonesia sangat dipengaruhi oleh masa kolonial bangsa Belanda yang pertama kali
menginjakan kakinya pada abad XVI yang dipimpin oleh Admiral Spellman. Kebijakan Belanda
dalam membangun kota adalah bertumpu untuk menciptakan kekuasaan dalam kegatan ekonomi,
politik dan administrasi. Salah satu contoh kota yang pembentukannya dipaksakan oleh para
penjajah adalah Kota Batavia (kemudian menjadi Jakarta). Hukum indies (law of the Indies),yang
merupakan kebijakan perancangan dan ideologi perencanaan kota di belahan bumi barat,
dijalankan sedemikian rupa sebagai usaha mengekpresikan gagasan para penjajah bangsa eropa,
khususnya eropa kontinental.

Faktor-faktor penentu kebijakan perencanaan kota yang tipologik, berdaarkan peraturan ini
diwujudkan di dalam pembangunan jalan berpola gridiron atau papan catur (Morris, 1994).
Perencanaan pola jalan papan catur dipengaruhi oleh 8 faktor, yaitu :

1. Topografi
2. Pengawasan kegiatan politik
3. Pengawasan kegiatan keamanan
4. Pemisahan kegiatan perdagangan
5. Pemisahan kehidupan sosial
6. Pemisahan kehidupan budaya
7. Pemisahan ras, dan
8. Agama

Arsitektur dan perancangan kota indies atau indische dilakukan pada perancangan bangunan di
tanah-tanah koloni. Arsitektur indies adalah campuran dari langgam eropa, arsitektur jawa,
arsitektur oriental, dan warna lokal lainnya. Bentuk bangunan campuran di ekspresikan oleh halaman
yang luas, langit-langit tinggi, pintu dan jendela yang lebar, kisi-kisi udara, beranda yang lebar, dan
halaman yang luas baik di kawasan perkotaan maupun perdesaan. Bentuk paling seginifikan yang
menunjukan bangunan indies adalah bentuk atap lokalatap pelana yang dikembangkanyang tidak
didapatkn pada negeri induknya (Priyotomo, 1984; sumalyo, 1991).
Langgam arsitektur indische tidak hanya berpengaruh terhadap bangunan-bangunan pemerintah,
tetapi juga memberi pengaruh terhadap bangunan milik swasta dan rumah tinggal perorangan. Garis
langit kota-kota kolonial di hindia belanda pada awal penjajahan didominasi oleh tiga bangunan yaitu
benteng, gedung pemerintah dan gereja.

Demikian pula masyarakat pedalaman menjadikan atap-atap bangunan tersebut tanda arah apabila
akan menuju ke pusat kota. Bangunan perdagangan terutama di kota-kota pantai menjadi unsur kota
yang penting karena keberadaannnya mendominasi kawasan tepian pantai. Masing-masing bangunan,
dengan menara tyang tinggi, ingin menonjolkan dirinya bahwa mereka adalah yang paling berkuasa di
kegiatan dunia merkantil pada masa tersebut.

Benteng adalah tempat pertama di mana pada cincin pertama dimana kegiatan administratif koloni
berlangsung. Fasilitas lain yang mendukung kekuatan kekuasaan Belanda yang termasuk didalam
benteng adalah barak tentara, rumah bagi pegawai yang telah menikah, gereja, sekolah, dan gudang.
Berdekatan dengan pelabuhan, pada cincin spasial kedua, adalah tempat tinggal bangsa keturunan
Eropa, yang terdiri dari rumah bata dengan pekarangan luas . Cincin spasial ketiga adalah kawasan
perdagangan. Di kawasan ini ekonomi kapitalisme modern yang kokoh dilakukan untuk mengeduk
sumber kekayaan tanah koloni. Cincin kawasan perdagangan terdiri dari kantor-kantor dagang dan
toko-toko. Kawasan ini berdekatan dengan kawasan pelabuhan dan kawasan administratif. Ketiga
kegiatan yang saling menunjang terletak disepanjang tepian pantai. Pada kawasan perdagangan selain
berdiri gedung perusahaan dagang juga terdapat took-toko kelontong dan jasa milik masyarakat asing
Eropa maupun Asia. Sebagian besar dari toko-toko yang juga merangkap sebagai tempat tinggal
sebagian besar dikuasai oleh keturunan Cina, India, atau Arab. Kegiatan perdagangan eceran yang
didominasi toko-toko keturunan asing menjadikan kawasan perdagangan disebut kampung Cina atau
Pecinan, kampung Arab dan kampung India. Selain bangunan pertokoan di kawasan perdagangan
juga berlokasi pasar tradisional. Berbagai hasil laut dan hasil bumi dari hinterland kota dipasarkan di
pasar.

Kebijakan membagi tata ruang kota berdasarkan etnis atau rasial menghasilkan suasana pemukiman
dan bentuk bangunan unik dan berkarakteristik, terutama di pemukiman etnis CinaArsitektur rumah
toko dan klenteng adalah dua bentuk arsitektur bangunan yang menonjol di kawasan ini. Konsep F
eng-shui yang berasal dari negeri asalnya seperti tata letak, bentuk bangunan, bahan bangunan dan
warna diterapkan didalam merancang bangunan di kawasan Pecinan. Pola ruang dalam untuk tempat
tinggal dan bekerja serta ruang terbuka atau halaman dalam (inner court yard) antara bangunan
memberikan arsitektur yang adaptif dengan lingkungan. Atap berujung runcing di sudut sisinya,
wama fasade serta ornamen yang indah dari bangunan-bangunan menjadikan Pecinan sebagai salah
satu kawasan kota yang karakteristik dan beridentitas sampai saat ini.

Tersebar di sekitar kawasan perdagangan terdapat pemukiman penduduk pribumi yang menyambung
kehidupannya secara tradisional. Melampaui cincin ketiga ruang kota. terhampar kebun penduduk
pribumi dan juga beberapa bangunan industri. Lingkungan yang khas. sektor kegiatan modern dan
tradisional dan cara hidup yang terjadi di cincin kawasan perdagangan dan perkampungan,
membentuk suatu lanskap bentuk kehidupan kota dualistik (Geertz, 1960). Model kehidupan dualistik
adalah pola tipikal dari kegiatan sosial dan ekonomi di kota-kota kolonial. yang diekpresikan pada
kehidupan lingkungan perkotaan (McGee. 1967). Pola kehidupan dualistik im hampir dapat ditemui di
setiap kota-kota kolonial. baik kota koloni Belanda, Inggris, Spanyol. Portugis. maupun Perancis di
Asia Tenggara.
Bentuk bangunan pemukiman pribumi di kota-kota kolonial juga memberikan warna tersendiri.
Bangunan-bangunan vernakular di kampung perkotaan yang beradapatasi dengan iklim setempat
membentuk pola bentuk kota yang karakteristik pula. Kampung Tugu dan Kampung Condet di
Batavia adalah salah satu permukiman pribumi yang memberi warna bentuk kota Jakarta. Bentuk
bangunan vernakular memberikan sumbangan yang besar pada arsitektur Indische" yang
berkembang pada masa kolonial. Kondisi tempat tinggal yang berbeda antara bangsa Eropa, Oriental,
dan penduduk pribumi di dalam kota yang mulai memburuk menjadi perhatian penguasa, Kondisi
lingkungan tersebut berkaitan dengan masalah-masalah kota lainnya yang timbul. Sebagai hasilnya,
suatu Undang-undang Desentralisasi ditetapkan pada tahun 1903. Undang-undang Desentralisasi
adalah batu loncatan dari demokratisasi dari pemerintahan Hindia Belanda. Dibawah Undang
Desentralisasi pada tahun 1905, Batavia ditetapkan sebagai pemerintahan kota pertama di Hindia
Belanda. Sejumlah kota pemerintahan dan kabupaten ditetapkan pada tahun-tahun berikutnya. Pada
tahun 1918, terdapat 18 pemerintah kota dan 78 kabupaten di koloni. Sebagai konsekwensinya
pembentukan pemerintah kota, pekerjaan administratif kawasan dipindah ke pemerintahan lokal.

Selanjutnya, perumahan dan perancangan kota menjadi tugas-tugas pekerjaan teknis seperti
pemeliharan jalan dan jembatan, pengelolaan sanitasi dan kebersihan, air penyediaan bersih,
pengeloan pasar, menjadi tanggung-jawab penting bagi pemerintah kota. Pemerintah kota sadar akan
keadaan buruk penduduk pribumi pada beberapa kawasan kota, tetapi tugas utamanya adalah
melayani kawasan tempat tinggal masyarakat Belanda. Dengan demikian, kebanyakan rencana
pembangunan baru di kota adalah mengakomodasi kawasan tempat tinggal bangsa Eropa. Tindakan
untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat pribumi kurang atau bahkan tidak ada sama sekali.
Selama masa kolonial pemerintah kota sangat kurang memperhatikan tentang kondisi kehidupan
penduduk pribumi di dalam kampung-kampung. Tingkat kualitas lingkungan di kampung-kampung
dapat dengan jalan yang tidak beraspal, tidak adnya penerangan jalan, kurangnya air bersih,
kurangnya fasiltas pendidikan dan kesehatan, serta taman-taman umum.

Untuk melayani kegiatan kemiliteran dan sosial masyarakat pemerintah kota di masa kolonial
membangun lapangan hijau. Pola pembangunan sarana kota ini mengadaptasi pola yang ada di
kotakota asal mereka dan pola alun-alun yang berasal dari kota-kota prakolonial. Karena untuk
kegiatan latihan kemiliteran kebanyakan lapangan hijau terletak di kawasan milter. Di kawasan ini
lapangan hijau merupakan satu kesatuan sarana kota dengan sarana militer lainnya seperti kantor,
barak prajurit, rumah sakit, gudang senjata serta peralatan, dan rumah perwira. Beberapa lapangan
hijau kota masa kolonial saat ini masih dapat dijumpai di beberapa kota militer seperti Magelang,
Malang, Cimahi, Medan, Bandung, dan lain-lainnya. Selain digunakan sebagai tempat kegiatan
latihan kemiliteran, beberapa lapangan. dan taman kota yang dibangun pemerintahan Hindia Belanda.
Taman-taman kota tersebut digunakan untuk kegiatan olah raga, dan rekreasi masyarakat. Kegiatan
masyarakat kota tersebut masih berlangsung sampai saat ini seperti dapat dilihat di lapangan
Weltevreden yang menjadi lapangan Banteng. lapangan Koningsplein yang menjadi lapangan
MONAS di Jakarta, lapangan Karebosi di Makassar. lapangan Merdeka di Medan. dan lapangan kota-
kota kolonial lainnya.
Selain digunakan untuk kegiatan militer, lapangan kota juga digunakan untuk kegiatan sosial bagi
masyarakat. Berbagai kegaitan sosial diadakan di lapangan seperti olahraga, pasar malam dan
kegiatan sosial lainnya. Bagi masyarakat kecil, disekitar lapangan dimanfaatkan untuk melakukan
ekonomi. Berbagai kegiatan informal dilalukan diantra dan dibawah kerindangan pohon di sekeliling
lapangan. Penjual minuman, makanan, dan tukang potong rambut adalah beberapa kegiatan sektor
informal yang kita jumpai pada masa tersebut dan sampai sekarang sebagian besar masih dapat kita
lihat di lapangan bekas kota-kota kolonial.

Meskipun demikian, suasana harmonis ini lambat laun hilang di bekas kota-kota kolonial saat ini.
Peremajaan lapangan kota yang tujuannya imtuk keindahan kota telah menggusur sebagian pedagang
sektor informal ke tempat yang telah disediakan oleh penguasa kota. Sebagian lainnya mencari tempat
yang sifatnya strategis bagi kegiatan mereka. Fenomena ini dapat kita lihat jalan utama, kawasan
pertokoan, sekolah, rumah sakit, kantor, dan di tempat kesibukan lainnya di kota. Pembangunan kota-
kota Hindia Belanda secara luas, pada masa kekuasaan Belanda, tidak subur tanpa kekuatan birokrasi
dan partisipasi arsitek-arsitek Belanda. Beberapa arsitek Belanda datang ke koloni untuk
berpartisipasi dalam pambangunan gedung-gedung sebagai hasil kegiatan ekonomi pada masa masa
liberalisasi yang mulai pada tahun 1870. Praktek dari langgam lndische pada arsitektur dan
perancangan kota yang diadopsi pada abad XVI berkembang pada beberapa kota melalui keterlibatan
arsitek dan perancang kota bangsa Belanda. Sebagai contoh, berdasarkan pernyataan Wertheim
(1957), suatu tipikal kota Indische" digambarkan dengan baik di Kromoblanda: On the Question of
Living Conditions dalam Kromois' Vast Country oleh H.F. Tillema (Wiryomartono, 1995). Pola tata
ruang dipetakan dengan penyatuan antara administratif lokal dan kolonial melalui manifestasi struktur
lapangan utama.

Pada akhir abad XIX dan berlanjut pada awal abad XX, beberapa arsitek Belanda mulai aktif
menyumbangkan gagasan-gagasan mereka didalam membentruk arsitektur kolonial pada beberapa
kontruksi bangunan dan perancangan kota oleh permintaan pemerintah, penguasa dan sektor privat.
Kebanyakan dari arsitek, disamping mewarisi gagasan Barat dalam rancangannya mereka, seperti
Kota Taman, perlahan-lahan mereka tertarik kepada budaya dan kearifan lokal melalui pengalaman
didalam merancang gedung. Berbagai gedung pemerintah, struktur komersial, pabrik-pabrik, sekolah,
dan tempat tinggal yang saat ini masih berdiri adalah hasil rancangan mereka.

Beberapa pekerjaan mereka masih terdapat di kota-kota di Jawa maupun di luar pulau Jawa. Sebagai
contoh, suatu model Kota Taman dan prinsip lokal diekspresikan pada rencana-rencana kota baru.
Kota-kota ini. berisi rumah-rumah yang berkarakteristik dengan langgam arsitektur Art Deco atau
arsitektur dekoratif. Rumah-rumah langgam tersebut dengan halaman luas masih nampak pada
beberapa kota-kota di Hindia Belanda.

Patut menjadi catatan sumbangan para arsitek dari sekolak pendidikan tinggi Belanda yang mengabdi
pada pemerintah dan yang berkarya untuk mencari nafkah di Hindia Belanda mempunyai pengaruh
cukup besar didalam perkembangan arsitektur dan perancangan kota. Terdapat beberapa arsitek dan
perancangan kota Belanda yang hasil karya mereka masih dapat dinikmati sampai saat ini di beberapa
kota (Dana, 1990, Wiryomartono, 1995, Sukada, 1998, Sumalyo, 199; Heuken dan Pamungkas, 2001
). Tiap arsitek mempunyai corak arsitekur tersendiri didalam menuangkan gagasannya didalam
merancang bangunan dan kota. Meskipun setiap arsitek mempunyai karateristik tersendiri didalam
menggunakan prinsip-prinsip dari Barat, unsur lokal dalam arsitektur Indische tetap muncul dalam
perancangan mereka Konsep perencangan fungsionalisme dari Barat mereka terapkan didalam
beradaptasi dengan linglnmgan tropis lembab. Rancangan-rancangan bangunan mereka juga di
serasikan dengan bidang kesehatan lingkungan. Pada bangunan dengan pembukaan lebar, langit-langit
tinggi, kisi-kisi udara, serta penahan sinar matahariSelokan-selokan lebar serta taman-taman yang luas
dan rindang mereka bangun agar supaya masyarakat dapat hidup nyaman dan sehat.

Salah satu perancang kota turunan Belanda yang banyak berkarya dalam merancang kota di Hindia
Belanda adalah Thomas Karsten ( Wiryomartono, 1995). Salah satu gagasan perancangan kota yang
mengadaptasi konsep Kota Taman milik Karsten diterapkan di Semarang. Pembangunan dan
pengembangan kota berdasarkan konsep kota masa depan ini seperti di Semarang, Malang, Magelang,
dan kota-kota lainnya di Jawa diperolehnya setelah dia melihat ketimpangan-ketimpangan dalam
kwalitas lingkungan antara pemukiman masyarakat Eropa dan penduduk pribumi. Menurut Karsten
sementara masyarakat permukiman bangsa Eropa di kawasan Candi menikmati keadaan lingkungan
yang sehat, bersih, dan nyaman. penduduk pribumi bermukim di lingkungan yang berada dibawah
nilainilai standar kesehatan. kebersrhan. dan kenyaman. Gagasan untuk memperbaiki kondisi
prasarana dan sarana kota pada Permukiman, khususnya permukiman bagi penduduk pribumi,
disambut baik oleh Pemerintah kota Semarang. Di samping untuk memperbaiki kwalitas hidup
masyarakat yeng bertempat tinggal di kampung-kampung dengan kehidupan dibawah standar,
rancangan Karsten juga untuk mengatisipasi masalah-masalah sampingan yang kemungkinan timbul,
seperti masalah politik dan sosial, di kota di kemudian hari.

Bagi Thomas Karsten perancangan kota dapat berhasil apabila faktor teknis, estetis dan sosial
dipadukan dalam proses perencanaan, perancangan, dan pembangunan. Untuk itu partisipasi semua
pihak yang terkait dalam proyek pembangunan--arsitek, insinyur sipil, kontraktor, pengusaha, dan
masyarakat calon penghuni sangat diharapkan didalam merealisasikan konsep permukiman sehat dan
nyaman yang dicita-citakan oleh Karsten. Meskipun Karsten mengacu pada konsep Kota Taman
yang berasal dari ideologi Barat, ia masih memperhatikan kaidah-kaidah regionalisme atau sosio-
budaya lokal didalam perancangannya. Salah satu konsep perancangan permukimannya adalah
kehidupan simbiosis antara masyarakat berpenghasilan tinggi dan masyarakat berpenghasilan rendah.
Konsep ekonomi ini diwujudkan dalam perancangan ruang dengan meningkatkan kwalitas kampung
yang sebagian besar penduduknya berkecimpung di kegiatan sektor informal dengan meletakkan
lingkungan perumahan yang besifat formal di sekelilingnya (Wiryomartono, 1995). Untuk bangunan
kegiatan ekonomi dan rumah berukuran besar diletakkan di tepi jalan sedangkan rumah tinggal biasa
dan berukuran kecil diletakkan di belakangnya. Dengan konsep tata ruang ini kerjasama kegiatan
ekonomi dan sosial dapat diwujudkan antara penduduk di sektor formal dan informal.

Konsep kehidupan mutualistis atau saling memberi manfaat antara penduduk bangsa Eropa,
masyarakat kaya dengan penduduk diwujudkan juga oleh Thomas Karsten di pembangunan kota
Mlaten. Di proyek tersebut Karsten juga mencoba mewujudkan gagasannya di dalam pendekatan
perancangan self help atau kemandirian dalam konsep permukiman. Konsep kemandirian penghuni
dalam memenuhi kebutuhan di tempat tinggalnya muncul kembali pada dekade-dekade selanjutnya.
Sebagai contoh, pada tahun 1970an pemerintah pusat melaksanakan konsep kemandirian melalui
proyek peremajaan kampung di kota-kota di Indonesia di masa Orde Pembangunan. Didalam
membantu penduduk miskin didalam pembangunan perumahan Karsten juga memperhatikan agar
rurrah tidak saja sebagai tempat tinggal tetapi juga sebagai tempat usaha. Gagasan yang aktual
tersebut membuat Thomas Karsten menjadi mitra yang baik dengan pemerintah kota Semarang.
Pemerintah kota lainnya banyak melibatkan dirinya pada pembangunan kawasan kotanya seperti
pengembangan perumahan daerah kota Mlaten seperti di Malang, Magelang, dan kota-kota lainnya.
Selain Thomas Karsten, pembangunan kota baru di Hindia Belanda dirancang oleh arsitek bangsa
Belanda lainnya. Salah pembangunan kota baru adalah permukiman Menteng di Batavia (Heuken dan
Pamungkas. 2001). Menteng dirancang oleh arsitek F.A.] . Moojen. Awal perkembangan

Menteng tahun 1910 dan berakhir pada tahun 1930. Berbeda dengan Mlaten, Menteng merupakan
Kota Taman yang dibangun bagi bangsa Eropa dan masyarakat berpenghasilan tinggi Konsep
Kota Taman diwujudkan dengan rumah jenis villa dengan halaman luas, jalan bersih dan teduh oleh
pohon pelindung dan taman yang hijau. Pola kota Menteng berupa lingkaran kosentrik dengan pusat
kota sebagai ruang terbuka. Selain tempat tinggal, di Menteng juga disediakan sarana perkantoran,
perbelanjaan, olah raga, dan rekreasi. Pembangunan Menteng dilaksanakan secara bertahap
berdasarkan wilayah-kawasan perancangan.

Menteng dirancang secara matang oleh Moojen. Pola jalan tidak mengikuti pola lama atau gridiron,
tetapi campuran antara pola kurvelinier dan radial. Pola baru ini menjadi model perancangan kota-
kota taman di Hindia Belanda termasuk permukiman pendahulunya, pemukiman Candi di Semarang,
oleh Thomas Karsten. Menteng merupakan kota taman berdasarkan konsep Garden City yang
dirancang oleh Ebenezer Howard. Di Menteng rumah-rumah yang di kelilingi taman-taman, jalan di
tanam pohon rindang, kolam, kanal air, serta sarana kota lainnya. Karena merupakan kota taman maka
halaman rumah tidak diberi pagar dan kalau ada adalah berupa pagar hidup dari perdu dan tanaman
bunga. Meskipun rancangan sangat ideal untuk tempat tinggal, dalam perkembangannya pola radial
menyebabkan timbulnya masalah terhadap aspek lalulintas (Heuken, 2001 ). Masalah kota yang
timbul adalah terdapatnya persimpangan jalan serta bertambahnya jarak perjalanan dari satu tempat ke
tempat lainnya. Bentuk rumah-rumah yang mendeliniasi bentuk kota Batavia terdiri dari berbagai
langgam arsitektur. Meskipun demikian bentuk rumah yang dominan adalah langgam villa. Rumah
langgam villa dapat dikenali dengan unsur-unsur arsitekturnya seperti halaman yang luas, bentuk
fasade dekoratif, terdapat unsur-unsur omamen seperti kaca patri pada jendela, batu krawang,
plesteran bermotif, lantai ubin dekoratif serta atap dengan berbagai bentuk. Selain dirancang untuk
kawasan tempat tinggal, Menteng juga merupakan kawasan yang diperuntukan untuk kegiatan religi,
perkantoran, perbelanjaan dan hiburan. Berbagai bentuk bangunan didirikan untuk kegiatan ini.
Prinsip arsitektur modern seperti fungsionalisme dan rasionalisme banyak digunakan oleh para arSitek
Belanda. Konsep tersebut terutama digunakan untuk merancang gedung-gedung perkantoran dan
perbelanjaan. Selain, daripada kedua langgam tersebut, beberapa gedung berlanggarn arsnektur
dekoratif dan " art deco " dapat ditemukan di Menteng. Langgam yang berasal dan Barat ini dan yang
mulai berkembang padaawal tahun 1900an di kota-kota di Eropa dan Amerika berperan dalam
menciptakan bentuk lanskap kawasan Menteng. Langgam Art Deco banyak digunakan pada
bangunan rumah, komersral da bangunan kantor Meskipun demikian, bentuk arsitektur beberapa
bangunan tempat tinggal tidak luput dari pengaruh arsitektur yang spesifik ini.

Sebagai kota taman, Menteng memiliki prasarana kota seperti jalan sepak untuk pejalan kaki dan
kanal untuk menyalurkan air hujan ke sungai disekitarnya. Untuk mewujudkan sebagai kota taman
berbagai jalur-jalur hijau dan duapuluh tiga taman dibangunan oleh pemerintah kota (Heuken, 2001).
Berbagai bentuk taman dengan luas tertentu dapat dinikmati oleh masyarakat Menteng. Selain taman-
taman, pemerintah kota didalam usaha menciptakan kota taman, berbagai bulevar ditanami berbagai
pohon rindang. Median dan tepi jalan pada jalan utama maupun jalan permukiman banyak ditemukan
selain pohon rindang juga berbagai jenis tanaman hias Taman yang agak luas ditempatkan di
perkantoran, sedangkan yang berskala kecil diletakkan di kawasan perumahan. Taman-taman
mempunyai fungsi ganda selain sebagai penghijauan kota juga sebagai tempat sirkulasi kendaraan.
Selain berfungsi sebagai tempat rekreasi, danau yang terletak di kawasan perumahan juga berfungsi
sebagai tempat penampungan air di waktu musim hujan.

Penanaman pohon di sepanjang tepi, median jalan serta tepi kanal merupakan juga suatu jalur hijau
untuk mereduksi suhu udara di kawasan ini. Selain taman kota, Menteng juga memiliki danau kecil
yaitu danau Lembang. Meskipun dalam skala kecil, taman-taman, dan danau merupakan paruparu
kota serta tempat resapan pada saat itu.

Anda mungkin juga menyukai