PALOPO (1908-1940)
The Development of Colonial Architecture in The Palopo City
(1908-1940)
Abstract
This research is focused on aspects of the development of colonial architecture in the
Palopo city. The research objective is to obtain an overview of the architectural style of
buildings in the colonial city of Palopo. The study used a survey method with direct
observation techniques for data recording which was carried out with verbal and pictorial
descriptions, followed by an analysis of the shape, technology, style, and environment
supporting archaeological data, and ended with interpretation. Colonial buildings in the
Palopo city are divided into government buildings, military buildings, public facilities
buildings, religious buildings, and residences. Each building has the characteristics of
Dutch colonial architecture with an architectural style that represents the period of
development of Dutch colonial architecture in Indonesia generally.
Abstrak
Penelitian ini difokuskan pada aspek perkembangan arsitektur bangunan masa kolonial di
Kota Palopo. Tujuan penelitian ialah untuk memperoleh gambaran tentang gaya arsitektur
bangunan-bangunan masa kolonial Kota Palopo. Penelitian menggunakan metode survei
dengan teknik observasi langsung untuk perekaman data yang dilakukan dengan deskripsi
verbal dan piktorial, dilanjutkan dengan analisis terhadap bentuk, teknologi, gaya, dan
lingkungan pendukung data arkeologi, dan diakhiri dengan interpretasi. Bangunan kolonial
di Kota Palopo terbagi atas bangunan pemerintahan, bangunan militer, bangunan fasilitas
umum, bangunan religi, dan rumah tinggal. Setiap bangunan memiliki ciri arsitektur
kolonial Belanda dengan gaya arsitektur yang mewakili periode perkembangan arsitektur
kolonial Belanda di Indonesia pada umumnya.
METODE PENELITIAN
Penelitian yang dilakukan di Kota Palopo
bertujuan untuk memperoleh gambaran tentang
gaya arsitektur bangunan-bangunan masa
kolonial. Oleh karena itu, metode yang
diterapkan pada penelitian ini yaitu metode
survei. Survei dalam penjaringan dan
perekaman data dilakukan dengan teknik
observasi langsung di lapangan. Observasi
lapangan meliputi deskripsi verbal, dan
deskripsi piktorial. Untuk melengkapi teknik
pengumpulan data tersebut dilakukan pula
wawancara terhadap tokoh atau pemuka
masyarakat setempat.
Tahap selanjutnya adalah tahap analisis
data untuk mengidentifikasi tinggalan
arkeologi. Tahapan analisis data yang dilakukan
merujuk pada teknik analisis arsitektur
bangunan, meliputi analisis morfologi, analisis
teknologi, analisis stilistik, dan analisis
kontekstual (Puslit Arkenas, 2008: 83). Dalam
analisis bentuk atau morfologi, variabel-variabel
yang diamati adalah ukuran bangunan, denah
bangunan, arah hadap, bagian kaki, tubuh, dan
atap. Denah bangunan ada yang berbentuk
bujursangkar, persegipanjang, bulat, atau
bentuk lainnya. Bagian kaki bangunan
merupakan bagian dasar yang sekaligus
berfungsi sebagai pondasi bangunan.
Umumnya, bentuk kaki atau denah dasar
bangunan sekaligus menjadi bentuk atau denah
dasar bangunan itu sendiri. Sementara itu,
bagian tubuh bangunan terdapat relung-relung
yang berfungsi sebagai pintu, jendela atau
ventilasi. Bagian tubuh bangunan juga
merupakan dinding yang memiliki ragam hias
dengan kontruksi kayu, susunan batu atau
beton. Bagian atap dapat berupa limas, limas
berundak, pelana, perisai, tranjumas, tajug,
kerucut, lengkung, dan kubah. Selain
mengamati bentuk atap juga dilakukan
pengamatan terhadap konstruksi atap yang
digunakan.
Analisis teknologi mengamati bahan-
bahan yang digunakan dalam pendirian
bangunan umumnya berupa susunan batu, bata,
campuran batu dan bata, kayu, dan beton.
Perkembangan Arsitektur Masa Kolonial Di Kota Palopo 4
(1908-1940) - Syahruddin Mansyur & Hasrianti
satu lapis, dua lapis, atau tiga lapis dengan
isian (innerstone). Sementara itu, teknik hias
pada ragam hias arsitektural umumnya
menggunakan teknik yang sama dengan teknik
pendirian bangunannya: sedangkan teknik hias
pada ragam hias dekoratif umumnya
menggunakan teknik pahat.
Satuan analisis yang diamati dalam
analisis gaya meliputi bentuk dan ragam hias
pada keseluruham bangunan, baik berupa
ragam hias arsitektural maupun dekoratif.
Ragam hias arsitektural antara lain berbentuk
pilaster atau pelipit, sedangkan ragam hias
dekoratif berbentuk flora, fauna, atau
antropomorfis. Struktur desain dapat
bersambungan, berkelompok, atau acak.
Variabel-variabel yang menjadi satuan
pengamatan dalam analisis kontekstual berupa
halaman bangunan, pagar keliling, parit
keliling, dan bangunan-bangunan di sekitarnya.
Selain itu diperlukan pula pengamatan
terhadap lingkungan fisik di sekitar bangunan
inti/utama untuk mengetahui lokasi perolehan
bahan baku bangunan. Denah halaman ada
yang berbentuk bujur sangkar, persegi panjang,
atau tidak beraturan. Arah hadap juga menjadi
bagian pengamatan.
Tahap selanjutnya setelah tahap analisis
ialah tahap interpretasi. Interpretasi merupakan
proses sintesis semua informasi yang telah
dihasilkan selama penelitian. Dalam proses
interpretasi digunakan konsep-konsep atau
teori- teori tertentu yang dianggap dapat
memberikan penjelasan yang paling tepat.
Untuk penelitian bernalar deduktif, pada
hakekatnya interpretasi lebih ditekankan pada
upaya untuk mengevaluasi kesesuaian antara
prediksi implikasi penelitian dengan hasil
penelitian. Sementara itu, untuk memperoleh
penjelasan menyangkut data artefaktual dan
situs meliputi fungsi dan kronologi maka
metode analisis yang digunakan adalah analisis
fisik dan kontekstual. Analisis fisik digunakan
untuk menjelaskan tipe- tipe artefak untuk
mengetahui fungsinya dalam situs, sementara
analisis kontekstual untuk mencari hubungan
antar artefak dengan data lainnya. Analisis
kontekstual meliputi asosiasi dan distribusi.
Asosiasi yakni hubungan antar artefak dengan
artefak lainnya, maupun artefak dengan
lingkungan situs. Sedangkan distribusi yaitu
sebaran dalam dalam satuan ruang secara
horisontal (Puslit Arkenas, 2008).
4) Mess Lebang
Gambar 17. Tampak depan Eks Rumah Jabatan
Asisten Residen.
(Sumber: Balar Sulsel, Tahun 2017)
3) Eks Rumah Jabatan Kontrolir
Bangunan dibangun pada tahun 1923.
Dahulu merupakan tempat tinggal pejabat
kontrolir (controleur) Pemerintahan Hindia-
Belanda dan sekarang menjadi rumah tinggal
keluarga Bapak Sabani. Bangunan telah
mengalami beberapa perubahan, namun bentuk
Gambar 18. Tampak depan bangunan Mess
aslinya masih terlihat dengan kondisi yang
Lebang.
masih terawat. Pengaruh gaya neoklasik terlihat (Sumber: Balar Sulsel, Tahun 2017)
pada arsitektur bangunan sesuai dengan gaya
arsitektur yang berkembang pada masa
bangunan ini didirikan.