Anda di halaman 1dari 24

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kedatangan belanda pada abad ke 16 di Nusantara awalnya hanya

bertujuan untuk berdagang dan bukan untuk politik. Belanda berhimpun pada

bendera VOC (vereenigde Oost-Indische-Compagnie atau “Kompeni Dagang

Belanda di Hindia Timur”), yaitu sebuah perusahaan dagang swasta yang

bergerak di bidang perdagangan rempah-rempah (Boxer, 1983: 97). Penjajahan

belanda membawa pengaruh pada aspek kehidupan di Nusantara, baik dalam

aspek religi, ekonomi, seni, dan filsafat, maupun terhadap pengaruh arsitektur dan

interior bangunan yang berkembang pada masa itu. Pengaruh kolonial belanda

memberi nilai positif dalam perkembangan arsitektur di Nusantara, karakteristik

arsitektur kolonial juga mudah dikenal dengan bentuk langgamnya (style). Bentuk

arsitektur yang ditemukan pada bangunan belanda memiliki karakteristik yang

berbeda satu dengan lainnya.

Belanda adalah Negara yang cukup lama menjajah Indonesia, hal ini

menyebabkan banyak budaya dari kolonial belanda yang mempengaruhi budaya

maupun arsitektur di Indonesia. Bangunan purbakala dari masa kolonial dalam

bentuk arsitektur salah satunya berupa gedung gereja. Gereja memiliki fungsi

sebagai tempat peribadatan yang diperuntukan bagi umat Kristen. Bangunan

gereja dalam kajian ilmu arkeologi termasuk ke dalam kategori fitur. Keberadaan

bangunan gereja sebagai produk hasil penjajahan kolonial penting bagi ilmu

arkeologi karena dapat memberikan informasi mengenai sejarah kebudayaan

1
manusia serta pendukung produk kebudayaan pada masa lalu. Selain itu

keberadaan bangunan gereja juga menjadi bukti sejarah masuknya agama Kristen

ke Indonesia.

Sebelum masuknya belanda ke Indonesia, para pelaut portugis yang

memeluk agama Katolik mendarat di Kepulauan Maluku hingga di daerah

pedalaman di Flores. Namun setelah Belanda datang penyebaran agama dari

bangsa Portugis dilakukan tidak intensif sehingga mengakibatkan

perkembanganya terhambat dan para misionaris Belanda juga melanjutkan

penyebaran agamanya sampai di Flores Manggarai. (Nggoro, 2013: 23).

Agama Katolik mulai masuk dan berkembang di kota Jambi pada tahun

1909, pada saat itu pemeluk agama Katolik jumlahnya mencapai 59 orang (Kilas

Perjalanan Paroki Santa Teresia, Jambi 1935-2010). Penduduk Jambi pada masa

itu belum sampai 200.000 jiwa, dan terdiri dari beberapa etnis seperti Palembang,

Jawa, Minangkabau, Batak, Banjar, Bugis, Arab, dan Tionghoa. Jumlah orang

Tionghoa yang datang ke Jambi semakin banyak karena tertarik untuk

memanfaatkan potensi alam di Kota Jambi (Sudarso, 2019: 16).

Perkembangan arsitektur di Batavia pada awal abad ke-20 lebih mencolok

dari pada masa-masa sebelumnya. Pada abad ke-18 kedudukan belanda di

Indonesia semakin kuat sehingga pembangunan gedung-gedung sangat

mencirikan arsitektur gaya Eropa. Sedangkan pada abad ke-19 pembangunan

gedung-gedung di warnai oleh kebangkitan gaya klasik. Selanjutnya, awal abad

ke-20 telah menjadi suatu titik puncak berkembangnya arsitektur kolonial belanda

di Batavia dan berbagai kota besar di Indonesia. Arsitektur Neo-Klasik

2
berkembang pada awal abad ke-20. Gaya arsitektur ini menghadirkan penerapan

unsur-unsur klasik yang telah lama hilang seperti Yunani, Romawi, dan

Renaissance. Gaya arsitektur Art & Craft lebih memfokuskan kepada seni

pekerjaan tangan terhadap bentuk-bentuk furniture dan pembuatan kaca (Sumalyo,

2005: 26-29).

Gaya berasal dari bahasa latin yaitu stilus yang artinya alat bantu tulis,

maksudnya adalah tulisan tangan yang menunjukan dan mengekspresikan karakter

individu. Gaya bisa dipelajari karena bersifat publik (Walker, 1989: 155). Gaya

adalah bentuk konstan, elemen konstan, kualitas ,dan ekspresi. Gaya merupakan

sistem dari bentuk, Dutch Colonial adalah gaya desain yang terkenal di

Netherland tahun 1624-1820. Gaya desain ini timbul karena keinginan dan usaha

orang Eropa untuk menciptakan daerah jajahan seperti negara asal mereka, tetapi

desain yang dibuat tidak sesuai dengan bentuk aslinya karena iklim yang berbeda,

material yang kurang tersedia, dan teknik di negara jajahan. Akhirnya timbullah

bentuk modifikasi yang menyerupai desain di Negara mereka (Pile, 2000: 154),

kemudian gaya ini disebut dengan gaya kolonial (Sumintardja, 1978: 116).

Salah satu contoh bangunan yang memiliki arsitektur kolonial adalah

gereja. Gereja yang berasal dari kata ―igreja‖ dan kemudian dibawa ke Indonesia

oleh para misionaris dari Portugis. Bangunan gereja merupakan bangunan yang

memiliki peran penting sebagai tempat umatnya dalam melaksanakan ibadah atau

tempat berkumpul. Gereja memiliki nilai seni yang tinggi yang digunakan melalui

penerapan arsitektur dalam membangun relasi yang tinggi dengan spiritual bagi

penggunanya. Seni dalam setiap elemen pada bangunan gereja ini memiliki makna

3
dan lambang dari kekristenan. Beberapa bangunan gereja di Indonesia

terpengaruh dengan arsitektur klasik Eropa dengan mengaitkan nilai seni

arsitektur dengan religiusitas, contohnya bentuk denah salib di arsitektur

romanesque, skala bangunan yang tinggi di arsitektur gotik. Kemudian bercampur

dengan teknik konstruksi dan adaptasi iklim di Indonesia yang menghasilkan

arsitektur kolonial Indonesia.

Gereja Katolik Santa Teresia Paroki Kota Jambi yang menjadi objek

dalam penelitian ini merupakan gereja yang didirikan pada tahun 1932 dan

diresmikan pada tahun 1935 untuk umat beragama Katolik. Gereja ini berlokasi

pada saat ini di Jl. Raden Mattaher, Kota Jambi. Gereja ini didirikan oleh Pastor

pertama yaitu Pastor Hoogeboom, dan gereja ini merupakan salah satu gereja

Katolik pertama di Jambi.

Penulis memilih objek tersebut, dikarenakan gereja ini memiliki karakter

yang berbeda dengan bangunan kolonial yang ada disekitarnya, salah satunya

penggunaan kaca patri pada bagian jendela yang dikenal sebagai bentuk seni yang

sah dan terhormat pada gereja, Sedangkan pada bangunan kolonial di sekitarnya

jendelanya menggunakan bahan kayu. Dilihat dari masa pembangunannya

bangunan yang menggunakan bahan kayu dibangun lebih awal daripada gereja ini.

Kondisi tersebut dapat mengindikasikan tren gaya yang berkembang pada masa

bangunan-bangunan tersebut didirikan. Pada skripsi ini penulis mencoba untuk

meneliti dan memahami sejauh mana gaya yang mempengaruhi bentuk arsitektur

bangunan, orientasi/arah bangunan, letak bangunan, elemen pembentuk ruang,

4
elemen pengisi ruang, dan ragam hias sebuah bangunan khususnya Gereja Katolik

Santa Teresia Paroki Kota Jambi.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian diatas, secara ringkas dapat dikatakan telah terjadi

perubahan-perubahan yang dinamis dalam perkembangan arsitektur di Nusantara

maupun di Kota Jambi. Arsitektur kolonial Belanda di Indonesia pada awal abad

ke-20 merupakan bentuk spesifik karena pada masa itu banyak bangunan yang

menerapkan macam gaya arsitektur yang berkembang di Eropa. Sehingga

menghasilkan bentuk bangunan yang beragam.

Oleh karena itu identifikasi terhadap gaya bangunan yang terdapat pada

Gereja Katolik Santa Teresia Paroki Kota Jambi ini akan mengungkapkan

identitas sesungguhnya dari bangunan tersebut dapat disimpulkan, permasalahan

yang akan dikaji dalam penelitian ini adalah : ―Bagaimana gaya arsitektur yang

terdapat pada Gereja Katolik Santa Teresia Paroki Kota Jambi?‖

1.3 Ruang Lingkup Penelitian

Ruang lingkup terhadap kajian penelitian ini berfokus pada gaya bangunan

Gereja Katolik Santa Teresia Paroki Kota Jambi, yang terletak di Jln. Raden

Mattaher No. 19, Provinsi Jambi. Ruang lingkup dibatasi gaya bangunan Gereja

Katolik Santa Teresia Paroki Kota Jambi.

1.4 Tujuan Penelitian

Penelitian ini berupaya untuk perekaman terhadap bangunan Gereja

Katolik Santa Teresia Paroki Kota Jambi secara arkeologi dalam bentuk deskripsi

bangunan meliputi data kuantitatif ukuran (panjang, lebar, dan tinggi), serta data

5
kualitatif (uraian deskriptif, foto gambar, sketsa). Identifikasi terhadap gaya

bangunan juga dapat mengungkapkan bentuk gaya bangunan pada Gereja Katolik

Santa Teresia Paroki Kota Jambi.

Identifikasi terhadap gaya bangunan tersebut sangat penting untuk

dilakukan, mengingat pentingnya nilai-nilai historis yang dimilikinya. Dengan

demikian, bangunan tersebut telah menjadi benda arkeologi. Perekaman data

terhadap bangunan gereja sangat penting untuk dilakukan, karena sewaktu-waktu

bangunan gereja dapat mengalami perubahan atau renovasi bangunan.

1.5 Manfaat Penelitian

Penelitian mengenai Gereja Katolik Santa Teresia Paroki Kota Jambi ini

sangat penting dilakukan guna membantu mengenali hal-hal yang terjadi pada

masa lalu, karena bangunan-bangunan tua sangat penting untuk dilestarikan dan

diapresiasikan dengan baik. Hal itu perlu dilakukan karena suatu bangunan dapat

menjadi saksi dari berbagai kejadian yang terjadi di masa lampau. Menurut

soekiman, bangunan dengan gaya arsitektur kolonial memiliki nilai-nilai penting.

Antara lain yaitu : nilai keindahan dan nilai historis (Soekiman, 2000: 659).

Oleh karena itu, manfaat terhadap penelitian Gereja Katolik Santa Teresia

Paroki Kota Jambi dapat diketahui nilai arsitektur, nilai keindahan, nilai historis,

nilai sejarah, dan kebudayaan nya yang sangat penting. Penelitian ini juga

bermanfaat bagi masyarakat sekitar dan menjadi data pendukung untuk penelitian

selanjutnya agar berguna terkhusus program Arkeologi Universitas Jambi.

Manfaat yang lainnya yaitu untuk umat gereja yang telah mengetahui nilai penting

6
Gereja Santa Paroki ini untuk tidak merusak bangunan dan menjaga

kelestariannya.

1.6 Tinjauan Pustaka

1.6.1 Penelitian Terdahulu

Penelitian terdahulu tentang Gereja Katolik Santa Teresia Paroki Kota

Jambi ditulis oleh Aulia Kristina dan Ulul Azmi. “Gereja Katolik ST. Teresia

Kota Jambi 1935-2011”. Jurnal Ilmiah Istoria, Prodi Pendidikan Sejarah,

Universitas Batanghari. Penelitian ini menjelaskan bagaimana sejarah dan

perkembangan Gereja Katolik Santa Teresia Kota Jambi serta kegiatan-kegiatan

yang dilakukan oleh pihak Gereja Katolik ini. Hasil penelitian ini terdapat bahwa

Gereja ini tidak hanya semata-mata sebagai tempat ibadah, namun terdapat

aktivitas lain yang diselenggarakan sebagai program gereja. Gereja ini memiliki

nilai historis tersendiri serta menjadi bukti atas keberhasilan penyebaran misi

katolik oleh para misionaris di Jambi. Metode yang digunakan dalam penelitian

ini adalah metode sejarah yaitu heuristik, kritik, interpretasi dan historiografi.

Adapun penelitian yang dilakukan oleh penulis merujuk ke bagaimana

gaya dan bentuk bangunan arsitektur Gereja Katolik Santa Teresia Paroki Kota

Jambi, berbeda dengan kedua peneliti terdahulu yaitu Aulia Kristina & Ulul Azmi

yang membahas bagaimana sejarah dan perkembangan Gereja Katolik Santa

Teresia Paroki Kota Jambi, begitu juga dengan penelitian terdahulu yang

dilakukan oleh Lusyana Cristina Manihuruk yang membahas tentang bagaimana

perkembangan jemaat Gereja Katolik Santa Teresia Paroki Kota Jambi.

7
Penelitian selanjutnya dilakukan oleh Lusyana Cristina Manihuruk.

“Jemaat Gereja Katolik Paroki Santa Teresia Jambi 1964-2010”. Skripsi,

Program Studi Ilmu Sejarah, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Jambi. Penelitian

ini menjelaskan bagaimana perkembangan jemaat Gereja Katolik Paroki Santa

Teresia Jambi 1964-2010. Penulis mengambil penelitian ini karena

ketertarikannya terhadap Gereja Katolik dan jemaat multikultur. Hasil dari

penelitian ini pertama penulis dapat mengetahui awal didirikan gereja ini dan

bagaimana perjalanan gereja ini dari 1964 - 2010, kedua mengetahui bahwa

jemaat Gereja Katolik ini memiliki keberagaman etnis selalu berjalan

berdampingan dengan jemaat dari etnis lain. Metode yang digunakan pada

penelitian ini adalah metode primer dan sekunder.

Adapun penelitian yang dilakukan oleh penulis merujuk ke bagaimana

gaya dan bentuk bangunan arsitektur Gereja Katolik Santa Teresia Paroki Kota

Jambi, berbeda dengan kedua peneliti terdahulu yaitu Aulia Kristina & Ulul Azmi

yang membahas bagaimana sejarah dan perkembangan Gereja Katolik Santa

Teresia Paroki Kota Jambi, begitu juga dengan penelitian terdahulu yang

dilakukan oleh Lusyana Cristina Manihuruk yang membahas tentang bagaimana

perkembangan jemaat Gereja Katolik Santa Teresia Paroki Kota Jambi.

1.6.2 Penelitian Relevan

Wulur, Fanny Alfrits dkk. “Gaya Bangunan Arsitektur Kolonial Pada

Bangunan Umum Bersejarah Di Kota Manado”. Pascasarjana. Universitas Sam

Ratulangi Manado (Vol.7. No.1: 371-382). 2015. Penelitian ini bertujuan untuk

menentukan tipologi wajah arsitektur Kolonial Belanda pada 5 bangunan umum

8
bersejarah yang ada di kawasan kota lama Manado diantaranya ialah: Tipologi

bangunan Kapel Biara Santo Yosep Keuskupan Manado, Tipologi bangunan

Gereja Santo Ignatius, Tipologi bangunan Bank Indonesia, Tipologi bangunan Ex

Bioskop Benteng, dan Tipologi bangunan Minahasa Raad. Penelitian ini

menggunakan metode deskriptif-eksploratif, analisis deskriptif-kualitatif. Jurnal

Wulur, Fanny Alfrits akan memberikan gambaran tentang gaya bangunan

arsitektur kolonial yang akan menjadi acuan dan pertimbangan mengenai gaya

bangunan arsitektur kolonial. Dalam jurnal ini penulis juga dapat mengetahui

tipologi bangunan arsitektur kolonial yang mana akan ditemukan perbedaan dan

persamaan terhadap Gereja yang diteliti oleh penulis akan sangat bermanfaat bagi

penelitian yang peneliti kaji tentang gaya bangunan gereja.

Laksmi Kusuma Wardani, Avelea Isada. “Gaya Desain Kolonial Belanda

Pada Interior Gereja Katolik Hati Kudus Yesus Surabaya”. Jurusan Desain

Interior, Fakultas Seni dan Desain, Universitas Kristen Petra-Surabaya. Penelitian

ini bertujuan untuk menemukan ciri-ciri gaya kolonial Belanda yang berpengaruh

pada Gereja Hati Kudus Yesus Surabaya. Penelitian ini juga menggunakan

metode perbandingan yang dilakukan dengan membuat perbandingan beberapa

produk, desainer, gaya, dan sebagainya. Jurnal Laksmi Kusuma Wardani, Avelea

Isada akan memberikan gambaran tentang gaya desain kolonial pada interior

Gereja Katolik yang akan menjadi acuan dan pertimbangan mengenai interior

Gereja Katolik Hati Kudus Yesus Surabaya. Dalam jurnal ini penulis juga dapat

mengetahui Ciri Khas interior Gereja Katolik Hati Kudus Yesus Surabaya yang

mana akan ditemukan perbedaan dan persamaan terhadap Gereja yang diteliti oleh

9
penulis akan sangat bermanfaat bagi penelitian yang peneliti kaji tentang gaya

bangunan gereja.

Rosalina Christine Prasetio. “Ciri Khas Gaya Desain Indische Pada

Gereja-Gereja di Jawa Timur dan Jawa Tengah”. Program Studi Desain Interior,

Universitas Kristen Petra. Jurnal Intra Vol. 4, No. 2, (2016) 233-238. Penelitian

ini bertujuan untuk masyarakat dapat menyadari pentingnya bangunan kolonial

serta menjadi sumbangsih bagi interior terhadap gaya desain indis di masa

mendatang sehingga gaya desain ini tidak hilang begitu saja dan hanya dianggap

sejarah. Metode penelitian yang digunakan yaitu dengan metode deskriptif, jenis

penelitian deskriptif komparatif, teknik sampling, dan metode analisis data. Dari

jurnal Rosalia Christine Prasetio peneliti akan mengetahui Ciri Khas Desain

Indische pada Gereja Gereja Jawa Timur dan Jawa Tengah yang sangat

bermanfaat bagi penelitian yang peneliti kaji tentang gaya bangunan gereja,

sehingga penelitian ini akan akan memberikan gambaran tentang ciri ciri Desain

Indische yang bermanfaat bagi kajian penulis.

Ivana Yesika Leatimia, Rahil Muhammad Hasbi. “Transformasi Fasad

Pada Bangunan Kolonial Gereja GPIB Immanuel Kota Depok Lama”. Program

Studi Arsitektur, Universitas Mercu Buana. Tujuan penelitian ini ingin melihat

bagaimana perubahan yang terjadi pada fasad gereja GPIB Immanuel di kota

depok lama. Hal ini dilakukan untuk melihat bagaimana bangunan dengan

arsitektur kolonial yang tidak dikonservasi beradaptasi dengan perkembangan

zaman serta factor-faktor apa saja yang dapat menyebabkan perubahan tersebut.

Metode penelitian ini dilakukan dengan metode kualitatif deskriptif. Dari jurnal

10
yang dituliskan Ivana Yesika tentang transformasi fasad bangunan Kolonial

Gereja ini kan memberikan gambaran tentang kondisi fasad gereja dan perubahan

yang terjadi dalam perkembangannya dan ini menjadi acuan penulis dalam bentuk

penelitian yang dilakukan penulis terhadap menentukan gaya bangunan Gereja

Katolik Santa Teresia Paroki Kota Jambi yang diambil sebagai objek penelitian

penulis.

1.6.3 Landasan Teori

Konsep Arsitektur Gereja Pada Abad 19

Banyak gereja-gereja yang memberi kesan dibangun hanya untuk

dikagumi, bukan untuk memenuhi kebutuhan jemaat. Ada beberapa gereja yang

berbentuk ikan, mahkota duri, dan bentuk-bentuk simbolis lainnya. Tetapi sering

kali tidak memperhitungkan kebutuhan ruang-ruang yang dibutuhkan dan juga

tidak memperhatikan adanya citra sebagai gereja. Dilihat dari segi arsitektur, ciri

khas arsitektur modern masih mengadopsi bentuk-bentuk dari arsitektur zaman

dahulu walaupun tidak begitu kelihatan. Pada arsitektur modern memberi

jangkauan luas untuk menafsirkan kembali gereja sebagai tempat jemaat-jemaat

berkumpul atau sebagai lambang persaudaraan. Dengan berkembangnya zaman

masa kolonial belanda banyak mempengaruhi bangunan-bangunan gereja yang

ada di nusantara. (De Jhong Chr. Dr, 2009: 4-5).

Gaya Arsitektur Kolonial di Indonesia

Gaya secara etimologi dalam bahasa Indonesia merupakan padanan dari

bahasa Inggris yaitu Style: yang berarti alat penggores. Gaya atau Style, adalah

tanda-tanda dimana seorang peneliti dapat memperkirakan atau mengamati gaya

11
melalui ciri-ciri khasnya. Lahirnya gaya dipengaruhi oleh kebutuhan, lingkungan

dan seniman pelakunya. Perasaan ingin lebih dari yang ada disekelilingnya

mendorong seseorang untuk menciptakan sesuatu yang lain, dari yang sudah ada.

Menurut Gustami (2000), gaya yang lahir berpijak pada gaya yang sedang dianut

dan mengadopsi dari gaya sebelumnya, diaplikasikan sesuai dengan kemampuan

diri sehingga melahirkan gaya baru (Gustami, 2000: 12).

Gaya kolonial (Dutch Colonial) menurut Wardani (2009) adalah gaya

desain yang cukup populer di Belanda (Netherland) tahun 1624-1820. Gaya

desain ini timbul dari keinginan dan usaha orang Eropa untuk menciptakan daerah

jajahan seperti Negara asal mereka. Pada kenyataannya, desain tidak sesuai

dengan bentuk aslinya karena perbedaan iklim, kurangnya ketersediaan material

dan perbedaan teknik di Negara jajahan. Akhirnya, diperoleh bentuk modifikasi

yang menyerupai desain di Negara mereka (Wardani, 2009: 34).

Gaya arsitektur Kolonial di Indonesia dalam perkembangannya menurut

Handinoto (2012) terbagi menjadi tiga yaitu: Indische Empire Style (Abad 18-19);

Arsitektur Transisi (1890-1915) dan Arsitektur Kolonial Modern (1915-1940),

dapat dijelaskan sebagai berikut:

Gaya Arsitektur Indische Empire Style (Abad 18-19)


Gaya arsitektur Indische Empire Style di Indonesia menurut Handinoto

(2008), diperkenalkan oleh Herman Willem Daendels saat dia bertugas sebagai

Gubernur Jendral Hindia Belanda (1808-1811). Indische Empire Style (Gaya

Imperial) adalah suatu gaya arsitektur yang berkembang pada pertengahan abad

ke-18 sampai akhir abad ke-19. Gaya arsitektur Indische Empire Style pada

12
mulanya muncul di daerah pinggiran kota Batavia (Jakarta), munculnya gaya

tersebut sebagai akibat dari suatu kebudayaan Indische Culture yang berkembang

di Hindia Belanda (Handinoto, 2008: 14).

Indische secara harfiah berarti ―Indies” atau Hindia. Kebudayaan Indische

adalah percampuran kebudayaan Eropa, Indonesia dan sedikit kebudayaan dari

orang China peranakan, Milano dalam Handinoto (2012). Mengungkapkan ciri-

ciri arsitektur Indische Empire Style antara lain: Denahnya berbentuk simetris

penuh, ditengah terdapat ―Central Room” yang terdiri dari kamar tidur utama dan

kamar tidur lainnya. Central Room tersebut berhubungan langsung dengan teras

depan dan teras belakang (voorgalerij dan achter galerij). Teras tersebut biasanya

sangat luas dan ujungnya terdapat barisan kolom yang bergaya yunani (Doric,

Ionic, Corinthian). Dapur, kamar mandi/WC. Gudang dan daerah servis lainnya

merupakan bagian yang terpisah dari bagian utama dan letaknya ada di bagian

belakang. Biasa di samping bangunan utama terdapat Paviliun yang digunakan

sebagai kamar tidur tamu. Kalau rumah tersebut berskala besar biasanya terletak

pada sebidang tanah yang luas dengan kebun di depan, samping, dan belakang

(Handinoto, 2012: 8).

Karakter Arsitektur Indische Empire Style menurut Handinoto (2006),

memiliki karakter konstruksi atap perisai dengan penutup genteng, bahan

bangunan konstruksi utamanya adalah batu bata (baik kolom maupun tembok),

pemakaian kayu terutama pada kuda-kudanya, kosen maupun pintunya dan

pemakaian bahan kaca belum banyak dipakai (Handinoto, 2006: 54).

13
A. Gaya Arsitektur Transisi (1890-1915)

Gaya Arsitektur Transisi (1980-1915) menurut Handinoto (2012),

arsitektur transisi di Indonesia berlangsung sangat singkat, arsitektur transisi

berlangsung pada akhir abad ke-19 sampai awal abad ke-20 antara tahun 1980

sampai 1915. Peralihan dari abad 19 ke abad 20 di Hindia Belanda dipenuhi oleh

perubahan dalam masyarakatnya. Modernisasi dengan penemuan baru dalam

bidang teknologi dan perubahan sosial akibat dari kebijakan politik pemerintah

kolonial pada saat itu mengakibatkan perubahan bentuk gaya dalam bidang

arsitektur. Perubahan gaya arsitektur pada zaman transisi atau peralihan (antara

tahun 1890-1915) dari gaya arsitektur “Indische Empire” menuju arsitektur

“Kolonial Modern” sering terlupakan (Handinoto, 2012: 20).

Ciri-ciri arsitektur transisi menurut Handinoto (2012), antara lain: denah

masih mengikuti gaya “Indische Empire”, simetri penuh, pemakaian teras keliling

pada denahnya masih dipakai dan ada usaha untuk menghilangkan kolom gaya

Yunani pada tampaknya. Gevel-gevel pada arsitektur Belanda yang terletak di tepi

sungai muncul kembali, ada usaha untuk memberikan kesan romantis pada

tampak dan ada usaha untuk membuat menara (Tower) pada pintu masuk utama,

seperti yang terdapat pada banyak gereja Calvinist di Belanda. Bentuk atap pelana

dan perisai dengan penutup genting masih banyak dipakai dan ada usaha untuk

memakai konstruksi tambahan sebagai ventilasi pada atap (Dormer), (Handinoto.

2012: 24).

Karakter Arsitektur Transisi (1980-1915) menurut Handinoto (2006),

arsitektur transisi memiliki konstruksi atap pelana dan perisai, penutup atap

14
genting, pemakaian ventilasi pada atap (Dormer), bentuk atap tinggi dengan

kemiringan besar antara 45°-60°, penggunaan bentuk lengkung, kolom order

Yunani sudah mulai ditinggalkan, kolom-kolom sudah memakai kayu dan beton,

dinding, pemikul, bahan bangunan utama bata dan kayu dan pemakaian kaca

(terutama pada jendela) masih sangat terbatas (Handinoto, 2006: 60).

B. Gaya Arsitektur Kolonial Modern (1915-1940)

Gaya Arsitektur Kolonial Modern (1915-1940) Menurut Handinoto

(1993), arsitektur modern merupakan sebuah protes yang dilontarkan oleh

Arsitek-arsitek Belanda sesudah tahun 1900 atas gaya Empire Style. Arsitek

Belanda yang berpendidikan akademis mulai berdatangan ke Hindia Belanda,

mereka mendapatkan suatu gaya arsitektur yang cukup asing, karena gaya

arsitektur Empire Style yang berkembang di Perancis tidak mendapatkan

sambutan di Belanda (Handinoto, 1933: 33).

Arsitektur Modern memiliki ciri-ciri denah lebih bervariasi, sesuai dengan

anjuran kreatifitas dalam arsitektur modern. Bentuk simetri banyak dihindari,

pemakaian teras keliling bangunan sudah tidak dipakai lagi, sebagai gantinya

sering dipakai elemen penahan sinar. Berusaha untuk menghilangkan kesan

tampak arsitektur gaya “Indische Empire” (tampak tidak simetri lagi), tampak

bangunan lebih mencerminkan “Form Follow Function” atau “Clean Desain”.

Bentuk atap masih didominasi oleh atap pelana atau perisai, dengan bahan

penutup genting atau sirap. Sebagian bangunan dengan konstruksi beton,

memakai atap datar dari bahan beton yang belum pernah ada pada zaman

sebelumnya.

15
Fitur yang membentuk dan membedakan sebuah individu. Karakter dapat

dipahami sebagai satu atau sejumlah ciri khas yang terdapat pada individu atau

kelompok tertentu yang dapat digunakan untuk membedakan individu atau

kelompok tersebut dari individu atau kelompok lainnya. Karakter dari sebuah

objek arsitektur merupakan keberagaman atau kekhasan yang tersusun menjadi

ciri-ciri objek arsitektural atau susunan elemen dasar yang terangkai sehingga

membuat objek tersebut mempunyai kualitas atau kekhasan yang membedakan

dengan objek lain (Fajarwati, 2011: 67).

Karakter Arsitektur Kolonial Modern (1915-1940). Karakter visual

Arsitektur kolonial modern menurut Handinoto (2006), antara lain: menggunakan

atap datar dari bahan beton, pemakaian gevel horizontal, mulai menggunakan besi

cor, sudah mulai memakai bahan kaca dalam jumlah yang besar, penggunaan

warna putih yang dominan, dinding hanya berfungsi sebagai penutup dan

penggunaan kaca (terutama pada jendela yang cukup lebar), (Handinoto, 2006:

59).

Aliran arsitektur modern sepenuhnya berpusat ke Eropa dengan

penyesuaian terhadap teknologi dan iklim setempat. Gaya ini disebut juga nieuwe

Bouwen yang merupakan penganut dari international style. Adapun ciri-cirinya

antara lain: penggunaan warna putih yang dominan, atap datar dan menggunakan

gevel horizontal, volume bangunan berbentuk kubus, elemen dekoratif bangunan

berbentuk prismatic geometric, bukan lagi hiasan ukir-ukiran yang rumit, skala

bangunan lebih manusiawi, tidak terlalu tinggi, konsep ruang tidak kaku, dan

sirkulasi lebih dinamis (Handinoto, 1996: 237).

16
Gaya Desain Arsitektur

A. Art and Craft

Gaya Art and Craft berawal dari pemikiran arsitek William Morris (1834-

1896) yang melakukan reformasi desain untuk kembali ke pekerjaan tangan dan

menggunakan material secara jujur dan terkendali. Adapun ciri-cirinya yaitu:

detail-detail interior yang diekspos mencerminkan penggunaan material secara

jujur, menunjukkan artistik detail dekoratif (Pile, 2003: 99).

B. Art Nouveau

Art Nouveau berasal dari nama sebuah galeri desain interior di Paris yang

dibuka tahun 1896. Ciri-cirinya antara lain: anti historis dan menampilkan gaya-

gaya yang belum ada sebelumnya, menggunakan bahan-bahan modern yaitu besi

dan kaca warna-warni yang kemudian dikenal dengan nama stained glass, elemen

dekoratif menggunakan unsur alam dan bentuk organik yang diterapkan pada

lantai, dinding, plafon, bahkan kolom dan railing tangga, kolom berbentuk

geometris dan didominasi bentuk garis kurva pada kolom dan ornamen lainnya,

lantai menggunakan material kayu yang kemudian ditutup oleh karpet dengan

motif floral, menggunakan perabot built-in sistem tanam pada dinding, juga mebel

produk massal, dan warna pastel (Pile, 2003: 226-228).

C. Art Deco

Awal mula gaya Art Deco berkembang pada tahun 1910-1930. Gaya Art

Deco merupakan adaptasi dari bentuk historism ke bentuk modern. Ciri-cirinya

antara lain: pro historis yaitu menggunakan benda-benda yang ada hubungannya

dengan sejarah, menggunakan bahan-bahan logam, kaca, cermin, kayu, dan lain-

17
lain, memperlihatkan aspek seni berbentuk Cubism yang mengutamakan

geometris dan streamline (terlihat langsing dan kurus), lantai di dominasi dengan

bahan teraso, keramik sintetis, parquet dan karpet bermotif patra geometris dan

diberi border, bersudut tegas, zig-zag atau berundak yang merupakan simbol dari

dunia modern, dan plafon ekspos balok kayu vertikal dan horizontal dengan detail

pada pusat plafon.

D. Amsterdam School

Amsterdam School yang merupakan kelanjutan dari aliran Art Nouveau,

lahir pada tahun 1912. Amsterdam School mengambil ide-ide arsitektur modern

Eropa kemudian ditransfer ke Indonesia. Elemen-elemen tradisional setempat juga

diterapkan pada bentuk arsitekturnya. Hal ini menyebabkan gaya arsitektur

kolonial di Indonesia mempunyai ciri khusus yang tidak sama dengan arsitektur

yang ada di Belanda. Karakteristik gaya Amsterdam School menurut Handinoto

antara lain: bentuk denah atau layout simetris, memiliki galeri keliling yang

berfungsi sebagai tampias hujan dan sinar matahari, berdinding tebal, plafon

tinggi, atap perisai, memiliki beranda depan dan belakang yang terbuka luas,

lantai terbuat dari material marmer, menggunakan desain vernacular barat

(Handinoto, 1996: 157).

E. De Stijl

De Stijl merupakan gaya yang muncul dari gabungan seniman, arsitek dan

desainer pada tahun 1917 sesudah gaya Art and Craft. Latar belakang munculnya

gaya De Stijl mewakili semangat zaman dan reformasi seni untuk menciptakan hal

baru yakni gaya internasional dalam semangat perdamaian dan keserasian (Pile,

18
2000: 270). Pengikut gaya ini diantaranya Piet Mondrian, Theo Van Doesburg,

dan Gerrit Rietveld yang merupakan desainer De stijl yang paling terkenal dengan

pahatan konstruktivisme dan perabot abstrak geometrisnya (Pile, 2003: 111).

Secara keseluruhan, ciri-ciri gaya De Stijl yaitu dipengaruhi oleh bentuk kubisme,

bentuk tiga dimensi abstrak geometris dengan adanya susunan diagonal, railing

tangga dan balkon berbentuk pipa, menggunakan material modern, yaitu beton,

baja, alumunium dan kaca, dan warna-warna primer, hitam dan putih (Pile, 2000:

270).

Teori yang digunakan dalam kajian ini adalah teori arsitektur modern,

arsitektur modern merupakan kebaikan dari arsitektur klasik. Arsitektur modern

lebih fokus pada pengolahan ruang sebagai objek utama dan terlihat lebih

sederhana. Arsitektur modern menekankan pada prinsip fungsional dan efisien.

Fungsional berarti bangunan harus mampu menampung semua aktivitas di dalam

bangunan dan efisien lebih diterapkan pada efisien waktu, biaya, dan

maintenance. Arsitektur modern dimulai dengan adanya pengaruh Art Nouveau

yang banyak menampilkan keindahan plastisitas alam, dilanjutkan dengan

pengaruh Art Deco yang lebih mengekspresikan kekaguman manusia terhadap

kemajuan teknologi (Mulyadi, 2018 : 25). Pada penelitian ini yang akan dibahas

adalah ―Arsitektur Modern‖.

19
1.7 Alur Pemikiran

Gereja Katolik Paroki


Kota Jambi

Gaya Bangunan Fungsi Bangunan

-Deskripsi Bangunan
-Pembagian Bangunan
(Interior & Eksterior)

Analisis

Kesimpulan

Interpretasi

Bagan 1. Alur Pemikiran


(Sumber: Penulis, 2022)

20
1.8 Metode Penelitian

Penalaran yang digunakan pada penelitian ini adalah penalaran induktif,

dalam hal ini dilakukan untuk mencari gaya arsitektur kolonial yang terdapat pada

gereja dari bentuk bangunan. Pada skripsi ini jenis penelitian yang digunakan

adalah kualitatif, dengan menguraikan ciri-ciri bentuk bangunan gereja untuk

menjelaskan gaya. Penelitian ini dilakukan dengan menerapkan tiga tahapan

dalam penelitian arkeologi yaitu pengumpulan data, pengolahan data dan analisis

data. Oleh karena itu penelitian ini menitikberatkan pada gaya bangunan gereja

pada situs tersebut. Adapun tahapan yang dilakukan pada penelitian ini adalah:

1.8.1 Pengumpulan Data

a. Data Primer

Data primer dalam penelitian ini yaitu observasi langsung kelapangan

dengan cara melakukan pengamatan dan merekam data dokumentasi dan ukuran,

dari bangunan Gereja Katolik Santa Teresia Paroki Kota Jambi. Pendataan ini

menentukan titik koordinat, pengambilan data dokumentasi di setiap bangunan

dan melakukan penggambaran. Data Primer ini juga menggunakan wawancara

yang dilakukan dengan bapak Sugeng selaku secretariat gereja.

b. Data Sekunder

Data Sekunder yaitu meliputi kajian pustaka yang diperoleh dari buku,

jurnal, laporan penelitian, skripsi maupun tesis yang berkaitan dengan objek

kajian dan topik penelitian, tidak hanya berupa hasil penelitian saja melainkan

juga mengambil data peta, gambar atau foto-foto terkait dengan bangunan Gereja

21
Katolik Santa teresia Paroki Kota Jambi. Dengan demikian penulis memperoleh

data pustaka berupa :

a. Foto lama Gereja Katolik Santa Teresia Paroki Kota Jambi

b. Laporan penelitian mengenai gaya bangunan Gereja

c. Berbagai tulisan mengenai arsitektur Gereja di berbagai wilayah Indonesia

1.8.2 Pengolahan Data

Pengolahan data primer dan data sekunder ini juga dilakukan dengan

melihat bentuk serta kelengkapan komponen dari setiap bangunan gereja yang

akan diklasifikasikan dalam beberapa komponen serta melakukan pengamatan

pada lingkungan sekitar gereja begitu juga dengan melihat keletakan gereja itu

sendiri secara keseluruhan, berupa tinjauan pustaka dari buku, artikel, jurnal

ilmiah dan laporan penelitian.

1. Deskripsi Morfologi

Identifikasi morfologi dilakukan dengan melakukan deskripsi terhadap bangunan

gereja dari segi bentuk dan ukuran bangunan gereja, yang kemudian akan dilihat

bagaimana bentuk dan kondisi terkini pada bangunan gereja.

2. Identifikasi Lingkungan

Identifikasi lingkungan dilakukan dengan pengamatan serta melihat bagaimana

kondisi lingkungan terhadap bangunan gereja yang mempengaruhi penempatan

gereja.

1.8.3 Analisis Data

Analisis data menggunakan analisis morfologi yaitu analisis bentuk

bangunan gereja. Pada tahap ini akan dilakukan juga analisis terhadap komponen

22
keaslian gereja pada bagian atau komponen mana saja yang masih terjaga

keasliannya. Selain analisis morfologi akan dilakukan analisis gaya bangunan

gereja. Gaya apa yang terpresentasi dari bangunan gereja ini. Gaya bangunan

dikenali berdasarkan sifat fisik yang terlihat pada komponen bangunan. Analisis

gaya pada bangunan ini bertujuan untuk mengenali komponen gaya yang diteliti.

1.8.4 Komparatif

Penelitian ini bersifat membandingkan persamaan apa saja bentuk dan

bahan yang digunakan pada bangunan-bangunan lainnya, sehingga dapat

dilakukan pengamatan terhadap gaya arsitektur yang terdapat pada Gereja Katolik

Santa Teresia Paroki Kota Jambi.

1.8.5 Kesimpulan

Penarikan kesimpulan dalam skripsi ini didapat dari analisis bentuk pada

bangunan gereja ini, untuk menjelaskan gaya bangunan yang terdapat pada Gereja

Katolik Santa Teresia Paroki Kota Jambi.

1.8.6 Interpretasi

Tahap interpretasi pada penelitian ini dilakukan untuk meningkatkan

pemahaman, penggunaan data, dan mengurangi salah tafsir terhadap apa yang

diperoleh dari hasil analisis gaya arsitektur pada Gereja Katolik Santa Teresia

Paroki Kota Jambi.

23
1.9 Alur Penelitian

Gereja Katolik
Paroki
Kota Jambi

Pengumpulan
Data

Data Primer Data Sekunder

Jurnal, Skripsi,
Observasi Laporan Penelitian,
wawancara, DLL

Pengolahan Data
Primer & Sekunder

Analisis Morfologi &


Gaya

Kesimpulan

Interpretasi

Bagan 2. Alur Penelitian


(Sumber : Penulis 2021).

24

Anda mungkin juga menyukai