Anda di halaman 1dari 14

Arsitektur Kolonial Belanda

Pada masa penjajahan Belanda, Indonesia mengalami pengaruh Occidental


(Barat) dalam berbagai segi kehidupan termasuk dalam tata kota dan bangunan. Para
pengelola kota dan arsitek Belanda banyak menerapkan konsep lokal atau tradisional
Belanda didalam perencanaan dan pengembangan kota, permukiman dan bangunan-
bangunan.

Adanya pencampuran budaya, membuat arsitektur kolonial di Indonesia menjadi


fenomena budaya yang unik. Arsitektur kolonial di berbagai tempat di Indonesia
apabila diteliti lebih jauh, mempunyai perbedaan-perbedaan dan ciri tersendiri antara
tempat yang satu dengan yang lain.

Arsitektur kolonial sendiri merupakan arsitektur yang dibangun selama masa


kolonial, ketika Indonesia menjadi negara jajahan bangsa Belanda pada tahun 1600-
1942, yaitu 350 tahun penjajahan Belanda di Indonesia.

Gaya desain Kolonial adalah gaya desain yang berkembang di beberapa negara
di Eropa dan Amerika. Dengan ditemukannya benua Amerika sekitar abad 15-16,
menambah motivasi orang-orang Eropa untuk menaklukkan dan menetap pada “dunia
baru”, yaitu daerah yang mereka datangi dan akhirnya dijadikan daerah jajahan.
Motivasi mereka menjelajah samudra bervariasi, dari meningkatkan taraf hidup
sampai membawa misi untuk menyebarkan agama. Selain itu juga tersimpan sedikit
hasrat untuk memperoleh pengalaman dan petualangan baru.

Arsitektur kolonial menyiratkan adanya akulturasi diiringi oleh proses adaptasi


antara dua bangsa berbeda. Proses adaptasi yang dialami oleh dua bangsa terbentuk
dengan apa yang dinamakan arsitektur kolonial. Hal ini mencakup penyelesaian
masalah-masalah yang berhubungan dengan perbedaan iklim, ketersediaan material,
cara membangun, ketersediaan tenaga kerja, dan seni budaya yang terkait dengan
estetika. Ditinjau dari proses akulturasi yang terjadi, terdapat dua faktor yang
mempengaruhi terbentuknya arsitektur kolonial Belanda, yaitu faktor budaya
setempat dan faktor budaya asing Eropa atau Belanda.
Arsitektur kolonial lebih banyak mengadopsi gaya neo-klasik, yakni gaya yang
berorientasi pada gaya arsitektur klasik Yunani dan Romawi. Ciri menonjol terletak
pada bentuk dasar bangunan dengan trap-trap tangga naik (cripedoma). Kolom-kolom
dorik, ionik dan corinthian dengan berbagai bentuk ornamen pada kapitalnya. Bentuk
pedimen, yakni bentuk segi tiga berisi relife mitos Yunani atau Romawi di atas
deretan kolom. Bentuk-bentuk tympanum (konstruksi dinding berbentuk segi tiga
atau setengah lingkaran) diletakkan di atas pintu dan jendela berfungsi sebagai
hiasan.

Arsitektur kolonial merupakan arsitektur yang memadukan antara budaya Barat


dan Timur. Arsitektur ini hadir melalui karya arsitek Belanda dan diperuntukkan bagi
bangsa Belanda yang tinggal di Indonesia, pada masa sebelum kemerdekaan.
Arsitektur yang hadir pada awal masa setelah kemerdekaan sedikit banyak
dipengaruhi oleh arsitektur kolonial disamping itu juga adanya pengaruh dari
keinginan para arsitek untuk berbeda dari arsitektur kolonial yang sudah ada.

Arsitektur klonial Belanda adalah gaya desain yang cukup popular di Netherland
tahun 1624-1820. Ciri-cirinya yakni fasad simetris, material dari batu bata atau kayu
tanpa pelapis, entrance mempunyai dua daun pintu, pintu masuk terletak di samping
bangunan, denah simetris, jendela besar berbingkai kayu, terdapat dormer (bukaan
pada atap).

Arsitektur kolonial adalah arsitektur cangkokan dari negeri induknya Eropa


kedaerah jajahannya, Arsitektur kolonial Belanda adalah arsitektur Belanda yang
dikembangkan di Indonesia, selama Indonesia masih dalam kekuasaan Belanda
sekitar awal abad 17 sampai tahun 1942.

Eko Budihardjo, menjelaskan arsitektur kolonial Belanda adalah bangunan


peninggalan pemerintah kolonial Belanda seperti benteng Vastenburg, Bank
Indonesia di Surakarta dan masih banyak lagi termasuk bangunan yang ada di
Karaton Surakarta dan Puri Mangkunegaran.
Kartono, mengatakan bahwa sistem budaya, sistem sosial, dan sistem teknologi
dapat mempengaruhi wujud arsitektur. Perubahan wujud arsitektur dipengaruhi oleh
banyak aspek, akan tetapi perubahan salah satu aspek saja dalam kehidupan
masyarakat dapat mempengaruhi wujud arsitektur.

Arsitektur kolonial Belanda merupakan bangunan peninggalan pemerintah


Belada dan bagian kebudayaan bangsa Indonesia yang merupakan aset besar dalam
perjalanan sejarah bangsa.

2.1.2 Karakteristik Arsitektur

Model bangunan kolonial banyak dijumpai di berbagai kota di Indonesia


khususnya di kota-kota yang pernah dijajah oleh Belanda seperti Surabaya, Jakarta,
Yogyakarta, Semarang , Malang dan lainnya. Model bangunan berarsitektur kolonial
ini disebut juga dengan The Empire Style/The Dutch Colonial. Model bangunan
tersebut tidak hanya dijumpai pada bangunan hunian saja tetapi juga pada model
bangunan pemerintahan seperti kantor, stasiun, rumah peribadatan, contohnya yaitu
Museum Fatahillah Jakarta, Stasiun Kota Jakarta, Museum bank Mandiri Jakarta, dan
Gedung Sate Bandung.

Gambar 1: Museum Fatahillah

12
Keberadaan bangunan berarsitektur kolonial ini merupakan salah satu konsep
perencanaan kota kolonial yang dibangun oleh Hindia Belanda yaitu perpaduan
model bangunan Belanda dengan teknologi bangunan daerah tropis.

Model bangunan berarsitektur Kolonial ini memiliki kekhasan bentuk bangunan


terutama pada fasade bangunannya. Diantara ciri-ciri bangunan Kolonial yaitu:

Penggunaan gewel (gable) pada fasade bangunan yang biasanya berbentuk


segitiga.

Gambar 2: Berbagai Variasi Bentuk Gawel

13

Sumber : American Design 1870-1940 dalam Handinoto, 1996: 167

Penggunaan tower pada bangunan.

Penggunaan dormer pada atap bangunan yaitu model jendela atau bukaan lain
yang letaknya di atap dan mempunyai atap tersendiri.
Gambar 2: Berbagai Bentuk Dormer

Sumber : American Vernacular Design dalam Handinoto, 1996: 176

Model denah yang simetris dengan satu lantai atas.

Model atap yang terbuka dan kemiringan tajam.

Mempunyai pilar di serambi depan dan belakang yang menjulang ke atas


bergaya Yunani.

Penggunaan skala bangunan yang tinggi sehingga berkesan megah.

Model jendela yang lebar dan berbentuk kupu tarung (dengan dua daun jendela),
dan tanpa overstek (sosoran).

Model bangunan kolonial tersebut banyak dijumpai sampai saat ini, tetapi yang
terawat hanya sebagian dan sebagian yang lain hampir musnah dimakan jaman,
bahkan terlantar karena ditinggalkan pemiliknya. Diantara model bangunan-bangunan
kolonial tersebut banyak bangunan kolonial yang memiliki nilai sejarah/historis
tinggi. Maka dari itu, bangunan tersebut harus dipertahankan dan dipelihara
keberadaannya karena merupakan salah satu asset peninggalan yang bisa menjadi
bukti sejarah bagi bangsa Indonesia. Oleh karena itu dengan dikeluarkannya
peraturan tentang konservasi terhadap bangunan yang bersejarah, diharapkan
bangunan tersebut tidak tergusur oleh jaman.

2.1.3 Aspek Arsitektur

Widyati, mengklasifikasikan arsitektur bangunan bersejarah yang tidak akan


terlepas dari fungsi, material dan style atau gaya. Hal ini diperkuat oleh teori Barry
yang menekankan pada empat komponen utama yang perlu analisis atau diteliti studi
terhadap fasade bangunan yaitu: pattern, alligment, size dan shape dalam melakukan
klasifikasi arsitektur bersejarah.
Dalam bahasan selanjutnya komponen yang dapat digunakan untuk
membandingkan arsitektur bangunan kolonial Belanda di Makassar dengan dasar-
dasar teori yang ada, dengan mengambil pendapat beberapa pakar, atau arsitektur
kolonial Belanda dapat diperoleh melalui studi pustaka.

Handinoto menyebutkan bahwa hal-hal pokok yang perlu dibahas dalam


arsitektur kolonial Belanda adalah sebagai berikut:

Periodesasi

Handinoto, membagi periodisasi perkembangan arsitektur kolonial Belanda di


Indonesia dari abad ke 16 sampai tahun 1940-an menjadi empat bagian, yaitu:

Abad 16 sampai tahun 1800-an

Pada waktu ini Indonesia masih disebut sebagai Nederland Indische (Hindia
Belanda) di bawah kekuasaan perusahaan dagang Belanda yang bernama VOC
(Vereenigde Oost Indische Compagnie). Selama periode ini arsitektur kolonial
Belanda kehilangan orientasinya pada bangunan tradisional di Belanda serta tidak
mempunyai suatu orientasi bentuk yang jelas. Yang lebih buruk lagi, bangunan-
bangunan tersebut tidak diusahakan untuk beradaptasi dengan iklim dan lingkungan
setempat.

Tahun 1800-an sampai tahun 1902

Ketika pemerintah Belanda mengambil alih Hindia Belanda dari perusahaan


dagang VOC. Setelah pemerintahan Inggris yang singkat pada tahun 1811-1815.
Hindia Belanda kemudian sepenuhnya dikuasai oleh Belanda. Indonesia waktu itu
diperintah dengan tujuan untuk memperkuat kedudukan ekonomi negeri Belanda.
Oleh sebab itu, Belanda pada abad ke-19 harus memperkuat statusnya sebagai kaum
kolonialis dengan membangun gedung-gedung yang berkesan grandeur (megah).
Bangunan gedung dengan gaya megah ini dipinjam dari gaya arsitektur neo-klasik
yang sebenarnya berlainan dengan gaya arsitektur nasional Belanda waktu itu.
Tahun 1902-1920-an

Antara tahun 1902 kaum liberal di negeri Belanda mendesak apa yang
dinamakan politik etis untuk diterapkan di tanah jajahan. Sejak itu, pemukiman orang
Belanda tumbuh dengan cepat. Dengan adanya suasana tersebut, maka “indische
architectuur” menjadi terdesak dan hilang. Sebagai gantinya, muncul standar
arsitektur yang berorientasi ke Belanda. Pada 20 tahun pertama inilah terlihat gaya
arsitektur modern yang berorientasi ke negeri Belanda.

Tahun 1920 sampai tahun 1940-an

Pada tahun ini muncul gerakan pembaruan dalam arsitektur, baik nasional
maupun internasional di Belanda yang kemudian mempengaruhi arsitektur kolonial di
Indonesia. Hanya saja arsitektur baru tersebut kadang-kadang diikuti secara langsung,
tetapi kadang-kadang juga muncul gaya yang disebut sebagai ekletisisme (gaya
campuran). Pada masa tersebut muncul arsitek Belanda yang memandang perlu untuk
memberi ciri khas pada arsitektur Hindia Belanda. Mereka ini menggunakan
kebudayaan arsitektur tradisional Indonesia sebagai sumber pengembangannya.

Gaya bangunan

Gaya berasal dari bahasa Latin stilus yang artinya alat bantu tulis, yang
maksudnya tulisan tangan menunjukan dan mengekspresikan karakter individu.
Dengan melihat tulisan tangan seseorang, dapat diketahui siapa penulisnya. Gaya bisa
dipelajari karena sifatnya yang publik dan sosial Wardani.

Gaya desain ini timbul dari keinginan dan usaha orang Eropa untuk menciptakan
negara jajahan seperti negara asal mereka. Pada kenyataannya, desain tidak sesuai
dengan bentuk aslinya karena iklim berbeda, material kurang tersedia, teknik di
negara jajahan, dan kekurangan lainnya. Akhirnya, diperoleh bentuk modifikasi yang
menyerupai desain di negara mereka, kemudian gaya ini disebut gaya kolonial.
Gaya atau langgam adalah suatu hal yang tampak dan mudah dikenali dalam
desain arsitektur, seperti bentuk (wujud), tampak, elemen-elemen dan ornamen yang
biasa menyertainya.

Bentuk

Arti kata bentuk secara umum, menunjukkan suatu kenyataan jumlah, tetapi
tetap merupakan suatu konsep yang berhubungan. Juga disebutkan sebagai dasar
pengertian kita mengenai realita dan seni.dalam arsitektur, arti kata bentuk
mempunyai pengertian berbeda-beda, sesuai dengan pandangan dan pemikiran
pengamatnya.

Bentuk adalah wujud dari organisasi ruang yang merupakan hasil dari suatu
proses pemikiran. Proses didasarkan atas pertimbangan fungsi dan usaha pernyataan
diri (ekspresi). Menurut Mies van der Rohe, bentuk adalah wujud dari penyelesaian
akhir dari konstruksi yang pengertiannya sama. Benjemin Handler mengatakan,
bentuk adalah wujud keseluruahan dari fungsi-fungsi yang bekerja secara bersamaan,
yang hasilnya merupakan susunan suatu bentuk.

Bentuk merupakan ekspresi fisik yang berupa wujud dapat diukur dan
berkarakter karena memeilki tekstur berupa tampak baik berupa tampak tiga dimensi
maupun tampak dua dimensi.

Fasade/Tampak bangunan

Fasade bangunan merupakan elemen arsitektur terpenting yang mampu


menyuarakan fungsi dan makna sebuah bangunan.

Akar kata fasad diambil dari kata latin facies yang merupakan sinonim dari face
(wajah) dan appearance (penampilan). Oleh karena itu, membicarakan wajah sebuah
bangunan, yaitu fasade, yang kita maksudkan adalah bagian depan yang menghadap
jalan.
Krier mengungkapkan bahwa fasade adalah representasi atau ekspresi dari
berbagai aspek yang muncul dan dapat diamati secara visual. Dalam konteks
arsitektur kota, fasade bangunan tidak hanya bersifat dua dimensi saja akan tetapi
bersifat tiga dimensi yang dapat merepresentasikan masing-masing bangunan tersebut
dalam kepentingan public kota atau sebaliknya. Untuk itu komponen fasade bangunan
yang diamati meliputi

Selanjutnya menurut Krier, wajah bangunan juga menceritakan dan


mencerminkan kepribadian penghuni bangunannya, memberikan semacam identits
kolektif sebagai suatu komunitas bagi mereka, dan pada puncaknya merupakan
representasi komunitas tersebut dalam publik. Aspek penting dalam wajah bangunan
adalah pembuatan semacam pembedaan antara elemen horizontal dan vertikal,
dimana proporsi elemen tersebut harus sesuai terhadap keseluruhannya.

Elemen arsitektur

Pengaruh budaya barat terlihat pada pilar-pilar besar, mengingatkan kita pada
bentuk arsitektur klasik Yunani dan Romawi. Pintu termasuk terletak tepat ditengah,
diapit dengan jendela-jendela besar pada kedua sisinya. Bangunan bergaya kolonial
adalah manifestasi dari nilai-nilai budaya yang ditampilkan bentuk atap, dinding,
pintu, dan jendela serta bentuk ornamen dengan kualitas tinggi sebagai elemen
penghias gedung.

Elemen-elemen pendukung wajah bangunan menurut Krier, antara lain adalah


sebagai berikut:

Atap

Jenis atap ada bermacam-macam. Jenis yang sering dijumpai saat ini adalah atap
datar yang terbuat dari beton cor dan atap miring berbentuk perisai ataupun pelana.
Secara umum, atap adalah ruang yang tidak jelas, yang paling sering dikorbankan
untuk tujuan eksploitasi volume bangunan. Atap merupakan mahkota bagi bangunan
yang disangga oleh kaki dan tubuh bangunan, bukti dan fungsinya sebagai
perwujudan kebanggaan dan martabat dari bangunan itu sendiri.
Secara visual, atap merupakan
sebuah akhiran dari wajah
bangunan, yang seringkali disisipi
dengan loteng, sehingga atap
bergerak mundur dari pandangan
mata manusia. Perlunya bagian ini
diperlakukan dari segi fungsi dan
bentuk, berasal dari kenyataan
bangunan memiliki bagian bawah
(alas) yang menyuarakan hubungan
dengan bumi, dan bagian atas yang
memberitahu batas bangunan
berakhir dalam konteks vertikal.

Pintu

Pintu memainkan peranan penting dan sangat menentukan dalam menghasilkan


arah dan makna yang tepat pada suatu ruang. Ukuran umum pintu yang biasa
digunakan adalah perbandingan proporsi 1:2 atau 1:3. ukuran pintu selalu memiliki
makna yang berbeda, misalnya pintu berukuran pendek, digunakan sebagai entrance
ke dalam ruangan yang lebih privat. Skala manusia tidak selalu menjadi patokan
untuk menentukan ukuran sebuah pintu. Contohnya pada sebuah bangunan
monumental, biasanya ukuran dari pintu dan bukaan lainnya disesuaikan dengan
proporsi kawasan sekitarnya.

Posisi pintu ditentukan oleh fungsi ruangan


atau bangunan, bahkan pada batasan-batasan
fungsional yang rumit, yang memiliki keharmonisan
geometris dengan ruang tersebut. Proporsi tinggi
pintu dan ambang datar pintu terhadap bidang-
bidang sisa pada sisi-sisi lubang pintu adalah hal
yang penting untuk diperhatikan. Sebagai suatu
aturan, pengaplikasian sistem proporsi yang
menentukan denah lantai dasar dan tinggi sebuah
bangunan, juga terhadap elemen-elemen pintu dan
jendela. Alternatif lainnya adalah dengan membuat
relung-relung pada dinding atau konsentrasi suatu kelompok bukaan seperti pintu dan
jendela.

Jendela

Jendela dapat membuat orang yang berada di luar bangunan dapat


membayangkan keindahan ruangan-ruangan dibaliknya, begitu pula sebaliknya.
Krier, mengungkapkannya sebagai berikut “dari sisi manapun kita memasukkan
cahaya, kita wajib membuat bukaan untuknya, yang selalu memberikan kita
pandangan ke langit yang bebas, dan puncak bukaan tersebut tidak boleh terlalu
rendah, karena kita harus melihat cahaya dengan mata kita, dan bukanlah dengan
tumit kita: selain ketidaknyamanan, yaitu jika seseorang berada di antara sesuatu dan
jendela, cahaya akan terperangkap, dan seluruh bagian dari sisa ruangan akan gelap”
Pada beberapa masa,
evaluasi dan makna dari
tingkat-tingkat tertentu
diaplikasikan pada
rancangan jendelanya.
Susunan pada bangunan-
bangunan ini mewakili
kondisi-kondisi sosial,
karena masing-masing
tingkat dihuni oleh anggota
dari kelas sosial yang
berbeda.

Hal-hal yang harus diperhatikan dalam penyusunan jendela pada wajah


bangunan, antara lain adalah sebagai berikut, proporsi geometris wajah bangunan:

Penataan komposisi, yaitu dengan pembuatan zona wajah bangunan yang


terencana.

Memperhatikan keharmonisan proporsi geometri, jendela memberikan distribusi


pada wajah bangunan, oleh karena itu, salah satu efek atau elemen tertentu tidak
dapat dihilangkan atau bahkan dihilangkan.
Jendela dapat bergabung dalam kelompok-kelompok kecil atau membagi wajah
bangunan dengan elemen-elemen yang hampir terpisah dan membentuk simbol atau
makna tertentu.

Dinding

Keberadaan jendela memang menjadi salah satu unsur penting dalam


pembentukan wajah bangunan bangunan, akan tetapi dinding juga memiliki peranan
yang tidak kalah pentingnya dengan jendela, dalam pembentukan wajah bangunan.
Penataan dinding juga dapat diperlakukan sebagai bagian dari seni pahat sebuah
bangunan, bagian khusus dari bangunan dapat ditonjolkan dengan pengolahan
dinding yang unik, yang bisa
didapatkan dari pemilihan
bahan, ataupun cara finishing
dari dinding itu sendiri, seperti
warna cat, tekstur, dan juga
tekniknya. Permainan
kedalaman dinding juga dapat
digunakan sebagai alat untuk
menonjolkan wajah bangunan.

2.1.4 Aspek non fisik Arsitektur

Tempat dalam arsitektur merupakan wadah yang berfungsi sebagai pendukung


aktifitas penghuninya. Dalam wujud dan bentuk arsitektur tercipta dimensi, ruang
dengan skala dan proporsi yang harmonis akibat dari kekuatan non fisik yang
dihasilkan dari hubungan antara manusia dengan manusia, manusia dengan alam
semesta, dan manusia dengan sang pencipta-Nya. Oleh karena wujud arsitektur dalam
masyarakat tertentu merupakan cerminan yang dipengaruhi oleh aspek sosial budaya
masyarakatnya.

Wujud dalam arsitektur bila di hayati terlihat memeiliki bentuk berbeda-beda


sesuai dengan kekuatan non fisik yang tumbuh dalam masyarakat tersebut, yang
menciptakan sistem sosial budaya, pemerintahan, tingkat pendididkan serta teknologi
terapannya yang semuanya membawa perubahan pada wujud fisik arsitektur. Salah
satu faktor yang sangat berpengaruh adalah sistem sosial budaya.

Sehingga dapat disimpulkan bahwa aspek non fisik tersebut menciptakan


berbagai bentuk, wujud dan fungsi arsitektur akibat nilai sosial, budaya, religi dan
pemerintahan yang berlaku dalam masyarakat tersebut.

Kebudayaan dalam Arsitektur

Kebudayaan selalu senafas dengan jamannya. Ekspresi budaya berupa ilmu


pengetahuan dan seni akan ditentukan oleh patron utama, yaitu ‘penguasa, Soekiman.
Kebudayaan akan mempengaruhi segala sistem kehidupan. Rapoport, menegaskan
pendapatnya bahwa kebudayaan akan mempengaruhi artefak, namun artefak tidak
akan dapat mempengaruhi kebudayaan itu sendiri.

Pendapat lain diutarakan oleh Mangunwijaya, bahwa kebudayaan berkaitan erat


dengan pemikiran dan falsafah hidup. Kebudayaan menyangkut segala aspek
kehidupan, baik itu religi, sistem dan fungsi sosial dan kesemuanya akan berpengaruh
terhadap perkembangan arsitektur.

Kebudayaan kolonial Belanda

Elemen-elemen penyusun bangunan merupakan sebuah simbol yang memiliki


makna tersendiri, dan dapat dipahami dan dipelajari melalui kajian arsitektural.
Soekiman, memperjelas bahwa, orang-orang Belanda, pemilik perkebunan, golongan
priyayi, dan penduduk pribumi yang telah mencapai pendidikan tinggi merupakan
masyarakat papan atas pada saat itu. Mereka ikut serta dalam penyebaran kebudayaan
Belanda, lewat gaya hidup yang serba mewah. Kebijakan pemerintah Belanda
menjadikanbentuk arsitektur hindia Belanda sebagai standar dalam pembangunan
gedung-gedung, baik milik pemerintah maupun swasta. Bentuk tersebut ditiru oleh
mereka yang bersatus sosial cukup baik, terutama para pedagang dari etnis tertentu,
dengan harapan agar memperoleh kesan pada status sosial yang sama dengan para
penguasa dan priyayi.
Bangunan kolonial Belanda juga merupakan bangunan yang tercipta dari
kebudayaan bangsa Belanda, baik secara murni, maupun yang sudah dipadukan
dengan budaya tradisional, dan kondisi lingkungan sekitar. Bangunan kolonial
memiliki makna dan simbol-simbol yang dapat dilihat dari fungsi, bentuk, maupun
gaya arsitekturnya.

Kebijakan pemerintah Hindia Belanda

Revolusi Industri di Eropa. Hal ini secara tidak langsung memberikan dua
pengaruh penting. Pertama, peningkatan kebutuhan bahan mentah, menyebabkan
timbulnya kota-kota adiministratur di Indonesia. Kedua, berkembangnya konsep-
konsep perencaan kota modern yang tercetus sebagai tanggapan atas revolusi industri
Misalnya konsep Garden City oleh Ebeneser Howard. Kesemuanya ini juga
mempengaruhi para arsitek asing dalam berkarya Indonesia.

Politik kulturstelsel menyebabkan berkembangnya sistem perkebunan dengan


komoditi tanaman keras, dan pula dianggap sebagal awal berkembangnya wilayah
pertanian dan kota-kota administratur perkebunan Politik Etis (Etische Politiek).
Politik mempunyai dampak bagi perkembangan perencanaan kota di Indonesia,
dengan dikembangkannya perbaikan kampung kota tahun 1934 Pengembangan
Pranata dan Konstitusi Baru. Terbitnya UU Desentralisasi, Decentralisatie Besluit
Indisehe Staatblad tahun 1905/137, yang mendasari terbentuknya sistem kotapraja
(Staadgemeente) yang bersifat otonom. Hal ini memacu perkembangan konsepsi
perencanaan kota kolonial. Pada pelaksanaan poin 4 (empat) yaitu politik
desentralisasi yang memberikan otoritas kepada daerah dalam pengembangannya,
kota-kota mulai berkembang pesat, salah satu penyebabnya adalah tumbuh dan
berkembangnya perkebunan dan industrialisasi. Akibatnya, penduduk terlalu padat,
keadaan kota semakin buruk, terutama dalam hal sanitasi dan pengadaan air minum.

Anda mungkin juga menyukai