KOLONIAL di INDONESIA
Sejarah Arsitektur Kolonial Belanda di Indonesia merupakan salah satu bagian dari sejarah
perkembangan arsitektur Indonesia. Arsitektur Kolonial di Indonesia menurut Sumalyo
(1993), merupakan fenomena budaya yang unik, karena terjadi percampuran budaya antara
pendatang dengan kebudayaan Indonesia yang beraneka ragam. Pengaruh percampuran
budaya yang dibawa oleh bangsa Belanda pada arsitektur bangunan dan bentuk kota yang ada
di Indonesia merupakan gaya dan konsep arsitektur yang sedang berkembang di benua Eropa
pada masa tersebut. . Gaya arsitektur Kolonial di Indonesia dalam perkembangannya menurut
Handinoto (2012) terbagi menjadi tiga yaitu; Indische Empire style (Abad 18-19); Arsitektur
Transisi (1890-1915) dan Arsitektur Kolonial modern (1915-1940). Pada masa itu, sedang
berkembang aliran – aliran gaya arsitektur yang popular di Belanda (Netherland). Sehingga,
terdapat beberapa aliran gaya arsitektur yang berpengaruh pada perkembangan arstektur
kolonial di Indonesia seperti :
Gaya Neo Klasik (the Indische Empire Style / the Dutch Colonial Villa)
Arsitektur Neoklasik pertama kali diperkenalkan di Indonesia oleh Herman Willen Daendels
saat dia bertugas sebagai Gubernur Jendral Hindia Belanda (1808-1811). Saat itu muncul
gerakan baru neoklasik di Perancis yang disebut dengan “Empire Style”. Jadi saat Daendels
tiba ke Hindia Belanda, ia menerapkan gaya neoklasik tersebut kepada bangunan-bangunan
indisch dan dan menyebutnya dnegan istilah bangunan gaya "Indische Empire Style". Gaya
arsitektur Indische Empire style ini berkembang di Indonesia pada pertengahan abad ke-18
sampai akhir abad ke-19. Awalnya, gaya arsitektur Indische Empire Style muncul di daerah
pinggiran kota Batavia (Jakarta), munsul karena suatu kebudayaan Indische Culture yang
berkembang di Hindia Belanda.
Ciri – Ciri dan Karakteristik Gaya Neo Klasik (Indische Empire Style) :
1. Denah simetris penuh dengan satu lantai atas dan ditutup dengan atap perisai.
2. Menggunakan genting atap yang besar
3. Menggunakan pilar (kolom) yang besar menjulang vertikal
4. Bagian atas pilar bergaya Doric (Yunani atau Romawi), Toksana, Ionic,
Korintia,maupun campuran dari semua gaya.
5. Menggunakan dinding satu bata dengan ketebalan ± 30 cm.
6. Penggunaaan ornamen yang sedikit
7. DInding rumah umunya menggunakan batu bata yang di plester dan di cat putih
8. Pintu dan jendela serta kusen kebanyakan
9. Memiliki langit – langit tinggi
10. Central room yang diapit oleh kamar-kamar di samping kiri dan kanannya.
11. Terkadang terdapat paviliun di samping bangunan utama
Art Deco
Art Deco mulai mucil padaa tahun 1920 -an. Perkembangan Art Deco Belanda di pengaruhi
oleh Art Deco di Hindia Belanda. Perkembangan- perkembangan ini, membuat Art Deco
lebih modern dari gaya – gaya sebelumnya. Ciri khas Art Deco berupa penggunaan warna,
geometri, dan ornamentasi. Art Deco merepresentasikan bangunan yang simetris dan
menampilkan kemajuan teknologi dan kemewahan.
Lawang Sewu merupakan salah satu bangunan landmark di Semarang, Jawa Tengah. Lawang
Sewu dibangun pada tahun 1904 oleh arsitek Cosman Citroen. Dulunya, bangunan ini
merupakan Kantor Pusat Administrasi Kereta Api – NIS (Het Hoofdkantor van de
Netherlands-Indische
Spoorweg Maatschappij). Namun, saat ini sudah dialih fungsikan sebagai museum. Bangunan
ini meiliki tiga lantai dengan 900 pintu. Gaya artdeco dengan bentuk bangunan simetris, hal
ini sangat diperhatikan karena desain bangunannya mengutamakan unsur keseimbangan.