Anda di halaman 1dari 3

KESIMPULAN

Kesimpulan
Pada tahun 1600 hingga 1942 Belanda memasuki kawasan Indonesia yang bermula dengan
organisasi dagang bernama VOC yang sedang dalam keadaan bangkrut. Untuk menanggulangi
hal tersebut agar pemerintahan Belanda tejaga kekayaan dan kemakmurannya maka dibentuklah
kebijakan Cultuurstelsel. Kebijakan tersebut menjadikan lahan produktif yang ada di Indonesia
bertambah luas. Akan tetapi rakyat Indonesia tidak mendapatkan hasil panen sama sekali dari
kegiatan tersebut. Kemudian dikeluarkan UU Agraria untuk menggantikan ketetapan
Cultuurstelsel yang eksploitatif diiringi adanya pengeluaaran UU Gula yang mana merupakan
awal mula dari pembangunan arsitektural kolonial berkembang pesat.selama masa kolonial
tersebut, gaya arsitektu terbagi menjadi tiga aliran, yaitu: Imperium, Indis, dan Nieuwe Bouwen.
Selama abad ke-16 hingga ke-18 arsitektur kolonial belanda seakan mengalami kepudaran
identitas pada bangunan tradisionalnya. Arsitektur kolonial pun seakan kehilangan orientasi dan
tidak menyatu dengan iklim dan lingkungan di wilayah Indonesia. Bangunan-bangunan pada saat
itu seolah tidak mempertimbangkan faktor iklim dan lingkungan sekitarnya.
Pada era 1800 hingga 1902 merupakan gaya arsitektural The Empire Style. Sebenarnya gaya ini
bukanlah gaya yang dibawa langsung dari negeri Belanda. Bahkan gaya ini tidak dikenal di
negeri tersebut. Tetapi karena gaya ini mulai muncul seiring dengan masuknya belanda ke
Indonesia, akhirnya membentuk sebuah gaya arsitektur yang baru dari adanya peleburan. Gaya
ini tidak berasal dari belanda namun tidak pula sepenuhnya merupakan gaya Hindia Belanda saat
itu. Ciri dan bentukan dari gaya ini ialah adanya bentuk simetris pada bangunan serta bentuk
kotak bangunan. Lalu denah bangunan satu lantai dengan atap berbentuk perisai. Adapula ciri
lainnya yaitu pilar bergaya Yunani yang menjulang berbaris pada bagian serambi maupun
belakang bangunan. Serta gevel yang terdapat di atas serambi bangunan.
Bangunan kolonial Belanda masih mengandung unsur art deco pada era 1902-1920. Hal ini dapat
terlihat dari bentukan fasad bangunan yang simetris dan denah bangunan. Selain itu pula pada
bagian atap yang masih menggunakan Dormer dan Ventilasi yang cukup besar guna
memperlancar sirkulasi udara merupakan ciri khas yang menonjol dari arsitektur art deco dan
neo-klasik. Akan tetapi pada era ini gaya arsitektural cenderung menggunakan gaya the imperium
style. Hal ini disebabkan oleh sesuainya gaya imperium pada wilayah nusantara. Setelah gaya
arsitektural the imperium style. Pada era ini pun muncul gaya baru yakni nieuwe indische bouwen
stijl yang mana gaya ini mulai mengadopsi bangunan-bangunan yang berasal dari nusantara.
Di era 1920-1940, lahir beberapa gaya arsitektur seperti art nouveau, art deco, dan nieuwe
bouwen. Pada era tersebut, bangunan di Indonesia secara keseluruhan memiliki ciri khas atap
berbentuk datar, volume kubus, gewel horizontal, serta pewarnaan putih yang dominan. Tokoh-
tokoh yang berperan pada periode ini salah satunya ialah Maclaine Pont, Herman Thomas
Karsten, C.P. Wolf Schoemaker, dan Coesman Citroen.

KESIMPULAN
Dari pembahasan diatas dapat kita simpulkan bahwa :
Setelah Perang Diponegoro yang berakhir pada tahun 1830, pemerintah Belanda
hampir bangkrut karena perang tersebut. Maka dari itu, Terbentuklah cultuurstelsel dan pada
akhirnya digantikan dengan undang-undang agraria dan undang-undang gula. Dengan adanya
undang-undang ini, Indonesia menjadi tempat yang berpotensi untuk investor Belanda. Dan
pada akhirnya orang-orang Eropa mulai tinggal di Indonesia dan membangun infrastruktur
berlandaskan arsitektur Belanda.
Arsitektur kolonial Belanda merupakan gaya arsitektur yang memadukan budaya barat
dan timur. Gaya desain arsitektur ini dibawakan oleh para arsitek Belanda ke Indonesia pada
masa penjajahan yaitu tahun 1596 sampai 1942 dengan maksud membangun gedung-gedung
perkantoran dan tempat tinggal untuk bangsa Belanda yang ada di Nusantara.
Belanda masuk ke Indonesia pada tahun 1600-1942. Bermula dengan
organisasi dagangnya VOC yang pada saat itu mulai bangkrut. Untuk
mengatasi hal tersebut agar pemerintahan Belanda agar tetap kaya dan
makmur maka, mereka membuat kebijakan Cuktuurstelsel. Kebijakan itu
membuat lahan produktif di Indonesia bertambah luas tetapi, rakyat
Indonesia sendiri tidak menerima hasil panen dari kegiatan tersebut.
Setelah itu UU Agraria keluar untuk menggantikan Cultuurstelsel yang
eksploitatif diiringi dengan pengeluaran UU Gula yang dimana UU gula
ini menjadi awal mula pembangunan arsitektur kolonial berkembang
pesat. Selama masa kolonial, gaya arsitektur terbagi menjadi tiga yaitu :
Gaya Imperium, Arsitektur Indis, dan gaya modern Nieuwe Bouwen.
Selama periode 1600 – 1800 pada saat itu, arsitektur kolonial Belanda
seperti kehilangan identitas pada bangunan tradisionalnya. Arsitektur
kolonial Belanda pada saat itu pula, seperti tidak memiliki orientasi atau
identitas bentuk yang jelas pada bangunan-bangunannya. bangunannya
pun tidak menyatu dengan iklim dan lingkungan setempat. Bangunanbangunan
pada saat itu seperti tidak mempertimbangkan mengenai
iklim dan lingkungan sekitarnya.
Pada era 1800 – 1902 merupakan gaya arsitektur The Empire Style. Gaya
arsitektur The Empire Style sebenarnya bukan gaya arsitektur yang
dibawa langsung dari negeri Belanda, melainkan gaya arsitektur ini justru
tidak dikenal di sana. Namun karena gaya arsitektur ini mulai ada dan
muncul seiring dengan masuknya orang-orang Belanda, yang akhirnya
membentuk suatu gaya arsitektur yang baru dari adanya percampuran.
gaya arsitektur The Empire Style bukan merupakan dari Belanda, namun
tidak juga sepenuhnya lahir dari Hindia Belanda saat itu. Ciri bentukan
dari gedung neo-klasik The Empire Style. Ciri pertama, dengan bentuk
bangunan yang simetris dan keseluruhan bangunan berbentuk kotak.
Ciri kedua memiliki denah dengan satu lantai dan simetris. Ciri ketiga,
atap yang digunakan merupakan atap perisai. Ciri keempat, terdapat
pilar-pilar bergaya yunani yang menjulang berjajar baik pada bagian
serambi depan maupun belakang. Ciri kelima, diatas serambi terdapat
gevel juga mahkotanya baik di bagian depan ataupun belakang serambi.

KESIMPULAN
Pada era 1902 hingga 1920 ini bangunan kolonial Belanda masih
memiliki unsur – unsur Art Deco. Hal ini dapat dilihat dari bentukan fasad
dari bangunan yang simetris dan denah bangunan, selain itu terdapat
khas yang menonjol dari arsitektur Art Deco dan Neo-Klasik yaitu pada
bagian atap masih memakai Dormer dan Ventilasi yang cukup besar
guna memperlancar sirkulasi udara di dalam bangunan maupun di luar.
Namun, pada era ini gaya arsitektural cenderung memakai gaya The
Imperium Style, dikarenakan apda era sebelumnya gaya arsitektural ini
masih memulai adaptasi dengan gaya arsitektural pada bangunan yang
ada di nusantara. Sehingga, pada era ini gaya arsitektural The Imperium
Style mulai sesuai dengan bangunan yang berada di nusantara dan iklim
tropis. Setelah gaya arsitektural The Imperium Style, pada era ini juga
mulai menyinggung gaya arsitektural baru yakni Niuewe Indische
Bouwen Stijl, dimana gaya arsitektural ini mulai mengadopsi bangunanbangunan
yang berada di Nusantara. Dapat disimpulkan, bahwa pada
era ini terjadi masa peralihan. Hal ini disebabkan dari gaya arsitektur
kolonial belanda masuk ke Indonesia mulai adaptasi dan mengadopsi
bangunan-bangunan yang berada di nusantara.
Pada arsitektur era 1920-1940 muncul beberapa gaya arsitektur, yaitu art
nouveau, art deco dan nieuwe bouwen. Pada periode ini, gedung di
Indonesia secara keseluruhan memiliki karakteristik atap berbentuk
datar, volume berbentuk kubus, gewel horizontal dan berwarna putih.
Tokoh-toh yang berperan pada periode ini adalah Maclaine Pont,
Herman Thomas Karsten, C.P. Wolf Schoemaker dan Coesman Citroen.

Anda mungkin juga menyukai