Anda di halaman 1dari 21

ARSITEKTR ROEMAH SOENDA KETJIL

APRESIASI BUDAYA

OLEH :
Ida Ayu Putu Padmi Yoni
(20180032199)

FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI


PRODI ARSITEKTUR
UNIVERSITAS NGURAH RAI
2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa. Atas rahmat dan hidayah-
Nya, penulis dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul "Arsitektr Roemah
Soenda Ketjil" dengan tepat waktu.
Makalah disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Apresiasi Budaya.
Selain itu, makalah ini bertujuan menambah wawasan mengenai arsitektur belanda
pada Roemah soenda Ketjil bagi para pembaca dan juga bagi penulis.
Penulis menyadari makalah ini masih jauh dari sempurna. Oleh sebab itu,
saran dan kritik yang membangun diharapkan demi kesempurnaan makalah ini.

Singaraja, 6 Juli 2021

1
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ................................................................................... 1

DAFTAR ISI .................................................................................................. 2

BAB I

PENDAHULUAN .......................................................................................... 3

1.1 Latar Belakang ................................................................................... 3

1.2 Rumusan Masalah .............................................................................. 3

1.3 Tujuan Penulisan ................................................................................ 4

BAB II

TINJAUAN TEORI ....................................................................................... 5

2.1 Gaya Arsitektur Kolonial di Indonesia............................................... 5

2.2 Ciri-Ciri Arsitektur Kolonial ............................................................. 6

2.3 Sejarah Arsitektur Belanda di Bali .................................................... 8

2.4 Contoh Bangunan Kolonial di Bali .................................................. 10

BAB III

HASIL DAN PEMBAHASAN .................................................................... 11

3. 1 Karakteristik Bangunan Kolonial Belanda di Singaraja ................... 11

3. 2 Sejarah Roemah Soenda Ketjil ........................................................ 13

3. 3 Gaya Arsitektur Roemah Soenda Ketjil ........................................... 13

BAB IV

KESIMPULAN DAN SARAN .................................................................... 15

4. 1 Kesimpulan ..................................................................................... 15

4. 2 Saran ............................................................................................... 15

DAFTAR PUSTAKA................................................................................... 16

LAMPIRAN ................................................................................................. 17

2
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG


Arsitektur Belanda di Indonesia sudah ada cukup lama yang dimana
merupakan bagian dari sejarah perkembangan Arsitektur di Indonesia.
Pengaruh percampuran budaya yang dibawa oleh bangsa Belanda pada
arsitektur bangunan dan bentuk kota yang ada di Indonesia merupakan gaya
dan konsep arsitektur yang sedang berkembang di benua Eropa pada masa
tersebut. Arsitektur Kolonial Belanda tersebar luas hampir diseluruh
wilayah Nusantara, khususnya di Bali. Di Bali sendiri, bangsa Belanda
menginjakan kaki di bali lewat konsi perdagangan VOC pada tahun 1840-
an. Kolonialisasi yang dilakukan oleh bangsa Belanda di Indonesia
menghasilkan banyak sekali tinggalan berupa bangunan yang bergaya
arsitektur Kolonial.
Buleleng sebagai ibu kota tempo dulu memiliki banyak bangunan
bergaya belanda. Salah satu bangunan yang bergaya kolonial di Bali yaitu
Roemah Soenda Ketjil yang terletak di Jl. Ngurah Rai, dekat pusat kota
Singaraja. Bangunan tersebut merupakan sebuah rumah bergaya kolonial
yang dulunya merupakan sebuah museum, namun meralih fungsi menjadi
tempat makan. Laporan ini bertujuan untuk mengidentifikasi sejarah, gaya
bangunan, fungsi serta denah pada bangunan Roemah Soenda Ketjil di
Singaraja.

1.2 RUMUSAN MASALAH


Adapun rumusan masalah yang dibuat penulis guna menjadi acuan
dalam memperoleh hasil dari Tugas Apresiasi Budaya yaitu :
a Bagaimana karakteristik bangunan kolonial belanda di singaraja?
b Bagaimana sejarah Roemah Soenda Ketjil?
c Bagaimana gaya arsitektur yang digunakan pada bangunan Roemah
Soenda Ketjil?

3
1.3 TUJUAN PENULISAN
Adapun tujuan penulisan yang dibuat oleh penulis guna menjadi
acuan dalam memperoleh hasil dari Tugas Apresiasi Budaya yaitu :
a Mengetahui karakteristik bangunan kolonial belanda di singaraja
b Mengetahui sejarah Roemah Soenda Ketjil
c Mengetahui gaya arsitektur yang digunakan pada bangunan Roemah
Soenda Ketjil

4
BAB II
TINJAUAN TEORI

2.1 GAYA ARSITEKTUR KOLONIAL DI INDONESIA


Gaya kolonial (Dutch Kolonial) menurut Wardani (2009) adalah
gaya desain yang cukup popular di Belanda (Netherland) tahun 1624-1820.
Gaya desain ini timbul dari keinginan dan usaha orang Eropa untuk
menciptakan daerah jajahan seperti negara asal mereka. Pada kenyataannya,
desain tidak sesuai dengan bentuk aslinya karena perbedaan iklim,
kurangnya ketersediaan material dan perbedaan teknik di negara jajahan.
Akhirnya, diperoleh bentuk modifikasi yang menyerupai desain di negara
mereka.
Gaya arsitektur Kolonial di Indonesia dalam perkembangannya
menurut Handinoto (2012) terbagi menjadi tiga yaitu; Indische Empire style
(Abad 18-19); Arsitektur Transisi (1890-1915) dan Arsitektur Kolonial
modern (1915-1940), dapat dijelaskan sebagai berikut:
a Gaya Arsitektur Indische Empire style (Abad 18-19)
Gaya arsitektur Indische Empire style di Indonesia menurut
Handinoto (2008), diperkenalkan oleh Herman Willen Daendels saat
dia bertugas sebagai Gubernur Jendral Hindia Belanda (1808-1811).
Indische Empire Style (gaya Imperial) adalah suatu gaya arsitektur
yang berkembang pada pertengahan abad ke-18 sampai akhir abad
ke-19. Gaya arsitektur Indische Empire Style pada mulanya muncul
di daerah pinggiran kota Batavia (Jakarta), munculnya gaya tersebut
sebagai akibat dari suatu kebudayaan Indische Culture yang
berkembang di Hindia Belanda.
Indische secara harfiah berarti “Indies” atau Hindia.
Kebudayaan Indische adalah percampuran kebudayaan Eropa,
Indonesia dan sedikit kebudayaan dari orang China peranakan,
Milano dalam Handinoto (2012).

5
b Gaya Arsitektur Kolonial Modern (1915- 1940)
Menurut Handinoto (2012), arsitektur transisi di Indonesia
berlangsung sangat singkat, arsitektur transisi berlangsung pada
akhir abad 19 sampai awal abad 20 antara tahun 1890 sampai 1915.
Peralihan dari abad 19 ke abad 20 di Hindia Belanda dipenuhi oleh
perubahan dalam masyarakatnya. Modernisasi dengan penemuan
baru dalam bidang teknologi dan perubahan sosial akibat dari
kebijakan politik pemerintah kolonial pada saat itu mengakibatkan
perubahan bentuk dan gaya dalam bidang arsitektur. Perubahan gaya
arsitektur pada zaman transisi atau peralihan (antara tahun 1890-
1915) dari gaya arsitektur “Indische Empire” menuju arsitektur
“Kolonial modern” sering terlupakan.
c Gaya Arsitektur Kolonial Modern (1915- 1940)
Menurut Handinoto (1993), arsitektur modern merupakan
sebuah protes yang dilontarkan oleh Arsitek-arsitek Belanda
sesudah tahun 1900 atas gaya Empire Style. Arsitek Belanda yang
berpendidikan akademis mulai berdatangan ke Hindia Belanda,
mereka mendapatkan suatu gaya arsitektur yang cukup asing, karena
gaya arsitektur Empire Style yang berkembang di Perancis tidak
mendapatkan sambutan di Belanda.

2.2 CIRI-CIRI ARSITEKTUR KOLONIAL


Menurut Fajarwati (2011), karakter dari sebuah objek arsitektur
merupakan keberagaman atau kekhasan yang tersusun menjadi ciri-ciri
objek arsitektural atau susunan elemen dasar yang terangkai sehingga
membuat objek tersebut mempunyai kualitas atau kekhasan yang
membedakan dengan objek lain.
a Karakter Arsitektur Indische Empire Style (Abad 18-19)
Mengungkapkan ciri-ciri arsitektur Indische Empire Style
antara lain: Denahnya berbentuk simetris penuh, ditengah terdapat
“central room” yang terdiri dari kamar tidur utama dan kamar tidur
lainnya. “central room” tersebut berhubungan langsung dengan teras

6
depan dan teras belakang (voor galerij dan achter galerij). Teras
tersebut biasanya sangat luas dan diujungnya terdapat barisan kolom
yang bergaya Yunani (Doric, Ionic, Corinthian). Dapur, kamar
mandi/WC, gudang dan daerah service lainnya merupakan bagian
yang terpisah dari bangunan utama dan letaknya ada dibagian
belakang. Kadang-kadang disamping bangunan utama terdapat
paviliun yang digunakan sebagai kamar tidur tamu. Kalau rumah
tersebut berskala besar biasanya terletak pada sebidang tanah yang
luas dengan kebun di depan, samping dan belakang.
Arsitektur Indische Empire Style (Abad 18-19) menurut
Handinoto (2006), memiliki karakter konstruksi atap perisai dengan
penutup atap genting, bahan bangunan konstruksi utamanya adalah
batu bata (baik kolom maupun tembok), pemakaian kayu terutama
pada kuda-kudanya, kosen maupun pintunya dan pemakaian bahan
kaca belum banyak dipakai.
b Karakter Arsitektur Transisi (1890-1915)
Ciri-ciri arsitektur transisi menurut Handinoto (2012), antara
lain: denah masih mengikuti gaya „Indische Empire’, simetri penuh,
pemakaian teras keliling pada denahnya masih dipakai dan ada
usaha untuk menghilangkan kolom gaya Yunani pada tampaknya.
Gevel-gevel pada arsitektur Belanda yang terletak ditepi sungai
muncul kembali, ada usaha untuk memberikan kesan romantis pada
tampak dan ada usaha untuk membuat menara (tower) pada pintu
masuk utama, seperti yang terdapat pada banyak gereja Calvinist di
Belanda. Bentuk atap pelana dan perisai dengan penutup genting
masih banyak dipakai dan ada usaha untuk memakai konstruksi
tambahan sebagai ventilasi pada atap (dormer).
Menurut Handinoto (2006), karakter arsitektur transisi
memiliki konstruksi atap pelana dan perisai, penutup atap genting,
Pemakaian ventilasi pada atap (dormer), bentuk atap tinggi dengan
kemiringan besar antara 450 -600 , Penggunaan bentuk lengkung,
kolom order yunani sudah mulai ditinggalkan, kolom-kolom sudah

7
memakai kayu dan beton, dinding pemikul, Bahan bangunan utama
bata dan kayu dan pemakaian kaca (terutama pada jendela) masih
sangat terbatas.
c Karakter Arsitektur Kolonial Moderen (1915-1940)
Arsitektur Modern memiliki ciri-ciri denah lebih bervariasi,
sesuai dengan anjuran kreatifitas dalam arsitektur modern. Bentuk
simetri banyak dihindari, pemakaian teras keliling bangunan sudah
tidak dipakai lagi, sebagai gantinya sering dipakai elemen penahan
sinar. Berusaha untuk menghilangkan kesan tampak arsitektur gaya
“Indische Empire” ( tampak tidak simetri lagi), tampak bangunan
lebih mencerminkan “Form Follow Function” atau “Clean Design”.
Bentuk atap masih didominasi oleh atap pelana atau perisai, dengan
bahan penutup genting atau sirap. Sebagian bangunan dengan
konstruksi beton, memakai atap datar dari bahan beton yang belum
pernah ada pada jaman sebelumnya.
Karakter visual Arsitektur kolonial moderen (1915-1940)
menurut Handinoto (2006), antara lain: menggunakan atap datar dari
bahan beton, pemakaian gevel horizontal, mulai menggunakan besi
cor, sudah mulai memakai bahan kaca dalam jumlah yang besar,
penggunaan warna putih yang dominan, dinding hanya berfungsi
sebagai penutup dan penggunaan kaca (terutama pada jendela) yang
cukup lebar.

2.3 SEJARAH ARSITEKTUR BELANDA DI BALI


Pengaruh Eropa dan Kolonial di Nusantara juga berimbas ke Bali.
Orang Eropa yang pertama kali menemukan Bali ialah Cornelis de Houtman
dari Belanda pada 1597. Dan belanda melalui kongsi dagangnya VOC
masuk ke Bali pada 1840-an.
Secara umum pengaruh kolonial terhadap konsep arsitektur di Bali
tidak memberikan pengaruh yang berati terutama dalam konsep arsitektur
rumah Bali dan Tempat pemujaan / Pura Hindu di Bali. Pengaruh arsitektur
Kolonial lebih kepada konsep yang berkembang pada bangunan

8
pemerintahan dan bangunan umum yang berkembang dari pengaruh
arsitektur gaya kolonial / Eropa. Arsitektur Belanda banyak menerapkan
konsep lokal atau tradisional dalam perencanaan dan pengembangan kota,
permukiman dan bangunan-bangunan. Adanya pencampuran budaya,
membuat arsitektur kolonial di Indonesia menjadi fenomena budaya yang
unik jika diteliti memiliki perbedaan daerah satu dengan lainnya. Arsitektur
kolonial lebih banyak mengadopsi gaya neo-klasik, yakni gaya yang
berorientasi pada gaya arsitektur klasik Yunani dan Romawi. Ciri menonjol
terletak pada bentuk dasar bangunan dengan trap-trap tangga naik
(cripedoma). Kolom-kolom dorik, ionik dan corinthian dengan berbagai
bentuk ornamen pada kapitalnya. Bentuk pedimen, yakni bentuk segi tiga
berisi relife mitos Yunani atau Romawi di atas deretan kolom. Bentuk-
bentuk tympanum (konstruksi dinding berbentuk segi tiga atau setengah
lingkaran) diletakkan di atas pintu dan jendela berfungsi sebagai hiasan.
1. STRUKTUR DAN KONTRUKSI BANGUNAN
a Penggunaan bahan bangunan yang memanfaatkan kolom/tiang dan
balok beton yang diadopsi untuk perkembangan arsitektur
selanjutnya di Bali.
b Bangunan Kolonial yang berkembang di Bali memiliki struktur
yang simetris dan memiliki kontruksi yang cenderung tinggi dan
kontruksi atap miring.
2. ORNAMEN DAN HIASAN BANGUNAN MASA KOLONIAL
a Penggunaan ornament pada bangunan kolonial dapat dilihat banyak
menampilkan gaya Eropa seperti hiasan kolom atau tiang khas gaya
Romawi.
b Pemanfaatan variasi gawel / gable dan biasanya ada variasi tower
pada bangunan.
c Bentuk-bentuk tympanum (konstruksi dinding berbentuk segi tiga
atau setengah lingkaran) diletakkan di atas pintu dan jendela
berfungsi sebagai hiasan.
d Dari ornamen yang ada dari pengaruh bangunan dikulturasikan
oleh undagi dan seniman Bali dalam bentuk penerapan ukiran yang

9
terinspirasi dari gaya belanda yaitu berupa Patra Ulanda (Ukiran
Patra Belanda).

2.4 CONTOH BANGUNAN KOLONIAL DI BALI


1 Jembatan Buatan Belanda
Salah satu peninggalan belanda selain berupa bangunan,
terdapat juga jembatan yang terletak di daerah Pelabuhan Singaraja.
Gambar 1.
2 K.P.M.-kantoor te Boeleleng
Merupakan salah satu kantor bergaya Belanda yang berada di
Buleleng Bali . Gambar 2.
3 Roemah Soenda Ketjil
Bekas kediaman gubernur Bali dan Lombok pada era Belanda
yang terletak di Jl. Ngurah Rai dekat Tugu Singa Ambara Raja.
Gambar 3.

10
BAB III
HASIL DAN PEMBAHASAN

3. 1 KARAKTERISTIK BANGUNAN KOLONIAL BELANDA DI


SINGARAJA
Karakteristik bangunan kolonial yang ada di Singaraja dapat dilihat
melalui fasadenya. Fasade merupakan elemen arsitektur terpenting yang
mampu menyuarakan fungsi dan makna sebuah bangunan (Krier 1988, 72-
78). Fasade menyampaikan keadaan budaya saat bangunan itu dibangun,
mengungkapkan kriteria tatanan dan penataan, dan berjasa dalam
memberikan kemungkinan dan kreativitas. Fasade berasal dari kata facade
atau facies yang merupakan sinonim dari kata face atau wajah dan
appearance atau penampilan. Oleh karena itu, wajah sebuah bangunan atau
fasade adalah bagian depan yang menghadap ke jalan. Komponen fasade
meliputi pintu masuk, zona lantai dasar, jendela dan pintu masuk bangunan,
atap, serta ornamen lainnya.

Pintu masuk merupakan fasade bagian terluar yang langsung


ditemui ketika mengamati arsitektur sebuah bangunan. Tinggalan kolonial
Belanda di Singaraja umumnya tidak memiliki pintu gerbang. Hal ini
dikarenakan arsitektur kolonial di Singaraja merupakan kantor
pemerintahan dan rumah tinggal dengan ukuran relatif kecil bila
dibandingkan dengan arsitektur kolonial di daerah lain, seperti di Jawa dan
Sumatra.

Arsitektur kolonial di Singaraja terdapat space berupa halaman


terbuka antara jalan dengan bangunan inti. Zona lantai dasar pada bangunan
kolonial di Singaraja umumnya ditinggikan 10-100 cm dari permukaan
tanah sekitarnya. Penggunaan tegel berwarna abuabu umum digunakan
sebagai bahan lantai. Karakteristik pintu dan jendela pada arsitektur
kolonial Belanda di Singaraja umumnya tinggi dan lebar. Arsitek Belanda
mengadaptasi iklim tropis di Indonesia, termasuk di Singaraja, dengan
pemakaian jendela dalam jumlah banyak untuk memanfaatkan pencahayaan

11
alami. Bentuk pintu dan jendela umumnya berupa kupu tarung atau daun
pintu ganda. Pada bagian atas pintu dan jendela terdapat ram dari kaca yang
dibingkai kayu, yang berfungsi untuk memaksimalkan pencahayaan sinar
matahari. Bagian atap pada arsitektur kolonial Belanda sebagian besar
berbentuk limas dengan menggunakan genteng atau seng sebagai bahan
penyusunnya. Kemiringan atap dibuat tajam sehingga langsung
mengalirkan air hujan yang jatuh. Rumah tinggal umumnya menggunakan
kanopi pada atap di bagian serambinya. Beberapa ornamen lain yang ada
pada arsitektur kolonial Belanda di Singaraja berupa ventilasi udara, ram,
menara, dan pilar. Ornamen-ornamen ini merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dari arsitektur. Sebagai contoh, ventilasi udara, selain berfungsi
sebagai hiasan, juga berfungsi untuk sirkulasi udara. Pilar-pilar pada
arsitektur ini umumnya bergaya Romawi, yang selain berfungsi untuk
menopang bangunan, juga berfungsi sebagai penghias bangunan.

Berdasarkan uraian di atas, bangunan kolonial Belanda di Singaraja


memperlihatkan terjadinya “perkawinan” budaya. Pembangunan arsitektur
kolonial Belanda di Singaraja tidak semata-mata meniru langgam arsitektur
induknya di Eropa, tetapi mencoba mengadopsi local genius dari bentuk
arsitektur tradisional. Bentuk langgam Eropa yang megah dipadukan
dengan iklim tropis di Indonesia, khususnya Singaraja, memberikan gaya
baru penampakan Eropa, tetapi mampu menyesuaikan diri terhadap keadaan
iklim di Indonesia. Adaptasi yang dimaksud tampak pada bagian ventilasi
yang dibuat sedemikian rupa dan dalam jumlah banyak dengan tujuan agar
sirkulasi udara yang masuk dapat dimaksimalkan. Untuk tambahan
pencahayaan, bangunan kolonial ini memanfaatkan ukuran pintu dan
jendela. Dari segi materi dan bahan yang digunakan, bangunan kolonial
Belanda di Buleleng menggunakan atap genteng dan seng yang gampang
ditemukan di Singaraja. Ornamen yang ditampilkan pada bagian pilar
memadukan gaya Romawi dan Yunani dengan menyelipkan ornamen khas
Bali.

12
3. 2 SEJARAH ROEMAH SOENDA KETJIL
Roemah Soenda Ketjil terletak di Jl. Ngurah Rai No. 5, Banjar
Tegal, Kec. Buleleng, Kab. Buleleng, Singaraja, Bali. Roemah soenda ketjil
dibangun pada tahun 1912, rumah ini dulunya merupakan rumah jabatan
Residents Soenda Ketjil yang bernama I Goesti Bagoes Oka yang bertugas
membawahi pemerintahan Bali dan Lombok pada tahun 1950 – 1958.
Setahun berikutnya beliau ditunjuk menjadi pejabat gubernur provinsi Bali
yang baru terbentuk saat itu. Jadi dengan kata lain, Roemah Soenda Ketjil
merupakan rumah gubernur I Goesti Bagoes Oka pada era Belanda.

Setelahnya bangunan tersebut pioprasikan kembali pada tahun 2019


sebagai rumah makan yang bernama The Pantry Roemah Soenda Ketcil,
mendapat pelanggan pertamanya pada 10 Januari 2019. Gambar 4.

3. 3 GAYA ARSITEKTUR ROEMAH SOENDA KETJIL


1 Jumlah Lantai
Karakter desain rumah Belanda biasanya tidak terlalu tinggi
dan jarang dibuat bertingkat. Kalaupun dibuat bertingkat, mereka
lebih senang menerapkan bangunan 1,5 lantai, di mana lantai atas
tidak sebesar lantai bawah. Dengan desainnya cenderung stabil,
tradisional, namun mampu memberi kesan yang nyaman. Sama
halnya dengan bangunan Roemah Soenda Ketjil hanya memiliki 1
lantai atau tidak bertingkat. Gambar 5.
2 Luas Halaman
Karena rumah kuno Belanda di Indonesia pada umumnya
dimiliki petinggi atau pejabat, maka tidak heran jika ukurannya pun
dibuat cukup besar. Dengan pertimbangan tersebut, maka ukuran
dari rumah yang mengacu modelnya pada negara kincir angin
memang dibuat besar. Ukuran adalah salah satu ciri khas rumah di
Belanda, karena melambangkan kesejahteraan dan kemapanan
finansial di pemilik. Sama halnya dengan Roemah Soenda Ketjil
yang memiliki ukuran yang luas, dapat dilihat pada bagian halaman

13
depan serta samping kanan (Gambar 6) dan halaman samping kiri
(Gambar 7).
3 Desain yang Elegan dan Klasik
Desain elegan yang klasik sangat penting untuk dibuat dalam
bangunan, baik interior maupun eksteriornya. Pilar-pilar bisa
menambah kemegahan, serta tambahan melankolis dari kombinasi
pintu serta jendelanya. Gambar 8.
4 Pemakaian Teras Keliling Pada Denahnya
Kebanyakan dari rumah atau bangunan belanda memiliki
teras yang mengelilingi bangunan atau denahnya. Hal tersebut
dibuat untuk menghindari masuknya sinar matahari langsung dan
tampias air hujan. Gambar 9.
5 Atap
Bentuk atap tinggi dengan kemiringan besar antara 450 -600
berfungsi untuk memudahkan air hujan turun. Serta bentuk fasad
depan yang memikuti bentuk atap. Gambar 10.
6 Fasad
Pada bagian fasadnya, bangunan tersebut menggunakan
unsur batu alam pada bagian bawah dindingnya, menggunakan
kolom beton, bentuk jendela dan pintu yang tinggi dan lebar dengan
daun ganda, serta tambahan unsur lengkungan pada setiap kolom
semakin menambah unsur kolonial pada bangunan tersebut.
Gambar 11.
7 Penggunaan Tegel pada Lantainya
Umumnya bangunan Belanda ataupun bangunan jaman dulu
di Indonesia menggunakan tegel pada pengalikasian lantainya, sama
seperti di Roemah Soenda Ketjil. Gambar 12.

Dari ciri-ciri diatas, bangunan Roemah Soenda Ketjil masuk


kedalam Arsitektur Transisi (1890-1915)

14
BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN

4. 1 KESIMPULAN
Bangunan kolonial Belanda Roemah Soenda Ketjil merupakan
bangunan peninggalan Belanda yang masih berdiri hingga saat ini, meski
fungsinya berubah-ubah mulai dari rumah gubernur Bali dan Lombok hingga
menjadi rumah makan, keaslian pada bangunan tersebut masih terjaga.
Secara arsitektural, karakteristik bangunan Roemah Soenda Ketjil
banyak menggunakan tegel sebagai bahan penyusun lantai, terdapat halaman
yang luas, pintu dan jendela dibuat lebar dan tinggi dengan daun ganda serta
berjumlah banyak yang berfungsi untuk memaksimalkan pencahayaan alami
yang masuk, bagian atap berbentuk limas dengan kemiringan dibuat tajam
agar air hujan yang turun langsung mengalir ke tanah.
Secara umum, bangunan arsitektur kolonial Belanda di Singaraja
relatif kecil jika dibandingkan dengan bangunan kolonial di daerah lain,
umumnya berfungsi sebagai rumah tinggal atau rumah dinas. Meskipun
demikian, kesan megah dan artistik masih melekat erat pada bangunan-
bangunan tersebut.

4. 2 SARAN
Untuk seluruh pemilik atau pengelola bangunan lama ataupun
bangunan bersejarah lainnya untuk melestarikan bangunan-bangunan
tersebut, agar kelak anak cucu kita dapat juga mempelajari atau menambah
wawasan dari adanya bangunan bersejarah tersebut. Bagi generasi muda tidak
ada salahnya untuk mempelajari sejarah bangunan lama, mempelajari
arsitektur serta material yang digunakan pada bangunan lama.

15
DAFTAR PUSTAKA

Purnomo, H, Waani, J, Wuisang, C. (2017). Gaya & Karakter Visual Arsitektur


Kolonial Belanda Di Kawasan Benteng Oranje Ternate. Media Matrasain,
14, 24-27.
Keling, G. (2016). Tipologi Bangunan Kolonial Belanda Di Singaraja. Forum
Arkeolog, 29, 77-79
Arjana, B. (2018). Jejak Perkembangan Arsitektur Di Bali. Jurnal Anala, 2, 43-46.
Finansialku. “Yuk Intip Model dan Desain Rumah Kolonial Belanda nan Klasik
dan Elegan”, https://www.finansialku.com/desain-rumah-kolonial-
belanda/. Diakses pada 6 Juli 2021

16
LAMPIRAN

Gambar 1. Jembatan Buatan Belanda di Singaraja Sebagai Pelabuhan Kecil pada


Masa Kolonial di Bali
Sumber : google images

Gambar 2. K.P.M.-kantoor te Boeleleng – 1920


Sumber : google images

Gambar 3. Roemah Soenda Ketjil


Sumber : google images

17
Gambar 4. The Pantry : Roemah Soenda Ketcil
Sumber : dokumentasi pribadi

Gambar 5. Roemah Soenda Ketjil dengan 1 Lantai


Sumber : google images

Gambar 6. Halaman Depan dan Samping Kanan Roemah Soenda Ketjil


Sumber : dokumentasi pribadi

18
Gambar 7. Halaman Samping Kiri Roemah Soenda Ketjil
Sumber : dokumentasi pribadi

Gambar 8. Ruang Tengah Roemah Soenda Ketjil


Sumber : google images

Gambar 9. Halaman Samping dan Teras


Sumber : google images

19
Gambar 10. Bagian Depan Roemah Soenda Ketjil
Sumber : dokumentasi pribadi

Gambar 11. Bentuk Pintu dan Fasad Roemah Soenda Ketjil


Sumber : instagram

Gambar 12. PenggunaanTegel pada Roemah Soenda Ketjil


Sumber : instagram

20

Anda mungkin juga menyukai