Anda di halaman 1dari 20

Handep Jurnal Sejarah dan Budaya

Vol. 3, No. 1, Desember 2019, hlm. 55-74

PERKEMBANGAN BUDAYA KOSMOPOLITAN


DI BATAVIA 1905-1942

THE DEVELOPMENT OF COSMOPOLITAN


CULTURE IN BATAVIA CIRCA 1905-1942

G. Andika Ariwibowo
Balai Pelestarian Nilai Budaya Jawa Barat
Jln. Cinambo, No.136, Bandung, Indonesia
andikariwibowo@gmail.com

Diterima tanggal 5 Agustus 2019 Disetujui tanggal 31 Oktober 2019

ABSTRACT
Cosmopolitan can be described as a global citizenship. Giddens said that one of factors
which indicates a cosmopolitan city is the globalization development in various aspects of
people's daily lives. Connectivity has become easier due to the development of communica-
tion, media and transportation since the 19th century that made big cities like Batavia
became the melting pot of various cultures and nations. A cosmopolitan city is characte
rized by the presence of a global cosmopolitan society that comes from various cultural
backgrounds, nationalities, economic levels, and lifestyles. Capitalism and industrializa-
tion have driven changes in social structures in society. This study used a historical method
by investigating a variety of contemporary literature consisting of articles, documentation,
reports and surveys of both government agencies, individuals, and non-governmental or-
ganizations. This study found that spatial policy which put various ethnics and nationalities
in the same settlement has brought a more tolerant city atmosphere. The existence of public
space was apparently well-managed by Gemeente Batavia, which became a melting pot for
various ethnics and social classes.

Keywords: Batavia, cosmopolitan, and urban history.

ABSTRAK
Kosmopolitan dapat diartikan sebagai suatu kewarganegaraan global. Giddens mengatakan
bahwa salah satu faktor sebuah kota dikatakan kosmopolitan adalah perkembangan globalisasi
dalam berbagai aspek kehidupan sehari-hari masyarakat. Konektivitas yang semakin mudah
berkat perkembangan komunikasi, media, dan transportasi sejak abad ke-19 telah menjadikan
kota-kota besar seperti Batavia menjadi titik luluh (melting pot) berbagai budaya dan bangsa.
Sebuah kota kosmopolitan ditandai dengan hadirnya masyarakat kosmopolitan global yang
berasal dari berbagai latar belakang budaya, bangsa, tingkat ekonomi, dan gaya hidup.
Kapitalisme dan industrialisasi telah mendorong perubahan pada struktur sosial dalam
masyarakat. Kajian ini menggunakan metode sejarah dengan menelisik berbagai literatur
sezaman yang terdiri atas artikel, dokumentasi, laporan, dan survei baik oleh instansi
pemerintah, individu, maupun lembaga nonpemerintah. Kajian ini menemukan bahwa
55
DOI: 10.33652/handep.v3i1.66
Handep Jurnal Sejarah dan Budaya
56 Vol. 3, No. 1, Desember 2019, hlm. 55-74

kebijakan tata ruang dengan menempatkan berbagai etnis dan bangsa dalam permukiman
yang sama telah menghadirkan suasana kota yang lebih toleran. Keberadaan ruang publik
rupanya dikelola dengan baik oleh Gemeente Batavia yang menjadi titik luluh beragam etnis
dan kelas sosial.

Kata kunci: Batavia, kosmopolitan, dan sejarah perkotaan.

A. PENDAHULUAN kan bahwa cultural citizenship telah


Perkembangan industrialisasi dan berkembang di Hindia Belanda sejak
modernisme pada abad ke-19 telah akhir abad ke-19, seiring dengan
memberikan pengaruh bagi per- terbentuknya masyarakat kosmopolis
kembangan Batavia untuk menjadi global, sebagaimana pendapat Giddens,
salah satu kota kosmopolitan di serta munculnya kelas menengah
kawasan Asia. Giddens (2002: 3-5) bumiputra yang terbentuk dari per-
menyatakan bahwa salah satu faktor kembangan ekonomi dan pendidikan
sebuah kota dikatakan kosmopolitan terutama menjelang masa pergantian
adalah perkembangan globalisasi abad.1 Nordholt berpendapat bahwa
dalam berbagai aspek kehidupan semakin meningkatnya keragaman
sehari-hari masyarakat. Konektivitas etnis dan budaya di perkotaan juga
yang semakin mudah berkat per- disertai dengan meningkatnya jumlah
kembangan komunikasi, media, dan kelas menengah akibat perkembangan
transportasi sejak abad ke-19 telah pendidikan dan perluasan pengelolaan
menjadikan kota-kota besar seperti terhadap sumber daya ekonomi. Di satu
Batavia menjadi titik luluh (melting sisi, hal ini dapat menjadi perluasan
pot) berbagai budaya dan bangsa. pasar bagi produk industri, namun
Sebuah kota kosmopolitan ditandai pada sisi yang lain dapat menjadi titik
dengan hadirnya masyarakat kosmo-
politan global yang berasal dari 1
Menurut Aihwa Ong, cultural citizenship
berbagai latar belakang budaya, bangsa, dapat berarti praktik ataupun kepercayaan
tingkat ekonomi, dan gaya hidup. budaya yang dapat dihasilkan dari kuatnya
pengaruh hegemoni negara untuk melakukan
Perkembangan budaya kosmopolitan di
suatu konstruksi budaya terhadap
suatu kota pada akhirnya juga turut masyarakatnya. Selain itu, ia dapat pula terjadi
mengubah kebijakan pemerintah kota secara alamiah sebagai upaya dari masyarakat
kelas marginal untuk dapat sejajar dengan
terhadap tradisi dan budaya di dalam
budaya dominan, populer, dan mapan yang
wilayahnya (Giddens, 2002: 20). Kota- berada di sekitar lingkungannya. Hal inilah
kota kemudian ditata sedemikian rupa yang menurut Ong melahirkan berbagai warna
budaya urban di perkotaan Amerika yang lahir
untuk mendukung perkembangan
dari elaborasi multibudaya dari berbagai ras,
budaya kosmopolitan yang dipengaruhi budaya, dan kelas sosial (Ong, et al., 1996:
oleh interaksi sosial dan budaya 737-762; Nordholt, 2014: 439; https://
resources.riches-project.eu/glossary/cultural-
kelompok masyarakat pendukungnya.
citizenship/ 7 Oktober 2019 Pukul 12:15
Henk Schulte Nordholt mengata- WIB)

DOI: 10.33652/handep.v3i1.66
Perkembangan Budaya Kosmopolitan di Batavia (G. Andika Ariwibowo) 57
awal dari pergesekan sosial yang dinamika keseharian masyarakat
mengancam keberlangsungan negara pendukungnya, serta bagaimana
kolonial Hindia Belanda (Nordholt, pengaruh modernisme dan pembaratan
2011: 451). pada abad ke-19 dan abad ke-20
Kekhawatiran terhadap keber- turut mempengaruhi perkembangan
langsungan negara kolonial Hindia kehidupan kosmopolitan di Batavia
Belanda, sekaligus upaya memperluas ketika itu.
pemasaran produk industri kolonial, Interaksi sosial dan budaya di
kemudian mendorong pemerintah Batavia pada masa kolonial merupakan
melakukan upaya pembaratan terhadap kajian yang telah banyak dibahas oleh
kelas menengah perkotaan di Hindia beberapa peneliti seperti Jean Gelman
(Nordholt, 2011: 452). Modernisme dan Taylor (1983), Leonard Blusse (1981
pembaratan menjadi tema penting di dan 2008), De Jonge (dalam Kees
perkotaan Hindia Belanda sejak akhir Grijns dan Peter J.M. Nas, 2000: 143-
abad ke-19. Upaya propaganda 156; 2004), Minghuan (2003), Gert
terhadap budaya modern dan Barat oleh Oostindie (dalam Geert Oostindie (eds.)
pemerintah kolonial tidak saja sebatas 2008), dan Bondan Kanumayoso
pada perubahan warna gaya hidup, (2011). Para penulis ini mengungkap-
namun hingga pada ranah pendidikan, kan bagaimana interaksi sosial dan
interaksi sosial, kehidupan domestik budaya di Batavia terutama pada
rumah tangga, bahkan pada cara periode VOC. Dinamika antaretnis
pandang terhadap identitas, ras, dan telah menciptakan masyarakat Batavia
gender. Penyebaran nilai-nilai baru yang majemuk.
mengenai modernisme oleh pemerintah Berbeda dengan kosmopolitanisme
kolonial ini dilakukan dengan pada abad ke-18, di mana perdagangan,
menggunakan berbagai media seperti migrasi, dan age of sail merupakan
artikel koran, poster, advertensi, buku faktor pendorong, maka di abad ke-19
pelajaran sekolah, novel, dan berbagai hingga abad ke-20 pertumbuhan budaya
buku manual (Nordholt, 2011: 440- konsumerisme, berkembangnya media
452). cetak, transportasi bertenaga uap,
Perkembangan nilai-nilai kapitalisme, dan perubahan tata ruang
modernisme dan pembaratan dalam kota menjadi faktor pendorongnya
masyarakat perkotaan di Hindia (Harvey, 2003: 90; Giddens, 2002: 4-
Belanda yang majemuk menjadi suatu 5). Kajian David Harvey (2003)
dinamika m e n a r i k b a g i p e r k e m - mengenai Paris pada abad ke-19
b a n g a n masyarakat kosmopolitan, melihat bagaimana kota-kota pada
terutama di Batavia. Berdasarkan hal periode tersebut tumbuh dan
tersebut, kajian ini mencoba melihat berkembang menjadi suatu kota
bagaimana perkembangan budaya kosmopolitan.
kosmopolitan di Batavia beserta dengan

DOI: 10.33652/handep.v3i1.66
Handep Jurnal Sejarah dan Budaya
58 Vol. 3, No. 1, Desember 2019, hlm. 55-74

Kajian Harvey ini menarik dalam (Van der Zee, 1926; Gemeente van
membandingkan kondisi Batavia Batavia, 1937). Kedua rujukan ini
dengan Paris. Batavia segera menye- menjadi bahan penting dalam upaya
suaikan diri dengan perkembangan mendalami dinamika keseharian dan
globalisasi dan modernisme yang perkembangan budaya kosmopolitan di
terjadi di kota-kota besar dunia. Batavia pada rentang periode akhir
Wilayah Weltevreden di Batavia ditata kolonial. Sumber lain yang digunakan
untuk menjadi suatu wilayah modern adalah buku peringatan 25 tahun
yang di dalamnya banyak terdapat Kotapraja Batavia yang banyak
ruang-ruang publik yang digunakan mengulas capaian pembangunan
untuk berbagai kegiatan hiburan, Batavia sekaligus dinamika sosial dan
pameran, komersil, dan perayaan. politik antaretnis dalam pembangunan
Selain sebagai ruang rekreasi, kota tersebut (Eggink, 1935).
Weltevreden juga menjadi ruang
pengembangan berbagai bidang seperti C. HASIL DAN BAHASAN
pendidikan, keagamaan, dan ilmu 1. Pembangunan Ruang Publik dan
pengetahuan. Kawasan Kosmopolitan
Roosmalen mengatakan bahwa
B. METODE perencanaan kota di Hindia Belanda
Kajian ini menggunakan metode pada awal abad ke-20, selain lebih
sejarah yakni terdiri atas susunan menekankan pada modernisasi
pemilihan tema, penelusuran sumber berbagai sarana dan prasarana
data, verifikasi, dan kritik sumber perkotaan, ternyata juga menekankan
data, setelah itu dilakukan penulisan. pada aspek integrasi sosial dan budaya
Sumber-sumber yang digunakan dalam antarmasyarakat di koloni Hindia
penulisan kajian ini menggunakan Belanda yang majemuk. Persoalan ini
berbagai literatur yang terdiri atas cukup menarik ketika melihat
artikel, dokumentasi, laporan, dan sur- penerapan kebijakan politik etis yang
vey baik oleh instansi pemerintah, memberikan ruang lebih kepada
individu, maupun lembaga non- masyarakat bumiputra untuk turut
pemerintah. Beberapa sumber lain yang menjadi bagian dari ekosistem
digunakan antara lain berupa perkotaan modern di Hindia Belanda.
dokumentasi foto dan potongan- Pemerintah kolonial tidak dapat begitu
potongan berita dari media massa. saja mengabaikan keberadaan etnis lain
Terdapat dua terbitan Gemeente di perkotaan dengan lebih memberikan
Batavia pada 1926 dan 1937 yang prioritas pada keberadaan ruang-ruang
bukan saja menjelaskan mengenai publik maupun privat bagi masyarakat
sejarah kota, namun juga kondisi sosial, Eropa. Setelah pemberlakukan Politik
ekonomi, politik, dan budaya di Batavia

DOI: 10.33652/handep.v3i1.66
Perkembangan Budaya Kosmopolitan di Batavia (G. Andika Ariwibowo) 59
Etis, keberadaan etnis bumiputra di mana interaksi sosial dan budaya
menjadi sedemikian penting bagi antaretnis menjadi lebih cair, meskipun
jalannya suatu kota. Keberadaan terkadang terjadi beberapa gesekan
mereka pada sektor-sektor informal karena adanya paradigma segregasi
telah menjadi pemecah permasalahan antaretnis yang masih tersisa dari
yang dihadapi perkotaan modern abad sebelumnya (Roosmalen dalam
terutama untuk urusan domestik, Colombijn dan Cote, 2015: 87-90).
persoalan sampah dan transportasi (Van Sejak 1908 Gemeente Batavia
Roosmalen dalam Colombijn dan Cote, dibagi menjadi dua distrik yakni
2015: 87). Batavia dan Weltevreden berdasarkan
Terbentuknya sistem pemerintahan Indisch Staablad 1908 No. 79 (Paulus,
Gemeente sejak 1905 semakin mem- 1917: 190).3 Kawasan Distrik Batavia
berikan ruang bagi terwujudnya kota merupakan kawasan kota lama yang
yang berbasis pada multietnis. Hal ini berada di sekitar stadhuis atau balai
cukup menarik melihat transformasi kota Batavia pada masa VOC. Kawasan
perkotaan di Hindia yang pada abad ini meliputi pecinan di sekitar Glodok,
sebelumnya menempatkan etnis-etnis Kali Besar, Mangga Besar, Pelabuhan
non-Eropa ini dalam ghetto 2 serta Sunda Kelapa dan Pasar Ikan, Gunung
membatasi ruang gerak dan interaksi di Sahari, dan Ancol (Van Der Zee, 1926:
antara mereka. Pada awal abad ke-20, 31; Gemeente van Batavia, 1937: 48;
pembangunan ruang publik maupun De Vletter (eds.), 1997: 118-120).
sarana permukiman diarahkan agar Kawasan ini merupakan wilayah
etnis-etnis yang ada di perkotaan dapat komersial dari bisnis pelelangan ikan
hidup “berdampingan”, namun hal hingga pelayaran, serta tentunya
yang tidak dapat dielakkan adalah kawasan permukiman padat yang
berkembangnya struktur sosial baru dihuni oleh kaum Tionghoa hingga
berdasarkan pendapatan dan ekonomi. kalangan kelas marginal Batavia.
Masyarakat berpendapatan tinggi yang Kawasan kota lama Batavia merupakan
sebagian besar didominasi oleh tulang punggung ekonomi Batavia. Di
masyarakat Eropa tetap berada dalam kawasan inilah terdapat kantor utama
lingkungan privat dan eksklusif serta De Javasche Bank, Nederlandsch-
tentunya masih mewarisi pandangan Indische Escompto-Maatschappij, De
konservatif. Hal yang menarik adalah Factorij, dan perusahaan-perusahaan
yang terjadi pada lingkungan lain baik milik pemerintah maupun
masyarakat kelas menengah perkotaan

2
Ghetto adalah bagian kota yang didiami oleh 3
Penetapan Batavia sebagai gemeente telah
golongan minoritas, terutama karena berbagai diatur sebelumnya dalam Indisch Staatblad
tekanan seperti tekanan sosial dan ekonomi Tahun 1905 No. 204 bersama dengan dua
(kbbi.kemdikbud.go.id/entri/ghetto, diakses gemeente lain di sekitarnya yakni Meester
pada Oktober 2019) Cornelis dan Bogor (Eegink, 1930: 22).

DOI: 10.33652/handep.v3i1.66
Handep Jurnal Sejarah dan Budaya
60 Vol. 3, No. 1, Desember 2019, hlm. 55-74

swasta yang berasal dari lintas etnis. mereka berdagang dengan seluruh hati,
Kawasan ini bagi kalangan pengusaha jiwa, dan pengetahuan yang mereka
non-Eropa juga menjadi tempat untuk miliki. Segala upaya dilakukan oleh
berusaha. Firma-firma kelas menengah mereka untuk dapat sukses dan berhasil
bumiputra maupun etnis Asia lain dari di Hindia. De Wit mengambil satu
berbagai kawasan di Hindia banyak contoh menarik dari seorang pengusaha
yang membuka cabang maupun Tionghoa yang memulai usahanya
menjadikan kawasan ini sebagai kantor sebagai kuli di Pelabuhan Tanjung
pusat. Kawasan kota lama Batavia ini Priok yang tak lama kemudian menjadi
merupakan area yang begitu padat dan pedagang kelontong keliling yang
terkesan kumuh. Keragaman etnis dan menjual berbagai kebutuhan rumah
persinggungan antarbudaya begitu tangga. Pada akhirnya, ia menjadi
nampak jelas di wilayah ini (Paulus, seorang pengusaha yang mampu
1917: 190-191; Van Der Zee, 1926: 31- menyekolahkan anaknya hingga ke
32; Gemeente van Batavia, 1937: 48- Belanda (De Wit, 1905: 55-58).
50; De Vletter (eds.), 1997: 120-121). Kawasan Pasar Glodok menjadi
sentra dari aktivitas masyarakat
Tionghoa di seputaran pecinan. Pada
perayaan Imlek hingga Cap Go Meh
setiap tahunnya diadakan pasar malam
di sekitaran Pasar Glodok. Para
pengunjung terdiri atas berbagai etnis
dan latar belakang, tidak saja orang-
orang Tionghoa. Pada pasar malam ini
Gambar 1. Kawasan Pasar Glodok, Batavia berbagai kuliner khas masyarakat
sekitar tahun 1872.
Sumber: KITLV Collection No: 4141, diakses
Tionghoa diperjualbelikan, terutama
pada 12 September 2019. aneka jenis kue yang menjadi buruan
utama para pengunjung. Di tempat ini
Agusta de Wit dalam catatan juga ditawarkan berbagai jenis
perjalanannya melukiskan kawasan permainan dan pameran produk-produk
pecinan di Batavia. Wilayah ini seperti industri, khususnya industri rumahan
layaknya pasar karena dipenuhi oleh seperti pakaian, barang-barang
berbagai jenis pedagang yang menjual kebutuhan rumah tangga, dan aneka
bermacam kebutuhan. Mulai dari obat- jenis mainan seperti balon gas untuk
obatan, kebutuhan persembahan di menghibur anak-anak. Para laki-laki
klenteng, barang-barang kebutuhan dewasa Tionghoa maupun bumiputra
sehari-hari, hingga opium diperjualbeli- juga tidak mau ketinggalan untuk
kan di kawasan pecinan Batavia ini. De sekadar bermain judi (Het Nieuws van
Wit melukiskan orang-orang Tionghoa den Dag, 15 dan 25 Januari 1933;
sebagai pedagang yang luar biasa, Indische Courant, 16 Februari 1937).

DOI: 10.33652/handep.v3i1.66
Perkembangan Budaya Kosmopolitan di Batavia (G. Andika Ariwibowo) 61
Anak-anak pun juga tak kalah
terhibur dengan berbagai jenis
permainan komidi putar atau bersama
orang tuanya turut menyaksikan
pertandingan tinju. Berbagai etnis di
Batavia ketika itu seakan tumpah ruah
dalam pasar malam tersebut dan tak
jarang saling berinteraksi. Keributan
memang kerap terjadi terutama akibat Gambar 2. Kawasan kumuh
ulah pedagang yang suka menipu di pinggir Kali Pintu Kecil.
konsumen sehingga terjadi pertengkar- Sumber: Gemeente van Batavia, 1937: 42.
an, namun tidak sampai meluas karena
polisi menjaga tempat ini dengan ketat. Di kawasan Afdeeling Batavia,
Selain menjaga keamanan, kepolisian bermukim pula penduduk kelas
juga menjaga arus lalu lintas yang marginal Batavia yang biasanya
cukup padat akibat lalu lalangnya berprofesi sebagai babu, jongos,
orang yang menganggu arus kendaraan koelies, ataupun para pekerja sektor
(Het Nieuws van den Dag, 25 Januari informal lain. De Wit sedikit mengupas
1933). kehidupan penduduk bumiputra yang
Kalangan kelas menengah tinggal di kampung dekat pasar ikan,
Tionghoa Batavia turut hadir dalam Kampung Baru, Kanal Molenvliet dan
pasar malam ini. Mereka lebih memilih sekitar Kali Betawi. Selepas bekerja
menghabiskan waktu untuk makan pada pagi hari atau ketika para
malam di restoran ataupun sekedar penduduk Eropa siesta (tidur siang),
minum di kafe atau bar sekitar pasar para penduduk bumiputra akan kembali
malam. Wanita-wanita Tionghoa dari ke rumah untuk rehat sejenak mengurus
kelompok kelas menengah ini selalu segala urusan rumah tangga mereka
menjadi perhatian publik. Paras yang ataupun berkumpul dengan tetangga
rupawan dan penampilan yang sekitar. Setelah memasak untuk suami
memesona menjadi daya tarik bagi para dan anak-anak mereka, para wanita
pengunjung. Hal yang menarik adalah akan meluangkan waktu sambil
ketika para perempuan ini melintas di mengobrol dan mengunyah sirih. Anak-
tengah kerumunan, beberapa orang anak akan bermain bersama dengan
kerap memberikan bunga untuk teman-temannya di sekitar kampung,
menarik perhatian mereka (Het Nieuws anak perempuan kerap membuat
van den Dag, 25 Januari 1933). kalung dari bunga tanjung dan anak
laki-laki terkadang bermain adu kecoa
(De Wit, 1905: 47-48).

DOI: 10.33652/handep.v3i1.66
Handep Jurnal Sejarah dan Budaya
62 Vol. 3, No. 1, Desember 2019, hlm. 55-74

Selain tinggal di kawasan sekitar Penduduk Tionghoa diizinkan untuk


daerah komersial Batavia, penduduk dapat membuka warung-warung
bumiputra juga banyak yang tinggal di mereka di dalam kawasan perkampung-
rumah perahu. Mereka biasanya adalah an yang didominasi oleh masyarakat
para nelayan atau pengayuh rakit bumiputra (Eggink, 1930: 80-86;
yang membawa berbagai produk dari Gemeente van Batavia, 1937: 52-54).
hinterland Batavia. Mereka menam-
batkan perahu-perahu mereka di daerah
rawa-rawa yang berlumpur. Mereka
akan menghabiskan waktu mereka
mulai dari makan, minum, tidur, dan
berbagai aktivitas lainnya di perahu.
Orang-orang ini biasanya tinggal dalam
kelompok-kelompok kecil. Ketika tidur
pada malam hari, mereka menggunakan Gambar 3. Kampung Tanah Rendah
kelambu untuk mengindari ganasnya tahun 1930.
nyamuk-nyamuk dari sekitar rawa (De Sumber: E. J. Eggink, 1930: 81.

Wit, 1905: 47).


Sejak 1921 pemerintah Gemeente Colombijn menyebut bahwa
Batavia melakukan perbaikan kawasan hunian di Hindia Belanda pada awal
kampung dan permukiman bagi abad ke-20 mengalami transformasi
masyarakat bumiputra. Pemerintah dari segregasi berbasis ras ke
tidak ingin kejadian pada pertengahan pemisahan berdasar kelas sosial.
abad ke-18 terulang lagi di Batavia Colombijn menyebut bahwa pola
akibat lingkungan tinggal yang hunian pada masa tersebut ditentukan
kurang sehat. Sejak 1921 hingga 1936 oleh status sosial dan ekonomi dari para
lebih kurang 520 hektar kampung penghuninya. Di dalam lingkungan
telah diperbaiki dan dibangun oleh permukiman suburban rupanya juga
pemerintah Gemeente Batavia. Akses dihuni oleh masyarakat bumiputra yang
menuju wilayah perkampungan bekerja sebagai pegawai pemerintah,
terutama di sekitar Meester Cornelis serta para kelas terdidik bumiputra yang
yang mencapai 324 hektar juga telah bekerja di sektor ekonomi dan bisnis.
dilakukan agar tidak terisolasi. Hal ini banyak terjadi pada periode
Perbaikan dan pembuatan drainase juga malaise 1930 di mana banyak kalangan
terus dilakukan untuk mencegah menengah Eropa yang dirumahkan
terjadinya wabah malaria, demikian karena gaji mereka yang terlalu besar
pula dengan perbaikan sarana kamar di tengah masa krisis ekonomi. Peran
mandi dan toilet umum. Suasana mereka kemudian digantikan oleh
lingkungan perkampungan setelah 1921 pegawai bumiputra yang memang lebih
diupayakan untuk lebih heterogen. tinggi pendidikannya, namun dengan

DOI: 10.33652/handep.v3i1.66
Perkembangan Budaya Kosmopolitan di Batavia (G. Andika Ariwibowo) 63
upah di bawah orang Eropa Kastil Batavia, material hasil
(Colombijn, 2014: 84-86). bongkaran kawasan tersebut ia gunakan
untuk membangun “Istana Daendles”
atau pada masa kolonial Belanda
disebut sebagai “Witte Palais/Istana
Putih” atau “Waterlooplein Palais/
Istana Waterloo”. Daendles juga
menjadikan kawasan Welteverden
sebagai pusat dari jaringan jalan raya
Gambar 4. Pasar Ikan Batavia tahun 1936. pos yang ia bangun.
Sumber: Gemeente van Batavia, 1937: 50.
Pembangunan Witte Palais dan
lapangan Koningsplein inilah yang
Weltevreden merupakan kawasan
menjadi tonggak perkembangan
suburban Batavia, wilayah ini menjadi
wilayah Weltevreden. Pemindahan
barometer kehidupan modern di
pusat kota Batavia ke wilayah
wilayah Hindia Belanda pada masa
pedalaman oleh Daendles merupakan
kolonial. Wilayah pertokoan, hotel,
suatu kebutuhan mengingat semakin
restoran, kafe, dan pusat hiburan
padatnya wilayah bagian utara Batavia.
di sepanjang Noordwijk, Rijswijk,
Pembangunan lapangan besar
Harmoni, hingga Pasar Baru menjadi
Waterlooplein dan Koningsplein
penanda jelas gaya hidup elite berkuasa
sekaligus menjadi salah satu kebutuhan
di lingkungan pemerintahan kolonial
pertahanan agar koordinasi dan gelar
Belanda ataupun para pengusaha
pasukan dapat dilakukan dengan
kolonial yang menguasai beragam
mudah mengingat Daendles tengah
sektor ekonomi di Hindia.
menghadapi ancaman penyerbuan
Pembangunan kawasan
Inggris ke Batavia. Keberadaan kedua
Weltevreden hingga kemudian menjadi
lapangan besar ini menjadi pusat dari
salah satu kawasan suburban paling
aktivitas publik di Batavia, terlebih
bergengsi di Hindia Belanda diinisiasi
semenjak diadakannya pasar malam
oleh Gubernur Jenderal H.W. Daendles.
tahunan di Koningsplein.
Pada 1853 ketika Louis Napoleon
memerintahkan Haussmann untuk
menghancurkan Paris dan membangun-
nya kembali dengan jalan raya yang
baru, ruang publik yang megah, sudut
kota yang menawan, sarana tranportasi
yang menjangkau setiap sudut kota, dan
kota indah yang gemerlap, Daendles
Gambar 5. Kumpulan penduduk Batavia yang
telah memulainya di Batavia (Harvey, hadir di Waterlooplein untuk menyaksikan
2003: 105). Ia membongkar kawasan parade militer KNIL.
Sumber: Gemeente van Batavia, 1937: 141.
kota lama Batavia dan menghancurkan

DOI: 10.33652/handep.v3i1.66
Handep Jurnal Sejarah dan Budaya
64 Vol. 3, No. 1, Desember 2019, hlm. 55-74

Keberadaan lapangan atau alun- 31 Agustus setiap tahunnya bersamaan


alun bagi masyarakat bumiputra telah dengan hari penobatan Ratu
lama menjadi simpul penting bagi Wilhelmina. Diadakan di Koningsplein,
ruang pertemuan publik sejak masa pasar malam ini ditata sedemikian rupa
Hindu-Buddha. Sementara pengaruh dengan paviliun-paviliun megah yang
lapangan dan bulevar di Eropa sejak menggambarkan budaya berbagai
awal abad ke-19 di kota-kota Hindia bangsa di tanah Hindia. Pada awalnya,
Belanda merupakan salah satu keberadaan Pasar Gambir ditujukan
transformasi dalam ruang publik untuk menjual berbagai produk industri
yang berkembang akibat pengaruh Hindia Belanda ke masyarakat
perkembangan gaya hidup dan sekaligus memamerkan berbagai
perkembangan kapitalisme sejak akhir teknologi yang berkembang ketika itu.
abad ke-18 yang menjadikan kawasan Namun bagi penduduk Batavia,
ini bukan saja sebagai ruang upacara keberadaan Pasar Gambir juga
formal kenegaraan, parade militer, diartikan sebagai sarana hiburan dan
maupun ruang publik namun juga rekreasi tahunan (Lukito, 2015: 28).
menjadi daerah komersial dengan Konsep tata ruang dan penempatan
keberadaan kafe, restoran, tempat aneka venue di Pasar Gambir diatur
perbelanjaan, dan klub-klub privat sedemikian rupa agar tempat ini
bagi kalangan elite maupun borjuis. menjadi arena pertemuan berbagai
Sementara itu, keberadaan lapangan- kelompok lintas etnis dan budaya dari
lapangan kota yang dikelilingi oleh seluruh Batavia. Menurut Yulia Lukito,
bulevar juga menjadi ruang bagi aneka sedari awal keberadaan Pasar Gambir
pameran dan berbagai jenis hiburan ditujukan untuk menciptakan sebuah
maupun pertunjukan yang dihadiri oleh ruang publik yang di dalamnya semua
berbagai kalangan dari berbagai sudut kelas sosial dalam masyarakat Batavia
kota (Harvey, 2003: 207; Basundoro dapat saling berbaur dan berinteraksi.
dalam Colombijn dan Cote, 2015: 272- Di dalam Pasar Gambir selain terdapat
274). berbagai venue pameran, para
Pasar Gambir merupakan gelaran pengunjung juga dapat dengan bebas
pasar malam terbesar di Hindia Belanda mengunjungi berbagai taman, museum,
pada masa kolonial. Pada 1936 restoran, dan panggung hiburan yang
diperkirakan sekitar 310.000 orang menawarkan berbagai atraksi.
datang mengunjungi pasar ini bahkan Arsitektur Pasar Gambir juga
dalam salah satu hari pergelaran merupakan suatu bentuk hibrida dari
diperkirakan total pengunjungnya berbagai unsur budaya tradisional
mencapai 61.000 orang. Pasar malam masyarakat bumiputra dan unsur
ini diselenggarakan mulai pada budaya modern (Lukito, 2015: 51).

DOI: 10.33652/handep.v3i1.66
Perkembangan Budaya Kosmopolitan di Batavia (G. Andika Ariwibowo) 65
2. Kosmopolitanisme dan Kehidupan
Kelas Menengah Batavia
Kehidupan masyarakat kolonial di
Hindia Belanda mulai mengalami
perubahan sejak masa pemerintahan
Thomas Standford Raffles, penguasa
Hindia Belanda pada masa interregnum
Inggris (1811-1816). Olivia Mariame
Raffles yang merupakan istri dari sang
Gambar 6. Salah satu permainan hiburan di
Pasar Gambir Batavia.
Letnan Gubernur melakukan perubahan
Sumber: Gemeente van Batavia, 1937: 173. besar bagi gaya hidup para perempuan
dari kalangan elite di Batavia. Selama
Pameran-pameran yang digelar dua tahun di Hindia dari 1812 hingga
pada pergelaran Pasar Gambir juga wafatnya pada 1814, Olivia telah
menjadi ruang pamer bagi berbagai melakukan perubahan besar bagi gaya
produk budaya lokal. Berbagai hasil hidup dan perilaku wanita kelas
seni dan budaya masyarakat lokal menengah dan elite di Hindia. Ketika
bumiputra dipamerkan dan diperkenal- pertama kali mengadakan jamuan
kan kepada para pengunjung yang makan malam dan pesta dansa di
berasal dari berbagai latar belakang Gubernemen ia tampak kaget dengan
budaya. Pertunjukan berbagai kesenian penampilan para nyonya pembesar di
dan pertunjukan budaya Hindia Hindia. Mereka mengenakan kebaya
Belanda juga menjadi tontonan yang dan sarung batik, serta membawa
menarik perhatian pengunjung. Pentas seorang babu yang bertugas
seni budaya bumiputra ini menjadi membawakan peti berisi sirih yang
pertunjukan harian dan selalu menarik akan mereka kunyah ketika mengobrol
banyak penonton. Selain berbagai ataupun saat senggang. Menurutnya
pertunjukan budaya lokal para penampilan para “nyonya terhormat”
pengunjung juga akan dihibur berbagai tersebut tak ubahnya seperti para penari
seni pertunjukan musik atau tari dari penghibur (Bayaderes) di Kerajaan
berbagai belahan dunia. Hari terakhir Moghul India. Olivia kemudian
penutupan Pasar Gambir adalah memerintahkan agar kebaya dan sarung
momen yang begitu ditunggu karena harus “hilang” dari berbagai acara for-
pada saat itu pertunjukan kembang api mal di Hindia (Van De Wall, 1914: 4).
yang megah akan ditampilkan kepada Kemarahan Olivia rupanya men-
publik di Batavia. Pada saat inilah dapat tanggapan positif dari media
semua masyarakat Batavia akan pemerintah Java Government Gazette
berkumpul tanpa memandang latar sebagaimana yang dikutip oleh van de
belakang sosial mereka. Wall:

DOI: 10.33652/handep.v3i1.66
Handep Jurnal Sejarah dan Budaya
66 Vol. 3, No. 1, Desember 2019, hlm. 55-74

“At the entertainment recently kawasan Weltevreden juga menjadi


given at Batavia it was remarked semakin semarak ketika unsur-unsur
how great an improvement has resistensi kultural, sosial, dan politik
been introduced in respect to the dari para kelas menengah terdidik
attire of the Dutch ladies since the bumiputra pada awal abad ke-20 turut
British authority has been estab- memberikan warna kebudayaan dalam
lished. The cabaya appears now lingkungan majemuk masyarakat kelas
generally disused and the more el- menengah di Weltevreden.
egant English costume adopted. We Stratifikasi sosial berdasarkan ras
congratulate our friends on the dan warna kulit merupakan salah satu
amelioration of the public taste, karakteristik kehidupan urban kolonial
because we see in it the dawn of ketika itu. Pemisahan kelas sosial
still greater and more important berdasarkan warna kulit sejak 1854
improvements" (van de Wall, 1914: dengan membagi penduduk Hindia
5). Belanda ke dalam tiga golongan yakni
Semenjak itulah pesta-pesta di Eropa, Asia lain di luar Hindia, dan
Rumah Gubernur di kawasan Rijswijk bumiputra. Pemisahan ini bukan saja
menggunakan berbagai adat dan budaya memisahkan mereka secara politik,
Eropa, termasuk berbagai pesta-pesta namun juga dalam kehidupan sehari-
dansa di luar Gubernemen seperti di hari termasuk dalam ruang-ruang
kediaman-kediaman para raja dan publik (Houben dalam Dick, Houben,
bupati. Lindblad, dan Thee Kian Wie, 2002: 61;
Setelah masa pendudukan Inggris, Claver dalam Boomgaard, Kooiman
budaya Barat terus berkembang di dan Nordholt (eds.). 2008: 99-100).4
Hindia. Weltevreden yang merupakan Memasuki abad ke-20 perlakuan seperti
kawasan suburban Batavia juga turut halnya masyarakat Eropa diberikan
tumbuh dari pusat aktivitas secara khusus kepada orang-orang
pemerintahan, militer, dan kawasan Jepang dan sebagian bumiputra dari
hunian bagi para elite dan kelas kalangan bangsawan tinggi serta
menengah di Batavia menjadi suatu mereka yang telah menempuh
kawasan komersial yang menyediakan
berbagai kebutuhan untuk memenuhi 4
Berdasarkan Peraturan Pemerintah
(Regeeringsreglement) Pasal 109 Tahun 1854
gaya hidup ataupun sebagai ruang pemerintah kolonial Belanda memisahkan
publik dan privat yang menyediakan perlakuan peraturan administratif dan
berbagai sarana hiburan bagi para pemberlakuan sistem hukum berdasarkan
etnis dan warna kulit. Pengaruh dari peraturan
penghuninya. Di wilayah inilah kita ini tidak saja sebatas pada hal-hal yang terkait
akan dapat melihat perbandingan yang dengan urusan administrasi pemerintahan dan
cukup signifikan dari perkembangan hukum, namun lebih jauh juga pada persoalan-
persoalan dalam kehidupan sehari-hari di
budaya kosmopolitan modern. ruang publik (Dick, 2002: 61; Claver dalam
Perkembangan budaya kosmopolitan di Boomgard (etal.), 2008: 99-100).

DOI: 10.33652/handep.v3i1.66
Perkembangan Budaya Kosmopolitan di Batavia (G. Andika Ariwibowo) 67
pendidikan setingkat Hogere Burger menjadi pandangan dan gaya hidup
School (HBS) ataupun berbagai kelompok kelas menengah bumiputra
sekolah-sekolah vokasi pemerintah (De yang baru saja tumbuh. Menurutnya ada
Vletter (eds.), 1997: 7). pendekatan “pendidikan selera” yang
Pramoedya Ananta Toer dalam diperkenalkan oleh budaya Barat
Jejak Langkah menyajikan sebuah kepada masyarakat kelas menengah
penggalan menarik dalam mengisahkan bumiputra yang disampaikan melalui
sang tokoh utama, Minke, seorang berbagai media massa, iklan, poster,
priayi intelektual bumiputra yang bahkan dalam keseharian dari ruang
berada dalam perjalanannya dengan pendidikan formal hingga ke ruang
trem. Minke yang berada dalam publik. Mediasi budaya ini kemudian
gerbong kelas satu memandang melahirkan apa yang oleh Nordholt
gerbong trem lain yang dikhususkan disebut sebagai cultural citizenship
bagi kalangan bumiputra yang sesak (Nordholt, 2011: 440).
dan riuh membicarakan soal masalah Hal ini menjadi menarik ketika
sehari-hari hingga aneka bursa taruhan globalisasi unsur-unsur kebudayaan
judi (Toer, 2015: 8-9). Minke Barat di perkotaan Hindia Belanda
mengatakan dalam hatinya bahwa: ditanggapi oleh masyarakat kelas
“Di tengah-tengah semua ini aku menengah bumiputra dengan menerima
masih tetap golongan luar biasa; unsur kebudayaan ini. Kelas menengah
kakiku bersepatu, sebagian terbesar perkotaan ini mencoba mengesamping-
orang bercakar ayam! Kepalaku kan situasi politik kolonial dengan
bertopi vilt, sebagian terbesar menerima bahwa budaya Barat dan
bercaping, atau berdestar. modern yang mereka kenakan
Pakaianku serta Eropa, orang lain merupakan upaya mereka untuk
bercelana komprang, bertelanjang mengikuti arus kemajuan peradaban.
dada atau berpiyama” (Toer, 2015: Mereka berpendapat bahwa dengan
7). mengenakan unsur budaya Barat ini
Dinamika hubungan antaretnis dan mereka dapat berdiri sederajat dengan
budaya di Batavia merupakan pem- bangsa kulit putih. Mereka memandang
bahasan yang menarik terutama sejak diri sebagai bagian dari komunitas
migrasi para totok Eropa pada paruh global yang turut mengambil peran
kedua abad ke-19. Olivia Raffles adalah dalam gerak dan arus zaman (Nordholt,
salah satu dari sekian banyak totok 2011: 439).
Eropa yang memperkenalkan gaya Terbukanya Terusan Suez pada
hidup borjuis, modern, dan industrialis. 1873 tidak saja membawa kelas
Nordholt telah menjabarkan dengan menengah Eropa untuk singgah
baik mengenai pengaruh budaya Eropa maupun tinggal di Hindia. Budaya yang
atau Barat hingga kemudian turut pula mereka kenakan pun lambat laun turut
dikenakan oleh masyarakat urban di

DOI: 10.33652/handep.v3i1.66
Handep Jurnal Sejarah dan Budaya
68 Vol. 3, No. 1, Desember 2019, hlm. 55-74

Hindia. Hal ini menarik untuk melihat belakang etnis maupun warna kulit.
adanya dialog peradaban dalam Beberapa komunitas yang cukup
perkembangan kosmopolitanisme pada menarik di Batavia ketika itu antara lain
awal abad ke-20. Seperti yang telah komunitas olahraga seperti sepak bola,
dibahas sebelumnya bahwa per- tenis, perahu layar, serta komunitas lain
kembangan kosmopolitanisme pada seperti perkumpulan ibu rumah tangga
periode ini seiring dengan perkembang- yang aktif mengikuti aneka macam
an era kapitalisme dan industrialisasi kursus dan pelatihan kepribadian.
yang pada akhirnya memberikan Sepak bola bukan saja merupakan
dampak pada gaya hidup dan olahraga yang populer pada masa
munculnya budaya konsumerisme. kolonial. Sepak bola sekaligus menjadi
Namun hal yang menarik adalah wadah bagi berkumpulnya komunitas-
kosmopolitanisme pada periode itu juga komunitas lintas etnis dan budaya dari
terjadi seiring dengan periode para pemuda di Batavia. Di dalam
pencerahan yang telah melanda seluruh sepak bola para pemuda ini bukan saja
dunia sejak permulaan abad ke-17. bertanding, namun juga aktif dalam
Perkembangan pemikiran-pemikiran berbagai perkumpulan-perkumpulan
global tersebut turut berpengaruh yang tak jarang saling mengadakan
terhadap cara pandang elite terdidik pesta bersama. Sepak bola mulai
bumiputra tentang kondisi Hindia. dikenal publik Batavia pada akhir abad
Kosmopolitanisme kemudian tidak saja ke-19. Ketika itu hanya terdapat
sebatas memberikan pengaruh global beberapa kelompok pemuda yang
pada gaya hidup ataupun interaksi memainkan olahraga ini pada Minggu
sosial, namun juga berpengaruh sore di sekitar Koningsplein ataupun
terhadap perkembangan ideologi dan Waterlooplein yang memiliki lapangan
pemikiran. Mignolo memberikan luas (Gemeente van Batavia, 1937: 95).
pendapat bahwa kosmopolitanisme Di Batavia, sepak bola dimainkan
telah memberikan pengaruh dalam oleh hampir seluruh pemuda dari etnis
berbagai hal seperti kehidupan sehari- Eropa, Asia, maupun bumiputra. Para
hari dalam lingkungan individu dan pemuda ini membentuk beragam klub-
komunitas, peradaban, budaya, agama, klub sepak bola yang bergabung dalam
politik, organisasi, dan lainnya (dalam suatu liga sepak bola di Batavia yang
Delanty (ed.), 2012: 97). bernama Voetbalbond Batavia en
Salah satu hal yang menarik dari Omstreken (V.B.O) dan Bataviasche
berkembangnya modernisme di Hindia Kantoorvoetbalbond. Pada 1937, V.B.O
Belanda adalah berkembangnya memasuki musim pertandingan yang
komunitas-komunitas yang berlatar ke-25 sekaligus menjadi pesta perak
belakang hobi maupun aktivitas gaya bagi keberadaan liga sepak bola di
hidup. Komunitas ini biasanya lebih Batavia. Pertandingan pertama liga
terbuka terhadap perbedaan latar V.B.O diadakan pada 17 Maret 1912

DOI: 10.33652/handep.v3i1.66
Perkembangan Budaya Kosmopolitan di Batavia (G. Andika Ariwibowo) 69
yang dibuka oleh perwakilan dari Ikatan Ikatan Sepak Bola Batavia selaku
Sepak Bola Jawa Barat (West Java wadah organisasi Sepak Bola Batavia
Voetbal Bond) yakni W.J.H.N van juga mengadakan kompetisi regional
Buuren selaku presiden federasi dan dengan mengundang pemain terbaik
Mr. Dr. G. Pinedo selaku wakil presiden dari Sukabumi, Malang, Bandung, dan
federasi (Bataviaasch Nieuwsblad, 11 Surabaya untuk bertanding dalam
Juli 1932; Gemeente van Batavia, 1937: kompetisi bersama pemain terbaik dari
96). Batavia (Het Nieuws van den dag voor
Nederlandsch-Indie, 13 Maret 1931;
Het Nieuws van den dag voor
Nederlandsch-Indie, 30 November
1931; Het Nieuws van den dag voor
Nederlandsch-Indie, 28 Desember
1931; Limburger Koerier: Provinciaal
Dagblad, 6 Juni 1932).
Gambar 7. Iklan pertandingan sepak bola di Pertandingan sepak bola menjadi
Batavia antara Hercules melawan VIOS. hal yang menarik dalam melihat
Sumber: Het Nieuws van den dag voor hubungan antarmasyarakat di Batavia.
Nederlandsch-Indie, 8 Oktober 1917.
Sepak bola menjadi salah satu media
dalam menciptakan hubungan
Meskipun pada awalnya sepak bola
masyarakat yang terkesan harmonis,
hanya merupakan olahraga untuk
meskipun dalam ranah politik maupun
menghabiskan waktu liburan di akhir
sosial kerap kali terjadi persinggungan
pekan, namun pada perkembangannya
dan saling curiga. Upaya untuk
olahraga ini dapat berkembang secara
menciptakan hubungan yang cukup
profesional. Di Batavia terdapat
harmonis antarklub sepak bola tidak
beberapa klub sepak bola profesional
saja dilakukan antarpemain maupun
seperti S.V.B.B. (Perkumpulan olahraga
suporter di lapangan hijau, namun juga
pegawai negeri kolonial), Hercules
dalam berbagai kegiatan perayaan,
(klub sepak bola milik KNIL Batavia),
seperti peringatan yubileum Bataksche
B.V.V. (Perkumpulan Sepak Bola
Voetbalvereeniging (B.V.V.) maupun
Pemuda Batak), V.I.O.S. Batavia
yubileum West Java Voetbalbond.
(Perkumpulan Sepak Bola Bumiputra
Perayaan ini menjadi ajang bagi
Batavia), K.J.B. (Ikatan Pemuda
berkumpulnya berbagai organisasi
Katolik), OLIVEO, dan B.V.C (Klub
sepak bola dari berbagai klub baik di
Sepak Bola Batavia). Kompetisi dalam
Batavia, Sukabumi, maupun Bandung
V.B.O bahkan sama seperti kompetisi
untuk turut berpesta. B.V.V bahkan
sepak bola Eropa di mana terdapat
dalam perayaan tersebut mengundang
sistem promosi dan degradasi. Pihak
sekitar 500 orang untuk turut meraya-
Bataviasche Voetbalbond (B.V.O)/
kan peringatan berdirinya perkumpulan

DOI: 10.33652/handep.v3i1.66
Handep Jurnal Sejarah dan Budaya
70 Vol. 3, No. 1, Desember 2019, hlm. 55-74

sepak bola ini (Het Nieuws van den dag Perkumpulan olahraga tenis ini
voor Nederlandsch-Indie, 30 Novem- rutin menggelar berbagai kompetisi
ber 1931; Bataviaasch Nieuwsblad, 11 antarklub di Batavia atau terkadang
Juli 1932). mengadakan pertandingan dengan klub
Kegiatan olahraga di Batavia tenis dari luar Batavia, salah satunya
secara formal dikelola oleh dari Singapura dan Malaysia. Salah satu
Bataviasche Sportclub. Lembaga ini pemain tenis bumiputra yang paling
mengelola berbagai fasilitas olahraga menonjol pada masa Hindia Belanda
yang ada di Batavia termasuk berbagai ini adalah Samboedjo Hoerip (Gambar
kompetisi olahraga. Bataviasche 6. kedua dari kiri) yang dijuluki
Sportclub menaungi berbagai jenis sebagai juara tenis Jawa. Samboedjo
olahraga yang ada di Batavia mulai dari merupakan salah seorang bumiputra
olahraga golf, renang, hoki, kriket, dan yang menjadi mayor penerbang KNIL
tenis yang merupakan salah satu cabang yang juga menjadi salah satu atlet tenis
olahraga populer di Batavia setelah bumiputra paling berprestasi pada masa
sepak bola. Di Batavia terdapat kolonial. Keluarga Hoerip memang
beberapa perkumpulan olahraga tenis telah dikenal akan keterlibatan mereka
antara lain Bataviasche Kantoor Ten- dalam olahraga tenis. Samboedjo,
nis Bond, Batavia Tennis Association, Soelastri, Santoso, dan Soemadi
Bataviasche Chineesche Tennisers merupakan para juara tenis yang
Unie, Persatuan Tennis Indonesia mendominasi dunia tenis di Hindia
Djakatra, Indonesische Dames Tennis Belanda terutama pada medio 1930-an.5
Bond, dan beberapa perkumpulan Pada kejuaraan Piala Davis 1938
lainnya yang memilki anggota dari keluarga Hoerip mendominasi skuad
berbgai latar belakang budaya utama tim tenis Hindia Belanda ketika
(Bataviaasch Nieuwsblad, 15 Agustus menghadapi Federasi Malaya dan
1938, 18 Agustus 1938, dan 16 Septem- Singapura dengan Samboedjo, Soelastri
ber 1941; Gemeente van Batavia, 1937: (Gambar 6. ketiga dari kiri), dan
97). Santoso (Gambar 6. paling kiri)
menjadi bintang dalam pertandingan
tersebut (De Indische Courant, 19 April
1938; Bataviaasch Nieuwsblad, 15
Agustus 1938, 18 Agustus 1938).

5
Samboedjo Hoerip wafat pada 19 Januari 1942
setelah pesawat tempurnya jatuh tertembak
Gambar 8. Keluarga Hoeri. di Malaya dalam salah satu adegan
Sumber: De Telegraph, 10 Mei 1939. pertempuran Laut Jawa melawan Jepang
(Bataviaasch Nieuwsblad, 22 Januari 1942).

DOI: 10.33652/handep.v3i1.66
Perkembangan Budaya Kosmopolitan di Batavia (G. Andika Ariwibowo) 71
Dunia tenis bumiputra pada masa anaknya yang kemudian menjadikan
kolonial tidak bisa dipisahkan dari keluarga Hoerip sebagai keluarga juara
sosok Dr. Hoerip (Gambar 6. Berdiri tenis terkemuka di Hindia Belanda
di tengah) dan Pangeran Soerio sepanjang periode 1930-an.
Hamidjojo (salah seorang putra Sunan
Pakubuwono X dari Surakarta) yang D. SIMPULAN
bukan saja gemar pada olahraga ini, Hadirnya komunitas global di Batavia
namun juga seringkali mengadakan pada periode akhir kolonial menjadi
kompetisi tenis bagi masyarakat karakteristik penting suasana kosmo-
bumiputra. Di Surakarta, Pangeran politan di kota tersebut. Masuknya
Soerio Hamidjojo juga memiliki berbagai unsur kebudayaan dari luar
lapangan tenis, selain untuk berlatih Hindia, khususnya unsur budaya Barat
juga menjadi sarana rekreasi bagi menjadi esensi penting dari proses
mereka yang menggemari olahraga akulturasi maupun dialog antarbudaya
tenis (De Indische Courant, 22 Juni yang ada. Terlepas dari suasana politik
1937). Hoerip mulai mengenal olahraga pergerakan nasional yang hangat di
tenis sejak masih menjadi siswa di Batavia, hubungan antarbangsa di
HBS. Setelah lulus dari sekolah dokter, Batavia berlangsung dinamis.
Hoerip aktif dalam berbagai klub tenis Kebijakan desentralisasi sejak 1905
milik orang Eropa yang juga dengan menempatkan unsur-unsur
merupakan rekan sejawatnya. Hoerip bumiputra dalam Dewan Kota Batavia
ketika itu telah dikenal sebagai salah telah menciptakan suasana kota
seorang dokter bumiputra yang menjadi lebih majemuk. Kebijakan tata
terkemuka. Pada 1922 iklan praktik ruang dengan menempatkan berbagai
Hoerip terpampang di koran etnis dan bangsa dalam permukiman
Bataviaasch Nieuwsblad yang ber- yang sama telah menghadirkan suasana
praktik di Gang Chasse, Salemba kota yang lebih toleran, meskipun pada
(kini Jalan Pembangunan II, Jakarta) beberapa sisi kesenjangan ekonomi
(Het Nieuws van den dag voor juga tidak dapat ditampikkan.
Nederlandsch-Indie, 07 November Keberadaan ruang publik rupanya
1904; Bataviaasch Nieuwsblad, 26 Juni dikelola dengan baik oleh pihak
1922; De Indische Courant, 22 Juni Gemeente Batavia. Ruang publik ini
1937)6. Kegemarannya bermain tenis dimanfaatkan untuk dapat menjadi
ini kemudian ditularkan kepada anak- sarana yang mempertemukan beragam
etnis dan kelas sosial. Berbagai acara
yang diadakan di lapangan-lapangan
6
Nama R. Hoerip terdapat dalam sebuah artikel terbuka di Batavia pun berasal dari
yang menerangkan mereka yang baru beraneka unsur budaya yang berasal
memasuki tahun pertama di STOVIA pada dari Hindia maupun luar Hindia. Proses
1904 (Het Nieuws van den dag voor
Nederlandsch-Indie, 7 November 1904). pendidikan dan mediasi budaya melalui

DOI: 10.33652/handep.v3i1.66
Handep Jurnal Sejarah dan Budaya
72 Vol. 3, No. 1, Desember 2019, hlm. 55-74

beragam pameran dan perayaan Bataviaasch Nieuwsblad, 11 Juli 1932;


merupakan sesuatu yang menarik bagi 15 Agustus 1938, 18 Agustus 1938,
suatu lingkungan di dalam negara dan 16 September 1941.
kolonial. Berbagai pandangan tentu
Blusse, Leonard. 2008. Visible Cities:
akan muncul mulai dari persepsi akan
Canton, Nagasaki, Batavia, and the
orientalisme hingga eksploitasi budaya,
Coming of American. Massachu-
namun secara sederhana kondisi ini
setts: Harvard University Press.
justru menjadi media bagi rekonsiliasi
dan pengenalan budaya yang efektif Claver, Alexander. 2008. “Struggling
terutama di tengah pergesekan politik for justice Chinese commerce and
dan sosial pada masa pergerakan Dutch law in the Netherlands
nasional. Hal ini pun menjadi suatu Indies, 1800-1942,” dalam Peter
langkah dalam menuju proses menjadi Boomgaard, Dick Kooiman and
Indonesia pada masa dekolonialisasi Henk Schulte Nordholt (ed.), Link-
selepas kemerdekaan ing Destinies: Trade, Towns and
Lahirnya cultural citizenship yang Kin in Asian History. Leiden:
diinisiasi oleh kelas menengah Batavia KITLV Press.
telah menjadikan mereka sebagai
Colombijn, Freek. 2014. Under Con-
bagian dari yang disebut oleh Giddens
struction: The Politics of Urban
sebagai komunitas global. Cara
Space and Housing during the
pandang tentang gaya hidup, pemikiran,
Decolonization of Indonesia, 1930-
sikap, hingga pandangan politik kelas
1960. Leiden: Brill.
menengah di Batavia mengikuti tren
dunia yang berkembang. Hal ini Colombijn, Freek dan J. Cote. 2015.
menjadi menarik dalam melihat peran Cars, Conduits, and Kampongs:
media massa ketika itu dalam The Modernization of the Indone-
memperkenalkan berbagai hal dari luar sian City, 1920–1960. Leiden:
Hindia yang kemudian turut mendorong KITLV, hlm. 1-28.
masyarakat Hindia untuk turut ambil
bagian di dalamnya. De Jonge, Huub. 2000. “A Divided Mi-
nority: the Arab of Batavia,” dalam
DAFTAR S UMB E R Kees Grijn dan Peter J.M. Nas
(eds.), Jakarta-Batavia. Leiden:
Basundoro, Purnawan. 2015. “Two
KITLV.
Alun-Alun of Malang (1930-
1960),” dalam F. Colombijn dan J. ____________. 2004. Abdul Rahman
Cote (ed.), Cars, Conduits, and Baswedan and the Emancipation of
Kampongs: The Modernization of the Hadramis in Indonesia. Asian
the Indonesian City, 1920–1960. Journal of Social Science, Vol. 32:
Leiden: KITLV, hlm. 272-299. Issue 3, hlm. 373-400.

DOI: 10.33652/handep.v3i1.66
Perkembangan Budaya Kosmopolitan di Batavia (G. Andika Ariwibowo) 73
De Telegraph, 10 Mei 1939. https://resources.riches-project.eu/glos-
sary/cultural-citizenship/, diakses
De Vletter, M.E., (eds.). 1997. Batavia/
pada 7 Oktober 2019 Pukul 12:15
Djakarta/Jakarta: Beeld van Een
WIB.
Metamorfose. Purmerend: Asia
Maior. Indische Courant, 16 Februari 1937; 22
Juni 1937; 19 April 1938.
De Wit, Augusta. 1905. Java Fact and
Fancies. London: Chapman and Kanumayoso, Bondan. 2011. Beyond
Hall Ltd. the City Wall: Society and Eco-
nomic Development in the
Eggink, E.J. 1935. Na 25 Jaar: Beknopt
Ommelanden of Batavia, 1684-
Gedenkschrift ter Gelegenheid van
1740. Doctoral Dissertation:
het 25-Jarig Bestaan der Gemeente
Leiden University.
Batavia. Batavia: Gemeente van
Batavia. Limburger Koerier: Provinciaal
Dagblad, 6 Juni 1932.
Gemeente van Batavia. 1937. Batavia:
Als Handels-, Industrie- En Lukito, Yulia Nurliani. 2016. Exhibit-
Woonstad. Batavia: G. Kolf & Co. ing Modernity and Indonesian
Vernacular Architecture: Hybrid
Giddens, Anthony. 2002. Runaway
Architecture at Pasar Gambir of
World: How Globalisation is
Batavia, the 1931 Paris Interna-
Reshaping Our Lives. London: Pro-
tional Colonial Exhibition and
file Books Ltd.
Taman Mini Indonesia Indah.
Harvey, David. 2003. Paris: Capital of Wiesbaden: Springer VS.
Modernity. London: Routledge.
Mignolo, Walter D. 2012. “De-Colonial
Het Nieuws van den dag voor Cosmopolitanism and Dialogues
Nederlandsch-Indie, 07 November Among Civilizations,” dalam
1904; 26 Juni 1922; 13 Maret 1931; Delanty, Gerard (eds.). Routledge
30 November 1931; 28 Desember Handbook of Cosmopolitanism
1931;15 dan 25 Januari 1933. Studies. London: Routledge.

Houben, Vincent J.H. 2002. “Java in the Minghuan, Li. 2003. “From 'Sons of the
19th Century: Consolidation of a Yellow Emperor' to 'Children
Territorial State,” dalam Howard of Indonesian Soil': Studying
Dick, Vincent J.H. Houben, J. Peranakan Chinese Based on the
Thomas Lindblad, dan Thee Kian Batavia Kong Koan Archives”.
Wie (eds.). The Emergence of a Journal of Southeast Asian Studies,
National Economy: an Economic Vol. 34, No. 2, June 2003, hlm. 215-
History of Indonesia, 1800–2000. 230.

DOI: 10.33652/handep.v3i1.66
Handep Jurnal Sejarah dan Budaya
74 Vol. 3, No. 1, Desember 2019, hlm. 55-74

Nordholt, Henk Schulte. 2011. Survey Department Batavia.


Modernity and Cultural Citizenship
Van der Zee. 1926. Batavia Queen of
in the Netherlands Indies: An
The East. Rotterdam: Dr. Gustav
Illustrated Hypothesis. Journal of
Schueler.
Southeast Asian Studies, Vol. 42,
Issue 3, Oct 2011, hlm. 435-457. Van Roosmalen, Pauline K.M. 2015.
“Netherlands Indies Town Plan-
Ong, Aihwa, Virginia R. Dominguez,
ning: an Agent of Modernization
Jonathan Friedman, Nina Glick
(1905–1957),” dalam F. Colombijn
Schiller,Verena Stolcke, David Y.
dan J. Cote (ed.). Cars, Conduits,
H. Wu and Hu Ying. 1996. Cultural
and Kampongs: The Modernization
Citizenship as Subject-Making:
of the Indonesian City, 1920–1960.
Immigrants Negotiate Racial and
Leiden: KITLV, hlm. 87-119.
Cultural Boundaries in the United
States (and Comments and Reply).
Current Anthropology, Vol. 37, No.
5, Dec 1996, hlm. 737-762.

Oostindie, Geert. 2008. “Migration and


its Legacies in the Dutch Colonial
World,” dalam Geert Oostindie
(eds.). Dutch Colonialism, Migra-
tion And Cultural Heritage.
Leiden: KITLV.

Paulus, J. 1917. Encyclopaedie van


Nederlandsch-Indië (Eerste Deel).
S’Gravenhage: Martinüs Nijhoff.

Taylor, Jean Gelman. 1983. The Social


World of Batavia: Europeans and
Eurasians in Colonial Indonesia.
Wisconsin: The University of
Wisconsin Press.

Toer, Pramoedya Ananta. 2015. Jejak


Langkah. Jakarta: Lentera
Dipantara.

Van de Wall, V.T. 1914. The Influence


of Olivia Mariamne Raffles on
European Society in Java (1812 -
1814). Batavia: Archaeological

DOI: 10.33652/handep.v3i1.66

Anda mungkin juga menyukai