Anda di halaman 1dari 14

LAPORAN PENELITIAN

KESULTANAN NGAYOGYAKARTA HADININGRAT

“Sejarah Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat”

Diajukan untuk memenuhi tugas mata pelajaran Sejarah Minat yang diampu
oleh Bapak Buntoro, S.Pd.

Oleh,
Rin Rin Ristiani Putri, Kelas XII IPS5

JURUSAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL


SMA NEGERI 13 GARUT
TAHUN PELAJARAN 2022-2023

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur penyusun ucapkan kepada Allah SWT, yang telah memberikan

rahmat dan karunia-Nya sehingga makalah ini dapat diselesaikan dengan baik. Tidak

lupa shalawat dan salam semoga terlimpahkan kepada Rasulullah Muhammad SAW,

keluarganya, sahabatnya, dan kepada kita selaku umatnya.

Makalahinisaya buat untuk melengkapi tugas dari Bapak Buntoro saya ucapkan

terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan. Dan saya

juga menyadari pentingnya akan sumber bacaan dan referensi internet yang telah

membantu dalam memberikan informasi.

Saya juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah

memberikan arahan serta bimbingannya selama ini sehingga penyusunan makalah

dapat dibuat dengan sebaik-baiknya. Saya menyadari masih banyak kekurangan

dalam penulisan ini sehingga kami mengharapkan kritik dan saran yang bersifat

membangun demi penyempurnaan makalah ini.

Garut, 14 Desember 2022

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ....................................................................................... 2


DAFTAR ISI....................................................................................................... 3

BAB I PENDAHULUAN.................................................................................. 4
A. Latar Belakang.................................................................................... 4
B. Tujuan Kegiatan................................................................................. 5
C. Manfaat Kegiatan............................................................................... 5

BAB II KAJIAN TEORI.................................................................................. 6


A. Sejarah Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat................................ 6
B. Ekonomi dan Agraria.......................................................................... 9
C. Kebudayaan, Pendidikan, dan Kepercayaan....................................... 10

BAB III PENUTUP........................................................................................... 13


A. Kesimpulan......................................................................................... 13
B. Daftar Pustaka .................................................................................... 13

3
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat atau Keraton Yogyakarta (bahasa Jawa:

ꦑꦫꦠꦺꦴꦤ꧀ꦔꦪꦺꦴꦒꦾꦏꦂꦠꦲ꦳ꦢꦶꦤꦶꦔꦿꦠ꧀, translit. Karaton Ngayogyakarta

Hadiningrat) merupakan istana resmi Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat yang

kini berlokasi di Kota Yogyakarta.

Keraton ini didirikan oleh Sri Sultan Hamengkubuwana I pada tahun 1755

sebagai Istana/Keraton Yogyakarta yang baru berdiri akibat perpecahan Mataram

Islam dengan adanya Perjanjian Giyanti. Keraton ini adalah pecahan dari Keraton

Surakarta Hadiningrat dari Mataram Islam Surakarta (Kerajaan Surakarta). Sehingga

dinasti Mataram diteruskan oleh 2 Kerajaan yakni Kesultanan Yogyakarta dan

Kesunanan Surakarta.

Total luas wilayah keseluruhan keraton yogyakarta mencapai 184 hektar, yakni

meliputi seluruh area di dalam benteng Baluwarti, alun-alun Lor, alun-alun Kidul,

gapura Gladak, dan kompleks Masjid Gedhe Yogyakarta. Sementara luas dari

kedhaton (inti keraton) mencapai 13 hektar.

Walaupun Kesultanan Yogyakarta secara resmi telah menjadi bagian Republik

Indonesia pada tahun 1945, kompleks bangunan keraton ini masih berfungsi sebagai

tempat tinggal sultan dan rumah tangga istananya yang masih menjalankan tradisi

kesultanan hingga saat ini.

Keraton ini kini juga merupakan salah satu objek wisata di Kota Yogyakarta.

Sebagian kompleks keraton merupakan museum yang menyimpan berbagai koleksi

4
milik kesultanan, termasuk berbagai pemberian dari raja-raja Eropa, replika pusaka

keraton, dan gamelan. Dari segi bangunannya, keraton ini merupakan salah satu

contoh arsitektur istana Jawa yang terbaik, memiliki balairung-balairung mewah dan

lapangan serta paviliun yang luas.

B. Tujuan Kegiatan

Untuk mengetahui sejarah Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat dan

memenuhi tugas sejarah minat.

C. Manfaat Kegiatan

Dapat memperluas wawasan tentang Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat.

5
BAB II

KAJIAN TEORI

A. Sejarah Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat

Pada akhir abad ke-16 terdapat sebuah kerajaan Islam di Jawa bagian tengah-

selatan bernama Mataram. Kerajaan ini berpusat di daerah Kota Gede (sebelah

tenggara kota Yogyakarta saat ini), kemudian pindah ke Kerta, Plered, Kartasura dan

Surakarta. Lambat laun, kewibawaan dan kedaulatan Mataram semakin terganggu

akibat intervensi Kumpeni Belanda. Akibatnya timbul gerakan anti penjajah di

bawah pimpinan Pangeran Mangkubumi yang mengobarkan perlawanan terhadap

Kumpeni beserta beberapa tokoh lokal yang dapat dipengaruhi oleh Belanda seperti

Patih Pringgalaya. Untuk mengakhiri perselisihan tersebut dicapai Perjanjian Giyanti

atau Palihan Nagari.

Perjanjian Giyanti yang ditandatangani pada tanggal 13 Februari 1755 (Kemis

Kliwon, 12 Rabingulakir 1680 TJ) menyatakan bahwa Kerajaan Mataram dibagi

menjadi dua yaitu Kasunanan Surakarta Hadiningrat dan Kasultanan Ngayogyakarta

Hadiningrat. Surakarta dipimpin oleh Susuhunan Paku Buwono III, sementara

Ngayogyakarta – atau lazim disebut Yogyakarta – dipimpin oleh Pangeran

Mangkubumi yang kemudian bergelar Sultan Hamengku Buwono I. Perjanjian

Giyanti ini kemudian diikuti pula dengan pertemuan antara Sultan Yogyakarta

dengan Sunan Surakarta di Lebak, Jatisari pada tanggal 15 Februari 1755. Dalam

pertemuan ini dibahas mengenai peletakan dasar kebudayaan bagi masing-masing

kerajaan. Kesepakatan yang dikenal dengan nama Perjanjian Jatisari ini membahas

tentang perbedaan identitas kedua wilayah yang sudah menjadi dua kerajaan yang

berbeda.

6
Bahasan di dalam perjanjian ini meliputi tata cara berpakaian, adat istiadat,

bahasa, gamelan, tari-tarian, dan lain-lain. Inti dari perjanjian ini kemudian adalah

Sultan Hamengku Buwono I memilih untuk melanjutkan tradisi lama budaya

Mataram. Sementara itu, Sunan Pakubuwono III sepakat untuk memberikan

modifikasi atau menciptakan bentuk budaya baru. Pertemuan Jatisari menjadi titik

awal perkembangan budaya yang berbeda antara Yogyakarta dan Surakarta. Tanggal

13 Maret 1755 (Kemis Pon, 29 Jumadilawal 1680 TJ) adalah tanggal bersejarah

untuk Kasultanan Yogyakarta. Pada tanggal inilah proklamasi atau Hadeging Nagari

Ngayogyakarta Hadiningrat dikumandangkan. Selanjutnya, Sultan Hamengku

Buwono I memulai pembangunan Keraton Yogyakarta pada tanggal 9 Oktober 1755.

Proses pembangunan berlangsung hingga hampir satu tahun. Selama proses

pembangunan tersebut, Sri Sultan Hamengku Buwono I beserta keluarga tinggal di

Pesanggrahan Ambar Ketawang. Sri Sultan Hamengku Buwono I beserta keluarga

dan para pengikutnya memasuki Keraton Yogyakarta pada tanggal 7 Oktober 1756

(Kemis Pahing, 13 Sura 1682 TJ). Dalam penanggalan Tahun Jawa (TJ), peristiwa

ini ditandai dengan sengkalan memet: Dwi Naga Rasa Tunggal dan Dwi Naga Rasa

Wani.

Seiring berjalannya waktu, wilayah Kasultanan Yogyakarta mengalami pasang

surut. Utamanya terkait dengan pengaruh pemerintah kolonial baik Belanda maupun

Inggris. Pada tanggal 20 Juni 1812, ketika Inggris berhasil menyerang dan memasuki

keraton, Sultan Hamengku Buwono II dipaksa turun tahta. Penggantinya, Sri Sultan

Hamengku Buwono III dipaksa menyerahkan sebagian wilayahnya untuk diberikan

kepada Pangeran Notokusumo (putera Hamengku Buwono I) yang diangkat oleh

Inggris sebagai Adipati Paku Alam I.

7
Wilayah kekuasaan Kasultanan yang diberikan kepada Paku Alam I meliputi

sebagian kecil di dalam Ibukota Negara dan sebagian besar di daerah Adikarto

(Kulonprogo bagian selatan). Daerah ini bersifat otonom, dan dapat diwariskan

kepada keturunan Pangeran Notokusumo. Oleh karena itu, sejak 17 Maret 1813,

Adipati Paku Alam I mendeklarasikan berdirinya Kadipaten Pakualaman.

Perubahan besar berikutnya terjadi setelah lahirnya Republik Indonesia pada

tanggal 17 Agustus 1945. Raja Yogyakarta, Sri Sultan Hamengku Buwono IX segera

mengucapkan selamat atas berdirinya republik baru tersebut kepada para proklamator

kemerdekaan. Dukungan terhadap republik semakin penuh manakala Sri Sultan

Hamengku Buwono IX dan Sri Paduka Paku Alam VIII mengeluarkan amanat pada

tanggal 5 September 1945 yang menyatakan bahwa wilayahnya yang bersifat

kerajaan adalah bagian dari Negara Republik Indonesia.

Menerima amanat tersebut maka Presiden pertama Republik Indonesia, Ir.

Sukarno, menetapkan bahwa Sultan Hamengku Buwono dan Adipati Paku Alam

merupakan dwi tunggal yang memegang kekuasaan atas Daerah Istimewa

Yogyakarta (DIY). Sempat terkatung-katung selama beberapa tahun, status

keistimewaan tersebut semakin kuat setelah disahkannya Undang-Undang nomor 13

tahun 2012 tentang Keistimewaan DIY. Dengan demikian, diharapkan agar segala

bentuk warisan budaya di Kasultanan Yogyakarta dan Kadipaten Pakualaman dapat

terus dijaga dan dipertahankan kelestariannya.

8
B. Ekonomi dan Agraria

Sumber ekonomi utama yang tersedia bagi Kesultanan Yogyakarta adalah

tanah, hutan kayu keras, perkebunan, pajak, dan uang sewa. Oleh karena itu sistem

ekonomi tidak bisa lepas dari sistem agraria. Sultan menguasai seluruh tanah di

Kesultanan Yogyakarta. Dalam birokrasi kerajaan, pertanahan diurus oleh

Kementerian Pertanahan, Kanayakan Siti Sewu. Urusan tanah di Kesultanan

Yogyakarta dibagi menjadi dua bentuk yaitu tanah yang diberikan Sultan kepada

anggota keluarga kerajaan dan tanah yang diberikan kepada pegawai kerajaan. Tanah

tersebut berlokasi teritori Nagara Agung, khususnya daerah Mataram, dan disebut

sebagai tanah lungguh (apanage land/tanah jabatan). Tanah yang berada dalam

pemeliharaan para keluarga kerajaan dan pegawai kerajaan tersebut juga digunakan

oleh masyarakat umum sebagai tempat tinggal dan pertanian dari generasi ke

generasi. Sebagai imbalannya mereka menyetor sebagian hasil panen sebagai bentuk

pajak. Sekalipun kaum ningrat dan rakyat umum memiliki kebebasan dalam

mengatur, mengolah, dan mendiami tanah tersebut mereka tidak diijinkan untuk

menjualnya.

Selain itu kerajaan juga menerima penerimaan yang besar dari penebangan

hutan kayu keras dalam skala besar sejak Sultan HB I. Pada 1821 pemerintahan

Hindia Belanda memperoleh hak atas hasil penebangan dari hutan kayu keras dan

istana bertanggung jawab atas manajemen dan eksploitasinya. Pada 1848 sebuah

peraturan mengharuskan Sultan memenuhi kebutuhan kayu keras pemerintah jajahan

dan dalam ganti rugi Sultan memperoleh biaya penebangan dan pengangkutan kayu.

Pada 1904 di masa pemerintahan Sultan HB VII, manajemen hutan kayu keras di

Gunung Kidul diambil alih oleh pemerintah Hindia Belanda. Sebagai kompensasi

9
atas persetujuan itu, istana memperoleh kayu keras gratis untuk konstruksi istana

Ambar Rukmo dan Ambar Winangun.

Perkebunan yang dikembangkan di Yogyakarta, terutama setelah 1830, adalah

kopi, tebu, nila, dan tembakau. Kebanyakan perkebunan ditangani oleh perkebunan

swasta asing. Jumlah perkebunan yang semula ada 20 buah pada tahun 1839

meningkat menjadi 53 pada tahun 1880, seiring pertumbuhan ekonomi, sistem

penyewaan tanah, dan pembangunan infrastruktur.

Restrukturisasi pada zaman Sultan HB IX karena dihadapkan pada beban

ekonomi dan sumber yang terbatas. Pada 1942, Sultan tidak melaporkan secara

akurat jumlah produksi beras, ternak, dan produk lain untuk melindungi rakyat dari

Jepang. Sultan juga membangun kanal guna meningkatkan produksi beras dan untuk

mencegah rakyat Yogyakarta dijadikan romusa oleh Jepang.

C.Kebudayaan, pendidikan, dan kepercayaan

Sebagaimana masyarakat Jawa pada umumnya, kebudayaan di Kesultanan

Yogyakarta tidak memiliki batas yang tegas antar aspeknya. Kebiasaan umum (adat

istiadat), kepercayaan, seni, pandangan hidup, pendidikan, dan sebagainya saling

tumpang tindih, bercampur dan hanya membentuk suatu gradasi yang kabur. Sebagai

contoh seni arsitektur bangunan keraton tidak lepas dari konsep “Raja Gung

Binathara” (raja agung yang dihormati bagaikan dewa) yang merupakan pandangan

hidup masyarakat yang juga menjadi bagian dari sistem kepercayaan (penghormatan

kepada dewa/tuhan).

Beberapa tarian tertentu, misalnya Bedhaya Semang, selain dianggap sebagai

seni pertunjukan juga bersifat sakral sebagai bentuk penghormatan kepada leluhur

pendiri kerajaan dan penguasa alam. Begitu pula benda-benda tertentu dianggap

10
memiliki kekuatan magis dan berkaitan dengan dunia roh dalam pandangan hidup

masyarakat. Oleh karenanya dalam pergaulan sehari-haripun ada pantangan yang bila

dilanggar akan menimbulkan kutuk tertentu bagi pelakunya. Ini pula yang

menimbulkan tata kebiasaan yang diberlakukan dengan ketat.

Kebudayaan tersebut diwariskan dari generasi ke generasi berdasar cerita dari

mulut ke mulut. Pelajaran tentang kehidupan disampaikan melalui cerita-cerita

wayang yang pada akhirnya menumbuhkan kesenian pertunjukkan wayang kulit

maupun wayang jenis lain. Selain itu wejangan dan nasihat tentang pandangan hidup

dan sistem kepercayaan juga ditransmisikan dalam bentuk tembang (lagu) maupun

bentuk sastra lainnya. Semua hal itu tidak lepas dari sistem bahasa yang digunakan

dan membuatnya berkembang. Dalam masyarakat dipakai tiga jenjang bahasa yaitu

Ngoko (bahasa Jawa rendah), Krama Andhap (bahasa Jawa tengah), dan Krama

Inggil (bahasa Jawa tinggi). Aturan pemakaian bahasa tersebut sangat rumit, namun

tercermin budaya penghormatan dan saling menghargai. Ada satu lagi bahasa yang

khusus dan hanya digunakan di lingkungan istana yang disebut dengan Bagongan

yang lebih mencerminkan pandangan hidup kesetaraan kedudukan di antara

pemakainya. Perkembangan budaya sebagaimana dijelaskan di awal tidak lepas pula

dari sistem pendidikan. Pada mulanya sistem pendidikan yang digunakan

meneruskan sistem yang digunakan zaman Mataram. Pendidikan formal hanya dapat

dinikmati oleh keluarga kerajaan. Pendidikan itu meliputi pendidikan agama dan

sastra. Pendidikan agama diselenggarakan oleh Kawedanan Pengulon. Pendidikan ini

berlokasi di kompleks masjid raya kerajaan. Pendidikan sastra diselenggarakan oleh

Tepas Kapunjanggan. Kedua pendidikan ini satu sistem dan tidak terpisah. Para

siswa diberi pelajaran agama, bahasa Jawa, budaya, dan literatur (serat dan babad).

11
Pendidikan barat baru diperkenalkan oleh pemerintah penjajahan pada awal

abad 20. Pada pemerintahan Sultan HB VIII sistem pendidikan dibuka untuk umum.

Mula-mula sekolah dasar dibuka di Tamanan dan kemudian dipindahkan di

Keputran. Sekolah ini masih ada hingga sekarang dengan nama SD Negeri Keputran.

Pendidikan lanjut memanfaatkan pendidikan yang dibuka oleh pemerintah

penjajahan seperti HIS, Mulo, dan AMS B. Muncul pula sekolah guru dari kalangan

Muhammadiyah Hogere School Moehammadijah pada 1918 (kini bernama

Muallimin). Pada 1946 kesultanan ikut serta dalam mendirikan Balai Perguruan

Kebangsaan Gajah Mada yang pada 1949 dijadikan Universitas Gadjah Mada

(UGM).

Sebagai sebuah Kesultanan, Islam merupakan kepercayaan resmi kerajaan.

Sultan memegang kekuasaan tertinggi dalam bidang kepercayaan dengan gelar

Sayidin Panatagama Khalifatullah. Walaupun demikian kepercayaan-kepercayaan

lokal (baca: kejawen) masih tetap dianut rakyat meski menyatakan diri sebagai orang

Islam. Berbagai ritus kepercayaan lokal masih dijalankan tetapi doa-doa yang

dipanjatkan diganti dengan menggunakan bahasa Arab. Hal ini menujukkan sebuah

kepercayaan baru yang merupakan sinkretisme antara kepercayaan Islam dan

kepercayaan lokal. Gerakan puritan untuk membersihkan Islam dari pengaruh

kepercayaan lokal dan westernisasi baru muncul pada tahun 1912 seiring dengan

tumbuh dan berkembangnya organisasi Islam Muhammadiyah dari kalangan Imam

Kerajaan. Pada perkembangan selanjutnya kawasan Kauman, Yogyakarta yang

menjadi tempat tinggal para imam kerajaan menjadi pusat gerakan puritan itu.

12
BAB II

PENUTUP

A. Kesimpulan

Pengetahuan akan sejarah di Indonesia sebenarnya lumayan kurang, maka dari

ini kita harus mempertahankan budaya budaya yang ada, salah satunya

KeratonYogyakarta, disana kita dapat mempelajari sejarah yang dahulu kala terjadi,

dan kita juga dapat menikmati suasana di Keraton Yogyakarta.

B. Daftar Pustaka

id.wikipedia.org, 14 Desember 2022,

https://id.wikipedia.org/wiki/Kesultanan_Ngayogyakarta_Hadiningrat

dpad.jogjaprov.go.id, 14 Desember 2022,

http://dpad.jogjaprov.go.id/article/news/vieww/cikal-bakal-keraton-kasultanan-

yogyakarta-1483

13
14

Anda mungkin juga menyukai