Anda di halaman 1dari 14

Kasunann Surakarta

Makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas mata kuliah Sejarah Indonesia Masa Islam
Dosen Pengampu : Drs. Siswanta,M. Pd

Disusun Oleh :
Ananda Miftakhul Rahman
21144400016

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SEJARAH


FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS PGRI YOGYAKARTA
2021/2022

1
Kata Pengantar
Puji syukur ke hadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya
sehingga saya dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul Kasunanan Surakarta ini
tepat pada waktunya.
Adapun tujuan dari penulisan dari makalah ini adalah untuk memenuhi tugas dosen
pada mata kuliah Sejarah Indonesia Masa Islam. Selain itu, makalah ini juga bertujuan untuk
menambah wawasan tentang sejarah Kasunanan Surakarta bagi para pembaca dan juga bagi
penulis.
Saya mengucapkan terima kasih kepada bapak Drs. Siswanta,M. Pd. selaku dosen
mata kuliah Sejarah Indonesia Masa Islam yang telah memberikan tugas ini sehingga dapat
menambah pengetahuan dan wawasan sesuai dengan bidang studi yang saya tekuni.
Saya juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membagi
sebagian pengetahuannya sehingga saya dapat menyelesaikan makalah ini.
Saya menyadari, makalah yang saya tulis ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh
karena itu, kritik dan saran yang membangun akan saya nantikan demi kesempurnaan
makalah ini.

Bantul, 15 Mei 2022

Penulis Dimas Ridho Ananda

2
DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ............................................................................................... 4
B. Rumusan Permasalahan ................................................................................................ 5
C. Tujuan ........................................................................................................................... 5
BAB II PEMBAHASAN
A. Perkembangan Kasunanan surakarta .............................................................................6
B. Masa Perjuangan Kemerdekaan.................................................................................... 8
C. Menjadi Bagian Indonesia …...................................................................................... 10
D. Wilayah Kekuasaan..................................................................................................... 12
BAB III PENUTUP
Kesimpulan ................................................................................................................. 14
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................................ 13

3
I. Pendahuluan

A. Latar Belakang

Keraton Surakarta
Kesultanan Mataram yang porak-poranda akibat pemberontakan Trunajaya tahun
1677 ibu kotanya oleh Sunan Amangkurat II dipindahkan di Kartasura. Pada masa Sunan
Pakubuwono II memegang tampuk pemerintahan, Keraton Kartasura mendapat serbuan dari
pemberontakan orang-orang Tionghoa yang mendapat dukungan dari orang-orang Jawa anti
VOC di tahun 1742. Peristiwa tersebut merupakan bagian dari sebuah konflik panjang yang
dikenal sebagai Geger Pecinan. Kesultanan Mataram yang berpusat di Kartasura itu akhirnya
mengalami keruntuhannya. Kota dan Keraton Kartasura kemudian berhasil direbut kembali
berkat bantuan Adipati Cakraningrat IV, seorang penguasa Bangkalan yang merupakan
sekutu VOC, namun keadaannya sudah rusak parah. Pakubuwana II yang menyingkir ke
Ponorogo, akhirnya memutuskan untuk membangun istana baru di Desa Sala sebagai ibu kota
Kerajaan Mataram yang baru.
Bangunan Keraton Kartasura yang sudah hancur kemudian dianggap tercemar. Sunan
Pakubuwana II lalu memerintahkan Tumenggung Hanggawangsa bersama Tumenggung
Mangkuyudha, serta komandan pasukan Belanda, J.A.B. van Hohendorff, untuk mencari
lokasi ibu kota dan keraton yang baru. Untuk itu dibangunlah keraton baru di lokasi yang
berjarak sekitar 20 km ke arah tenggara dari Kartasura, tepatnya di Desa Sala, sebuah desa
yang terletak di tepi Bengawan Solo (bahasa Jawa: Bengawan Sala). Untuk pembangunan
keraton ini, Pakubuwana II membeli tanah seharga selaksa keping emas yang diberikan
kepada akuwu Desa Sala yang dikenal sebagai Ki Gedhe Sala. Di tengah pembangunan
keraton, Ki Gedhe Sala meninggal dan dimakamkan di area keraton.
Pemindahan keraton dari Kartasura ke Desa Sala dilakukan dengan berbagai
pertimbangan. Pertama, menurut ahli nujum Raden Tumenggung Hanggawangsa, kerajaan itu
menjadi baik, ramai, makmur. Walaupun kekuasaan raja tidak seberapa luas, kekuasaan itu
dapat berlangsung lama. Kedua, Desa Sala terletak di dekat tempuran, artinya tempat
bertemunya dua sungai, yaitu Sungai Pepe dan Bengawan Solo. Menurut mistik Jawa,
tempuran mempunyai arti magis dan tempat-tempat di dekatnya dianggap keramat. Ketiga,
letak Desa Sala dekat dengan Bengawan Solo, sebuah sungai terbesar di Jawa yang sejak
zaman dahulu mempunyai arti penting sebagai penghubung antara Jawa Tengah dengan Jawa
Timur. Fungsi sebagai penghubung ini dimanfaatkan untuk berbagai kepentingan, antara lain
ekonomi, sosial, politik, dan militer. Sampai abad ke 19, bepergian lewat sungai ternyata
lebih aman daripada melewati jalur darat. Keempat, karena Sala telah menjadi desa sehingga
untuk mendirikan keraton tidak diperlukan tenaga untuk pembabat hutan yang didatangkan
dari tempat lain. Selain Semanggi, di dekat Sala juga terdapat desa-desa penting yang telah
ada sejak zaman Kartasura, yaitu Baturana dan Gabudan. Keduanya ditempati oleh abdidalem
pembuat babud. Kelima, supaya kebijakan VOC yang telah ditetapkan dapat dilaksanakan
dengan mudah, agar pusat kota Mataram yang baru itu mudah dicapai dari Semarang dan
harus dijaga sehingga pemerintah mudah mengirim bala bantuannya karena Semarang
dikenal sebagai jalan masuk menuju Mataram. Keenam, orang Jawa percaya bahwa keadaan

4
tanah akan berpengaruh pada penghuni rumah kediaman yang didirikan di atas tanah itu.
Tanah di Desa Sala dianggap layak sehingga dibangun keraton di wilayah ini.
Atas kehendak Susuhunan Pakubuwana II, Tumenggung Secayudha dan Kyai Ageng
Derpayudha diperintahkan supaya merencanakan serta menentukan urut-urutan perjalanan
perpindahan keraton dari Kartasura ke Surakarta. Setelah upacara tradisional selesai, pada
hari Rabu Pahing tanggal 17 Sura/Muharam tahun 1670 Jawa Windu Sancaya atau tanggal 20
Februari 1745, Susuhunan pindah dari Kartasura ke keraton yang baru. Dalam Babad Giyanti
I, prosesi perpindahan Keraton Kartasura ke Keraton Surakarta dituliskan bertepatan pada
hari Rabu Pahing tanggal 17 Sura dengan candra sengkala Kumbuling Budaya Kapyarsi ing
Nala, Susuhunan berangkat dari Kartasura pindah ke Sala. Selanjutnya, oleh Pakubuwana II
nama Desa Sala kemudian diubah menjadi Surakarta Hadiningrat. Kata sura dalam bahasa
Jawa berarti keberanian dan karta berarti makmur; dengan harapan bahwa Surakarta menjadi
tempat di mana penghuninya adalah orang-orang yang selalu berani berjuang untuk kebaikan
serta kemakmuran negara dan bangsa.

B. Rumusan Permasalahan
1. Bagaimana Perkembangan Kasunanan Surakarta?
2. Bagaimana Kasunanan Surakarta Pada Masa Perjuangan Kemerdekaan?
3. Bagaimana Kasunanan Surakarta Saat Menjadi Bagian Indonesia?
4. Bagaimana Wilayah Kekuasaan Kasunanan Surakarta?

C. Tujuan
1. Untuk Mengetahui Perkembangan Kasunanan Surakarta
2. Untuk Mengetahui Kasunanan Surakarta Pada Masa Perjuangan Kemerdekaan
3. Untuk Mengetahui Kasunanan Surakarta Saat Menjadi Bagian Indonesia
4. Untuk Mengetahui Wilayah Kekuasaan Kasunanan Surakarta;

5
II. Pembahasan
A. Perkembangan Kasunanan surakarta

Pakubuwono III
Pada awal tahun 1755, pihak VOC yang sudah mengalami kebangkrutan berhasil
mengajak Pangeran Mangkubumi berdamai untuk bersatu melawan pemberontakan Raden
Mas Said yang tidak mau berdamai. Semula Pangeran Mangkubumi bersekutu dengan Raden
Mas Said. Adanya Perjanjian Giyanti (13 Februari 1755) dan Perjanjian Jatisari (15 Februari
1755) yang ditandatangani oleh Susuhunan Pakubuwana III dan Pangeran Mangkubumi
mengakibatkan terbentuknya dua kerajaan baru yaitu Kesunanan Surakarta dan Kesultanan
Yogyakarta. Pangeran Mangkubumi sebagai raja di separuh wilayah Mataram mengambil
gelar Sultan Hamengkubuwana, sedangkan raja Kesunanan Surakarta melestarikan gelar
Sunan Pakubuwana. Seiring dengan berjalannya waktu, negeri Mataram yang dipimpin oleh
Hamengkubuwana kemudian lebih terkenal dengan nama Kesultanan Yogyakarta, sedangkan
negeri Mataram yang dipimpin oleh Pakubuwana terkenal dengan nama Kesunanan
Surakarta.
Selanjutnya wilayah Kesunanan Surakarta semakin berkurang karena Perjanjian
Salatiga tanggal 17 Maret 1757, menyebabkan Raden Mas Said diakui sebagai seorang
pangeran miji alias pangeran merdeka dengan wilayah kekuasaan berstatus Kadipaten yang
secara tradisional masih berada di bawah Kesunanan, yang disebut dengan nama Kadipaten
Mangkunegaran. Sebagai penguasa, Raden Mas Said bergelar Adipati Mangkunegara I.
Wilayah Surakarta berkurang lebih jauh lagi usai berakhirnya Perang Diponegoro pada tahun
1830, di mana daerah-daerah Mancanagara diberikan kepada Belanda sebagai ganti rugi atas
biaya peperangan.

Pakubuwono IV
Berbeda dengan Pakubuwana III yang agak patuh kepada VOC, penerus takhta
Kesunanan Surakarta berikutnya, yakni Sri Susuhunan Pakubuwana IV (1788–1820) adalah
sosok raja yang membenci penjajah dan penuh cita-cita serta keberanian. Pada November
1790, terjadi Peristiwa Pakepung, yakni insiden pengepungan Keraton Surakarta oleh
persekutuan VOC, Hamengkubuwana I, dan Mangkunegara I. Pengepungan ini terjadi karena
Pakubuwana IV yang berpaham politik Islam dan dekat dengan kaum santri menyingkirkan
para pejabat istana yang tidak sepaham dengannya. Para pejabat istana yang merasa
disingkirkan kemudian meminta bantuan VOC untuk menghadapi Pakubuwana IV. VOC
akhirnya bersekutu dengan Hamengkubuwana I dan Mangkunegara I untuk menghadapi
Pakubuwana IV. Pada bulan November 1790 aliansi tersebut mengepung Keraton Surakarta.
Dari dalam istana sendiri, para pejabat senior yang tersisih ikut menekan Pakubuwana IV
agar menyingkirkan para penasihat politik dan rohaninya. Pakubuwana IV akhirnya terpaksa
mengalah pada tanggal 26 November 1790 dengan menyerahkan para penasihatnya yang
terdiri dari para haji untuk dibuang VOC. Pada era pemerintahan Pakubuwana IV inilah
terjadi perundingan bersama yang isinya menerangkan bahwa Kesunanan Surakarta,

6
Kesultanan Yogyakarta, serta Kadipaten Mangkunegaran memiliki kedudukan dan
kedaulatan yang setara sehingga tidak boleh saling menyerang.
Pakubuwono V dan Pakubuwono VI
Pengganti Pakubuwana IV adalah Sri Susuhunan Pakubuwana V, yang oleh
masyarakat saat itu dijuluki sebagai Sunan Ngabehi, karena baginda yang sangat kaya, baik
kaya harta maupun kesaktian. Setelah wafat, pengganti Pakubuwana V adalah Sri Susuhunan
Pakubuwana VI. Pakubuwana VI adalah pendukung perjuangan Pangeran Diponegoro, yang
memberontak terhadap Kesultanan Yogyakarta dan pemerintah Hindia Belanda sejak tahun
1825. Penulis naskah-naskah babad waktu itu sering menutupi pertemuan rahasia
Pakubuwana VI dengan Pangeran Diponegoro menggunakan bahasa simbolis. Misalnya,
Pakubuwana VI dikisahkan pergi bertapa ke Gunung Merbabu atau bertapa di Hutan
Krendawahana. Padahal sebenarnya, ia pergi menemui Pangeran Diponegoro secara diam-
diam. Dalam perang melawan Pangeran Diponegoro, Pakubuwana VI menjalankan aksi
ganda. Di samping memberikan bantuan dan dukungan, ia juga mengirim pasukan untuk
pura-pura membantu Belanda. Pujangga besar Ranggawarsita mengaku semasa muda dirinya
pernah ikut serta dalam pasukan sandiwara tersebut. Setelah menangkap Pangeran
Diponegoro, Belanda tetap saja menangkap Pakubuwana VI dan membuangnya ke Ambon
pada tanggal 8 Juni 1830 dengan alasan bahwa Mas Pajangswara sudah membocorkan
semuanya, dan kini ia hidup nyaman di Batavia.
Fitnah yang dilancarkan pihak Belanda ini kelak berakibat buruk pada hubungan
antara putra Pakubuwana VI, yaitu Pakubuwana IX dengan putra Mas Pajangswara, yaitu
Ranggawarsita. Pakubuwana IX sendiri masih berada dalam kandungan ketika Pakubuwana
VI berangkat ke Ambon. Takhta Surakarta kemudian jatuh kepada paman Pakubuwana VI,
yang bergelar Sri Susuhunan Pakubuwana VII.
Pakubuwono VII
Saat itu Perang Diponegoro baru saja berakhir. Masa pemerintahan Pakubuwana VII
relatif damai apabila dibandingkan masa raja-raja sebelumya. Keadaan yang damai itu
mendorong tumbuhnya kegiatan sastra secara besar-besaran di lingkungan keraton. Masa
pemerintahan Pakubuwana VII dianggap sebagai puncak kejayaan Sastra Jawa di Kesunanan
Surakarta dengan pujangga besar Ranggawarsita sebagai pelopornya. Pemerintahannya
berakhir saat wafatnya, dan karena tidak memiliki putra mahkota maka Pakubuwana VII
digantikan oleh kakaknya (lain ibu) bergelar Sri Susuhunan Pakubuwana VIII yang naik
takhta pada usia 69 tahun.
Pakubuwono VIII dan Pakubuwono IX
Pemerintahan Pakubuwana VIII berjalan selama tiga tahun hingga akhir hayatnya.
Pakubuwana VIII digantikan putra Pakubuwana VI sebagai raja Surakarta selanjutnya, yang
bergelar Sri Susuhunan Pakubuwana IX. Hubungan antara Pakubuwana IX dengan
Ranggawarsita sendiri kurang harmonis karena fitnah pihak Belanda bahwa Mas Pajangswara
(ayah Ranggawarsita yang menjabat sebagai juru tulis keraton) telah membocorkan rahasia
persekutuan antara Pakubuwana VI dengan Pangeran Diponegoro. Akibatnya, Pakubuwana
VI pun dibuang ke Ambon. Hal ini membuat Pakubuwana IX membenci keluarga Mas
Pajangswara, padahal juru tulis tersebut ditemukan tewas mengenaskan karena disiksa dalam
penjara oleh Belanda. Ranggawarsita sendiri berusaha memperbaiki hubungannya dengan

7
raja melalui persembahan naskah Serat Cemporet. Pemerintahan Pakubuwana IX berakhir
saat kematiannya pada tanggal 16 Maret 1893. Ia digantikan putranya sebagai raja Surakarta
selanjutnya, bergelar Sri Susuhunan Pakubuwana X.
Pakubuwono X
Masa pemerintahan Pakubuwana X ditandai dengan kemegahan tradisi dan suasana
politik kerajaan yang stabil. Pada masa pemerintahannya yang cukup panjang, Kesunanan
Surakarta mengalami transisi, dari kerajaan tradisional menuju era modern, sejalan dengan
perubahan politik di Hindia Belanda. Meskipun berada dalam tekanan politik pemerintah
kolonial Hindia Belanda, Pakubuwana X memberikan kebebasan berorganisasi dan
penerbitan media massa. Ia mendukung pendirian organisasi Sarekat Islam, salah satu
organisasi pergerakan nasional pertama di Indonesia. Kongres Bahasa Indonesia I di
Surakarta (1938) diadakan pada masa pemerintahannya.

Infrastruktur modern kota Surakarta banyak dibangun pada masa pemerintahan


Pakubuwana X, seperti bangunan Pasar Gedhe Harjanagara, Stasiun Solo Jebres, Stasiun
Solo-Kota (Sangkrah), Stadion Sriwedari, Taman Sriwedari, Taman Satwataru Jurug,
Jembatan Jurug yang melintasi Bengawan Solo di timur kota, gapura-gapura di batas Kota
Surakarta, Griya Wangkung (rumah singgah bagi tunawisma), rumah pemotongan hewan
ternak di Jagalan, rumah perabuan (pembakaran jenazah) bagi warga Tionghoa, dan berbagai
infrastruktur serta fasilitas publik lainnya. Dia meninggal dunia pada tanggal 1 Februari 1939.
Ia disebut sebagai Sunan Panutup atau raja besar Surakarta yang terakhir oleh rakyatnya.
Pemerintahannya kemudian digantikan oleh putranya yang bergelar Sri Susuhunan
Pakubuwana XI.
Pakubuwono XI
Pemerintahan Pakubuwana XI terjadi pada masa sulit, yaitu bertepatan dengan
meletusnya Perang Dunia II. Ia juga mengalami pergantian pemerintah penjajahan dari
tangan Belanda kepada Jepang sejak tahun 1942. Pihak pemerintah Pendudukan Jepang
menyebut Kesunanan Surakarta dengan nama Solo-Kōchi/Kōti, dan Pakubuwana XI diakui
serta diberi kedudukan sebagai Solo-Kō. Ia kemudian digantikan oleh putra termudanya yang
bergelar Sri Susuhunan Pakubuwana XII.

B. Masa Perjuangan Kemerdekaan

Di awal masa kemerdekaan (1945–1946), Kesunanan Surakarta (dan Kadipaten


Mangkunegaran) sempat menjadi daerah istimewa, yaitu Daerah Istimewa Surakarta (DIS).
Akan tetapi, karena kerusuhan dan agitasi politik saat itu, maka pada tanggal 16 Juni 1946
oleh Pemerintah Indonesia statusnya diubah menjadi Keresidenan, menyatu dalam wilayah
Negara Kesatuan Republik Indonesia. Penetapan status Istimewa ini dilakukan Presiden
Sukarno sebagai balas jasa atas pengakuan raja-raja Kesunanan Surakarta dan Kadipaten
Mangkunegaran yang menyatakan wilayah mereka adalah bagian dari Republik Indonesia
pada tanggal 19 Agustus 1945.

8
Kemudian pada tanggal 1 September 1945, Kesunanan Surakarta dan Kadipaten
Mangkunegaran mengirimkan maklumat kepada Presiden Sukarno perihal pernyataan dari
Susuhunan Pakubuwana XII dan Adipati Mangkunegara VIII yang menyatakan bahwasanya
Negeri Surakarta Hadiningrat yang bersifat kerajaan adalah Daerah Istimewa dari Negara
Republik Indonesia, di mana hubungan antara Negeri Surakarta dengan Pemerintah Pusat
Negara Republik Indonesia bersifat langsung. Atas dasar semua itulah, maka Presiden
Sukarno memberikan pengakuan resmi kepada Susuhunan Pakubuwana XII dan Adipati
Mangkunegara VIII dengan diberikannya piagam kedudukan resmi, masing-masing sebagai
kepala daerah istimewa.[16]

Sebagaimana diketahui, barulah sekitar empat hari setelahnya, yaitu pada tanggal 5
September 1945, Kesultanan Yogyakarta dan Kadipaten Pakualaman mengeluarkan
maklumat serupa, yang menjadi dasar dari pembentukan dari Provinsi Daerah Istimewa
Yogyakarta.

Belanda yang tidak merelakan kemerdekaan Indonesia berusaha merebut kembali


negeri ini dengan kekerasan. Pada bulan Januari 1946 ibu kota Indonesia terpaksa pindah ke
Yogyakarta karena Jakarta jatuh ke tangan Belanda. Kemudian, pada Oktober 1945, muncul
gerakan anti swapraja/anti monarki/anti feodal di Surakarta, di mana salah seorang
pimpinannya adalah Tan Malaka, pimpinan Partai Murba dan Persatuan Perjuangan.[17]
Barisan Banteng juga berhasil menguasai Surakarta, sedangkan pemerintah Indonesia tidak
menumpasnya karena pembelaan Jenderal Sudirman. Bahkan, Jenderal Sudirman juga
berhasil mendesak pemerintah untuk mencabut status Daerah Istimewa Surakarta. Tujuan
gerakan ini adalah penghapusan DIS serta penurunan status kedudukan Susuhunan dan
Mangkunegara, termasuk perampasan tanah-tanah pertanian milik pemerintah Kesunanan
Surakarta dan Kadipaten Mangkunegaran untuk dibagi-bagikan sesuai dengan kegiatan
landreform oleh golongan sosialis-komunis.

Tanggal 17 Oktober 1945, pepatihdalem (perdana menteri) Kesunanan yang juga


seorang mantan anggota BPUPKI, KRMH. Sasradiningrat V, diculik oleh gerombolan anti
swapraja (ia kemudian berhasil bebas dan wafat pada tahun 1967).[18] Aksi ini diikuti
pencopotan bupati-bupati yang umumnya kerabat raja dan diganti orang-orang yang pro
gerakan anti swapraja. Bulan Maret 1946, pepatihdalem yang baru, KRMT. Yudhanagara,
juga diculik. Dan pada bulan April 1946, sembilan pejabat Kepatihan mengalami hal yang
sama.[19]

Karena banyaknya kerusuhan, penculikan dan pembunuhan, untuk sementara waktu


pemerintah Republik Indonesia membekukan status DIS dan menurunkan kekuasaan raja-raja
Kesunanan dan Mangkunegaran serta daerah Surakarta yang bersifat istimewa sebagai

9
keresidenan sebelum bentuk dan susunannya ditetapkan undang-undang. Status Susuhunan
Surakarta dan Adipati Mangkunegaran menjadi pemangku adat dan simbol pemersatu di
tengah masyarakat Jawa dan warga negara Republik Indonesia, serta Keraton Surakarta dan
Pura Mangkunegaran kemudian lebih berfungsi sebagai pusat pelestarian dan pengembangan
budaya Jawa.
C. Menjadi Bagian Indonesia

Pakubuwono XII
Pakubuwana XII gagal mengambil peran penting dan memanfaatkan situasi politik
Republik Indonesia. Pakubuwana XII saat itu dianggap kurang berdaya dalam menghadapi
kelompok anti daerah istimewa yang gencar bermanuver dalam perpolitikan dan
menyebarkan rumor bahwa para bangsawan Surakarta merupakan sekutu pemerintah
Belanda, sehingga sebagian rakyat merasa tidak percaya dan memberontak terhadap
kekuasaan Kesunanan.[20] Dalam buku seri Sekitar Perang Kemerdekaan Indonesia, Jenderal
Abdul Haris Nasution menulis bahwa raja-raja Surakarta membelot dan mengkhianati
Indonesia saat terjadi Agresi Militer Belanda II tahun 1948–1949. Bahkan pihak TNI sudah
menyiapkan Kolonel Jatikusuma (KSAD pertama), putra Pakubuwana X, untuk diangkat
menjadi Susuhunan yang baru dan Letkol. Suryo Sularso untuk diangkat menjadi
Mangkunegara yang baru. Namun sebagian rakyat dan tentara semakin ingin menghapuskan
monarki sama sekali. Akhirnya Mayor Achmadi, penguasa militer kota Surakarta, hanya
diberi tugas untuk langsung berhubungan dengan istana-istana monarki Surakarta. Kedua raja
diminta untuk secara tegas memihak Republik. Jika raja-raja tersebut menolak, akan diambil
tindakan sesuai Instruksi Non Koperasi.
Kenyataannya, selama masa Revolusi Nasional, Pakubuwana XII tetap memihak
pemerintah Republik Indonesia. Ia bahkan memperoleh pangkat militer letnan jenderal tituler,
dan pada tahun 1945–1948 beberapa kali turut mendampingi Presiden Sukarno dan Wakil
Presiden Mohammad Hatta mengunjungi berbagai daerah di Jawa Tengah dan Jawa Timur,
baik dalam rangka konsolidasi pemerintahan maupun meninjau garis depan pertempuran.[22]
Sebelum dan hingga peristiwa Serangan Umum Surakarta pada 7–10 Agustus 1948,
Pakubuwana XII juga mengizinkan sepasukan TNI di bawah pimpinan Letkol. Slamet Riyadi
untuk menggunakan Pesanggrahan Pracimaharja di Boyolali sebagai markas, sebelum
akhirnya pesanggrahan peninggalan Pakubuwana VI tersebut dibakar untuk membendung
manuver tentara Belanda yang hendak menduduki wilayah Surakarta.[22] Selain itu,
Pakubuwana XII juga menjadi salah satu anggota delegasi yang diberi kedudukan setingkat
menteri negara dalam rombongan delegasi Republik Indonesia pimpinan Mohammad Hatta
pada Konferensi Meja Bundar di Den Haag dari tanggal 23 Agustus hingga 2 November
1949.[23] Pada 17 Desember 1949, staf urusan sipil Komando Tentara dan Teritorial Kota
Surakarta, mewakili pemerintah Republik Indonesia, bahkan memberikan surat tanda
penghargaan dan terima kasih kepada Jawatan Pusat Karti Praja, sebuah badan pekerjaan
umum yang dibentuk Pakubuwana XII dalam rangka membuka lapangan kerja bagi
masyarakat karena telah ikut serta dalam mempertahankan kedaulatan negara Republik
Indonesia selama Agresi Militer Belanda II.[22][19] Meski demikian, kedudukan Daerah
Istimewa Surakarta saat itu tetap belum dapat dipertahankan, karena ketidakstabilan politik
dan pemerintahan di Surakarta yang berlangsung berlarut-larut sejak tahun 1945 sampai

10
1949. Meskipun gagal secara politik, namun Pakubuwana XII tetap menjadi figur pelindung
kebudayaan Jawa.
Pakubuwono XIII
Sepeninggal Susuhunan Pakubuwana XII, sempat terjadi perebutan takhta antara
KGPH. Hangabehi dangan KGPH. Tejawulan, yang masing-masing menyatakan diri sebagai
Pakubuwana XIII; keduanya mengklaim sebagai pemangku takhta yang sah, dan masing-
masing menyelenggarakan acara pemakaman ayahnya secara terpisah. Akan tetapi,
konsensus keluarga telah mengakui bahwa Hangabehi yang diberi gelar Sri Susuhunan
Pakubuwana XIII. Pada tahun 2012, konflik Raja Kembar telah usai setelah Pangeran
Tejawulan melepaskan klaim takhta dan gelar Pakubuwana kepada kakaknya, yakni Pangeran
Hangabehi, dalam sebuah rekonsiliasi resmi yang diprakarsai oleh Pemerintah Kota Surakarta
bersama DPR-RI, dan Pangeran Tejawulan sendiri dilantik menjadi mahamenteri dengan
gelar KGPHPA.
Rekonsiliasi damai antara Pakubuwana XIII dan Tejawulan awalnya sempat ditentang
oleh Lembaga Dewan Adat (LDA) Keraton Surakarta yang dipimpin oleh GKR. Wandansari.
[26] Sejak tahun 2013, Pakubuwana XIII bahkan tidak dapat memasuki kawasan inti Keraton
Surakarta dan memimpin beberapa upacara adat karena adanya penutupan beberapa akses
dari kediaman Susuhunan menuju kawasan inti keraton.[27] Setelah TNI dan Kepolisian
turun tangan serta adanya mediasi antara pihak Pakubuwana XIII dan Lembaga Dewan Adat,
[28][29] pada bulan April 2017 Pakubuwana XIII bisa kembali masuk ke dalam keraton dan
menyelenggarakan upacara peringatan kenaikan takhta (tingalandalem jumenengan) yang
dihadiri oleh keluarga, abdidalem, perwakilan masyarakat, dan beberapa pejabat tinggi
pemerintahan.

11
D. Wilayah Kekuasaan

Wilayah Kesunanan Surakarta dibagi menjadi daerah Kuthagara atau Kuthanagara,


Nagara Agung, Mancanagara, dan Pasisiran. Daerah Kuthagara adalah ibu kota dan pusat
pemerintahan kerajaan, yang juga menjadi tempat tinggal raja beserta keluarganya termasuk
para pejabat dan pegawai pemerintahan. Daerah Kuthagara juga sering disebut sebagai Siti
Narawita, yang secara harfiah berarti daerah tempat orang-orang mengabdi. Daerah Nagara
Agung adalah wilayah yang berada di sekitar Kuthagara, yang merupakan daerah apanase
atau tanah lungguh dari para keluarga raja dan abdidalem, termasuk pula daerah Siti Narawita
milik raja. Sedangkan daerah Mancanagara dan Pasisiran merupakan wilayah di luar kawasan
Nagara Agung; di daerah ini tidak terdapat tanah lungguh, namun pada saat perayaan grebeg
dan tiap-tiap waktu tertentu harus menyerahkan pajak ke keraton. Secara keseluruhan,
wilayah Kesunanan Surakarta ketika itu memiliki luas 352.382 karya.
Kuthagara Surakarta, meliputi:
(1) Keraton Surakarta
(2) Daerah sekitar keraton, yaitu area bagian dalam tembok benteng Baluwarti serta
kawasan sekitar Tugu Pamandengan dan Gapura Gladag di sebelah utara hingga Gapura
Gading di sebelah selatan (termasuk dua alun-alun dan Masjid Agung Surakarta)
Nagara Agung, meliputi:
(1) Daerah Panumping (daerah Sukowati)
(2) Daerah Panekar (daerah Pajang)
(3) Daerah Siti Ageng Tengen (daerah di sisi kanan Jalan Besar Pajang-Demak)
(4) Daerah Siti Ageng Kiwa (daerah di sisi kiri Jalan Besar Pajang-Demak)
(5) Daerah Bumi (daerah Kedu di bagian barat Sungai Progo)
(6) Daerah Bumija (daerah Kedu di bagian timur Sungai Progo)
(7) Daerah Sewu (daerah Bagelen dan Cilacap)
(8) Daerah Numbak Anyar (daerah di antara Sungai Bogowonto dan Sungai Progo)

12
Mancanagara, meliputi:
(1) Daerah Mancanagara Kulon, terdiri dari daerah Banyumas, Bantar (Brebes),
Lebaksiu dan Balapulang (Tegal), Kalibeber (Wonosobo), Karanganyar dan Karangbolong
(Kebumen), Merden (Banjarnegara), Bobotsari dan Kertanegara (Purbalingga)
(2) Daerah Mancanagara Wetan, terdiri dari daerah Magetan, Jogorogo (Ngawi),
Madiun, Caruban, Ponorogo, Kaduwang (Wonogiri), Pacitan, Tulungagung, Kediri, Pace dan
Berbek (Nganjuk), Wirasaba (Jombang), serta Japan (Mojokerto)
Pasisiran, meliputi:
(1) Daerah Pasisiran Kulon, terdiri dari daerah pesisir Brebes dan Tegal, serta daerah
Pemalang, Pekalongan, Batang, Kendal, dan Kaliwungu
(2) Daerah Pasisiran Wetan, terdiri dari daerah Demak, Jepara, Kudus, Pati (termasuk
daerah Cengkal dan Juwana), Rembang, Lasem, Tuban, Lamongan, Sidayu, Gresik,
Surabaya, Bangil, Pasuruan, Blambangan (Banyuwangi), dan Pulau Madura)
Wilayah kekuasaan Kesunanan Surakarta selanjutnya semakin berkurang pada masa
pemerintahan raja-raja berikutnya, termasuk setelah adanya Perjanjian Giyanti tahun 1755
dan Perjanjian Salatiga tahun 1757, yang mengakibatkan Kesunanan Surakarta harus
menyerahkan beberapa wilayah kekuasaannya kepada Kesultanan Yogyakarta dan Kadipaten
Mangkunegaran, serta menyerahkan wilayah Pasisiran kepada VOC. Usai Perang Jawa pada
tahun 1830, seluruh wilayah Mancanagara dirampas oleh pemerintah Hindia Belanda,
menyisakan wilayah Nagara Agung dan Kuthagara. Wilayah yang tersisa tersebut, kemudian
dibagi lagi menjadi beberapa kabupaten dan kawedanan.
Pada masa pemerintahan Susuhunan Pakubuwana X, wilayah Kesunanan Surakarta
meliputi kota Surakarta, Kabupaten Sukoharjo (Kabupaten Kutha Surakarta), Kabupaten
Klaten, Kabupaten Boyolali, Kabupaten Sragen, serta beberapa enklave (daerah kantong)
yang tersebar di berbagai wilayah, termasuk di dalam wilayah Yogyakarta (Kotagede dan
Imogiri). Untuk daerah bagian utara kota Surakarta serta Kabupaten Karanganyar (Kabupaten
Kutha Mangkunegaran) dan Kabupaten Wonogiri (termasuk enklave Ngawen dan Semin)
diperintah oleh Kadipaten Mangkunegaran. Wilayah dan pembagian administratif tersebut
tidak banyak mengalami perubahan hingga masa Pendudukan Jepang dan era pemerintahan
Republik Indonesia. Setelahnya, di masa pemerintahan Susuhunan Pakubuwana XII wilayah
Kesunanan Surakarta mendapat kedudukan sebagai sebuah daerah istimewa dan menjadi
Daerah Istimewa Surakarta, yang bertahan selama beberapa bulan pada tahun 1945–1946.
Usai pembekuan Daerah Istimewa Surakarta dan sejak dibentuknya Karesidenan Surakarta

13
hingga penggabungan karesidenan tersebut ke dalam Provinsi Jawa Tengah pada tahun 1950,
saat ini wilayah Kesunanan Surakarta secara administratif telah menyatu dengan Provinsi
Jawa Tengah.

III. Penutup
Kesimpulan
Kasunanan Surakarta terletak di Kota Surakarta, Jawa Tengah. Keraton ini didirikan oleh
Susuhunan Pakubuwana II pada tahun 1744 sebagai pengganti Istana/Keraton Kartasura yang
porak-poranda akibat Geger Pecinan 1743. Walaupun Kasunanan Surakarta tersebut secara
resmi telah menjadi bagian Republik Indonesia sejak tahun 1945, kompleks bangunan
keraton ini masih berfungsi sebagai tempat tinggal Sri Sunan dan rumah tangga istananya
yang masih menjalankan tradisi kerajaan hingga saat ini. Keraton ini kini juga merupakan
salah satu objek wisata utama di Kota Surakarta. Sebagian kompleks keraton merupakan
museum yang menyimpan berbagai koleksi milik kasunanan, termasuk berbagai pemberian
dari raja-raja Eropa, replika pusaka keraton, dan gamelan. Dari segi bangunannya, keraton ini
merupakan contoh arsitektur istana Jawa tradisional yang terbaik, pada saat memasuki
kawasan keraton pengunjung bisa langsung melihat bangunan tua dan melihat ukiran-ukiran
yang unik pada dinding keraton. Di sekitar kawasan keraton terdapat museum yang
menyimpan barang barang peninggalan raja dan benda-benda yang dipakai msyarakat pada
jaman dahulu.

DAFTAR PUSTAKA
1. Sarmino, Husain Haikal (2001). "Segi Kultural relijius Perpindahan Keraton Kartasura ke
Surakarta". Jurnal Penelitian dan Evaluasi Pendidikan. Program Pasca Sarjana, Universitas
Negeri Yogyakarta. 3 (4): 115-116. ISSN 2685-7111
2. Eko Punto Hendro. "Strategi Kebudayaan Perjuangan Pahlawan Nasional Pangeran
Sambernyowo" (PDF). Endogami:Jurnal Ilmiah Kajian Antropologi: 42–54.
2. Prasadana, Muhammad Anggie Farizqi; Gunawan, Hendri (2019-06-17).
"KERUNTUHAN BIROKRASI TRADISIONAL DI KASUNANAN SURAKARTA".
Handep: Jurnal Sejarah dan Budaya. 2 (2): 187–200. doi:10.33652/handep.v2i2.36. ISSN
2684-7256.
3. "Trunojoyo Melawan Mataram dan Dihukum Mati".Siswanta (2019). "Sejarah
Perkembangan Mataram Islam Kraton Plered" (PDF). Karmawibangga:Historical Studies
Journal. 1: 33–42.

14

Anda mungkin juga menyukai