Anda di halaman 1dari 19

1

HERMENEUTIKA PAUL RICOEUR


Dari Romantisme, Fenomenologi-Eksistensialisme ke Kritisisme
Oleh Haryatmoko

Hermeneutika dipahami sebagai teori penafsiran atau refleksi teoritis tentang


kegiatan penafsiran. Dewasa ini, tidak mungkin mengabaikan sumbangan Paul Ricoeur
terhadap perkembangan hermeneutika. Persepsinya bahwa penafsiran dianggap baik bila
mampu mengantar penafsirnya memahami diri lebih baik menandai kebaharuan di dalam
khazanah pemaknaan filsafat.

Pertanyaan yang pernah diajukan oleh Descartes, Husserl dan Dilthey „bagaimana
subyek yang mengetahui mampu memahami dengan pasti alam atau budaya‟ dijawab
dengan jernih oleh Ricoeur. Dengan mengacu ke filsafat Heidegger yang memutus
hermeneutika dari masalah epistemologis untuk masuk ke masalah ontologis, Ricoeur
membuka perspektif baru. „Ada‟ macam apa yang menyatakan diri melalui pemahaman?

Dengan sangat sistematis masalah ini akan dijawab Ricoeur melalui salah satu
kategori hermeneutikanya, yaitu „apropriasi‟ atau „pemahaman diri‟. Dalam upaya untuk
sampai ke „pemahaman diri‟ ini, filsafat kecurigaan Marx, Nietzsche dan Freud
ditempatkan Ricoeur sebagai sarana efektif pengambilan jarak yang harus dilakukan.

1. Tiga Model Hermeneutika dan Tekstualitas Fakta Sosial

Keprihatinan untuk membatasi kesewenang-wenangan yang muncul dari konsep


hermenetika dan di dalam paraktek penafsiran, mendorong munculnya paling tidak tiga
model pendekatan yang mendefinisikan peran hermenetika.

Pertama, hermenetika memerankan fungsi seni pemahaman (Schleiermacher,


Dilthey, Droysen) yang mampu memberikan aturan-aturan metodis kongkrit untuk
penafsiran teks. Peran ini lebih teknis dan normatif. Aturan-aturan atau norma-normanya
harus memungkinkan untuk menghindari kesewenang-wenangan dan subyektivitas
wahana penafsiran. Oleh karena itu model ini sering disebut hermenetika normatif atau
metodis (dari abad-abad permulaan praktek penafsiran teks hingga abad ke XIX).
2

Kedua, hermeneutika harus beranjak dari peran seni pemahaman untuk


memberikan tempat kepada refleksi yang lebih fenomenologis, tentang fenomen
penafsiran. Penafsiran ini tidak dibatasi pada analisa teks dalam disiplin tertentu, tetapi
merupakan ciri dasariah dari keberadaan manusia di dunia sejarawi dan terbatas ini.
Maka model ini sering disebut hermenetika fenomenologis. Konsep ini dipakai untuk
hermenetika dewasa ini. Pemikiran hermenetika abad XX dapat mengenali tantangan
pokok refleksi filsafat tentang unsur-unsur dasariah dari pengalaman kita (Heidegger,
Gadamer, Ricoeur).

Ketiga, hermeneutika kritis tidak lepas dari pengaruh teori kritis. Hermeneutika
ini menunjuk pada pengaruh metode mashab Frankfurt yang menekankan analisa teori
masyarakat yang tidak puas hanya dengan konstatif dan deskriptif. Teori sosial tidak bisa
mengikuti ideal positivis-obyektif, atau azas bebas nilai. Masyarakat penuh dengan
ketidakadilan dan diatur oleh tindakan rasional. Teori sosial harus mengevaluasi secara
kritis masyarakat dari perspektif nilai tertentu. Kritik ini mengadili tingkat kebebasan
masyarakat sehingga bagi anggota-anggotanya mendorong ke pembebasan, perubahan
dan kemajuan.. Jadi keprihatinan dan harapan teori kritis tidak membedakan lagi ilmu
sosial dan filsafat sosial (Habermas, Foucault, Bourdieu, Derrida, Ricoeur).

Mengapa memasukkan M.Foucault, P.Bourdieu dan J.Derrida? Para pemikir


Perancis ini memiliki keprihatinan yang sama, hanya dengan nuansa kritik lebih tajam.
Fungsi pemikiran kritis yang didefinisikan oleh Michel Foucault cukup mewakili
keresahan para pemikir kritis Perancis ini. Foucault dengan lebih jernih mendefinisikan
tugas pemikiran kritis: pertama, membongkar hubungan kekuasaan yang disembunyikan.
Kedua, mendorong tumbuhnya perlawanan dan memungkinkan suara yang tercekik bisa
mengungkap. Ketiga, menghasilkan pengetahuan yang benar agar dapat melawan cara
memerintah yangg dominan. Keempat, mungkinkan penemuan subyektivitas baru untuk
menantang kebebasan dan kemungkinan bertindak kita. Akhirnya, mau memperlihatkan
kesejarahan sistem pengetahuan, kekuasaan dan subyektivasi dan menunjukkan bahwa
tidak ada fatalitas (Dits et Ecrits, III, 109-114).

Tugas penafsiran membantu menguak makna teks. Teks adalah wacana yang
sudah terpateri di dalam tulisan. Ferdinand de Saussure membedakan antara langue
3

(bahasa) dan parole (wacana). Atas dasar pembedaan ini, Paul Ricoeur mendefinisikan
apa itu yang disebut wacana dengan dibedakan dari bahasa. Di dalam wacana ada empat
unsur yang membentuknya (Ricoeur, 1986:184): pertama, ada subjek yang menyatakan;
kedua, isi pernyataan atau proposisi yang merupakan dunia atau wahana yang mau
digambarkan atau direpresentasikan; ketiga, kepada siapa pernyataan itu mau
disampaikan; dan keempat, terkait dengan temporalitas, artinya konteks waktu
penyampaian pernyataan itu. Sedangkan bahasa sebagai sistem tidak terikat pada syarat
pertama dan keempat. Wacana yang terpateri dalam tulisan menjadi objek hermeneutika.
Terpaterinya wacana dalam tulisan memungkinkan otonomisasi teks sehingga
terlepas dari konteks produksi dan maksud pengarang. Maka menafsirkan tidak hanya
mereproduksi maksud pengarang. Dengan demikian semua bentuk monopoli kebenaran
dipertanyakan karena makna teks terlalu kaya untuk direduksi menjadi satu kebenaran.
Ciri-ciri tekstualitas juga terdapat di dalam tindakan. Tindakan bukan dibuat dari
nol, tetapi dari meniru: belajar dari yang telah dibuat dengan mendengar, melihat atau
membaca. Maka ada hubungan antara tindakan dan kisah. Oleh Ricoeur hubungan ini
dibahas di dalam mimesis: meniru, mengulang, mengikuti, meneladan, memalsu dan
menciptakan kembali. Dari sederet arti mimesis ini, filsuf Perancis itu memilih “tiruan
kreatif tindakan manusia”. Untuk sampai pada tiruan kreatif diperlukan pemahaman diri
melalui kisah yang diantarai tanda, simbol dan teks.

2.Pengetahuan Diri melalui Mediasi Tanda, Simbol dan Teks


Yang membawa Paul Ricoeur dari refleksi ke interpretasi ini disebut “Jalan
Panjang” karena pemahaman mengandaikan penjelasan melalui mediasi panjang.
Pemahaman bukan bertemunya antara “ada” dan “pemikiran”. Ada jarak antara subjek
yang merefleksi dengan diri. Dan jarak ini mendapat mediasi dari tanda, simbol dan teks.
Mediasi melalui tanda menunjukkan bahwa kondisi awali dari semua pengalaman
manusia adalah bahasa: persepsi selalu dikatakan; keinginan juga diungkapkan dengan
kata-kata. Mediasi melalui simbol berarti semua ungkapan yang bermakna ganda yang
dikaitkan dengan penamaan unsur-unsur kosmos (api, air, angin), penamaan dimensi
(ketinggian, kedalaman,), penamaan aspek-aspeknya (terang, gelap). Teks adalah semua
wacana yang terpateri melalui tulisan, tanpa mempermasalahkan mana yang lebih dulu
4

lisan atau tulisan, karena ada wacana yang langsung ditulis tanpa harus dikatakan. Teks
memisahkan dua hal: tindakan menulis dan tindakan membaca. Penulis tidak hadir pada
saat teks dibaca. Pembaca tidak hadir pada saat teks ditulis.
Mediasi melalui tanda dan simbol diperluas dan dimodifikasi oleh mediasi
melalui teks. Tetapi perluasan ini mencabut teks dari hubungan intersubjektif: maksud
pengarang tidak lagi tampil seperti dikehendaki pada kondisi awal, kondisi saat wacana
dihasilkan. Maka harus dibangun kembali bersama dengan makna teks itu sendiri. Oleh
karena itu hermeneutika tidak lagi dimengerti sebagai mencari kesamaan antara
pemahaman penafsir dan maksud pengarang. Tugas hermeneutika, pertama, mencari di
dalam teks itu sendiri dinamika yang diarah oleh strukturasi karya; kedua, mencari di
dalam teks kemampuan untuk memproyeksikan diri ke luar dari dirinya dan melahirkan
suatu dunia yang merupakan halnya atau pesan utama teks itu.

3.Mimesis: Prefigurasi, Konfigurasi dan Refigurasi


Tindakan saat ini tidak bisa dilepaskan dari masa lalu. Tindakan seseorang
didapat dengan belajar dari orang lain yang dilihat dan kemudian ditiru (mimesis).
Tindakan merupakan endapan dan tiruan dari kisah-kisah yang didengar, dibaca dan
sudah diresapkan. Pada gilirannya, tindakan-tindakan itu menjadi bahan untuk
dikisahkan. Sedangkan kisah akan memberikan pemahaman lebih jernih terhadap
tindakan karena mampu menyingkap aspek-aspek dari tindakan. Tesis Ricoeur tentang
mimesis narasi dan pembedaan tiga tahap mimesis mengungkapkan keprihatinan yang
sama, yaitu menggabungkan ketepatan analisa dengan sisi ontologis: prefigurasi tindakan
manusia dengan struktur makna yang sudah terdapat di sana, konfigurasi kisah yang telah
diseleksi yang kemudian ditata sesuai dengan kaidah sastra dan transfigurasi (Ricoeur,
1985) tindakan melalui tiruan kreatif dari kisah.

3.1.Prefigurasi: Struktur Pra-Naratif Tindakan


Narasi bukan hanya cara untuk menimbun informasi. Narasi memberi struktur
pengalaman, mengorganisir ingatan, menata bagian-bagiannya dengan tujuan
membangun setiap peristiwa kehidupan. Seseorang bisa membangun narasi autobiografi
yang mengisahkan kehidupannya. Konstruksi pribadi ini berkelindan dengan kisah
5

kehidupan komunitas, struktur dalam tentang hakikat kehidupan itu sendiri. Maka
konstruksi seseorang terhadap peristiwa dan tindakan masa lalu di dalam narasi pribadi
akan mengarahkan ke identitas dan hidup yang dibangunnya. Oleh karena itu narasi
melibatkan pengorganisasian ingatan. Narasi pribadi merupakan pembicaraan yang
diorganisir di sekitar kejadian-kejadian secara berurutan. Pencerita mengatakan kepada
pendengarnya tentang masa lalu dan meringkaskan kembali dengan memberi tekanan
pada bagian-bagian yang dianggap penting, apa yang telah terjadi dan kemudian
menentukan masalahnya. Cukup sering poin yang ditekankan adalah sisi moralnya. Maka
melalui kisah etika pertama-tama bukan teori atau gagasan, namun berawal dari
pengalaman kehidupan.
Sebelum mengisahkan, orang hadir di dalam arus kesadarannya, artinya
mengingat, mengumpulkan, dan merefleksikan semua dalam pengamatannya. Suasana
pabrik tekstil di pagi hari direkam, para buruh yang sibuk bekerja di bagian masing-
masing, gambar-gambar dipilih sesuai dengan yang diketahui dalam khazanah bahasa
komunitasnya. Kesederhanaan, solidaritas, dan obrolan mereka bisa saja menjadi fokus
obyek perhatian. Jam dua belas mereka istirahat, mereka bergerombol di sekitar penjual
makanan. Dengan hadir, beberapa fenomena menjadi lebih berarti bagi pengamat karena
memberi bentuk representasi. Tidak semua menjadi pusat perhatian. Ada pilihan, seleksi
dari semua yang sempat terekam dalam kesadaran. Pada tahap ini sebetulnya orang
sedang mengkonstruksi realitas di hadapannya dengan pemikiran. Proses ini yang disebut
oleh Ricoeur sebagai Mimesis I atau prefigurasi, yaitu menyusun kisah mengandaikan
memahami struktur-struktut pra-naratif tindakan. Hadir di dunia tindakan melalui
perantara mitos untuk menawarkan suatu pemahaman baru. Proses mimesis
mengandaikan suatu pra-pemahaman tindakan pihak pengarang atau kepada siapa
ditujukan. Mimesis I ini menawarkan pra-pemahaman tindakan manusia dalam
semantiknya, simboliknya dan temporalitasnya (1983:125). Syarat semantik tindakan
mau menunjukkan bahwa mengisahkan atau memahami kisah mengandaikan tahu ciri-
ciri struktural tindakan yang meliputi apa, siapa, bagaimana, dengan siapa atau melawan
siapa tindakan ditujukan atau dalam interaksi. Maka tindakan memerlukan adanya
pelaku, tujuan, dan motif. Karena tindakan masuk dalam interaksi mengandaikan ada
perjuangan, persaingan, kerjasama atau konspirasi. Tindakan pada akhirnya akan
6

membawa perubahan, atau ke arah bahagia atau penderitaan. Pada tahap pra-pemahaman
struktur tindakan ini, tuntutannya ialah kemampuan untuk menghubungkan konsep-
konsep agar bisa membentuk kisah atau sejarah.
Konsep-konsep itu hanya mungkin terbentuk berkat sumberdaya simbolis, yaitu
bahasa. Tanpa bahasa tindakan, kial atau mimik tidak bisa dibaca atau dipahami. Semua
kial, mimik atau tindakan akan menjadi bahan penilaian, artinya diapresiasi atau ditolak.
Jadi setiap tindakan ada khazanah bahasanya. Semua tindakan hanya bisa dipahami atau
bermakna sejauh memiliki konotasi etika karena pilihan kata atau kalimat sudah
mengandung penilaian moral (Gilbert, 2001: 56).
Mengisahkan atau memahami kisah tidak bisa dilepaskan dari waktu. Dimensi
waktu melekat pada konsep-konsep yang digunakannya. Kata “motif” lebih mengacu ke
masa lalu, sedangkan “proyek” mengandung konotasi ke masa depan. Jadi tindakan
manusia terpateri di dalam waktu. Kelekatan kata pada waktu seperti dalam kata-kata
menyiapkan diri, menunggu, merencanakan, lahir dan waktu semakin meneguhkan
implikasi waktu dalam tindakan. Namun kisah bukan sekedar peristiwa-peristiwa yang
disusun menurut urutan waktu, kisah memiliki tatanan logis bukan hanya kronologis.

3.2.Konfigurasi: Tatanan Logis Kisah


Dalam Mimesis II atau konfigurasi, narasi tentang peristiwa-peristiwa membentuk
tatanan logis bukan kronologis. Penataan perkembangan logis peristiwa dimaksudkan
untuk memberi bentuk penalaran baru terhadap fakta (Gilbert, 2001: 71). Maka begitu
dimasukkan ke bentuk penalaran gerak kisah, entah petualangan atau persekongkolan,
kejadian-kejadian itu menjadi bagian dari sejarah, bukan lagi kehidupan yang dihayati.
Jadi narasi menuntut adanya pengambilan jarak terhadap pengalaman hidup. Penalaran
gerak logika kisah merupakan prinsip pemersatu yang memungkinkan membangun
kesatuan makna dari peristiwa-peristiwa yang sebelumnya tersebar (1983: 109).
Perjumpaan dengan para buruh. Laporan berbentuk kisah tentang apa yang telah
terjadi: saya mendeskripsikan bangun pagi, berjalan-jalan sebelum sarapan, melihat para
buruh, memperhatikan perempuan yang datang dengan seragam celana jin biru dan baju
biru muda, ketertarikan saya pada solidaritas, pembagian kerja dan perjuangan buruh
perempuan. Saya menggambarkan tempat kejadian, karakter, menyingkap alur, dan
7

merajut kisah menjadi satu kesatuan sehingga membuat penafsiran atas kejadian itu jelas.
Penafsiran saya berasal dari konteks budaya saya, terutama pembagian kerja yang
mendasarkan pada gender yang dinilai sebagai kategori analisa.
Anggota-anggota rumah saya mendengarkan, bertanya, mendesak untuk
menceritakan lebih tentang segi-segi tertentu interaksi antara laki-laki dan perempuan;
pada gilirannya, saya mengolah lagi kejadian-kejadian yang saya alami itu untuk
menunjukkan pentingnya peristiwa nyata bagi mereka, memperluas makna saat itu di
dalam konteks kehidupan yang lebih luas. Dengan berbicara dan mendengarkan, kita
menghasilkan suatu narasi bersama. Di dalam menceritakan, ada jarak antara pengalaman
yang saya hayati dan komunikasi tentang pengalaman itu. Bahasa membuat pengalaman
suara, gerak dan gambar lingkungan pabrik berhenti. Bahasa membuat mereka nyata,
praktek gender di kalangan buruh bisa dikisahkan. Dengan menceritakan pengalaman,
saya juga menciptakan diri saya, bagaimana saya ingin dikenal oleh mereka. Cara saya
menceritakan pengalaman sangat dipengaruhi konteks saya. Saya meyakinkan diri saya
dan orang lain bahwa saya orang baik. Narasi saya merupakan representasi diri saya.
Pembicaraan saya direkam. Rekaman itu merupakan tindakan yang sudah terpateri ke
dalam tulisan. Transkripsi dari bahasa lisan ke tulisan menuntut detil yang harus
diperhitungkan karena bahasa tidak transparan. Bentuk representasi mencerminkan
pandangan dan konsepsi penulis dan menilai mana yang penting. Transkripsi juga sudah
merupakan penafsiran.
Tindakan saat ini tidak bisa dilepaskan dari masa lalu. Dalam arti tertentu
tindakan seseorang didapat dengan belajar dari orang lain yang dilihat dan kemudian
ditiru (mimesis). Boleh dikatakan tindakan merupakan endapan dan tiruan dari kisah-
kisah yang didengar, dibaca dan sudah diresapkan. Pada gilirannya, tindakan-tindakan itu
menjadi bahan untuk dikisahkan. Sedangkan kisah akan memberikan pemahaman lebih
jernih terhadap tindakan karena mampu menyingkap aspek-aspek dari tindakan. Dalam
kisah tentu terjadi proses seleksi, karena hanya tindakan dan peristiwa yang relevan atau
bermakna yang akan dikisahkan. Selain seleksi juga dituntut adanya penataan kejadian-
kejadian dan tindakan-tindakan sehingga membentuk suatu kisah atau sejarah yang
penuh: suatu kesatuan yang dapat dipahami yang terdiri dari situasi, tujuan, sarana,
inisiatif, akibat-akibat yang tak dikehendaki. Semua ini membantu untuk memberi
8

konfigurasi terhadap pengalaman kita yang tersebar, tak tertata bahkan boleh dikatakan
bisu. Komposisi sebuah kisah melalui proses tersebut membentuk kesatuan wacana yang
utuh: tidak hanya unsur-unsur yang harmonis, tetapi juga unsur-unsur yang mengancam
keutuhan kisah seperti perubahan tak terduga, ancaman, bencana, dsb. Tetapi baik yang
mendukung keutuhan maupun yang mengancam keutuhan kisah dapat terintegrasi berkat
kelenturan alur sebuah kisah. Konfigurasi (Mimesis II) sebuah kisah ini menjadi teks
melalui tulisan.
Penulis memeriksa halaman-halaman rekaman sambil mencoba menciptakan
makna dan ketegangan dramatis. Ada pilihan yang terkait dengan bentuk, penataan, gaya
presentasi dan bagaimana fragmen-fragmen kehidupan hasil wawancara akan dibentuk.
Mana yang harus dimasukkan mana yang tidak masuk. Akhirnya, penulis menciptakan,
meta-kisah tentang apa yang terjadi dengan menceritakan apa makna narasi wawancara,
dengan mengedit dan membentuk kembali apa yang sudah dikatakan, dan dengan
mengubahnya mencari kisah yang campur, semacam “dokumen tiruan”. Nilai-nilai,
politik dan komitmen teoritis masuk dalam pertimbangan. Ada semacam pengkhianatan
meskipun penceritanya sangat berbakat, tetapi sebagai teks, kisah itu menjadi mediasi
efektif bagi pembacanya untuk pembentukan identitas naratif. Identitas naratif ikut
dibangun melalui pengambilalihan dari paradigma kehidupan yang ditawarkan oleh karya
sastra. Pengaruh karya sastra itu efektif bila kisah dibangun dari tokoh, lingkungan atau
setting sosio-sejarawi yang diangkat dari realitas. Unsur-unsur riil memberi kekuatan
model untuk mudah ditiru karena dianggap sebagai representasi pengalaman
Karya sastra sering memperoleh inspirasi dari realitas sejarah kontemporer atau
masa lalu dari suatu peradaban ketika novel mau menjadikan dirinya cermin suatu
masyarakat (Lavigne, 2011: 247). Dewasa ini, kecenderungan memasukkan wacana
sejarah ke dalam narasi semakin banyak dilakukan, misalnya Da Vinci Code. Ada
beberapa tujuan: pertama, untuk mengarahkan agar mudah dipercaya dengan
meminggirkan unsur-unsur fiksi dari kisah; kedua, meningkatkan faktor dunia riil dalam
karya dengan menonjolkan otentisitas tokoh-tokoh fiksinya. Misalnya narasi
menunjukkan secara tepat lingkungan budaya tokohnya sehingga merangsang timbulnya
keyakinan akan realisme dalam konstruksi kisah itu; ketiga, sejarah menjamin kesamaan
antara fiksi dan realitas sehingga menjadi representasi dunia riil. Terlebih ketika
9

penulisannya menggunakan khasanah teknis yang berasal dari ilmu pengetahuan


(Lavigne, 2011: 253).
Sejarah yang diubah menjadi kisah merupakan suatu cara membentuk gagasan
baru. Kisah menjadi lebih luwes untuk mengungkapkan berbagai ideologi dan sudut
pandang yang bereksperimentasi dengan mengendarai unsur-unsur kisah. Sejarah yang
dibangun dengan cara ini memungkinkan lahirnya bentuk baru sejarah. Bentuk baru
karena menghablur di sekitar puisi sebagai ganti dari pengamatan obyektif dan ilmiah.
Ketika visi sejarawan dan visi penulis saling melengkapi, kisah fiktif bisa menyumbang
kisah sejarah. Mengapa penulis merasa perlu menulis sejarah secara lain? Pertama, kisah
fiktif karena tidak tunduk pada tuntutan-tuntutan teori dalam penelitian sejarah,
mempunyai keuntungan tidak dogmatis, lebih luwes, lebih bebasdan sering lebih autentik
dalam pengkisahannya dan dalam pengamatan fakta dari pada kisah sejarah. Kisah fiktif
karena bentuknya naratif dan bukan resensi yang dingin dan anonim, menjadi lebih hidup
dan menyegarkan dari pada dokumen yang kering hasil pengamatan sejarawan. Kedua,
novel dan penulis novel menyumbang konstruksi sejarah institusional bahkan meskipun
sering tidak diterima atau diakui (Lavigne, 2011: 255).

3.3.Refigurasi/Apropriasi: Memahami Diri lebih baik


Setelah menjadi bentuk tulisan, lalu disebarkan ke teman-teman yang pernah
diajak cerita atau diberikan kepada orang-orang yang diwawancarai atau diamati untuk
mendapat komentar dan koreksi sehingga menjadi teks akhir. Bisa terjadi bahwa orang-
orang tersebut tidak lagi mengenali pengalaman mereka setelah tertulis. Setiap teks selalu
terbuka terhadap kemungkinan banyak penafsiran, cara membaca dan konstruksi. Maka
kerjasama menjadi sangat penting di antara para pembaca. Pembaca merefleksikan atau
mengolah menurut sudut pandangnya dan mengubah dirinya atau membantu memahami
diri atau orang lain secara lebih baik. Tahap inilah yang disebut Ricoeur sebagai Mimesis
III atau refigurasi.
Mimesis III merupakan refigurasi tindakan oleh pembaca atau penafsir kisah.
Pembaca memberi makna terhadap teks karena pemaknaan teks adalah sejarah semua
pembacaan. Teks tumbuh besar bersama dengan pembacanya. Teks tertulis diciptakan
dari dalam dan melawan tradisi atau audience tertentu dan konteks ini harus ditanggung
10

oleh pembaca. Intinya ialah bahwa semua teks berdiri di atas tanah yang bergerak, tidak
ada penguasa narasi. Tidak jelas siapa sesungguhnya pengarang teks. Makna teks selalu
makna dari seseorang. Kebenaran yang dibangun bermakna kepada komunitas penafsir
tertentu dalam situasi sejarah tertentu. Setiap penemuan (lukisan budaya, proses psikologi
atau struktur sosial) ada dalam sejarah, antra subyek-subyek yang dalam hubungan
kekuasaan. Sementara ilmu social tradisional mendaku merepresentasikan pengalaman
orang dan budaya, kritik menyatakan bahwa kita tidak bisa bicara dengan otoritas atas
nama yang lain. Subyek kita tidak merupakan potret. Suatu karya baru bermakna pada
saat penerimaan kisah oleh pembacanya. Jadi pembaca menjadi puncak konfigurasi yang
membawa kembali ke realitas yang dihayati pembaca atau tujuan penulisan. Dalam
proses ini, terjadi apropriasi makna teks oleh pembaca.
Apropriasi (menjadi milik diri) atau pemahaman diri ini menandai pertemuan
antara dunia yang disarankan oleh teks dan dunia kongkrit pembaca atau penafsir.
Gadamer menggunakan istilah peleburan cakrawala-cakrawala (fusion of horizons) untuk
menyebut pertemuan dua dunia atau sering lebih dari sekedar dua dunia. Peleburan
karena pembaca tidak mungkin mengambil alih dunia teks secara keseluruhan dan
meninggalkan dunia aktual yang dihayatinya sekarang, sehingga ia tidak membiarkan
dunianya tetap dan sekaligus tidak menolak dunia yang ditawarkan teks. Dunia pembaca
mengalami transformasi. Kategori ini langsung berkaitan dengan keberadaan
pembaca/penafsir. Oleh karena itu Ricoeur juga menggunakan istilah transfigurasi
(Mimesis III) atau refigurasi tindakan manusia. Ini terjadi berkat pengaruh teks yang
dibaca dan dihayati sehingga mengubah dirinya atau membantu memahami diri dengan
lebih baik. Jadi pembacaan atau penafsiran dikatakan berhasil bila membantu
pembacanya untuk memahami diri secara lebih baik.
Pemahaman diri atau apropriasi sebagai peleburan cakrawala teks dan cakrawala
pembaca harus disadari sebagai terbatas. Kisah sebagai bentuk representasi pengalaman
merupakan potret yang terbatas. Kendati tujuannya untuk menceritakan seluruh
kebenaran, kisah tentang narasi orang lain adalah suatu ciptaan. Makna selalu mendua
karena muncul dari proses interaksi antara pribadi: diri, pencerita, pendengar, perekam,
penganalisa dan pembaca. Tidak pernah ada sudut pandang yang tidak terkait dengan
suatu nilai. Makna selalu cair dan kontekstual, bukan sudah tetap atau universal. Setiap
11

tahap representasi selalu merupakan perluasan atau reduksi. Pencerita menyeleksi gambar
dari seluruh pengalaman untuk dikisahkan tetapi juga menambah unsur-unsur penafsiran.
Proses yang mirip juga terjadi ketika menuliskan kisah, menganalisa dan membaca.
Pembacaan adalah proses apropriasi dan pemahaman diri.

4.Hermeneutika, Fenomenologi dan Filsafat Refleksif


Hermeneutika Paul Ricoeur ini merupakan upaya mencangkokkan hermeneutika
pada fenomenologi. Ada tiga unsur di dalamnya: pertama, ideal filsafat refleksif adalah
transparansi mutlak, artinya pertemuan antara diri dan pengetahuan diri. Tetapi keyakinan
Ricoeur bahwa itu tidak mungkin, membawanya pada pengertian baru refleksi: refleksi
dipahami sebagai ajakan kepada tindakan kembali ke diri sendiri sehingga subjek
memahami diri dalam kejernihan intelektual dan dalam tanggungjawab moral; Kedua,
hermeneutika mengajari bahwa tidak ada pemahaman diri tanpa diantarai oleh tanda,
simbol dan teks.
Ketiga, fenomenologi Husserl yang dijiwai impian akan pendasaran pengetahuan
secara radikal ditandai oleh intensionalitas: kesadaran adalah selalu kesadaran akan
sesuatu. Dan fenomen menampakkan diri kepada subjek. Fenomenologi Husserl
membuka kepada kesadaran yang diarahkan kembali pada kebenaran hermeneutika,
lingkup tak terbatas dari makna. Visi fenomenologi Husserl menuntut eksplisitasi atau
penggelaran yang tak kelihatan, yang tak diberikan dalam pengalaman sekarang, tetapi
membentuk cakrawala di mana visi itu terdapat. Dengan demikian tidak ada visi yang
dapat terbentuk di luar interpretasi. Melihat dengan visi berarti menembus lebih dari
sekedar yang dapat dilihat, masuk ke sesuatu yang tersembunyi.
Ketiga unsur yang membentuk hermeneutika fenomenologis Paul Ricoeur itu
mengkristal di dalam keempat kategori hermeneutikanya: obyektivasi melalui struktur,
distansiasi melalui tulisan, dunia teks dan apropriasi atau pemahaman diri (Ricoeur
1986:126). Obyektivasi melalui struktur dan distansiasi melalui tulisan merupakan
prasyarat agar teks bisa mengatakan sesuatu. Kedua kategori hermeneutika ini merupakan
kutub obyektif dari pemahaman diri. Sedangkan pemahaman diri mendasarkan diri pada
dunia teks agar bisa terungkap di dalam bahasa. Kedua kategori hermeneutika yang
terakhir ini adalah kutub subjektif dari pemahaman diri. Keempat kategori ini
12

mencerminkan keprihatinan hermeneutika yang tidak puas hanya sebagai metode


(epistemologis), tetapi melalui yang epistemologis ini ingin dijangkau sisi eksistensial
penafsir (ontologis).

4.1.Kutub Obyektif: Obyektivasi melalui Struktur dan Distansiasi melalui Tulisan


Kategori obyektivasi melalui struktur adalah upaya pemahaman (verstehen)
melalui penjelasan (erklären): menjelaskan hubungan-hubungan intern dari teks atau
strukturnya. Berkat otonomisasi teks, penafsir bisa memperlakukan teks tanpa
memperhatikan pengarangnya. Penafsir memperlakukan teks menurut aturan penjelasan
yang diterapkan oleh linguistik ke dalam sistem tanda yang membentuk bahasa (langue),
yang berbeda dengan wacana (parole). Pembedaan bahasa dari wacana ini
memungkinkan linguistik mempunyai obyek yang homogen. Bahasa sebagai aturan main
dijabarkan di dalam wacana yang hanya masuk ke linguistik. Sedangkan wacana masuk
di dalam psikologi dan sosiologi. Linguistik hanya mengenal sistem-sistem kesatuan
yang terlepas seperti fonologi, semantik, leksikologi, sintaksis. Kombinasi dan
pertentangan kesatuan-kesatuan itu mendefinisikan pengertian struktur di dalam
linguistik. Termasuk di dalamnya tentu saja kontras dan konvergensi gaya bahasa: narasi,
puisi, ramalan, metafora, dsb. Dengan demikian analisa struktural nampak sebagai
semacam sarana logis untuk menjelaskan hubungan-hubungan, kombinasi dan
kontradiksi-kontradiksi yang ada di dalam teks untuk diatasi atau dipecahkan sehingga
menolong bagi pemahaman.
Dengan analisa struktural ini berarti semantik (makna) dikebawahkan pada
semiotika (ilmu tentang tanda-tanda dan artikulasinya dalam pemikiran dalam sistem
yang tetap): makna dapat diungkap melalui penjelasan dari ikatan hubungan-hubungan
teks yang saling tergantung sehingga bahasa menjadi sistem tanda-tanda. Dan kumpulan
tanda-tanda ini merupakan sistem yang tertutup dan otonom. Tetapi Paul Ricoeur
bukannya tidak kritis terhadap analisa struktural ini.
Bagi Ricoeur analisa semacam itu mengabaikan bahasa sebagai wacana. Beberapa
unsur wacana tidak mendapat tempat: tiadanya tempat bagi temporalitas, bahwa wacana
selalu diungkapkan pada waktu tertentu dan konteks tententu, membuat analisa struktural
mengabaikan segi kesejarahan. Tak diakuinya aspek ini berarti strukturalisme
13

mengabaikan tujuan utama bahasa; wacana selalu mempunyai subjek yang menyatakan
dan interlokutor kepada siapa pesan itu disampaikan. Tiadanya aspek ini berarti analisa
struktural mengabaikan proses komunikasi di dalam bahasa.
Tetapi Paul Ricoeur tetap menganggap pendekatan struktural ini sebagai sarana
obyektivasi (kutub obyektif) di dalam proses penafsiran yang memungkinkan
pemahaman diri lebih baik (kategori hermeneutika apropriasi). Obyektivasi melalui
struktur tidak hanya dibatasi pada pendekatan struktural, tetapi semua bentuk penjelasan
terhadap teks. Jadi kategori ini mencakup semua penjelasan dari ilmu: psikologi,
sosiologi, sejarah, anthropologi. Karena dalam dialektika penjelasan dan pemahaman,
ilmu-ilmu tersebut berfungsi untuk mengobyektivasi teks dalam arti menjelaskan
hubungan-hubungan logis teks dari sudut pandang bidang masing-masing.
Kalau pendekatan struktural melulu memperhatikan hubungan-hubungan intern
dari kesatuan-kesatuan linguistik, aspek-aspek yang lain disoroti oleh bidang-bidang ilmu
tersebut. Obyektivasi melalui struktur merupakan penjelasan yang menekankan sisi
metodologis dari hermeneutika (epistemologis). Penjelasan ini menjadi batu loncatan
untuk sampai pada pemahaman diri yang lebih baik, sisi ontologis.
Hubungan antara penjelasan dan pemahaman, antara obyektivasi melalui struktur
dan pemahaman diri (“compréhension de soi”) dilihat oleh Ricoeur secara dialektik
sebagai dua hal yang saling melengkapi. Dialektika ini terjadi di dalam konsep Ricoeur
tentang teks. Teks memiliki struktur imanen yang bisa dijelaskan dengan pendekatan
struktural, tetapi teks sekaligus mempunyai acuan luar yang melampaui linguistik dan
filsafat bahasa. Acuan luar ini yang disebut wahana/dunia teks: realitas yang digelar oleh
teks, suatu totalitas makna, cakrawala global. Dan dunia/wahana teks ini bukan berasal
dari maksud-maksud psikologis atau bisikan Tuhan (bdk. psikologisme dari
Schleiermacher), tetapi dibawa melalui mediasi struktur-struktur teks. Contoh:
perwahyuan diri Tuhan nampak di dalam kontras dan konvergensi dari berbagai bentuk
wacana seperti narasi, puisi, ramalan, metafora, yang tertuang di dalam teks Kitab Suci.
Obyektivasi melalui struktur ini menyumbang dalam mengungkap tindakan
manusia dengan struktur maknawi yang sudah terdapat di dalamnya, yang oleh Ricoeur,
dalam kerangka tindakan dimengerti sebagai teks, disebut prefigurasi (mimesis I).
Tindakan yang bermakna (action sensée) mempunyai keempat ciri tekstualitas yang
14

kemudian dimodifikasi menjadi: terpaterinya tindakan, otonomisasi tindakan, relevansi


tindakan dan tindakan sebagai karya terbuka (1986:190-197). Ciri-ciri tekstualitas ini
memungkinkan tindakan untuk diperlakukan sama seperti teks. Maka analisa struktural
atas tindakan menunjukkan bahwa tindakan selalu mempunyai pelaku, motif, tujuan,
lingkup dan akibat. Semua unsur ini membentuk jaringan konseptual atau struktur makna.
Struktur makna ini membedakan tindakan manusia dari binatang dan dari kejadian alam.
Tetapi pemahaman akan unsur struktural itu berbeda sesuai dengan ragam simbolik
dalam kebudayaan yang bersangkutan. Suatu tindakan mendapatkan makna yang aktual
dalam situasi sekarang berkat ragam simbolik itu. Mengangkat kepalan tangan bisa
berarti dukungan tetapi bisa juga tantangan. Maknanya sangat tergantung pada ragam
simbolik dan konteks sosial atau budaya tertentu.
Dalam kisah tentu terjadi proses seleksi, karena hanya tindakan dan peristiwa
yang relevan atau bermakna yang akan dikisahkan. Selain seleksi juga dituntut adanya
penataan kejadian-kejadian dan tindakan-tindakan sehingga membentuk suatu kisah atau
sejarah yang penuh: suatu kesatuan yang dapat dipahami yang terdiri dari situasi, tujuan,
sarana, inisiatif, akibat-akibat yang tak dikehendaki, dsb. Semua ini membantu untuk
memberi konfigurasi terhadap pengalaman kita yang tersebar, tak tertata bahkan boleh
dikatakan bisu. Komposisi sebuah kisah melalui proses tersebut membentuk kesatuan
wacana yang utuh: tidak hanya unsur-unsur yang harmonis, tetapi juga unsur-unsur yang
mengancam keutuhan kisah seperti perubahan tak terduga, ancaman, bencana, dsb. Tetapi
baik yang mendukung keutuhan maupun yang mengancam keutuhan kisah dapat
terintegrasi berkat kelenturan alur sebuah kisah. Konfigurasi (mimesis II) sebuah kisah ini
menjadi teks melalui tulisan.
Distansiasi melalui tulisan. Dengan ditulisnya wacana maka wacana terpateri
menjadi teks dan tidak lagi berubah. Sebetulnya ideal sebuah teks adalah bila pengarang
sudah mati karena tidak lagi ada koreksi dan tambahan. Dengan terpaterinya wacana ke
dalam tulisan berarti terjadi pengambilan jarak. Distansiasi melalui tulisan ini sekaligus
merupakan proses otonomisasi teks karena struktur imanen dari teks itu. Pengambilan
jarak ini melepaskan pesan atau maksud dari pembicara atau pengarang, dari situasi awali
saat diungkap dan dari alamat yang dituju pada saat kejadian wacana. Karena terpateri di
dalam tulisan, wacana dapat menjangkau kita sekarang: kita dapat menggapainya melalui
15

makna yang tersirat dan tersurat. Pengambilan jarak dengan demikian berarti membantu
pelestarian makna teks dan menghindarkannya dari pelenyapan oleh waktu. Implikasinya
ialah bahwa teks menjadi terbuka terhadap penafsiran-penafsiran selanjutnya.

4.2.Kutub Subyektif: Dunia Teks, Pemahaman Diri dan Peran Filsafat Kecurigaan
Tahap penting antara penjelasan struktural dan pemahaman diri adalah
penggelaran wahana/dunia teks. Tahap ini lah yang membentuk dan mengubah pembaca
atau penafsir. Bila mengambil contoh dari teks Kitab Suci orang kristen: yang digelar
oleh wahana teks itu dalam Bibel disebut “Dunia Baru”, “Kabar Gembira”. Ini lah yang
disebut obyektivitas dari keberadaan baru yang diproyeksikan oleh teks. Wahana/dunia
baru ini tidak berasal secara langsung dari maksud pengarang, tetapi disingkap melalui
struktur-struktur karya atau teks. Misalnya bentuk narasi mengarahkan pada pemaknaan
bahwa Tuhan adalah pelaku utama sejarah keselamatan manusia; atau bentuk prophétie
mengarah pada pemaknaan Tuhan sebagai yang mengancam, tetapi sekaligus yang
memberi janji di balik kehancuran yang didepan mata. Kedua contoh tersebut merupakan
bentuk-bentuk proposisi dunia Injil. Kemampuan teks untuk menyingkapkan perwahyuan
lahir dari kontras dan konvergensi dari keseluruhan bentuk wacana yang dianalisa
bersama-sama, sehingga hermeneutika mengantar kepada dunia yang disarankan oleh
teks. Dunia yang digelar dan disarankan oleh teks ini baru bermakna bila menjadi milik
pembaca atau penafsir, apropriasi atau pemahaman diri.
Apropriasi (menjadi milik diri) atau pemahaman diri ini menandai pertemuan
antara dunia yang disarankan oleh teks dan dunia kongkrit pembaca atau penafsir.
Gadamer menggunakan istilah peleburan cakrawala-cakrawala (fusion of horizons) untuk
menyebut pertemuan dua dunia atau sering lebih dari sekedar dua dunia. Peleburan
karena pembaca tidak mungkin mengambil alih dunia teks secara keseluruhan dan
meninggalkan dunia aktual yang dihayatinya sekarang, sehingga ia tidak membiarkan
dunianya tetap dan sekaligus tidak menolak dunia yang ditawarkan teks. Dunia pembaca
mengalami transformasi. Kategori ini langsung berkaitan dengan keberadaan
pembaca/penafsir. Oleh karena itu Ricoeur juga menggunakan istilah transfigurasi
(mimesis III) tindakan manusia. Ini terjadi berkat pengaruh teks yang dibaca dan dihayati
sehingga mengubah dirinya atau membantu memahami diri dengan lebih baik.
16

Dalam proses pemahaman diri (apropriasi) ini, pengambilan jarak terhadap diri
sendiri merupakan prasyarat mutlak agar tidak terjadi distorsi makna dan agar dapat
merelativisir kesewenang-wenangan di dalam penafsiran. Pengambilan jarak ini selain
aspek kritis atau negatif, juga bersifat kreatif karena akan memperkaya dan memurnikan
pemahaman diri. Pengambilan jarak ini bisa berbentuk kritik ideologi, dekonstruksi, dan
variasi imaginasi atau analogi permainan.
Kritik agama yang dilontarkan oleh Marx, Nietzsche dan Freud sangat besar
artinya di dalam pemurnian pemahaman iman. Kritik agama ini terbentuk di luar proses
hermeneutika, sebagai kritik ideologi, sebagai kritik atas prasangka-prasangka dan ilusi-
ilusi agama (Ricoeur, 1986:131). Filsafat Marx yang mau membongkar kesadaran palsu
dipakai oleh Ricoeur sebagai bentuk kritik ideologi. Ricoeur sendiri menyatakan bahwa
gagasan ini banyak dikembangkan di dalam kuliah-kuliahnya. Sedangkan yang masih
tersisa dalam bentuk tulisan adalah kuliahnya tentang Idéologie et Utopie di mana
masalah kesadaran palsu menjadi topik utama (jawaban Ricoeur terhadap John E Smith
dalam L. E. Hahn, 1995:167). Pada gagasan Marx, Ricoeur melihat ada suatu visi yang
penuh motivasi tentang manusia baru dalam masyarakat yang akan mengatasi alienasi.
Nietzsche dianggap membantu melihat secara jernih bahwa hanya dalam
kejujuran dan kemampuan mengontrol diri, pemahaman yang benar terhadap hasrat akan
kekuasaan bisa terjadi, namun perspektivisme telah mengecewakan dan membentuk
gagasan yang parsial. Perspektivisme adalah apa yang dianggap riil atau kebenaran
tergantung pada perspektif yang dipilih. Tidak ada yang riil pada dirinya sendiri, tidak
ada kebenaran mutlak, atau tidak ada makna tunggal. Pilihan perspektif tergantung pada
nilai, kepentingan dan tujuan yang diistimewakan oleh subyek. Semua perspektif selalu
sudah aksiologis atau diarahkan nilai. Tidak ada perspektif melulu logis, bebas nilai, atau
obyektif. Kebenaran merupakan sekelompok fenomena yang diseleksi dan dikumpulkan
oleh penafsir. Teks yang sama memungkinkan sejumlah penafsiran, tidak ada penafsiran
paling tepat, atau yang berhak mendasari yang lain (G.Hottois, 1997:211).
Freud yakin pada realitas bawah sadar yang hanya bisa dipahami melalui
fenomena sulit yang dimengerti sebagai bahasa hasrat. Bahasa hasrat ini
mempertanyakan semua bentuk pendakuan karena semua makna akan dipertanyakan
melalui rumusan ini “apa makna yang dimaksud sesungguhnya” di balik yang terungkap.
17

Maka dari perspektif Freud, masalah penafsiran bukan hanya mengoreksi kesadaran dari
kekeliruan tertentu, tetapi lebih untuk mengatasi kesadaran palsu sedemikian rupa
sehingga bukan hanya memerlukan penelitian, namun penyembuhan (J.E.Smith
1995:158). Secara mendalam Ricoeur membahas perspektif Freud ini di dalam bukunya
Le conflit des interprétations (1969).
Bagi pemahaman hermeneutika yang memusatkan diri pada teks, kritik ini
sekaligus merupakan pengakuan terhadap serangan dari luar, yang mungkin bisa
destruktif, tetapi kemudian diubah menjadi alat otokritik untuk pemurnian diri. Maka
jawaban atas kritik itu bukan lagi apologi, tetapi penjinakan serangan yang datang dari
luar untuk kepentingan pemurnian di dalam pemahaman diri yang lebih baik. Selain itu
bentuk distansiasi yang mirip dengan kritik ideologi adalah dekonstruksi. Dengan
dekonstruksi pembaca diajak untuk membongkar ilusi-ilusi, motivasi-motivasi baik yang
sadar atau bawah sadar, serta kepentingan-kepentingan diri atau kelompok di depan teks.
Kalau kritik ideologi dan dekonstruksi merupakan bentuk negatif dari
pengambilan jarak terhadap diri sendiri, variasi imaginatif atau analogi permainan
merupakan bentuk positifnya. Permainan adalah suatu bentuk pengambilan jarak terhadap
diri yang diwarnai oleh kehidupan yang serius dan formal. Permainan bisa membantu
membuka kemungkinan-kemungkinan baru yang terpenjara oleh pemikiran yang terlalu
serius. Permainan juga membuka kemungkinan-kemungkin subjek untuk berubah yang
tidak dimungkinkan oleh visi yang melulu moral. Dengan kata lain, permainan bisa
mendorong tumbuhnya inisiatif dan kreativitas karena dengan permainan subjek
dibebaskan dari norma sosial dan keseriusan sehari-hari. Dengan demikian nampak
fenomena dasariah, proses lahirnya kreativitas, bahwa pertama-tama di dalam imajinasi
lah terbentuk “ada yang baru”, dan bukan di dalam kehendak.
Kemampuan untuk ditangkap oleh kemungkinan-kemungkinan baru mendahului
kemampuan untuk memilih dan mengambil keputusan. Imajinasi adalah dimensi dari
subjek yang menjawab teks sebagai puisi (yang menciptakan sesuatu). Jadi pertama-tama
kepada imajinasi suatu teks itu ingin berbicara dengan mengusulkan kemungkinan-
kemungkinan baru dan gambaran-gambaran yang membebaskan diri subjek.
Ricoeur tertarik pada filsafat kecurigaan Marx, Nietzsche dan Freud terutama
dalam pemahaman mereka terhadap proses terjadinya kesadaran palsu dan bagaimana
18

dijelaskan, dibongkar atau disingkap. Namun Ricoeur juga kritis terhadap keyakinan
mereka seakan dengan cara itu akan menghindarkan kita dari pemahaman akan
sumbangan mereka ke berbagai bentuk pembebasan: pembebasan praksis, restorasi
kekuatan manusia, dan perluasan kesadaran manusia (J.E.Smith, 156). Ricoeur mau
menekankan sisi positif dari kritik destruksi mereka terhadap agama dengan menyatakan
bahwa proses distansiasi semacam itu perlu bila ingin membangun dasar yang baru.
Tentu ada sisi kelemahan dari para filsuf kecurigaan yang dapat dikatakan cenderung
kesadaran refleks pada Marx, inkonsistensi perspektivisme pada Nietzsche dan
panseksualisme pada Freud dalam menafikan yang kudus.
Dalam bukunya Temps et Récit. Le temps raconté (volume 3, 1985), Ricoeur
membela diri terhadap serangan hermeneutika kecurigaan. “Hubungan antara ipséité dan
identitas naratif meneguhkan salah satu keyakinan saya, yaitu bahwa „diri‟ hasil dari
pengetahuan diri bukan „aku egois dan narsis‟ seperti yang dikritik munafik dan naif,
bagian dari suprastruktur ideologis sekaligus arkaisme kekanak-kanakan dan nevrotik
oleh hermeneutika kecurigaan. „Diri‟ hasil pengetahuan diri adalah buah kehidupan yang
telah teruji seperti istilah yang digunakan oleh Sokrates dalam Apologia. Padahal hidup
yang telah teruji adalah hidup yang dimurnikan, dibersihkan melalui efek katarsis kisah-
kisah baik yang sejarawi maupun yang fiktif yang menjadi tunggangan budaya kita”
(Ricoeur, 1985: 443-444). Meski melihat kelemahan hermeneutika kecurigaan dalam
memahami „diri‟ dalam perspektif identitas naratif, Ricoeur tetap menggunakan sebagai
sarana pengambilan jarak dalam kerangka pemahaman diri lebih baik.
19

KEPUSTAKAAN

Altman, Rick, A Theory of Narrative, Oxford: Blackwell Publishing, 2001


Bouchindhomme, Christian (éd.), Temps et récit de Paul Ricoeur en débat, CERF,
Paris, 1990.
Deschamps, Jean-Claude, L’identité en psychologie sociale, Paris: Armand Colin, 2008.
Eagleton, Terry, Literary Theory: An Introduction, Oxford: Blackwell, 2008
Publishing
Foucault, Michel, Dits et Ecrits, III, Paris: Seuil, 1997.
Gadamer, Hans-Georg, Vérité et Méthode, Paris: Seuil, 1976.
Gilbert, Muriel, L’identité narrative, Genève: Labor et Fides, 2001.
Greisch, Jean & Kearney, Richard, Paul Ricoeur. Les methamorphoses de la raison
herméneutique, Paris: CERF, 1991.
Grondin, Jean, L’universalité de l’herméneutique, Paris: PUF, 1993.
Hottois, Gilberth, De la renaissance á la Postmodernité, Bruxelles: De Boeck, 1997.
Kohlhauer, Michel (ed.), Fictions de l’histoire, Chambery: Université de Savoie, 2011.
Lavigne, Jean-Baptiste, De Chronos ā Chaos: Houellebecq, Le Roman et l’Histoire,
in: Kohlhauer, Fictions de l’Histoire, Université de Savoie, 2011.
Lévinas, Emmanuel, Totalité et Infini, Kluwer Académic, Paris, 1971.
Palmer, Richard.E., Hermeneutics Interpretation Theory in Schleiermacher, Dilthey,
Heidegger and Gadamer, Northwestern University Press, Evanston, 1969.
Ricoeur, P, Finitude et culpabilité. La symbolique du mal, Montaigne, Paris, 1960
--------------, De l’interprétation. Essais sur Freud, Seuil, Paris, 1965.
--------------, Le conflit des interprétation. Essais d‟herméneutique I, Seuil, Paris, 1969.
--------------, La Métaphore vive, Seuil, Paris, 1975.
--------------, Temps et récit. L‟intrigue et le récit historique, tome I, Seuil, Paris, 1983
--------------, Temps et récit. La configuration dans le récit de fiction, tome II, Seuil,
Paris, 1984.
--------------, Temps et récit. Le temps raconté, tome III, Seuil, Paris, 1985.
--------------, Du texte à l’action. Essais d‟herménautique II, Seuil, Paris, 1986.
--------------, Soi-même comme un autre, Seuil, Paris, 1991.
Schillebeeckx, E., L’histoire des hommes, récit de Dieu, CERF, Paris, 1992.
Thérenty, Marie-Eve, L’Analyse du Roman, Paris: Hachette Supérieur
Warnke, Georgia, Gadamer: Hermeneutics, Tradition and Reason, Oxford, Polity
Press, 1987

Anda mungkin juga menyukai