Anda di halaman 1dari 2

Informalitas Kota punya Hak Atas Kota

Sari Puspita Kusumawardani

Bila kita melihat lebih dalam tentang kota, dapat ditemui fenomena maraknya pedagang
kaki lima, pengamen, pedagang asongan, tukang parkir, pengatur lalu lalang kendaraan yang
meminta tips di jalanan, hingga munculnya hunian tak berdokumen di bantaran sungai.
Fenomena ini disebut informal, karena ia belum diakui legalitasnya dalam
perundang-undangan.

‘Informal’ bila dirujuk dalam KBBI berarti sesuatu yang tidak resmi. Di Indonesia, informalitas
dapat berkaitan dengan banyak hal, mulai dari perkerjaan, status, hunian, dan bahkan
kependudukan. Sayangnya, analogi informal kerap disandingkan dengan kondisi yang kumuh,
tidak layak, dan kemiskinan. Padahal, tidak selalu demikian.

Informalitas kota lahir karena negara tidak mampu membendung permasalahan


pembangunan perkotaan yang semakin bertambah dan ketidaksanggupan untuk
memberikan akses yang merata bagi seluruh warganya. Informalitas hadir secara kreatif,
sebagai cara masyarakat untuk bertahan dan memenuhi kebutuhan hidupnya.

Sektor informal juga memiliki hak atas kota. Hunian bagi warga informal bukan lagi hanya
sebuah tempat, namun ada semacam keterikatan kuat yang menyebabkan mereka enggan
meninggalkan tempat tinggal mereka yang sering dianggap kumuh. Keterikatan itu dapat
ditelusuri dari sejarah, ekonomi, kedekatan, saling toleransi antar tetangga, dan juga adanya
modal sosial yang terbentuk. Hal inilah yang memperluas arti rumah bagi mereka menjadi
lebih dari sekedar tempat untuk mereka tinggal. John Turner, seorang arsitek Inggris
menjelaskan fenomena ini dengan menyebutnya “housing as a verb”. Hal inidapat
menjelaskan mengapa di banyak kasus penggusuran, banyak warga yang kembali
menempati lahan bekas gusuran.

Hubungan ini dapat terlihat di Kampung Dago Pojok, salah satu kampung kreatif di Kota
Bandung. Kesenian Sunda dan seni mural diangkat menjadi ikon kampung. Adapula
Augmented reality dalam bentuk mural-mural di dinding rumah warga merupakan kolaborasi antara
nilai-nilai tradisional dan modern. Di Kampung Dago, kegiatan kreatifitas dan budaya yang
dilakukan bermula dari rumah ke rumah. Dari situ, terbentuk shelter-shelter mini sebagai
tempat berkesenian, seperti di Galeri Astina (Sanggar Wayang), dan panggung.

Terwujudnya kampung Dago Pojok sebagai kampung kreatif tak lepas dari peran komunitas
lokal dan pembinaan terpadu yang dilakukan warganya. Hal inilah yang menyebabkan
kampung tetap bertumbuh dan mandiri. Caranya, ialah dengan melihat potensi setiap ruang
yang akan dibangun untuk kebermanfaatan bersama.
Informalitas berperan penting sebagai pertimbangan dalam perancangan kota untuk
mewujudkan ruang-ruang kota yang lebih inklusif. Partisipasi warga pada proses desain dan
negosiasi yang berlangsung pada kegiatan-kegiatan informal perlu dilakukan secara
berkelanjutan, demi kebijakan perancangan yang lebih berorientasi kepada masyarakat.

Referensi
https://www.indonesiana.id/read/68961/berdamai-dengan-informalitas-kota#8ZWwLdRyDA40PwZV.
99

https://seminartesismarsui2016.wordpress.com/2016/05/23/memeransertakan-negosiasi-in
formalitas-sebagai-salah-satu-pertimbangan-untuk-menghasilkan-urban-design-yang-inklusif
/

http://blog.asf.or.id/2016/04/melihat-lagi-informalitas-dan-penggusuran/

Anda mungkin juga menyukai