Anda di halaman 1dari 15

KEDUDUKAN, FUNGSI dan WEWENANG MAHKAMAH

KONSTITUSI RI

Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Hukum Acara Mahkamah Konstitusi

Disusun Oleh :

AZ ZUMAR AZRA

D1A019088

(B2)

UNIVERSITAS MATARAM

ILMU HUKUM

FAKULTAS HUKUM

2020/2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya sehingga saya dapat
menyelesaikan tugas saya yang berjudul Kedudukan, Fungsi dan Wewenang Mahkamah Konstitusi ini tepat
pada waktunya.

Adapun tujuan dari penulisan dari makalah ini adalah untuk memenuhi tugas Bapak Sarkawi, SH., MH pada mata
kuliah Hukum Acara Mahkamah Konstitusi. Selain itu, tugas ini juga bertujuan untuk menambah wawasan tentang
Hukum Acara Mahkamah Konstitusi bagi para pembaca dan juga bagi penulis.

Saya mengucapkan terima kasih kepada Bapak Sarkawi, SH., MH selaku dosen mata kuliah Hukum Acara
Mahkamah Konstitusi yang telah memberikan tugas ini sehingga dapat menambah pengetahuan dan wawasan
sesuai dengan bidang studi yang saya tekuni.

Saya juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membagi sebagian pengetahuannya
sehingga saya dapat menyelesaikan tugas ini.

Saya menyadari, tugas yang saya tulis ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran yang
membangun akan saya nantikan demi kesempurnaan tugas ini.

Mataram, 7 April 2020

Az Zumar Azra
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ................................................................................................................................................. 2


DAFTAR ISI ............................................................................................................................................................. 3
Kedudukan MK ...................................................................................................................................................... 4
Fungsi dan Peran MK ............................................................................................................................................. 5
Putusan Final dan Mengikat ................................................................................................................................... 8
Momen Pencetus Institusionalisasi MK .................................................................................................................. 8
Alasan Pembentukan MK ..................................................................................................................................... 10
SUSUNAN ORGANISASI MAHKAMAH KONSTITUSI ................................................................................................ 11
Hakikat Mahkamah Konstitusi.............................................................................................................................. 12
Pengujian Undang-Undang .................................................................................................................................. 13
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................................................................ 14
LAMPIRAN ........................................................................................................................................................... 15
Kedudukan MK

Digantikannya sistem division of power (pembagian kekuasaan) dengan separation of power (pemisahan
kekuasaan) mengakibatkan perubahan mendasar terhadap format kelembagaan negara pasca amandemen UUD
1945. Berdasarkan division of power yang dianut sebelumnya, lembaga negara disusun secara vertikal bertingkat
dengan MPR berada di puncak struktur sebagai lembaga tertinggi negara. Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 sebelum
perubahan menyatakan bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh MPR. Sebagai
pelaku sepenuhnya kedaulatan rakyat, MPR sering dikatakan sebagai rakyat itu sendiri atau penjelmaan rakyat. Di
bawah MPR, kekuasaan dibagi ke sejumlah lembaga negara, yakni presiden, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR),
Dewan Pertimbangan Agung (DPA), Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), dan Mahkamah Agung (MA) yang
kedudukannya sederajat dan masing-masing diberi status sebagai lembaga tinggi negara.

Akibat utama dari anutan sistem separation of power, lembaga-lembaga negara tidak lagi terkualifikasi ke
dalam lembaga tertinggi dan tinggi negara. Lembaga-lembaga negara itu memperoleh kekuasaan berdasarkan UUD
dan di saat bersamaan dibatasi juga oleh UUD. Pasca amandemen UUD 1945, kedaulatan rakyat tidak lagi
diserahkan sepenuhnya kepada satu lembaga melainkan oleh UUD. Dengan kata lain, kedaulatan sekarang tidak
terpusat pada satu lembaga tetapi disebar kepada lembaga-lembaga negara yang ada. Artinya sekarang, semua
lembaga negara berkedudukan dalam level yang sejajar atau sederajat.

Dalam konteks anutan sistem yang demikian, lembaga negara dibedakan berdasarkan fungsi dan perannya
sebagaimana diatur dalam UUD 1945. MK menjadi salah satu lembaga negara baru yang oleh konstitusi diberikan
kedudukan sejajar dengan lembaga-lembaga lainnya, tanpa mempertimbangkan lagi adanya kualifikasi sebagai
lembaga negara tertinggi atau tinggi. Sehingga, sangat tidak beralasan mengatakan posisi dan kedudukan MK lebih
tinggi dibanding lembaga-lembaga negara lainnya, itu adalah pendapat yang keliru. Prinsip pemisahan kekuasaan
yang tegas antara cabang-cabang kekuasaan legislatif, eksekutif dan yudikatif dengan mengedepankan adanya
hubungan checks and balances antara satu sama lain.

Selanjutnya, UUD 1945 memberikan otoritas kepada MK untuk menjadi pengawal konstitusi. Mengawal
konstitusi berarti menegakkan konstitusi yang sama artinya dengan “menegakkan hukum dan keadilan”. Sebab,
UUD 1945 adalah hukum dasar yang melandasi sistem hukum yang berlaku di Indonesia. Dalam hal ini MK memiliki
kedudukan,kewenangan serta kewajiban konstitusional menjaga atau menjamin terselenggaranya konstitusionalitas
hukum.

Kekuasaan negara pada umumnya diklasifikasikan menjadi tiga cabang, walaupun kelembagaan negara saat ini
mengalami perkembangan yang sangat pesat dan tidak sepenuhnnya dapat diklasifikasikan ke dalam tiga cabang
kekuasaan itu. Namun demikian, cabang kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif adalah tiga cabang kekuasaan
yang selalu terdapat dalam organisasi negara. Cabang kekuasaan yudikatif diterjemahkan sebagai kekuasaan
kehakiman.

Berdasarkan Pasal 24 ayat (1) UUD 1945, kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka
untuk untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Kekuasaan kehakiman
diselenggarakan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada dibawahnya, dan oleh sebuah
Mahkamah Konstitusi [Pasal 24 ayat (2) UUD 1945]. Dengan demikian, kedudukan MK adalah sebagai salah satu
pelaku kekuasaan kehakiman, di samping MA. MK meneg-kan hukum dan keadilan dalam lingkup wewenang yang
dimiliki. Kedudukan MK sebagai pelak kekuasaan kehakiman sejajar dengan pelaku kekuasaan kehakiman lain,
yaitu MA, serta sejajar pula dengan lembaga negara lain dari cabang kekuasaan yang berbeda sebagai konsekuensi
dari prinsip supremasi konstitusi dan pemisahan atau pembagian kekuasaan. Lembaga-lembaga negara lainnya
meliputi Presiden, MPR, DPR, DPD dan BPK. Setiap lembaga negara menjalankan penyelenggaran negara sebagai
pelaksanaan kadulatan rakyat berdasarkan dan dibawah naungan konstitusi.
Fungsi dan Peran MK

Fungsi dan peran utama MK adalah adalah menjaga konstitusi guna tegaknya prinsip konstitusionalitas
hukum. Demikian halnya yang melandasi negara-negara yang mengakomodir pembentukan MK1 dalam sistem
ketatanegaraannya. Dalam rangka menjaga konstitusi, fungsi pengujian undang-undang itu tidak dapat lagi dihindari
penerapannya dalam ketatanegaraan Indonesia sebab UUD 1945 menegaskan bahwa anutan sistem bukan lagi
supremasi parlemen melainkan supremasi konstitusi. Bahkan, ini juga terjadi di negara-negara lain yang sebelumnya
menganut sistem supremasi parlemen dan kemudian berubah menjadi negara demokrasi. MK dibentuk dengan
fungsi untuk menjamin tidak akan ada lagi produk hukum yang keluar dari koridor konstitusi sehingga hak-hak
konstitusional warga terjaga dan konstitusi itu sendiri terkawal konstitusionalitasnya.

Untuk menguji apakah suatu undang-undang bertentangan atau tidak dengan konstitusi, mekanisme yang
disepakati adalah judicial review2 yang menjadi kewenangan MK. Jika suatu undang-undang atau salah satu bagian
daripadanya dinyatakan terbukti tidak selaras dengan konstitusi, maka produk hukum itu akan dibatalkan MK.
Sehingga semua produk hukum harus mengacu dan tak boleh bertentangan dengan konstitusi. Melalui kewenangan
judicial review ini, MK menjalankan fungsinya mengawal agar tidak lagi terdapat ketentuan hukum yang keluar dari
koridor konstitusi.

Fungsi lanjutan selain judicial review, yaitu (1) memutus sengketa antarlembaga negara, (2) memutus
pembubaran partai politik, dan (3) memutus sengketa hasil pemilu. Fungsi lanjutan semacam itu memungkinkan
tersedianya mekanisme untuk memutuskan berbagai persengketaan (antar lembaga negara) yang tidak dapat
diselesaikan melalui proses peradilan biasa, seperti sengketa hasil pemilu, dan tuntutan pembubaran sesuatu partai
politik. Perkara-perkara semacam itu erat dengan hak dan kebebasan para warga negara dalam dinamika sistem
politik demokratis yang dijamin oleh UUD. Karena itu, fungsi-fungsi penyelesaian atas hasil pemilihan umum dan
pembubaran partai politik dikaitkan dengan kewenangan MK.

Fungsi dan peran MK di Indonesia telah dilembagakan dalam Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 yang
menentukan bahwa MK mempunyai empat kewenangan konstitusional(conctitutionally entrusted powers) dan satu
kewajiban konstitusional (constitusional obligation). Ketentuan itu dipertegas dalam Pasal 10 ayat (1) huruf a sampai
dengan d Undang-Undang Nomor 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Empat kewenangan MK adalah:

1. Menguji undang-undang terhadap UUD 1945

2. Memutus sengketa kewenangan antar lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945.

3. Memutus pembubaran partai politik.

4. Memutus perselisihan tentang hasil pemilu.

Sementara, berdasarkan Pasal 7 ayat (1) sampai dengan (5) dan Pasal 24 C ayat (2) UUD 1945 yang
ditegaskan dalam Pasal 10 ayat (2) UU Nomor 24 Tahun 2003, kewajiban MK adalah memberi keputusan atas
pendapat DPR bahwa Presiden dan atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum, atau perbuatan
tercela, atau tidak memenuhi syarat sebagai Presiden dan atau Wakil Presiden sebagaimana dimaksud dalam UUD
1945.

1 Tidak semua negara menyebut lembaga baru itu dengan istilah MK. Prancis misalnya menyebut dengan Dewan Konstitusi (Counseil Constitutionnel),
Belgia menyebutnya Arbitrase Konstitusional (Constitusional Arbitrage) karena lembaga ini dianggap bukan pengadilan dalam arti yang lazim karena itu,
para anggotanya juga tidak disebut hakim. Persamaan dari ke-78 negara itu adalah pada MK yang dilembagakan tersendiri di luar MA.
2 Judicial review merupakan hak uji (toetsingrechts) baik materiil maupun formil yang diberikan kepada hakim atau lembaga peradilan untuk menguji

kesahihan dan daya laku produk-produk hukum yang dihasilkan oleh eksekutif legislatif maupun yudikatif di hadapan peraturan perundangan yang lebih
tinggi derajat dan hierarkinya. Pengujian biasanya dilakukan terhadap norma hukum secara a posteriori, kalau dilakukan secara a priori disebut judicial
preview sebagaimana misalnya dipraktekkan oleh Counseil Constitusional (Dewan Konstitusi) di Prancis. Judicial review bekerja atas dasar adanya
peraturan perundang-undangan yang tersusun hierarkis.
Sebagai pelaku kekuasaan kehakiman, fungsi konstitusional yang dimiliki oleh MK adalah fungsi peradilan
untuk menegakkan hukum dan keadilan. Namun fungsi tersebut belum bersifat spesifik yang berbeda dengan fungsi
yang dijalankan oleh MA. Fungsi MK dapat ditelusuri dari latar belakang pembentukannya, yaitu untuk menegakkan
supremasi konstitusi. Oleh karna itu ukuran keadilan dan hukum yang ditegakkan dalam peradilan MK adalah
konstitusi itu sendiri yang dimaknai tidak hanya sekedar sebagai sekumpulan norma dasar, melainkan juga dari sisi
prinsip dan moral konstitusi, antara lain prinsip negara hukum dan demokrasi, perlindungan hak asasi manusia, serta
perlindungan hak konstitusional warga negara.

Di dalam penjelasan Umum UU MK disebutkan bahwa tugas dan fungsi MK adalah menangani perkara
ketatanegaraan atau perkara konstitusional tertentu dalam rangka menjaga konstitusi agar dilaksanakan secara
bertanggung jawab sesuai dengan kehendak rakyat dan cita cita demokrasi. Selain itu, keberadaan MK juga
dimaksudkan sebagai koreksi terhadap pengalaman ketatanegaraan yang ditimbulkan oleh tafsir ganda atas
konstitusi3.

Fungsi tersebut dijalankan melalui wewenang yang dimiliki, yaitu memeriksa, mengadili, dan memutus
perkara tertentu berdasarkan pertimbangan konstitusional. Dengan sendirinya setiap putusan MK merupakan
penafsiran terhadap konstitusi. Berdasarkan latar belakang ini setidaknya terdapat 5 (lima) fungsi yang melekat pada
keberadaan MK dan dilaksanakan melalui wewenangnya, yaitu sebagai pengawal konstitusi (guardian of the
constitution), penafsir final konstitusi (the final interpreter of the constitution), pelindung hak asasi manusia (the
protector of the human rights), pelindung hak konstitusional warga negara (the protector of the citizen’s constitutional
rights), dan pelindung demokrasi (the protector of democracy).

Wewenang yang dimiliki oleh MK telah ditentukan dalam pasal 24C UUD 1945 pada ayat (1) dan ayat (2)
yang dirumuskan sebagai wewenang dan kewajiban. Wewenang tersebut meliputi :

a. Menguji undang undang tehadap Undang Undang Dasar;


b. Memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang Undang
Dasar;
c. Memutus pembubaran partai politik dan
d. Memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.
e. Mahkamah Konstitusi wajib memberi putusan atas pendapat DPR bahwa Presiden dan/ atau Wakil Presiden
diduga telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan,
tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela, dan/atau tidak lagi memeenuhi syarat sebagai Presiden
dan/atau Wakil Presiden sebagaimana dimaksud dalam Undnag-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
tahun 1945.

Sementara, berdasarkan Pasal 7 ayat (1) sampai dengan (5) dan Pasal 24 C ayat (2) UUD 1945
yang ditegaskan dalam Pasal 10 ayat (2) UU Nomor 24 Tahun 2003, kewajiban MK adalah memberi
keputusan atas pendapat DPR bahwa Presiden dan atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran
hukum, atau perbuatan tercela, atau tidak memenuhi syarat sebagai Presiden dan atau Wakil Presiden
sebagaimana dimaksud dalam UUD 1945
a. Pengujian Undang-undang terhadap UUD 1945
Mengenai pengujian UU, diatur dalam Bagian Kesembilan UU Nomor 24 Tahun 2003 dari Pasal 50 sampai
dengan Pasal 60.11 Undang-undang adalah produk politik biasanya merupakan kristalisasi kepentingan-
kepentingan politik para pembuatnya. Sebagai produk politik, isinya mungkin saja mengandung kepentingan
yang tidak sejalan atau melanggar konstitusi4. Sesuai prinsip hierarki hukum, tidak boleh isi suatu peraturan

3
A. Mukthie Fadjar, Hukum Konstitusi dan Mahkamah Konstitusi, (Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan MK RI,2006), hal. 119.
4
Pasal 50 tidak lagi memiliki kekuatan hukum mengikat setelah dibatalkan MK.
undang-undang yang lebih rendah bertentangan atau tidak mengacu pada peraturan di atasnya. Untuk
menguji apakah suatu undang-undang bertentangan atau tidak dengan konstitusi, mekanisme yang
disepakati adalah judicial review.5 Jika undang-undang atau bagian di dalamnya itu dinyatakan terbukti tidak
selaras dengan konstitusi, maka produk hukum itu dibatalkan MK. Melalui kewenangan judicial review, MK
menjadi lembaga negara yang mengawal agar tidak lagi terdapat ketentuan hukum yang keluar dari koridor
konstitusi.

b. Sengketa Kewenangan Konstitusional Antar Lembaga Negara


Sengketa kewenangan konstitusional lembaga negara adalah perbedaan pendapat yang disertai
persengketaan dan klaim lainnya mengenai kewenangan yang dimiliki oleh masing-masing lembaga negara
tersebut. Hal ini mungkin terjadi mengingat sistem relasi antara satu lembaga dengan lembaga lainnya
menganut prinsip check and balances, yang berarti sederajat tetapi saling mengendalikan satu sama lain.
Sebagai akibat relasi yang demikian itu, dalam melaksanakan kewenangan masing-masing timbul
kemungkinan terjadinya perselisihan dalam menafsirkan amanat UUD., MK dalam hal ini, akan menjadi
wasit yang adil untuk menyelesaikannya. Kewenangan mengenai ini telah diatur dalam Pasal 61 sampai
dengan Pasal 67 UU Nomor 24 Tahun 2003.

c. Pembubaran Partai Politik


Kewenangan ini diberikan agar pembubaran partai politik tidak terjebak pada otoritarianisme dan arogansi,
tidak demokratis, dan berujung pada pengebirian kehidupan perpolitikan yang sedang dibangun. Mekanisme
yang ketat dalam pelaksanaannya diperlukan agar tidak berlawanan dengan arus kuat demokrasi. Partai
politik dapat dibubarkan oleh MK jika terbukti ideologi, asas, tujuan, program dan kegiatannya bertentangan
dengan UUD 1945. Pasal 74 sampai dengan Pasal 79 UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi telah mengatur kewenangan ini.

d. Perselisihan Hasil Pemilu


Perselisihan hasil Pemilu adalah perselisihan antara KPU dengan Peserta Pemilu mengenai penetapan
perolehan suara hasil Pemilu secara nasional. Perselisihan hasil pemilu dapat terjadi apabila penetapan
KPU mempengaruhi 1). Terpilihnya anggota DPD, 2). Penetapan pasangan calon yang masuk pada putaran
kedua pemilihan presiden. dan wakil presiden serta terpilihnya pasangan presiden dan wakil presiden, dan
3). Perolehan kursi partai politik peserta pemilu di satu daerah pemilihan. Hal ini telah ditentukan dalam
Bagian Kesepuluh UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi dari Pasal 74 sampai dengan
Pasal 79.

e. Pendapat DPR mengenai Dugaan Pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden.
Kewenangan ini diatur pada Pasal 80 sampai dengan Pasal 85 UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi. Dalam sistem presidensial, pada dasarnya presiden tidak dapat diberhentikan
sebelum habis masa jabatannya habis, ini dikarenakan presiden dipilih langsung oleh rakyat. Namun, sesuai
prinsip supremacy of law dan equality before law, presiden dapat diberhentikan apabila terbukti melakukan
pelanggaran hukum sebagaimana yang ditentukan dalam UUD. Tetapi proses pemberhentian tidak boleh
bertentangan dengan prinsip-prinsip negara hukum. Hal ini berarti, sebelum ada putusan pengadilan yang
menyatakan seorang presiden bersalah, presiden tidak bisa diberhentikan. Pengadilan yang dimaksud
dalam hal ini adalah MK.

5
Judicial review merupakan hak uji (toetsingrechts) baik materiil maupun formil yang diberikan kepada hakim atau lembaga peradilan untuk menguji
kesahihan dan daya laku produk-produk hukum yang dihasilkan oleh eksekutif legislatif maupun yudikatif di hadapan peraturan perundangan yang lebih
tinggi derajat dan hierarkinya. Pengujian biasanya dilakukan terhadap norma hukum secara a posteriori, kalau dilakukan secara a priori disebut judicial
preview sebagaimana misalnya dipraktekkan oleh Counseil Constitusional (Dewan Konstitusi) di Prancis. Judicial review bekerja atas dasar adanya
peraturan perundang-undangan yang tersusun hierarkis.
Dalam hal ini hanya DPR yang dapat mengajukan ke MK. Namun dalam pengambilan sikap tentang adanya
pendapat semacam ini harus melalui proses pengambilan keputusan di DPR yaitu melalui dukungan 2/3
(dua pertiga) jumlah seluruh anggota DPR yang hadir dalam sidang paripurna yang dihadiri sekurang-
kurangnya 2/3 (dua per tiga) anggota DPR.6

Putusan Final dan Mengikat

Putusan MK bersifat final dan mengikat (final and binding). Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 menyatakan
bahwa putusan MK bersifat final. Artinya, tidak ada peluang menempuh upaya hukum berikutnya pasca putusan itu
sebagaimana putusan pengadilan biasa yang masih memungkinkan kasasi dan Peninjauan Kembali (PK). Selain itu
juga ditentukan putusan MK memiliki kekuatan hukum tetap sejak dibacakan dalam persidangan MK.7 Putusan
pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap memiliki kekuatan hukum mengikat untuk dilaksanakan.
Semua pihak termasuk penyelenggara negara yang terkait dengan ketentuan yang diputus oleh MK harus
patuh dan tunduk terhadap putusan MK. Dalam perkara pengujian UU misalnya, yang diuji adalah norma UU yang
bersifat abstrak dan mengikat umum. Meskipun dasar permohonan pengujian adalah adanya hak konstitusional
pemohon yang dirugikan, namun sesungguhnya tindakan tersebut adalah mewakili kepentingan hukum seluruh
masyarakat, yaitu tegaknya konstitusi. Kedudukan pembentuk UU, DPR dan Presiden, bukan sebagai tergugat atau
termohon yang harus bertanggungjawab atas kesalahan yang dilakukan. Pembentuk UU hanya sebagai pihak terkait
yang memberikan keterangan tentang latar belakang dan maksud dari ketentuan UU yang dimohonkan. Hal itu
dimaksudkan agar ketentuan yang diuji tidak ditafsirkan menurut pandangan pemohon atau MK saja, tetapi juga
menurut pembentuk UU, sehingga diperoleh keyakinan hukum apakah bertentangan atau tidak dengan konstitusi.
Oleh karena itu, yang terikat dan harus melaksanakan Putusan MK tidak hanya dan tidak harus selalu pembentuk
UU, tetapi semua pihak yang terkait dengan ketentuan yang diputus oleh MK.

Momen Pencetus Institusionalisasi MK

Membicarakan MK di Indonesia berarti tidak dapat lepas jelajah historis dari konsep dan fakta mengenai
judicial review, yang sejatinya merupakan kewenangan paling utama lembaga MK. Empat momen dari jelajah
histories yang patut dicermati antara lain kasus Madison vs Marbury di AS, ide Hans Kelsen di Austria, gagasan
Mohammad Yamin dalam sidang BPUPKI, dan perdebatan PAH I MPR pada sidangsidang dalam rangka
amandemen UUD 1945.

Sejarah judicial review muncul pertama kali di Amerika Serikat melalui putusan Supreme Court Amerika
Serikat dalam perkara “Marbury vs Madison” pada 1803. Meskipun Undang-Undang Dasar Amerika Serikat tidak
mencantumkan judicial review, Supreme Court Amerika Serikat membuat putusan yang mengejutkan. Chief Justice
John Marshall didukung empat hakim agung lainnya menyatakan bahwa pengadilan berwenang membatalkan
undang-undang yang bertentangan dengan konstitusi. Keberanian John Marshall dalam kasus itu menjadi preseden
dalam sejarah Amerika yang kemudian berpengaruh luas terhadap pemikiran dan praktik hukum di banyak negara.
Semenjak itulah, banyak undang-undang federal maupun undang-undang negara bagian yang dinyatakan
bertentangan dengan konstitusi oleh Supreme Court. 8

MK sebagai lembaga, pertama kali diperkenalkan oleh Hans Kelsen (1881-1973), pakar konstitusi dan guru
besar Hukum Publik dan Administrasi University of Vienna. Kelsen menyatakan bahwa pelaksanaan aturan

6
Lihat Pasal 7 B ayat (3) UUD 1945.
7
Lihat Pasal 10 dan Pasal 47 UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.
8
Dalam perkara tersebut, ketentuan yang memberikan kewenangan Supreme Court untuk mengeluarkan Writ of Mandamus pada Pasal 13 Judiciary Act
dianggap melebihi kewenangan yang diberikan konstitusi, sehingga Supreme Court menyatakan hal itu bertentangan dengan konstitusi sebagai the
supreme of the land. Namun, di sisi lain juga dinyatakan bahwa William Marbury sesuai hukum berhak atas surat-surat pengangkatannya.
konstitusional tentang legislasi dapat secara efektif dijamin hanya jika suatu organ selain badan legislatif
diberikan tugas untuk menguji apakah suatu produk hukum itu konstitusional atau tidak, dan tidak
memberlakukannya jika menurut organ ini produk badan legislatif tersebut tidak konstitusional. Untuk kepentingan
itu, kata Kelsen, perlu dibentuk organ pengadilan khusus berupa constitutional court, atau pengawasan
konstitusionalitas undang-undang yang dapat juga diberikan kepada pengadilan biasa. Pemikiran Kelsen mendorong
Verfassungsgerichtshoft di Austria yang berdiri sendiri di luar Mahkamah Agung. Inilah Mahkamah Konstitusi
pertama di dunia9.

Momen yang patut dicatat berikutnya dijumpai dalam salah satu rapat BPUPKI. Mohammad Yamin
menggagas lembaga yang berwenang menyelesaikan sengketa di bidang pelaksanaan konstitusi, lazim disebut
constitutioneele geschil atau constitutional disputes. Gagasan Yamin berawal dari pemikiran perlunya diberlakukan
suatu materieele toetsingrecht (uji materil) terhadap UU. Yamin mengusulkan perlunya Mahkamah Agung diberi
wewenang “membanding” undang-undang. Namun usulan Yamin disanggah Soepomo dengan empat alasan bahwa
(i) konsep dasar yang dianut dalam UUD yang tengah disusun bukan konsep pemisahan kekuasaan (separation of
power) melainkan konsep pembagian kekuasaan (distribution of power), selain itu, (ii) tugas hakim adalah
menerapkan undang-undang, bukan menguji undang-undang, (iii) kewenangan hakim untuk melakukan pengujian
undang-undang bertentangan dengan konsep supremasi Majelis Permusyawaratan Rakyat, dan (iv) sebagai negara
yang baru merdeka belum memiliki ahli-ahli mengenai hal tersebut serta pengalaman mengenai judicial review.
Akhirnya, ide itu urung diadopsi dalam UUD 1945.10

Gagasan Yamin muncul kembali pada proses amandemen UUD 1945. Gagasan membentuk Mahkamah
Konstitusi mengemuka pada sidang kedua Panitia Ad Hoc I Badan Pekerja MPR RI (PAH I BP MPR), pada Maret-
April tahun 2000. Mulanya, MK akan ditempatkan dalam lingkungan MA, dengan kewenangan melakukan uji materil
atas undang undang, memberikan putusan atas pertentangan antar undang-undang serta kewenangan lain yang
diberikan undangundang. Usulan lainnya, MK diberi kewenangan memberikan putusan atas persengketaan
kewenangan antarlembaga negara, antar pemerintah pusat dengan pemerintah daerah dan antar pemerintah
daerah. Dan setelah melewati perdebatan panjang, pembahasan mendalam, serta dengan mengkaji lembaga
pengujian konstitusional undang-undang di berbagai negara, serta mendengarkan masukan berbagai pihak,
terutama para pakar hukum tata negara, rumusan mengenai pembentukan Mahkamah Konstitusi diakomodir dalam
Perubahan Ketiga UUD 1945. Hasil Perubahan Ketiga UUD 1945 itu merumuskan ketentuan mengenai lembaga
yang diberi nama Mahkamah Konstitusi dalam Pasal 24 Ayat (2) dan Pasal 24C UUD 1945. Akhirnya sejarah MK
dalam sistem ketatanegaraan Indonesia dimulai, tepatnya setelah disahkannya Perubahan Ketiga UUD 1945 dalam
Pasal 24 ayat (2), Pasal 24C, dan Pasal 7B pada 9 November 2001.11

9
Model ini sering disebut sebagai The Kelsenian Model. Model ini menyangkut hubungan antara prinsip supremasi konstitusi (the principle of the
supremacy of the Constitution) dan prinsip supremasi parlemen (the principle of the supremacy of the Parliament).
10
Laica Marzuki berpendapat bahwa pernyataan Soepomo hendaknya ditafsirkan sebagai penangguhan pembentukan pengadilan konstitusi, dan bukan
penolakan, Merambah Pembentukan Mahkamah Konstitusi di Indonesia, diterbitkan Konsorsium Reformasi Hukum Nasional (KRHN).
11
Setelah disahkannya Perubahan Ketiga UUD 1945 maka dalam rangka menunggu pembentukan MK, MPR menetapkan Mahkamah Agung menjalankan
fungsi MK untuk sementara sebagaimana diatur dalam Pasal III Aturan Peralihan UUD 1945 hasil Perubahan Keempat. DPR dan Pemerintah kemudian
membuat Rancangan Undang-Undang mengenai Mahkamah Konstitusi. Setelah melalui pembahasan mendalam, DPR dan Pemerintah menyetujui secara
bersama UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi pada 13 Agustus 2003 dan disahkan oleh Presiden pada hari itu (Lembaran Negara
Nomor 98 dan Tambahan Lembaran Negara Nomor 4316). Dua hari kemudian, pada tanggal 15 Agustus 2003, Presiden melalui Keputusan Presiden
Nomor 147/M Tahun 2003 hakim konstitusi untuk pertama kalinya yang dilanjutkan dengan pengucapan sumpah jabatan para hakim konstitusi di Istana
Negara pada tanggal 16 Agustus 2003. Lembaran perjalanan MK selanjutnya adalah pelimpahan perkara dari MA ke MK, pada tanggal 15 Oktober 2003
yang menandai mulai beroperasinya kegiatan MK sebagai salah satu cabang kekuasaan kehakiman menurut ketentuan UUD 1945.
Alasan Pembentukan MK

Apa alasannya sehingga kemudian MK disepakati untuk dibentuk di Indonesia? Ide pembentukan
Mahkamah Konstitusi merupakan ekses dari perkembangan pemikiran hukum dan ketatanegaraan modern yang
muncul pada abad ke-20 ini. Di negara-negara yang tengah mengalami tahapan perubahan dari otoritarian menuju
demokrasi, ide pembentukan MK menjadi diskursus penting. Krisis konstitusional biasanya menyertai perubahan
menuju rezim demokrasi, dalam proses perubahan itulah MK dibentuk. Pelanggaran demi pelanggaran terhadap
konstitusi, dalam perspektif demokrasi, selain membuat konstitusi bernilai semantik , juga mengarah pada
pengingkaran terhadap prinsip kedaulatan rakyat.12

Dalam perkembangannya, ide pembentukan MK dilandasi upaya serius memberikan perlindungan terhadap
hak-hak konstitusional warga negara dan semangat penegakan konstitusi sebagai grundnorm atau highest norm,
yang artinya segala peraturan perundang-undangan yang berada dibawahnya tidak boleh bertentangan dengan apa
yang sudah diatur dalam konstitusi. Konstitusi merupakan bentuk pelimpahan kedaulatan rakyat (the sovereignity of
the people) kepada negara, melalui konstitusi rakyat membuat statement kerelaan pemberian sebagian hakhaknya
kepada negara. Oleh karena itu, konstitusi harus dikawal dan dijaga. Sebab, semua bentuk penyimpangan, baik oleh
pemegang kekuasaan maupun aturan hukum di bawah konstitusi terhadap konstitusi, merupakan wujud nyata
pengingkaran terhadap kedaulatan rakyat.

Ide demikian yang turut melandasi pembentukan MK di Indonesia. Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 menyatakan
bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut UUD. Ini mengimplikasikan agar pelaksanaan
kedaulatan rakyat melalui konstitusi harus dikawal dan dijaga. Harus diakui berbagai masalah terkait dengan
konstitusi dan ketatanegaraan sejak awal Orde Baru telah terjadi. Carut marutnya peraturan perundangan selain
didominasi oleh hegemoni eksekutif, terutama semasa Orde Baru menuntut keberadaan wasit konstitusi sekaligus
pemutus judicial review (menguji bertentangan-tidaknya suatu undang-undang terhadap konstitusi13). Namun,
penguasa waktu itu hanya memberikan hak uji materiil terhadap peraturan perundangan di bawah undang-undang
pada Mahkamah Agung. Identifikasi kenyataan-kenyataan semacam itu kemudian mendorong Panitia Ad Hoc I
Badan Pekerja MPR yang menyiapkan amandemen ketiga UUD 1945 akhirnya menyepakati organ baru bernama
MK.

Apabila ditelaah lebih lanjut, pembentukan MK didorong dan dipengaruhi oleh kondisi faktual yang terjadi
pada saat itu. Pertama, sebagai konsekuensi dari perwujudan negara hukum yang demokratis dan negara
demokrasi yang berdasarkan hukum. Kenyataan menunjukkan bahwa suatu keputusan yang dicapai dengan
demokratis tidak selalu sesuai dengan ketentuan UUD yang berlaku sebagai hukum tertinggi. Oleh karena itu,
diperlukan lembaga yang berwenang menguji konstitusionalitas undang-undang. Kedua, pasca Perubahan Kedua
dan Perubahan Ketiga, UUD 1945 telah mengubah relasi kekuasaan dengan menganut sistem pemisahan
kekuasaan (separation of powers) berdasarkan prinsip checks and balances. Jumlah lembaga negara dan segenap
ketentuannya yang membuat potensi besar terjadinya sengketa antarlembaga negara. Sementara itu, perubahan
paradigma supremasi MPR ke supremasi konstitusi, membuat tidak ada lagi lembaga tertinggi negara yang
berwenang menyelesaikan sengketa antarlembaga negara. Oleh karena itu, diperlukan lembaga tersendiri untuk
menyelesaikan sengketa tersebut. Ketiga, kasus pemakzulan (impeachment) Presiden Abdurrahman Wahid oleh
MPR pada Sidang Istimewa MPR pada 2001, mengilhami pemikiran untuk mencari mekanisme hukum yang
digunakan dalam proses pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden agar tidak semata-mata didasarkan
alasan politis semata. Untuk itu, disepakati perlunya lembaga hukum yang berkewajiban menilai terlebih dahulu

12
Nilai semantik menunjukkan bahwa konstitusi itu secara hukum tetap berlaku, tetapi dalam kenyataannya hanya sekedar untuk memberi bentuk dari
tempat yang telah ada dan untuk melaksanakan kekuasaan politik
13
Banyak undang-undang dinilai tidak sejalan dengan UUD 1945. Di antaranya undang-undang tentang perpajakan, haatzaai artikelen (delik penyebar
kebencian) pada Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, penyiaran, anggota DPR yang diangkat bukan dari pemilihan umum, hak interpelasi dan hak angket
DPR.
pelanggaran hukum yang dilakukan oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden yang dapat menyebabkan
Presiden dan/atau Wakil Presiden diberhentikan dalam masa jabatannya.

Setelah melalui pembahasan mendalam, dengan mengkaji lembaga pengujian konstitusional undang-
undang di berbagai negara, serta mendengarkan masukan berbagai pihak, terutama para pakar hukum tata negara,
rumusan mengenai lembaga Mahkamah Konstitusi disahkan pada Sidang Tahunan MPR 2001. Hasil Perubahan
Ketiga UUD 1945 itu merumuskan ketentuan mengenai lembaga yang diberi nama Mahkamah Konstitusi dalam
Pasal 24 Ayat (2) dan Pasal 24C UUD 1945.

SUSUNAN ORGANISASI MAHKAMAH KONSTITUSI

Perlu diperhatikan juga Di samping fungsi dan kewenangan Mahkamah Konstitusi akan tetapi susunan
organisasinya jelas sangat penting, karena kaitn dengan susunan organisasi ini adalah menjelaskan tentang jumlah
susunan anggota, yang terdiri dari sembilan Hakim Konstitusi.

Berdasarkan ketentuan Pasal 24C, ayat (3) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 :

“Mahkamah Konstitusi mempunyai Sembilan orang anggota hakim konstitusi yang ditetapkan oleh Presiden, yang
diajukan masing-masing tiga orang oleh Mahkamah Agung, tiga orang oleh Dewan Perwakilan Rakyat, dan tiga
orang oleh Presiden.”

Pada ayat (4) juga ditentukan :

“Ketua dan Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi dipilih dari dan oleh hakim konstitusi”. Ditegaskan kembali dalam
Pasal 4 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi : Mahkamah Konstitusi mempunyai
Sembilan orang anggota Hakim Konstitusi yang ditetapkan dengan Keputusan Presiden.

(1)Susunan Mahkamah Konstitusi terdiri atas seorang Ketua merangkap anggota, seorang Wakil Ketua merangkap
anggota, dan tujuh orang anggota Hakim Konstitusi.

(2)Ketua dan Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi dipilih dari dan oleh Hakim Konstitusi untuk masa jabatan selama
tiga tahun.

(3)Sebelum Ketua dan Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi terpilih sebagaimana dimaksud pada ayat (3), rapat
pemilihan Ketua dan Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi dipimpin oleh Hakim Konstitusi yang tertua usianya.
(4)Ketentuan mengenai tata cara pemilihan Ketua dan Wakil Ketua sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur lebih
lanjut oleh Mahkamah Konstitusi. Menurut ketentuan Pasal 24C ayat (5) Undang-undang Dasar Tahun 1945 :
“Hakim Konstitusi harus memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, adil, negarawan yang menguasai
konstitusi dan ketatanegaraan, serta tidak merangkap sebagai pejabat Negara.”

Pada ayat (6) ditentukan pula : “Pengangkatan dan pemberhentian hakim konstitusi, hukum acara serta ketentuan
lainnya tentang Mahkamah Konstitusi diatur dengan undangundang.” Dari ketentuan Pasal 24C ayat (5) UUD 1945
tersebut, untuk menjadi hakim konstitusi, seseorang haruslah : (i) memiliki integritas dan kepribadian yang tidak
tercela; (ii) adil; dan (iii) negarawan yang menguasai konstitusi dan ketatanegaraan. Ketiga hal itulah yang dirinci
sebagai syarat hakim konstitusi menurut Pasal 15 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi. Karena itu, dapat dikatakan bahwa hakim konstitusi merupakan satu-satunya pejabat Negara yang dalam
Undang-Undang Dasar dan undang-undang disebutkan secara eksplisit sebagai negarawan. Presiden, Wakil
Presiden, Menteri, anggota dan pimpinan DPR, MPR, dan DPD, pimpinan dan anggota BPK ataupun para Hakim
Agung adalah pejabat tinggi Negara yang tidak harus merupakan negarawan. Tetapi hakim konstitusi dipersyaratkan
harus negarawan.
Persyaratan untuk diangkat menjadi hakim konstitusi seperti dimaksud di atas, dijabarkan lebih lanjut dalam
Pasal 16 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003, yaitu bahwa calon hakim konstitusi itu adalah:

1) Warga Negara Indonesia.

2) Berpendidikan sarjana hukum.

3) Berusia sekurang-kurangnya 40 tahun pada saat pengangkatan.

4) Tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan
hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara lima tahun atau lebih.

5) Tidak sedang dinyatakan pailit berdasarkan putusan pengadilan, dan 6) Memunyai pengalaman kerja di
bidang hukum sekurang-kurangnya 10 tahun.

Setiap Hakim Konstitusi Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, jelas harus berstatus Warga Negara
Indonesia. Karena para anggota Mahkamah Konstitusi itu adalah hakim, maka syarat pendidikan sarjana hukum juga
logis. Demikian pula syarat tidak pernah dijatuhi pidana yang diancam dengan pidana penjara lima tahun atau lebih,
ataupun syarat tidak sedang dinyatakan pailit, juga dapat di anggap sudah seharusnya demikian. Namun, syarat usia
sekurang-kurangnya 40 tahun dan syarat pengalaman di bidang hukum sekurang-kurangnya 10 tahun masih dapat
diperdebatkan, terutama jika dikaitkan dengan kualifikasinya sebagai negarawan yang memunyai integritas dan
kepribadian yang tak tercela, adil, serta menguasai konstitusi dan ketatanegaraan. Apakah seorang yang baru
berusia 40 tahun dapat diharapkan menjadi seorang negarawan seperti yang dimaksud dalam Pasal 15 Undang-
Undang Nomor 24 Tahun 2003.

Hakikat Mahkamah Konstitusi

Sesuai ketentuan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945, Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat
pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap undang-undang dasar,
memutus sengketa kewenangan lembaga Negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar,
memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum. Selain itu, Pasal 24C
ayat (2) menambahkan pula bahwa Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat DPR mengenai
dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut Undang-Undang Dasar. Kewajiban ini secara
timbal balik juga berisi kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk memutus perkara yang dimaksud, sehingga dapat
dikatakan bahwa Mahkamah Konstitusi memiliki lima bidang kewenangan peradilan, yaitu :

1) Peradilan dalam rangka pengujian konstitusionalitas undang-undang

2) Peradilan sengketa kewenangan konstitusional lembaga Negara.

3) Peradilan perselisihan hasil pemilihan umum.

4) Peradilan pembubaran partai politik; dan

5) Peradilan atas pelanggaran oleh Presiden dan atau Wakil Presiden menurut Undang-Undang Dasar.
Pengujian Undang-Undang

Pengujian undang-undang menempatkan undang-undang sebagai objek peradilan, yang jika undang-
undang itu terbukti bertentangan dengan UndangUndang Dasar, maka sebagian materi ataupun keseluruhan
undang-undang itu dapat dinyatakan tidak lagi berlaku mengikat untuk umum.Pemeriksaan pengujian undang-
undang dapat dilakukan secara materiil (materiile toetsing) atau secara formal (formele toetsing). Jika pengujian
dilakukan atas materi undang-undang, maka hal itu dapat disebut pengujian materiil. Misalnya, pengujian atas
proses prosedural terbentuknya undang-undang itu ataupun atas proses administratif pengundangan dan
pemberlakuannya untuk umum yang ternyata bertentangan dengan Undang-Undang Dasar ataupun prosedur
menurut undang-undang yang didasarkan atas Undang-Undang Dasar, dapat disebut sebagai pengujian yang
bersifat formil. Sifat formil dalam pengujian itu sendiri dapat terkait dengan : (i) apakah bentuk atau format undang-
undang yang dibentuk sudah tepat menurut Undang-Undang Dasar atau peraturan perundang-undangan
berdasarkan Undang-Undang Dasar; (ii) sejauh mana prosedur yang ditempuh dalam proses pembentukan undang-
undang memang ditaati, (iii) apakah lembaga yang terlibat dalam proses pembentukan undang-undang memang
berwenang untuk itu; dan (iv) apakah prosedur pengundangan dan pemberlakuannya sesuai dengan ketentuan
Undang-Undang Dasar atau peraturan perundang-undangan berdasarkan Undang-Undang Dasar.
DAFTAR PUSTAKA

Sumber Buku :

Sarkawi, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi, UPT. Mataram University Press, Mataram, 2018

C.F.Strong, Konstitusi-Konstitusi Politik Modern-Kajian tentang Sejarah dan Bentuk-Bentuk Konstitusi Dunia,
Penerbit Nuansa dan Penerbit Nusa Media, Bandung, 2004
Jimly Asshiddiqie, Format Kelembagaan Negara dan Pergeseran kekuasaan Indonesia, MKRI dan PSHTN FH UII,
Jakarta, 2005
Leonard W Levy (Editor), Judicial Review, Sejarah Kelahiran, Wewenang dan Fungsinya dalam Negara Demokrasi,
Cetakan Pertama, Penerbit Nuansa dan Penerbit Nusa Media, Bandung. 2005.
Moh. Mahfud MD, Membangun Politik Hukum Menegakkan Konstitusi, LP3ES, Jakarta, 2006
RM. A.B. Kusuma, Lahirnya Undang-Undang Dasar 1945, Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia,
Jakarta, 2004.
R. Kent Newmeyer, John. Marshall and the Heroic Age of The Supreme Court, Southern Biography Series, 2001.

Sumber Jurnal :

Gaffar Janedjri M., (2009), Kedudukan, Fungsi Dan Peran Mahkamah Konstitusi Dalam Sistem Ketatanegaraan
Republik Indonesia, Surakarta.

Basniwati AD., (2014), KEDUDUKAN DAN WEWENANG MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM SISTEM
KETATANEGARAAN REPUBLIK INDONESIA, Mataram.

Sumber Website :

https://www.mkri.id/

https://annisawally0208.blogspot.com/2016/03/kedudukanfungsidan-wewenang-mahkamah.html
LAMPIRAN

Anda mungkin juga menyukai