Anda di halaman 1dari 17

Dalam kesempatan kali ini, sebagai seorang professional saya tidak akan membahas terkait

isu yang lagi trend di media masa nasional dan social media saat ini tentang “puisi”. Apalagi
membuat “puisi” tandingan pun tidak kepikiran sama sekali.
Akan lebih bijak mungkin kita membahas isu nasional yang lebih produktif beberapa waktu
lalu yaitu terkait agenda Industry 4.0 yang telah dicanangkan oleh Pemerintah Indonesia
melalui Kementerian Perindustrian sebagai lembaga yang mewadahi rencana strategis
nasional tersebut.
Namun sebelum terlalu jauh kesana, mari coba kita telaah dahulu apa dan bagaimana
sebenarnya konsep Industri 4.0 dapat muncul saat ini. Industri 4.0 adalah nama tren otomasi
dan pertukaran data terkini dalam teknologi pabrik. Istilah ini mencakup sistem siber-fisik,
Internet untuk segala, komputasi awan, dan komputasi kognitif. Istilah "Industri 4.0" berasal
dari sebuah proyek dalam strategi teknologi canggih pemerintah Jerman yang mengutamakan
komputerisasi pabrik. Ada empat prinsip rancangan dalam Industri 4.0. Prinsip-prinsip ini
membantu perusahaan mengidentifikasi dan mengimplementasikan skenario-skenario
Industri 4.0, antara lain Interoperabilitas (kesesuaian), Transparansi informasi, Bantuan
teknis, dan Keputusan mandiri.
Demam Industry 4.0 di Indonesia
Presiden Joko Widodo beberapa waktu lalu telah meresmikan roadmap strategi Indonesia
menghadapi era revolusi Industru 4.0 tersebut. Beberapa negara-negara maju masih awal
mengembangkan industri 4.0 ini seperti Jerman baru 3 tahun, Amerika baru mulai. ASEAN
baru Thailand, Singapura, dan Malaysia yang menyiapkan, sehingga dengan Indonesia punya
roadmap diharapkan dapat mengejar ketertinggalan tersebut.
Mengutip laporan lembaga riset McKinsey pada 2015, dampak revolusi industri 4.0 akan tiga
ribu kali lebih dahsyat dari revolusi industri pertama di abad ke-19. Menteri Perindustrian
Airlangga Hartanto mengatakan roadmap Making Indonesia 4.0 disusun dengan melibatkan
berbagai pemangku kepentingan, mulai dari institusi pemerintah, asosiasi industri, pelaku
usaha, penyedia teknologi, maupun lembaga riset dan pendidikan. Keterlibatan banyak pihak
ini diharapkan dapat memuluskan jalannya implementasi industri 4.0 di Indonesia yang sudah
dirancang sejak dua tahun lalu.
Dalam Making Indonesia 4.0, terdapat 10 inisiatif nasional yang bersifat lintas sektoral untuk
mempercepat perkembangan industri manufaktur. Airlangga mengatakan di dalamnya
terdapat perbaikan alur distribusi barang dan material, membangun peta jalan zona industri
komprehensif dan lintas industri, mengakomodasi standar berkelanjutan, serta
memberdayakan industri kecil dan menengah.
Pemerintah juga merancang strategi pembangunan infrastruktur digital nasional, menarik
minat investasi asing, peningkatan sumber daya manusia, dan pembangunan ekosistem
inovasi. Selain itu ada rancangan insentif untuk investasi teknologi dan harmonisasi aturan.
Industri 4.0 di Indonesia akan dimulai dengan pengembangan lima sektor manufaktur yaitu
industri makanan dan minuman, industri tekstil dan pakaian, industri otomotif, industri kimia,
dan industri elektronik. Airlangga menuturkan sektor tersebut dipilih setelah melalui evaluasi
dampak ekonomi dan kriteria kelayakan implementasi yang mencakup ukuran PDB,
perdagangan, potensi dampak terhadap industri lain, besaran investasi, dan kecepatan
penetrasi pasar
The Hidden Effects
Tentunya sebagai warga negara yang baik, kita harus optimis dan berkhusnudzon dengan
konsep roadmap Industri 4.0 yang akan dijalankan pemerintah tersebut. Betapa nantinya
Indonesia bisa lebih baik dan bersaing dengan negara – negara maju lainnya.
Namun, tentunya disisi lain kita perlu memikirkan pula effects yang secara tak langsung
akan muncul ditengah – tengah masyarakat kita ketika implementasi dari roadmap ini benar –
benar dijalankan sehari – hari diruang kehidupan social mereka yang mostly masih bersifat
“konvensional”.
Ya, kenapa saya katakan demikian ? Karena perlu ditinjau dari beberapa aspek khususnya
demografis dan psikologis. Jika berbicara aspek demografis, maka perlu diingat bahwa
Indonesia itu tidak hanya wilayah Jawa saja ( yang notabene jumlah penduduk, dan sarana
prasarana lebih baik dari wilayah timur Indonesia). Pun dari aspek psikologis, seperti yang
dikatakan dalam hasil riset McKinsey bahwa dampak perubahan ini akan lebih besar ribuan
kali dari revolusi industry sebelumnya. Apakah masyarakat Indonesia sudah siap dengan
segala sesuatu yang serba automatic ? Bagaimana pola pikir dan sikap masyarakat jika
dihadapkan dengan masalah “maintenance” dari canggihnya teknologi yang dinikmati nanti ?
Sebagai contoh saja, yang saat ini lagi ramai pula diributkan dan masih belum menemukan
titik temu antar stakeholdersnya adalah masalah aplikasi transportasi online ( sejenis Go-Jek
dan lainnya). Bagaimana “heboh”nya mereka penyedia jasa transportasi local yang masih
menggunakan system konvensional ketika dihadapkan dengan persaingan bisnis transportasi
yang sudah serba online.
Bayangkan jika suatu saat ini, beberapa sector bisnis yang masih bertahan dengan system
konvensional/ tradisionalnya harus bersaing dengan bisnis tetangga sebelah yang sudah serba
online.
Untuk itu tugas berat pemerintah dengan pemangku kepentingan terkait untuk mendesain
dengan komprehensif dan detail dampak kedepan ketika era Industri 4.0 ini telah berjalan
ditengah – tengah masyarakat Indonesia. Pentingnya Grand Design lintas sectoral untuk dapat
mengurangi dampak negative dari ego sectoral tersebut nantinya.
Bagaimana dengan era Transportasi 5.0 ?
Dengan tidak meninggalkan semangat Industri 4.0, yaitu proses integrasi seluruh resource
data dengan bantuan akses internet. Konsep Transportasi 5.0 akan sedikit lebih berbeda
karena focus di bidang transportasi dan lebih maju secara aplikasi operasional sistemnya.
Konsep Transportasi 5.0 ini pertama kali diperkenalkan oleh IEEE Intelligent Transportation
System Society. Jika ditelaah secara teknis, dengan pertimbangan eksplisit dan mendasar
untuk aspek sosial dan manusia yang terhubung dan real-time ke dalam sistem transportasi
cerdas, IEEE-ITS Society tersebut percaya dapat melompat dari transportasi komputasi ke
Transportasi 5.0, yang didasarkan pada Cyber-Physical-Social Systems (CPSS), satu langkah
di luar Cyber -Physical Systems (CPS). Lebih khusus lagi, Transportasi 5.0 termasuk sistem
transportasi yang ditetapkan perangkat lunak, O2O (online untuk offline dan sebaliknya)
eksperimen transportasi komputasi, dan transportasi paralel dengan otomatisasi pengetahuan
untuk kontrol loop tertutup dan manajemen dengan umpan balik masyarakat luas.
Mungkin sedikit berat jika kita memaksakan untuk membahasnya lebih jauh, apalagi terkait
implementasinya secara teknis dan real di wilayah Indonesia nantinya.
Namun, paling tidak kita bisa memahami dan memperkirakan kedepan sudah siapkah
Indonesia ?
-------
L. Tri Wijaya N. Kusuma, saat ini sebagai Ph.D Student di Institute of Industrial
Management, NCU Taiwan. Ketua PPI Taiwan 2017/2018. Dosen tetap di Univ. Brawijaya.
Founder of e-Marine Highway. Aktif sebagai peneliti di IEEE Intelligent Transportation
System Society. Penulis beberapa buku dan telah terbit di UB Press dan Gramedia. Reviewer
pada Journal of System & Management Industry (JSMI).
Dalam tiga gelombang revolusi industri, Indonesia selalu tertinggal dan tidak turut andil di
fase-fase penting pengubah ekonomi dunia tersebut. Kali ini, mampukah Indonesia--yang
menghadapi persoalan pelik deindustrialisasi--mampu mengambil peran di gelombang
revolusi industri 4.0?

Sekilas, mungkin terdengar muskil bagi Indonesia untuk bisa memanfaatkan atau bahkan
melompat ke revolusi industri digital, yang berbasiskan artificial intelligence (AI), internet
atas segala hal (internet of thing/ IoI), realitas tertambah (augmented reality), pembelajaran
mesin (machine learning), dan pembelajaran dalam (deep learning).

Alasannya, sektor manufaktur saat ini tengah terpukul dan mencatatkan penurunan kontribusi
ke perekonomian (deindustrialisasi). Pertumbuhan sektor manufaktur, yang menyumbang
20,16% ekonomi nasional, saat ini berada dalam tren melambat, ke bawah 5%. Industri batu
bara dan pengolahan migas melambat ke 4,46% (dari 4,85%), sedangkan industri non migas
melambat dari 5,46% ke 5,14%.

Karenanya, wajar saja muncul kekhawatiran bahwa Indonesia lagi-lagi akan tertinggal dalam
revolusi industri 4.0, sama seperti di tiga revolusi industri sebelumnya di mana negeri ini
masih terlambat bersama negara-negara berkembang lainnya, sementara negara maju menjadi
mesin pendorong revolusi tersebut.

Ketika revolusi industri pertama pecah pada era 1700-an, Indonesia masih berupa kerajaan-
kerajaan berbasis agrikultur (negara agraris), dengan perekonomian sederhana. Pada saat itu
pabrik yang beroperasi dikendalikan oleh pengusaha-pengusaha Belanda.

Demikian juga ketika pecah revolusi industri kedua di tahun 1800-an, Indonesia masih dalam
status quo dengan sektor manufaktur yang terbatas dan dikontrol oleh penjajah Belanda.
Pembangunan jaringan listrik dan rel kereta hanya dilakukan di kota-kota besar di Indonesia.

Selang 25 tahun setelah merdeka, ketika negara maju sudah menginisiasi penggunaan
komputer di era revolusi industri ketiga pada era 1970-an, Indonesia masih dalam transisi
awal menuju negara industri. Jangankan merintis pengembangan komputer dan
menerapkannya di sektor manufkatur, Indonesia bahkan baru memulai program listrik
nasional pada 1972.

Kini, apakah Indonesia berpeluang tertinggal seperti halnya negara-negara berkembang lain?
Meski berposisi sebagai pasar sosial media terbesar di Asia Tenggara dengan 50 juta orang
menggunakan ponsel pintar, tapi industrinya berjalan dengan teknologi yang terbatas.

Firma konsultansi AT Kearney menyebutkan belanja nasional di bidang teknologi


komunikasi dan informasi pada 2016 masih sangat terbatas yakni hanya 1,3% terhadap PDB,
jauh lebih kecil dibandingkan dengan Singapura (6,6%), Malaysia (4,5%), dan Thailand
(2,4%).

Hal ini berujung pada lambatnya pertumbuhan produktivitas manufaktur di Indonesia, yang
hanya naik 50% dari tahun 2000 hingga kini, jauh dari India yang naik dua kali lipat dan
China yang naik tiga kali.

Peluang Masih Terbuka


Namun, hal ini bukan berarti pintu bagi Indonesia untuk bisa bergabung dalam revolusi
industri keempat telah sepenuhnya tertutup. Ada perbedaan kondisi revolusi industri kali ini
dibandingkan dengan tiga gelombang revolusi industri di masa lalu.

Perbedaan itu terletak pada: kesetaraan titik mula dan modal dasar. Jika pada revolusi
pertama dan kedua, Indonesia dan negara berkembang lainnya berada di posisi tertinggal
karena masih berjuang melawan kolonialisme, kali ini titik mulanya relatif setara. Semua
negara berkembang telah terkoneksi dengan internet, dalam kampung digital global.

Dari sisi modal dasar, seluruh negara di dunia saat ini memiliki aksesibilitas teknologi digital
yang relatif sama. Tidak seperti di era revolusi industri pertama, di mana negara maju dalam
hal ini Inggris dan Amerika Serikat (AS), lebih unggul membangun rekayasa permesinan
karena situasi politik ekonomi yang lebih kondusif dan tidak sedang dijajah negara lain.

Kini, di era revolusi industri 4.0, semua negara memiliki titik mula dan modal dasar yang
relatif sama. Secara umum, negara di dunia menghadapi problem ekonomi global yang sama
dan tidak terkungkung kolonialisme seperti di masa lalu. Situasi ini membuka peluang sama
bagi seluruh negara itu membangun infrastruktur digital di negara masing-masing untuk
pengembangan AI, IoI, realitas tertambah, dan big data.

Sementara itu, kesamaan modal dasar tercipta karena masyarakat negara maju dan
berkembang sama-sama menikmati infrastruktur internet broadband yang menyentuh segala
aspek kehidupan masyarakat. Akses atas teknologi digital tidak hanya ada di negara maju,
tapi juga di negara berkembang terlihat dari bermunculannya startup di seluruh negara, bukan
hanya di negara maju.

Faktor pembeda dalam persaingan di era revolusi industri kali ini terletak pada kekuatan
agent of technology, atau kemampuan sumber daya manusia (SDM) masing-masing negara.
Semakin efektif sebuah negara menciptakan inkubasi pengembangan teknologi internet dan
kecerdasan buatan, makin terbuka pula peluang dia memimpin.

Kementerian Komunikasi dan Informatika telah mencanangkan Indonesia sebagai negara


berekonomi digital terbesar di Asia Tenggara pada 2020, bersaing dengan emerging market
lain seperti China yang mengumumkan visi sebagai pusat inovasi AI pada 2030, dan India
yang berambisi jadi kekuatan sains global pada 2020.

Lalu bagaimana Indonesia yang hanya membelanjakan 0,3% dari produk domestik bruto
(PDB) untuk riset dan pengembangan (R&D), bisa bersaing dengan negara lain di revolusi
industri keempat ini?

Jawabannya, menurut Hisashi Hayashi, Associate Professor di Advanced Institute of


Industrial Technology terletak pada kemauan politik untuk menciptakan habitat ekonomi
yang mendukung inovasi AI dan teknologi digital paling kontemporer. Jepang, misalnya,
membangun itu lewat program 'Society 5.0'. Keunggulan teknologi tinggi (high tech) bukan
menjadi faktor penentu dan satu-satunya, karena kini semua orang bisa mengakses open
source untuk mempelajari bahasa pemrograman.

Terpisah, Direktur Machine Learning SP Jain School of Global Management Debashis Guha
memberi contoh China sebagai negara emerging market yang berpenduduk besar tetapi
sukses membangun inovasi teknologi canggih terdepan. "Banyak pengetahuan yang sekarang
bisa diakses semua orang dari riset dan piranti lunak yang bersifat open source," tuturnya.
Pada akhirnya, revolusi industri berjalan di atas transformasi kualitas tidak hanya proses
produksi, tapi juga kualitas pelaku proses tersebut, sebagaimana diingatkan oleh sejarawan
AS Charles A. Beard tujuh dasawarsa yang lalu: "The industrial revolution has two phases:
one material, the other social. One concerning the making of things, the other concerning the
making of men."

Inilah yang harus diperhatikan pemerintah, untuk membangun habitat dan memberikan
insentif terhadap pelaku riset teknologi agar bisa mendukung efisiensi dan kualitas industri
manufaktur, jika tidak ingin kembali tertinggal di revolusi industri keempat ini. *** (ags)
Industry 4.0 vs Society 5.0 - Di tengah ramai-ramainya gerakan Revolusi Industri 4.0 di
Indonesia, Jepang saat ini sudah melaju di gerakan Society 5.0. Sebelum membahas
persamaan dan perbedaan antara keduanya, kita tengok sejenak dulu mengenai konsep
masing-masing gerakan tadi. Industry 4.0 berawal dari konsep industri di Jerman yang
didasarkan pada enam pilar yang berdampak positif terhadap perekonomian, yaitu
masyarakat digital, energi berkelanjutan, mobilitas cerdas, hidup sehat, kemanan sipil, dan
teknologi di tempat kerja. Bisa dikatakan bahwa Industry 4.0 adalah era digital atau era
teknologi informasi dan komunikasi. Ya seperti yang telah kita rasakan saat ini, di mana
internet, smartphone, sensor (IoT), dan koneksi data telah menjadi bagian yang terpisahkan
dari dunia kerja dan bahkan kehidupan sehari-hari.

Mari kita beranjak sebentar ke Society 5.0. Konsep Society 5.0 sebenarnya telah
dipromosikan oleh pemerintah Jepang pada tahun 2015. Tidak lagi berpusat pada industri,
konsep Society 5.0 lebih berpusat pada orang-orangnya atau dalam hal ini adalah masyarakat.
Dengan memanfaatkan teknologi sebagai penggerak, pemerintah Jepang menginisiasi
gerakan ini untuk menciptakan masyarakat yang superpintar. Internet of Things (IoT),
Artificial Intelligence (AI), Big Data, dan robotic merupakan empat teknologi utama yang
dimanfaatkan Jepang untuk menyukseskan Society 5.0 ini. Sebagai contoh, Jepang
memanfaatkan drone untuk membantu para lansia/orang-orang dalam memenuhi
kebutuhannya di saat mereka tidak bisa pergi jauh. Para lansia juga tidak harus pergi jauh
untuk menemui dokter secara langsung karena mereka dapat dengan mudah memeriksakan
kesehatannya secara rutin melalui mesin dengan teknologi AI yang disediakan di titik-titik
terdekat atau bahkan di rumah masing-masing lansia yang membutuhkan.

Lalu, apa saja kesamaan antara Industry 4.0 dan Society 5.0? Seperti dikutip dari
aziyatiyusoff.com, berikut enam di antaranya:

1. Sama-sama Menekankan teknologi IoT, AI, Smart Machines, Knowledge Management,


dan Smart Web untuk mewakili konektivitas kerja.

2. Keduanya menekankan pada bagaimana cara orang berkomunikasi dengan mesin atau
orang lain melalui Intelligent Machine yang tersedia.
3. Sama-sama memiliki kekuatan untnuk melakukan multitasking melalui berbagai jenis
media otomatis dan platform komputasi.

4. Keduanya sama-sama menekankan bahwa pekerjaan di era ini sudah bukan lagi sekadar
single-job per jam, melainkan merupakan proses yang selalu berjalan dengan proses lain atau
sebagai medium ke prosedur yang lain.

5. Sama-sama menekankan pada pergerakan bebas dari satu proses ke proses lainnya dan
memerlukan lebih sedikit protokol untuk menyelesaikan pekerjaan.

6. Keduanya mempertimbangkan rekayasa keberlanjutan di tengah-tengah teknologi progresif


yang dikerahkan secara material dengan memastikan pelestarian alam dan ekologi masih
dalam kondisi baik.

Di mana ada persamaan, di sana juga tentu tetap ada perbedaannya. Secara garis besar ada
tiga perbedaan antara Industry 4.0 dan Society 5.0, yaitu:

1. Industry 4.0 menekankan pada bagaimana pekerjaan dilakukan secara otomatis, sedangkan
Society 5.0 menekankan pada bagaimana mengoptimalkan tanggung jawab jam kerja untuk
menyelesaikan pekerjaan.

2. Industry 4.0 menyoroti efektivitas penggunaan mesin otomatis, sedangkan Society 5.0
menyoroti efektivitas mengoptimalkan pengetahuan orang/masyarakat dengan bantuan mesin
cerdas.

3. Industry 4.0 adalah tentang komunikasi yang terkomputerisasi dengan segala cara,
sedangkan Society 5.0 dimaksudkan untuk memudahkan dan mempercepat pekerjaan dengan
bantuan mesin cerdas demi kepentingan orangnya.

Meskipun memiliki fokus yang berbeda, pada dasarnya tujuan Industry 4.0 dan Society 5.0
adalah untuk mempermudah aktivitas manusia dan tentu agar segala sesuatunya menjadi
lebih efektif dan efisien. Bagi kita yang saat ini masih sibuk dengan Revolusi Industri 4.0,
ada baiknya mulai memahami juga konsep Society 5.0. Akan lebih baik lagi jika Indonesia ke
depan bisa perlahan mengimplementasikannya secara bersamaan.
Belakangan ini istilah Industri 4.0 santer menghiasi media massa maupun media sosial. Ada
yang menyebut dengan era disrupsi. Atau situasi dimana pergerakan dunia industri tidak lagi
linier. Bahkan berlangsung sangat cepat dan cenderung mengacak-acak pola tatanan lama,
dan cenderung membentuk pola tatanan baru. Sebagai catatan, revolusi industri telah terjadi
empat kali. Pertama dengan penemuan mesin uap, kedua elektrifikasi. Ketiga penggunaan
komputer, dan keempat revolusi era digital ini.

Kondisi yang saling mendisrupsi ini bisa terjadi karena pesatnya perkembangan teknologi
digital. Seperti kecerdasan buatan (artificial intelligent). Yang jika dipadukan dengan internet
of thing (IoT) akan mampu mengolah jutaan data (big data) menjadi suatu keputusan atau
kesimpulan. Jadi jangan heran jika salah satu media sosial diprotes banyak pihak saat
pelaksanaan pemilu di AS beberapa waktu yang lalu. Karena disinyalir memberikan data ke
salah satu kontestan. Dan dengan teknologi digital, data tersebut akan dianalisis dan hasilnya
dipakai untuk mengatur strategi pemenangan.

Istilah Revolusi Industri 4.0 pertama kali diperkenalkan oleh Profesor Klaus Schwab.
Seorang ekonom terkenal asal Jerman yang menulis dalam bukunya: The Fourth Industrial
Revolution. Sebenarnya beberapa negara juga mempunyai roadmap digitalisasi industri yang
serupa. Seperti, China dengan Made in China 2025, Asia dengan Smart Cities. Dan
Kementerian Perindustrian juga mengenalkan Making Indonesia 4.0, yang pada bulan April
2018 dicanangkan oleh Presiden Joko Widodo.

Sebagai masyarakat awam, efek kondisi Industri 4.0 telah kita lihat dan rasakan. Belakangan,
muncul model-model bisnis baru dengan strategi yang lebih inovatif. Ambil contoh, GO-JEK
sebuah perusahaan yang tidak mempunyai armada, namun mempunyai nilai valuasi 12 kali
dibanding Garuda. Fenomena serupa juga terjadi di dunia perbankan. Beberapa profesi
seperti teller bank, analis kredit, agen asuransi, kasir, resepsionis akan hilang dan digantikan
oleh ponsel pintar. Akibatnya, berimbas pula pada tatanan sosial masyarakat.

Pada tanggal 21 Januari 2019, secara mengejutkan Kantor PM Jepang meluncurkan roadmap
yang lebih humanis, dikenal dengan super–smart society atau Society 5.0. Yang merupakan
tatanan masyarakat yang berpusat pada manusia (human–centered) dan berbasis teknologi
(technology based). Sebagai catatan, Society 5.0 didahului dengan era berburu (Society 1.0),
pertanian (Society 2.0), industri (Society 3.0), dan teknologi informasi (Society 4.0)
Melalui Society 5.0, kecerdasan buatan yang memperhatikan sisi kemanusiaan akan
mentransformasi jutaan data yang dikumpulkan melalui internet pada segala bidang
kehidupan. Tentu saja diharapkan, akan menjadi suatu kearifan baru dalam tatanan
bermasyarakat. Tidak dapat dipungkiri, transformasi ini akan membantu manusia untuk
menjalani kehidupan yang lebih bermakna. Dalam Society 5.0, juga ditekankan perlunya
keseimbangan pencapaian ekonomi dengan penyelesaian problem sosial.

Dalam Industri 4.0, dikenal adanya cyber–physical system (CPS) yang merupakan integrasi
antara physical system, komputasi dan juga network/komunikasi. Dan Society 5.0 merupakan
penyempurnaan dari CPS menjadi cyber–physical–human systems. Dimana human (manusia)
tidak hanya dijadikan obyek (passive element), tetapi berperan aktif sebagai subyek (active
player) yang bekerja bersama physical system dalam mencapai tujuan (goal). Jadi interaksi
antara mesin (physical system) dan manusia masih tetap diperlukan. Walaupun Society 5.0
hanya untuk masyarakat dan industri di Jepang, namun patut kita cermati

Dalam Making Indonesia 4.0, dielaborasi 10 langkah prioritas dalam menghadapi era
disrupsi. Diawali dengan perbaikan alur produksi material sektor hulu, desain ulang zona
industri, akomodasi standar sustainability untuk memperkuat daya saing global. Kemudian,
peningkatan kualitas SDM, pembentukan ekosistem inovasi, penerapan insentif investasi
teknologi, harmonisasi aturan dan kebijakan. Dilanjutkan dengan, pemberdayaan UMKM,
pembangunan infrastruktur digital dan menarik investasi asing.

Namun pertanyaan yang muncul adalah akankah semua itu akan bisa menjadikan SDM
Indonesia berperan aktif. Dengan kata lain, dapatkah roadmap tersebut menahan laju
pengangguran?

Hanya waktu yang bisa menjawab.


Bicara soal revolusi industri, sebelum era industri 4.0 seperti yang sedang kita lalui sekarang
ini hadir, ternyata manusia sudah lebih dulu melewati zaman industri 1.0 sampai 3.0 lo! Dan
meski kita masih berada dalam industri generasi keempat, ternyata industri generasi kelima
atau 5.0 sudah mulai dipersiapkan. Wah, sebelum kembali beralih ke era baru, sebaiknya kita
cari tahu dulu, sebenarnya apa sih perbedaan dari tiap-tiap era revolusi industri ini?
1. Industri 1.0: Saat-saat dimana mesin-mesin bertenaga air dan uap diperkenalkan

Pada era ini pertama kalinya diperkenalkan alat tenun mekanis via erichfelbabel.com
Revolusi industri pertama, yakni sekitar tahun 1760, diawali dengan kemunculan mesin-
mesin bertenaga air atau uap, sebagai pengganti tenaga manusia dan hewan. Mesin-mesin ini
banyak digunakan dalam berbagai macam industri mulai dari tekstil sampai transportasi,
membuat proses produksi semakin cepat dan mudah. Meski banyak orang jadi menganggur,
tapi produksi jadi berlipat ganda.
2. Industri 2.0: Masa-masa pengenalan produksi massal dan pembagian kerja dalam
pabrik-pabrik
Pabrik-pabrik produksi mulai bermunculan via  erichfelbabel.com
Kalau di industri 1.0 orang masih “hectic” sama mesin-mesin bertenaga air atau uap,
memasuki industri 2.0 orang mulai lebih “menata” sistem produksi suatu barang. Dalam
pabrik-pabrik dibentuk semacam sistem pembagian kerja. Produksi massal pun mulai banyak
ditemui. Di era ini juga teknologi listrik dan perakitan mulai dikenal. Revolusi ini banyak
dijumpai di Inggris, Jerman, dan Amerika.
3. Industri 3.0: Ketika orang mulai menggunakan perangkat elektronik dan teknologi
informasi tepat guna, ditandai dengan munculnya komputer
Di era ini diperkenalkan pula Programmable Logic Controllers (PLC), sistem pemrograman
di komputer yang berfungsi untuk perakitan via erichfelbabel.com
Era industri 3.0 berlangsung pada awal tahun 1970-an. Debut revolusi industri generasi ketiga
ini dimulai dengan kemunculan komputer. Mesin-mesin produksi yang tadinya dioperasikan
manusia, jadi dikendalikan oleh komputer. Waktu itu komputer memang masih sangat
sederhana, berat, dan ukurannya cukup besar sih. Tapi lumayan bisa bikin ongkos produksi
jauh lebih murah.
Namun, walapun sistem otomatis sudah ada, orang masih mengandalkan input dan campur
tangan manusia. Intinya, tenaga manusia masih dibutuhkan lah~
4. Industri 4.0: Saat industri sudah mulai menyentuh dunia virtual, dimana manusia,
mesin, dan data saling terkoneksi satu sama lain
Eranya internet of things (IoT) via erichfelbabel.com
Revolusi industri keempat disebut juga dengan Industrial Internet of Things (IIoT), masa-
masa dimana internet adalah segalanya. Industri 4.0 yang sedang kita lalui sekarang ini
merupakan eranya mesin-mesin pintar, sistem penyimpanan awan (cloud storage), dan
sistem-sistem rumit yang bisa mengubah informasi secara otomatis, mengontrol satu sama
lain tanpa campur tangan manusia.
Kalau dikutip dari Supply Change Game Changer, ada 4 elemen penting dalam industri 4.0:
1. Sistem siber-fisik: perangkat mekanis yang dijalankan oleh algoritma berbasis
komputer
2. Internet of Things (IoT): jaringan yang saling terhubung, perangkat mesin dan
kendaraan punya kemampuan penginderaan, pemindaian, dan pemantauan yang
terkomputerisasi
3. Komputasi awan: hosting jaringan di luar kantor dan cadangan data
4. Komputasi kognitif: platform teknologi menggunakan kecerdasan buatan (artificial
intelligence atau AI)
5. Industri 5.0: Suatu era dimana manusia dan mesin saling menemukan cara
bekerjasama demi meningkatkan efektivitas dan efisiensi produksi. Di masa ini,
artificial intelligence mulai marak digunakan

Kalau di industri 4.0 artificial intelligence masih jarang banget digunakan, pada revolusi
industri 5.0 mendatang AI akan mulai dipakai dalam produksi di industri-industri. Orang
bahkan mungkin nggak perlu lagi hadir di suatu tempat buat melakukan atau memproduksi
sesuatu. Para dokter kemungkinan bisa mengoperasi pasien dari jarak jauh, dengan bantuan
robot yang ia gerakkan lewat perangkat komputer.
Intinya, industri 5.0 ini adalah saat dimana manusia dan mesin saling bekerjasama demi
meningkatkan sarana dan efisiensi atas suatu usaha. Jadi jangan kaget kalau robot-robot
canggih mulai akan digunakan massal saat revolusi ini berlangsung.
Berbeda dengan revolusi industri 1.0-3.0 yang jarak antara satu dengan lainnya bisa
memakan waktu berabad-abad. Kali ini para ahli memprediksi kalau revolusi industri bisa
berlangsung jauh lebih cepat. Sekarang kita memang sedang berada di era 4.0, tapi industri
5.0 sudah tampak di depan mata. Mungkin kurang dari 10 tahun lagi, kita sudah ganti era
industri baru~

Anda mungkin juga menyukai