Anda di halaman 1dari 66

DAFTAR ISI

HALAMAN PENGESAHAN.........................................................................................................ii
BAB I.........................................................................................................................................1
PENDAHULUAN........................................................................................................................1
1.1 Latar Belakang.........................................................................................................1
BAB II........................................................................................................................................4
TINJAUAN PUSTAKA.................................................................................................................4
2.1 Mioma Uteri.............................................................................................................4
2.2 Anestesi Regional...................................................................................................17
BAB III.....................................................................................................................................27
LAPORAN KASUS....................................................................................................................27
A. IDENTITAS...............................................................................................................27
B. ANAMNESIS............................................................................................................27
C. PEMERIKSAAN FISIK :..........................................................................................28
D. Pemeriksaan Penunjang..............................................................................................30
E. Assesment..................................................................................................................32
F. Plan............................................................................................................................32
G. Laporan Anestesi........................................................................................................32
H. Persiapan pasien preoperatif :.....................................................................................33
I. Persiapan di kamar operasi :.......................................................................................33
J. Prosedur Subarachnoid Blok (SAB)...........................................................................34
K. Intra Operatif..............................................................................................................35
L. POST OPERATIF......................................................................................................40
BAB IV....................................................................................................................................42
PEMBAHASAN........................................................................................................................42
BAB V.....................................................................................................................................53
KESIMPULAN..........................................................................................................................53
DAFTAS PUSTAKA.........................................................................................................54

ii
BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang

Mioma uteri atau sering disebut fibroid merupakan tumor jinak yang
berasal dari otot polos rahim. Sel tumor terbentuk karena mutasi genetik,
kemudian berkembang akibat induksi hormon estrogen dan progesteron.
Mengingat sifat pertumbuhannya dipengaruhi hormonal, tumor ini jarang
mengenai usia prapubertas serta progresivitasnya akan menurun pada masa
menopause. Sebagian kasus asimptomatis sehingga sering didapati secara
tidak sengaja saat ke dokter karena keluhan lain. Gejala paling sering adalah
perdarahan vagina. Tumor ini sering menjadi penyebab subfertilitas wanita
dan pada kehamilan dapat menyebabkan abortus dan prematuritas.1

Anestesi secara umum adalah suatu tindakan menghilangkan rasa sakit


ketika melakukan pembedahan dan berbagai prosedur lainnya yang
menimbulkan rasa sakit pada tubuh. Namun obat-obat anestesi tidak hanya
menghilangkan rasa sakit akan tetapi juga menghilangkan kesadaran. Selain
itu, juga diperlukan relaksasi otot yang optimal agar operasi dapat berjalan
dengan lancar.2

Anestesi umum adalah tindakan anestesi yang dilakukan dengan cara


menghilangkan nyeri secara sentral, disertai hilangnya kesadaran dan bersifat
pulih kembali atau reversibel. Pada anestesi umum harus memenuhi beberapa
hal ini yaitu hipnotik, analgesi, relaksasi otot diperlukan untuk mengurangi

1
tegangnya tonus otot sehingga akan mempermudah tindakan  pembedahan,
stabilisasi otonom.2

Beberapa istilah yang dipakai seringkali memusingkan karena


mempunyai penafsiran banyak, akibat perbedaan latar belakang, dan mungkin
berbeda dari penafsirannya secara umum.2

Anestesi adalah istilah yang di turunkan dari dua kata Yunani yaitu "an”
dan "esthesia", dan bersama-sama berarti "hilangnya rasa atau hilangnya
sensasi”. Para ahli saraf memberikan makna pada istilah tersebut sebagai
kehilangan rasa secara patologis bagian tubuh tertentu. Istilah anestesi
dikemukakan pertama kali Oliver Wendell Holmes 1809-1894) untuk proses
"eterisasi" Morton (1846), untuk menggambarkan keadaan pengurangan nyeri
sewaktu pembedahan. Pada saat ini, bila digunakan kata tunggal anestesi
berarti anestesi umum. Anestesi umum adalah keadaan tak sadar tanpa nyeri
(dengan reflek otonomik minimal) yang reversible akibat pemberian obat-
obatan. Anestesi inhalasi, anestesi intravena, anestesi intravaskular, anestesi
perrektal adalah sub bagian dari anestesi umum, dan kata "menerangkan"
menunjukkan jalur masuknya obat ke dalam tubuh untuk menghasilkan
anestesi umum. Anestesi lokal (atau mungkin lebih tepat analgesi lokal)
menunjukkan anestesi pada sebagian tubuh, keadaan bebas nyeri tanpa
kehilangan kesadaran kecuali digunakan teknik anestesi gabungan anestesi
umum dan anestesi lokal atau digunakan sedasi. Anestesi regional (atau
mungkin lebih tepat analgesi regional) seringkali digunakan sebagai sinonim
anestesi lokal, lebih menunjukkan akibat blokade saraf pleksus, medulla
spinalis yang jauh dari daerah yang di buat tidak peka.2
Analgesi adalah kata yang berarti hilangnya atau bebas dari nyeri.
Istilah ini pada masa kini menunjukkan makna ganda. Pertama, untuk

2
menunjukkan proses penderita bebas dari nyeri tanpa kehilangan kesadaran.
Kedua, dipergunakan oleh beberapa pakar dalam kaitannya dengan istilah
anestesi untuk menunjukkan anestesi lokal atau regional obat analgesi dibagi
ke dalam dua kelompok yakni golongan NSAID dan golongan opioid, yang
bekerja di perifer atau sentral, sedangkan obat untuk melakukan analgesi lokal
adalah kelompok obat analgesi lokal, seperti prokain, lidokain dan
bupivakain.2
Hipnosis mempunyai makna kata berupa keadaan menjadi tidur.
Seringkali hipnosis diartikan sebagai komponen pertama trias anestesi.
keadaan tak sadar, tidur secara farmakologik yang tetap bereaksi terhadap
nyeri dengan reflek penarikan diri atau reflek otonomik, jika penderita tidak
cukup di berikan analgetik. Hipnosis adalah istilah yang ditimbulkan oleh
hipnotism, yakni penurunan sifat kritis seseorang akibat hipnotism.2
Narkosis, seringkali diartikan sebagai komponen pertama trias
anestesi, keadaan tak sadar, tidur secara farmakologi oleh obat anestesi umum.
Istilah ini mungkin lebih tepat dibandingkan hipnosis, tetapi narkosis
seringkali diartikan sebagai akibat pemberian obat narkotik (opioid).2

Subarachnoid Spinal Block, sebuah prosedur anestesi yang efektif dan


bisa digunakan sebagai alternatif dari anestesi umum. Umumnya digunakan
pada operasi bagian bawah tubuh seperti ekstremitas bawah, perineum, atau
abdomen bawah.3,4

3
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Mioma Uteri

2.2.1 Definisi

Mioma uteri adalah neoplasma jinak yang berasal dari otot polos
uterus, yang diselingi untaian jaringan ikat dan dikelilingi kapsul yang
tipis, dan sering terjadi pada usia reproduksi. Tumor ini juga dikenal
dengan istilah fibromioma uteri, leimioma uteri, dan uterine fibroid.
Dapat bersifat tunggal atau ganda dan mencapai ukuran besar,
konsistensinya keras dengan batas kapsul yang jelas sehingga dapat
dilepas dari jaringan sekitarnya.5

2.2.1 EPIDEMIOLOGI

Frekwensi mioma uteri kurang lebih 10% dari jumlah seluruh


penyakit pada alat-alat genital dan merupakan tumor pelvis.
Angka kejadian tumor ini sulit ditentukan secara tepat karena
tidak semua penderita dengan mioma uteri memiliki keluhan.
Berdasarkan otopsi, Novak menemukan 27% wanita berumur 25 tahun
mempunyai sarang mioma, pada wanita berkulit hitam ditemukan

4
lebih banyak. Mioma uteri belum pernah dilaporkan terjadi sebelum
menarche.6

2.2.2 2.3 ETIOLOGI

Sampai saat ini belum diketahui penyebab pasti mioma uteri


dan diduga merupakan penyakit multifaktorial. Dipercaya bahwa
mioma merupakan sebuah tumor monoklonal yang dihasilkan dari
mutasi somatik dari sebuah sel neoplastik tunggal. Sel-sel tumor
mempunyai abnormalitas kromosom lengan 12q13-15. Ada beberapa
faktor yang diduga kuat sebagai faktor predisposisi terjadinya mioma
uteri, yaitu : 7

1. Umur : mioma uteri jarang terjadi pada usia kurang dari 20 tahun,
ditemukan sekitar 10% pada wanita berusia lebih dari 40 tahun.
Tumor ini paling sering memberikan gejala klinis antara 35-45
tahun.
2. Paritas : lebih sering terjadi pada nullipara atau pada wanita yang
relatif infertil, tetapi sampai saat ini belum diketahui apakah
infertil menyebabkan mioma uteri atau sebaliknya mioma uteri
yang menyebabkan infertil, atau apakah kedua keadaan ini saling
mempengaruhi.
3. Faktor ras dan genetik : pada wanita ras tertentu, khususnya
wanita berkulit hitam, angka kejadiaan mioma uteri tinggi.
Terlepas dari faktor ras, kejadian tumor ini tinggi pada wanita
dengan riwayat keluarga ada yang menderita mioma.

5
4. Fungsi ovarium : diperkirakan ada korelasi antara hormon
estrogen dengan pertumbuhan mioma, dimana mioma uteri
muncul setelah menarche, berkembang setelah kehamilan dan
mengalami regresi setelah menopause.

Mioma merupakan monoclonal dengan tiap tumor merupakan


hasil dari penggandaan satu sel otot. Etiologi yang diajukan termasuk
di dalamnya perkembangan dari sel otot uterus atau arteri pada uterus,
dari transformasi metaplastik sel jaringan ikat, dan dari sel-sel
embrionik sisa yang persisten. Penelitian terbaru telah
mengidentifikasi sejumlah kecil gen yang mengalami mutasi pada
jaringan ikat tapi tidak pada sel miometrial normal. Penelitian
menunjukkan bahwa pada 40% penderita ditemukan aberasi
kromosom yaitu t(12;14)(q15;q24).

2.2.3 PATOGENESIS

Meyer dan De Snoo mengajukan teori Cell Nest atau teori


genioblast. Percobaan Lipschultz yang memberikan estrogen kepada
kelinci percobaan ternyata menimbulkan tumor fibromatosa baik pada
permukaan maupun pada tempat lain dalam abdomen. Efek
fibromatosa ini dapat dicegah dengan pemberian preparat progesteron
atau testosteron. Pemberian agonis GnRH dalam waktu lama sehingga
terjadi hipoestrogenik dapat mengurangi ukuran mioma. Efek estrogen

6
pada pertumbuhan mioma mungkin berhubungan dengan respon
mediasi oleh estrogen terhadap reseptor dan faktor pertumbuhan lain.
Terdapat bukti peningkatan produksi reseptor progesteron, faktor
pertumbuhan epidermal dan insulin-like growth factor 1 yang
distimulasi oleh estrogen. Anderson dkk, telah mendemonstrasikan
munculnya gen yang distimulasi oleh estrogen lebih banyak pada
mioma daripada miometrium normal dan mungkin penting pada
perkembangan mioma. Namun bukti-bukti masih kurang meyakinkan
karena tumor ini tidak mengalami regresi yang bermakna setelah
menopause sebagaimana yang disangka. Lebih daripada itu tumor ini
kadang-kadang berkembang setelah menopause bahkan setelah
ooforektomi bilateral pada usia dini.7

Dikenal dua tempat asal mioma uteri yaitu serviks uteri dan
korpus uteri. Mioma pada serviks uteri hanya ditemukan sebanyak 3 %
dan pada korpus uteri ditemukan 97% kasus. Berdasarkan tempat
tumbuh atau letaknya, mioma uteri dapat diklasifikasikan menjadi : 6

1. Mioma uteri intramural: Mioma terdapat di korpus uteri diantara


serabut miometrium. Bila mioma membesar atau bersifat multiple
dapat menyebabkn pembesaran uterus dan berbenjol-benjol
2. Mioma uteri submukosa: Mioma tumbuh tepat dibawah
endometrium dan menonjol ke dalam rongga uterus. Kadang
mioma uteri submukosadapat tumbuh terus dalam kavum uteri dan
berhubungan dengn tangkai yang dikenal dengan polip. Karena
konraksi uterus, polip dapat melalui kanalis servikalis dan sebgian
kecil atau besar memasuki vagina yang dikenal dengan nama
myoma geburt.

7
3. Mioma uteri subserosa: Mioma terletak dibawah tunika serosa,
tumbuh kerah luar dan menonjol ke permukaan uterus. Mioma
subserosa dapat tumbuh diantara kedua lapisan ligamentum latum
menjadi mioma ligamenter yang dapat menekan ligamenter dan
arteri iliaka. Miom jenis ini juga dapat tumbuh menempel pada
jaringan lain misalnya ke omentum dan kemudian membebaskan
diri dari uterus sehingga disebut wandering dan parasite fibroid.

8
Jenis mioma uteri dan lokasinya

Hampir separuh kasus mioma uteri ditemukan secara kebetulan


pada pemeriksaan ginekologik karena tumor ini tidak mengganggu.
Gejala yang timbul sangat tergantung pada tempat sarang mioma ini
berada serviks, intramural, submukus, subserus), besarnya tumor,
perubahan dan komplikasi yang terjadi.8

9
2.2.4 MANIFESTASI KLINIK

Adapun manifestasi kliniknya sebagai berikut:9

1. Perdarahan abnormal: Gangguan perdarahan yang terjadi


umumnya adalah hipermenore, menoragia dan dapat juga terjadi
metroragia. Beberapa faktor yang menjadi penyebab perdarahan ini,
antara lain adalah :
 Pengaruh ovarium sehingga terjadilah hyperplasia
endometrium sampai adeno karsinoma endometrium.
 Permukaan endometrium yang lebih luas daripada biasa.
 Atrofi endometrium di atas mioma submukosum.
 Miometrium tidak dapat berkontraksi optimal karena adanya
sarang mioma diantara serabut miometrium, sehingga tidak
dapat menjepit pembuluh darah yang melaluinya dengan baik.
2. Rasa nyeri: Rasa nyeri bukanlah gejala yang khas tetapi dapat
timbul karena gangguan sirkulasi darah pada sarang mioma, yang
disertai nekrosis setempat dan peradangan. Pada pengeluaran
mioma submukosum yang akan dilahirkan, pula pertumbuhannya
yang menyempitkan kanalis servikalis dapat menyebabkan juga
dismenore.
3. Gejala dan tanda penekanan: Gangguan ini tergantung dari besar
dan tempat mioma uteri. Penekanan pada kandung kemih akan
menyebabkan poliuri, pada uretra dapat menyebabkan retensio
urine, pada ureter dapat menyebabkan hidroureter dan
hidronefrosis, pada rectum dapat menyebabkan obstipasi dan
tenesmia, pada pembuluh darah dan pembuluh limfe dipanggul
dapat menyebabkan edema tungkai dan nyeri panggul.

10
4. Infertilitas dan abortus: Infertilitas dapat terjadi apabila sarang
mioma menutup atau menekan pars intertisialis tuba, sedangkan
mioma submukosum juga memudahkan terjadinya abortus oleh
karena distorsi rongga uterus. Rubin (1958) menyatakan bahwa
apabila penyebab lain infertilitas sudah disingkirkan, dan mioma
merupakan penyebab infertilitas tersebut, maka merupakan suatu
indikasi untuk dilakukan miomektomi.

2.2.5 DIAGNOSIS
1. Anamnesis: Dalam anamnesis dicari keluhan utama serta gejala
klinis mioma lainnya, faktor resiko serta kemungkinan
komplikasi yang terjadi.
2. Pemeriksaan fisik: Pemeriksaan status lokalis dengan palpasi
abdomen. Mioma uteri dapat diduga dengan pemeriksaan luar
sebagai tumor yang keras, bentuk yang tidak teratur, gerakan
bebas, tidak sakit.
3. Pemeriksaan penunjang
a. Pemeriksaan laboratorium: Akibat yang terjadi pada mioma
uteri adalah anemia akibat perdarahan uterus yang berlebihan
dan kekurangan zat besi. Pemeriksaaan laboratorium yang
perlu dilakukan adalah Darah Lengkap (DL) terutama untuk
mencari kadar Hb. Pemeriksaaan lab lain disesuaikan dengan
keluhan pasien.
b. Imaging
 Pemeriksaaan dengan USG akan didapat massa padat dan
homogen pada uterus. Mioma uteri berukuran besar

11
terlihat sebagai massa pada abdomen bawah dan pelvis
dan kadang terlihat tumor dengan kalsifikasi.
 Histerosalfingografi digunakan untuk mendeteksi mioma
uteri yang tumbuh ke arah kavum uteri pada pasien
infertil.
 MRI lebih akurat untuk menentukan lokasi, ukuran,
jumlah mioma uteri, namun biaya pemeriksaan lebih
mahal.

DIAGNOSIS BANDING

1. Tumor solid ovarium

2. Miosarkoma, koriokarsinoma

3. Tumor abdomen

2.2.6 PENATALAKSANAAN
Tidak semua mioma uteri memerlukan pengobatan bedah, 55%
dari semua mioma uteri tidak membutuhkan suatu pengobatan dalam
bentuk apa pun, terutama apabila mioma itu masih kecil dan tidak
menimbulkan gangguan. Walaupun demikian, mioma uteri
memerlukan pengamatan setiap 3-6 bulan.10
Penanganan mioma uteri menurut usia, paritas, lokasi dan
ukuran tumor terbagi kepada:10

12
a. Terapi medisinal (hormonal)
Saat ini pemakaian Gonadotropin-releasing hormone
(GnRH) agonis memberikan hasil yang baik memperbaiki
gejala klinis mioma uteri. Tujuan pemberian GnRH agonis
adalah mengurangi ukuran mioma dengan mengurangi
produksi estrogen dari ovarium. Pemberian GnRH agonis
sebelum dilakukan tindakan pembedahan akan mengurangi
vaskularisasi pada tumor sehingga akan memudahkan tindakan
pembedahan. Terapi hormonal yang lainnya seperti kontrasepsi
oral dan preparat progesteron akan mengurangi gejala
pendarahan tetapi tidak mengurangi ukuran mioma uteri 10
b. Terapi pembedahan
Indikasi terapi bedah untuk mioma uteri menurut
American College of obstetricians and Gyneclogist (ACOG) dan
American Society of Reproductive Medicine (ASRM) adalah
1) Perdarahan uterus yang tidak respon terhadap terapi
konservatif
2) Curiga adanya keganasan
3) Pertumbuhan mioma pada masa menopause
4) Infertilitas karena ganggaun pada cavum uteri maupun
karena oklusi tuba
5) Nyeri dan penekanan yang sangat menganggu
6) Gangguan berkemih maupun obstruksi traktus urinarius
7) Anemia akibat perdarahan
Tindakan pembedahan yang dilakukan adalah
miomektomi atau histerektomi.
1) Miomektomi
Miomektomi adalah pengambilan sarang mioma saja
tanpa pengangkatan uterus. Miomektomi ini dilakukan pada

13
wanita yang ingin mempertahankan fungsi reproduksinya dan
tidak ingin dilakukan histerektomi. Tindakan ini dapat
dikerjakan misalnya pada mioma submukosum dengan cara
ekstirpasi lewat vagina 9
Tindakan miomektomi dapat dilakukan dengan
laparotomi, histeroskopi maupun dengan laparoskopi. Pada
laparotomi, dilakukan insisi pada dinding abdomen untuk
mengangkat mioma dari uterus. Keunggulan melakukan
miomektomi adalah lapangan pandang operasi yang lebih luas
sehingga penanganan terhadap perdarahan yang mungkin
timbul pada pembedahan miomektomi dapat ditangani dengan
segera. Namun pada miomektomi secara laparotomi risiko
terjadi perlengketan lebih besar, sehingga akan mempengaruhi
faktor fertilitas pada pasien, disamping masa penyembuhan
paska operasi lebih lama, sekitar 4-6 minggu.
Pada miomektomi secara histeroskopi dilakukan
terhadap mioma submukosum yang terletak pada kavum
uteri.Keunggulan tehnik ini adalah masa penyembuhan paska
operasi sekitar 2 hari. Komplikasi yang serius jarang terjadi
namun dapat timbul perlukaan pada dinding uterus,
ketidakseimbangan elektrolit dan perdarahan. Miomektomi
juga dapat dilakukan dengan menggunakan laparoskopi.
Mioma yang bertangkai diluar kavum uteri dapat diangkat
dengan mudah secara laparoskopi. Mioma subserosum yang
terletak didaerah permukaan uterus juga dapat diangkat dengan
tehnik ini. Keunggulan laparoskopi adalah masa penyembuhan
paska operasi sekitar 2-7 hari. Resiko yang terjadi pada
pembedahan ini termasuk perlengketan, trauma terhadap organ
sekitar seperti usus, ovarium,rektum serta perdarahan. Sampai

14
saat ini miomektomi dengan laparoskopi merupakan prosedur
standar bagi wanita dengan mioma uteri yang masih ingin
mempertahankan fungsi reproduksinya.10
2) Histerektomi10
Histerektomi adalah pengangkatan uterus, yang
umumnya adalah tindakan terpilih.Tindakan histerektomi pada
mioma uteri sebesar 30% dari seluruh kasus. Histerektomi
dijalankan apabila didapati keluhan menorrhagia, metrorrhagia,
keluhan obstruksi pada traktus urinarius dan ukuran uterus
sebesar usia kehamilan 12-14 minggu.
Tindakan histerektomi dapat dilakukan secara
abdominal (laparotomi), vaginal dan pada beberapa kasus
dilakukan laparoskopi. Histerektomi perabdominal dapat
dilakukan dengan 2 cara yaitu total abdominal hysterectomy
(TAH) dan subtotal abdominal histerectomy (STAH). Masing-
masing prosedur ini memiliki kelebihan dan kekurangan.
STAH dilakukan untuk menghindari resiko operasi yang lebih
besar seperti perdarahan yang banyak, trauma operasi pada
ureter, kandung kemih dan rektum. Namun dengan melakukan
STAH kita meninggalkan serviks, di mana kemungkinan
timbulnya karsinoma serviks dapat terjadi. Pada TAH, jaringan
granulasi yang timbul pada tungkul vagina dapat menjadi
sumber timbulnya sekret vagina dan perdaraahn paska operasi
di mana keadaan ini tidak terjadi pada pasien yang menjalani
STAH.
Histerektomi juga dapat dilakukan pervaginam, dimana
tindakan operasi tidak melalui insisi pada abdomen. Secara
umum histerektomi vaginal hampir seluruhnya merupakan
prosedur operasi ekstraperitoneal, dimana peritoneum yang

15
dibuka sangat minimal sehingga trauma yang mungkin timbul
pada usus dapat diminimalisasi. Maka histerektomi
pervaginam tidak terlihat parut bekas operasi sehingga
memuaskan pasien dari segi kosmetik. Selain itu kemungkinan
terjadinya perlengketan paska operasi lebih minimal dan masa
penyembuhan lebih cepat dibandng histerektomi abdominal.
Histerektomi laparoskopi ada bermacam-macam tehnik.
Tetapi yang dijelaskan hanya 2 iaitu; histerektomi vaginal
dengan bantuan laparoskopi (Laparoscopically assisted
vaginal histerectomy / LAVH) dan classic intrafascial serrated
edged macromorcellated hysterectomy (CISH) tanpa
colpotomy. Pada LAVH dilakukan dengan cara memisahkan
adneksa dari dinding pelvik dengan memotong mesosalfing
kearah ligamentum kardinale dibagian bawah, pemisahan
pembuluh darah uterina dilakukan dari vagina. CISH pula
merupakan modifikasi dari STAH, di mana lapisan dalam dari
serviks dan uterus direseksi menggunakan morselator. Dengan
prosedur ini diharapkan dapat mempertahankan integritas
lantai pelvik dan mempertahankan aliran darah pada pelvik
untuk mencegah terjadinya prolapsus. Keunggulan CISH
adalah mengurangi resiko trauma pada ureter dan kandung
kemih, perdarahan yang lebih minimal,waktu operasi yang
lebih cepat, resiko infeksi yang lebih minimal dan masa
penyembuhan yang cepat. Jadi terapi mioma uteri yang terbaik
adalah melakukan histerektomi. Dari berbagai pendekatan,
prosedur histerektomi laparoskopi memiliki kelebihan karena
masa penyembuhan yang singkat dan angka morbiditas yang
rendah dibanding prosedur histerektomi abdominal.

16
Komplikasi yang terjadi berupa perubahan sekunder
pada mioma uteri yang terjadi sebagian besar bersifat
degenerasi. Hal ini oleh karena berkurangnya pemberian darah
pada sarang mioma. Perubahan sekunder tersebut antara lain :9

 Atrofi : sesudah menopause ataupun sesudah kehamilan


mioma uteri menjadi kecil.
 Degenerasi hialin : perubahan ini sering terjadi pada
penderita berusia lanjut. Tumor kehilangan struktur aslinya
menjadi homogen. Dapat meliputi sebagian besar atau hanya
sebagian kecil dari padanya seolah-olah memisahkan satu
kelompok serabut otot dari kelompok lainnya.
 Degenerasi kistik: dapat meliputi daerah kecil maupun luas,
dimana sebagian dari mioma menjadi cair, sehingga
terbentuk ruangan-ruangan yang tidak teratur berisi agar-
agar, dapat juga terjadi pembengkakan yang luas dan
bendungan limfe sehingga menyerupai limfangioma.
Dengan konsistensi yang lunak ini tumor sukar dibedakan
dari kista ovarium atau suatu kehamilan.
 Degenerasi membatu (calcereus degeneration) : terutama
terjadi pada wanita berusia lanjut oleh karena adanya
gangguan dalam sirkulasi. Dengan adanya pengendapan
garam kapur pada sarang mioma maka mioma menjadi keras
dan memberikan bayangan pada foto rontgen.
 Degenerasi merah (carneus degeneration) : perubahan ini
terjadi pada kehamilan dan nifas. Patogenesis : diperkirakan
karena suatu nekrosis subakut sebagai gangguan
vaskularisasi. Pada pembelahan dapat dilihat sarang mioma

17
seperti daging mentah berwarna merah disebabkan pigmen
hemosiderin dan hemofusin. Degenerasi merah tampak khas
apabila terjadi pada kehamilan muda disertai emesis, haus,
sedikit demam, kesakitan, tumor pada uterus membesar dan
nyeri pada perabaan. Penampilan klinik ini seperti pada
putaran tangkai tumor ovarium atau mioma bertangkai.
 Degenerasi lemak : jarang terjadi, merupakan kelanjutan
degenerasi hialin. Komplikasi yang terjadi pada mioma uteri
:9
 Degenerasi ganas.
Mioma uteri yang menjadi leiomiosarkoma
ditemukan hanya 0,32-0,6% dari seluruh mioma; serta
merupakan 50-75% dari semua sarkoma uterus.
Keganasan umumnya baru ditemukan pada
pemeriksaan histologi uterus yang telah diangkat.
Kecurigaan akan keganasan uterus apabila mioma
uteri cepat membesar dan apabila terjadi pembesaran
sarang mioma dalam menopause.
 Torsi (putaran tangkai).
Sarang mioma yang bertangkai dapat
mengalami torsi, timbul gangguan sirkulasi akut
sehingga mengalami nekrosis. Dengan demikian
terjadilah sindrom abdomen akut. Jika torsi terjadi
perlahan-lahan, gangguan akut tidak terjadi.
 Nekrosis dan infeksi.
Sarang mioma dapat mengalami nekrosis dan
infeksi yang diperkirakan karena gangguan sirkulasi
darah padanya.

18
2.2 Anestesi Regional

2.2.1 Anestesi Spinal

Disebut juga spinal analgesia atau subarachnoid nerve block, terjadi


karena deposit obat anestesi lokal di dalam ruangan subarachnoid. Terjadi
blok saraf yang spinalis yang akan menyebabkan hilangnya aktivitas sensoris,
motoris dan otonom.11

Berbagai fungsi yang dibawa saraf-saraf medula spinalis misalnya


temperatur, sakit,aktivitas otonom, rabaan, tekanan, lokalisasi rabaan, fungsi
motoris dan proprioseptif. Secara umum fungsi-fungsi tersebut dibawa oleh
serabut saraf yang berbeda dalam ketahanannya terhadap obat anestesi lokal.
Oleh sebab itu ada obat anestesi lokal yang lebih mempengaruhi sensoris
daripada motoris. Blokade dari medulla spinalis dimulai kaudal dan kemudian
naik ke arah sephalad.Serabut saraf yang bermielin tebal (fungsi motoris dan
propioseptif) paling resisten dan kembalinya fungsi normal paling cepat,
sehingga diperlukan konsentrasi tinggi obat anestesi lokal untuk memblokade
saraf tersebut.Level blokade otonom 2 atau lebih dermatom ke arah sephalik
daripada level analgesi kulit, sedangkan blokade motoris 2 sampai 3 segmen
ke arah kaudal dari level analgesi.11

2.2.2 Indikasi Spinal Anestesi

19
Beberapa indikasi dari pemberian anestesi spinal.11

1. Operasi ekstrimitas bawah, baik operasi jaringan lunak,


tulang atau pembuluh darah.
2. Operasi di daerah perineal: Anal, rectum bagian bawah,
vaginal, dan urologi.
3. Abdomen bagian bawah: Hernia, usus halus bagian distal,
appendik, rectosigmoid, kandung kencing, ureter distal, dan ginekologis
4. Abdomen bagian atas: Kolesistektomi, gaster, kolostomi
transversum. Tetapi spinal anestesi untuk abdomen bagian atas tidak
dapat dilakukan pada semua pasien sebab dapat menimbulkan perubahan
fisiologis yang hebat.
5. Seksio Sesarea (Caesarean Section).
6. Prosedur diagnostik yang sakit, misalnya anoskopi, dan
sistoskopi.

2.2.3 Kontra Indikasi Absolut

Beberapa kontraindikasi absolut dari pemberian anestesi spinal.11

1. Gangguan pembekuan darah, karena bila ujung jarum spinal menusuk


pembuluh darah, terjadi perdarahan hebat dan darah akan menekan
medulla spinalis.
2. Sepsis, karena bisa terjadi meningitis.
3. Tekanan intrakranial yang meningkat, karena bisa terjadi pergeseran otak
bila terjadi kehilangan cairan serebrospinal.

20
4. Bila pasien menolak.
5. Adanya dermatitis kronis atau infeksi kulit di daerah yang akan ditusuk
jarum spinal.
6. Penyakit sistemis dengan sequele neurologis misalnya anemia pernisiosa,
neurosyphilys, dan porphiria.
7. Hipotensi.

2.2.4 Kontra Indikasi Relatif

Beberapa kontraindikasi relatif dalam pemberian anestesi spinal.11

1. Pasien dengan perdarahan.

2. Problem di tulang belakang.

3. Anak-anak.

4. Pasien tidak kooperatif, psikosis.

2.2.5 Anatomi

Terdapat 33 ruas tulang vertebra, yaitu 7 servikal, 12 torakal, 5 lumbal, 5


sakral dan 4 coccygeal. Medulla spinalis berakhir di vertebra L2, karena

21
ditakutkan menusuk medulla spinalis saat penyuntikan, maka spinal anestesi
umumnya dilakukan setinggi L4-L5, L3-L4, L2-L3. Ruangan epidural berakhir
di vertebra S2.6.

Ligamen-ligamen yang memegang kolumna vertebralis dan melindungi


medulla spinalis, dari luar ke dalam adalah sebagai berikut12:

1. Ligamentum supraspinosum.
2. Ligamentum interspinosum.
3. Ligamentum flavum.
4. Ligamentum longitudinale posterior.
5. Ligamentum longitudinale anterior.

2.2.6 Teknik Spinal Anestesi

Anestesi spinal dan epidural dapat dilakukan jika peralatan monitor yang
sesuai dan pada tempat dimana peralatan untuk manajemen jalan nafas dan
resusitasi telah tersedia. Sebelum memosisikan pasien, seluruh peralatan untuk
blok spinal harus siap untuk digunakan, sebagai contoh, anestesi lokal telah
dicampur dan siap digunakan, jarum dalam keadaan terbuka, cairan preloading
sudah disiapkan. Persiapan alat akan meminimalisir waktu yang dibutuhkan
untuk anestesi blok dan kemudian meningkatkan kenyamanan pasien.12

Adapun teknik dari anestesi spinal adalah sebagai berikut12:

22
1. Inspeksi dan palpasi daerah lumbal yang akan ditusuk (dilakukan ketika kita
visite pre-operatif), sebab bila ada infeksi atau terdapat tanda kemungkinan
adanya kesulitan dalam penusukan, maka pasien tidak perlu dipersiapkan
untuk spinal anestesi.
2. Posisi pasien
a Posisi Lateral

Pada umumnya kepala diberi bantal setebal 7,5-10cm, lutut dan paha
fleksi mendekati perut, kepala ke arah dada.

b Posisi duduk

Dengan posisi ini lebih mudah melihat columna vertebralis, tetapi pada
pasien-pasien yang telah mendapat premedikasi mungkin akan pusing dan
diperlukan seorang asisten untuk memegang pasien supaya tidak jatuh.
Posisi ini digunakan terutama bila diinginkan sadle block.

c Posisi Prone

Jarang dilakukan, hanya digunakan bila dokter bedah menginginkan posisi


Jack Knife atau prone.

3. Kulit dipersiapkan dengan larutan antiseptik seperti betadine, alkohol,


kemudian kulit ditutupi dengan “doek” bolong steril.
4. Cara penusukan.

23
Pakailah jarum yang kecil (no. 25, 27 atau 29). Makin besar nomor
jarum, semakin kecil diameter jarum tersebut, sehingga untuk mengurangi
komplikasi sakit kepala (PSH=post spinal headache), dianjurkan dipakai
jarum kecil. Penarikan stylet dari jarum spinal akan menyebabkan keluarnya
likuor bila ujung jarum ada di ruangan subarachnoid. Bila likuor keruh, likuor
harus diperiksa dan spinal analgesi dibatalkan. Bila keluar darah, tarik jarum
beberapa mili meter sampai yang keluar adalah likuor yang jernih. Bila masih
merah, masukkan lagi stylet-nya, lalu ditunggu 1 menit, bila jernih, masukkan
obat anestesi lokal, tetapi bila masih merah, pindahkan tempat tusukan. Darah
yang mewarnai likuor harus dikeluarkan sebelum menyuntik obat anestesi
lokal karena dapat menimbulkan reaksi benda asing (Meningismus).

2.2.7 Obat-obat yang dipakai

Obat anestesi lokal yang biasa dipakai untuk spinal anestesi adalah
lidokain, bupivakain, levobupivakain, prokain, dan tetrakain. Lidokain adalah
suatu obat anestesi lokal yang poten, yang dapat memblokade otonom,
sensoris dan motoris. Lidokain berupa larutan 5% dalam 7,5% dextrose,
merupakan larutan yang hiperbarik. Mula kerjanya 2 menit dan lama kerjanya
1,5 jam. Dosis rata-rata 40-50mg untuk persalinan, 75- 100mg untuk operasi
ekstrimitas bawah dan abdomen bagian bawah, 100- 150mg untuk spinal
analgesia tinggi. Lama analgesi prokain < 1 jam, lidokain ± 1-1,5 jam,
tetrakain 2 jam lebih.12

2.2.8 Pengaturan Level Analgesia

Level anestesia yang terlihat dengan spinal anestesi adalah sebagai


berikut : level segmental untuk paralisis motoris adalah 2-3 segmen di bawah

24
level analgesia kulit, sedangkan blokade otonom adalah 2-6 segmen sephalik
dari zone sensoris. Untuk keperluan klinik, level anestesi dibagi atas :

1. Sadle block anesthesia : zona sensoris anestesi kulit pada segmen lumbal
bawah dan sakral.

2. Low spinal anesthesia : level anestesi kulit sekitar umbilikus (T10) dan
termasuk segmen torakal bawah, lumbal dan sakral.

3. Mid spinal anesthesia : blok sensoris setinggi T6 dan zona anestesi


termasuk segmen torakal, lumbal, dan sacral.

4. High spinal anesthesia : blok sensoris setinggi T4 dan zona anestesi


termasuk segmen torakal 4-12, lumbal, dan sacral.

Makin tinggi spinal anestesia, semakin tinggi blokade vasomotor,


motoris dan hipotensi, serta respirasi yang tidak adekuat semakin mungkin
terjadi.12

Level anestesi tergantung dari volume obat, konsentrasi obat,


barbotase, kecepatan suntikan, valsava, tempat suntikan, peningkatan
tekanan intra-abdomen, tinggi pasien, dan gravitas larutan. Makin besar
volume obat, akan semakin besar penyebarannya, dan level anestesi juga
akan semakin tinggi. Barbotase adalah pengulangan aspirasi dari suntikan
obat anestesi lokal. Bila kita mengaspirasi 0,1ml likuor sebelum
menyuntikkan obat; dan mengaspirasi 0,1ml setelah semua obat anestesi
lokal disuntikkan, akan menjamin bahwa ujung jarum masih ada di ruangan
subarakhnoid. Penyuntikan yang lambat akan mengurangi penyebaran obat

25
sehingga akan menghasilkan low spinal anesthesia, sedangkan suntikan
yang terlalu cepat akan menyebabkan turbulensi dalam liquor dan
menghasilkan level anestesi yang lebih tinggi. Kecepatan yang dianjurkan
adalah 1ml per 3 detik.12

Berdasarkan berat jenis obat anestesi lokal yang dibandingkan


dengan berat jenis likuor, maka dibedakan 3 jenis obat anestesi lokal, yaitu
hiperbarik, isobarik dan hipobarik. Berat jenis liquor cerebrospinal adalah
1,003-1,006. Larutan hiperbarik : 1,023-1,035, sedangkan hipobarik 1,001-
1,002.3

Perawatan Selama pembedahan4

1. Posisi yang enak untuk pasien.

2. Kalau perlu berikan obat penenang.

3. Operator harus tenang, manipulasi tidak kasar.

4. Ukur tekanan darah, frekuensi nadi dan respirasi.

5. Perhatikan kesulitan penderita dalam pernafasan, adanya mual dan pusing.

6. Berikan oksigen per nasal.

26
Perawatan Pascabedah4

1. Posisi terlentang, jangan bangun / duduk sampai 24 jam pascabedah.

2. Minum banyak, 3 lt/hari.

3. Cegah trauma pada daerah analgesi.

4. Periksa kembalinya aktifitas motorik.

5. Yakinkan bahwa perasaan yang hilang dan kaki yang berat akan pulih.

6. Cegah sakit kepala, mual-muntah.

7.Perhatikan tekanan darah dan frekuensi nadi karena ada kemungkinan


penurunan tekanan darah dan frekuensi nadi.

2.2.9 Komplikasi / Masalah Anestesi Spinal

Beberapa komplikasi terkait pemberian anestesi spinal.3

1. Sistim Kardiovaskuler
a Penurunan resistensi perifer
1) Vasodilatasi arteriol dan arteri terjadi pada daerah yang diblokade
akibat penurunan tonus vasokonstriksi simfatis.

27
2) Venodilatasi akan menyebabkan peningkatan kapasitas vena dan
venous return.
3) Proksimal dari daerah yang diblokade akan terjadi mekanisme
kompensasi, yakni terjadinya vasokonstriksi.
b Penurunan Tekanan Sistolik dan Tekanan Arteri Rerata

Penurunan tekanan darah tergantung dari tingginya blokade simfatis.


Bila tekanan darah turun rendah sekali, terjadi risiko penurunan aliran darah
otak. Bila terjadi iskemia medulla oblongata terlihat adanya gejala mual-
muntah. Tekanan darah jarang turun > 15 mmHg dari tekanan darah asal.
Tekanan darah dapat dipertahankan dengan pemberian cairan dan atau obat
vasokonstriktor. Duapuluh menit sebelum dilakukan spinal anestesi diberikan
cairan RL atau NaCl 10-15 ml/kgBB. Vasokonstriktor yang biasa digunakan
adalah efedrin. Dosis efedrin 25-50 mg i.m. atau 15-20 mg i.v. Mula kerja-nya
2-4 menit pada pemberian intravena, dan 10-20menit pada pemberian
intramuskuler. Lama kerja-nya 1 jam.

c Penurunan denyut jantung.

Bradikardi umumnya terjadi karena penurunan pengisian jantung yang


akan mempengaruhi myocardial chronotropic stretch receptor, blokade
anestesi pada serabut saraf cardiac accelerator simfatis (T1-4). Pemberian
sulfas atropin dapat meningkatkan denyut jantung dan mungkin juga tekanan
darah.

2. Sistim Respirasi

28
Bisa terjadi apnoe yang biasanya disebabkan karena hipotensi yang berat
sehingga terjadi iskemia medula oblongata. Terapinya : berikan ventilasi, cairan
dan vasopressor. Jarang disebabkan karena terjadi blokade motoris yang tinggi
(pada radix n.phrenicus C3-5). Kadang-kadang bisa terjadi batuk-batuk kering,
maupun kesulitan bicara.

3. Sistim Gastrointestinal

Diperlihatkan dengan adanya mual muntah yang disebabkan karena


hipotensi, hipoksia, pasien sangat cemas, pemberian narkotik, over-aktivitas
parasimfatis dan traction reflex (misalnya dokter bedah manipulasi traktus
gastrointestinal).

4. Headache (PSH=Post Spinal Headache)

Sakit kepala pascaspinal anestesi mungkin disebabkan karena adanya


kebocoran likuor serebrospinal. Makin besar jarum spinal yang dipakai, semakin
besar kebocoran yang terjadi, dan semakin tinggi kemungkinan terjadinya sakit
kepala pascaspinal anestesi. Bila duramater terbuka bisa terjadi kebocoran cairan
serebrospinal sampai 1- 2minggu. Kehilangan CSF sebanyak 20ml dapat
menimbulkan terjadinya sakit kepala. Post spinal headache (PSH) ini pada 90%
pasien terlihat dalam 3 hari postspinal, dan pada 80% kasus akan menghilang
dalam 4 hari.

Supaya tidak terjadi postspinal headache dapat dilakukan pencegahan dengan :

1. Memakai jarum spinal sekecil mungkin (misalnya no. 25,27,29).

29
2. Menusukkan jarum paralel pada serabut longitudinal duramater sehingga
jarum tidak merobek dura tetapi menyisihkan duramater.

3. Hidrasi adekuat, dapat diperoleh dengan minum 3lt/hari selama 3 hari, hal
ini akan menambah produksi CSF sebagai pengganti yang hilang.

Bila sudah terjadi sakit kepala dapat diterapi dengan:

1. Memakai abdominal binder.

2. Epidural blood patch : suntikkan 10ml darah pasien itu sendiri di ruang
epidural tempat kebocoran.

3. Berikan hidrasi dengan minum sampai 4lt/hari. Kejadian post spinal


headache 10-20% pada umur 20-40 tahun; > 10% bila dipakai jarum besar
(no. 20 ke bawah); 9% bila dipakai jarum no.22 ke atas. Wanita lebih
banyak yang mengalami sakit kepala daripada laki-laki.

5. Backache

Sakit punggung merupakan masalah setelah suntikan di daerah lumbal


untuk spinal anestesi.

6. Retensio Urinae

Penyebab retensio urine mungkin karena hal-hal-hal sebagai berikut :


operasi di daerah perineum pada struktur genitourinaria, pemberian narkotik di

30
ruang subarachnoid, setelah anestesi fungsi vesica urinaria merupakan yang
terakhir pulih.

7. Komplikasi Neurologis Permanen

Jarang sekali terjadi komplikasi neurolois permanen. Hal-hal yang


menurunkan kejadiannya adalah karena : dilakukan sterilisasi panas pada ampul
gelas, memakai syringedan jarum yang disposible, spinal anestesi dihindari pada
pasien dengan penyakit sistemik, serta penerapan teknik antiseptik.

8. Chronic Adhesive Arachnoiditis

Suatu reaksi proliferasi arachnoid yang akan menyebabkan fibrosis,


distorsi serta obliterasi dari ruangan subarachnoid. Biasanya terjadi bila ada benda
asing yang masuk ke ruang subarachnoid.

31
BAB III

LAPORAN KASUS

A. IDENTITAS

Nama : Ny. Femiarti


Umur : 42 Tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Berat Badan : 47 kg
Tinggi badan : 150 cm
Agama : Islam
Pekerjaan : IRT
Alamat : Desa Koromantu, Morowali
Diagnosa pra-Anastesi : Ca Endometrium
Jenis anastesi : Spinal Anestesi
Tanggal Operasi : 26 Oktober 2021

B. ANAMNESIS

1. Keluhan Utama : Nyeri perut bagian belakang


2. Riwayat penyakit sekarang : Pasien MRS dengan keluhan nyeri perut
bagian bawah (+) sejak 1 tahun yang lalu disertai keluar darah haid yang
menggumpal berwarna kehitaman sejak 5 hari yang lalu Keluhan lain : Pusing

32
(-), mual (-), muntah (-), pusing (-) lemas (-), nyeri uluhati (-) penglihatan
kabur (-) berkurang, tegang pada leher (-), batuk (-) berdahak, demam (-).
BAK lancar, BAB biasa
3. Riwayat penyakit dahulu:
- Riwayat penyakit jantung : (-)
- Riwayat penyakit hipertensi : (-)
- Riwayat penyakit asma : (-)
- Riwayat alergi obat dan makanan : (-)
- Riwayat diabetes mellitus : (-)
- Riwayat trauma atau kecelakaan : (-)
- Riwayat operasi sebelumnya : (-)
- Riwayat konsumsi obat : (-)
- Riwayat operasi : (-)

Riwayat penyakit keluarga :


- Riwayat penyakit darah tinggi : disangkal
- Riwayat penyakit DM : disangkal
- Riwayat penyakit alergi : disangkal

- Riwayat penyakit asma : disangkal

C. PEMERIKSAAN FISIK :
1. B1 (Breath)
- gigi palsu (-), gigi goyang (-) gigi ompong(-) gigi lubang (+).
- Mallampati score: 1. Leher pendek (-).
- Airway paten (tidak ada sumbatan).

33
- Inspeksi Thorax : Pengembangan dada simetris antara dada sisi kiri dan
kanan. RR 20x/menit. 
- Palpasi thorax : jejas (-), benjolan (-), kelainan bentuk (-).
- Auskultasi thorax di dapatkan bunyi pernafasan Vesikuler +/+. Bunyi
nafas tambahan : Rhonkii  -/-, Wheezing -/-, snoring (-), gurgling (-),
stridor(-).

2. B2 (Blood)
- TD : 110/70 mmHg.
- Nadi reguler kuat angkat 98x/mnt
- Konjungtiva anemis (-/-)
- Akral hangat, CRT < 2 detik
-
3. B3 (Brain)
- Kesadaran : Compos mentis. GCS (E4M6V5)
- Mata : Refleks cahaya langsung dan tidak langsung (+/+), sclera ikterik
(-/-)
- Suhu : 36,5 0C
- VAS : 2

4. B4 (Bladder)
- Buang air kecil lancar (Pasien menggunakan kateter)
- Urine berwarna kuning.

5. B5 (Bowel)
- Nyeri perut (+) , mual (-) muntah (-) jejas (-).
- Peristaltik (+) kesan normal, bising usus (-).
- BAB  biasa.

34
6. B6 Back & Bone
- Pergerakan ekstremitas atas kanan (bebas)
- Pergerakan ekstremitas atas kiri` (bebas)
- Pergerakan ekstremitas bawah kanan (bebas)
- Pergerakan ekstremitas bawah kiri (bebas)
- Ekstremitas : Akral hangat, pucat (-), edema (-)
- Fraktur atau dislokasi : (-)

Status Obstetri dan Ginekologi


Pemeriksaan Luar

Lingkar perut 78 cm, teraba massa 2 jari dibawah pusat sebelah kanan

D. Pemeriksaan Penunjang

 Hasil Pemeriksaan Laboratorium


Tabel 1. Hasil Laboratorium Darah Lengkap (25 Oktober 2021)

Hasil Rujukan Satuan

Hemoglobin 10,3 L: 13-17, P: 11-15 g/dl

Leukosit 10,7 4.000-11.000 103/uL

35
Eritrosit 3,71 L: 4.5-6.5 P: 4,1-5.1 Juta/ul

Hematokrit 37,1 L: 40-54 P: 36-47 %

Trombosit 399 150.000-500.000 103/uL

Waktu pembekuan 7” 4-12 m.det

Waktu perdarahan 4” 1-4 m.det

Tabel 2. Hasil Laboratorium Kimia Darah dan Elektrolit (25 Oktober


2021)

Hasil Rujukan Satuan

GDS 119,1 70 – 200 mg/dl

Natrium 142,43 136-146 mmol/l

Kalium 3,18 3,5-5,0 mmol/l

Clorida 106,89 98-106 mmol/l

36
Tabel 3.Laboratorium Seroimmunologi (25 Oktober 2021)

Hasil Rujukan

SARS Cov-2
Negatif Negatif
(COVID-19)

HbsAg Non-reaktif Non-reaktif

Anti HIV Non reaktif Non reaktif

Pemeriksaan foto thorax (22/09/2021)

 Bronkhitis
 Besar cor normal
 Sistema tulang intak

CT-Scan Abdomen + Kontras (12/09/2021)

 Tampak lesi hypoden inhomogen (HU=26,33), tunggal, batas


tegas, membulat diuterus dengan ukuran = 11,4 cm x 10,3 cm x
11,3 cm, yang pada pemberian kontras medium tampak
enchancement
 Tampak multiple nodul di parenchym hepas
 Tampak VF normal, lien normal, pancreas normal, ren dextra et
sinistra normal, VU normal

37
 Tampak gaster, sistema usus halus dan colon dalam batas normal
 Tampak spondylosis lumbalis

Kesan :

 Massa soft tissue yang inhomogen, irregular dari uterus, ukuran =


11,4 cm x 10,3 cm x 11,3 cm, cenderung maligna.
 Multiple nodul di parenchym hepar, mengarah metastase ke hepar
 Spondylosis lumbalis

E. Assesment

- Status fisik ASA I


- Observasi urin dan TTV
- Acc. Anestesi
- Diagnosis pra-bedah : Ca endometrium

F. Plan

Terapi
- IVFD RL 20 tetes/menit
Jenis anestesi : Regional Anastesi
Teknik anestesi : SAB (Subarachnoid Block Anastesi)
Jenis pembedahan : Histerektomi

38
G. Laporan Anestesi

a) Diagnosis pra-bedah : Ca Endometrium


b) Diagnosis post-bedah : Mioma Uteri
c) Jenis pembedahan : Histerektomi
d) Persiapan anestesi : Informed consent
e) Jenis anestesi : Regional Anastesi
f) Teknik anestesi : SAB
g) Premedikasi anestesi : Fentanyl 30 mcg
Ondansentron 4 mg
Midazolam 2 mg
h) Induksi : Bupivacain 0,5% 15 mg
Propofol 50 mg
i) Medikasi tambahan : Ketorolac 30 mg
Asam traneksamat 500 mg
j) Maintenance : O2 2 lpm
Sevoflurance 2 vol% via mask
k) Posisi : Supinasi
l) Respirasi : Spontan
m) Anestesi mulai : 09.30 WITA
n) Operasi mulai : 09.40 WITA
o) Lama operasi : 1 jam 55 menit
p) Lama anestesi : 2 jam 5 menit

H. Persiapan pasien preoperatif :


a. Surat persetujuan operasi dan Surat persetujuan tindakan anestesi.
b. Pasien dipuasakan minimal 6-8 jam pre-operasi

39
c. Pasang infus RL pada saat puasa dengan kecepatan 20 tpm

I. Persiapan di kamar operasi :

Hal-hal yang perlu dipersiapkan di kamar operasi antara lain adalah :


 Meja operasi dengan aksesoris yang diperlukan.
 Mesin anestesi dengan sistem aliran gasnya.
 Alat-alat resusitasi (STATICS)
 Obat-obat anastesia yang diperlukan.
 Obat-obat resusitasi, misalnya ; adrenalin, atropine, aminofilin, natrium
bikarbonat dan lain-lainnya.
 Tiang infus, plaster dan lain-lainnya.

 Alat pantau tekanan darah, suhu tubuh, dan EKG.


 Alat-alat pantau yang lain sesuai dengan indikasi, misalnya; “Pulse
Oxymeter” dan “Capnograf”.
 Kartu catatan medik anesthesia

Persiapan alat (STATICS)

a. Scope : Stetoscope untuk mendengarkan suara paru dan jantung.


LaringoScope: pilih bilah (blade) yang sesuai dengan usia pasien. Lampu
harus cukup terang.
b. Tube : Pipa trakea, pilih sesuai ukuran pasien

40
c. Airway : Pipa mulut-faring (Guedel, orotracheal airway) atau pipa hidung-
faring (nasi-tracheal airway). Pipa ini menahan lidah saat pasien tidak sadar
untuk mengelakkan sumbatan jalan napas
d. Tape : Plaster untuk fiksasi pipa supaya tidak terdorong atau tercabut.
e. Introducer : stilet dari kawat dibungkus plastic (kabel) yang mudah
dibengkokkan untuk pemandu supaya pipa trakea mudah dimasukkan.
f. Connector : Penyambung antara pipa dan peralatan anestesia
g. Suction : Penyedot lendir, ludah dan lain-lainnya.

J. Prosedur Subarachnoid Blok (SAB)

1. Pasien diposisian supinasi, infus terpasang di tangan kanan dengan cairan


ringer laktat. Memasang monitor untuk melihat tekanan darah, heart rate,
saturasi oksigen dan laju respirasi.

2. Diberikan obat premedikasi yaitu ondansetron 4 mg, midazolam 2 mg,


Fentanyl 30 mcg.

3. Spinal anestesi : Posisi RLD


4. Tentukan tempat tusukan misalnya L2-3, L3-4, atau L4-5 pada vertebra.
Perpotongan antara garis yang menghubungkan kedua krista iliaka dengan
vertebra merupakan L4-5.
5. Sterilkan daerah tusukan dengan betadine dan alcohol
6. Cara tusukan dengan median atau paramedian. Tusukkan jarum spinal.
Setelah resistensi menghilang, mandrin jarum spinal dicabut dan keluar LCS,
pasang spuit berisi obat dan masukkan obat (bupivacaine 15 mg) pelan-pelan
(0,5 mL/detik) diselingi sedikit aspirasi, untuk memastikan posisi jarum tetap
baik.

41
7. Pasien di posisikan Kembali dalam posisi supinasi, test otonom, Prick test
sensorik setinggi T6, test motoric. Bromage score : 3, tidak dapat mengangkat
kaki sama sekali.
8. Maintenance : O2 2 L/menit,
9. Operasi selesai pasien di transfer ke recovery room

K. Intra Operatif

Laporan Anestesi Durante Operatif


 Jenis anestesi : Anestesi Regional
 Lama anestesi : 09.30 – 11.35 (2 jam 5 menit)
 Lama operasi : 09.40 – 11.35 (1 jam 55 menit)
 Anestesiologi : dr. Sofyan Bulango, Sp.An
 Ahli Bedah : dr. Herdhana Suwartono, Sp.OG (K) Onk
 Posisi : Supine
 Infus : 1 line di tangan kanan

42
Hasil Monitoring Intraoperatif

Tabel 5. Pemantauan Tanda-Tanda Vital selama Operasi

Pukul Tekanan Darah Nadi Saturasi Terapi


(WITA) (mmHg) (kali/menit) Oksigen
(SpO2)

09.25 120/70 80 99 % Premedikasi :

Fentanyl 30 mcg

Midazolam 3 mg

43
Ondansentron 4 mg

09.30 118/67 83 99 % Anestesi regional SAB


spinal dengan
bupivacaine
Hyperbaric 0,5% 15
mg

09.35 117/66 90 100 % Midazolam 1 mg

09.40 120/59 105 100 % Mulai insisi

09.45 117/61 100 100 %

09.50 107/58 90 100 %

09.55 102/61 100 100 % Midazolam 1 mg

Fentanyl 40 mg

10.00 117/61 100 100 %

10.05 111/69 102 100 %

44
10.10 118/60 109 100 %

10.15 116/61 107 100 % Asam tranexamat 500


mg

10.20 116/63 102 99 %

10.25 121/62 98 99 % Propofol 50 mg

10.30 122/66 88 99 %

10.35 104/53 90 99 %

10.40 115/64 108 99 % Propofol 40 mg

Fentanyl 20 mcg

10.45 106/58 99 99 %

10.50 97/49 92 100 % Propofol 40 mg

10.55 102/54 92 100 %

11.00 103/59 92 100 % Ketorolac 30 mg

11.05 103/60 94 100 %

11.10 102/60 92 100 %

45
11.15 117/69 92 99 %

11.20 110/71 88 99 %

11.25 120/71 90 99 %

11.30 121/71 87 99 %

11.35 120/75 85 99 % Fentanyl 50 mcg/drips


23 tpm 

Terapi Cairan :
Cairan yang Dibutuhkan Aktual
Pre - BB: 47 Kg Input:
Operasi - Maintenance kebutuhan cairan per jam: RL: 600 cc
= 35 cc x 47 kg
= 1.645 ml/ 24 jam Output
= 68 ml/ jam atau 23 tetes/menit Urin :200 cc
 
- Kebutuhan cairan pengganti puasa 8 jam:
= 8 jam x (68,cc/jam)
= 544 cc
= 696 cc-500cc
= 196 cc

Durant Estimate Blood Volume (EBV): Input :


e =65 cc x BB RL : 1125
Operasi = 65 cc x 47 Kg cc

46
= 3.055 cc
Jumlah perdarahan selama operasi ± 300cc Output
Urin : 400cc
% perdarahan :
Total
= Jumlah perdarahan : EBV x 100% Perdarahan:
=300 : 3.055 x 100% ±300 cc
= 9,81 %

MABL :
Hct pasien−Hct standar
ABL=EBV ×
( Hct pasien+ Hct standar ) /2
3055×(37,1−36)
= (37,1+36)/2
3055 x (1,1)
=
36,55
= 91,94 ml
Perdarahan yang terjadi durante operatif 9,81%
karena tidak melebihi 20 % maka tidak perlu
transfuse

MABL :

ABL=20%  x EBV

= 20% x 3055

= 611 ml

Stress operasi:
Operasi berat

47
8 ml x 47 = 376 cc/jam (6.2 cc/ menit)
Operasi berlangsung 115 menit
Stress operasi X lama operasi
6,2 X 115 menit
= 713 cc
Cairan pengganti defisit darah

Defisit darah 300 cc

(Cairan diganti dengan kristaloid,Ringer Laktat


375 cc x 3 = 1125 cc)

Total Cairan Masuk


Preoperatif + Durante Operatif
= 600 cc + 1125 cc
= 1725

Total kebutuhan cairan selama operasi


adalah
= Stress operasi + defisit darah selama operasi
= 713 ml + 300 ml
= 1013 ml

Keseimbangan kebutuhan :
Cairan masuk – (Kebutuhan cairan selamaa
operasi + Output urin)
= (1725)–( 1013 + 600)
= 112 cc

48
L. POST OPERATIF

Pemantauan di Recovery Room :


a. Tensi, nadi, pernapasan, aktivitas motorik
- Tekanan darah : 127/63 mmHg
- Nadi : 75 kali per menit
- Pernafasan : 20 x per menit
- SpO2 : 98%
Skor Pemulihan Pasca Anestesi (Bromage score)
- Bromage score : 2 (Hanya bisa menggerakan kaki)
- Bila Bromage Score ≤ 2 boleh pindah ruangan

49
50
BAB IV

PEMBAHASAN

Pada kasus ini pasien perempuan usia 42 tahun dengan diagnosis Mioma
Uteri. Tindakan yang digunakan pada operasi ini yaitu, anestesi regional
menggunakan teknik Spinal Anastesi. Anestesi spinal adalah pemberian obat
antestetik lokal ke dalam ruang subarakhnoid . Anestesi spinal diindikasikan terutama
untuk bedah ekstremitas inferior, bedah panggul, tindakan sekitar rektum dan
perineum, bedah obstetri dan ginekologi, bedah urologi, bedah abdomen bawah dan
operasi ortopedi ekstremitas inferior.

Evaluasi pra anestesi dilakukan sebelum operasi yang meliputi anamnesis,


pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium, dan yang lainnya, konsultasi dan
koreksi terhadap kelainan fungsi organ vital untuk menentukan status fisik ASA serta
ditentukan rencana jenis anastesi yang dilakukan. American Society of Anestesiology
(ASA) membuat klasifikasi status fisik pra anastesi menjadi 6 kelas yaitu:

51
Klassifikasi Definisi Contoh Contoh Anak, Contoh
ASA Dewasa, Termasuk, tapi Kehamilan,
Termasuk, tidak Terbatas Termasuk,
tapi tidak pada: tapi tidak
Terbatas Terbatas
pada: pada:

ASA I Pasien sehat Sehat, tidak Sehat (tidak ada


yang normal merokok, penyakit akut
tidak/atau atau kronis),
penggunaan BMI normal
alcohol yang persentil untuk
minimal usia

ASA II Pasien Hanya Penyakit Penyakit jantung Kehamilan


dengan ringan tanpa bawaan normal *,
Penyakit batasan asimptomatik, HTN
sistemik substantif disritmia yang kehamilan
yang ringan fungsional. terkontrol yang
perokok, sosial dengan baik, terkontrol,
peminum asma tanpa preeklamsia
alkohol, eksaserbasi, terkontrol
kehamilan, epilepsi yang tanpa
obesitas terkontrol gambaran
(30 <BMI dengan baik, yang parah,
<40), non insulin Diet DM
DM / HTN diabetes Gestasional
terkontrol mellitus, BMI yang

52
dengan baik abnormal terkontrol.
, penyakit paru- persentil untuk
paru yang usia, OSA
ringan ringan / sedang,
status onkologis
dalam remisi,
autisme dengan
keterbatasan
ringan

ASA III Pasien Batasan Kelainan Preeklamsia


dengan fungsional jantung dengan
Penyakit yang kongenital stabil gambaran
sistemik substansial; yang tidak berat, DM
yang berat Satu atau lebih terkoreksi, asma gestasional
penyakit dengan dengan
sedang hingga eksaserbasi, komplikasi
berat. DM atau epilepsi yang atau
HTN yang tidak terkontrol, kebutuhan
tidak diabetes mellitus insulin yang
terkontrol, yang tergantung tinggi,
COPD, insulin, obesitas penyakit
obesitas morbid, trombofilik
morbiditas malnutrisi, OSA yang
(BMI ≥40), berat, status membutuhkan
hepatitis aktif, onkologis, gagal antikoagulasi.
ketergantungan ginjal, distrofi
atau otot, fibrosis
penyalahgunaa kistik, riwayat

53
n alkohol, alat transplantasi
pacu jantung organ,
implan, malformasi otak
pengurangan / sumsum tulang
fraksi ejeksi belakang,
sedang, ESRD hidrosefalus
yang menjalani simptomatik,
dialisis PCA bayi
terjadwal prematur <60
secara teratur, minggu, autisme
riwayat IM, dengan
CVA (> 3 keterbatasan
bulan), TIA, berat, penyakit
atau CAD / metabolik,
stent. kesulitan jalan
napas,
penggunaan
nutrisi
parenteral
jangka panjang.
Bayi cukup
bulan usia <6
minggu.

ASA IV Seorang MI, CVA, TIA Kelainan Preeklamsia

54
pasien atau CAD / jantung dengan
dengan stent terkini kongenital yang gambaran
penyakit (<3 bulan), bergejala, gagal yang berat
sistemik iskemia jantung dipersulit oleh
berat yang jantung yang kongestif, gejala penyakit
merupakan sedang sisa prematuritas HELLP atau
ancaman berlangsung aktif,ensefalopat efek samping
seumur atau disfungsi i hipoksia- lainnya,
hidup katup yang iskemik akut, kardiomiopati
parah, syok, sepsis, peripartum
pengurangan koagulasi dengan EF
fraksi ejeksi intravaskular <40, penyakit
yang berat, diseminata, jantung tidak
syok, sepsis, defibrilator terkoreksi /
DIC, ISPA atau kardioverter dekompensasi
ESRD yang implan otomatis, , didapat atau
tidak menjalani ketergantungan bawaan.
dialisis ventilator,
terjadwal endokrinopati,
secara teratur trauma berat,
gangguan
pernapasan
berat, keadaan
onkologis lanjut.

ASA V Seorang Aneurisma Trauma masif, Ruptur uteri


pasien yang abdomen / perdarahan
sekarat atau toraks yang intrakranial
keadaan pecah, trauma dengan efek

55
berat dan masif, massa, pasien
diperkirakan perdarahan yang
tidak akan intrakranial membutuhkan
selamat dengan efek ECMO, gagal
tanpa massa, iskemik atau henti
operasi usus saat pernapasan,
menghadapi hipertensi
kelainan maligna, gagal
jantung yang jantung
signifikan atau kongestif
disfungsi multi /dekompensasi,
organ / sistem ensefalopati
hepatik, iskemik
usus atau
disfungsi multi
organ / sistem.

ASA VI Seorang
pasien yang
terkonfirma
si
mengalami
kematian
batang otak
yang
organnya
akan
diambil
untuk tujuan

56
donor

Berdasarkan hasil pra operatif tersebut, maka dapat di simpulkan status pasien pra
anestesi American Society of Anestesiology (ASA) pada pasien dikategorikan sebagai
pasien ASA I Sehat (tidak ada penyakit akut atau kronis).
Pada persiapan periopeatif, dilakukan juga puasa sebelum operasi. Puasa
preoperatif pada pasien pembedahan elektif bertujuan untuk mengurangi volume
lambung tanpa menyebabkan rasa haus apalagi dehidrasi. Puasa preoperatif yang
disarankan menurut ASA adalah 6 jam untuk makanan ringan, 8 jam untuk makanan
berat dan 2 jam untuk air putih. Puasa preoperatif yang lebih lama akan berdampak
pada kondisi pasien preoperatif serta pascaoperatif. Pada pasien ini diminta untuk
berpuasa selama 8 jam sebelum operasi. Hal ini sudah sesuai teori dimana anjuran
puasa perioperative adalah selama 8 jam sebelum operasi.

Preoperasi menjelaskan kepada pasien anastesi yang akan di lakukan dan


menjelaskan kepada keluarga resiko resiko dari teknik anastesi, meminta pasien untuk
puasa selama +8 jam sebelum dimulai operasi, meminta pasien untuk tidak memakai
gigi palsu dan memasang kateter, dan memasang cairan infus RL.
Pada pasien ini dilakukan anastesi regional yaitu Spinal anastesi sesuia
dengan salah satu indikasi dilakannya Tindakan anastesi spinal yaitu bedah Abdomen
Inferior. Keuntungan anestesi regional adalah penderita tetap sadar, sehingga refleks
jalan napas tetap terpelihara. Muntah dan aspirasi bukan kondisi membahayakan pada
anestesi regional. Waktu prosedur analgesia spinal lebih singkat, relatif mudah, efek
analgesia lebih nyata (kualitas blok motorik dan sensorik yang baik), mulai kerja dan
masa pulih yang cepat.
Ada dua golongan besar obat anesthesi regional berdasarkan ikatan kimia,
yaitu golongan ester dan golongan amide. Keduanya hampir memiliki cara kerja yang

57
sama namun hanya berbeda pada struktur ikatan kimianya. Mekanisme kerja anestesi
lokal ini adalah menghambat pembentukan atau penghantaran impuls saraf. Tempat
utama kerja obat anestesi lokal adalah di membran sel. Anestesi lokal yang sering
dipakai adalah bupivakain. Lidokain5% sudah ditinggalkan karena mempunyai efek
neurotoksisitas, sehingga bupivakain menjadi pilihan utama untuk anestesi spinal saat
ini. Bupivakain dikenal dengan markain. Potensi 3-4 kali dari lidokain dan lama
kerjanya 2-5 kali lidokain. Dosis maksimal 2 mg/kg BB. Pada pasien digunakan obat
anestesi golongan amide yaitu Bupivakain 0,5% dengan dosis 10 mg. Pada pasien ini
dikombinasikan bupivacaine dengan fentanyl 0,25 mcg yang digunakan untuk
mengurangi jumlah bupivacaine atau obat anastesi yang digunakan, Dosis 1-2
mcg/kgBB IV, fentanyl juga menimbulkan analgesia anastesia yang lebih kuat
dengan depresi nafas lebih ringan walaupun dosisnya besar, kesadaran tidak
sepenuhnya hilang, stabilitas tekanan darah dan depresi napas lebih singkat.

Pada pasien ini, untuk obat anestesinya sendiri diberikan obat


Bupivacaine 15 mg.

Bupivakain merupakan obat anestesi lokal dengan rumus bangun sebagai


berikut : 1-butyl-N-(2,6-dimethylphenyl)-piperidecarboxamide hydrochloride.
Bupivakain adalah derivat butil dari mepivakain yang kurang lebih tiga kali lebih
kuat daripada asalnya. Obat ini bersifat long acting dan disintesa oleh BO af
Ekenstem dan dipakai pertama kali pada tahun 1963 15. Secara komersial bupivakain
tersedia dalam 5 mg/ml solutions. Dengan kecenderungan yang lebih menghambat
sensoris daripada motoris menyebabkan obat ini sering digunakan untuk analgesia
selama persalinan dan pasca bedah.

Lama Kerja Bupivakain 0,5% Hiperbarik dan Isobarik. Mengenai lama kerja
anestetik ditentukan oleh kecepatan absorbsi sistemiknya, jenis anestesi lokal,

58
besarnya dosis, vasokonstriktor dan penyebaran anestesi lokal. Semakin tinggi daya
ikat protein terhadap reseptor semakin panjang lama kerjanya. Dikatakan bahwa lama
kerja blokade sensorik dan motorik bupivakain hiperbarik lebih panjang
dibandingkan dengan bupivakain isobarik. Sedangkan penelitian menemukan fakta
yang berlainan yaitu pada 20 sampel yang mendapatkan anestesi spinal dengan
bupivakain 0,5% 10 mg hiperbarik mempunyai lama kerja blokade sensorik dan
motorik 2 kali lebih cepat ( rata-rata 92 menit) dibandingkan isobarik (rata-rata 177
menit).13

Pada spinal anestesi dengan bupivakain 0,5% isobarik mempunyai lama kerja
blokade sensorik dan motorik 2 kali lebih panjang dibandingkan bupivakain 0,5%
hiperbarik. Pemberian bupivakain 0,5% isobarik 15 mg telah dilaporkan dapat
menghasilkan efek spinal blok anestesi yang lebih cepat jika dibandingkan dengan
pemberian bupivakain 0,5% 15 mg hiperbarik. Banyak faktor yang dapat
mempengaruhi hasil ini antara lain: umur, tinggi badan, anatomi batang spinal, tehnik
injeksi, volume Cerebro Spinal Fluid (CSF), density CSF dan baricity obat anesthesi,
posisi pasien, dosis serta volume obat anestesi. Bupivakain 0,5% isobarik diberikan
secara injeksi akan bercampur dengan CSF (paling sedikit 1:1), ada beberapa faktor
yang mempengaruhi tingkat blockade neural meliputi tingkat injeksi, tinggi badan
dan anatomi kolumna vertebralis, Sedangkan bupivakain 0,5% hiperbarik dapat
diberikan tergantung dari area spinal (secara normal T4-T8 dalam posisi telentang).13
Pada tehnik diatas bupivacaine dikombinasikan dengan fenthanyl,
sebagai obat analgesic.

Fentanyl termasuk obat golongan analgesik narkotika. Analgesik narkotika


digunakan sebagai penghilang nyeri. Dalam bentuk sediaan injeksi IM
(intramuskular) Fentanyl digunakan untuk menghilangkan sakit yang disebabkan
kanker. Menghilangkan periode sakit pada kanker adalah dengan menghilangkan rasa

59
sakit secara menyeluruh dengan obat untuk mengontrol rasa sakit yang
persisten/menetap. Obat Fentanyl digunakan hanya untuk pasien yang siap
menggunakan analgesik narkotika13.

Aksi sinergis dari fentanyl dan anestesi lokal di blok neuraxial pusat (CNB)
meningkatkan kualitas analgesia intraoperatif dan juga memperpanjang analgesia
pascaoperasi. Durasi biasa pada efek analgesik adalah 30 sampai 60 menit setelah
dosis tunggal intravena sampai 100 mcg (0,1 mg). Dosis injeksi Fentanyl 12,5 µg
menghasilkan efek puncak, dengan dosis yang lebih rendah tidak memiliki efek
apapun dan dosis tinggi meningkatkan kejadian efek samping13.

Ondancentron injeksi 4 mg (IV). Konsentrasi 4 mg/2ml dalam 1 Ampul 2 ml,


dosis 0,05-01 mg/kgBB Ondansentron, sebagai anti emetik, suatu antagonis selektif
5-HT3, menghambat serotonin dan bekerja berdasarkan mekanisme sentral dan
perifer. Mekanisme sentral dengan mempertinggi ambang rangsang muntah di
chemoreceptor trigger zone. Mekanisme perifer dengan menurunkan kepekaan saraf
vagus terminalis di visceral yang menghantar impuls eferen dari saluran cerna ke
pusat muntah.Onset 30 menit, dengan durasi 3 jam.Pada pasien ini diberikan
ondancentron 4 mg (IV) untuk mendapatkan efek emetik sehingga pasien tidak
merasakan mual ataupun muntah saat dilakukan induksi operatif ataupun pasca
operatif., (Brunton LL.2008).
Pasein juga diberikan 3 mg midazolam sebagai obat premedikasi . Pemberian
premedikasi berupa midazolam bertujuan untuk menurunkan serta menghilangkan
kecemasan pada pasien karena sekitar 70% pasien diperkirakan mengalami stres dan
juga kecemasan prabedah.
Setelah diberikan obat-obatan premedikasi, selanjutnya masuk ke tahapan
induksi yaitu dimasukkannya zat anestesi sampai tercapainya stadium pembedahan
yang selanjutnya diteruskan dengan tahap pemeliharaan atau maintenance anestesi

60
untuk mempertahankan atau memperdalam stadium anestesi setelah induksi, dan pada
pasien ini obat induksi yang diberikan yaitu propofol, karena memiliki efek induksi
yang cepat, dengan distribusi dan eliminasi yang cepat. Selain itu juga propofol dapat
menghambat transmisi neuron yang hancur oleh GABA dengan dosis induksi ialah
1-2,5mg/kgBB.17 pada pasien ini induksi propofol diberikan sebanyak 40 mg IV.14
Pada pasien ini berikan cairan infus RL sebagai cairan fisiologis untuk
mengganti cairan dan elektrolit yang hilang. Obat Ketorolac 30 mg secara intravena
diberikan sesaat sebelum operasi selesai. Ketorolac adalah golongan NSAID (Non
steroidal anti-inflammatory drug) yang bekerja menghambat sintesis prostaglandin.
Ketorolac diberikan untuk mengatasi nyeri akut jangka pendek post operasi, dengan
durasi kerja 8 jam.
Penambahan obat medikasi tambahan berupa pemberian analgetik digunakan
Ketorolac (berisi 30 mg/ml ketorolac tromethamine) sebanyak 30 mg (0,5-0,75
mg/kgBB) disuntikan iv. Ketorolac merupakan nonsteroid anti inflamasi (AINS) yang
bekerja menghambat sintesis prostaglandin sehingga dapat menghilangkan rasa
nyeri/analgetik efek. Ketorolac sering diberikan selama dan setelah operasi sebagai
bagian dari rejimen analgesik multimodal untuk meningkatkan manajemen nyeri
setelah prosedur bedah mayor dan minor. Efek hemat opioid dari ketorolac dapat
memfasilitasi proses pemulihan dengan meningkatkan manajemen nyeri dan
mengurangi efek samping terkait opioid (misalnya, mual, muntah, konstipasi, retensi
urin, depresi kardiorespirasi, pruritus, dan gangguan tidur). ketorolac (30 mg IV
setiap 6 jam) mengurangi nyeri pasca operasi dan kebutuhan analgesik opioid
sebanding dengan anestesi lokal.15

Tanda vital yang terdapat pada monitor setiap 5 menit dicatat dalam kertas
lembaran anastesi agar kondisi pasien terpantau. Operasi berlangsung selama 1 jam 5
menit. Pasien kemudian dipindahkan ke ruang pemulihan (Recovery Room) dilakukan

61
pemantauan di ruang recovery room dan di dapatkan tekanan darah 119/82, nadi 85
kali permenit, pernafasan 20x permenit, Bromage Score 2 pasien di pindahkan ke
ruangan

62
BAB V

KESIMPULAN
1. Pada kasus ini pasien perempuan usia 42 tahun dengan diagnosis Mioma Uteri
dilakukan operasi Histerektomi. Setelah dilakukan anamnesis, pemeriksaan
fisik, dan pemeriksaan penunjang, maka ditentukan status fisik PS. ASA I
pasien tidak memiliki penyakit sistemik seperti DM, hipertensi,dan penyakit
sistemik lainnya.

2. Pada pasien ini dilakukan jenis anestesi dengan regional anastesi dengan
Teknik Spinal dimana sesuai dengan salah satu indikasi dilakannya tindakan
anastesi spinal yaitu tindakan bedah pada extremitas inferior. Keuntungan
anestesi regional adalah penderita tetap sadar, sehingga refleks jalan napas
tetap terpelihara. Muntah dan aspirasi bukan kondisi membahayakan pada
anestesi regional. Waktu prosedur analgesia spinal lebih singkat, relatif
mudah, efek analgesia lebih nyata (kualitas blok motorik dan sensorik yang
baik), mulai kerja dan masa pulih yang cepat.

3. Setelah operasi selesai pasien di pindahkan ke Recovery room dan dilakukan


monitoring sampai keadaan pasien stabil dan dilakukan penilaian , Bromage
Score dengan hasil 2 sehingga pasien dapat di pindahkan ke ruangan.

63
DAFTAS PUSTAKA

1. Lubis, Pika Novriani. "Diagnosis dan Tatalaksana Mioma Uteri." Cermin


Dunia Kedokteran 47.3 (2020): 196-200.
2. Mangku Gde & Senephati, Tjokorda GA. 2014. Buku Ajar Ilmu Anestesia
Reanimasi. Jakarta: indeks
3. Latief, A. Said dkk. 2016.Petunjuk Praktis Anestesiologi. Bagian
Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
4. Sari NK. Perbedaan tekanan darah pasca anestesi spinal dengan pemberian
preload dan tanpa pemberian preload 20cc/kgbb ringer laktat [Karya tulis
ilmiah]. Semarang:. Fakultas Kedokteran UNDIP; 2016.
5. Prawiroharjo, Sarwono, 2010. Ilmu Kandungan ; Myoma uteri. Jakarta :
Yayasan Bina Pustaka. Hal : 338-45
6. Karim A, IMS Murah Manoe, SpOG, Mioma Uteri, dalam : Pedoman
Diagnosis dan Terapi Obstetri dan Ginekologi,Ujung Pandang, Bagian/SMF
OBstetri dan Ginekologi FK Unhas RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo, 1999.
7. Cunningham FG, Hauth JC, Gant NF, Leveno KJ, Gilstrap LC, Wenstrom KD.
Obstetri Williams. 24th ed. 2014. p. 26
8. Hakim L. Mioma Geburt A case Report. [online]. Available from
http://narcissus02.multiply.com/journal/item/6. Diaksestanggal 15 Agustus
2016
9. Callahan MD MPP, Tamara L, Benign Disorders of the Upper Genital Tract
in Blueprints Obstetrics & Gynecology, Boston, Blackwell Publishing, 2005.
10. Crum MD, Christopher P & Kenneth R. Lee MD, Tumors of the Myometrium
in Diagnostic Gynecologic and Obstetric Pathology, Boston, Elsevier
Saunders, 2003.

64
11. Haryono, R., & Utami, M.P.S. 2020. Keperawatan Medikal Bedah 2.
Jogjakarta:Pustaka Baru Press
12. David c. Sabiston, Jr., M. 2012. Buku Ajar Bedah. Jakarta: EGC.
13. Butterworth JF, Mackey DC, Wasnick JD. Morgan & Mikhail’s Clinical
Anesthesiology. 5 th Ed. New York: McGraw Hill; 2013.
14. Morgan Ge Et Al. Clinical Anesthesiology. 6th Edition. New York: Lange.
15. Rajagopal, S. buku ajar ilmu bedah. Edisi 3. Tangerang Selatan : karisma
publishing group. 2014.

65

Anda mungkin juga menyukai