“Mioma Uteri”
Disusun Oleh :
Pembimbing :
dr. Asmin Lubis, DAF, Sp.An, KAP, KMN.
Dengan mengucap puji dan syukur kepada Allah SWT, atas rahmat yang
dilimpahkannya sehingga penulis dapat menyelesaikan paper dan laporan kasus ini
dengan judul “MIOMA UTERI. Penyusunan tugas ini di maksudkan untuk
mengembangkan wawasan serta melengkapi tugas yang di berikan pembimbing.
Penulis menyampaikan ucapan terimakasih kepada dr. Asmin Lubis, DAF,
Sp.An, KPI, KMN selaku pembimbing dalam kepaniteraan klinik senior smf ilmu
anestesi serta dalam penyelesaian makalah ini. Dalam penulisan makalah ini, penulis
menyadari bahwa masih banyak kekurangan dan kelemahan, baik dari segi
penulisan maupun materi. Untuk itu penulis mengharapkan kritik dan saran dari
pembaca yang sifatnya membangun guna penyempurnaan di masa yang akan
datang.
Penulis
ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.................................................................................................ii
DAFTAR ISI..............................................................................................................iii
2.8 Komplikasi..............................................................................................15
2.9 Penatalaksanaan.......................................................................................16
2.10 Pencegahan..............................................................................................20
2.11 Anestesi Spinal.........................................................................................21
3.1 PRE-OPERATIF……………………………………………………………39
iii
BAB IV KESIMPULAN..........................................................................................49
DAFTAR PUSTAKA................................................................................................50
LAMPIRAN..............................................................................................................51
iv
BAB I
PENDAHULUAN
1
BAB II
TINJAUAN TEORI
pir, yang sedikit gepeng kearah muka belakang, terletak di dalam pelvis
sebesar telur ayam dan mempunyai rongga. Dindingnya terdiri atas otot
polos. Ukuran panjang uterus adalah 7-7,5 cm lebar di atas 5,25 cm, tebal
1,25 cm. Berat uterus normal lebih kurang 57 gram. Pada masa kehamilan
2
uterus wanita nullipara maupun multipara, mengalami atrofi dan kembali ke
di atas vagina.
pada janin.
3
2) Miometrium (lapisan otot polos) di sebelah dalam berbentuk
Mioma Uteri adalah neoplasma yang berasal dari otot uterus dan jaringan
Mioma uteri adalah neoplasma jinak yang berasal dari otot uterus dan jaringan
5
Myoma uteri adalah tumor jinak yang berasal dari otot rahim (miometrium)
atau jaringan ikat yang tumbuh pada dinding atau di dalam rahim. (Lina
Mardiana, 2007)
2.3 Klasifikasi
Bila tumor ini tumbuh dan bertangkai, maka tumor dapat keluar dan
6
2) Mioma intramural
rasa tidak enak karena adanya massa tumor di daerah perut sebelah
bawah.
3) Mioma subserosum
2.4 Etiologi
namun dari hasil penelitian Miller dan Lipschlutz dikatakan bahwa mioma
uteri terjadi terjadi tergantung pada sel-sel imatur yang terdapat pada “cell
pendukung terjadinya mioma adalah wanita usia 35-45 tahun, hamil pada
Teori Mayer dan Snoo, rangsangan “sell nest” oleh estrogen, faktor:
yang berpendapat :
1. Teori stimulasi
8
1) Mioma uteri sering kali tumbuh lebih cepat pada masa hamil
uteri.
neoplasma soliter (satu sel ganas) yang berada diantara otot polos
pada cell nest yang selanjutnya dapat dirangsang terus menerus oleh
1. Umur :
Mioma uteri jarang terjadi pada usia kurang dari 20 tahun, ditemukan
sekitar 10% pada wanita berusia lebih dari 40 tahun. Tumor ini paling
2. Paritas :
Lebih sering terjadi pada nullipara atau pada wanirta yang relatif
mempengaruhi.
kejadian mioma uteri tinggi. Terlepas dari faktor ras, kejadian tumor ini
tinggi pada wanita dengan riwayat keluarga ada yang menderita mioma.
10
Merupakan gejala yang paling umum dijumpai. Gangguan
menstruasi
d. Perdarahan berkepanjangan
terjadi infeksi.
11
Gangguan ini tergantung dari besar dan tempat mioma uteri.
mempengaruhi:
b. Persalinan prematurus
perdarahan
2.6 Patofisiologi
berasal dari sel imatur. Mioma uteri terdiri dari otot polos dan jaringan yang
12
sekunder pada mioma uteri sebagian besar bersifat degeneratif karena
(corporeal) tapi dapat juga terjadi pada servik. Tumot subcutan dapat tumbuh
melalui vagina atau cervik yang dapat menyebabkan terjadi infeksi atau
ulserasi. Tumor fibroid sangat jarang bersifat ganas, infertile mungkin terjadi
uterus atau tuba falofii. Myoma pada badan uterus dapat menyebabkan
aborsi secara spontan, dan hal ini menyebabkan kecilnya pembukaan cervik
13
3. Vaginal Toucher : didapatkan perdarahan pervaginam, teraba massa,
tersebut.
7. Ultrasonografi
bermanfaat pada uterus yng kecil. Uterus atau massa yang paling besar
hipoekoik.
8. Histeroskopi
diangkat.
14
MRI sangat akurat dalam menggambarkan jumlah,ukuran dan lokasi
massa gelap terbatas tegas dan dapat dibedakan dari miometrium yang
2.8 Komplikasi
1. Perdarahan sampai terjadi anemia
gangguan akut tidak terjadi. Hal ini hendaknya dibedakan dengan suatu
3. Nekrosis dan infeksi, setelah torsi dapat terjadi nekrosis dan infeksi
15
1) Pengaruh mioma terhadap kehamilan
2) Infeksi
3) Abortus
5) Infeksia uteria
7) Retensi plasenta
2.9 Penatalaksaaan
Penatalaksanaan yang dapat dilakukan ada dua macam yaitu :
3-6 bulan
16
darah selama pembedahan, dan dapat mengurangi kebutuhan
waktu tersebut.
3. Radioterapi.
risk patient).
menyebabkan menopause.
4. Operasi
a. Miomektomi
17
sering di lakukan pada penderita mioma uteri secara umum.
KERUGIAN:
b) Menyebabkan perlekatan.
c) Residif.
2001).
waktu tertentu.
ooforektomi
berikut:
2.10 Pencegahan
1. Pencegahan Primordial
atau sebelum terdapat resiko mioma uteri. Upaya yang dapat dilakukan yaitu
dengan mengkonsumsi makanan yang tinggi serat seperti sayuran dan buah.
2. Pencegahan Primer
yang beresiko yaitu wanita pada masa reproduktif. Selain itu tindakan
3. Pencegahan Sekunder
4. Pencegahan Tertier
20
Pencegahan tersier adalah upaya yang dilakukan setelah penderita
komplikasi. Pada dasarnya hingga saat ini belum diketahui penyebab tunggal
operasi harus mendapat asupan gizi yang cukup dalam masa pemulihannya.
21
Tekanan intrakranial meningkat : dengan memasukkan obat kedalam
rongga subaraknoid, maka bisa makin menambah tinggi tekanan
intracranial, dan bisa menimbulkan komplikasi neurologis.
Fasilitas resusitasi dan obat-obatan yang minim : pada anestesi spinal
bisa terjadi komplikasi seperti blok total, reaksi alergi dan lain-lain,
maka harus dipersiapkan fasilitas dan obat emergensi lainnya.
Kurang pengalaman tanpa didampingi konsulen anestesi : hal ini
dapat menyebabkan kesalahan seperti misalnya cedera pada medulla
spinalis, keterampilan dokter anestesi sangat penting.
Pasien menolak.
Kontra indikasi relatif :
Infeksi sistemik : jika terjadi infeksi sistemik, perlu diperhatikan
apakah diperlukan pemberian antibiotic. Perlu dipikirkan
kemungkinan penyebaran infeksi.
Infeksi sekitar tempat suntikan : bila ada infeksi di sekitar tempat
suntikan bisa dipilih lokasi yang lebih kranial atau lebih kaudal.
Kelainan neurologis : perlu dinilai kelainan neurologis sebelumnya
agar tidak membingungkan antara efek anestesi dan defisit neurologis
yang sudah ada pada pasien sebelumnya.
Kelainan psikis.
Bedah lama : Masa kerja obat anestesi lokal adalah kurang lebih 90-
120 menit, bisa ditambah dengan memberi adjuvant dan durasi bisa
bertahan hingga 150 menit.
Penyakit jantung : perlu dipertimbangkan jika terjadi komplikasi ke
arah jantung akibat efek obat anestesi lokal.
Hipovolemia ringan : sesuai prinsip obat anestesi, memantau
terjadinya hipovolemia bisa diatasi dengan pemberian obat-obatan
atau cairan nyeri punggung kronik : kemungkinan pasien akan sulit
saat diposisikan. Hal ini berakibat sulitnya proses penusukan dan
apabila dilakukan berulang-ulang, dapat membuat pasien tidak
nyaman.
22
2.2.4 Penilaian dan Persiapan Pra Anestesi
Pasien yang akan menjalani anestesi dan pembedahan
(elektif/darurat) harus dipersiapkan dengan baik. Kunjungan pra
anestesi pada bedah elektif dilakukan 1-2 hari sebelumnya, dan pada
bedah darurat sesingkat mungkin. Kunjungan pra anestesi pada pasien
yang akan menjalani operasi dan pembedahan baik elektif dan darurat
mutlak harus dilakukan untuk keberhasilan tindakan tersebut. Adapun
tujuan kunjungan pra anestesi adalah:
1. Mempersiapkan mental dan fisik secara optimal.
2. Merencanakan dan memilih teknik serta obat-obat anestesi yang
sesuai dengan fisik dan kehendak pasien.
3. Menentukan status fisik dengan klasifikasi ASA (American
Society Anesthesiology):
ASA I : Pasien normal sehat, kelainan bedah terlokalisir,
tanpa kelainan faal, biokimiawi, dan psikiatris.
Angka mortalitas 2%.
ASA II : Pasien dengan gangguan sistemik ringan sampai
dengan sedang sebagai akibat kelainan bedah atau
proses patofisiologis. Angka mortalitas 16%.
ASA III : Pasien dengan gangguan sistemik berat sehingga
aktivitas harian terbatas. Angka mortalitas 38%.
ASA IV : Pasien dengan gangguan sistemik berat yang
mengancam jiwa, tidak selalu sembuh dengan
operasi. Misal : insufisiensi fungsi organ, angina
menetap. Angka mortalitas 68%.
ASA V : Pasien dengan kemungkinan hidup kecil. Tindakan
operasi hampir tak ada harapan. Tidak diharapkan
hidup dalam 24 jam tanpa operasi / dengan
operasi. Angka mortalitas 98%.
ASA VI : Pasien mati otak yang organ tubuhnya akan diambil
(didonorkan).
23
Untuk operasi cito, ASA ditambah huruf E (Emergency)
terdiri dari kegawatan otak, jantung, paru, ibu dan anak.
Adapun penilaian yang dilakukan sebelum operasi
diantaranya adalah sebagai berikut :
1. Anamnesis
a. Identifikasi pasien yang terdiri dari nama, umur, alamat, dll.
b. Keluhan saat ini dan tindakan operasi yang akan dihadapi.
c. Riwayat penyakit yang sedang/pernah diderita yang dapat
menjadi penyulit anestesi seperti alergi, diabetes melitus,
penyakit paru kronis (asma bronkhial, pneumonia, bronkhitis),
penyakit jantung, hipertensi, dan penyakit ginjal.
d. Riwayat obat-obatan yang meliputi alergi obat, intoleransi
obat, dan obat yang sedang digunakan dan dapat menimbulkan
interaksi dengan obat anestetik seperti kortikosteroid, obat
antihipertensi, antidiabetik, antibiotik, golongan aminoglikosid,
dan lain lain.
e. Riwayat anestesi dan operasi sebelumnya yang terdiri dari
tanggal, jenis pembedahan dan anestesi, komplikasi dan
perawatan intensif pasca bedah.
f. Riwayat kebiasaan sehari-hari yang dapat mempengaruhi
tindakan anestesi seperti merokok, minum alkohol, obat
penenang, narkotik.
g. Riwayat keluarga yang menderita kelainan seperti
hipertensi maligna.
h. Riwayat berdasarkan sistem organ yang meliputi keadaan
umum, pernafasan, kardiovaskular, ginjal, gastrointestinal,
hematologi, neurologi, endokrin, psikiatrik, ortopedi dan
dermatologi.
2. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik dilakukan meliputi daerah kulit tempat
penyuntikan untuk menyingkirkan adanya kontraindikasi seperti
24
infeksi. Perhatikan juga adanya gangguan anatomis seperti
scoliosis atau kifosis, atau pasien terlalu gemuk sehingga tonjolan
processus spinosus tidak teraba.
3. Pemeriksaan laboratorium dan penunjang lain
a. Lab rutin :
1) Pemeriksaan lab. Darah
2) Urine : protein, sedimen, reduksi
3) Foto rongten ( thoraks )
4) EKG
b. Pemeriksaan khusus, dilakukan bila ada indikasi :
1) EKG pada anak
2) Spirometri pada tumor paru
3) Tes fungsi hati pada ikterus
4) Fungsi ginjal pada hipertensi
25
Kerjanya adalah mengubah permeabilitas membrane pada kanal Na+
sehingga tidak terbentuk potensial aksi yang nantinya akan
dihantarkan ke pusat nyeri.
Berat jenis cairan cerebrospinal (LCS) pada 37 oC adalah
1.003-1.008. Anastetik lokal dengan berat jenis sama dengan LCS
disebut isobaric. Anastetik lokal dengan berat jenis lebih besar dari
LCS disebut hiperbarik. Anastetik lokal dengan berat jenis lebih kecil
dari LCS disebut hipobarik. Anastetik lokal yang sering digunakan
adalah jenis hiperbarik diperoleh dengan mencampur anastetik lokal
dengan dextrose. Untuk jenis hipobarik biasanya digunakan tetrakain
diperoleh dengan mencampur dengan air injeksi.
Berikut adalah beberapa contoh sediaan yang terdapat di
Indonesia dan umum digunakan :
Lidokaine 5% dalam dextrose 7.5%: berat jenis 1.003, sifat
hyperbaric, dosis 20-50mg(1-2ml).
Bupivacaine 0.5% dlm air: berat jenis 1.005, sifat isobaric,
dosis 5-20mg.
Bupivacaine 0.5% dlm dextrose 8.25%: berat jenis 1.027,
sifat hiperbarik,dosis 5-15mg(1-3ml).
Obat Anestesi lokal memiliki efek tertentu di setiap system
tubuh manusia. Berikut adalah beberapa pengaruh pada system tubuh
yang nantinya harus diperhatikan saat melakukan anesthesia spinal.
1. Sistem Saraf : Pada dasarnya sesuai dengan prinsip kerja dari obat
anestesi lokal, menghambat terjadinya potensial aksi. Maka pada
system saraf akan terjadi paresis sementara akibat obat sampai
obat tersebut dimetabolisme.
2. Sistem Respirasi : Jika obat anestesi local berinteraksi dengan
saraf yang bertanggung jawab untuk pernafasan seperti nervus
frenikus, maka bisa menyebabkan gangguan nafas karena
kelumpuhan otot nafas.
26
3. Sistem Kardiovaskular : Obat anestesi lokal dapat menghambat
impuls saraf. Jika impuls pada system saraf otonom terhambat
pada dosis tertentu, maka bisa terjadi henti jantung. Pada dosis
kecil dapat menyebabkan bradikardia.
4. Jika dosis yang masuk pembuluh darah cukup banyak, dapat
terjadi aritmia, hipotensi, hingga henti jantung. Maka sangat
penting diperhatikan untuk melakukan aspirasi saat menyuntikkan
obat anestesi lokal agar tidak masuk ke pembuluh darah.
5. Sistem Imun : Karena anestesi lokal memiliki gugus amin, maka
memungkinkan terjadi reaksi alergi. Penting untuk mengetahui
riwayat alergi pasien. Pada reaksi lokal dapat terjadi reaksi
pelepasan histamine seperti gatal, edema, eritema. Apabila tidak
sengaja masuk ke pembuluh darah, dapat menyebabkan reaksi
anafilaktik.
6. Sistem Muskular : obat anestetik lokal bersifat miotoksik. Apabila
disuntikkan langsung kedalam otot maka dapat menimbulkan
kontraksi yang tidak teratur, bisa menyebabkan nekrosis otot.
7. Sistem Hematologi : obat anestetik dapat menyebabkan gangguan
pembekuan darah. Jika terjadi perdarahan maka membutuhkan
penekanan yang lebih lama saat menggunakan obat anestesi lokal.
Dalam penggunaan obat anestesi lokal, dapat ditambahkan
dengan zat lain atau adjuvant . Zat tersebut mempengaruhi kerja dari
obat anestesi lokal khususnya pada anestesi spinal. Tambahan yang
sering dipakai adalah :
1. Vasokonstriktor : Vasokonstriktor sebagai adjuvant pada anestesi
spinal dapat berfungsi sebagai penambah durasi. Hal ini didasari
oleh mekanisme kerja obat anestesi lokal di ruang subaraknoid.
Obat anestesi local dimetabolisme lambat di dalam rongga
subaraknoid. Dan proses pengeluarannya sangat bergantung
kepada pengeluaran oleh vena dan saluran limfe. Penambahan
obat vasokonstriktor bertujuan memperlambat clearance obat dari
27
rongga subaraknoid sehingga masa kerja obat menjadi lebih
lama.
2. Obat Analgesik Opioid : digunakan sebagai adjuvant untuk
mempercepatnonset terjadinya fase anestetik pada anestesi
spinal. Analgesic opioid misalnyanfentanyl adalah obat yang
sangat cepat larut dalam lemak. Hal ini sejalan dengan struktur
pembentuk saraf adalah lemak. Sehingga penyerapan obat
anestesi local menjadi semakin cepat. Penelitian juga menyatakan
bahwa penambahan analgesic opioid pada anestesi spinal
menambah efek anestesi post-operasi.
3. Klonidin : Pemberian klonidin sebagai adjuvant pada anestesi
spinal dapat menambah durasi pada anestesi. Namun perlu
diperhatikan karena klonidin adalah obat golongan Alfa 2
Agonis, maka harus diwaspadai terjadinya hipotensi akibat
vasodilatasi dan penurunan heart rate.
Dosis obat anestesi regional yang lazim digunakan untuk
melakukan anestesi spinal terdapat pada tabel dibawah ini.
Tabel 1 : Dosis Obat Untuk Anestesi Spinal
28
Biasanya dikerjakan di atas meja operasi tanpa dipindah lagi dan
hanya diperlukan sedikit perubahan posisi pasien.
1. Pasang IV line. Berikan Infus Dextrosa/NaCl/Ringer laktat
sebanyak 500 - 1500 ml (pre-loading).
2. Oksigen diberikan dengan kanul hidung 2-4 L/Menit.
3. Setelah dipasang alat monitor, pasien diposisikan dengan baik.
Dapat menggunakan 2 jenis posisi yaitu posisi duduk dan
berbaring lateral.
4. Raba krista. Perpotongan antara garis yang menghubungkan
kedua krista iliaka dengan tulang punggung ialah L4 atau L4-L5.
5. Palpasi di garis tengah akan membantu untuk mengidentifikasi
ligamen interspinous.
6. Cari ruang interspinous. Pada pasien obesitas anda mungkin
harus menekan cukup keras untuk merasakan prosesus spinosus.
7. Sterilkan tempat tusukan dengan betadine atau alkohol.
8. Beri anastesi lokal pada tempat tusukan, misalnya dengan
lidokain 1-2% 2-3ml
9. Cara tusukan adalah median atau paramedian. Untuk jarum
spinal besar 22G, 23G atau 25G dapat langsung digunakan.
Sedangkan untuk jarum kecil 27G atau 29G dianjurkan
menggunakan penuntun jarum (introducer), yaitu jarum suntik
biasa 10cc. Jarum akan menembus kutis, subkutis, ligamentum
supraspinosum, ligamentum interspinosum, ligamentum flavum,
epidural, duramater, subarachnoid. Setelah mandrin jarum spinal
dicabut, cairan serebrospinal akan menetes keluar. Selanjutnya
disuntikkan obat analgesik ke dalam ruang arachnoid tersebut.
29
Gambar 7 : Posisi Lateral pada Spinal Anestesi
Teknik penusukan bisa dilakukan dengan dua pendekatan yaitu median dan
paramedian.Pada teknik medial, penusukan dilakukan tepat di garis tengah dari
sumbu tulang belakang. Pada tusukan paramedial, tusukan dilakukan 1,5cm lateral
dari garis tengah dan dilakukan tusukan sedikit dimiringkan ke kaudal.
30
Gambar 9 : Tusukan Medial dan Paramedial
31
Gambar 10 : Lokasi Dermatom Sensoris
1. Komplikasi Kardiovaskular
Insiden terjadi hipotensi akibat anestesi spinal adalah 10-40%.
Hipotensi terjadi karena vasodilatasi, akibat blok simpatis, yang
menyebabkan terjadi penurunan tekanan arteriola sistemik dan
vena, makin tinggi blok makin berat hipotensi. Cardiac output
akan berkurang akibat dari penurunan venous return. Hipotensi
yang signifikan harus diobati dengan pemberian cairan intravena
32
yang sesuai dan penggunaan obat vasoaktif seperti efedrin atau
fenilefedrin.Cardiac arrest pernah dilaporkan pada pasien yang
sehat pada saat dilakukan anestesi spinal.Henti jantung bisa
terjadi tiba-tiba biasanya karena terjadi bradikardia yang berat
walaupun hemodinamik pasien dalam keadaan yang stabil. Pada
kasus seperti ini,hipotensi atau hipoksia bukanlah penyebab
utama dari cardiac arrest tersebut tapi ia merupakan dari
mekanisme reflek bradikardi dan asistol yang disebut reflek
Bezold-Jarisch. Pencegahan hipotensi dilakukan dengan
memberikan infuse cairan kristaloid (NaCl, Ringerlaktat) secara
cepat sebanyak 10-15ml/kgbb dalam 10 menit segera setelah
penyuntikan anesthesia spinal. Bila dengan cairan infuse cepat
tersebut masih terjadi hipotensi harus diobati dengan vasopressor
seperti efedrin intravena sebanyak 19 mg diulang setiap 3-4
menit sampai mencapai tekanan darah yang dikehendaki.
Bradikardia dapat terjadi karena aliran darah balik berkurang atau
karena blok simpatis,dapat diatasi dengan sulfas atropine 1/8-
1/4mg IV.
2. Blok Tinggi atau Total
Anestesi spinal tinggi atau total terjadi karena akibat dari
kesalahan perhitungan dosis yang diperlukan untuk satu suntikan.
Komplikasi yang bisa muncul dari hal ini adalah hipotensi, henti
nafas, penurunan kesadaran, paralisis motor, dan jika tidak
diobati bisa menyebabkan henti jantung. Akibat blok simpatetik
yang cepat dan dilatasi arterial dan kapasitas pembuluh darah
vena, hipotensi adalah komplikasi yang paling sering terjadi pada
anestesi spinal. Hal ini menyebabkan terjadi penurunan sirkulasi
darah ke organ vital terutama otak dan jantung, yang cenderung
menimbulkan sequel lain. Penurunan sirkulasi ke serebral
merupakan faktor penting yang menyebabkan terjadi henti nafas
pada anestesi spinal total. Walau bagaimanapun, terdapat
33
kemungkinan pengurangan kerja otot nafas terjadi akibat dari
blok pada saraf somatic interkostal. Aktivitas saraf phrenikus
biasanya dipertahankan.Berkurangnya aliran darah ke serebral
mendorong terjadinya penurunan kesadaran. Jika hipotensi ini
tidak di atasi, sirkulasi jantung akan berkurang seterusnya
menyebabkan terjadi iskemik miokardiak yang mencetuskan
aritmia jantung dan akhirnya menyebakan henti jantung.
Pengobatan yang cepat sangat penting dalam mencegah
terjadinya keadaan yang lebih serius, termasuk pemberian cairan,
vasopressor, dan pemberian oksigen bertekanan positif.Setelah
tingkat anestesi spinal berkurang, pasien akan kembali ke
kedaaan normal seperti sebelum operasi. Namun, tidak ada
sequel yang permanen yang disebabkan oleh komplikasi ini jika
diatasi dengan pengobatan yang cepat dan tepat.
3. Komplikasi Sistem Respirasi
Beberapa hal yang perlu diperhatikan dari system respirasi saat
melakukan anestesi spinal adalah :
Analisa gas darah cukup memuaskan pada blok spinal tinggi, bila
fungsi paru-paru normal.
Penderita PPOM atau COPD merupakan kontra indikasi untuk
blok spinal tinggi.
Apnoe dapat disebabkan karena blok spinal yang terlalu tinggi
atau karena hipotensi berat dan iskemia medulla.
Kesulitan bicara,batuk kering yang persisten,sesak
nafas,merupakan tanda-tanda tidak adekuatnya pernafasan yang
perlu segera ditangani dengan pernafasan buatan.
4. Komplikasi Gastointestinal
Nausea dan muntah karena hipotensi,hipoksia,tonus parasimpatis
berlebihan,pemakaian obat narkotik,reflek karena traksi pada
traktus gastrointestinal serta komplikasi delayed,pusing kepala
pasca pungsi lumbal merupakan nyeri kepala dengan ciri khas
34
terasa lebih berat pada perubahan posisi dari tidur ke posisi
tegak. Mulai terasa pada 24-48jam pasca pungsi lumbal,dengan
kekerapan yang bervariasi.Pada orang tua lebih jarang dan pada
kehamilan meningkat.Untuk menangani komplikasi ini dapat
diberikan obat tambahan yaitu ondansetron atau diberikan
ranitidine.
5. Nyeri Kepala (Puncture Headache)
Komplikasi yang paling sering dikeluhkan oleh pasien adalah
nyeri kepala.Nyeri kepala inibisa terjadi selepas anestesi spinal
atau tusukan pada dural pada anestesi epidural.Insidenterjadi
komplikasi ini tergantung beberapa faktor seperti ukuran jarum
yang digunakan.Semakin besar ukuran jarum semakin besar
resiko untuk terjadi nyeri kepala.Selain itu,insidensi terjadi nyeri
kepala juga adalah tinggi pada wanita muda dan pasien yang
dehidrasi.Nyeri kepala post suntikan biasanya muncul dalam 6 –
48 jam selepas suntikan anestesi spinal. Nyeri kepala yang
berdenyut biasanya muncul di area oksipital dan menjalar ke
retroorbital, dan sering disertai dengan tanda diplopia, mual, dan
muntah. Tanda yang paling signifikan nyeri kepala spinal adalah
nyeri makin bertambah bila pasien dipindahkan atau berubah
posisi dari tiduran/supinasi ke posisi duduk, dan akan berkurang
atau hilang total bila pasien tiduran. Terapi konservatif dalam
waktu 24 –48 jam harus dicoba terlebih dahulu seperti tirah
baring, rehidrasi (secara cairan oral atau intravena),analgesic, dan
suport yang kencang pada abdomen. Tekanan pada vena cava
akan menyebabkan terjadi perbendungan dari plexus vena pelvik
dan epidural, seterusnya menghentikan kebocoran dari cairan
serebrospinal dengan meningkatkan tekanan extradural.Jika
terapi konservatif tidak efektif, terapi yang aktif seperti suntikan
salin ke dalam epidural untuk menghentikan kebocoran.
6. Komplikasi Sistem Respirasi
35
Komplikasi yang kedua paling sering adalah nyeri punggung
akibat dari tusukan jarum yang menyebabkan trauma pada
periosteal atau ruptur dari struktur ligament dengan atau tanpa
hematoma intraligamentous. Nyeri punggung akibat dari trauma
suntikan jarum dapat di obatisecara simptomatik dan akan
menghilang dalam beberapa waktu yang singkat saja.
7. Komplikasi Sistem Respirasi
Insidensi defisit neurologi berat dari anestesi spinal adalah
rendah.Komplikasi neurologik yang paling benign adalah
meningitis aseptik. Sindrom ini muncul dalam waktu 24 jam
setelah anestesi spinal ditandai dengan demam, rigiditas nuchal
dan fotofobia. Meningitis aseptic hanya memerlukan pengobatan
simptomatik dan biasanya akan menghilang dalambeberapa
hari.Sindrom cauda equina muncul setelah regresi dari blok
neuraxial. Sindrom ini mungkin dapat menjadi permanen atau
bisa regresi perlahan-lahan setelah beberapa minggu atau
bulan.Ia ditandai dengan defisit sensoris pada area perineal,
inkontinensia urin dan fekal, dan derajat yang bervariasi pada
defisit motorik pada ekstremitas bawah.Komplikasi neurologic
yang paling serius adalah arachnoiditis adesif.Reaksi ini biasanya
terjadi beberapa minggu atau bulan setelah anestesi spinal
dilakukan.Sindrom ini ditandai oleh defisit sensoris dan
kelemahan motorik pada tungkai yang progresif.Pada penyakit
initerdapat reaksi proliferatif dari meninges dan vasokonstriksi
dari vasculature korda spinal.Iskemia dan infark korda spinal bisa
terjadi akibat dari hipotensi arterial yang lama.Penggunaan
epinefrin didalam obat anestesi bisa mengurangi aliran darah ke
korda spinal.Kerusakan pada korda spinal atau saraf akibat
trauma tusukan jarum pada spinal maupun epidural, kateter
epidural atau suntikan solution anestesi lokal intraneural sangat
jarang, tapi tetap mungkin terjadi.
36
Perdarahan subaraknoid yang terjadi akibat anestesi regional
sangat jarang berlaku karena ukuran yang kecil dari struktur
vaskular mayor didalam ruang subaraknoid. Hanya pembuluh
darah radikular lateral merupakan pembuluh darah besar di area
lumbar yang menyebar keruang subaraknoid dari akar saraf.
Sindrom spinal-arteri anterior akibat dari anesthesiaadalah
jarang.Tanda utamanya adalah kelemahan motorik pada tungkai
bawah karenaiskemia pada 2/3 anterior bawah korda spinal.
Kehilangan fungsi sensoris tidak merata adalahefek sekunder dari
nekrosis iskemia pada akar posterior saraf dan bukan akibat dari
kerusakan didalam korda itu sendiri. Terdapat tiga penyebab
terjadinya sindrom spinal-arteri: kekurangan suplai darah ke
arteri spinal anterior karena terjadi gangguan suplai darah dari
arteri-arteri yang terganggu oleh operasi, kekurangan aliran darah
dari arteri karena hipotensi yang berlebihan, dan gangguan aliran
darah sama ada dari kongesti vena mahu pun obstruksi aliran.
Anestesi regional merupakan penyebab yang mungkin yang
menyebabkan terjadinya sindrom spinal-arteri anterior oleh
beberapa faktor.Contohnya anestesi spinalmenggunakan obat
anestesi lokal yang dicampurkan dengan epinefrin.Jadi
kemungkinanepinefrin yang menyebabkan vasokonstriksi pada
arteri spinal anterior atau pembuluh darahyang memberikan
bekalan darah.Hipotensi yang kadang timbul setelah anestesi
regionaldapat menyebabkan kekurangan aliran darah.
Infeksi spinal sangat jarang kecuali dari penyebaran bakteri
secara hematogen yang berasal dari fokal infeksi ditempat lain.
Jikaanestesi spinal diberikan kepada pasien yang mengalami
bakteriemia, terdapat kemungkinan terjadi penyebaran bakteri ke
medulla spinalis.Maka penggunaan anestesi spinal padapasien
dengan bakteremia merupakan kontra indikasi relatif.
37
Jika infeksi terjadi di dalamruang subaraknoid, akan
menyebabkan araknoiditis. Tanda yang paling menonjol pada
komplikasi ini adalah nyeri punggung yang berat, nyeri lokal,
demam,leukositosis, dan rigiditas nuchal.Oleh karena itu, tidak
diperbolehkan jika menggunakan anestesiregional pada pasien
yang mengalami infeksi kulit lokal pada area lumbal atau yang
menderita selulitis.Pengobatan bagi komplikasi ini adalah dengan
pemberian antibiotik dan drainase jika perlu.
8. Komplikasi Traktus Urinarius
Disfungsi kandung kemih dapat terjadi selepas anestesi umum
maupun regional.Fungsikandung kencing merupakan bagian
yang fungsinya kembali paling akhir pada
analgesiaspinal,umumnya berlangsung selama 24 jam.Kerusakan
saraf pemanen merupakankomplikasi yang sangat jarang terjadi.
Pencegahan
Pakailah jarum lumbal yang lebih halus (no. 23 atau no. 25).
Posisi jarum lumbal dengan bevel sejajar serat duramater.
Hidrasi adekuat, minum/infuse 3L selama 3 hari.
Pengobatan
Posisi berbaring terlentang minimal 24 jam
Hidrasi adekuat.
Hindari mengejan.
Bila cara diatas tidak berhasil pertimbangkan pemberian
epidural blood patch yakni penyuntikan darah pasien sendiri
5-10ml ke dalam ruang epidural. Cara ini umumnya
memberikan hasil yang nyata/segera (dalam waktu beberapa
jam) pada lebih dari 90% kasus.
38
BAB III
LAPORAN KASUS
PRE-OPERATIF
1. Identitas Pasien
Usia : 46 tahun
Agama : Islam
Pekerjaan : Wiraswasta
2. Anamnesa
Keluhan Utama : Nyeri hebat pada bagian perut bawah
Telaah:
Pasien datang ke RSU Haji Medan dengan keluhan ada benjolan di perut dan
terasa nyeri. Pasien berkata nyeri dirasakan sejak 5 tahun yang lalu. Nyeri
dirasakan hilang timbul. Nyeri semakin terasa hebat dirasakan sejak 2 bulan
terakhir. Pasien juga mengeluhkan keluar darah dari vagina nya sejak tadi
siang yang diiringi dengan sakit kepala.
Riwayat Penyakit Dahulu :
- Dispepsia dan Hipertensi
Riwayat Penyakit Keluarga :
- Tidak ada yang memiliki keluhan yang sama dengan pasien
Riwayat Alergi :
- Alergi makanan disangkal oleh pasien
- Alergi obat (+)
39
Riwayat Pengobatan :
- Tidak ada
Riwayat Psikososial :
- Merokok (-)
- Alkohol (-)
- Obat-obatan (-)
3. Pemeriksaan Penunjang
Hasil Laboratorium
Darah Rutin
Hb : 10.1 g/dl (13,2 – 17,3 g/dl)
HT : 32,5 % (40 - 52 %)
Eritrosit : 4,76 x 106/µL (4,4 - 5.9 x 106/µL)
Leukosit : 7290 / µL (4000 - 11.000 / µL)
Trombosit : 274.000/µL (150.000 - 440.000 / µL)
Hitung Jenis
Eosinofil : 5,5% (1-3 %)
Basofil : 0,8% (0-1 %)
N. Seg : 57,8% (53-75 %)
Limfosit : 32,9% (20-45 %)
Monosit : 3,0% (4-8 %)
Metabolik
KGDS : -
Fungsi Hati
Bilirubin total :-
Bilirubin direk :-
SGOT :-
40
SGPT :-
Fungsi Ginjal
Ureum : 24 mg/dl (10 - 50 g/dl)
Kreatinin : 1,0 mg/dl (0.6-1.1 g/dl
HIV
HIV R1 : Non Reactive
Pemeriksaan COVID
IgG Covid -19 : Non Reactive
IgM Covid -19 : Non Reactive
DURANTE OPERASI
1. Status Anastesi
PS-ASA : II (Gangguan Sistemik Sedang- Berat)
Hari/tanggal : 25 November 2020
Ahli Anastesiologi : dr. Winardi S Lesmana, Sp.An
Ahli Bedah : dr. H.M. Haidir Sp.OG
Diagnosa Pra Bedah : Myoma Uteri
Diagnosa Pasca Bedah : Myoma Uteri
Keadaan Pra Bedah
KU : Tampak sakit sedang
BB : 60 Kg
TTV : TD : 140/90mmHg, N : 92x/menit, RR : 18x/menit,
T: 36,7 0C
B1 (Breath)
Airway : Clear
RR : 18 x/menit
SP : Vesikuler
ST :-
41
B2 (Blood)
Akral : Hangat
CRT : < 2 detik
TD : 140/90 mmHg
HR : 80x/menit
Hb : 10,1g/dl (13,2 – 17,3g/dl)
Ht : 32,5 % (40 – 52 %)
Leukosit : 7290 / µL (4000 - 11.000 / µL)
Trombosit : 274.000/µL (150.000 - 440.000 / µL)
EKG : normal (Sinus rhytme)
B3 (Brain)
Sensorium : Compos Mentis / E4V5M6
Pupil : Isokor, ka=ki 3mm/3mm
RC : (+)/(+)
B4 (Bladder)
Kateter :+
Urine Output : 100 cc
Warna : putih kekuningan
Ureum : 24 mg/dl (10 - 50 g/dl)
Kreatinin : 1,0 mg/dl (0.6-1.1 mg/dl
B5 (Bowel)
Abdomen
Inspeksi : Simetris
Palpasi : massa di regio eipigastrium
Perkusi : Tympani
Auskultasi : Peristaltik (+)
Mual/Muntah : (+)/(-)
USG (Ultrasonography) : Kesan Tampak masa hiperekoid di uterus
B6 (Bone)
Oedem : (-)
Fraktur : (-)
42
Motorik : Normal
Jenis Pembedahan : Laparotomi
Jenis Anastesi : RA-SAB
Lama Operasi : 80 menit (08.30 - 09.50 WIB)
Lama Anastesi : 103 menit (08.17 - 10.00 WIB)
Anastesi Dengan : Bupivacaine 20 mg
Teknik Anastesi : Sitting position identifikasi L3-L4 Desinfeksi
dengan povidon iodine dan bersihkan dengan alcohol 70% insersi
spinocane 25 g CSF (+), darah (-) injeksi dengan bupivacaine 20 mg
Blok setinggi T10
Teknik Khusus :-
Pernafasan : Spontan
Posisi : Supine
Infus : IVFD RL terpasang ditangan kiri
Penyulit Anestesi :-
Akhir Pembedahan : TD : 140/88 mmHg. N : 75 x/menit, RR : 18
x/menit
Terapi Khusus Pasca Bedah : -
Penyulit Pasca Bedah :-
Hipersensitivitas :-
Premedikasi :-
Medikasi
- Bupivacaine : 20 mg
- Ephedrine : 40 mg
- Ondansetron : 4 mg
- Ketorolac : 30 mg
- Ranitidine : 50 mg
43
Diagram Observasi
Jumlah Cairan
PO : RL 500 cc
DO : RL 1000 cc
Produksi Urin : kateter (+)
Volume urin : 100 cc
Perdarahan
Suction : 200 cc
EBV : 60 x 70 = 4200 cc
EBL : 10 % = 420 cc
20 % = 840 cc
30 % = 1260 cc
POST OPERASI
Perawatan Post Operasi
Setelah operasi selesai pasien di observasi di Recovery Room dan lakukan
monitoring airway dan tanda-tanda vital selama 2 jam
Istirahat sampai pengaruh obat anestesi hilang
IVFD RL 40 gtt/menit
Pasien boleh pindah ke ruangan bila Alderette score > 8
o Pergerakan :2
44
o Pernapasan :2
o Warna kulit :2
o Tekanan darah :2
o Kesadaran :2
Setelah operasi selesai, pasien dibawa ke ruang pemulihan setelah
dipastikan pasien pulih dari anestesi dan keadaan umum, kesadaran
serta vital sign stabil, pasien dipindahkan ke bangsal dengan anjuran
untuk bedrest 24 jam, makan dan minum sedikit demi sedikit apabila
pasien sudah sadar penuh dan peristaltik normal.
FOLLOW UP
Abdomen:
45
Teraba massa 3 jari di atas Planning:
umbilikus dan 1 jari di atas
Laparotomi tanggal 25
symphisis pubis. Mobile (-)
Nov 2020
Ekstremitas: edema -/-
Puasa 6 jam Pre OP
Hasil lab:
A:
- Myoma Uteri
P:
Memantau KU pasien
Monitoring TTV
Pemeriksaan Nutrisi
46
Kolaborasi dengan dokter
Kandungan
47
O: KU : Sakit sedang/ Diet biasa
composmentis
IVFD RL : D 5% 1:1 28
TD: 163/86 mmHG tpm
BAB IV
KESIMPULAN
Myoma uteri adalah tumor jinak yang berasal dari otot rahim (miometrium) atau
jaringan ikat yang tumbuh pada dinding atau di dalam rahim. Secara etiologi, mioma
sendiri masih bersifat idiopatik, namun diyakini bahwasanya terdapat beberapa
48
faktor yang dapat meningkatkan angka kejadian mioma ini,seperti gangguan
hormone estrogen, ras, dan usia. Tatalakasana myoma uteri sendiri terdiri atas
observasi dan operatif. Pada pengangkatan mioma uteri sendiri, pasien akan
diberikan anestesi regional sehingga pasien masih tersadar saat proses operasi
berlangsung. Pemberian bupivacaine menjadi pilihan dalam sedasi regional.
Pemberian injeksi pectidine dilakukan hanya bila pasien merasakan nyeri yang hebat
setelah post operasi. Pengangkatan seluruh rahim dilakukan karena ukuran tumor
yang sudah sangat besar, serta usia pasien yang sudah diatas 45 tahun.
DAFTAR PUSTAKA
Manuaba IBG. 2003. Penuntun Kepaniteraan Klinik Obstetric dan Ginekologi. Edisi
2. Jakarta : EGC
49
Prawirohardjo, sarwono. 2002. Edisi Ke-3. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka
Pearce, Evelyn C. 2000. Anatomi dan Fisiolog untuk Paramedis Edisi Barui.
Jakarta: Gramedia Pustaka Utama
50
LAMPIRAN
PEMERIKSAAN PENUNJANG
EKG
X-RAY
51
USG
HASIL LABORATORIUM
52
LAPORAN BEDAH
LAPORAN ANESTESI
53
GAMBAR MIOMA UTERI : DIMENSI 20X15X 8CM, BERAT 4 KG
54
55