Anda di halaman 1dari 59

LAPORAN KASUS

“Mioma Uteri”

Disusun Sebagai salah satu persyaratan mengikuti

kepaniteraan klinik senior SMF Ilmu Anestesi di RSU Haji Medan

Disusun Oleh :

Arya Putri Sukulima 20360019


Alex Leo Saputra 20360021
Andre Giovanni 20360163
Mohamad Rheza F. Zamzami 20360043

Pembimbing :
dr. Asmin Lubis, DAF, Sp.An, KAP, KMN.

KEPANITERAAN KLINIK SENIOR SMF ILMU ANASTESI


RSU HAJI MEDAN PROVINSI SUMATERA UTARA
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MALAHAYATI
2020
KATA PENGANTAR

Dengan mengucap puji dan syukur kepada Allah SWT, atas rahmat yang
dilimpahkannya sehingga penulis dapat menyelesaikan paper dan laporan kasus ini
dengan judul “MIOMA UTERI. Penyusunan tugas ini di maksudkan untuk
mengembangkan wawasan serta melengkapi tugas yang di berikan pembimbing.
Penulis menyampaikan ucapan terimakasih kepada dr. Asmin Lubis, DAF,
Sp.An, KPI, KMN selaku pembimbing dalam kepaniteraan klinik senior smf ilmu
anestesi serta dalam penyelesaian makalah ini. Dalam penulisan makalah ini, penulis
menyadari bahwa masih banyak kekurangan dan kelemahan, baik dari segi
penulisan maupun materi. Untuk itu penulis mengharapkan kritik dan saran dari
pembaca yang sifatnya membangun guna penyempurnaan di masa yang akan
datang.

Medan, November 2020

Penulis

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.................................................................................................ii

DAFTAR ISI..............................................................................................................iii

BAB I PENDAHULUAN .........................................................................................1

1.1 Latar Belakang..............................................................................................1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA...............................................................................3

2.1 Anatomi Uterus.........................................................................................2


2.2 Definisi Mioma Uteri.................................................................................5
2.3 Klasifikasi Mioma Uteri……....................................................................6
2.4 Etiologi Mioma Uteri................................................................................8
2.5 Manifestasi Klinik....................................................................................10
2.6 Patofisiologi Mioma Uteri.......................................................................12
2.7 Pemeriksaan Penunjang............................................................................13

2.8 Komplikasi..............................................................................................15
2.9 Penatalaksanaan.......................................................................................16
2.10 Pencegahan..............................................................................................20
2.11 Anestesi Spinal.........................................................................................21

BAB III LAPORAN KASUS..................................................................................26

3.1 PRE-OPERATIF……………………………………………………………39

3.2 DURANTE OPERASI...................................................................................41

3.3 POST OPERASI............................................................................................44

3.4 TERAPI POST OPERASI.............................................................................45

iii
BAB IV KESIMPULAN..........................................................................................49

DAFTAR PUSTAKA................................................................................................50

LAMPIRAN..............................................................................................................51

iv
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Anestesiologi adalah cabang ilmu kedokteran yang mendasari
berbagai tindakan meliputi pemberian anestesi, penjagaan keselamatan
penderita yang mengalami pembedahan, pemberian bantuan hidup dasar,
pengobatan intensif pasien gawat, terapi inhalasi dan penanggulangan nyeri
menahun. Pada prinsipnya dalam penatalaksanaan anestesi pada suatu
operasi terdapat beberapa tahap yang harus dilaksanakan yaitu pra anestesi
yang terdiri dari persiapan mental dan fisik pasien, perencanaan anestesi,
menentukan prognosis dan persiapan pada pada hari operasi. Sedangkan
tahap penatalaksanaan anestesi terdiri dari premedikasi, masa anestesi dan
pemeliharaan, tahap pemulihan serta perawatan pasca anestesi.
Hampir separuh kasus mioma uteri ditemukan secara kebetulan pada
pemeriksaan ginekologik karena tumor ini tidak mengganggu Tanda dan
gejala dari mioma uteri hanya terjadi pada 35 - 50% pasien dan sangat
tergantung pada tempat sarang mioma ini berada (serviks, intramural,
submukus, subserus), besarnya tumor, perubahan dan komplikasi yang
terjadi serta jumlah mioma. Gejala yang sering ditemui antara lain adalah
perdarahan abnormal, nyeri panggul, gejala penekanan, dan disfungsi
reproduksi. Pendekatan diagnosis diawali dengan menanyakan keluhan
berupa gejala-gejala yang mengarah ke mioma uteri seperti yang telah
disebutkan sebelumnya, yang kemudian dikonfirmasi dengan pemeriksaan
fisik berupa adanya massa kenyal berbatas tegas pada daerah suprapubis, dan
dikonfirmasi lagi dengan menggunakan pemeriksaan ultrasonografi yang
menunjukkan adanya massa pada uterus. Penatalaksanaan mioma uteri bisa
berupa pengobatan farmakologik berupa hormon, ataupun tindakan operatif
dengan melakukan miomektomi ataupun histerektomi.

1
BAB II

TINJAUAN TEORI

2.1 Anatomi Uterus

Uterus (rahim) merupakan organ yang tebal, berotot, berbentuk buah

pir, yang sedikit gepeng kearah muka belakang, terletak di dalam pelvis

antara rektum di belakang dan kandung kemih di depan. Ukuran uterus

sebesar telur ayam dan mempunyai rongga. Dindingnya terdiri atas otot

polos. Ukuran panjang uterus adalah 7-7,5 cm lebar di atas 5,25 cm, tebal

1,25 cm. Berat uterus normal lebih kurang 57 gram. Pada masa kehamilan

uterus akan membesar pada bulan-bulan pertama dibawah pengaruh estrogen

dan progesterone yang kadarnya meningkat. Pembesaran ini pada dasarnya

disebabkan oleh hipertropi otot polos uterus, disamping itu serabutserabut

kolagen yang ada menjadi higroskopik akibat meningkatnya kadar estrogen

sehingga uterus dapat mengikuti pertumbuhan janin. Setelah Menopause,

2
uterus wanita nullipara maupun multipara, mengalami atrofi dan kembali ke

ukuran pada masa predolesen

2.1.1 Pembagian Uterus


1) Fundus Uteri (dasar rahim) : bagian uterus yang proksimal

yang terletak antara kedua pangkal saluran telur.

2) Korpus Uteri : Bagian uterus yang membesar pada kehamilan.

Korpus uteri mempunyai fungsi utama sebagai tempat janin

berkembang. Rongga yang terdapat pada korpus uteri disebut

kavum uteri atau rongga rahim.

3) Serviks Uteri : Ujung serviks yang menuju puncak vagina

disebut porsio,hubungan antara kavum uteri dan kanalis

servikalis disebut ostium uteri yaitu bagian serviks yang ada

di atas vagina.

2.1.2 Pembagian Dinding Uterus


1) Endometrium di korpus uteri dan endoserviks di serviks uteri.

Endometrium terdiri atas epitel kubik, kelenjar-kelenjar, dan

jaringan dengan banyak pembuluh-pembuluh darah yang

berlekuk-lekuk. Dalam masa haid endometrium untuk

sebagian besar dilepaskan, untuk kemudian tumbuh menebal

dalam masa reproduksi pada kehamilan dan pembuluh darah

bertambah banyak yang diperlukan untuk memberi makanan

pada janin.

3
2) Miometrium (lapisan otot polos) di sebelah dalam berbentuk

sirkuler, dan disebelah luar berbentuk longitudinal. Diantara

kedua lapisan ini terdapat lapisan otot oblik, berbentuk

anyaman. Lapisan otot polos yang paling penting pada

persalinan oleh karena sesudah plasenta lahir berkontraksi

kuat dan menjepit pembuluh-pembuluh darah yang ada di

tempat itu dan yang terbuka.

3) Lapisan serosa (peritoneum viseral) terdiri dari lima

igamentum yang menfiksasi dan menguatkan uterus yaitu:

a. Ligamentum kardinale kiri dan kanan yakni

ligamentum yang terpenting, mencegah supaya uterus

tidak turun, terdiri atas jaringan ikat tebal, dan

berjalan dari serviks dan puncak vagina kea rah

lateral dinding pelvis. Didalamnya ditemukan banyak

pembuluh darah, antara lain vena dan arteria uterine.

b. Ligamentum sakro uterinum kiri dan kanan yakni

ligamentum yang menahan uterus supaya tidak

banyak bergerak, berjalan dari serviks bagian

belakang kiri dan kanan kearah sarkum kiri dan

kanan. Ligamentum rotundum kiri dan kanan yakni

ligamentum yang menahan uterus agar tetap dalam

keadaan antofleksi, berjalan dari sudut fundus uteri

kiri dan kanan, ke daerah inguinal waktu berdiri cepat

karena uterus berkontraksi kuat.


4
c. Ligamentum latum kiri dan kanan yakni ligamentum

yang meliputi tuba, berjalan dari uterus kearah sisi,

tidak banyak mengandung jaringan ikat.

d. Ligamentum infundibulo pelvikum yakni ligamentum

yang menahan tuba fallopi, berjalan dari arah

infundibulum ke dinding pelvis. Di dalamnya

ditemukan urat-urat saraf, saluran-saluran limfe,

arteria dan vena ovarika.

2.2 Definisi Mioma Uteri

Mioma Uteri adalah neoplasma yang berasal dari otot uterus dan jaringan

ikat yang menumpangnya sehingga dapat disebut juga dengan leiomioma,

fibriomioma atau fibroid (Prawirohardjo Sarwono,2009).

Mioma uteri adalah neoplasma jinak yang berasal dari otot uterus dan jaringan

ikat yang menumpang, sehingga dalam kepustakaan dikenal dengan istilah

Fibromioma, leiomioma, atau fibroid (Mansjoer, 2007).

5
Myoma uteri adalah tumor jinak yang berasal dari otot rahim (miometrium)

atau jaringan ikat yang tumbuh pada dinding atau di dalam rahim. (Lina

Mardiana, 2007)

2.3 Klasifikasi

Berdasarkan letaknya mioma uteri dibagi atas:

1) Mioma sub mukosum

Mioma yang berada di bawah lapisan mukosa

uterus/endometrium dan tumbuh kearah kavun uteri. Hal ini

menyebabkan terjadinya perubahan bentuk dan besar kavum uteri.

Bila tumor ini tumbuh dan bertangkai, maka tumor dapat keluar dan

masuk ke dalam vagina yang disebut mioma geburt.

Mioma submukosum walaupun hanya kecil selalu

memberikan keluhan perdarahan melalui vagina. Perdarahan sulit

dihentikan, sehingga sebagai terapinya dilakukan histerektomi.

Mioma uteri dapat tumbuh bertangkai menjadi polip, kemudian

dilahirkan melalui serviks (mioma geburt).

6
2) Mioma intramural

Berada diantara serabut miometrium. Disebut juga sebagai

mioma intraepitalial, biasanya multiple. Apabila masih kecil, tidak

merubah bentuk uterus, tapi bila besar akan menyebabkan uterus

berbenjol-benjol, uterus bertambah besar dan berubah bentuknya.

Mioma sering tidak memberikan gejala klinis yang berarti kecuali

rasa tidak enak karena adanya massa tumor di daerah perut sebelah

bawah.

3) Mioma subserosum

Lokasi tumor di sub serosa korpus uteri. Dapat hanya sebagai

tonjolan saja, dapat pula sebagai satu massa yang dihubungkan

dengan uterus melalui tangkai. Pertumbuhan kearah lateral dapat

berada di dalam ligamentum latum, dan disebut sebagai mioma

intraligamen. Mioma yang cukup besar akan mengisi rongga

peritoneum sebagai suatu massa. Perlekatan dengan ementum di

sekitarnya menyebabkan sisten peredaran darah diambil alih dari

tangkai ke omentum. Akibatnya tangkai semakin mengecil dan

terputus, sehingga mioma terlepas dari uterus sebagai massa tumor

yang bebas dalam rongga peritoneum. Mioma jenis ini dikenal

sebagai mioma jenis parasitik

Apabila tumbuh keluar dinding uterus sehingga menonjol ke

permukaan uterus dan diliputi serosa. Mioma subserosum dapat

tumbuh diantara kedua lapisan ligamentum latum menjadi mioma

intra ligamenter. Mioma subserosum dapat pula tumbuh menempel


7
pada jaringan lain setelah lepas dari uterus, misalnya ke ligamentum

atau omentum dan kemudian bebas disebut wondering / parasitic

fibroid. (Sarwono, 2005).

2.4 Etiologi

Walaupun mioma uteri ditemukan terjadi tanpa penyebab yang pasti,

namun dari hasil penelitian Miller dan Lipschlutz dikatakan bahwa mioma

uteri terjadi terjadi tergantung pada sel-sel imatur yang terdapat pada “cell

Nest” yang selanjutnya dapat dirangsang terus menerus oleh hormon

estrogen. Namun demikian, beberapa faktor yang dapat menjadi faktor

pendukung terjadinya mioma adalah wanita usia 35-45 tahun, hamil pada

usia muda, genetik, zat-zat karsinogenik, sedangkan yang menjadi pencetus

dari terjadinya mioma uteri adalah adanya sel yang imatur.

Teori Mayer dan Snoo, rangsangan “sell nest” oleh estrogen, faktor:

1) Tak pernah dijumpai sebelum menstruasi

2) Atropi setelah menopause

3) Cepat membesar saat hamil

4) Sebagian besar masa reproduktif (Bagus, 2002).

Faktor-faktor penyebab mioma uteri belum diketahui, namun ada 2 teori

yang berpendapat :

1. Teori stimulasi

Berpendapat bahwa estrogen sebagai faktor etiologi, mengingat bahwa:

8
1) Mioma uteri sering kali tumbuh lebih cepat pada masa hamil

2) Neoplasma ini tidak pernah ditemukan sebelum monarche

3) Mioma uteri biasanya mengalami atrofi sesudah menopause

4) Hiperplasia endometrium sering ditemukan bersama dengan mioma

uteri.

Penyebab dari mioma pada rahim masih belum diketahui. Beberapa

penelitian mengatakan bahwa masing-masing mioma muncul dari 1 sel

neoplasma soliter (satu sel ganas) yang berada diantara otot polos

miometrium (otot polos di dalam rahim). Selain itu didapatkan juga

adanya faktor keturunan sebagai penyebab mioma uteri. Pertumbuhan

dari leiomioma berkaitan dengan adanya hormone estrogen. Tumor ini

menunjukkan pertumbuhan maksimal selama masa reproduksi, ketika

pengeluaran estrogen maksimal. Mioma uteri memiliki kecenderungan

untuk membesar ketika hamil dan mengecil ketika menopause berkaitan

dengan produksi dari hormon estrogen. Apabila pertumbuhan mioma

semakin membesar setelah menopause maka pertumbuhan mioma ke

arah keganasan harus dipikirkan. Pertumbuhan mioma tidak membesar

dengan pemakaian pil kontrasepsi kombinasi karena preparat progestin

pada pil kombinasi memiliki efek anti estrogen pada pertumbuhannya.

Perubahan yang harus diawasi pada leiomioma adalah perubahan ke arah

keganasan yang berkisar sebesar 0,04%.

2. Teori Cellnest atau genitoblas


9
Terjadinya mioma uteri itu tergantung pada sel-sel otot imatur yang terdapat

pada cell nest yang selanjutnya dapat dirangsang terus menerus oleh

estrogen. (Prawirohardjo, 2002).

Dalam Jeffcoates Principles of Gynecology, ada beberapa faktor yang

diduga kuat sebagai faktor predisposisi terjadinya mioma uteri, yaitu :

1. Umur :

Mioma uteri jarang terjadi pada usia kurang dari 20 tahun, ditemukan

sekitar 10% pada wanita berusia lebih dari 40 tahun. Tumor ini paling

sering memberikan gejala klinis antara 35 – 45 tahun.

2. Paritas :

Lebih sering terjadi pada nullipara atau pada wanirta yang relatif

infertil, tetapi sampai saat ini belum diketahui apakan infertilitas

menyebabkan mioma uteri atau sebaliknya mioma uteri yang

menyebabkan infertilitas, atau apakah kedua keadaan ini saling

mempengaruhi.

3. Faktor ras dan genetik :

Pada wanita ras tertentu, khususnya wanita berkulit hitam, angka

kejadian mioma uteri tinggi. Terlepas dari faktor ras, kejadian tumor ini

tinggi pada wanita dengan riwayat keluarga ada yang menderita mioma.

2.5 Manifestasi Klinis

Gejala klinik mioma uteri adalah:


1) Perdarahan tidak normal

10
Merupakan gejala yang paling umum dijumpai. Gangguan

perdarahan yang terjadi umumnya adalah: menoragia, dan metrorargia.

Beberapa faktor yang menjadi penyebab perdarahan ini antara lain

adalah: pengaruh ovarium sehingga terjadilah hiperplasia endometrium,

permukaan endometrium yang lebih luas dari pada biasa, atrofi

endometrium, dan gangguan kontraksi otot rahim karena adanya sarang

mioma di antara serabut miometrium, sehingga tidak dapat menjepit

pembuluh darah yang melaluinya dengan baik. Akibat perdarahan

penderita dapat mengeluh anemis karena kekurangan darah, pusing, cepat

lelah, dan mudah terjadi infeksi

a. Hipermenorea perdarahan banyak saat menstruasi

b. Meluasnya permukaan endometrium dalam proses

menstruasi

c. Gangguan kontraksi otot rahim

d. Perdarahan berkepanjangan

Akibat perdarahan penderita dapat mengeluh anemis

karena kekurangan darah, pusing, cepat lelah dan mudah

terjadi infeksi.

2) Penekanan rahim yang membesar

Penekanan rahim karena pembesaran mioma uteri dapat terjadi:

a. Terasa berat di abdomen bagian bawah

b. Sukar miksi atau defekasi

c. Terasa nyeri karena tertekannya urat syaraf

11
Gangguan ini tergantung dari besar dan tempat mioma uteri.

Penekanan pada kandung kemih akan menyebabkan poliuria, pada uretra

dapat menyebabkan retensio urine, pada ureter dapat menyebabkan

hidroureter dan hidronefrosis, pada rektum dapat menyebabkan obstipasi

dan tenesmia, pada pembuluh darah dan pembuluh limfe di panggul

dapat menyebabkan edema tungkai dan nyeri panggul.

3) Gangguan pertumbuhan dan perkembangan kehamilan

Kehamilan dengan disertai mioma uteri menimbulkan proses saling

mempengaruhi:

a. Kehamilan dapat mengalami keguguran

b. Persalinan prematurus

c. Gangguan saat proses persalinan

d. Tertutupnya saluran indung telur menimbulkan infertilitas

e. Kala ke tiga terjadi gangguan pelepasan plasenta dan

perdarahan

2.6 Patofisiologi

Mioma memiliki reseptor estrogen yang lebih banyakdibanding

miometrium normal. Teori “Cell Nest” atau teori “Genitoblat” membuktikan

dengan pemberian estrogen ternyata menimbulkan tumor fibromatosa yang

berasal dari sel imatur. Mioma uteri terdiri dari otot polos dan jaringan yang

tersusun seperti konde diliputi pseudokapsul. Mioma uteri lebih sering

ditemukan pada nulipara, faktor keturunan juga berperan. Perubahan

12
sekunder pada mioma uteri sebagian besar bersifat degeneratif karena

berkurangnya aliran darah ke mioma uteri. Menurut letaknya, mioma terdiri

dari mioma submukosum, intramuskular dan subserosum.

Ammature muscle cell nest dalam miometrium akan berproliferasi

hal tersebut diakibatkan oleh rangsangan hormon estrogen. ukuran myoma

sangat bervariasi. sangat sering ditemukan pada bagian body uterus

(corporeal) tapi dapat juga terjadi pada servik. Tumot subcutan dapat tumbuh

diatas pembuluh darah endometrium dan menyebabkan perdarahan. Bila

tumbuh dengan sangat besar tumor ini dapat menyebabkan penghambat

terhadap uterus dan menyebabkan perubahan rongga uterus. Pada beberapa

keadaan tumor subcutan berkembang menjadi bertangkai dan menonjol

melalui vagina atau cervik yang dapat menyebabkan terjadi infeksi atau

ulserasi. Tumor fibroid sangat jarang bersifat ganas, infertile mungkin terjadi

akibat dari myoma yang mengobstruksi atau menyebabkan kelainan bentuk

uterus atau tuba falofii. Myoma pada badan uterus dapat menyebabkan

aborsi secara spontan, dan hal ini menyebabkan kecilnya pembukaan cervik

yang membuat bayi lahir sulit.

2.7 Pemeriksaan Penunjang

Menurut Mansjoer (2002), pemeriksaan yang dilakukan pada kasus Mioma


Uteri adalah :

1. Pemeriksaan Darah Lengkap : Hb turun, Albumin turun, Lekosit

turun/meningkat, Eritrosit turun.

2. USG (Ultrasonografi) : terlihat massa pada daerah uterus.

13
3. Vaginal Toucher : didapatkan perdarahan pervaginam, teraba massa,

konsistensi dan ukurannya.

4. Sitologi : menentukan tingkat keganasan dari sel-sel neoplasma

tersebut.

5. Rontgen : untuk mengetahui kelainan yang mungkin ada yang dapat

menghambat tindakan operasi.

6. ECG : Mendeteksi kelainan yang mungkin terjadi, yang dapat

mempengaruhi tindakan operasi.

7. Ultrasonografi

Ultrasonografi transabdominal dan transvaginal bermanfaat dalam

menetapkan adanya Mioma Uteri. Ultrasonografi transvaginal terutama

bermanfaat pada uterus yng kecil. Uterus atau massa yang paling besar

paling baik diobservasi melalui ultrasonografi transabdominal. Mioma

Uteri secara khas menghasilkan gambaran ultrasonografi yang

mendemonstrasikan irregularitas kontur maupun pembesaran uterus.

Adanya klasifikasi ditandai oleh fokus-fokus hiperekoik dengan

bayangan akustik. Degenerasi kistik ditandai adanya daerah yang

hipoekoik.

8. Histeroskopi

Dengan pemeriksaan ini dapat dilihat adanya Mioma Uteri submukosa,

jika tumornya kecil serta bertangkai. Tumor tersebut sekaligus dapat

diangkat.

9. MRI (Magnetic Resonance Imaging)

14
MRI sangat akurat dalam menggambarkan jumlah,ukuran dan lokasi

mioma, tetapi jarang diperlukan. Pada MRI, mioma tampak sebagai

massa gelap terbatas tegas dan dapat dibedakan dari miometrium yang

normal. MRI dapat mendeteksi lesi sekecil 3 mm yang dapat dilokalisasi

dengan jelas, termasuk mioma submukosa. MRI dapat menjadi alternatif

ultrasonografi pada kasus -kasus yang tidak dapat disimpulkan.

2.8 Komplikasi
1. Perdarahan sampai terjadi anemia

2. Torsi ( putaran tungkai mioma ) dari :

1) Mioma uteri, subsemsa

2) Mioma uteri subumatosa

Sarang mioma yang bertangkai dapat mengalami torsi, timbul

gangguans irkulasi akut sehingga mengalami nekrosis. Dengan demikian

terjadilah syndrome abdomen akut. Jika torsi terjadi perlahan-lahan

gangguan akut tidak terjadi. Hal ini hendaknya dibedakan dengan suatu

keadaan dimana terdapat banyak sarang mioma dalam rongga peritoneum.

Sarang mioma dapat mengalami nekrosis dan infeksi yang

diperkirakan karena gangguan sirkulasi darah padanya. Misalnya terjadi pada

mioma yang menyebabkan perdarahan berupa metroragia disertai leukore

dan gangguan-gangguan yang disebabkan oleh infeksi dari uterus sendiri

3. Nekrosis dan infeksi, setelah torsi dapat terjadi nekrosis dan infeksi

4. Pengaruh timbale balik mioms dan kehamilan

15
1) Pengaruh mioma terhadap kehamilan

2) Infeksi

3) Abortus

4) Persalinan premature dan kelaianan letak

5) Infeksia uteria

6) Gangguan jalan persalinan

7) Retensi plasenta

2.9 Penatalaksaaan
Penatalaksanaan yang dapat dilakukan ada dua macam yaitu :

1. Penatalaksanaan koservatif sebagai berikut :

a. Observasi dengan pemeriksaan pelvis secara periodik setiap

3-6 bulan

b. anemia, Hb < 89 % tranfusi PRC

c. Pemberian zat besi

d. Penggunaan agonis GnRH lenprotid asetat 3,75 mg 1M pada

hari 1-3 menstruasi setiap minggu sebanyak 3 kali. Obat ini

mengakibatkan pengerutan tumor dan menghilangkan gejala.

Obat ini menekan sekresi genedropin dan menciptakan

keadaan hipohistrogonik yang serupa yang ditekankan pada

periode postmenopause efek maksimum dalam mengurangi

ukuran tumor diobservasi dalam 12 minggu. Terapi GnRH .

Ini dapat pula diberikan sebelum pembedahan, karena

memberikan beberapa keuntungan , mengurangi kehilangan

16
darah selama pembedahan, dan dapat mengurangi kebutuhan

akan transfuse darah, namun obat ini menimbulkan

kehilangan masa tulang meningkat dan osteoporosis pada

waktu tersebut.

2. Penatalaksanaan operatif bila

a. Ukuran tumor lebih besar dari ukuran uterus 12-14 minggu

b. Pertumbuhan tumor ceppat

c. Mioma subserosa, bertangkai, dan torsi

d. Bila dapat menjadi penyulit pada kehamilan berikutnya

e. Hipermenoria pada mioma submukosa

f. Penekanan pada organ sekitarnya

3. Radioterapi.

a. Hanya dilakukan pada wanita yang tidak dapat dioperasi (bad

risk patient).

b. Uterus harus lebih kecil dari kehamilan 3 bulan.

c. Bukan mioma jenis submukosa

d. Tidak disertai radang pelvis, atau penekanan pada rectum.

e. Tidak dilakukan pada wanita muda, sebab dapat

menyebabkan menopause.

4. Operasi

a. Miomektomi

Miomektomi adalah pengambilan sarang mioma tanpa

pengangkatan rahim/uterus (Rayburn, 2001). Miomektomi lebih

17
sering di lakukan pada penderita mioma uteri secara umum.

Miomektomi dilakukan pada wanita yang masih menginginkan

keturunan. Syaratnya harus dilakukan kuretase dulu, untuk

menghilangkan kemungkinan keganasan.

KERUGIAN:

a) Melemahkan dinding uterus, sehingga dapat menyebabkan

rupture uteri pada waktu hamil.

b) Menyebabkan perlekatan.

c) Residif.

b. Histerektomi/ Pengangkatan Rahim

Histerektomi adalah tindakan operatif yang dilakukan untuk

mengangkat rahim, baik sebagian (subtotal) tanpa serviks uteri

ataupun seluruhnya (total) berikut serviks uteri (Prawirohardjo,

2001).

Histerektomi dapat dilakukan bila pasien tidak menginginkan

anak lagi, dan pada penderita yang memiliki mioma yang

simptomatik atau yang sudah bergejala. Histrektomi dilakukan

pada mioma yang ukurannya besar dan multipel. Pada wanita

muda sebaiknya ditinggalkan satu atau kedua ovarium,

maksudnya adalah untuk menjaga agar tidak terjadi menopause

sebelum waktunya dan menjaga gangguan coronair atau

arteriosklerosis umum. Sebaiknya dilakukan histerektomi total,

kecuali bila keadaan tidak mengijinkan bisa dilakukan


18
histerektomi supravaginal. Untuk menjaga kemungkinan

keganasan pada cervix, sebaiknya dilakukan pap smear pada

waktu tertentu.

Ada dua cara histerektomi, yaitu :

1) Histerektomi abdominal, dilakukan bila tumor besar

terutama mioma intraligamenter, torsi dan akan dilakukan

ooforektomi

2) Histerektomi vaginal, dilakukan bila tumor kecil

(ukuran < uterus gravid 12 minggu) atau disertai dengan

kelainan di vagina misalnya rektokel, sistokel atau

enterokel (Callahan, 2005).

Kriteria menurut American College of Obstetricians

Gynecologists (ACOG) untuk histerektomi adalah sebagai

berikut:

1) Terdapatnya 1 sampai 3 mioma asimptomatik atau yang

dapat teraba dari luar dan dikeluhkan oleh pasien.

2) Perdarahan uterus berlebihan, meliputi perdarahan yang

banyak dan bergumpal-gumpal atau berulang-ulang

selama lebih dari 8 hari dan anemia akibat kehilangan

darah akut atau kronis.

3) Rasa tidak nyaman di pelvis akibat mioma uteri meliputi

nyeri hebat dan akut, rasa tertekan punggung bawah atau

perut bagian bawah yang kronis dan penekanan pada


19
vesika urinaria mengakibatkan frekuensi miksi yang

sering (Chelmow, 2005).

2.10 Pencegahan

1. Pencegahan Primordial

Pencegahan ini dilakukan pada perempuan yang belum menarche

atau sebelum terdapat resiko mioma uteri. Upaya yang dapat dilakukan yaitu

dengan mengkonsumsi makanan yang tinggi serat seperti sayuran dan buah.

2. Pencegahan Primer

Pencegahan primer merupakan awal pencegahan sebelum seseorang

menderita mioma. Upaya pencegahan ini dapat dilakukan dengan

penyuluhan mengenai faktor-faktor resiko mioma terutama pada kelompok

yang beresiko yaitu wanita pada masa reproduktif. Selain itu tindakan

pengawasan pemberian hormone estrogen dan progesteron dengan memilih

pil KB kombinasi (mengandung estrogen dan progesteron), pil kombinasi

mengandung estrogen lebih rendah dibanding pil sekuensil, oleh karena

pertumbuhan mioma uteri berhubungan dengan kadar estrogen .

3. Pencegahan Sekunder

Pencegahan sekunder ditujukan untuk orang yang telah terkena mioma

uteri, tindakan ini bertujuan untuk menghindari terjadinya komplikasi.

Pencegahan yang dilakukan adalah dengan melakukan diagnosa dini dan

pengobatan yang tepat.

4. Pencegahan Tertier

20
Pencegahan tersier adalah upaya yang dilakukan setelah penderita

melakukan pengobatan. Umumnya pada tahap pencegahan ini adalah berupa

rehabilitasi untuk meningkatkan kualitas hidup dan mencegah timbulnya

komplikasi. Pada dasarnya hingga saat ini belum diketahui penyebab tunggal

yang menyebabkan mioma uteri, namun merupakan gabungan beberapa

faktor atau multifaktor. Tindakan yang dilakukan adalah dengan

meningkatkan kualitas hidup dan mempertahankannya. Penderita pasca

operasi harus mendapat asupan gizi yang cukup dalam masa pemulihannya.

2.11 Anestesi Spinal


2.2.1 Definisi Anestesi Spinal
Anestesi blok subaraknoid atau biasa disebut anestesi spinal
adalah tindakan anestesi dengan memasukkan obat analgetik ke
dalam ruang subaraknid di daerah vertebra lumbalis yang kemudian
akan terjadi hambatan rangsang sensoris mulai dari vertebra thorakal.
2.2.2 Indikasi Anestesi Spinal
Untuk pembedahan daerah tubuh yang dipersarafi cabang T4
kebawah (daerah papila mamae kebawah ). Dengan durasi operasi
yang tidak terlalu lama, maksimal 2-3 jam.
2.2.3 Kontra Indikasi
Kontra indikasi pada teknik anestesi subaraknoid blok terbagi
menjadi dua yaitu kontra indikasi absolut dan relatif.
Kontra indikasi absolut :
 Infeksi pada tempat suntikan. : infeksi pada sekitar tempat suntikan
bisa menyebabkan penyebaran kuman ke dalam rongga subdural.
 Hipovolemia berat karena dehidrasi, perdarahan, muntah ataupun
diare : karena pada anestesi spinal bisa memicu terjadinya
hipovolemia.
 Koagulapati atau mendapat terapi koagulan.

21
 Tekanan intrakranial meningkat : dengan memasukkan obat kedalam
rongga subaraknoid, maka bisa makin menambah tinggi tekanan
intracranial, dan bisa menimbulkan komplikasi neurologis.
 Fasilitas resusitasi dan obat-obatan yang minim : pada anestesi spinal
bisa terjadi komplikasi seperti blok total, reaksi alergi dan lain-lain,
maka harus dipersiapkan fasilitas dan obat emergensi lainnya.
 Kurang pengalaman tanpa didampingi konsulen anestesi : hal ini
dapat menyebabkan kesalahan seperti misalnya cedera pada medulla
spinalis, keterampilan dokter anestesi sangat penting.
 Pasien menolak.
Kontra indikasi relatif :
 Infeksi sistemik : jika terjadi infeksi sistemik, perlu diperhatikan
apakah diperlukan pemberian antibiotic. Perlu dipikirkan
kemungkinan penyebaran infeksi.
 Infeksi sekitar tempat suntikan : bila ada infeksi di sekitar tempat
suntikan bisa dipilih lokasi yang lebih kranial atau lebih kaudal.
 Kelainan neurologis : perlu dinilai kelainan neurologis sebelumnya
agar tidak membingungkan antara efek anestesi dan defisit neurologis
yang sudah ada pada pasien sebelumnya.
 Kelainan psikis.
 Bedah lama : Masa kerja obat anestesi lokal adalah kurang lebih 90-
120 menit, bisa ditambah dengan memberi adjuvant dan durasi bisa
bertahan hingga 150 menit.
 Penyakit jantung : perlu dipertimbangkan jika terjadi komplikasi ke
arah jantung akibat efek obat anestesi lokal.
 Hipovolemia ringan : sesuai prinsip obat anestesi, memantau
terjadinya hipovolemia bisa diatasi dengan pemberian obat-obatan
atau cairan nyeri punggung kronik : kemungkinan pasien akan sulit
saat diposisikan. Hal ini berakibat sulitnya proses penusukan dan
apabila dilakukan berulang-ulang, dapat membuat pasien tidak
nyaman.

22
2.2.4 Penilaian dan Persiapan Pra Anestesi
Pasien yang akan menjalani anestesi dan pembedahan
(elektif/darurat) harus dipersiapkan dengan baik. Kunjungan pra
anestesi pada bedah elektif dilakukan 1-2 hari sebelumnya, dan pada
bedah darurat sesingkat mungkin. Kunjungan pra anestesi pada pasien
yang akan menjalani operasi dan pembedahan baik elektif dan darurat
mutlak harus dilakukan untuk keberhasilan tindakan tersebut. Adapun
tujuan kunjungan pra anestesi adalah:
1. Mempersiapkan mental dan fisik secara optimal.
2. Merencanakan dan memilih teknik serta obat-obat anestesi yang
sesuai dengan fisik dan kehendak pasien.
3. Menentukan status fisik dengan klasifikasi ASA (American
Society Anesthesiology):
ASA I : Pasien normal sehat, kelainan bedah terlokalisir,
tanpa kelainan faal, biokimiawi, dan psikiatris.
Angka mortalitas 2%.
ASA II : Pasien dengan gangguan sistemik ringan sampai
dengan sedang sebagai akibat kelainan bedah atau
proses patofisiologis. Angka mortalitas 16%.
ASA III : Pasien dengan gangguan sistemik berat sehingga
aktivitas harian terbatas. Angka mortalitas 38%.
ASA IV : Pasien dengan gangguan sistemik berat yang
mengancam jiwa, tidak selalu sembuh dengan
operasi. Misal : insufisiensi fungsi organ, angina
menetap. Angka mortalitas 68%.
ASA V : Pasien dengan kemungkinan hidup kecil. Tindakan
operasi hampir tak ada harapan. Tidak diharapkan
hidup dalam 24 jam tanpa operasi / dengan
operasi. Angka mortalitas 98%.
ASA VI : Pasien mati otak yang organ tubuhnya akan diambil
(didonorkan).

23
Untuk operasi cito, ASA ditambah huruf E (Emergency)
terdiri dari kegawatan otak, jantung, paru, ibu dan anak.
Adapun penilaian yang dilakukan sebelum operasi
diantaranya adalah sebagai berikut :
1. Anamnesis
a. Identifikasi pasien yang terdiri dari nama, umur, alamat, dll.
b. Keluhan saat ini dan tindakan operasi yang akan dihadapi.
c. Riwayat penyakit yang sedang/pernah diderita yang dapat
menjadi penyulit anestesi seperti alergi, diabetes melitus,
penyakit paru kronis (asma bronkhial, pneumonia, bronkhitis),
penyakit jantung, hipertensi, dan penyakit ginjal.
d. Riwayat obat-obatan yang meliputi alergi obat, intoleransi
obat, dan obat yang sedang digunakan dan dapat menimbulkan
interaksi dengan obat anestetik seperti kortikosteroid, obat
antihipertensi, antidiabetik, antibiotik, golongan aminoglikosid,
dan lain lain.
e. Riwayat anestesi dan operasi sebelumnya yang terdiri dari
tanggal, jenis pembedahan dan anestesi, komplikasi dan
perawatan intensif pasca bedah.
f. Riwayat kebiasaan sehari-hari yang dapat mempengaruhi
tindakan anestesi seperti merokok, minum alkohol, obat
penenang, narkotik.
g. Riwayat keluarga yang menderita kelainan seperti
hipertensi maligna.
h. Riwayat berdasarkan sistem organ yang meliputi keadaan
umum, pernafasan, kardiovaskular, ginjal, gastrointestinal,
hematologi, neurologi, endokrin, psikiatrik, ortopedi dan
dermatologi.
2. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik dilakukan meliputi daerah kulit tempat
penyuntikan untuk menyingkirkan adanya kontraindikasi seperti

24
infeksi. Perhatikan juga adanya gangguan anatomis seperti
scoliosis atau kifosis, atau pasien terlalu gemuk sehingga tonjolan
processus spinosus tidak teraba.
3. Pemeriksaan laboratorium dan penunjang lain
a. Lab rutin :
1) Pemeriksaan lab. Darah
2) Urine : protein, sedimen, reduksi
3) Foto rongten ( thoraks )
4) EKG
b. Pemeriksaan khusus, dilakukan bila ada indikasi :
1) EKG pada anak
2) Spirometri pada tumor paru
3) Tes fungsi hati pada ikterus
4) Fungsi ginjal pada hipertensi

2.2.5 Obat-Obatan Anestesi Spinal


Obat-obatan pada anestesi spinal pada prinsipmnya
merupakan obat anestesi lokal. Anestetik lokal adalah obat yang
menghambat hantaran saraf bila dikenakan pada jaringan saraf
dengan kadar cukup. Paralisis pada sel saraf akibat anestesi lokal
bersifat reversible.
Obat anestesi lokal yang ideal sebaiknya tidak bersifat iritan
terhadap jaringan saraf. Batas keamanan harus lebar, dan onset dari
obat harus sesingkat mungkin dan masa kerja harus cukup lama. Zat
anestesi lokal ini juga harus larut dalam air. Terdapat dua golongan
besar pada obat anestesi lokal yaitu golongan amid dan golongan
ester. Keduanya hampir memiliki cara kerja yang sama namun hanya
berbeda pada struktur ikatan kimianya. Mekanisme kerja anestesi
local ini adalah menghambat pembentukan atau penghantaran impuls
saraf. Tempat utama kerja obat anestesi lokal adalah di membrane sel.

25
Kerjanya adalah mengubah permeabilitas membrane pada kanal Na+
sehingga tidak terbentuk potensial aksi yang nantinya akan
dihantarkan ke pusat nyeri.
Berat jenis cairan cerebrospinal (LCS) pada 37 oC adalah
1.003-1.008. Anastetik lokal dengan berat jenis sama dengan LCS
disebut isobaric. Anastetik lokal dengan berat jenis lebih besar dari
LCS disebut hiperbarik. Anastetik lokal dengan berat jenis lebih kecil
dari LCS disebut hipobarik. Anastetik lokal yang sering digunakan
adalah jenis hiperbarik diperoleh dengan mencampur anastetik lokal
dengan dextrose. Untuk jenis hipobarik biasanya digunakan tetrakain
diperoleh dengan mencampur dengan air injeksi.
Berikut adalah beberapa contoh sediaan yang terdapat di
Indonesia dan umum digunakan :
 Lidokaine 5% dalam dextrose 7.5%: berat jenis 1.003, sifat
hyperbaric, dosis 20-50mg(1-2ml).
 Bupivacaine 0.5% dlm air: berat jenis 1.005, sifat isobaric,
dosis 5-20mg.
 Bupivacaine 0.5% dlm dextrose 8.25%: berat jenis 1.027,
sifat hiperbarik,dosis 5-15mg(1-3ml).
Obat Anestesi lokal memiliki efek tertentu di setiap system
tubuh manusia. Berikut adalah beberapa pengaruh pada system tubuh
yang nantinya harus diperhatikan saat melakukan anesthesia spinal.
1. Sistem Saraf : Pada dasarnya sesuai dengan prinsip kerja dari obat
anestesi lokal, menghambat terjadinya potensial aksi. Maka pada
system saraf akan terjadi paresis sementara akibat obat sampai
obat tersebut dimetabolisme.
2. Sistem Respirasi : Jika obat anestesi local berinteraksi dengan
saraf yang bertanggung jawab untuk pernafasan seperti nervus
frenikus, maka bisa menyebabkan gangguan nafas karena
kelumpuhan otot nafas.

26
3. Sistem Kardiovaskular : Obat anestesi lokal dapat menghambat
impuls saraf. Jika impuls pada system saraf otonom terhambat
pada dosis tertentu, maka bisa terjadi henti jantung. Pada dosis
kecil dapat menyebabkan bradikardia.
4. Jika dosis yang masuk pembuluh darah cukup banyak, dapat
terjadi aritmia, hipotensi, hingga henti jantung. Maka sangat
penting diperhatikan untuk melakukan aspirasi saat menyuntikkan
obat anestesi lokal agar tidak masuk ke pembuluh darah.
5. Sistem Imun : Karena anestesi lokal memiliki gugus amin, maka
memungkinkan terjadi reaksi alergi. Penting untuk mengetahui
riwayat alergi pasien. Pada reaksi lokal dapat terjadi reaksi
pelepasan histamine seperti gatal, edema, eritema. Apabila tidak
sengaja masuk ke pembuluh darah, dapat menyebabkan reaksi
anafilaktik.
6. Sistem Muskular : obat anestetik lokal bersifat miotoksik. Apabila
disuntikkan langsung kedalam otot maka dapat menimbulkan
kontraksi yang tidak teratur, bisa menyebabkan nekrosis otot.
7. Sistem Hematologi : obat anestetik dapat menyebabkan gangguan
pembekuan darah. Jika terjadi perdarahan maka membutuhkan
penekanan yang lebih lama saat menggunakan obat anestesi lokal.
Dalam penggunaan obat anestesi lokal, dapat ditambahkan
dengan zat lain atau adjuvant . Zat tersebut mempengaruhi kerja dari
obat anestesi lokal khususnya pada anestesi spinal. Tambahan yang
sering dipakai adalah :
1. Vasokonstriktor : Vasokonstriktor sebagai adjuvant pada anestesi
spinal dapat berfungsi sebagai penambah durasi. Hal ini didasari
oleh mekanisme kerja obat anestesi lokal di ruang subaraknoid.
Obat anestesi local dimetabolisme lambat di dalam rongga
subaraknoid. Dan proses pengeluarannya sangat bergantung
kepada pengeluaran oleh vena dan saluran limfe. Penambahan
obat vasokonstriktor bertujuan memperlambat clearance obat dari

27
rongga subaraknoid sehingga masa kerja obat menjadi lebih
lama.
2. Obat Analgesik Opioid : digunakan sebagai adjuvant untuk
mempercepatnonset terjadinya fase anestetik pada anestesi
spinal. Analgesic opioid misalnyanfentanyl adalah obat yang
sangat cepat larut dalam lemak. Hal ini sejalan dengan struktur
pembentuk saraf adalah lemak. Sehingga penyerapan obat
anestesi local menjadi semakin cepat. Penelitian juga menyatakan
bahwa penambahan analgesic opioid pada anestesi spinal
menambah efek anestesi post-operasi.
3. Klonidin : Pemberian klonidin sebagai adjuvant pada anestesi
spinal dapat menambah durasi pada anestesi. Namun perlu
diperhatikan karena klonidin adalah obat golongan Alfa 2
Agonis, maka harus diwaspadai terjadinya hipotensi akibat
vasodilatasi dan penurunan heart rate.
Dosis obat anestesi regional yang lazim digunakan untuk
melakukan anestesi spinal terdapat pada tabel dibawah ini.
Tabel 1 : Dosis Obat Untuk Anestesi Spinal

2.2.6 Teknik Anestesi Spinal


Posisi duduk atau posisi tidur lateral dekubitus dengan
tusukan pada garis tengah ialah posisi yang paling sering dikerjakan.

28
Biasanya dikerjakan di atas meja operasi tanpa dipindah lagi dan
hanya diperlukan sedikit perubahan posisi pasien.
1. Pasang IV line. Berikan Infus Dextrosa/NaCl/Ringer laktat
sebanyak 500 - 1500 ml (pre-loading).
2. Oksigen diberikan dengan kanul hidung 2-4 L/Menit.
3. Setelah dipasang alat monitor, pasien diposisikan dengan baik.
Dapat menggunakan 2 jenis posisi yaitu posisi duduk dan
berbaring lateral.
4. Raba krista. Perpotongan antara garis yang menghubungkan
kedua krista iliaka dengan tulang punggung ialah L4 atau L4-L5.
5. Palpasi di garis tengah akan membantu untuk mengidentifikasi
ligamen interspinous.
6. Cari ruang interspinous. Pada pasien obesitas anda mungkin
harus menekan cukup keras untuk merasakan prosesus spinosus.
7. Sterilkan tempat tusukan dengan betadine atau alkohol.
8. Beri anastesi lokal pada tempat tusukan, misalnya dengan
lidokain 1-2% 2-3ml
9. Cara tusukan adalah median atau paramedian. Untuk jarum
spinal besar 22G, 23G atau 25G dapat langsung digunakan.
Sedangkan untuk jarum kecil 27G atau 29G dianjurkan
menggunakan penuntun jarum (introducer), yaitu jarum suntik
biasa 10cc. Jarum akan menembus kutis, subkutis, ligamentum
supraspinosum, ligamentum interspinosum, ligamentum flavum,
epidural, duramater, subarachnoid. Setelah mandrin jarum spinal
dicabut, cairan serebrospinal akan menetes keluar. Selanjutnya
disuntikkan obat analgesik ke dalam ruang arachnoid tersebut.

29
Gambar 7 : Posisi Lateral pada Spinal Anestesi

Gambar 8 : Posisi Duduk pada Spinal Anestesi

Teknik penusukan bisa dilakukan dengan dua pendekatan yaitu median dan
paramedian.Pada teknik medial, penusukan dilakukan tepat di garis tengah dari
sumbu tulang belakang. Pada tusukan paramedial, tusukan dilakukan 1,5cm lateral
dari garis tengah dan dilakukan tusukan sedikit dimiringkan ke kaudal.
30
Gambar 9 : Tusukan Medial dan Paramedial

Setelah melakukan penusukan, tindakan berikutnya adalah melakukan monitoring.


Tinggi anestesi dapat dinilai dengan memberikan rangsang pada dermatom di kulit.
Penilaian berikutnya yang sangat bermakna adalah fungsi motoric pasien dimana
pasien merasa kakinya tidak bisa digerakkan, kaki terasa hangat, kesemutan, dan
tidak terasa saat diberikan rangsang.Hal yang perlu diperhatikan lagi adalah
pernapasan, tekanan darah dan denyut nadi.Tekanandarah bisa turun drastis akibat
spinal anestesi, terutama terjadi pada orang tua yang belumdiberikan loading cairan.
Hal itu dapat kita sadari dengan melihat monitor dan keadaan umumpasien. Tekanan
darah pasien akan turun, kulit menjadi pucat, pusing,mual, berkeringat.

31
Gambar 10 : Lokasi Dermatom Sensoris

2.2.7 Komplikasi Tindakan Anestesi Spinal


Saat melakukan anestesi spinal ada beberapa komplikasi yang
harus diperhatikan.Sesuai dengan kerja obat dan pengaruhnya pada
siste tubuh seperti. Beberapa komplikasi tersebut diantaranya adalah :

1. Komplikasi Kardiovaskular
Insiden terjadi hipotensi akibat anestesi spinal adalah 10-40%.
Hipotensi terjadi karena vasodilatasi, akibat blok simpatis, yang
menyebabkan terjadi penurunan tekanan arteriola sistemik dan
vena, makin tinggi blok makin berat hipotensi. Cardiac output
akan berkurang akibat dari penurunan venous return. Hipotensi
yang signifikan harus diobati dengan pemberian cairan intravena

32
yang sesuai dan penggunaan obat vasoaktif seperti efedrin atau
fenilefedrin.Cardiac arrest pernah dilaporkan pada pasien yang
sehat pada saat dilakukan anestesi spinal.Henti jantung bisa
terjadi tiba-tiba biasanya karena terjadi bradikardia yang berat
walaupun hemodinamik pasien dalam keadaan yang stabil. Pada
kasus seperti ini,hipotensi atau hipoksia bukanlah penyebab
utama dari cardiac arrest tersebut tapi ia merupakan dari
mekanisme reflek bradikardi dan asistol yang disebut reflek
Bezold-Jarisch. Pencegahan hipotensi dilakukan dengan
memberikan infuse cairan kristaloid (NaCl, Ringerlaktat) secara
cepat sebanyak 10-15ml/kgbb dalam 10 menit segera setelah
penyuntikan anesthesia spinal. Bila dengan cairan infuse cepat
tersebut masih terjadi hipotensi harus diobati dengan vasopressor
seperti efedrin intravena sebanyak 19 mg diulang setiap 3-4
menit sampai mencapai tekanan darah yang dikehendaki.
Bradikardia dapat terjadi karena aliran darah balik berkurang atau
karena blok simpatis,dapat diatasi dengan sulfas atropine 1/8-
1/4mg IV.
2. Blok Tinggi atau Total
Anestesi spinal tinggi atau total terjadi karena akibat dari
kesalahan perhitungan dosis yang diperlukan untuk satu suntikan.
Komplikasi yang bisa muncul dari hal ini adalah hipotensi, henti
nafas, penurunan kesadaran, paralisis motor, dan jika tidak
diobati bisa menyebabkan henti jantung. Akibat blok simpatetik
yang cepat dan dilatasi arterial dan kapasitas pembuluh darah
vena, hipotensi adalah komplikasi yang paling sering terjadi pada
anestesi spinal. Hal ini menyebabkan terjadi penurunan sirkulasi
darah ke organ vital terutama otak dan jantung, yang cenderung
menimbulkan sequel lain. Penurunan sirkulasi ke serebral
merupakan faktor penting yang menyebabkan terjadi henti nafas
pada anestesi spinal total. Walau bagaimanapun, terdapat

33
kemungkinan pengurangan kerja otot nafas terjadi akibat dari
blok pada saraf somatic interkostal. Aktivitas saraf phrenikus
biasanya dipertahankan.Berkurangnya aliran darah ke serebral
mendorong terjadinya penurunan kesadaran. Jika hipotensi ini
tidak di atasi, sirkulasi jantung akan berkurang seterusnya
menyebabkan terjadi iskemik miokardiak yang mencetuskan
aritmia jantung dan akhirnya menyebakan henti jantung.
Pengobatan yang cepat sangat penting dalam mencegah
terjadinya keadaan yang lebih serius, termasuk pemberian cairan,
vasopressor, dan pemberian oksigen bertekanan positif.Setelah
tingkat anestesi spinal berkurang, pasien akan kembali ke
kedaaan normal seperti sebelum operasi. Namun, tidak ada
sequel yang permanen yang disebabkan oleh komplikasi ini jika
diatasi dengan pengobatan yang cepat dan tepat.
3. Komplikasi Sistem Respirasi
Beberapa hal yang perlu diperhatikan dari system respirasi saat
melakukan anestesi spinal adalah :
 Analisa gas darah cukup memuaskan pada blok spinal tinggi, bila
fungsi paru-paru normal.
 Penderita PPOM atau COPD merupakan kontra indikasi untuk
blok spinal tinggi.
 Apnoe dapat disebabkan karena blok spinal yang terlalu tinggi
atau karena hipotensi berat dan iskemia medulla.
 Kesulitan bicara,batuk kering yang persisten,sesak
nafas,merupakan tanda-tanda tidak adekuatnya pernafasan yang
perlu segera ditangani dengan pernafasan buatan.
4. Komplikasi Gastointestinal
Nausea dan muntah karena hipotensi,hipoksia,tonus parasimpatis
berlebihan,pemakaian obat narkotik,reflek karena traksi pada
traktus gastrointestinal serta komplikasi delayed,pusing kepala
pasca pungsi lumbal merupakan nyeri kepala dengan ciri khas

34
terasa lebih berat pada perubahan posisi dari tidur ke posisi
tegak. Mulai terasa pada 24-48jam pasca pungsi lumbal,dengan
kekerapan yang bervariasi.Pada orang tua lebih jarang dan pada
kehamilan meningkat.Untuk menangani komplikasi ini dapat
diberikan obat tambahan yaitu ondansetron atau diberikan
ranitidine.
5. Nyeri Kepala (Puncture Headache)
Komplikasi yang paling sering dikeluhkan oleh pasien adalah
nyeri kepala.Nyeri kepala inibisa terjadi selepas anestesi spinal
atau tusukan pada dural pada anestesi epidural.Insidenterjadi
komplikasi ini tergantung beberapa faktor seperti ukuran jarum
yang digunakan.Semakin besar ukuran jarum semakin besar
resiko untuk terjadi nyeri kepala.Selain itu,insidensi terjadi nyeri
kepala juga adalah tinggi pada wanita muda dan pasien yang
dehidrasi.Nyeri kepala post suntikan biasanya muncul dalam 6 –
48 jam selepas suntikan anestesi spinal. Nyeri kepala yang
berdenyut biasanya muncul di area oksipital dan menjalar ke
retroorbital, dan sering disertai dengan tanda diplopia, mual, dan
muntah. Tanda yang paling signifikan nyeri kepala spinal adalah
nyeri makin bertambah bila pasien dipindahkan atau berubah
posisi dari tiduran/supinasi ke posisi duduk, dan akan berkurang
atau hilang total bila pasien tiduran. Terapi konservatif dalam
waktu 24 –48 jam harus dicoba terlebih dahulu seperti tirah
baring, rehidrasi (secara cairan oral atau intravena),analgesic, dan
suport yang kencang pada abdomen. Tekanan pada vena cava
akan menyebabkan terjadi perbendungan dari plexus vena pelvik
dan epidural, seterusnya menghentikan kebocoran dari cairan
serebrospinal dengan meningkatkan tekanan extradural.Jika
terapi konservatif tidak efektif, terapi yang aktif seperti suntikan
salin ke dalam epidural untuk menghentikan kebocoran.
6. Komplikasi Sistem Respirasi

35
Komplikasi yang kedua paling sering adalah nyeri punggung
akibat dari tusukan jarum yang menyebabkan trauma pada
periosteal atau ruptur dari struktur ligament dengan atau tanpa
hematoma intraligamentous. Nyeri punggung akibat dari trauma
suntikan jarum dapat di obatisecara simptomatik dan akan
menghilang dalam beberapa waktu yang singkat saja.
7. Komplikasi Sistem Respirasi
Insidensi defisit neurologi berat dari anestesi spinal adalah
rendah.Komplikasi neurologik yang paling benign adalah
meningitis aseptik. Sindrom ini muncul dalam waktu 24 jam
setelah anestesi spinal ditandai dengan demam, rigiditas nuchal
dan fotofobia. Meningitis aseptic hanya memerlukan pengobatan
simptomatik dan biasanya akan menghilang dalambeberapa
hari.Sindrom cauda equina muncul setelah regresi dari blok
neuraxial. Sindrom ini mungkin dapat menjadi permanen atau
bisa regresi perlahan-lahan setelah beberapa minggu atau
bulan.Ia ditandai dengan defisit sensoris pada area perineal,
inkontinensia urin dan fekal, dan derajat yang bervariasi pada
defisit motorik pada ekstremitas bawah.Komplikasi neurologic
yang paling serius adalah arachnoiditis adesif.Reaksi ini biasanya
terjadi beberapa minggu atau bulan setelah anestesi spinal
dilakukan.Sindrom ini ditandai oleh defisit sensoris dan
kelemahan motorik pada tungkai yang progresif.Pada penyakit
initerdapat reaksi proliferatif dari meninges dan vasokonstriksi
dari vasculature korda spinal.Iskemia dan infark korda spinal bisa
terjadi akibat dari hipotensi arterial yang lama.Penggunaan
epinefrin didalam obat anestesi bisa mengurangi aliran darah ke
korda spinal.Kerusakan pada korda spinal atau saraf akibat
trauma tusukan jarum pada spinal maupun epidural, kateter
epidural atau suntikan solution anestesi lokal intraneural sangat
jarang, tapi tetap mungkin terjadi.

36
Perdarahan subaraknoid yang terjadi akibat anestesi regional
sangat jarang berlaku karena ukuran yang kecil dari struktur
vaskular mayor didalam ruang subaraknoid. Hanya pembuluh
darah radikular lateral merupakan pembuluh darah besar di area
lumbar yang menyebar keruang subaraknoid dari akar saraf.
Sindrom spinal-arteri anterior akibat dari anesthesiaadalah
jarang.Tanda utamanya adalah kelemahan motorik pada tungkai
bawah karenaiskemia pada 2/3 anterior bawah korda spinal.
Kehilangan fungsi sensoris tidak merata adalahefek sekunder dari
nekrosis iskemia pada akar posterior saraf dan bukan akibat dari
kerusakan didalam korda itu sendiri. Terdapat tiga penyebab
terjadinya sindrom spinal-arteri: kekurangan suplai darah ke
arteri spinal anterior karena terjadi gangguan suplai darah dari
arteri-arteri yang terganggu oleh operasi, kekurangan aliran darah
dari arteri karena hipotensi yang berlebihan, dan gangguan aliran
darah sama ada dari kongesti vena mahu pun obstruksi aliran.
Anestesi regional merupakan penyebab yang mungkin yang
menyebabkan terjadinya sindrom spinal-arteri anterior oleh
beberapa faktor.Contohnya anestesi spinalmenggunakan obat
anestesi lokal yang dicampurkan dengan epinefrin.Jadi
kemungkinanepinefrin yang menyebabkan vasokonstriksi pada
arteri spinal anterior atau pembuluh darahyang memberikan
bekalan darah.Hipotensi yang kadang timbul setelah anestesi
regionaldapat menyebabkan kekurangan aliran darah.
Infeksi spinal sangat jarang kecuali dari penyebaran bakteri
secara hematogen yang berasal dari fokal infeksi ditempat lain.
Jikaanestesi spinal diberikan kepada pasien yang mengalami
bakteriemia, terdapat kemungkinan terjadi penyebaran bakteri ke
medulla spinalis.Maka penggunaan anestesi spinal padapasien
dengan bakteremia merupakan kontra indikasi relatif.

37
Jika infeksi terjadi di dalamruang subaraknoid, akan
menyebabkan araknoiditis. Tanda yang paling menonjol pada
komplikasi ini adalah nyeri punggung yang berat, nyeri lokal,
demam,leukositosis, dan rigiditas nuchal.Oleh karena itu, tidak
diperbolehkan jika menggunakan anestesiregional pada pasien
yang mengalami infeksi kulit lokal pada area lumbal atau yang
menderita selulitis.Pengobatan bagi komplikasi ini adalah dengan
pemberian antibiotik dan drainase jika perlu.
8. Komplikasi Traktus Urinarius
Disfungsi kandung kemih dapat terjadi selepas anestesi umum
maupun regional.Fungsikandung kencing merupakan bagian
yang fungsinya kembali paling akhir pada
analgesiaspinal,umumnya berlangsung selama 24 jam.Kerusakan
saraf pemanen merupakankomplikasi yang sangat jarang terjadi.
Pencegahan
 Pakailah jarum lumbal yang lebih halus (no. 23 atau no. 25).
 Posisi jarum lumbal dengan bevel sejajar serat duramater.
 Hidrasi adekuat, minum/infuse 3L selama 3 hari.
Pengobatan
 Posisi berbaring terlentang minimal 24 jam
 Hidrasi adekuat.
 Hindari mengejan.
 Bila cara diatas tidak berhasil pertimbangkan pemberian
epidural blood patch yakni penyuntikan darah pasien sendiri
5-10ml ke dalam ruang epidural. Cara ini umumnya
memberikan hasil yang nyata/segera (dalam waktu beberapa
jam) pada lebih dari 90% kasus.

38
BAB III
LAPORAN KASUS

PRE-OPERATIF

1. Identitas Pasien

 Nama : Nila Karmila Hasibuan

 Jenis Kelamin : Perempuan

 Tempat Tanggal Lahir: Bagan Asahan, 12-04-1974

 Usia : 46 tahun

 Agama : Islam

 Pekerjaan : Wiraswasta

 Tanggal Masuk RS : 24-11-2020

2. Anamnesa
 Keluhan Utama : Nyeri hebat pada bagian perut bawah
 Telaah:
Pasien datang ke RSU Haji Medan dengan keluhan ada benjolan di perut dan
terasa nyeri. Pasien berkata nyeri dirasakan sejak 5 tahun yang lalu. Nyeri
dirasakan hilang timbul. Nyeri semakin terasa hebat dirasakan sejak 2 bulan
terakhir. Pasien juga mengeluhkan keluar darah dari vagina nya sejak tadi
siang yang diiringi dengan sakit kepala.
 Riwayat Penyakit Dahulu :
- Dispepsia dan Hipertensi
 Riwayat Penyakit Keluarga :
- Tidak ada yang memiliki keluhan yang sama dengan pasien
 Riwayat Alergi :
- Alergi makanan disangkal oleh pasien
- Alergi obat (+)
39
 Riwayat Pengobatan :
- Tidak ada
 Riwayat Psikososial :
- Merokok (-)
- Alkohol (-)
- Obat-obatan (-)

3. Pemeriksaan Penunjang
Hasil Laboratorium
Darah Rutin
 Hb : 10.1 g/dl (13,2 – 17,3 g/dl)
 HT : 32,5 % (40 - 52 %)
 Eritrosit : 4,76 x 106/µL (4,4 - 5.9 x 106/µL)
 Leukosit : 7290 / µL (4000 - 11.000 / µL)
 Trombosit : 274.000/µL (150.000 - 440.000 / µL)

Hitung Jenis
 Eosinofil : 5,5% (1-3 %)
 Basofil : 0,8% (0-1 %)
 N. Seg : 57,8% (53-75 %)
 Limfosit : 32,9% (20-45 %)
 Monosit : 3,0% (4-8 %)

Metabolik
 KGDS : -

Fungsi Hati
 Bilirubin total :-
 Bilirubin direk :-
 SGOT :-

40
 SGPT :-

Fungsi Ginjal
 Ureum : 24 mg/dl (10 - 50 g/dl)
 Kreatinin : 1,0 mg/dl (0.6-1.1 g/dl

HIV
 HIV R1 : Non Reactive

Pemeriksaan COVID
 IgG Covid -19 : Non Reactive
 IgM Covid -19 : Non Reactive

DURANTE OPERASI
1. Status Anastesi
 PS-ASA : II (Gangguan Sistemik Sedang- Berat)
 Hari/tanggal : 25 November 2020
 Ahli Anastesiologi : dr. Winardi S Lesmana, Sp.An
 Ahli Bedah : dr. H.M. Haidir Sp.OG
 Diagnosa Pra Bedah : Myoma Uteri
 Diagnosa Pasca Bedah : Myoma Uteri
 Keadaan Pra Bedah
KU : Tampak sakit sedang
BB : 60 Kg
TTV : TD : 140/90mmHg, N : 92x/menit, RR : 18x/menit,
T: 36,7 0C
 B1 (Breath)
Airway : Clear
RR : 18 x/menit
SP : Vesikuler
ST :-

41
 B2 (Blood)
Akral : Hangat
CRT : < 2 detik
TD : 140/90 mmHg
HR : 80x/menit
Hb : 10,1g/dl (13,2 – 17,3g/dl)
Ht : 32,5 % (40 – 52 %)
Leukosit : 7290 / µL (4000 - 11.000 / µL)
Trombosit : 274.000/µL (150.000 - 440.000 / µL)
EKG : normal (Sinus rhytme)
 B3 (Brain)
Sensorium : Compos Mentis / E4V5M6
Pupil : Isokor, ka=ki 3mm/3mm
RC : (+)/(+)
 B4 (Bladder)
Kateter :+
Urine Output : 100 cc
Warna : putih kekuningan
Ureum : 24 mg/dl (10 - 50 g/dl)
Kreatinin : 1,0 mg/dl (0.6-1.1 mg/dl
 B5 (Bowel)
Abdomen
Inspeksi : Simetris
Palpasi : massa di regio eipigastrium
Perkusi : Tympani
Auskultasi : Peristaltik (+)
Mual/Muntah : (+)/(-)
USG (Ultrasonography) : Kesan Tampak masa hiperekoid di uterus

 B6 (Bone)
Oedem : (-)
Fraktur : (-)

42
Motorik : Normal
 Jenis Pembedahan : Laparotomi
 Jenis Anastesi : RA-SAB
 Lama Operasi : 80 menit (08.30 - 09.50 WIB)
 Lama Anastesi : 103 menit (08.17 - 10.00 WIB)
 Anastesi Dengan : Bupivacaine 20 mg
 Teknik Anastesi : Sitting position  identifikasi L3-L4  Desinfeksi
dengan povidon iodine dan bersihkan dengan alcohol 70%  insersi
spinocane 25 g  CSF (+), darah (-)  injeksi dengan bupivacaine 20 mg
 Blok setinggi T10
 Teknik Khusus :-
 Pernafasan : Spontan
 Posisi : Supine
 Infus : IVFD RL terpasang ditangan kiri
 Penyulit Anestesi :-
 Akhir Pembedahan : TD : 140/88 mmHg. N : 75 x/menit, RR : 18
x/menit
 Terapi Khusus Pasca Bedah : -
 Penyulit Pasca Bedah :-
 Hipersensitivitas :-
 Premedikasi :-
 Medikasi
- Bupivacaine : 20 mg
- Ephedrine : 40 mg
- Ondansetron : 4 mg
- Ketorolac : 30 mg
- Ranitidine : 50 mg

43
 Diagram Observasi

 Jumlah Cairan
PO : RL 500 cc
DO : RL 1000 cc
Produksi Urin : kateter (+)
Volume urin : 100 cc
 Perdarahan
Suction : 200 cc
 EBV : 60 x 70 = 4200 cc
 EBL : 10 % = 420 cc
20 % = 840 cc
30 % = 1260 cc

POST OPERASI
Perawatan Post Operasi
 Setelah operasi selesai pasien di observasi di Recovery Room dan lakukan
monitoring airway dan tanda-tanda vital selama 2 jam
 Istirahat sampai pengaruh obat anestesi hilang
 IVFD RL 40 gtt/menit
Pasien boleh pindah ke ruangan bila Alderette score > 8

o Pergerakan :2

44
o Pernapasan :2
o Warna kulit :2
o Tekanan darah :2
o Kesadaran :2
 Setelah operasi selesai, pasien dibawa ke ruang pemulihan setelah
dipastikan pasien pulih dari anestesi dan keadaan umum, kesadaran
serta vital sign stabil, pasien dipindahkan ke bangsal dengan anjuran
untuk bedrest 24 jam, makan dan minum sedikit demi sedikit apabila
pasien sudah sadar penuh dan peristaltik normal.

TERAPI POST OPERASI


 Minum sedikit-sedikit bila tidak ada mual dan muntah
 IVFD RL 40 gtt/menit
 Inj. Petidine IV 50 mg bila kesakitan
 Obat-obat lain : ketorolac 30 mg/8 jam , paracetamol 3x1000 mg ( 2 tab)
 Monitor TTV / 15 menit selama 2 jam
 Bed rest 24 jam

FOLLOW UP

24 November 2020 S: benjolan di perut (+), keluar R/


darah per vaginam (+)
Diet biasa
O: KU : Sakit sedang
IVFD RL : D 5% 1:1 20
TD: 170/90 mmHG tpm

N: 96 x/menit Inj. Ceftriaxone 2 gr drips


dalam 100 cc Nacl 0,9% /
RR: 20 x/menit
hari (hari 1)
S: 360C

Abdomen:

45
Teraba massa 3 jari di atas Planning:
umbilikus dan 1 jari di atas
Laparotomi tanggal 25
symphisis pubis. Mobile (-)
Nov 2020
Ekstremitas: edema -/-
Puasa 6 jam Pre OP
Hasil lab:

 Hb: 10.1 g/dl


 HT: 32,5 %
 Eritrosit : 4,76 x 106/µL
 Leukosit: 7290 / µL
 Trombosit:274.000/µL
 Eosinofil : 5,5%
 Basofil : 0,8%
 N. Seg : 57,8%
 Limfosit: 32,9%
 Monosit: 3,0%
Thorax PA:

 Sinus Costophrenicus dan


Diafragma normal
 Jantung : Membesar
 Paru : Corakan
Bronkovaskuler baik
Kesan : Kardiomegali

A:

- Myoma Uteri
P:
Memantau KU pasien
Monitoring TTV
Pemeriksaan Nutrisi

46
Kolaborasi dengan dokter
Kandungan

25 November 2020 S: Nyeri luka operasi R/

O: KU : Sakit sedang, IVFD RL : D 5% 1:1 40


composmentis tpm

TD: 177/80 mmHG Inj. Metronidazol 500


mg/ 12 jam
N: 80 x/menit
Inj. Ceftriaxone 2 gr/ 8
RR: 20 x/menit
jam
S: 360C
Inj. Ketorolak 30 mg/ 8
Platus (+) jam

Abdomen: Paracetamol 3x 1 per oral

Peristaltik (+) kesan lemah Planning:

Hepar/lien tidak teraba Kateter sampai tanggal 30


Nov 2020
Ekstremitas: edema -/-
Inj Pectidin 75 mg IM
A:
jika sakit
- Post TAH
P:
Memantau KU pasien
Monitoring TTV
Pemeriksaan Nutrisi
Kolaborasi dengan dokter
Kandungan

26 November 2020 S: Nyeri pada luka OP R/

47
O: KU : Sakit sedang/ Diet biasa
composmentis
IVFD RL : D 5% 1:1 28
TD: 163/86 mmHG tpm

N: 82 x/menit Inj. Metronidazol 500


mg/ 12 jam
RR: 20 x/menit
Inj. Ceftriaxone 2 gr/ 8
S: 36,80C
jam
Skala Nyeri : 2
Inj. Ketorolak 30 mg/ 8
Abdomen: jam

Peristaltik (+) kesan normal Paracetamol 3x 1 per oral

Hepar/lien tidak teraba Planning:

Ekstremitas: edema -/- Kateter sampai tanggal 30


Nov 2020
A:
Inj Pectidin 75 mg IM
- Post TAH
jika sakit
P:
Memantau KU pasien
Monitoring TTV
Pemantauan Nutrisi dan cairan
Pemberian terapi sesuai dengan
dokter kandungan

BAB IV
KESIMPULAN

Myoma uteri adalah tumor jinak yang berasal dari otot rahim (miometrium) atau
jaringan ikat yang tumbuh pada dinding atau di dalam rahim. Secara etiologi, mioma
sendiri masih bersifat idiopatik, namun diyakini bahwasanya terdapat beberapa
48
faktor yang dapat meningkatkan angka kejadian mioma ini,seperti gangguan
hormone estrogen, ras, dan usia. Tatalakasana myoma uteri sendiri terdiri atas
observasi dan operatif. Pada pengangkatan mioma uteri sendiri, pasien akan
diberikan anestesi regional sehingga pasien masih tersadar saat proses operasi
berlangsung. Pemberian bupivacaine menjadi pilihan dalam sedasi regional.
Pemberian injeksi pectidine dilakukan hanya bila pasien merasakan nyeri yang hebat
setelah post operasi. Pengangkatan seluruh rahim dilakukan karena ukuran tumor
yang sudah sangat besar, serta usia pasien yang sudah diatas 45 tahun.

DAFTAR PUSTAKA

Mansjoer Arief, 2007. Kapita Selekta Kedokteran. Medikal Aesculapius,FKAUI :


Jakarta

Manuaba IBG. 2003. Penuntun Kepaniteraan Klinik Obstetric dan Ginekologi. Edisi
2. Jakarta : EGC
49
Prawirohardjo, sarwono. 2002. Edisi Ke-3. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka

Pearce, Evelyn C. 2000. Anatomi dan Fisiolog untuk Paramedis Edisi Barui.
Jakarta: Gramedia Pustaka Utama

50
LAMPIRAN

PEMERIKSAAN PENUNJANG
EKG

X-RAY

51
USG

HASIL LABORATORIUM

52
LAPORAN BEDAH

LAPORAN ANESTESI
53
GAMBAR MIOMA UTERI : DIMENSI 20X15X 8CM, BERAT 4 KG

54
55

Anda mungkin juga menyukai