Anda di halaman 1dari 47

REFLEKSI KASUS Mei 2021

“ MANAJEMEN ANASTESI PADA PASIEN DENGAN DIAGNOSIS


MIOMA UTERI MENGGUNAKAN TEKNIK SPINAL ANASTESI”

Nama : Yosia Kevin Poluan


No. Stambuk : N 111 18 059
Pembimbing : dr. Muhammad Rizal, Sp.An, M.Kes

BAGIAN ANESTESI DAN REANIMASI


FAKULTAS KEDOKTERANUNIVERSITAS TADULAKO
PALU
2021
HALAMAN PENGESAHAN

Yang bertanda tangan di bawah ini menyatakan bahwa:

Nama : Yosia Kevin Poluan

No. Stambuk : N 111 18 059

Fakultas : Kedokteran

Program Studi : Pendidikan Dokter

Universitas : Tadulako

Laporan Kasus : Manajemen anastesi pada pasien dengan diagnosis


mioma uteri menggunakan Teknik spinal anastesi

Bagian Anestesiologi

RSUD UNDATA PALU

Program Studi Pendidikan Dokter

Fakultas Kedokteran Universitas Tadulako

Palu, Mei 2021

Mahasiswa Pembimbing

Yosia Kevin Poluan dr. Muhammad Rizal, Sp. An, M.Kes


BAB I

PENDAHULUAN

Mioma uteri adalah tumor jinak otot polos uterus yang terdiri dari sel-sel
jaringan otot polos, jaringan pengikat fibroid dan kolagen. Mioma belum pernah
ditemukan sebelum terjadinya menarche, sedangkan setelah menopause hanya
kira-kira 10% mioma yang masih tumbuh. Mioma uteri sering ditemukan pada
wanita usia reproduksi (20-25%), dimana prevalensi mioma uteri meningkat lebih
dari 70 % dengan pemeriksaan patologi anatomi uterus, membuktikan banyak
wanita yang menderita mioma uteri asimptomatik.1
Tumor ini merupakan tumor pelvik terbanyak pada organ reproduksi wanita.
Diperkirakan insiden mioma uteri sekitar 20%-30% dari seluruh wanita. Mioma
uteri ini menimbulkan masalah besar dalam kesehatan dan terapi yang paling
efektif belum didapatkan, karena sedikit sekali informasi mengenai etiologi
mioma uteri itu sendiri. Baru-baru ini penelitian sitogenetik, molekuler dan
epidemiologi mendapatkan peranan besar komponen genetik dalam patogenesis
dan patobiologi mioma uteri.1
Di Indonesia mioma uteri ditemukan 2,39-11,7% pada semua penderita
ginekologi yang dirawat. Jarang sekali mioma ditemukan pada wanita berumur 20
tahun, paling banyak pada umur 35-45 tahun. Mioma uteri ini lebih sering
didapati pada wanita nulipara atau yang kurang subur. Faktor keturunan juga
memegang peran.2
Penanangan mioma uteri dapat dilakukan secara konservatif maupun dengan
tindakan pembedahan. Beberapa pilihan terapi pembedahan tergantung pada
beberapa faktor, diantaranya ukuran mioma, gejala yang ditimbulkan tidak dapat
teratasi dengan penanganan konservatif, sangkaan keganasan, dan pertimbangan-
pertimbangan khusus lainnya.2
Anestesi berasal dari bahasa Yunani, yaitu “An” yang berarti “tidak,
tanpa” dan “aesthesos” yang berarti “persepsi, kemampuan untuk merasa”. Secara
umum berarti suatu tindakan menghilangkan rasa sakit ketika melakukan
pembedahan dan berbagai prosedur lainnya yang menimbulkan rasa sakit pada
tubuh. Istilah Anestesia digunakan pertama kali oleh Oliver Wendell Holmes
(1809-1894) yang menggambarkan keadaan tidak sadar yang bersifat sementara,
karena anestesi adalah pemberian obat dengan tujuan untuk menghilangkan nyeri
pembedahan.3

Secara Umum pengertian anastesi adalah suatu tindakan menghilangkan rasa


sakit ketika melakukan pembedahan dan berbagai prosedur lainnya yang
menimbulkan rasa sakit pada tubuh. Prinsip Anastesi mencangkup 3 hal yaitu:
anestesi dapat menghilangkan rasa sakit (analgesia), menghilangkan kesadaran
(sedasi) dan juga relaksasi otot (relaksan) yang optimal agar operasi dapat
berjalan dengan lancar.4
Secara garis besar anestesi dibagi menjadi dua kelompok yaitu anestesi
umum dan anestesi regional. Anestesi umum adalah keadaan tidak sadar tanpa
nyeri yang reversibel akibat pemberian obat – obatan, serta menghilangkan rasa
sakit seluruh tubuh secara sentral. Perbedaan dengan anestesi regional adalah
anestesi pada sebagian tubuh, keadaan bebas nyeri tanpa kehilangan kesadaran.
Masing-masing anestesi memiliki bentuk dan kegunaan. Seorang ahli anestesi
akan menentukan jenis anestesi yang menurutnya terbaik dengan
mempertimbangkan keuntungan dan kerugian dari masing-masing tindakannya
tersebut. 5
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. MIOMA UTERI
1. Defenisi
Mioma uteri adalah neoplasma jinak yang berasal dari otot polos
uterus, yang diselingi untaian jaringan ikat. Tumor ini juga dikenal
dengan istilah fibromioma, leiomioma, atau pun fibroid. Multipel
mioma adalah kondisi terdapatnya mioma lebih dari satu massa pada
uterus.1
2. Epidemiologi

Berdasarkan otopsi, Novak menemukan 27% wanita berumur 25


tahun mempunyai sarang mioma, dan 15-20%pada wanita diatas 35
tahun. Pada wanita berkulit hitam ditemukan lebih banyak dibanding
dengan wanita kulit putih,karena wanita kulit hitam memiliki lebih
banyakhormon estrogen. Mioma uteri belum pernah dilaporkan terjadi
sebelum menarche. Setelah menopausehanya kira-kira 10% mioma
yang masih bertumbuh. 1,2

3. Etiologi
Sampai saat ini belum diketahui penyebab pasti mioma uteri dan
diduga merupakan penyakit multifaktorial. Dipercaya bahwa mioma
merupakan sebuah tumor monoklonal yang dihasilkan dari mutasi
somatik dari sebuah sel neoplastik tunggal. Sel-sel tumor mempunyai
abnormalitas kromosom lengan 12q15 atau 6p21. Ada beberapa faktor
yang diduga kuat sebagai faktor predisposisi terjadinya mioma uteri,
yaitu : 1,2,6
1. Umur : mioma uteri jarang terjadi pada usia kurang dari 20 tahun,
ditemukan sekitar 10% pada wanita berusia lebih dari 40 tahun.
Tumor ini paling sering memberikan gejala klinis antara 35-45
tahun.
2. Paritas : lebih sering terjadi pada nullipara atau pada wanita yang
relatif infertil, tetapi sampai saat ini belum diketahui apakah
infertil menyebabkan mioma uteri atau sebaliknya mioma uteri
yang menyebabkan infertil, atau apakah kedua keadaan ini saling
mempengaruhi.
3. Faktor ras dan genetik : pada wanita ras tertentu, khususnya
wanita berkulit hitam, angka kejadiaan mioma uteri tinggi.
Terlepas dari faktor ras, kejadian tumor ini tinggi pada wanita
dengan riwayat keluarga ada yang menderita mioma.
4. Fungsi ovarium : diperkirakan ada korelasi antara hormon
estrogen dengan pertumbuhan mioma, dimana mioma uteri
muncul setelah menarche, berkembang setelah kehamilan dan
mengalami regresi setelahmenopause.
Mioma merupakan monoklonal dengan tiap tumor merupakan hasil
dari penggandaan satu sel otot. Etiologi yang diajukan termasuk di
dalamnya perkembangan dari sel otot uterus atau arteri pada uterus,
dari transformasimetaplastik sel jaringan ikat, dan dari sel-sel
embrionik sisa yang persisten. Penelitian terbaru telah
mengidentifikasi sejumlah kecil gen yang mengalami mutasi pada
jaringan ikat tapi tidak pada sel miometrial normal.6
4. Patogenesis
Meyer dan De Snoo mengajukan teori Cell Nest atau teori
genioblast. Percobaan Lipschultz yang memberikan estrogen kepada
kelinci percobaan ternyata menimbulkan tumor fibromatosa baik pada
permukaan maupun pada tempat lain dalam abdomen. Efek
fibromatosa ini dapat dicegah dengan pemberian preparat progesteron
atau testosteron. Pemberian agonis GnRH dalam waktu lama sehingga
terjadi hipoestrogenik dapat mengurangi ukuran mioma. Efek estrogen
pada pertumbuhan mioma mungkin berhubungan dengan respon
mediasi oleh estrogen terhadap reseptor dan faktor pertumbuhan lain.
Terdapat bukti peningkatan produksi reseptor progesteron, faktor
pertumbuhan epidermal dan insulin-like growth factor 1 yang
distimulasi oleh estrogen. Anderson dkk, telah mendemonstrasikan
munculnya gen yang distimulasi oleh estrogen lebih banyak pada
mioma daripada miometrium normal dan mungkin penting pada
perkembangan mioma. Namun bukti-bukti masih kurang meyakinkan
karena tumor ini tidak mengalami regresi yang bermakna setelah
menopause sebagaimana yang disangka. Lebih daripada itu tumor ini
kadang-kadang berkembang setelah menopause bahkan setelah
ooforektomi bilateral pada usia dini.1,2,6
Dikenal dua tempat asal mioma uteri yaitu serviks uteri dan korpus
uteri. Mioma pada serviks uteri hanya ditemukan sebanyak 3 % dan
pada korpus uteri ditemukan 97% kasus. Berdasarkan tempat tumbuh
atau letaknya, mioma uteri dapat diklasifikasikan menjadi : 1
 Mioma intramural: Mioma terdapat di korpus uteri diantara
serabut miometrium. Bila mioma membesar atau bersifat multiple
dapat menyebabkan pembesaran uterus dan berbenjol-benjol
 Mioma submukosa: Mioma tumbuh tepat dibawah endometrium
dan menonjol ke dalam rongga uterus. Kadang mioma uteri
submukosadapat tumbuh terus dalam kavum uteri dan
berhubungan dengn tangkai yang dikenal dengan polip. Karena
konraksi uterus, polip dapat melalui kanalis servikalis dan sebgian
kecil atau besar memasuki vagina yang dikenal dengan nama
myoma geburt.
 Mioma uteri subserosa: Mioma terletak dibawah tunika serosa,
tumbuh kerah luar dan menonjol ke permukaan uterus. Mioma
subserosa dapat tumbuh diantara kedua lapisan ligamentum latum
menjadi mioma intraligamenter yang dapat menekan ligamentum
dan arteri illiaca. Mioma jenis ini juga dapat tumbuh menempel
pada jaringan lain misalnya ke omentum dan kemudian
membebaskan diri dari uterus sehingga disebut wandering dan
parasite fibroid.

Hampir separuh kasus mioma uteri ditemukan secara kebetulan


pada pemeriksaan ginekologi karena tumor ini tidak mengganggu.
Gejala yang timbul sangat tergantung pada tempat sarang mioma
ini berada serviks, intramural, submukosa, subserosa), besarnya
tumor, perubahan dan komplikasi yang terjadi.1

5. Manifestasi klinik
a) Perdarahan abnormal: Gangguan perdarahan yang terjadi
umumnya adalah hipermenore, menoragia dan dapat juga terjadi
metroragia. Beberapa faktor yang menjadi penyebab perdarahan
ini, antara lain adalah 1,6:
 Pengaruh ovarium sehingga terjadilah hyperplasia
endometrium sampai adenokarsinomaendometrium.
 Permukaan endometrium yang lebih luas daripada biasa.
 Atrofiendometrium di atas mioma submukosa.
 Miometrium tidak dapat berkontraksi optimal karena adanya
sarang mioma diantara serabut miometrium, sehingga tidak
dapat menjepit pembuluh darah yang melaluinya dengan baik.
b) Rasa nyeri: Rasa nyeri bukanlah gejala yang khas tetapi dapat
timbul karena gangguan sirkulasi darah pada sarang mioma, yang
disertai nekrosis setempat dan peradangan. Pada pengeluaran
mioma submukosa yang akan dilahirkan, pula pertumbuhannya
yang menyempitkan kanalis servikalis dapat menyebabkan juga
dismenorea.1,6
c) Gejala dan tanda penekanan: Gangguan ini tergantung dari besar
dan tempat mioma uteri. Penekanan pada kandung kemih akan
menyebabkan poliuria, pada uretra dapat menyebabkan retensio
urine, pada ureter dapat menyebabkan hidroureter dan
hidronefrosis, pada rectum dapat menyebabkan obstipasi dan
tenesmia, pada pembuluh darah dan pembuluh limfe dipanggul
dapat menyebabkan edema tungkai dan nyeri panggul.1,6
d) Infertilitas dan abortus: Infertilitas dapat terjadi apabila sarang
mioma menutup atau menekan pars intertisialis tuba, sedangkan
mioma submukosa juga memudahkan terjadinya abortus oleh
karena distorsi rongga uterus. Rubin (1958) menyatakan bahwa
apabila penyebab lain infertilitas sudah disingkirkan, dan mioma
merupakan penyebab infertilitas tersebut, maka merupakan suatu
indikasi untuk dilakukan miomektomi.1,2,6
6. Penegakan Diagnosis
a) Anamnesis: Dalam anamnesis dicari keluhan utama serta gejala
klinis mioma lainnya, faktor resiko serta kemungkinan komplikasi
yang terjadi.1
b) Pemeriksaan fisik: Pemeriksaan status lokalis dengan palpasi
abdomen. Mioma uteri dapat diduga dengan pemeriksaan luar
sebagai tumor yang keras, bentuk yang tidak teratur, gerakan
bebas, tidak sakit.1
c) Pemeriksaan penunjang
 Pemeriksaan laboratorium: Akibat yang terjadi pada mioma
uteri adalah anemia akibat perdarahan uterus yang berlebihan
dan kekurangan zat besi. Pemeriksaaan laboratorium yang
perlu dilakukan adalah Darah Lengkap (DL) terutama untuk
mencari kadar Hb. Pemeriksaaan lab lain disesuaikan dengan
keluhan pasien.1
 Imaging 1
 Pemeriksaaan dengan USG(ultrasonography) akan didapat
massa padat dan homogen pada uterus. Mioma uteri
berukuran besar terlihat sebagai massa pada abdomen bawah
dan pelvis dan kadang terlihat tumor dengan kalsifikasi.
 Histerosalfingografi digunakan untuk mendeteksi mioma
uteri yang tumbuh ke arah kavum uteri pada pasien infertil.
 MRI lebih akurat untuk menentukan lokasi, ukuran, jumlah
mioma uteri, namun biaya pemeriksaan lebih mahal.
7. Diagnosis Banding 1
 Tumor solid ovarium
 Miosarkoma
 Tumor abdomen

8. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan mioma Uteri tidak semua mioma uteri
memerlukan pengobatan bedah.Penanganan mioma uteri tergantung
pada umur, status fertilitas, paritas, lokasi dan ukuran tumor, sehingga
biasanya mioma yang ditangani yaitu yang membesar secara cepat dan
bergejala serta mioma yang diduga menyebabkan fertilitas. Secara
umum, penanganan mioma uteri terbagi atas penanganan konservatif
dan operatif. Penanganan konservatif bila mioma berukuran kecil pada
pra dan postmenopause tanpa gejala. Cara penanganan konservatif
yaitu observasi dengan pemeriksaan pelvis secara periodik setiap 3-6
bulan, bila pasien anemia lakukan transfusi.1
Pengobatan operatif meliputi miomektomi dan histerektomi.
Miomektomi adalah pengambilan sarang mioma saja tanpa
pengangkatan uterus. Tindakan ini dapat dikerjakan misalnya pada
mioma submukosa pada myoma geburt dengan cara ekstirpasi lewat
vagina. Pengambilan sarang mioma subserosa dapat mudah
dilaksanakan apabila tumor bertangkai. Apabila miomektomi ini
dikerjakan karena keinginan memperoleh anak, maka kemungkinan
akan terjadi kehamilan adalah 30-50%. Histerektomi adalah
pengangkatan uterus, yang umumnya tindakan terpilih. Histerektomi
dapat dilaksanakan perabdominan atau pervaginam. Yang akhir ini
jarang dilakukan karena uterus harus lebih kecil dari telor angsa dan
tidak ada perlekatan dengan sekitarnya. Adanya prolapsus uteri akan
mempermudah prosedur pembedahan. Histerektomi total umumnya
dilakukan dengan alasan mencegah akan timbulnya karsinoma servisis
uteri. Histerektomi supravaginal hanya dilakukan apabila terdapat
kesukaran teknis dalam mengangkat uterus.1
Komplikasi yang terjadi berupa perubahan sekunder pada
mioma uteri yang terjadi sebagian besar bersifat degenerasi. Hal ini
oleh karena berkurangnya pemberian darah pada sarang mioma.
Perubahan sekunder tersebut antara lain : 1,6,7,8
 Atrofi : sesudah menopause ataupun sesudah kehamilan mioma
uteri menjadi kecil.
 Degenerasi hialin : perubahan ini sering terjadi pada penderita
berusia lanjut. Tumor kehilangan struktur aslinya menjadi
homogen. Dapat meliputi sebagian besar atau hanya sebagian kecil
dari padanya seolah-olah memisahkan satu kelompok serabut otot
dari kelompok lainnya.
 Degenerasi kistik: dapat meliputi daerah kecil maupun luas, dimana
sebagian dari mioma menjadi cair, sehingga terbentuk ruangan-
ruangan yang tidak teratur berisi agar-agar, dapat juga terjadi
pembengkakan yang luas dan bendungan limfe sehingga
menyerupai limfangioma. Dengan konsistensi yang lunak ini tumor
sukar dibedakan dari kista ovarium atau suatu kehamilan.
 Degenerasi membatu (calcereus degeneration) : terutama terjadi
pada wanita berusia lanjut oleh karena adanya gangguan dalam
sirkulasi. Dengan adanya pengendapan garam kapur pada sarang
mioma maka mioma menjadi keras dan memberikan bayangan
pada foto rontgen.
 Degenerasi merah (carneus degeneration) : perubahan ini terjadi
pada kehamilan dan nifas. Patogenesis : diperkirakan karena suatu
nekrosis subakut sebagai gangguan vaskularisasi. Pada pembelahan
dapat dilihat sarang mioma seperti daging mentah berwarna merah
disebabkan pigmen hemosiderin dan hemofusin. Degenerasi merah
tampak khas apabila terjadi pada kehamilan muda disertai emesis,
haus, sedikit demam, kesakitan, tumor pada uterus membesar dan
nyeri pada perabaan. Penampilan klinik ini seperti pada putaran
tangkai tumor ovarium atau mioma bertangkai.
 Degenerasi lemak : jarang terjadi, merupakan kelanjutan
degenerasi hialin.

9. Komplikasi
 Degenerasi ganas.
Mioma uteri yang menjadi leiomiosarkoma ditemukan hanya 0,32-
0,6% dari seluruh mioma; serta merupakan 50-75% dari semua
sarkoma uterus. Keganasan umumnya baru ditemukan pada
pemeriksaan histologi uterus yang telah diangkat. Kecurigaan akan
keganasan uterus apabila mioma uteri cepat membesar dan apabila
terjadi pembesaran sarang mioma dalam menopause.8
 Torsi (putaran tangkai).
Sarang mioma yang bertangkai dapat mengalami torsi, timbul
gangguan sirkulasi akut sehingga mengalami nekrosis. Dengan
demikian terjadilah sindrom abdomen akut. Jika torsi terjadi
perlahan-lahan, gangguan akut tidak terjadi.8

B. ANASTESI REGIONAL
Anestesi regional merupakan suatu metode yang lebih bersifat
sebagai analgesik. Anestesi regional hanya menghilangkan nyeri tetapi
pasien tetap dalam keadaan sadar. Oleh sebab itu, teknik ini tidak
memenuhi trias anestesi karena hanya menghilangkan persepsi nyeri saja.9

Jenis Anestesi Regional menurut Pramono (2017) digolongkan sebagai


berikut : 9
1) Anestesi Spinal
Penyuntikan anestesi lokal ke dalam ruang subaraknoid
disegmen lumbal 3-4 atau lumbal 4-5. Untuk mencapai ruang
subaraknoid, jarum spinal menembus kulit subkutan lalu menembus
ligamentum supraspinosum, ligamen interspinosum, ligamentum
flavum, ruang epidural, durameter, dan ruang subaraknoid. Tanda
dicapainya ruang subaraknoid adalah dengan keluarnya liquor
cerebrospinalis (LCS).
2) Anestesi Epidural
Anestesi yang menempatkan obat di ruang epidural (peridural,
ekstradural). Ruang ini berada di antara ligamentum flavum dan
durameter. Bagian atas berbatasan dengan foramen magnum di dasar
tengkorak dan bagian bawah dengan selaput sakrokoksigeal.
Kedalaman ruang rata-rata 5 mm dan di bagian posterior kedalaman
maksimal terletak pada daerah lumbal. Anestetik lokal di ruang epidural
bekerja langsung pada saraf spinal yang terletak di bagian lateral. Onset
kerja anestesi epidural lebih lambat dibanding anestesi spinal. Kualitas
blokade sensoris dan motoriknya lebih lemah.
3) Anestesi Kaudal
Anestesi kaudal sebenarnya sama dengan anestesi epidural,
karena kanalis kaudalis adalah kepanjangan dari ruang epidural dan
obat ditempatkan di ruang kaudal melalui hiatus sakralis. Hiatus
sakralis ditutup oleh ligamentum sakrokoksigeal. Ruang kaudal berisi
saraf sakral, pleksus venosus, felum terminale, dan kantong dura.
Teknik ini biasanya dilakukan pada pasien anak-anak karena bentuk
anatominya yang lebih mudah ditemukan dibandingkan daerah sekitar
perineum dan anorektal, misalnya hemoroid dan fistula perianal.

C. ANASTESI SPINAL
1. DEFINISI
Anestesi spinal adalah injeksi obat anestesi lokal ke dalam ruang
intratekal yang menghasilkan analgesia. Pemberian obat lokal anestesi
ke dalam ruang intratekal atau ruang subaraknoid di regio lumbal
antara vertebra L2-3, L3-4, L4-5 untuk menghasilkan onset anestesi
yang cepat dengan derajat keberhasilan yang tinggi.10

2. ANATOMI
Secara medis, tulang belakang dikenal sebagai columna
vertebralis.Rangkaian tulang belakang adalah sebuah struktur lentur
yang dibentuk oleh sejumlah tulang yang disebut vertebra atau ruas
tulang belakang, diantara tiap dua ruas tulang belakang terdapat
bantalan tulang rawan.Panjang rangkaian tulang belakang pada orang
dewasa mencapai 57 sampai 67 sentimeter. Seluruhnya terdapat 33
ruas tulang, 24 buah diantaranya adalah tulang terpisah dan 9 ruas
sisanya dikemudian hari menyatu menjadi sacrum 5 buah dan cocigius
4 buah. 11
Tulang belakang secara keselruhan berfungsi sebagai tulang
penyokong tubuh terutama tulang-tulang lumbalis.selain itu tulang
belakang juga berfungsi melindungi medula spinalis yang terdapat di
dalamnya. Di sepanjang medulla spinalis melekat 31 pasang nervus
spinalis melalui radix anterior atau motorik dan radix posterior atau
sensorik. 8 pasang saraf servikal (C), 12 pasang saraf thorakal (T), 5
pasang saraf lumbal (L), 5 pasang saraf sakral (S), dan 1 pasang saraf
koksigeal (Co)7. Masing–masing radix melekat pada medulla spinalis
melalui sederetan radices (radix kecil),yang terdapat di sepanjang
segmen medulla spinalis yang sesuai. setiap radix mempunyai sebuah
ganglion radix posterior, yang axon sel–selnya memberikan serabut–
serabutsaraf perifer dan pusat . Medulla spinalis itu sendiri hanya
berjalan sampai setinggi vertebra lumbal pertama atau kedua (setinggi
sekitar pinggang), sehingga akar-akar saraf sisanya sangat memanjang
untuk dapat keluar dari kolumna vertebralis di lubang yang sesuai.
Berkas tebal akar-akar saraf yang memanjang di dalam kanalis
vertebralis yang lebih bawah itu dikenal sebagai kauda ekuina ”ekor
kuda” karena penampakannya 11

Gambar. Anatomi vertebra dan potongan sagittal dari vertebra


lumbal 11
Penting untuk mengingat struktur yang akan ditembus oleh jarum
spinal sebelum bercampur dengan CSF. 12
 Kulit
 Lemak subcutan dengan ketebalan berbeda dan lebih mudah
mengidentifikasi ruang intervertebra pada pasien kurus
 Ligament Supraspinosa
 Ligament interspinosa yang merupakan ligament yang tipis
diantara prosesus spinosus
 Ligamentum Flavum yang sebagian besar terdiri dari jaringan
elastic yang berjalan secara vertical dari lamina ke lamina.
 Ruang epidural yang terdiri dari lemak dan pembuluh darah
 Duramater
 Ruang Subarachnoid yang terdiri dari spinal cord dan akar saraf
yang dikelilingi oleh CSF. Injeksi dari anestesi local akan
bercampur dengan CSF dan secara cepat memblok akar syaraf
yang berkontak.
3. Indikasi dan kontra indikasi
Indikasi dari tindakan spinal anestesi sebagai berikut: 13
a) Pembedahan pada ektermitas bawah
b) Pembedahan pada daerah panggul
c) Tindakan sekitar rektum-perineum
d) Pembedahan perut bagian bawah
e) Pembedahan obstetri-ginekologi
f) Pembedahan urologi
g) Pada bedah abdomen bagian atas dan bedah pediatrik,
dikombinasikan dengan anestesi umum ringan
Kontraindikasi anestesi spinal 13

4. Farmakologi Obat Anestetik Lokal


Anestetik lokal ialah obat yang menghasilkan blokade konduksi
atau blokade saluran natrium pada dinding saraf secara sementara
terhadap rangsangan transmisi sepanjang saraf, jika digunakan pada
saraf sentral atau perifer. Obat anestesi lokal yang digunakan dibagi ke
dalam dua macam, yakni golongan ester seperti kokain, benzokain,
prokain, kloroprokain, ametokain, tetrakain dan golongan amida
seperti lidokain, mepivakain, prilokain, bupivakain, etidokain,
dibukain, ropivakain, levobupivakain. Perbedaannya terletak pada
kestabilan struktur kimia. Golongan ester mudah dihidrolisis dan tidak
stabil dalam cairan, sedangkan golongan amida lebih stabil. Golongan
ester dihidrolisa dalam plasma oleh enzim pseudo-kolinesterase dan
golongan amida dimetabolisme di hati Di Indonesia golongan ester
yang paling banyak digunakan ialah prokain, sedangkan golongan
amida tersering ialah lidokain dan bupivakain.12,13
Obat-obat lokal anestesi berdasarkan barisitas dan sensitas dapat di
golongkan menjadi tiga golongan menurut yaitu : 5
a. Hiperbarik Merupakan sediaan obat lokal anestesi dengan berat
jenis obat lebih besar daripada berat jenis cairan serebrospinal,
sehingga dapat terjadi perpindahn obat ke dasar akibat gaya
gravitasi. Agar obat anestesi lokal benar-benar hiperbarik pada
semua pasien maka baritas paling rendah harus 1,0015 gr/ml pada
suhu 370 C. Contoh : buvipakain 0,5%
b. Hipobarik Merupakan sediaan obat lokal anestesi dengan berat
jenis obat lebih rendah dari berat jenis cairan serebrospinal
sehingga obat akan berpindah dari area penyuntikan ke atas.
Densitas cairan serebrospinal pada suhu 370 C adalah 1,003 gr/ml.
Perlu diketahui variasi normal cairan serebrospinal sehingga obat
yang sedikit hipobarik belum tentu menjadi hipobarik bagi pasien
yang lainnya. Contoh : terakain, dibukain
c. Isobarik Obat anestesi isobarik bila densitasnya sama dengan
densitas cairan serebrospinal pada suhu 370 C sehingga obat akan
berada di tingkat yang sama di tempat penyuntikan. Tetapi karena
terdapat variari densitas cairan serebrospinal, maka obat akan
menjadi isobarik untuk semua pasien jika densitasnya berada pada
rentang standar deviasi 0,999 – 1,001 gr/ml. Contoh : levobupikain
0,5 %
Anestesi lokal yang sering dipakai adalah bupivakain.
Lidokain5% sudah ditinggalkan karena mempunyai efek
neurotoksisitas, sehingga bupivakain menjadi pilihan utama untuk
anestesi spinal saat ini. Larutan hiperbarik disebar oleh gravitasi,
larutan hipobarik menyebar berlawanan arah dengan gravitasi dan
isobarik menyebar lokal pada tempat injeksi. Setelah disuntikkan
ke dalam ruang intratekal, penyebaran zat anestesi lokal akan
dipengaruhi oleh berbagai faktor terutama yang berhubungan
dengan hukum fisika dinamika dari zat yang disuntikkan, antara
lain Barbotase (tindakan menyuntikkan sebagian zat anestesi lokal
ke dalam cairan serebrospinal, kemudian dilakukan aspirasi
bersama cairan serebrospinal dan penyuntikan kembali zat anestesi
lokal yang telah bercampur dengan cairan serebrospinal), volume,
berat jenis, dosis, tempat penyuntikan, posisi penderita saat atau
sesudah penyuntikan. 14

5. Tinggi blok anastesi spinal


Faktor-faktor yang mempengaruhi penyebaran larutan
bupivakain hiperbarik pada Anestesi spinal:14
1. Gravitasi: Cairan serebrospinal pada suhu 37°C mempunyai BJ
1,003- 1,008. Jika larutan hiperbarik yang diberikan kedalam
cairan serebrospinal akan bergerak oleh gaya gravitasi ke tempat
yang lebih rendah, sedangkan larutan hipobarik akan bergerak
berlawanan arah dengan gravitasi seperti menggantung dan jika
larutan isobarik akan tetap dan sesuai dengan tempat injeksi.
2. Postur tubuh : Makin tinggi tubuh seseorang, makin panjang
medula spinalisnya dan volume dari cairan serebrospinal di bawah
L2 makin banyak sehingga penderita yang lebih tinggi memerlukan
dosis yang lebih banyak dari pada yang pendek.
3. Tekanan intra abdomen: Peningkatan tekanan intra abdomen
menyebabkan bendungan saluran pembuluh darah vena abdomen
dan juga pelebaran saluran-saluran vena di ruang epidural bawah,
sehingga ruang epidural akan menyempit dan akhirnya akan
menyebabkan penekanan ke ruang subarakhnoid sehingga cepat
terjadi penyebaran obat anestesi lokal ke kranial. Perlu
pengurangan dosis pada keadaan seperti ini.
4. Anatomi kolumna vertebralis :Anatomi kolumna vertebralis akan
mempengaruhi lekukan-lekukan saluran serebrospinal, yang
akhirnya akan mempengaruhi tinggi anestesi spinal pada
penggunaan anestesi lokal jenis hiperbarik.
5. Tempat penyuntikan : Makin tinggi tempat penyuntikan, maka
analgesia yang dihasilkan makin tinggi. Penyuntikan pada daerah
L2-3 lebih memudahkan penyebaran obat ke kranial dari pada
penyuntikan pada L4- 5.
6. Manuver valsava : Setelah obat disuntikkan penyebaran obat akan
lebih besar jika tekanan dalam cairan serebrospinal meningkat
yaitu dengan cara mengedan.
7. Volume obat : Efek volume larutan bupivakain hiperbarik pada
suatu percobaan yang dilakukan oleh Anellson (1984), dikatakan
bahwa penyebaran maksimal obat kearah sefalad dibutuhkan waktu
kurang lebih 20 menit pada semua jenis volume obat (1,5 cc, 2 cc,
3 cc dan 4 cc). Mula kerja untuk tercapainya blok motorik akan
bertambah pendek waktunya dengan bertambahnya volume. Makin
besar volume obat makin tinggi level blok sensoriknya.
8. Kecepatan : penyuntikkan yang cepat menghasilkan batas analgesia
yang tinggi. Kecepatan penyuntikkan yang dianjurkan adalah 3
detik tiap 1 ml
9. Konsentrasi obat : Dengan volume obat yang sama ternyata
bupivakain 0,75% hiperbarik akan menghasilkan penyebaran obat
kearah sefalad lebih tinggi beberapa segmen dibandingkan dengan
bupivakain 0,5% hiperbarik. Lama kerja obat akan lebih panjang
secara bermakna pada penambahan volume obat bupivakain
0,75%. Demikian pula perubahan kardiovaskuler akan berbeda
bermakna pada bupivakain 0,75% hiperbarik.
10. Posisi tubuh : Dalam suatu percobaan oleh J.A.W. Wildsmith
dikatakan tidak ada pengaruh penyebaran obat jenis obat larutan
isobarik pada tubuh, sedangkan pada jenis larutan hiperbarik akan
dipengaruhi posisi tubuh. Pada larutan hiperbarik posisi terlentang
bisa mencapai level blok T4 pada posisi duduk hanya mencapai
T8.
11. Lateralisasi : Lateralisasi pada larutan dengan posisi berbaring
miring (lateral dekubitus). Pada percobaan oleh J.A.W. Wildsmith
disimpulkan bahwa 5 menit setelah penyuntikan obat, penyebaran
obat pada sisi bawah mencapai T6,sedangkan pada sisi atas
mencapai T7.
12. Waktu : setelah 15 menit dari saat penyuntikan, umumnya larutan
analgesik sudah menetap sehingga batas analgesia tidak dapat
diubah dengan posisi pasien
6. Pengaruh Spinal Anestesi pada Tubuh
Respon spinal anestesi ditentukan oleh pengaruhnya pada saraf
afferent dan efferent somatik dan visceral. Saraf somatik berhubungan
dengan persarafan sensorik dan motorik, sedangkan saraf visceral
berhubungan dengan sistem saraf otonom Berikut sistem dalam tubuh
yang terpengaruh ketika dilakukan spinal anestesi.4
a. Sistem Kardiovaskuler Pada anestesi spinal tinggi terjadi
penurunan aliran darah jantung dan penghantaran (supply) oksigen
miokardium yang sejalan dengan penurunan tekanan arteri rata-
rata. Penurunan tekanan darah yang terjadi sesuai dengan tinggi
blok simpatis, makin banyak segmen simpatis yang terblok makin
besar penurunan tekanan darah.
b. Sistem Respirasi Pada anestesi spinal blok motorik yang terjadi
2-3 segmen di bawah blok sensorik, sehingga umumnya pada
keadaan istirahat pernafasan tidak banyak dipengaruhi. Tetapi
apabila blok yang terjadi mencapai saraf frenikus yang
mempersarafi diafragma, dapat terjadi apnea
c. Sistem Gastrointestinal Serabut-serabut simpatis pada intestinum
(T5 – L1) bersifat inhibitor terhadap usus, menurunkan peristaltik,
tidak ada efek terhadap oesofagus, memelihara tonus sphincter dan
menentang aksi nervus vagus. simpatis (T5 – L1) yang disebabkan
anestesi spinal menyebabkan kontraksi usus halus meningkat
karena tonus vagus dominan
d. Sistem Genitourinari Spinal anestesi menurunkan 5-100% GFR,
saraf yang menyebabkan kandung kemih atonia mengakibatkan
volume urin yang banyak. Blokade simpatis afferent (T5 – L1)
berakibat dalam peningkatan tonus sphincter yang menyebabkan
retensi urin. Retensi urin post spinal anestesi mungkin secara
moderat diperpanjang karena S2 dan S3 berisi serabut-serabut
otonom kecil dan paralisisnya terlambat lebih lama daripada
serabut-serabut sensoris dan motoris yang lebih besar. Kateter urin
harus dipasang jika anestesi dilakukan dalam waktu lama. Menurut
Potter & Perry (2010), normalnya dalam waktu 6-8 jam setelah
anestesi, pasien akan mendapatkan kontrol fungsi berkemih secara
volunter, tergantung pada jenis pembedahan.
e. Sistem Endokrin Spinal anestesi tidak merubah fungsi endokrin
atau aktifitas metabolik saat operasi, kecuali peningkatan sedikit
gula atau penurunan katekolamin. tiap jalur afferent dan efferent
atau keduanya, bertanggungjawab terhadap penghambatan
perubahan endokrin dan metabolik oleh stress operasi.
Selain mempengaruhi kelima sistem tersebut, spinal
anestesi juga mempengarui sistem muskoloskeletal, spinal anestesi
menyebabkan parathesia hingga relaksasi otot-otot ekstremitas
bawah akibat adanya motorik/somatik. Dengan menghambat
transmisi impuls nyeri dan menghilangkan tonus otot rangka. Blok
sensoris menghambat stimulus nyeri somatik atau visceral,
sedangkan blok motorik menyebabkan relaksasi otot. Efek anestesi
lokal pada serabut saraf bervariasi tergantung dari ukuran serabut
saraf tersebut dan apakah serabut tersebut bermielin atau tidak serta
konsentrasi obat 15
7. Komplikasi
Komplikasi tindakan13,16
1. Hipotensi berat akibat blok simpatik terjadi venous pooling dan
dapat menurunkan curah balik ke jantung sehingga menyebabkan
penurunan curah jantung dan tekanan darah.
2. Bradikardia terjadi akibat blok sampai T2-3 dan dapat terjadi tanpa
disertai hippotensi atau hipoksia.
3. Hipoventilasi akibat paralisis saraf frenikus atau hipoperfusi pusat
kendali nafas.
4. Trauma pembuluh darah
5. Trauma saraf
6. Mual dan muntah
7. Gangguan pendengaran
8. Blok spinal tinggi, atau spinal total
Komplikasi pasca tindakan
1. Nyeri tempat suntikan
2. Nyeri punggung
3. Nyeri kepala karena kebocoran likuor
4. Retensio urin
5. Meningitis
BAB III
LAPORAN KASUS

A. IDENTITAS
Nama : Nn. Ika Puspa Dewi
Umur : 40 Tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Berat Badan : 50 kg
Tinggi badan : 160 cm
Agama : Kristen
Pekerjaan : Belum bekerja
Alamat : Desa Baliase
Diagnosa pra-Anastesi : Mioma Uteri
Jenis anastesi : Spinal Anestesi
Tanggal Operasi : 22 Maret 2021

B. ANAMNESIS
1. Keluhan Utama : Nyeri Perut bagian bawah
2. Riwayat penyakit sekarang : Pasien wanita usia 50 tahun masuk Rumah
sakit dengan keluhan nyeri pada perut bagian bawah, nyeri dirasakan sejak
beberapa bulan yang lalu dan memberat saat sedang haid. Pasien juga
merasakan perut mulai membesar sekitar 7 bulan yang lalu. Pasien makan
dan minum normal Buang air besar dan buang air kecil dalam batas
normal.
3. Riwayat Menstruasi
Menarche : 15 tahun
Lama menstruasi 7 hari
Siklus : 28 hari
4. Riwayat penyakit dahulu:
- Riwayat penyakit jantung (-)
- Riwayat penyakit hipertensi(-)
- Riwayat penyakit asma (-)
- Riwayat alergi obat dan makanan(-)
- Riwayat diabetes melitus (-)
- Riwayat trauma atau kecelakaan (-)
- Riwayat penyakit keluarga:
- Riwayat penyakit darah tinggi : disangkal
- Riwayat penyakit DM : disangkal
- Riwayat penyakit alergi : disangkal
- Riwayat penyakit asma : disangkal

C. PEMERIKSAAN FISIK :
1. Tanda vital
TD : 110/80mmHg
NADI : 79 x/menit
RR : 20x/menit
SUHU : 36.5C
2. Pemeriksaan Fisik :
 Kepala :anemis (-) sianosis (-) ikterus (-) Mallampati : 1
 Leher :deviasi trakhea (-) tiromental distance : (-)
 Thoraks :simetris kiri = kanan
BP : Vesikuler +/+ Rh (-)/(-), Wh (-)/(-)
BJ I/II : Reguler bising jantung : (-)
 Abdomen :Peristaltik (+ )kesan normal, Nyeri tekan (-), massa (+)
17cmx17 cm
 Ekstremitas : Udem (-) akral hangat +/+

3. B1 (Breath)
Airway bebas, gurgling/snoring/crowing:-/-/-, RR:20x/menit,
Mallampati: 1, Riwayat asma (-) alergi (-), batuk (-), sesak (-) leher
pendek (-), pergerakan leher bebas, pernapasan vesikuler(+/+), suara
pernapasan tambahan ronchi(-/-), wheezing(-/-)
4. B2 (Blood)
Akral hangat, HR : 79x/menit irama reguler, CRT < 2 detik. Masalah
pada sistem cardiovaskuler (-).
5. B3 (Brain)
Kesadaran compos mentis GCS 15 (E4V5M6, Pupil: isokor Ø 3 mm
/3mm, Refleks Cahaya +/+
6. B4 (Bladder)
BAK lancar (pasien menggunakan kateter),
7. B5 (Bowel)
Keluhan mual (-), muntah (-). Abdomen: Inspeksi tampak cembung,
Auskultasi: peristaltik (+), kesan normal, Palpasi: nyeri tekan (-),teraba
massa (+) 17 cmx17cm
8. B6 Back & Bone
Pergerakan ekstremitas atas kanan (bebas)
Pergerakan ekstremitas atas kiri (bebas)
Pergerakan ekstremitas bawah kanan (bebas)
Pergerakan ekstremitas bawah kiri (bebas)
Ekstremitas : Akral hangat, pucat (-), edema (-), turgor < 3 detik,
CRT < 2 detik.

D. PEMERIKSAAN PENUNJANG
 HASIL PEMERIKSAAN LABORATORIUM
Hasil Rujukan Satuan
HEMATOLOGI
Hemoglobin 10.9 L: 13-17, P: 11-15 g/dl
Leukosit 9.9 4.000-10.000 /mm3
L: 4.5-6.5 P: 3.9-
Eritrosit 4.80 Juta/ul
5.6
Hematokrit 33.7 L: 40-54 P: 35-47 %
Trombosit 380 150.000-500.000 /mm3
Clotting time 10 4 – 10 menit
Bleeding time 4 1 –5 menit
Hasil Rujukan
Seroimmunologi
SARS Cov-2
Negatif Negatif
(COVID-19)
Non Reaktif
HbsAg Non Reaktif

HIV I Oncoprobe Non Reaktif Non Reaktif

E. Assesment
 Status fisik ASA II
 Diagnosis pra-bedah : Mioma Uteri

F. Plan
 Jenis anestesi : Regional Anestesi
 Teknik anestesi : Spinal Anestesi
 Jenis pembedahan : Histerektomi

G. Persiapan pasien preoperatif diruangan :


a. Surat persetujuan operasi dan Surat persetujuan tindakan anestesi.
b. Pasien dipuasakan minimal 6-8 jam pre-operasi

H. Persiapan di kamar operasi :


Hal-hal yang perlu dipersiapkan di kamar operasi antara lain adalah:
a. Meja operasi dengan asesoris yang diperlukan
b. Mesin anestesi dengan sistem aliran gasnya
c. Alat-alat resusitasi (STATICS)
d. Obat-obat anestesia yang diperlukan
e. Obat-obat resusitasi, misalnya; adrenalin, atropine, aminofilin, natrium
bikarbonat dan lain-lainnya.
f. Tiang infus, plaster dan lain-lainnya.
g. Alat pantau tekanan darah, dan O2 dipasang.
h. Alat-alat pantau yang lain dipasang sesuai dengan indikasi, misalnya;
“Pulse Oxymeter”
i. Kartu catatan medis anestesia
Persiapan alat (STATICS)
a. Scope : Stetoscope untuk mendengarkan suara paru dan jantung.
LaringoScope: pilih bilah (blade) yang sesuai dengan usia pasien. Lampu
harus cukup terang.
b. Tube : Pipa trakea, pilih sesuai ukuran pasien
c. Airway : Pipa mulut-faring (Guedel, orotracheal airway) atau pipa hidung-
faring (nasi-tracheal airway). Pipa ini menahan lidah saat pasien tidak
sadar untuk mengelakkan sumbatan jalan napas
d. Tape : Plaster untuk fiksasi pipa supaya tidak terdorong atau tercabut.
e. Introducer : stilet dari kawat dibungkus plastic (kabel) yang mudah
dibengkokkan untuk pemandu supaya pipa trakea mudah dimasukkan.
f. Connector : Penyambung antara pipa dan peralatan anestesia
g. Suction : Penyedot lendir, ludah dan lain-lainnya

I. Prosedur Spinal Anastesi


1. Pasien diposisian supinasi , memasang monitor untuk melihat tekanan
darah, heart rate, saturasi oksigen dan laju respirasi.
2. Diberikan obat premedikasi yaitu ondansetron 4mg dan ketorolac 3 mg
3. Pasien diposisikan duduk atau tidur lateral dekubitus.
4. Tentukan tempat tusukan misalnya L2-3, L3-4, atau L4-5 pada vertebra.
Perpotongan antara garis yang menghubungkan kedua krista iliaka dengan
vertebra merupakan L4-5.
5. Sterilkan daerah tusukan dengan betadine dan alcohol
6. Cara tusukan dengan median atau paramedian. Tusukkan jarum spinal.
Setelah resistensi menghilang, mandrin jarum spinal dicabut dan keluar
LCS, pasang spuit berisi obat dan masukkan obat ( bupivacaine 20 mg dan
Fentanyl 25 mcg) pelan-pelan (0,5 mL/detik) diselingi sedikit aspirasi,
untuk memastikan posisi jarum tetap baik.
7. Pasien di posisikan Kembali dalam posisi supinasi
8. Maintenance : O2 2 L/menit, ephedrine 10 mg
9. Operasi selesai pasien di transfer ke recovery room
Laporan Anestesi
a) Diagnosis pra-bedah : Mioma Uteri
b) Diagnosis post-bedah : Mioma Uteri
c) Jenis pembedahan : Histerektomi
d) Anestesiologi : dr.Muhammad Rizal Sp. An, M. Kes
e) Ahli Bedah : dr. I Putu Fery Immanuel White, Sp. Og
f) Anestesi mulai : 13.10 WITA
g) Operasi mulai : 13.15 WITA
h) Selesai operasi : 14.55 WITA
i) Selesai Anestesi : 15.40 WITA
j) Lama Operasi : 1 jam 40 menit
k) Lama anastesi : 2 jam 30 menit

Tekanan Nadi Saturasi Tindakan


Jam Darah Oksigen

13.10 120/80 65 100  Pasien masuk ke kamar


operasi, dan dipindahkan
ke meja operasi
 Pemasangan monitoring
tekanan darah, nadi, saturasi
O2
Infus ringer lactat terpasang
pada tangan Kiri
Anastesi spinal menggunakan
Bupivacaine 20 mg dan Fentanyl
25 mcg
13.15 110/78 65 100
13.20 108/70 65 100
13.25 105/72 69 100
13.30 111/69 63 100
13.35 105/67 65 100
13.40 100/67 69 100
13.45 103/73 63 100 Injeksi Ephedrine 10 mg
13.50 109/75 58 100
13.55 125/83 60 100
14.00 105/69 65 100
14.05 105/69 64 100
14.10 108/68 65 100
14.15 103/65 67 100
14.20 105/72 63 100
14.25 103/65 67 100
14.30 105/69 67 100
14.35 105/69 67 100
14.40 105/69 67 100
14.45 102/69 63 100
14.50 108/70 60 100
14.55 108/70 62 100 Operasi Selesai, pasien
dipindahkan ke Recovery room

TERAPI CAIRAN
Cairan yang Dibutuhkan Aktual
Pre - BB: 50 Kg Input:
Operasi - Maintenance kebutuhan cairan per jam:
= 35cc x 50 kg RL: 500 cc
= 1.750/24jam
= 73 cc/jam atau 24 tetes/menit Output
Urin :100 cc
- Kebutuhan cairan pengganti puasa 8 jam:
= 8 jam x (73 cc/jam)
= 584cc

- Defisit cairan puasa


= kebutuhan cairan pengganti puasa – cairan
yang masuk saat puasa
= 584cc-500cc
= 80cc
Durante Estimate Blood Volume (EBV): Input :
Operasi =65 cc x BB RL 800 cc
= 65 ccx 50 Kg
= 3250 cc Output
Jumlah perdarahan selama operasi ± 50cc Urin :100 cc

% perdarahan :
Total
= Jumlah perdarahan : EBV x 100% Perdarahan:
= 50 : 3250 x 100% ±50 cc
= 1.54%

Perdarahan yang terjadi durante operatif 1.54%


karena tidak melebihi 20 % maka tidak perlu
transfuse

Stress operasi:
Operasi berat
8 x 50 = 400 cc/jam (6.7cc/ menit)
Operasi berlangsung 1 jam 40 menit
Stress operasi X lama operasi
6.7 X 100 menit
= 670 cc
Cairan pengganti defisit darah

Defisit darah 50 cc

(Cairan diganti dengan kristaloid, 50 cc x 3 =


150 cc)
Total kebutuhan cairan selama 1 jam 40 menit
operasi adalah 670+150= 820 cc

Keseimbangan kebutuhan :
Cairan masuk – (Kebutuhan cairan selama
operasi + Puasa)
= (1300)–( 820 + 584)
= -104 cc

Post Maintanance BB : 50 kg
Operasi Maintenance Kebutuhan cairan per jam :
Perempuan = 35 cc/kgBB/Hari
= 35 cc x 50 kg
= 1.750 cc/24 jam + 104 cc
= 1.854 cc/24jam
= 26 tetes/menit

POST OPERATIF
Pemantauan di Recovery Room :
Tekanan darah : 107/70mmHg
Nadi :62 kali permenit
Pernafasan :20 x per menit
Bila Bromage Score ≤ 2 boleh pindah ruangan

Instruksi di ruangan

Drips Fentanyl 50 mcg dalam RL

BAB IV

PEMBAHASAN
Pada kasus ini pasien perempuan usia 40 tahun masuk dengan keluhan
nyeri perut bawah disertai dengan perut membesar sejak 7 bulan yang lalu dan di
diagnosis dengan myoma uteri, lalu dilakukan operasi histerektomi. Tindakan
yang digunakan pada operasi ini yaitu, anestesi regional menggunakan teknik
Spinal Anastesi. Anestesi spinal adalah pemberian obat antestetik lokal ke dalam
ruang subarakhnoid . Anestesi spinal diindikasikan terutama untuk bedah
ekstremitas inferior, bedah panggul, tindakan sekitar rektum dan perineum, bedah
obstetri dan ginekologi, bedah urologi, bedah abdomen bawah dan operasi
ortopedi ekstremitas inferior.
Evaluasi pra anestesi dilakukan sebelum operasi yang meliputi anamnesis,
spemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium, dan yang lainnya, konsultasi dan
koreksi terhadap kelainan fungsi organ vital untuk menentukan status fisik ASA
serta ditentukan rencana jenis anastesi yang dilakukan. American Society of
Anestesiology (ASA) membuat klasifikasi status fisik pra anastesi menjadi 6 kelas
yaitu:

Klassifikasi Definisi Contoh Contoh Anak, Contoh


ASA Dewasa, Termasuk, tapi KehamilanT

Termasuk, tapi tidak Terbatas ermasuk,

tidak Terbatas pada: tapi tidak

pada: Terbatas
pada:

ASA I Pasien Sehat, tidak Sehat (tidak ada


sehat yang merokok, penyakit akut atau

normal tidak/atau kronis),

penggunaan BMI normal

alcohol yang persentil untuk

minimal usia

ASA II Pasien Hanya Penyakit Penyakit jantung Kehamilan


dengan ringan tanpa bawaan
Penyakit batasan asimptomatik, normal *,
sistemik substantif disritmia yang HTN
yang ringan fungsional. terkontrol dengan kehamilan
perokok, sosial baik, yang
peminum asma tanpa terkontrol,

alkohol, eksaserbasi, preeklamsia


epilepsi yang terkontrol
kehamilan,
terkontrol dengan tanpa
obesitas
baik, non insulin gambaran
(30 <BMI
diabetes yang parah,
<40),
mellitus, BMI Diet DM
DM / HTN Gestasional
abnormal
terkontrol yang
persentil untuk
dengan baik terkontrol.
usia, OSA
, penyakit paru-
ringan / sedang,
paru yang ringan
status onkologis
dalam remisi,
autisme dengan
keterbatasan
ringan

ASA III Pasien Batasan Kelainan jantung Preeklamsia


dengan fungsional yang kongenital stabil dengan
Penyakit substansial; Satu yang tidak gambaran
sistemik atau lebih terkoreksi, asma berat, DM
yang berat penyakit sedang dengan gestasional
hingga berat. eksaserbasi, dengan
DM atau HTN epilepsi yang komplikasi
yang tidak tidak terkontrol, atau
terkontrol, diabetes mellitus kebutuhan
COPD, obesitas yang tergantung insulin yang
morbiditas (BMI insulin, obesitas tinggi,
≥40), hepatitis morbid, penyakit
aktif, malnutrisi, OSA trombofilik
ketergantungan berat, status yang
atau onkologis, gagal membutuh-
penyalahgunaan ginjal, distrofi kan
alkohol, alat otot, fibrosis antikoagulasi.
pacu jantung kistik, riwayat
implan, transplantasi
pengurangan organ, malformasi
fraksi ejeksi otak / sumsum
sedang, ESRD tulang belakang,
yang menjalani hidrosefalus
dialisis terjadwal simptomatik,
secara teratur, PCA bayi
riwayat IM, prematur <60
CVA (> 3 minggu, autisme
bulan), TIA, atau dengan
CAD / stent. keterbatasan
berat, penyakit
metabolik,
kesulitan jalan
napas,
penggunaan
nutrisi parenteral
jangka panjang.
Bayi cukup bulan
usia <6 minggu.

ASA IV Seorang MI, CVA, TIA Kelainan jantung Preeklamsia


pasien atau CAD / stent kongenital yang dengan
dengan terkini (<3 bergejala, gagal gambaran
penyakit bulan), iskemia jantung kongestif, yang berat
sistemik jantung yang gejala sisa dipersulit oleh
berat yang sedang prematuritas penyakit
merupakan berlangsung atau aktif,ensefalo-pati HELLP atau
ancaman disfungsi katup hipoksia-iskemik efek samping
seumur yang parah, akut, syok, sepsis, lainnya,
hidup pengurangan koagulasi kardiomio-
fraksi ejeksi intravaskular pati
yang berat, syok, diseminata, peripartum
sepsis, DIC, defibrilator dengan EF
ISPA atau ESRD kardioverter <40, penyakit
yang tidak implan otomatis, jantung tidak
menjalani ketergantungan terkoreksi /
dialisis terjadwal ventilator, dekompen-
secara teratur endokrinopati, sasi, didapat
trauma berat, atau bawaan.
gangguan
pernapasan berat,
keadaan
onkologis lanjut.

ASA V Seorang Aneurisma Trauma masif, Ruptur uteri


pasien yang abdomen / toraks perdarahan
sekarat atau yang pecah, intrakranial
keadaan trauma masif, dengan efek
berat dan perdarahan massa, pasien
diperkiraka intrakranial yang
n tidak akan dengan efek membutuhkan
selamat massa, iskemik ECMO, gagal
tanpa usus saat atau henti
operasi menghadapi pernapasan,
kelainan jantung hipertensi
yang signifikan maligna, gagal
atau disfungsi jantung kongestif
multi organ / /dekompensasi,
sistem ensefalopati
hepatik, iskemik
usus atau
disfungsi multi
organ / sistem.

ASA VI Seorang
pasien yang
terkonfir-
masi
mengalami
kematian
batang otak
yang
organnya
akan
diambil
untuk
tujuan
donor

Berdasarkan hasil pra operatif tersebut, maka dapat di simpulkan status pasien pra
anestesi American Society of Anestesiology (ASA) pada pasien dikategorikan
sebagai pasien ASA II Hanya Penyakit ringan tanpa batasan substantif fungsional.

Pada persiapan periopeatif, dilakukan juga puasa sebelum operasi. Puasa


preoperatif pada pasien pembedahan elektif bertujuan untuk mengurangi volume
lambung tanpa menyebabkan rasa haus apalagi dehidrasi. Puasa preoperatif yang
disarankan menurut ASA adalah 6 jam untuk makanan ringan, 8 jam untuk
makanan berat dan 2 jam untuk air putih. Puasa preoperatif yang lebih lama akan
berdampak pada kondisi pasien preoperatif serta pascaoperatif. Pada pasien ini
diminta untuk berpuasa selama 8 jam sebelum operasi. Hal ini sudah sesuai teori
dimana anjuran puasa perioperative adalah selama 8 jam sebelum operasi. Pasien
juga harus disiapkan psikisnya dengan dukungan moral, dan diingatkan untuk
berdoa. Pasien dan keluarga sudah harus paham betul akan tindakan yang akan
dilakukan serta menandatangani informed consent.

Untuk persiapan khusus berupa donor dan transfusi darah dipertimbangkan


dengan melihat risiko perdarahan dari segi pembedahan dan hasil evaluasi
preoperatif. Pertimbangan yang dimaksud adalah dari kondisi pasien sebelum
operasi, penyakit bawaan pasien, dan hasil pemeriksaan laboratorium. Pada pasien
ini dilakukan persiapan darah (PRC) sebanyak 1 kantung (250cc).

Persiapan pra operasi untuk anestesi regional tidak berbeda dari yang
untuk anestesi umum. Namun, seperti dengan anestesi regional, diskusi dengan
pasien mengenai spesifik manfaat dan komplikasi potensial harus diperhatikan.
Komplikasi yang jarang terjadi namun tetap perlu diperhatikan seperti kerusakan
saraf, perdarahan, dan infeksi, dan komplikasi. Komplikasi yang sering terjadi tapi
dengan konsekuensi minor seperti post-dural puncture headache. Kemungkinan
untuk kegagalan blok harus didiskusikan dan pasien harus yakin bahwa dalam
teknik anestesi akan memberikan kenyamanan. Walaupun tempat operasi sudah
teranestesi dalam banyak kasus pasien tetap merasa tidak nyaman. Selanjutnya,
efek operasi atau spinal anestesia yang tinggi mungkin akan mempengaruhi
pernapasan, sirkulasi bahkan intubasi dan ventilasi mekanik mungkin diperlukan.
Evaluasi preoperatif termasuk pemeriksaan toraks dan vertebra lumbal serta kulit
disekitar tempat penusukan jarum. Anestesi spinal lebih sulit dan mungkin
kesalahan lebih banyak jika terdapat kelainan anatomi seperti skoliosis atau
keterbatasan fleksi vertebra pasien. Infeksi pada tempat punksi menghalangi
spinal anestesi. Defisit neurologi yang ada sebelumnya yang ditemukan lewat
anamnesa atau dengan pemeriksaan harus dicatat untuk mencegah kesalahan
diagnosis kelainan neurology post anestesi.

Premedikasi adalah tindakan awal anestesia dengan memberikan obat-obat


pendahuluan. Premedikasi diberikan 1-2 jam sebelum induksi anestesia. Tujuan
dari premedikasi adalah menimbulkan rasa nyaman bagi pasien yang meliputi
bebas dari rasa takut, tegang dan khawatir (bebas nyeri dan mual-muntah),
mengurangi sekresi kelenjar dan menekan reflex vagus,
memudahkan/memperlancar induksi, mengurangi dosis obat anestesia, dan
mengurangi rasa sakit dan kegelisahan pasca bedah. Pada Pasien ini diberikan
premedikasi yaitu Analgesik : Ketorolac injeksi 30 mg (IV) Konsentrasi 30
mg/ml dalam dalam 1 Ampul 1 ml. Diberikan secara intravena.Dosis untuk bolus
intravena harus diberikan selama minimal 15 detik. Mulai timbulnya efek
analgesia setelah pemberian IV maupun IM serupa, kira-kira 30 menit, dengan
maksimum analgesia tercapai dalam 1 hingga 2 jam. Efek pemberian obat ini
yaitu menghambat biosintesis prostaglandin di perifer tanpa mengganggu reseptor
opioid di sistem saraf pusat dimana mekanisme kerjanya menghambat enzim
siklooksogenase (COX 1). Selain menghambat sintese prostaglandin, juga
menghambat tromboksan A2 sehingga memiliki efek anti inflamasi. Pada pasien
ini diberikan ketorolac injeksi 30 mg IV dengan tujuan untuk mendapatkan efek
analgesia yang terkandung dalam ketorolac sehingga dapat mengurangi nyeri pada
pasien., (Dachlan M, R. 2009). Antiemetik : Ondancentron injeksi 4 mg (IV).
Konsentrasi 4 mg/2ml dalam 1 Ampul 2 ml, dosis 0,05-01 mg/kgBB
Ondansentron, sebagai anti emetik, suatu antagonis selektif 5-HT3, menghambat
serotonin dan bekerja berdasarkan mekanisme sentral dan perifer. Mekanisme
sentral dengan mempertinggi ambang rangsang muntah di chemoreceptor trigger
zone. Mekanisme perifer dengan menurunkan kepekaan saraf vagus terminalis di
visceral yang menghantar impuls eferen dari saluran cerna ke pusat muntah.Onset
30 menit, dengan durasi 3 jam.Pada pasien ini diberikan ondancentron 4 mg (IV)
untuk mendapatkan efek emetik sehingga pasien tidak merasakan mual ataupun
muntah saat dilakukan induksi operatif ataupun pasca operatif., (Brunton
LL.2008).
Pada pasien ini dilakukan anastesi regional yaitu Spinal anastesi sesuai
dengan salah satu indikasi dilakannya Tindakan anastesi spinal yaitu bedah
obstetric-ginekologi. Keuntungan anestesi regional adalah penderita tetap sadar,
sehingga refleks jalan napas tetap terpelihara. Muntah dan aspirasi bukan kondisi
membahayakan pada anestesi regional. Waktu prosedur analgesia spinal lebih
singkat, relatif mudah, efek analgesia lebih nyata (kualitas blok motorik dan
sensorik yang baik), mulai kerja dan masa pulih yang cepat.
Anestesia spinal dihasilkan dengan menginjeksikan anestetik lokal
kedalam cairan serebrospinal, hal ini dicapai hanya dengan punksi subaraknoid
lumbal. Spinal anestesia umumnya digunakan untuk prosedur bedah yang
melibatkan perut bagian bawah, perineum, dan ekstremitas bawah. Meskipun
teknik ini juga bisa digunakan untuk operasi perut bagian atas, yang paling
dipertimbangkan lebih baik untuk mengelola anestesi umum untuk memastikan
kenyamanan pasien. Selain itu, blok yang luas diperlukan untuk operasi perut atas
dan sifat prosedur ini mungkin memiliki dampak negatif pada ventilasi dan
oksigenasi. Obat-obatan, perlengkapan serta mesin anestesi disiapkan sebelum
pasien masuk ruangan dengan monitor standar. Persiapan termasuk vasopressor
untuk mencegah hipotensi, suplemen oksigen melalui nasal kanula atau masker
untuk mengatasi depresi pernapasan akibat sedatif atau anestetik. Pemberian
sedatif dan narkotik membuat penderita tenang selama penusukan jarum. Anestesi
spinal dapat dilakukan pada posisi duduk, lateral dekubitus atau posisi prone.
Setelah posisi ditentukan, identifikasi tempat penusukan. Pencegahan untuk
menghindari infeksi termasuk tehnik aseptic, kulit dibersihkan dengan larutan
bakterisidal, penutup steril, sarung tangan dan secara hati-hati memperhatikan
indicator sterilisasi termasuk perlengkapan spinal. Anastesi dibuat di bawah L2
untuk menghindari risiko kerusakan medulla spinalis. Adapun pada pasien ini,
prosedur tindakan spinal anastesi telah dilakukan sesuai dengan teori.

Ada dua golongan besar obat anesthesi regional berdasarkan ikatan kimia,
yaitu golongan ester dan golongan amide. Keduanya hampir memiliki cara kerja
yang sama namun hanya berbeda pada struktur ikatan kimianya. Mekanisme kerja
anestesi lokal ini adalah menghambat pembentukan atau penghantaran impuls
saraf. Tempat utama kerja obat anestesi lokal adalah di membran sel. Anestesi
lokal yang sering dipakai adalah bupivakain. Lidokain5% sudah ditinggalkan
karena mempunyai efek neurotoksisitas, sehingga bupivakain menjadi pilihan
utama untuk anestesi spinal saat ini. Bupivakain dikenal dengan markain. Potensi
3-4 kali dari lidokain dan lama kerjanya 2-5 kali lidokain. Dosis maksimal 2
mg/kg BB. Pada pasien digunakan obat anestesi golongan amide yaitu Bupivakain
0,5% dengan dosis 20 mg dan ditambahkan Fentanyl 25 mcg. Adjuvan intratekal
digunakan untuk memperpanjang durasi, meningkatkan derajat kesuksesan,
kepuasan pasien, dan meminimalisir nyeri post-operatif. Kualitas anestesi spinal
dilaporkan lebih baik dengan penambahan opioid dan obat lain. Oleh karena itu,
pemahaman obat adjuvan penting untuk praktik anestesi spinal sehari-hari.
Sedangkan fentanil adalah salah satu opioid yang digunakan untuk anestesi.
Fentanil memiliki durasi kerja singkat, namun memiliki eliminasi waktu paruh
lebih lama dibandingkan morfin. Fentanyl, golongan obat opioid analgetik poten
yang terutama bekerja sentral pada sistem saraf pusat, sehingga mengakibatkan
meningkatnya ambang batas nyeri, mengurangi persepsi nyeri menghambat
serabut saraf nyeri ascending, menyebabkan depresi nafas dan sedasi. Dosis 1-2
mcg/kgBB IV Tujuan dari pemberian fentanyl adalah untuk meningkatkan
kualitas analgesia intraoperative. Aksi sinergis dari fentanyl dan anestesi lokal di
blok neuraxial pusat (CNB) meningkatkan kualitas analgesia intraoperatif dan
juga memperpanjang analgesia pascaoperasi.
Pada pasien diberikan obat emergency ephedrine 10 mg sebanyak 1 kali yaitu
pada jam 13.45 dengan tekanan darah 103/73 nadi 63 kali permenit, efedrin
merupakan agonis kuat baik α maupun β adrenoreseptor dan berperan sebagai
agen simpatomimetik, yang bekerja secara tidak langsung melalui stimulasi
pelepasan norepinefrin pada medula adrenalis ginjal. kerja utama efedrin melalui
pelepasan katekolamin, selain itu sebagian bekerja langsung terhadap
adrenoreseptor. Kerjanya nonselektif dan meniru efek epinefrin. Karena obat ini
mampu masuk ke dalam sistem saraf pusat, maka dapat menimbulkan perasaan
terpacu yang tidak ditemukan pada katekolamin. Injeksi efedrin menyebabkan
peningkatan tekanan darah secara perlahan dan perlu beberapa menit untuk
mencapai puncak. Penggunaan efedrin di bidang anestesi pada kasus hipotensi
akibat regional anestesi, baik oleh karena spinal ataupun epidural anestesi.
Pemberian efedrin 10-25 mg iv pada orang dewasa sebagai pilihan
simpatomimetik mengatasi blokade susunan saraf simpatis yang disebabkan
anestesi regional ataupun untuk mengatasi efek hipotensi yang disebabkan obat-
obat anestesi.

Operasi berlangsung selama 1jam 40 menit. Pasien kemudian dipindahkan


ke ruang pemulihan (Recovery Room) dilakukan pemantauan di ruang recovery
room dan di dapatkan tekanan darah 107/70mmHg, Nadi 62x per menit,
Pernafasan 20x per menit permenit. Bromage Score 2 pasien di pindahkan ke
ruangan
BAB V
KESIMPULAN

1. Pada kasus ini pasien perempuan usia 40 tahun masuk dengan keluhan nyeri
perut bawah disertai dengan perut membesar sejak 7 bulan yang lalu dan di
diagnosis dengan myoma uteri, lalu dilakukan operasi histerektomi. Tindakan
yang digunakan pada operasi ini yaitu, anestesi regional menggunakan teknik
Spinal Anastesi.
2. Berdasarkan hasil anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang,
maka maka dapat di simpulkan status pasien pra anestesi American Society of
Anestesiology (ASA) pada pasien dikategorikan sebagai pasien ASA II yaitu
Hanya Penyakit ringan tanpa batasan substantif fungsional.
3. Pada pasien ini dilakukan anastesi regional yaitu Spinal anastesi sesuai dengan
salah satu indikasi dilakannya Tindakan anastesi spinal yaitu bedah obstetric-
ginekologi. Keuntungan anestesi regional adalah penderita tetap sadar,
sehingga refleks jalan napas tetap terpelihara. Muntah dan aspirasi bukan
kondisi membahayakan pada anestesi regional. Waktu prosedur analgesia
spinal lebih singkat, relatif mudah, efek analgesia lebih nyata (kualitas blok
motorik dan sensorik yang baik), mulai kerja dan masa pulih yang cepat.
4. Pada pasien digunakan obat anestesi golongan amide yaitu Bupivakain 0,5%
dengan dosis 20 mg dan ditambahkan Fentanyl 25 mcg. Adjuvan intratekal
digunakan untuk memperpanjang durasi, meningkatkan derajat kesuksesan,
kepuasan pasien, dan meminimalisir nyeri post-operatif. Kualitas anestesi
spinal dilaporkan lebih baik dengan penambahan opioid dan obat lain. Oleh
karena itu, pemahaman obat adjuvan penting untuk praktik anestesi spinal
sehari-hari.
5. Setelah operasi selesai pasien di pindahkan ke Recovery room dan dilakukan
monitoring sampai keadaan pasien stabil dan dilakukan penilaian, Bromage
Score dengan hasil 2 sehingga pasien dapat di pindahkan ke ruangan.
DAFTAR PUSTAKA

1. Joedosoepoetro MS. Tumor-tumor Jinak Pada Alat-alat Genital Dalam, Ilmu


Kandungan, editor Prawirohardjo S, Yayasan Bina Pustaka Sarwono
Prawirohardjo, Jakarta,2009: 338-344
2. Benson, R. Buku Saku Obstetri dan Ginekologi. Edisi 9. Cetakan I.
Jakarta:Penerbit EGC; 2008.
3. Latief SA, Suryadi KA. Dahlan, M.R. Anestesiologi. Jakarta: Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia; 2007.
4. Latief, A.S., suryadi, K.A., Dachlan, M.R. Petunjuk Praktis Anestesiologi.
Jakarta: Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FKUI; 2007
5. Gwinnutt CL. Catatan Kuliah Anestesi Klinis Edisi 3. Penerbit EGC: Jakarta.
2014.
6. Mehine M, Kaasinen, Netta, Katainen R,Heinonen, Kilpivaara, Kuosmanen,
Gentile,Vahteristo and Lauri A. Characterization of Uterine Leiomyomas by
Whole-Genome Sequencing. The new england journal medicine.
Massachusetts Medical Society. 2013; p43-53
7. Hart MD, McKay D. Fibroids in Gynecology Ilustrated, London : Churchill
Livingstone. 2000; 213-216
8. DeCherney, A.H.,Nathan, L. Current Obstetry and Gynecology Diagnosis and
Therapy. McGraw-Hill, 2003; P :693-699
9. Pramono, Ardi. Buku Kuliah Anestesi. Jakarta: EGC;2015
10. Morgan GE. Clinical Anesthesiology: 44th Edition;2014
11. Snell RS. Clinical Anatomy: 7th edition. Philadelphia: Wolters Kluwer
Health; 2010
12. Samodro R, Sutiyono D, Satoto HH. Mekanisme kerja obat anestesi lokal.
Dalam: Jurnal Anestesiologi Indonesia. Bagian anestesiologi dan terapi
intensif FK UNDIP/RSUP Dr.Kariadi. 2011; 3(1): 48-59
13. Said A, Kartini A, Ruswan M. Petunjuk praktis anestesiologi: anestetik lokal
dan anestesia regional. Edisi ke-2. Jakarta: Fakultas Kedokteran UI; 2002.
14. Butterworth JF, Mackey DC, Wasnick JD. Morgan & Mikhail’s Clinical
Anesthesiology. 5 th Ed. New York: McGraw Hill; 2013.
15. Morgan, et.al. Clinical Anesthesiology. Fifth Edition. ISBN: 978-0-07-
171405-1;2013
16. Sari NK. Perbedaan tekanan darah pasca anestesi spinal dengan pemberian
preload dan tanpa pemberian preload 20cc/kgbb ringer laktat [Karya tulis
ilmiah]. Semarang:. Fakultas Kedokteran UNDIP; 2012.

Anda mungkin juga menyukai