Anda di halaman 1dari 11

Patologi Birokrasi dalam Pemerintahan Indonesia

Shakilla Aurora 3020210211


Program Studi S1 Ilmu Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Pancasila
E-mail: shakillaaurora09@gmail.com

Abstrak
Penyakit dalam birokrasi atau yang disebut sebagai patologi birokrasi merupakan
ungkapan dari sebuah penyakit yang menghancurkan dan merusak sendi sendi dari
birokrasi. Penyakit dari birokrasi ini biasanya sudah ada dan terpelihara sejak lama
selama birokrasi itu ada dalam pemerintahan, karena pada dasarnya patologi birokrasi
yang terjadi tidak mungkin berdiri sendiri, melainkan melibatkan para penegak
hukum, para politisi, dan yang lainnya. Oleh karena itu, patologi birokrasi sendiri
merupakan keresahan bagi banyak Negara. Bentuk patologi birokrasi yang sering
ditemui di dalam Pemerintaha Indonesia misalnya kasus suap, penyogokan bahkan
korupsi. Tulisan ini memfokuskan bagaimana upaya meminimalisir terjadinya
Patologi Birokrasi di Indonesia, dengan memaparkan Patologi Birokrasi serta sebab
dari terjadinya patologi birokrasi di Indonesia, menjelaskan fenomena ini dan teori
teori yang berkaitan dilanjut dengan bagaimana menghadapi keadaan tersebut dan
solusi yang ditawarkan.
Kata Kunci: Birokrasi; Patologi birokrasi; Pemerintahan

Abstract
Diseases in the bureaucracy or what is known as bureaucratic pathology is an
expression of a disease that destroys and damages the joints of the bureaucracy. This
disease of the bureaucracy usually has existed and been maintained for a long time
as long as the bureaucracy is in government, because basically the bureaucratic
pathology that occurs cannot stand alone, but involves law enforcers, politicians, and
others. Therefore, the pathology of bureaucracy itself is a concern for many countries.
The forms of bureaucratic pathology that are often encountered in the Indonesian
government are cases of bribery, bribery and even corruption. This paper focuses on
how to minimize the occurrence of Bureaucratic Pathology in Indonesia, by
describing Bureaucratic Pathology and the causes of bureaucratic pathology in
Indonesia, explaining this phenomenon and related theories, followed by how to deal
with this situation and the solutions offered
Keywords: Bureaucracy; Bureaucratic Pathology; Government
PENDAHULUAN
1) Latar Belakang
Dalam ilmu kedokteran patologi ini dikenal sebagai ilmu tentang penyakit. Patologi
Birokrasi (Bureaupathology) adalah himpunan dari perilaku-perilaku yang kadang-
kadang disibukkan oleh para birokrat. Risman K. Umar (2002) mendefinisikan bahwa
patologi birokrasi adalah penyakit atau bentuk perilaku birokrasi yang menyimpang
dari nilai-nilai etis, aturan-aturan dan ketentuanketentuan perundang-undangan serta
norma-norma yang berlaku dalam birokrasi. Sikap ini tak jarang muncul akibat
perilaku para birokrat dan kondisi yang membuka kesempatan untuk hal tersebut
terjadi, baik yang menyangkut politis, ekonomis, social cultural dan teknologikal.
Patologi birokrasi muncul dikarenakan hubungan antar variabel pada struktur
birokrasi yang terlalu berlebihan, seperti rantai hierarki panjang, spesialisasi,
formalisasi dan kinerja birokrasi yang tidak linear.
Lord Acton (1972), menyatakan bahwa power tends to corrupt, but absolute power
corrupt absolutely yang artinya kekuasaan cenderung korup, tapi kekuasaan yang
absolut pasti korup. Secara implisit hal ini menjelaskan birokrasi dalam hubungannya
dengan kekuasaan akan mempunyai kecenderungan untuk menyelewengkan
wewenangnya (Ismail, 2009). Dalam hal tersebut, selain sistem, bisa juga aparaturnya.
Disambung Islamy (1998:8) yang berpendapat bahwa, birokrasi di kebanyakan negara
berkembang termasuk Indonesia cenderung bersifat patrimonialistik: tidak efesien,
tidak efektif (over consuming and under producing), tidak obyektif, anti terhadap
kontrol dan kritik, serta tidak mengabdi kepada kepentingan umum. Dari penjelasan
tersebut kita bisa menilai bahwa birokrasi di Indonesia ini merupakan birokrasi yang
sangat kurang inovasi, akibatnya birokrasi di Negara kita ini menjadi lamban, tidak
efisien, kaku, berbelit, hingga sangat kurang transparan yang pada akhirnya dapat
disebut sebagai patologi dari birokrasi itu sendiri. Hal tersebut sangan berbalik dengan
manusia dalam birokrasi yang kodratinya memiliki kreativitas untuk pengembangkan
birokrasi itu sendiri. James R Evans mengemukakan pengertian kreativitas adalah
keterampilan untuk menetukan pertalian, melihat subyek dan perspektif baru, dan
membetik kombinasi-kombinasi baru dari dua atau lebih konsep yang telah tercetak
dalam pemikiran. Berdasarkan pandangan ini kita dapat merumuskan kreativitas
birokrasi yang dapat dikatakan pertalian antara cara berpikir dengan cara bertinadak
setiap manusia individu dalam ikatan birokrasi sehingga menghasilkan sesuatu baik
yang berkaitan dengan pemikitan atau penalaran maupun yang berkaitan dengan hasil
kerja dari setiap individu yang dapat digunakan atau dimanfaatkan untuk
pertumbuhan atau perkembangan birokrasi dan kesejahteraan anggota birokrasi.
Namun proses patologi birokrasi yang akut di Indonesia ini bukan sesuatu yang datang
tiba-tiba, tetapi terpelihara sejak lama. Birokrasi sudah terbiasa menjadi simbol
kemakmuran dan kejayaan bagi aparatnya untuk mendapat pelayanan dari
masyarakat. Kultur pangreh praja yaitu rakyat mengabdi pada pemerintah/raja yang
ada di birokrasi zaman kerajaan-kerajaan di Nusantara, dan birokrasi yang diciptakan
untuk melayani penguasa terjadi di zaman penjajahan. Maka dari itu tulisan ini
bermaksud menjelaskan dan memaparkan patologi birokrasi di pemerintahan
Indonesia yang nyatanya sudah berlangsung sejak lama sehingga nantinya dapat di
temukan upaya meminimalisir terjadinya patologi birokrasi itu di Indonesia.

2) Rumusan Masalah
Bagaimana upaya meminimalisir terjadinya Patologi Birokrasi di Indonesia?

3) Metode Penelitian
Metode merupakan salah satu kegiatan ilmiah yang berkaitan dengan suatucara kerja
sistematis untuk mengetahui atau memahami suatu subjek atau objek penelitian,
sebagai upaya untuk menemukan jawaban yang dapat dipertanggung jawabkan secara
ilmiah dan termasuk keabsahannya. Penelitian merupakan kegiatan ilmiah yang
berkaitan dengan analisis dan konstruksi yang dilakukan secara metodelogis,
sistematis, dan konsisten. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode
kualitatif, hal tersebut dikarenakan penelitian ini berfungsi untuk menjelaskan
fenomena dari patologi birokrasi sedalamdalamnya dengan mengumpulkan data-data
yang ada. Lalu pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini ialah pendekatan
deskriptif, dimaksudkan untuk memberikan deskripsi, gambaran, atau lukisan secara
sistematis, faktual dan akurat mengenai fakta-fakta, sifat- sifat serta hubungan dari
sebab, akibat, serta solusi dari patologi birokrasi di Indonesia.

4) Kebaharuan
Dalam artikel ini penulis memberikan suatu solusi baru yang diharapkan nantinya
dapat mengurangi atau meminimalisir masalah patologi birokrasi di dalam
pemerintahan Indonesia, yang mana solusi tersebut berbeda dengan beberapa artikel
lain yang menjadi acuan dari pembuatan artikel ini, selain itu solusi yang di tawarkan
juga sangat cocok untuk masa kina ialah masa modern.

PEMBAHASAN
A. Terjadinya Patologi Birokrasi di Indonesia
Seperti yang telah disebut sebelumnya bahwa patologi birokrasi yang ada di Indonesia
ini tidaklah semata-mata baru saja terjadi melainkan sudah terpelihara sejak lama
bahkan bisa terbilang sudah mengakar dalam pemerintahan karena corak budaya
birokrasi pada masa kerjaan, dan kolonial Belanda yang ada di Indonesia. Budaya
birokrasi masa kerjaan yang mana rakyat mengabdi pada pemerintah atau raja
(pangreh praja) dengan cirinya: 1) Penguasa menganggap dan menggunakan urusan
pemerintahan sebagai urusan pribadi; 2) administrai merupakan perluasan dari rumah
tangga istana; 3) tugas pelayanan ditujukan kepada pribadi sang raja; 4) gaji dari raja
kepada pegawai kerajaan hakikatnya adalah anugerah yang juga dapat ditarik
sewaktu-waktu sekehendak raja; dan 5) para pejabat kerajaan dapat bertindak
sekehendak hatinya terhadap rakyat, seperti halnya yang dilakukan oleh raja.
Selanjutnya masa kedatangan kolonial Belanda yang mana tidak banyak mengubah
sistem birokrasi pemerintahan kerajaan masa itu melainkan semakin mendukung dan
mengembangkan pola paternalistik yang telah menjiwai sistem birokrasi pada masa
kerajaan. Dimasa kolonial Belanda ini mereka memperkenalkan dan memberlakukan
sistem administrasi kolonial atau Binnenlandsche Bestuur dengan sistem birokrasi dan
administrasi modern, namun disisi lain mereka tetaplah mempertahankan sistem
administrasi tradisional (Inheemsche Bestuur) sehingga selama pemerintahan
kolonial berkuasa di Indonesia terjadi dualisme sistem birokrasi pemerintahan,
walaupun demikian tetaplah pemerintahan kolonial disusun secara hierarki yang
puncaknya pada Ratu Belanda. Karena itu, sentralisasi kekuasaan dalam birokrasi
masa kolonial sangat dominan sehingga “pangreh praja” bagi birokrasi pada masa
pemerintah kolonial sebenarnya memberikan makna pada kedudukan birokrasi yang
hanya berperan sebagai alat dari pemerintah kolonial Belanda itu sendiri. Hal tersebut
jelas mengembangkan sikap feodalisme di dalam tubuh birokrasi saat itu, sehingga
terpeliharalah sikap feodalistik dalam birokrasi yang pada akhirnya menjadi cikal
bakal dari munculnya patologi birokrasi saat ini.
Selain dari alasan corak budaya birokrasi yang pernah ada di Indonesia
sebelumnya, Sondang P. Siagian juga membagi alasan terjadinya patologi
birokrasi menjadi lima kelompok. sebagai berikut:
1) Persepsi dan gaya manajerial para pejabat di lingkungan birokrasi yang
menyimpang dari prinsip-prinsip demokrasi, sehingga menimbulkan suatu
patologi dalam birokrasi seperti : penyalahgunaan wewenang dan jabatan;
menerima sogok; prasangka; mengaburkan masalah; pertentangan
kepentingan; cenderung mempertahankan status; bermewah-mewah; pilih
kasih; takut pada perubahan, inovasi, dan resiko; penipuan; sikap sombong;
ketidakpedulian pada kritik dan saran; tidak mau bertindak; takut mengambil
keputusan; sifat menyalahkan orang lain; tidak adil; intimidasi; kurang
komitmen; kurang koordinasi; kurang kreativitas; kredibilitas trendah;
kurangnya visi yang imajinatif; kedengkian; nepotisme; tindakan tidak
rasional; bertindak diluar wewenang.
2) Rendahnya pengetahuan dan keterampilan para petugas pelaksana berbagai
kegiatan operasional, sehingga mengakibatkan produktivitas dan mutu
pelayanan yang rendah, serta kesalahan yang sering terjadi karena pegawai.
Hal tersebut menunjukan bahwa rendahnya produktivitas kerja dan mutu
pelayanan tidak semata-mata hanya disebabkan oleh tindakan dan perilaku
yang disfungsional seperti pada poin pertama. Akan tetapi, dapat terjadi juga
karena tingkat pengetahuan dan ketrampilan yang kurang sehingga tidak dapat
memenuhi tuntutan tugas yang diemban. Masalah pengetahuan dan
ketrampilan menjadi semakin rumit, apabila dalam birokrasi tidak terdapat
program pendidikan dan pelatihan yang dikaitkan dengan tuntutan tugas dan
tantangan yang diperkirakan akan dihadapi oleh birokrasi yang bersangkutan.
3) Tindakan melanggar norma-norma hukum dan peraturan perundang undangan
oleh para anggota birokrasi, sama seperti poin pertama Tindakan melanggar
norma ini bentuk dari disfungsional para anggota birokrasi dengan cakupan
yang lebih besar dari sebelumnya, seperti: penggemukan biaya; menerima
sogok; ketidakjujuran; korupsi; tindakan kriminal; penipuan; kleptokrasi;
kontrak fiktif; sabotase; tata buku tidak benar; dan pencurian.
4) Manifestasi perilaku birokrasi yang bersifat disfungsional atau negatif, seperti:
bertindak sewenangwenang; pura-pura sibuk; paksaan; konspirasi; sikap
takut; penurunan mutu; tidak sopan; diskriminasi; dramatisasi; sulit dijangkau;
sikap tidak acuh; tidak disiplin; kaku; tidak berperikemanusiaan; tidak peka;
tidak sopan; tidak peduli tindak; salah tindak; semangat yang salah tempat;
negativisme; melalaikan tugas; tanggungjawab rendah; lesu darah; paparazi;
melaksanakan kegiatan yang tidak relevan; utamakan kepentingan sendiri;
suboptimal; imperatif wilayah kekuasaan; tidak profesional; sikap tidak wajar;
melampaui wewenang; vested interest; dan pemborosan.
5) Buruknya situasi internal suatu instansi pemerintahan yang berakibat negatif
terhadap birokrasi, hal tersebut dapat dilihat dari analisis mendalam mengenai
konfigurasi birokrasi tersebut. Dengan itu akan terlihat berbagai situasi
internal yang dapat berakibat negatif terhadap birokrasi yang bersangkutan,
antara lain: penempatan tujuan dan sasaran yang tidak tepat; eksploitasi; tidak
tanggap; motivasi yang tidak tepat; kekuasaan kepemimpinan; beban kerja
yang terlalu berat; dan perubahan sikap mendadak.
Seperti yang dijelaskan sebelumnya mengenai bentuk dari patologi birokrasi itu
sendiri yang mana jika kita baca dengan seksama highlight pokok dengan peluang
yang sangat besar dari terjadinya patologi birokrasi yaitu disfungsional para pelaku
birokrasi di dalam negara kita ini baik hal tersebut dikarenakan kurangnya
pengetahuan dari para pelaku birokrasi, atau pun Tindakan melanggar norma hukum,
dan presepsi hingga gaya manajerial dalam lingkungan para pelaku birokrasi tersebut.
Wujud nyata lekatnya patologi birokrasi pada pemerintahan Indonesia ini dapat dilihat
dari kasus kasus KKN yang meledak tanpa henti hentinya di negara kita ini. Jika kita
lihat pada tahun lalu, Indonesia Corruption Watch (ICW) mencatat terdapat 533
penindakan kasus korupsi yang dilakukan aparat penegak hukum (APH) sepanjang
2021 lalu. Dari seluruh kasus tersebut, total potensi kerugian negara yang ditimbulkan
mencapai Rp29,4 triliun. Jumlah kasus korupsi yang berhasil ditindak APH pada
2021 lebih banyak dari tahun sebelumnya, dan cenderung fluktuatif dalam lima tahun
terakhir. Lalu jika kita intip tahun 2022 ini, tercatat sejumlah upaya penanganan tindak
pidana korupsi yang telah dilakukan KPK. Dilansir dari laman resmi KPK, dalam
semester pertama tahun 2022, KPK telah melakukan 66 penyelidikan, 60 penyidikan,
71 penuntutan, 59 perkara inkracht, dan mengeksekusi putusan 51 perkara. Dari total
perkara penyidikan, KPK telah menetapkan sebanyak 68 orang sebagai tersangka dari
total 61 surat perintah penyidikan (spirindik) yang diterbitkan. Jika dirinci, perkara
yang sedang berjalan pada semester pertama sebanyak 99 kasus yang terdiri dari 63
kasus carry over dan 36 kasus baru dengan 61 sprindik yang diterbitkan. Carry over
merupakan kasus yang sudah berlangsung lama namun kemudian dikembangkan oleh
KPK dan ditemukan dugaan tindak pidana korupsi lain. Tak hanya itu, KPK juga telah
melakukan 52 kali penggeledahan dan 941 penyitaan dalam proses penyidikan
perkara yang kebanyakan perkara tersebut dilakukan oleh birokrat pemerintahan.
Tidak hanya itu, jumlah pengaduan dari masyarakat kepada SP4N-LAPOR! sebagai
sistem pengaduan nasional yang menjaga sirkulasi penyerapan aspirasi masyarakat
untuk pemerintah ini sangat lah meledak mengenai buruknya birokrasi pemerintahan
yang mereka secara orang perorang rasakan. Dengan ini tergambar jelas sistem
birokrasi Negara Indonesia dan situasi dalam pemerintahan akibat dari penyakit
birokrasi yang mengakar kuat ini.

B. Upaya Menghadapi masalah Patologi Birokrasi di Indonesia


Melihat dari seberapa akut penyakit birokrasi yang diderita Negara kita ini, haruslah
terdapat obat yang siap menyembuhkannya. Sesuai dengan Pepatah Arab yaitu “Likuli
Daain Dawaaun” yang artinya setiap penyakit pasti ada obatnya, sama seperti dengan
kasus Patologi birokrasi yang diderita Indonesia ini. Namun sebelum mulai meracik
obat untuk itu, diperlukan pemahaman yang tepat mengenai paradigma birokrasi yang
ideal sebagai tolok ukur efektivitas kegiatan yang dilakukan untuk mewujudkannya.
Setelah dijelaskan kondisi pemerintahan Indonesia yang menderita Patologi Birokrasi
pada sub bab sebelumnya, setidaknya kita telah mendapat gambaran dari seberapa
parah penyakit birokrasi di Negara kita. Disini saya mencoba memberikan resep obat
dari hasil penelitian saya untuk nantinya dapat dipakai sebagai solusi dari upaya
menanggulangi, atau setidaknya meminimalisir kasus patologi birokrasi dalam
pemerintahan Indonesia.
Jika dilihat dari lima alasan terjadinya birokrasi menurut Sondang P. Siagian, dapatlah
ditawarkan solusi paradigma birokrasi yang ideal untuk menghadapi patologi
birokrasi yaitu:
1) Kelembagaan, dalam setiap Negara birokrasi pemerintahan merupakan
organisasi yang paling besar. Besarnya birokrasi ditentukan oleh berbagai
faktor, seperti kompleksitas fungsi yang harus diselenggarakan, besarnya
tenaga kerja yang digunakan, besarnya tenaga kerja yang digunakan, besarnya
anggaran yang dikelola, beraneka ragamnya sarana dan prasarana yang
dikuasai serta dimanfaatkan, serta luasnya wilayah kerja yang meliputi seluruh
wilayah kelcuasaan negara yang bersangkutan. Agar semakin mampu
menyelenggarakan fungsinya dengan tingkat efisiensi, efektivitas dan
produktivitas yang semakin tinggi, birokrasi pemerintah perlu selalu berusaha
agar seluruh organisasi birokrasi itu dikelola berdasarkan prinsip'prinsip
organisasi.
2) Manajemen Sumber Daya Manusia, Surnber daya manusia harus diserahkan
pada tersedianya tenaga kerja dan birokrasi dengan cara kuantitatif dan
kualitatif mernenuhi tuntutan keselurnhan tugas dan peranan birokrai. Adapun
langkah-Iangkah yang dapat diambil dalarm mengelola surnber daya manusia
terdiri dari: perencanaan; rekruitrnen; seleksi; penempatan sernentara;
penempatan tetap; penentuan sistem imbalan; perencanaan dan pembinaan
karier; peningkatan pengetahuan dan ketrampilan; pemutusan hubungan kerja;
pensiunan; audit kepegawaian.
3) Pengembangan sistem kerja, pengembangan sistem kerja ini harus diarahkan
pada hilangnya persepsi negatif rnengenai birokrasi. Selanjutnya
pengembangan sistem kerja harus didasarkan pada pendekatan kesisteman.
Pendekatan kesisteman pada intinya berarti bahwa struktur apapun yang
digunakan, sekalipun berbedabeda pengetahuan dan ketrarnpilan yang
spesialistik dari surnber daya manusia, kesemuanya itu harus tetap terwujud
dalarn kesatuan gerak dan langkah. Artinya, seluruh birokrasi bergerak
sebagai satu kesatuan. Kesatuan gerak yang dimaksud dapat diwujudkan
apabila pengembangan sistem kerja birokrasi ditujukan pada seluruh langkah
yang ditempuh dalam proses administrasi negara.
4) Pengenmbangan citra birokrasi yang positif
Di dalam masyarakat banyak, citra birokrasi yang pada umumnya bersifat
negatif. Untuk itu nilai-nilai loyalitas, kejujuran, semangat pengabdian,
disiplin kerja, mendahulukan kepentingan bangsa di atas kepentingan sendiri,
tidak memperhitungkan untung rugi dalam pelaksanaan tugas, kesediaan
berkorban, dedikasi selalu ditekankan untuk dijunjung tinggi. Beberapa cara
yang ditempuh untuk dapat menghilangkan citra negatif tersebut yang
diharapkan dapat berkembang citra yang positif. antara lain:
1. Mendorong proses demokrasi dalam masyarakat, antara lain dalam
bentuk peningkatan pengawasan sosial agar penyimpangan oleh para
anggota birokrasi semakin berkurang;
2. Mengurangi campur tangan birokrasi dalam berbagai kegiatankegiatan
dalam masyarakat yang semakin maju, merupakan "porsi" masyarakat
untuk menyelenggarakannya;
3. Menggunakan setiap kesempatan untuk menumbuhkan persepsi
mengenai pentingnya orientasi pelayanan, bukan orientasi kekuasaan.
dalam berpikir dan bertindak;
4. Mengharuskan para pejabat tinggi membuat pernyataan mengenai
kekayaan pada waktu mulai menjabat.
Selain dari itu, menurut saya solusi dari patologi birokrasi dengan pendekatan good
governance juga dapat dijadikan obat yang tepat untuk penyakit birokrasi yang ada di
Indonesia ini. Good governance atau kepemerintahan yang baik. Secara konseptual
pengertian “baik” mengandung dua pemahaman. Pertama, nilai yang menjunjung
tinggi keinginan/ kehendak rakyat, dan nilai-nilai yang dapat meningkatkan
kemampuan rakyat dalam pencapaian tujuan nasional, keman-dirian, pembangunan
berkelanjutan dan keadilan sosial. Kedua, aspek fungsional dari pemerintah yang
efektif dan efisien dalam pelaksanaan tugasnya untuk mencapai tujuan tersebut.
Konsep good governance ini juga berorientasi pada dua hal, yaitu:
1) Orientasi ideal negara yang diarahkan pada pencapaian tujuan nasional. Hal ini
mengacu pada demokratisasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara dengan
elemen-elemen konstituen atau pemilihnya, seperti: legitimasi, akuntabi- litas,
otonomi dan devolusi kekuasaan kepada daerah, serta ada-nya jaminan berjalannya
mekanisme kontrol oleh masyarakat.
2) pemerintahan yang berfungsi secara ideal, yaitu secara efektif dan efisien
melakukan upaya pencapaian tujuan nasional. Hal ini sangat bergantung pada sejauh
mana pemerintah mempunyai kompetensi, dan sejauh mana struktur serta mekanisme
politik dan administrasi berfungsi secara efektif dan efisien.
Konsep good governance ini sederhananya mengarahkan kepada upaya untuk
memperbaiki dan meningkatkan proses manajemen pemerintahan sehingga
kinerjanya menjadi lebih baik. Dengan demikian diharapkan penyimpangan-
penyimpangan dalam pelaksanaan pelayanan dapat dieliminir. Untuk itu pola dan
gaya pemerintah harus segera dibenahi dan dikembangkan dengan menggunakan
konsep good governance.
Terakhir obat yang ingin saya tawarkan ialah, dengan mengembangkan kebijakan
pembangunan birokrasi yang menyeluruh agar mampu menyentuh semua titik baik
itu sistem, struktur, budaya, dan perilaku birokrasi. Kemudian dalam hal upaya
meminimalisir patologi birokrasi, dapat dilakukan mengembangkan sistem politik
yang demokratis serta mampu mengontrol jalannya pemerintahan dengan maksud
supaya pemerintah lebih transparan, tanggung jawab terhadap apa yang mereka
lakukan dan masyarakat dengan mudah mengakses informasi publik dengan cara
melakukan pengembangan birokrasi berbasis teknologi informasi dan komunikasi
seperti, e-government untuk mempermudah interaksi antara masyarakat dengan para
pemberi layanan. Pada dasarnya sistem tersebut tetap perlu dilakukan pemantauann
terkait dengan pengimplementasiannya, guna meminimalisir terjadinya kecurangan
yang dilakukan oleh para oknum birokrat. Hal seperti itu saya tawarkan sebagai satu
dari sekian solusi karena jika dilihat dalam kasus kasus patologi birokrasi, banyak hal
terjadi karena adanya kontak fisik langsung antara masyarakat dengan para pelaku
birokrasi yang mana hal hal seperti itu dapat menimbulkan hal lain yang tidak
diperlukan terjadi. Maka dari itu bila di sediakan sistem dengan teknologi yang
memungkinkan masyarakat dalam urusannya tidak memerlukan tatap muka, dan
urusan urusan lain dalam pemerintahan memiliki check point dalam sistem yang
sama, menurut saya hal tersebut dapat meminimalisir terjadinya patologi birokrasi
dalam pemerintahan Indonesia ini. Karena sejatinya pengembangan sumber daya
aparatur bukanlah satu – satunya cara untuk keluar dari kemelut birokrasi. Tetapi
sebagai sebuah usaha tentu ada hasilnya, keseluruhan pembinaan kualitas birokrasi
atau aparatur pemerintah setidaknya ada setitik pencerahan, namun harus tetap
ditingkatkan secara terus menerus agar dapat diciptakan sosok birokrasi atau aparatur
yang profesional dan berkarakter. Dengan usaha – usaha yang seperti telas
disampaikan pada pembahasan diatas diharapkan dapat mewujudkan Good
Governance. Meningkatkan profesionalisme birokrasi melalui perubahan paradigma,
perilaku dan orientasi pelayanan kepada publik.

PENUTUP
A. Simpulan
Patologi birokrasi merupakan penyakit atau bentuk perilaku birokrasi yang
menyimpang dari nilai-nilai etis, aturan-aturan dan ketentuanketentuan perundang-
undangan serta norma-norma yang berlaku dalam birokrasi. Dalam hal yang terjadi
di Indonesia, Patologi Birokrasi ini tidaklah datang secara tiba tiba melainkan telah
tertanam sejak saat masa kerajaan dan kolonial Belanda. Yang mana saat itu konsep
yang tertanam ialah konsep Pangreh Praja dimana rakyat mengabdi kepada raja atau
pemerintahan, sehingga sentralisasi kekuasaan dalam birokrasi masa itu sangat
dominan sehingga jelas mengembangkan sikap feodalisme di dalam tubuh birokrasi
saat itu, yang akhirnya terpeliharalah sikap feodalistik dalam birokrasi, sehingga
corak budaya birokrasi masa itu menjadi patologi dari birokrasi masa kini. Selain itu
Sondang P. Siagian, memberikan lima masalah pokok dalam patologi birokrasi:
1) Persepsi gaya manajerial para pejabat di lingkungan birokrasi yang
menyimpang dari prinsip-prinsip demokrasi.
2) Rendahnya pengetahuan dan keterampilan para petugas pelaksana berbagai
kegiatan operasional, mengakibatkan produktivitas dan mutu pelayanan yang
rendah, serta pegawai sering berbuat kesalahan.
3) Tindakan pejabat yang melanggar hukum, dengan ”penggemukan”
pembiayaan, menerima sogok, korupsi dan sebagainya.
4) Manifestasi perilaku birokrasi yang bersifat disfungsional atau negatif.
5) Akibat dari situasi internal berbagai instansi pemerintahan yang berakibat
negatif terhadap birokras.
Hal tersebut tercatat dalam banyaknya kasus KKN di Indonesia yang dilakukan oleh
para birokrat, sehingga menggambarkan betapa sakitnya birokrasi negara ini. Oleh
sebab itu penulis menawarkan solusi yang diharapkan dapat meminimalisir patologi
yang terjadi di Indonesia, seperti:
Paradigma birokrasi yang ideal yaitu: kelembagaan; manajemen sumber daya
manusia; pengembangan sistem kerja; dan pengembangan citra birokrasi yang
positif. Selain itu Konsep dari good governance yang mengarahkan kepada upaya
untuk memperbaiki dan meningkatkan proses manajemen pemerintahan sehingga
kinerja dari birokrasi pemerintahan diharapkan menjadi lebih baik boleh dicoba juga
sebagai salah satu solusi dari Patologi birokrasi pemerintahan Indonesia. Terakhir
pengembangan IT sehingga dapat tercipta sistem birokrasi dengan tekhnologi
elektronik yang selalu dapat dipantau oleh pihak yang berwenang dan selalu tetap
pada sistem sehingga tidak mudah untuk terjadi hal hal tidak penting yang
menyalakan aturan yang ada.

B. Saran
Masalah patologi birokrasi yang terjadi dalam Pemerintahan Indonesia ini sudah
terjadi terlalu lama sehingga kalut dalam penaganannya. Banyak sekali pergerakan
pergerakan seperti reformasi birokrasi, namun dalam kenyataannya hal tersebut
layaknya hanya menyentuh permukaan dari patologi birokrasi itu sendiri karena tidak
berpengaruh terlalu banyak. Maka dari itu saran dari saya, kepada pemerintah untuk
serius dalam menangani penyakit dari birokrasi pemerintahan ini bahkan hal sekecil
apapun itu, dalam hal pencegahan, dan penanganan serta sanksi bagi pelaku patologi
birokrasi. Selain itu di sisi masyarakat pula sudah harus mulai melek pada kenyataan
bahwasannya kita juga berperan dalam kelancaran dan keefisenan birokrasi negara
kita ini, sehingga diharapkan bagi masyarakat untuk mulai memahami hal yang boleh
dan tidak dilakukan dalam melakukan birokrasi pemerintahan. Disisi lain, banyak
sekali artikel, dan tulisan bagus yang memberikan solusi kreatif dalam menghadapi
patologi birokrasi negara ini, sebaiknya hal tersebut lebih diperhatikan sehingga dapat
membantu Negara kita Indonesia ini lepas dari penyakit birokrasi yang sudah
menjangkit kita selama bertahun tahun.
DAFTAR PUSTAKA
Ismail, H.M. 2009, Politisasi Birokrasi, Malang: Ash-Shiddiqy Press.
Iskandar. (2009). Metodologi Penelitian Kualitatif. Jakarta: Gaung Persada Press.
Patologi Birokrasi. H. Mu’min Ma’ruf *)
Siagian, Sondang, P. 1994, Patologi Birokrasi: Analisis, Identifikasi, dan Terapinya.
Jakarta: Ghalia Indonesia.
Dwiyanto, Agus (ed) 2005. Mewujudkan Good Governance Melalui Pelayanan
Publik. Jogjakarta, UGM, Press.
Mas’oed, Mohtar. 1994. Politik, Birokrasi, dan Pembangunan, Jogjakarta, Pustaka
Pelajar.
Fatkhuri. 2017. Korupsi dalam Birokrasi dan Strategi Pencegahannya.
https://www.researchgate.net/publication/323917518_Korupsi_dalam_Birokrasi_da
n_ Strategi_Pencegahannya
2017. “Makalah Patologi Birokrasi”.
http://sedaobagann.blogspot.com/2017/10/makalah-patologi-birokrasi.html
HUMAS MENPANRB. 2022.“Banyaknya Aduan Pelayanan Publik, Bukti
Dukungan Masyarakat untuk Perbaikan”. https://www.menpan.go.id/site/berita-
terkini/banyaknya-aduan-pelayanan-publik-bukti-dukungan-masyarakat-untuk-
perbaikan
Harruma,Issha. 2022. “Data Kasus Korupsi di Indonesia Tahun 2022”.
https://nasional.kompas.com/read/2022/09/21/01000051/data-kasus-korupsi-di-
indonesia-tahun-2022.

Anda mungkin juga menyukai