Anda di halaman 1dari 32

FATOLOGI BIROKRASI DI

KEMENTRIAN PERTANIAN
DALAM BIDANG SYL,YANG
PALING AKTUAL

Next
KELOMPOK 9

ALGI SYALAISHA
PULMNSAH NAZMI

SITI ASMA HABSA


KHAIRINA FAUZIA
Apa itu Patologi Birokrasi?
Patologi Birokrasi adalah sebuah penyakit yang
menggerogoti sendi-sendi kehidupan dalam birokrasi. Penyakit
ini bukan sesuatu yang datang dengan tiba-tiba, tetapi sudah ada
dan terpelihara sejak lama. Birokrasi sudah terbiasa menjadi
simbol kemakmuran dan kerajaan bagi aparatnya untuk
mendapatkan pelayanan dari masyarakat. Kultur pangreh praja
(rakyat mengabdi pada pemerintah/raja) sudah ada dan
bersemayam di birokrasi zaman kerajaan-kerajaan Nusantara, dan
birokrasi yang diciptakan untuk melayani penguasa sudah terjadi
sejak zaman penjajahan Belanda sampai dengan sekarang (era
reformasi).
Membangun sistem kontrol dan akuntabilitas publik
menjadi signifikan dalam memerangi patologi birokrasi. Sebagai
“eksekutor” kekuasaan birokrasi sangat mudah terbuai dan
tergoda untuk melakukan “abuse of power”. Untuk itu dalam
menghadapi berbagai gejala empirik patologi dalam birokrasi,
sudah saatnya diupayakan agar birokrasi memiliki daya tahan
yang semakin tinggi terhadap berbagai penyakit yang
menyerangnya, juga reformasi birokrasi harus dilakukan secara
radikal dan komprehensip, karena pada dasarnya patologi
birokrasi yang terjadi tidaklah berdiri sendiri, melainkan juga
melibatkan para penegak hukum para politisi dan yang lainnya.
Pada mulanya, istilah “patologi” hanya dikenal
dalam ilmu kedokteran sebagai ilmu tentang penyakit. Namun
belakangan hari analogi ini dikenal dalam birokrasi, dengan
makna agar birokrasi pemerintahan mampu menghadapi
berbagai tantangan yang mungkin timbul, baik yang bersifat
politis, ekonomi, sosio kultural dan teknologi, berbagai
penyakit yang mungkin sudah dideritanya atau mengancam
akan menyerangnya perlu diidentifikasi untuk kemudian
dicarikan terapi pengobatan yang paling efektif. Harus diakui
bahwa tidak ada birokrasi yang sama sekali bebas dari patologi
birokrasi. Sebaliknya tidak ada birokrasi yang menderita
“penyakit birokrasi sekaligus”(Teruna,2007).
Dalam paradigma Actonian dinyatakan
power tends to corrupt, but absolute power corrupt
absolutely (kekuasaan cenderung korup, tapi kekuasaan
yang absolut pasti korup) secara implisit juga menjelaskan
birokrasi dalam hubungannya dengan kekuasaan akan
mempunyai kecenderungan untuk menyelewengkan
wewenangnya (Ismail, 2009). Dalam hal tersebut, selain
sistem, bisa juga aparaturnya. Contoh konkrit dari masalah
tersebut, yaitu kasus yang lagi hangat-hangatnya
dibicarakan publik dewasa ini tentang bagaimana Gayus
Tambunan sebagai Pegawai Negeri Sipil Golongan III a
dilingkungan Direktorat Jenderal Pajak Kementrian
Keuangan mendadak menjadi orang yang terkenal saat ini
di Indonesia.
Bukan karena prestasinya di birokrasi
meningkatkan penerimaan pajak, melainkan justru
karena perbuatannya telah memperkokoh keyakinan
tentang buruknya birokrasi di Indonesia. Tidak
semua birokrat seperti Gayus Tambunan, tetapi
kelemahan sistem organisasi seperti dituliskan oleh
Caiden, seorang
administrasi,
Host
pakar
bahwa
ternama
gejala
reformasi
tersebut
mengidentifikasikan telah terbentuk citra menyeluruh
mengenai buruknya birokrasi di Indonesia(Eko
Prasojo,2010).
Mal-administrasi yang saat ini mungkin dapat
disebut GAYUISME atau nama lain yang barangkali akan segera
muncul sebenarnya bukanlah kesalahan yang bersifat individual,
tetapi timbul karena kelemahan sistematik dari organisasi
birokrasi. Yaitu kelemahan dan kegagalan organisasi dalam
membentuk sistem yang mencegah terjadinya penyakit-penyakit
birokrasi (patologi birokrasi), sehingga menyebabkan munculnya
perilaku menyimpang yang diterima secara kolektif. Fenomena
Gayus, dan nama-nama birokrat lain yang akan muncul serta
menjadi bagian dari sindrom gayuisme adalah patologi birokrasi
yang sudah menahun dan sistemis. Patologi ini seperti gurita,
merusak sel-sel produktif dalam birokrasi dan melibatkan hampir
semua pejabat dalam semua strata.
A. Pengertian Patologi Birokrasi
Istilah “ patologi” hanya dikenal dalam
ilmu kedokteran sebagai ilmu tentang penyakit. Namun
dengan berjalannya waktu patologi dikenal dalam
birokrasi dengan makna agar birokrasi pemerintahan
mampu menghadapi berbagai tantangan yang mungkin
timbul, baik yang bersifat politis, ekonomi, sosio
cultural dan teknologi, berbagai “penyakit” yang
mungkin sudah diderita nya atau mengancam akan
menyerang nya perlu diidentifikasi untuk kemudian
dicarikan terapi pengobatan yang paling efektif harus
diakui bahwa tidak ada birokrasi yang sama sekali
bebas dari patologi birokrasi. Sebaliknya tidak ada
birokrasi yang menderita “penyakit” Birokrasi
sekaligus (Ismail, 2009: 68).
Paradigma Actonian dinyatakan power tends to corrupt, but absolute power
corrupt absoluty( kekuasaan cenderung korup, tapi kekuasaan yang absolute pasti korup)
secara implicit juga menjelaskan bahwa dalam hubungannya dengan kekuasaan akan
mempunyai kecenderungan untuk menyelewengkan wewenangnya. Dalam hal ini sistem,
juga aparaturnya. Karena itu perlu dipikirkan pula para birokrat yang sudah terlalu lama
berkuasa dan kecenderungan menggunakan wewenangnya. Ini juga termasuk dari patologi
birokrasi itu sendiri. Erziony Helevy (1983) melihat kekuasaan birokrasi publik menjadi
sangat kuat dan luas, karena :
1. Semakin meningkatnya ruang intervensi pemerintah dalam bidang sosial dan ekonomi.
2. Meningkatkan kompleksitas tugas pemerintahan.
3. Kemampuan untuk memanfaatkan teknologi yang semakin berguna dalam membuat
keputusan politik.
4. Memiliki sumber informasi.
5. Pejabat politik tidak selalu memiliki sumberdaya serta selalu ada (tidak dibatasi
waktu/pergantian).
6. Pejabat politik tidak selalu memiliki kepentingan atau control terhadap seluruh
persoalan birokrasi.
7. Menurunnya kekuasaan parlemen.
8. Adanya proses pergantian kepemimpinan yang menjadi areal birokrasi mencari peluang
atau pengaruh.
Patologi birokrasi kepemimpinan bisa juga diartikan dengan
“penyakit birokrasi”. Peran birokrasi sebagai implementor dari kebijakan
politik, atau dengan kata lain birokrasi sebagai penyelenggara pemerintahan,
maka patologi birokrasi dapat diartikan sebagai persoalan atau permasalahan
yang terjadi dalam penyelenggaraan pemerintahan akibat kinerja birokrasi tidak
mampu memenuhi kebutuhan publik dengan baik. Patologi birokrasi dapat saja
terwujud dalam ketidakmampuan pejabat politik di eksekutif (terpilih karena
mandate politik) Atau persoalan kinerja pejabat publik yang terpilih, yakni
pejabat dibirokrasi yang menduduki jabatan atau birokrasi itu sendiri secara
institusi. Para agen pemerintah atau para birokrat yang tidak mampu
memberikan kepuasan publik.Patologi birokrasi adalah penyakit dalam
birokrasi Negara yang muncul akibat perilaku para birokrat dan kondisi yang
membuka kesempatan untuk itu, baik yang menyangkut politis, ekonomis,
social cultural dan teknologikal.
Patologi birokrasi atau penyakit
birokrasi adalah “hasil interaksi antara struktur
birokrasi yang salah dan variabel-variabel
lingkungan yang salah”. Patologi birokrasi muncul
dikarenakan hubungan antar variabel pada struktur
birokrasi yang terlalu berlebihan, seperti rantai
hierarki panjang, spesialisasi, formalisasi dan kinerja
birokrasi yang tidak linear.Patologi birokrasi dapat
dilihat dari persfektif kelembagaan, kepemimpinan
politik di eksekutif, perilaku para elit birokrasi
maupun perilaku para birokrat pelaksana itu sendiri
atau gabungan dari unsur-unsur itu sendiri.
Menurut Delly (2012,64), Jenis
patologi birokrasi dan patologi organisasi terdiri
dari beberapa hal, diantaranya :
a. Patologi Birokrasi :
1. Budaya feodalistik.
2. Menunggu petunjuk/arahan.
3. Loyalitas pada atasan, bukan organisasi.
4. Belum berorientasi prestasi.
5. Budaya melayani rendah.
6. Belum didukung teknologi menyeluruh.
7. Ekonomi biaya tinggi.
B. Ruang Lingkup Patologi Birokrasi
Ruang lingkup patologi birokrasi menurut Smith (1988) dalam Ismail
(2009) dapat dipetakan dalam dua konsep besar, yaitu:

1. Disfunctions of bureaucracy, yakni berkaitan dengan struktur, aturan, dan


prosedur atau berkaitan dengan karakteristik birokrasi atau birokrasi secara
kelembagaan yang jelek, sehingga tidak mampu mewujudkan kinerja yang baik,
atau erat kaitannya dengan kualitas birokrasi secara institusi.

2. Mal-administration, yakni berkaitan dengan ketidakmampuan atau perilaku yang


dapat disogok, meliputi: perilaku korup, tidak sensitif, arogan, misinformasi, tidak
peduli dan bias, atau erat kaitannya dengan kualitas sumber daya manusianya atau
birokrat yang ada di dalam birokrasi.
Bentuk patologi birokrasi yang
ditinjau dari perspektif perilaku birokrasi
merefleksikan bahwa birokrasi sebagai pemilik
kewenangan menyelenggarakan pemerintahan
tentu memiliki kekuasaan “relatif” yang sangat
rentan terhadap dorongan untuk melakukan hal-
hal yang menguntungkan diri dan kelompoknya
yang diformulasikan atau diwujudkan dalam
berbagai perilaku yang buruk.
Suatu perilaku dikatakan baik, bila secara universal
semua orang bersepakat mengakui suatu perbuatan yang
menunjukkan tingkah laku seseorang memang baik, sedangkan
sebaliknya suatu perilaku dikatakan buruk, bila secara universal
semua orang bersepakat menyatakan bahwa tingkah laku
seseorang itu buruk. Karena hakikatnya hanya dua jenis perilaku
yang ada dalam diri manusia, yaitu perilaku baik dan perilaku
buruk, yang kesemuanya itu tergantung dari manusianya sendiri.
Dikaitkan dengan patologi birokrasi dalam penyelenggaraan
pemerintahan dalam perspektif perilaku, maka yang dijadikan
indikator adalah berbagai perilaku buruk dari birokrasi itu sendiri.
Birokrasi diharapkan dapat
mewujudkan suatu tata pemerintahan yang
mampu menumbuhkan kepercayaan publik,
karena bagaimana pun pada akhirnya
pelayanan publik produk dari suatu
pemerintahan adalah terciptanya
kepercayaan publik. Birokrasi tidak hanya
sekedar melaksanaan kekuasaan, tetapi juga
memiliki tujuan moral, sebuah birokrasi
yang menghargai hak-hak masyarakat
(Teruna, 2007).
Proses patologi birokrasi yang akut di
Indonesia ini bukan sesuatu yang datang tiba-
tiba, tetapi terpelihara sejak lama. Birokrasi
sudah terbiasa menjadi simbol kemakmuran
dan kerajaan bagi aparatnya untuk mendapat
pelayanan dari masyarakat. Kultur pangreh
praja (rakyat mengabdi pada pemerintah/raja)
ada di birokrasi zaman kerajaan-kerajaan di
Nusantara, dan birokrasi yang diciptakan
untuk melayani penguasa terjadi di zaman
penjajahan.
Membangun sistem kontrol dan akuntabilitas
publik menjadi signifikan dalam memerangi patologi
birokrasi. Sebagai “eksekutor” kekuasaan birokrasi sangat
mudah tergoda untuk melakukan abuse of power. Dalam
penelitian Teruna (2007) dinyatakan bahwa salah satu ruang
yang rentan terhadap patologi birokrasi berkenaan dengan
proses pembangunan, khususnya penjabaran program ke
dalam proyek-proyek pembangunan atau dikenal dengan
istilah pengadaan barang dan jasa, seperti: tindakan mark up,
penggelapan, manipulasi, suap, penyunatan dan sebagainya.
Selanjutnya Siagian (1994) mengelompokkan patologi
birokrasi ke dalam 5 (lima) kategori, yaitu:

1. Patologi yang timbul karena persepsi dan gaya manajerial para


pejabat dilingkungan birokrasi, seperti: penyalahgunaan wewenang
dan jabatan persepsi atas dasar prasangka mengaburkan masalah
menerima sogok pertentangan kepentingan cenderung
mempertahankan status, quo empire building bermewah-mewah pilih
kasih, takut pada perubahan, inovasi, dan risiko penipuan, sikap
sombong, ketidakpedulian pada kritik dan saran, tidak mau bertindak,
takut mengambil keputusan, sifat menyalahkan orang lain, tidak adil
intimidasi, kurang komitmen, kurang koordinasi, kurang kreativitas,
kredibilitas rendah, kurangnya visi yang imajinatif, kedengkian,
nepotisme, tindakan tidak rasional, bertindak diluar wewenang,
paranoid, patronase, keengganan mendelegasikan,
ritualisme,keengganan pikul tanggung jawab, dan xenophobia.
2. Patologi yang disebabkan karena kurangnya atau rendahnya
pengetahuan dan keterampilan para petugas pelaksana berbagai
kegiatan operasional, seperti: ketidakmampuan menjabarkan
kebijaksanaan pimpinan, ketidaktelitian, rasa puas diri, bertindak
tanpa berpikir, kebingungan, tindakan yang tidak produktif, tidak
adanya kemampuan berkembang, mutu hasil pekerjaan yang rendah,
kedangkalan, ketidakmampuan belajar, ketidaktepatan tindakan,
inkompetensi, ketidakcekatan, ketidakteraturan, melakukan tindakan
yang tidak relevan, sikap ragu-ragu, kurangnya imajinasi, kurangnya
Prakarsa, kemampuan rendah, bekerja tidak produktif, ketidakrapian,
dan stagnasi.
3. Patologi yang timbul karena tindakan para
anggota birokrasi yang melanggar norma-norma
hukum dan peraturan perundangundangan yang
berlaku, seperti: penggemukan biaya, menerima
sogok, ketidakjujuran,korupsi, tindakan
criminal,penipuan, kleptokrasi, kontrak fiktif,
sabotase, tata buku tidak benar, dan pencurian.
4. Patologi yang dimanifestasikan dalam perilaku para birokrat yang
bersifat disfungsional atau negatif, seperti: bertindak sewenang
wenang, pura-pura sibuk, paksaan, konspirasi, sikap takut, penurunan
mutu, tidak sopan, diskriminasi, dramatisasi, sulit dijangkau, sikap
tidak acuh, tidak disiplin, kaku, tidak berperike manusiaan, tidak
peka, tidak sopan, tidak peduli tindak, salah tindak, semangat yang
salah tempat, negativism, melalaikan tugas, tanggungjawab rendah,
lesu darah, paparazzi, melaksanakan kegiatan yang tidak relevan,
utamakan kepentingan sendiri, suboptimal, imperatif wilayah
kekuasaan, tidak professional, sikap tidak wajar, melampaui
wewenang, vested interest, dan pemborosan.
5. Patologi yang merupakan akibat situasi internal dalam
berbagai instansi dalam lingkungan pemerintahan, seperti:
penempatan tujuan dan sasaran yang tidak tepat, kewajiban
sosial sebagai beban, eksploitasi, tidak tanggap, pengangguran
terselubung, motivasi yang tidak tepat, imbalan yang tidak
memadai, kondisi kerja yang kurang memadai, pekerjaan tidak
kompatibel, tidak adanya indikator kinerja, miskomunikasi,
misinformasi, beban kerja yang terlalu berat, terlalu banyak
pegawai, sistem pilih kasih, sasaran yang tidak jelas, kondisi
kerja yang tidak nyaman, sarana dan prasarana yang tidak tepat,
dan perubahan sikap yang mendadak.
C. Kronologi Kasus SYL

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), hari ini Jumat (13/10/2023) menampilkan tersangka atas
kasus dugaan korupsi di Kementerian Pertanian. Adalah Syahrul Yasin Limpo (SYL) Eks Menteri
Pertanian, Kasdi Subagyono, Sekretaris Jenderal Kementerian Pertanian Republik Indonesia dan
Muhammad Hatta, Direktur Alat dan Mesin Pertanian Direktorat Jenderal Prasarana dan Sarana Pertanian
Kementerian Pertanian Republik Indonesia.
Konstruksi perkara yang dibacakan oleh Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Alexander
Marwata di Gedung KPK Kuningan, Jakarta. SYL menjabat Menteri Pertanian RI untuk periode 2019 s/d
2024 di Kementerian Pertanian Republik Indonesia.
Selanjutnya dalam periode kepemimpinan SYL selaku Menteri Pertanian, KS diangkat dan dilantik
selaku Sekretaris Jenderal Kementerian Pertanian dan MH juga diangkat dan dilantik selaku Direktur Alat
dan Mesin pada Direktorat Jenderal Prasarana dan Sarana Pertanian Kementerian Pertanian.
SYL kemudian membuat kebijakan personal yang diantaranya melakukan pungutan hingga
menerima setoran dari AS internal Kementan untuk memenuhi kebutuhan pribadi termasuk keluarga
intinya.
Kurun waktu kebijakan SYL untuk memungut hingga menerima setoran tersebut berlangsung dari
tahun 2020 s/d 2023. SYL menginstruksikan dengan menugaskan KS dan MH melakukan penarikan
sejumlah uang dari unit eselon I dan eselon II dalam bentuk penyerahan tunai, transfer rekening bank
hingga pemberian dalam bentuk barang maupun jasa.
Terdapat bentuk paksaan dari SYL terhadap para AS di Kementerian Pertanian diantaranya dengan
dimutasi ke unit kerja lain hingga difungsionalkan status jabatannya. KS dan MH selalu aktif
menyampaikan perintah SYL dimaksud dalam setiap forum pertemuan baik formal maupun informal di
lingkungan Kementerian Pertanian.
Terkait sumber uang yang digunakan diantaranya berasal dari realisasi anggaran Kementerian
Pertanian yang sudah di mark up termasuk permintaan uang pada para vendor yang mendapatkan proyek
di Kementerian Pertanian.
Atas arahan SYL, KS dan MH memerintahkan bawahannya untuk mengumpulkan
sejumlah uang di lingkup eselon I, para Direktur Jenderal, Kepala Badan hingga Sekretaris
dimasing-masing eselon I dengan besaran nilai yang telah ditentukan SYL dengan kisaran
besaran mulai USD4000 s/d USD10.000.
Penerimaan uang melalui KS dan MH sebagai representasi sekaligus orang
kepercayaan dari SYL dilakukan rutin tiap bulannya dengan menggunakan pecahan mata
uang asing.
Penggunaan uang oleh SYL yang juga diketahui KS dan MH antara lain untuk
pembayaran cicilan kart kredit, cicilan pembelian mobil Alphard milik SYL, perbaikan
rumah pribadi, tiket pesawat bâgi keluarga, hingga pengobatan dan perawatan wajah bagi
keluarga yang nilainya miliaran rupiah.
Penerimaan uang melalui KS dan MH sebagai representasi sekaligus orang
kepercayaan dari SYL dilakukan ruin tiap bulannya dengan menggunakan pecahan mata uang
asing. Penggunaan uang oleh SYL yang juga diketahui KS dan MH antara lain untuk pembayaran
cicilan kart kredit, cicilan pembelian mobil Alphard milik SYL, perbaikan rumah pribadi, tiket
pesawat bâgi keluarga, hingga pengobatan dan perawatan wajah bagi keluarga yang nilainya
miliaran rupiah.
Uang yang dinikmati SYL bersama-sama dengan KS dan MH sebagai bukti
permulaan sejumlah sekitar Rp13,9 Miliar dan penelusuran lebih mendalam mash terus dilakukan
Tim Penyidik. Terdapat penggunaan uang lain ole SYL bersama-sama dengan KS dan MH serta
sejumlah pejabat di Kementerian Pertanian untuk ibadah Umroh di Tanah Suci dengan nilai
miliaran rupiah.
Selain itu sejauh ini ditemukan juga aliran penggunaan uang sebagaimana perintah
SYL yang ditujukan untuk kepentingan partai Nasdem dengan nilai miliaran rupiah dan KPK
akan terus mendalami.
Penerimaan-penerimaan dalam bentuk gratifikasi yang diterima SYL bersama-sama KS
dan MH mash terus dilakukan penelusuran dan pendalaman ole Tim Penyidik.
Dari analisis dan kebutuhan proses penyidikan, Tim Penyidik menahan Tersangka SYL
dan Tersangka MH untuk masing-masing 20 hari pertama terhitung 13 Oktober 2023 s/d 1 November
2023 di Rutan KPK.
Para Tersangka disangkakan melanggar Pasal 12 huruf e dan 128 Undang Undana
Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentano Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
sebagaimana telah diubah dengan Undang Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP, Sedangkan Tersangka SYL turut pula
disangkakan melanggar pasal 3 dan atau 4 Undang Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Tindak
Pidana Pencucian Uang.
Any question?
Terima Kasih

Anda mungkin juga menyukai