Disusun Oleh
Puji dan syukur atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas rahmat dan karunia-
Nya penulis dapat menyelesaikan makalah ini tepat pada waktunya. Pada kesempatan ini
penulis akan membahas “Patologi Birokrasi”. Terima kasih pada Dr. Gede Sandiasa, S.Sos.,
M.Si. selaku dosen pengampu mata kuliah Etika Administrasi Negara karena telah
memberikan tugas makalah ini.
Adapun tujuan penulisan makalah ini ialah untuk memberikan informasi mengenai
Patologi Birokrasi. Dengan demikian diharapkan dapat memberikan kontribusi positif dalam
berbagai hal yang kaitannya dengan Birokrasi. Penulis menyadari bahwa makalah ini masih
jauh dari sempurna. Oleh karena itu, penulis dengan senang hati akan menerima segala
bentuk saran aatu kritik yang bersifat membangun. Akhir kata penulis mengucapkan terima
kasih.
(Penulis)
BAB I
PENDAHULUAN
1.3 Tujuan
Sesuai dengan rumusan masalah makalah ini, maka tujuan penulisan makalah ini :
1. Untuk mengetahui dan memahami apa yang dimaksud dengan birokrasi
2. Untuk mengetahui dan memahami apa yang dimaksud dengan patologi birokrasi
3. Untuk mengetahui dan memahami bagaimana gejala-gejala patologi birokrasi
4. Untuk mengetahui dan memahami apa saja bentuk-bentuk patologi birokrasi
5. Untuk mengetahui dan memahami apa saja jenis-jenis patologi birokrasi
6. Untuk mengetahui dan memahami bagaimana alternatif pemecahan masalah patologi
birokrasi
BAB II
PEMBAHASAN
Dalam abad ke-19, terdapat beberapa penulis dan pemikir yang sangat berpengaruh
terhadap perkembangan teori birokrasi, antara lain yaitu Gaetano Mosca dan Max
Weber. Mosca dalam bukunya membagi semua pemerintahan menjadi dua tipe yaitu
feudal dan birokratis berdasarkan kepada kelas yang memerintah. Dalam sistem
pemerintahan feudal, kelas yang memerintah adalah kelas yang sederhana yang
memonopoli fungsi-fungsi ekonomi, militer atau administrasi. Setelah masyarakat
berkembang menjadi lebih kompleks dan mempunyai fungsi terpisah satu sama lain,
maka pemerintahan dijalankan oleh birokrasi, yaitu sekelompok pejabat yang digaji
(Albrow, 1996:22).
Ilmuan yang sangat berjasa dalam memperkenalkan model organisasi birokratis
adalah Max Weber. Dapat dikatakan bahwa konsep birokrasi yang diajukan oleh Weber
masih menjadi acuan sampai sekarang ini, walaupun mendapat kritik dari ilmuan-ilmuan
lain. Weber membahas peran organisasi dalam suatu masyarakat, dan mempertanyakan
bentuk organisasi yang sesuai bagi sebuah masyarakat industri yang dijumpai di Eropa
pada akhir abad ke-19. Ia mencoba melukiskan sebuah organisasi yang ideal, organisasi
yang secara murni rasional dan yang akan memberikan efisiensi operasi yang maksimum
(Robbins, 1994:337).
Weber sebenarnya memperhitungkan tiga elemen pokok dalam konsep birokrasinya,
yaitu : (1) birokrasi dipandang sebagai instrumen teknis. (2) birokrasi dipandang sebagai
kekuatan independen. (3) birokrasi dipandang mampu keluar dari fungsinya yang
sebenarnya karena anggotanya cenderung berasal dari kelas sosial yang particular
(Thoha, 2005:19). Konsep birokrasi Weberian berasumsi bahwa birokrasi dibentuk
independen dari kekuatan politik. Ia berada di luar atau di atas aktor-aktor politik yang
saling berkompetisi satu sama lain. Birokrasi pemerintah diposisikan sebagai kekuatan
yang netral, lebih 9 mengutamakan kepentingan Negara dan Rakyat secara keseluruhan,
sehingga siapapun kekuatan politik yang memerintah birokrat dan birokrasinya
memberikan pelayanan terbaik kepadanya.
Pemikir lain yang juga penting untuk ditampilkan dalam pembahasan birokrasi adalah
Karl Marx (Thoha, 2008:23). Pemikiran Marx tentang birokrasi merupakan suatu gejala
yang bisa dipergunakan secara terbatas dalam hubungannnya dengan administrasi
negara. Pandangannya terhadap birokrasi hanya bisa difahami dalam kerangka umum
teorinya tentang perjuangan kelas, krisis kapitalisme, dan pengembangan komunisme.
Birokrasi memiliki beberapa fungsi, diantaranya adalah fungsi pengaturan. Fungsi ini
mutlak terselenggara dengan efektif, karena suatu pemerintahan negara diberi wewenang
untuk melaksanakan berbagai peraturan perundang-undangan yang ditentukan oleh
lembaga legislatif melalui berbagai ketentuan pelaksanaan dan kebijaksanaannya.
Persoalan yang sering muncul dalam praktik, acapkali terjadi kekakuan dalam
implementasi aturan. Kekakuan ini dapat terlihat pada interpretasi secara harfiah,
padahal yang lebih diperlukan adalah menegakkan hukum dan peraturan itu dilihat dari
semangat dan jiwanya, artinya bahwa pendekatan yang digunakan adalah pendekatan
situasional (Siagian, 2000: 147).
Meskipun secara umum sudah ada penjelasan atau definisi tentang birokrasi, tetapi
dalam khasanah ilmu pengetahuan, perbedaan pendapat dan pandangan sangat dihargai.
Demikian juga dengan perbedaan pandangan tentang birokrasi. Ada beberapa tokoh atau
ahli yang memandang birokrasi secara positif, ada juga secara negatif, tetapi ada juga
yang melihatnya secara netral (value Free).
a. Makna Positif
Birokrasi yang bermakna positif diartikan sebagai birokrasi legal rasional yang bekerja
secara efisien dan efektif. Birokrasi tercipta karena kebutuhan akan adanya penghubung
antara negara dan masyarakat, untuk mengejawantahkan kebijakan-kebijakan negara.
Artinya, birokrasi dibutuhkan baik oleh negara maupun oleh rakyat. Tokoh
pendukungnya adalah : Max Weber dan Hegel.
b. Makna Negatif
Birokrasi yang bermakna negatif diartikan sebagai birokrasi yang penuh dengan patologi
(penyakit), organisasi tambun, boros, tidak efisien dan tidak efektif, korupsi, dan
sebagainya. Birokrasi adalah alat penindas (penghisap) bagi kaum yang lemah (miskin)
dan hanya membela kepentingan orang kaya. Artinya, birokrasi hanya menguntungkan
kelompok orang kaya saja. Tokoh pendukungnya adalah : Karl Max dan Harold Lask.
c. Makna Netral (value free)
Sedangkan birokrasi yang bermakna netral diartikan sebagai setiap organisasi yang
berskala besar.
Patologi birokrasi dalam arti kata lain adalah penyakit, perilaku negatif, atau
penyimpangan yang dilakukan pejabat atau lembaga birokrasi dalam rangka melayani
publik, melaksanakan tugas, dan menjalankan program pembangunan. Menurut Sondang
P. Siagian (1984 : 35-81). Secara umum. Patologi birokrasi adalah penyakit dalam
birokrasi Negara yang muncul akibat perilaku para birokrat dan kondisi yang membuka
kesempatan untuk itu, baik yang menyangkut politis, ekonomis, sosial kultural dan
teknologikal.
Solusi untuk mengatasi patologi birokrasi adalah dengan melakukan perubahan.
Menurut Widaningrum (2009:368), sistem administrasi dan manajemen dalam birokrasi
publik memang tidak didisain untuk sering berubah. Namun demikian, kenyataannya
menunjukkan bahwa stabilitas seringkali bersifat sebaliknya (counter-productive). Dalam
era yang penuh dengan perubahan seperti sekarang ini, sistem yang tidak dapat berubah
justru akan menemui banyak kegagalan. Secara teoritik, disadari bahwa konsep birokrasi
yang dirumuskan oleh Weber dengan berbagai karakteristiknya diyakini bahwa proses
administrasi dalam kegiatan pemerintahan itu hanya dapat menjadi efisien, rutin dan
nonpartisan apabila cara kerja organbisasi pemerintah itu dirancang sedemikian rupa
sehingga menyerupai cara kerja sebuah mesin (Morgan, 1986). Persoalannya adalah
mengapa ketika model ini diterapkan di beberapa negara, termasuk Indonesia justru
menimbulkan berbagai fenomena yang menunjukkan adanya perilaku birokrasi yang
bersifat patologis, bahkan dapat dianggap sebagai pengingkaran terhadap jiwa birokrasi
itu sendiri.
Salah satu aspek birokrasi yang paling banyak disoroti adalah struktur birokrasi.
Struktur birokrasi Weberian memiliki berbagai masalah internal yang pada tingkat
tertentu berpotensi menyebabkan birokrasi mengalami disfungsi (Caiden, 1991). Setiap
aspek dan struktur birokrasi , selain memiliki manfaat dan kontribusi terhadap efisiensi
dan kinerja birokrasi, juga memiliki potensi untuk menciptakan penyakit birokrasi. Suatu
variabel struktur birokrasi dapat menghasilkan penyakit birokrasi jika intensitas dari
variabel itu sudah menjadi berlebihan.
Lord Acton:”Power tends to corrupt, absolute power corrupt absolutely” secara
implisit menjelaskan hubungan bagaimana seseorang yang berkuasa terlalu lama akan
mempunyai kecenderungan untuk menyelewengkan kekuasaan- nya, manifestasinya
dalam bentuk korupsi, kolusi dan nepotesme. Sehingga langkah strategi pertama yang
harus diambil adalah menenpatkan para birokrat yang sudah terlalu lama berkuasa
berkecimpung di dalam urusan pelayanan ke posisi yang lain (tour of duty), baik itu rotasi
horizontal maupun promosi vertikal. Langkah strategi yang kedua adalah dengan sedini
mungkin mengenalkan teknologi informasi di lingkungan pemerintah. Yaitu dengan cara
menghindarkan interaksi/transaksi uang cash antara pelanggan dan pelayan. Hal ini
didasarkan atas asumsi bahwa semakin sering seseorang mengadakan kontak langsung
dengan uang tunai, semakin besar pula kesempatan orang tersebut untuk
mengadakan/berbuat korupsi, kolusi dan nepotisme. Contoh konkret yang mungkin bisa
diaplikasikan adalah dengan pengadaan mesin pencetak perangko ataupun kupon sebagai
pengganti uang tunai seperti yang telah dilaksanakan di Jepang. Maksudnya, setiap
formulir aplikasi permohonan pelayanan hanya butuh sehelai perangko atau kupon
bertuliskan besaran biaya yang dibutuhkan untuk proses penyelesaiannya. Hal ini akan
membawa konsekuensi bahwa seseorang yang bertugas melayani pelanggan tidak akan
disibukkan atau direpotkan dengan urusan uang tunai disekitar loket mereka. Mereka
hanya akan berkonsentrasi diseputaran urusan administrasi perurusan saja, tidak ada yang
lain. Hal ini cukup efektif dalam menekan angka kolusi di Jepang yang biasa disebut
dalam ungkapan “shuden no shita” artinya lengan baju bawah baju kimono
(Wordpress.Com/ 2007).
Ruang lingkup patologi birokrasi menurut Smith (1988) dalam Ismail (2009) dapat
dipetakan dalam dua konsep besar, yaitu:
1. Disfunctions of bureaucracy, yakni berkaitan dengan struktur, aturan, dan prosedur atau
berkaitan dengan karakteristik birokrasi atau birokrasi secara kelembagaan yang jelek,
sehingga tidak mampu mewujudkan kinerja yang baik, atau erat kaitannya dengan kualitas
birokrasi secara institusi.
2. Mal-administration, yakni berkaitan dengan ketidakmampuan atau perilaku yang dapat
disogok, meliputi: perilaku korup, tidak sensitif, arogan, misinformasi, tidak peduli dan bias,
atau erat kaitannya dengan kualitas sumber daya manusianya atau birokrat yang ada di dalam
birokrasi.
Bentuk patologi birokrasi yang ditinjau dari perspektif perilaku birokrasi
merefleksikan bahwa birokrasi sebagai pemilik kewenangan menyelenggarakan
pemerintahan tentu memiliki kekuasaan “relatif” yang sangat rentan terhadap dorongan
untuk melakukan hal-hal yang menguntungkan diri dan kelompoknya yang
diformulasikan atau diwujudkan dalam berbagai perilaku yang buruk. Suatu perilaku
dikatakan baik, bila secara universal semua orang bersepakat mengakui suatu perbuatan
yang menunjukkan tingkah laku seseorang memang baik, sedangkan sebaliknya suatu
perilaku dikatakan buruk, bila secara universal semua orang bersepakat menyatakan
bahwa tingkah laku seseorang itu buruk. Karena hakikatnya hanya dua jenis perilaku
yang ada dalam diri manusia, yaitu perilaku baik dan perilaku buruk, yang kesemuanya
itu tergantung dari manusianya sendiri. Dikaitkan dengan patologi birokrasi dalam
penyelenggaraan pemerintahan dalam perspektif perilaku, maka yang dijadikan indikator
adalah berbagai perilaku buruk dari birokrasi itu sendiri.
Birokrasi diharapkan dapat mewujudkan suatu tata pemerintahan yang mampu
menumbuhkan kepercayaan publik, karena bagaimana pun pada akhirnya pelayanan
publik produk dari suatu pemerintahan adalah terciptanya kepercayaan publik. Birokrasi
tidak hanya sekedar melaksanaan kekuasaan, tetapi juga memiliki tujuan moral, sebuah
birokrasi yang menghargai hak-hak masyarakat (Teruna, 2007).
Berbagai keluhan dan kritikan mengenai kinerja birokrasi memang bukan hal baru
lagi, karena sudah ada sejak zaman dulu. Birokrasi lebih menunjukkan kondisi empirik
yang sangat buruk, negatif atau sebagai suatu penyakit (bureau patology), seperti
parkinsonian (big bureaucracy), Orwellian (peraturan yang menggurita sebagai
perpanjangan tangan negara untuk mengontrol masyarakat) atau Jacksonian
(bureaucratic polity), ketimbang citra yang baik atau rasional (bureau Rationality),
seperti yang dikandung misalnya, dalam birokrasi Hegelian dan Weberian.
Buruk serta tidak transparannya kinerja birokrasi bisa mendorong masyarakat untuk
mencari ”jalan pintas” dengan suap atau berkolusi dengan para pejabat dalam rekrutmen
pegawai atau untuk memperoleh pelayanan yang cepat. Situasi seperti ini pada gilirannya
seringkali mendorong para pejabat untuk mencari ”kesempatan” dalam ”kesempitan”
agar mereka dapat menciptakan rente dari pelayanan berikutnya.
Apabila ditelusuri lebih jauh, gejala patologi dalam birokrasi, menurut Sondang P.
Siagian, (1994 : 35 – 36), bersumber pada empat masalah pokok yaitu :
1. Patologi yang timbul karena persepsi dan gaya manajerial para pejabat dilingkungan
birokrasi, seperti: penyalahgunaan wewenang dan jabatan; persepsi atas dasar
prasangka; mengaburkan masalah; menerima sogok; pertentangan kepentingan;
cenderung mempertahankan status quo; empire building; bermewah-mewah; pilih
kasih; takut pada perubahan, inovasi, dan resiko; penipuan; sikap sombong;
ketidakpedulian pada kritik dan saran; tidak mau bertindak; takut mengambil
keputusan; sifat menyalahkan orang lain; tidak adil; intimidasi; kurang komitmen;
kurang koordinasi; kurang kreativitas; kredibilitas trendah; kurangnya visi yang
imajinatif; kedengkian; nepotisme; tindakan tidak rasional; bertindak diluar
wewenang; paranoid; patronase; keengganan mendelegasikan; ritualisme; keengganan
pikul tanggung jawab; dan xenophobia.
2. Patologi yang disebabkan karena kurangnya atau rendahnya pengetahuan dan
keterampilan para petugas pelaksana berbagai kegiatan operasional, seperti:
ketidakmampuan menjabarkan kebijaksanaan pimpinan; ketidaktelitian; rasa puas diri;
bertindak tanpa berpikir; kebingungan; tindakan yang tidak produktif; tidak adanya
kemampuan berkembang; mutu hasil pekerjaan yang rendah; kedangkalan;
ketidakmampuan belajar; ketidaktepatan tindakan; inkompetensi; ketidakcekatan;
ketidakteraturan; melakukan tindakan yang tidak relevan; sikap ragu-ragu; kurangnya
imajinasi; kurangnya prakarsa; kemampuan rendah; bekerja tidak produktif;
ketidakrapian; dan stagnasi.
3. Patologi yang timbul karena tindakan para anggota birokrasi yang melanggar
norma-norma hukum dan peraturan perundangundangan yang berlaku, seperti:
penggemukan biaya; menerima sogok; ketidakjujuran; korupsi; tindakan kriminal;
penipuan; kleptokrasi; kontrak fiktif; sabotase; tata buku tidak benar; dan pencurian.
4. Patologi yang dimanifestasikan dalam perilaku para birokrat yang bersifat
disfungsional atau negatif, seperti: bertindak sewenangwenang; pura-pura sibuk;
paksaan; konspirasi; sikap takut; penurunan mutu; tidak sopan; diskriminasi;
dramatisasi; sulit dijangkau; sikap tidak acuh; tidak disiplin; kaku; tidak
berperikemanusiaan; tidak peka; tidak sopan; tidak peduli tindak; salah tindak;
semangat yang salah tempat; negativisme; melalaikan tugas; tanggungjawab rendah;
lesu darah; paparazi; melaksanakan kegiatan yang tidak relevan; utamakan
kepentingan sendiri; suboptimal; imperatif wilayah kekuasaan; tidak profesional; sikap
tidak wajar; melampaui wewenang; vested interest; dan pemborosan.
5. Patologi yang merupakan akibat situasi internal dalam berbagai instansi dalam
lingkungan pemerintahan, seperti: penempatan tujuan dan sasaran yang tidak tepat;
kewajiban sosial sebagai beban; eksploitasi; tidak tanggap; pengangguran terselubung;
motivasi yang tidak tepat; imbalan yang tidak memadai; kondisi kerja yang kurang
memadai; pekerjaan tidak kompatibel; tidak adanya indikator kinerja; miskomunikasi;
misinformasi; beban kerja yang terlalu berat; terlalu banyak pegawai; sistem pilih
kasih; sasaran yang tidak jelas; kondisi kerja yang tidak nyaman; sarana dan prasarana
yang tidak tepat; dan perubahan sikap yang mendadak.
2.5 Bentuk-bentuk Patologi Birokrasi
Bentuk – bentuk Patologi Birokrasi berkembang sesuai dengan celah struktur dan
proses organisasi yang bermasalah diantaranya adalah:
1. Paternalistik, yaitu atasan bagaikan seorang raja yang wajib dipatuhi dan
dihormati, diperlakukan spesial, tidak ada kontrol secara ketat, dan pegawai bawahan
tidak memiliki tekad untuk mengkritik apa saja yang telah dilakukan atasan. Seakan-
akan nyawa mereka ada dalam genggaman atasan/ penguasa sehingga segala sesuatunya
dilakukan untuk atasan, ini juga disebut Komando system. Patologi Birokrasi yang
demikian sangat merukikan masyarakat, dimana Birokrasi cenderung patuh dan taat
untuk kepentingan Pejabat disbanding dengan kepentingan Publik.
2. Pengelembungan anggaran, tindakan ini adalah yang massif dilaksanakan
diseluruh dunia bahkan di Indonesia, cara demikian dirasakan sangat mudah untuk
mengatasi berbagai permasalahan yang instan pada luar konteks kebijakan anggaran.
Disatu sisi dimunculkan karena untuk mengcover berbagai kegiatan turunan akibat
adanya program, disisi lain diadakan untuk ajang mencari keuntungan pribadi dan
golongan.
3. Prosedur berbelit – belit yang berlebihan akan mengakibatkan pelayanan menjadi
rumit dan kurang menguntungkan bagi masyarakat. masyarakat menginginkan pelayanan
yang cepat dan mudah, dengan pelayanan yang berbelit – belit akan menimbulkan
resistensi kepada pelayanan yang diberikan pemerintah.
4. Birokrasi yang Gemuk, Ini akibat dari Pola Hirarkhisnya Konsep Klasik dari
Max Weber, lebih mengedepankan struktur bukan proses, akibatnya jabatan dalam
sebuah struktur Birokrasi menjadi gemuk, hal ini akan merugikan Negara dari segi
Anggaran Belanja Pegawai dan merugikan masyarakat akibat lambatnya proses
pelayanan.
5. Fragmentasi birokrasi, adalah semakin bertambahnya Dinas atau SKPD yang jika
dilihat dari tupoksinya dirasakan serumpun, maka akan menimbulkan perebutan kegiatan
dalam penyerapan anggaran, yang pada akhirnya terjadi kekembaran program yang
sangat merugikan masyarakat.
Layaknya patologi dalam dunia medis, patologi birokrasi juga memiliki berbagai
jenis penyakit. Jenis-jenis patologi birokrasi menurut Sondang Siagian (1994) antara
lain:
1. Penyalahgunaan wewenang
2. Persepsi yang didasarkan pada prasangka
3. Pengaburan masalah
4. Menerima sogokan
5. Pertentangan antar kepentingan
6. Status quo
7. Empire building
8. Complacency
9. Nepotisme
10. Paranoia (menilai diri sendiri secara berlebihan)
11. Sikap opresif
12. Patronase
13. Astigmatisme(ketidakmampuan melihat masalah dalam organisasi)
14. Xenophobia
15. Ritualisme
16. Counter productive
17. Mediocrity (kemampuan rendah dalam penyelesaian pekerjaan)
18. Stagnasi
19. Sabotase
20. Diskriminasi
21. Red tape (berbelit-belit)
22. Sycophancy, tampering (mengotak-atik barang bukti)
23. Tokenisme (tidak sepenuh hati), vested interest.
KESIMPULAN
Secara umum, Patologi birokrasi adalah penyakit dalam birokrasi Negara yang
muncul akibat perilaku para birokrat dan kondisi yang membuka kesempatan untuk
itu, baik yang menyangkut politis, ekonomis, sosial kultural dan teknologikal. Patologi
birokrasi bersumber pada empat masalah pokok yaitu (1) Patologi yang timbul karena
persepsi dan gaya manajerial para pejabat dilingkungan birokrasi (2) Patologi yang
disebabkan karena kurangnya atau rendahnya pengetahuan dan keterampilan para
petugas pelaksana berbagai kegiatan operasional (3) Patologi yang timbul karena
tindakan para anggota birokrasi yang melanggar norma-norma hukum dan peraturan
perundangundangan yang berlaku (4) Patologi yang dimanifestasikan dalam perilaku
para birokrat yang bersifat disfungsional atau negatif (5) Patologi yang merupakan
akibat situasi internal dalam berbagai instansi dalam lingkungan pemerintahan.
Bentuk – bentuk Patologi Birokrasi berkembang sesuai dengan celah struktur dan
proses organisasi yang bermasalah diantaranya adalah (1) Paternalistik (2)
Pengelembungan anggaran (3) Prosedur berbelit – belit (4) Birokrasi yang Gemuk (5)
Fragmentasi birokrasi. Buruk serta tidak transparannya kinerja birokrasi bisa
mendorong masyarakat untuk mencari ”jalan pintas” dengan suap atau berkolusi
dengan para pejabat dalam rekrutmen pegawai atau untuk memperoleh pelayanan yang
cepat. Situasi seperti ini pada gilirannya seringkali mendorong para pejabat untuk
mencari ”kesempatan” dalam ”kesempitan” agar mereka dapat menciptakan rente dari
pelayanan berikutnya.
Alternatif pemecahan masalah patologi birokrasi dengan pendekatan good
governance. Konsep ini bisa menyembuhkan atau setidak- nya dapat mengurangi
penyakit birokrasi. Good governance diartikan “kepemerintahan yang baik”. Konsep
“kepemerintahan yang baik” berorientasi pada dua hal, yaitu: Pertama, orientasi ideal
negara yang diarahkan pada pencapaian tujuan nasional. Kedua, pemerintahan yang
berfungsi secara ideal, yaitu secara efektif dan efisien melakukan upaya pencapaian
tujuan nasional.
DAFTAR PUSTAKA
Buku :
Hanafi. 2020, Patologi Birokrasi dalam Pelayanan Administrasi Kependudukan di Dinas
Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kabupaten Majene. Universitas
Muhammadiyah Makassar.
Siagian, Sondang P. 1994. Patologi Birokrasi: Analisis, Desain dan Aplikasi.
Jakarta : Ghalia Indonesia.
Yuntikasari, Nurlia Sradewi. 2016, Patologi Birokrasi Dalam Penanganan Perkara Di
Pengadilan Negeri Pangkajene Kabupatensidenreng Rappang. Universitas
Muhammadiyah Makassar.
Internet :
https://www.slideshare.net/MuhSalim95/patologi-birokrasi-52463676
http://eprints.ipdn.ac.id/2414/1/PATOLOGI%20BIROKRAS1.pdf