Anda di halaman 1dari 12

PENGARUH PERILAKU PATOLOGIS BIROKRAT

TERHADAP KUALITAS BIROKRASI DI INDONESIA

Mata Kuliah Birokrasi Pemerintahan


Dosen Pengampu: Dr. Ane Permatasari, S.IP., MA

Oleh:
Nisaul Hasanah
20200520131

PROGRAM STUDI ILMU PEMERINTAHAN


FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
2021
A. Pendahuluan

Berdasarkan pandangan Weber mengenai “birokrasi rasional”, ia berpendapat


berusaha memisahkan antara kantor dan si pemegang jabatan, kondisi yang tepat untuk
pengangkatan dan kenaikan pangkat, hubungan otoritas yang disusun secara sistematik
antara kedudukan, hak dan kewajiban yang diatur dengan tegas dan lain-lain (Lance
Castles, 7:1986). Analog dengan kata turunan “democracy” maka “bureaucracy” dapat
diturunkan menjadi “birokrat” yang memiliki arti orang atau pejabat yang duduk dalam
lembaga birokrasi; birokratisme berarti pelayanan birokrasi yang berbelit-belit dan
birokratisasi berarti segala sesuatunya diatur oleh birokrat (Ngadisah, n.d.).

Menurut Weber, konsep tentang pejabat merupakan dasar bagi birokrasi.


Baginya pejabat memiliki peran sosial yang semakin penting. Ada ciri-ciri peranan
yang terkait antara satu sama lain. Pertama, bahwa seseorang mempunyai tugas-tugas
khusus yang harus dilakukan. Kedua, fasilitas dan sumber yang diperlukan untuk
memenuhi peran itu, yang diberikan oleh pihak lain, bukan oleh pelaku peran.
Walaupun pengertian tentang birokrasi tidak didefinisikan secara utuh oleh Weber, ada
kesimpulan yang dapat ditarik dari berbagai gagasannya, yakni sebagai berikut
“Birokrasi adalah suatu badan administratif tentang pejabat yang diangkat, dan
membentuk hubungan kolektif bagi golongan pejabat itu sebagai suatu kelompok
tertentu yang berbeda, yang pekerjaan dan pengaruhnya dapat dilihat dalam organisasi
tertentu, khususnya menurut prosedur pengangkatannya”. Dengan demikian, secara
ringkas dapat disimpulkan bahwa konsep umum tentang birokrasi Weber tidak hanya
terdiri dari gagasan tertentu tentang kelompok, tetapi juga gagasan tentang bentuk-
bentuk tindakan yang berbeda dalam kelompok tertentu itu.

Di dalam suatu birokrasi pasti akan terdapat berbagai macam hambatan yang
bisa bersumber dari internal maupun eksternal. Harus diakui bahwa tidak ada birokrasi
yang bebas dari patologi birokrasi. Sebaliknya, tidak ada birokrasi yang menderita
“penyakit birokrasi sekaligus” (Teruna, 2007). Paradigma Actonian menyatakan power
tends to corrupt, but absolute power corrupts absolutely (kekuasaan cenderung korup,
tapi kekuasaan yang absolut pasti korup) yang secara jelas menjelaskan kecenderungan
birokrasi untuk melakukan penyelewengan wewenang (Ismail, 2009). Selain
sistemnya, hal tersebut dapat terjadi pada aparaturnya atau birokratnya.
Smith (1988) dalam Ismail (2009) mengemukakan bahwa ruang lingkup
patologi birokrasi dipetakan dalam dua konsep besar, yaitu:
1. Disfunctions of bureaucracy, berkaitan dengan struktur, aturan, dan
prosedur atau berkaitan dengan karakteristik birokrasi; dan
2. Mal-administration, berkaitan dengan ketidakmampuan atau perilaku yang
dapat disogok, erat kaitannya dengan kualitas birokrat yang ada.

Kemudian, Siagian (1994) mengelompokkan patologi birokrasi menjadi dalam


lima kategori, antara lain:
1. Patologi yang timbul karena persepsi dan gaya manajerial para pejabat di
lingkungan birokrasi;
2. Patologi yang disebabkan karena kurangnya atau rendahnya pengetahuan
dan keterampilan para petugas pelaksana berbagai kegiatan operasional;
3. Patologi yang timbul karena tindakan para anggota birokrasi yang
melanggar norma-norma hukum dan peraturan perundang-undangan yang
berlaku;
4. Patologi yang dimanifestasikan dalam perilaku para birokrasi yang bersifat
disfungsional atau negatif; dan
5. Patologi yang merupakan akibat situasi internal dalam berbagai instansi
dalam lingkungan pemerintahan.

Menurut Makmur (2007: 85-109) jenis-jenis patologi birokrasi dapat dibagi


menjadi enam, yaitu persekongkolan jabatan, pekerjaan, status, kolega, keluarga, dan
persekongkolan pertemanan.

Sikap dan perilaku birokrat sangat memengaruhi pelaksanaan tugas sesuai


dengan situasi dan kondisi yang ada. Ideologi politik dan kepribadian sangat
memengaruhi sikap dan perilaku birokrat. Perilaku birokrasi yang patologis tidak
terbentuk begitu saja. Terdapat aspek-aspek yang menjadi faktor pembentuk perilaku
tersebut, seperti aspek birokrasi dan aspek individu dalam lingkungan. Aspek individu
yang dibawa ke dalam tatanan birokrasi antara lain kemampuan, kepercayaan pribadi,
pengharapan, kebutuhan, dan pengalaman.

Birokrasi sebagai pemilik kewenangan dalam penyelenggaraan pemerintahan


berpotensi melakukan sesuatu yang dapat menguntungkan dirinya sendiri atau
kelompok tertentu melalui tindakan-tindakan yang tercela (Ma’ruf, 2010). Perilaku
seperti ini menjadi indikator patologi birokrasi yang melingkupi berbagai perilaku
buruk dari birokrasi itu sendiri. Birokrasi yang diharapkan dapat menciptakan tata
pemerintahan yang mampu menumbuhkan kepercayaan publik harus bisa
meminimalisasi peluang terjadinya tindakan-tindakan tersebut karena final product dari
pelayanan publik suatu pemerintahan adalah terciptanya kepercayaan publik yang
memengaruhi indeks kepuasan masyarakat. Birokrasi tidak hanya sekedar
melaksanakan kekuasaan, tetapi juga memiliki tujuan moral, sebuah birokrasi yang
menghargai hak-hak masyarakat (Teruna, 2007).

B. Literature Review

Karakteristik birokrasi terdiri dari susunan hierarki, adanya pembagian kerja,


adanya tugas dalam jabatan tertentu, adanya wewenang dan tanggung jawab, adanya
sistem penggajian tertentu, adanya sistem pengendalian. Jika karakteristik individu
yang dikemukakan berinteraksi dengan karakteristik birokrasi maka terciptalah
perilaku birokrasi (Sartika, 2013). Perilaku birokrasi tersebut akan memengaruhi dan
menentukan kualitas dari birokrasi itu sendiri yang membantu usaha perwujudan good
governance.

Perilaku birokrat tidak bisa lepas dari pembahasan kedisiplinan pegawai.


Pembahasan disiplin pegawai berangkat dari pandangan bahwa tidak ada manusia yang
sempurna, luput dari kekhilafan, dan kesalahan (Faustino, 2003; Hasibuan, 2010).
Setiap instansi memerlukan berbagai ketentuan yang harus ditaati para pegawai
sehingga standard atau target dapat terpenuhi. Disiplin merupakan tindakan manajemen
memotivasi kinerja untuk mendorong para pegawai memenuhi tuntutan berbagai
ketentuan tersebut (Arvey, Davis, & Nelson, 1984; Bandyopadhyay, 2009; Franklin &
Pagan, 2006; Soss, Fording, & Schram, 2011). Dengan demikian, tujuan dari disiplin
pegawai adalah memperbaiki dan membentuk pengetahuan, sikap, dan perilaku para
pegawai melalui pengadaan berbagai pelatihan sehingga dapat bekerja secara
kooperatif dan meningkatkan kesadaran setiap individu pegawai untuk lebih
difokuskan pada peningkatan prestasi kerja (Boinauw, Irwan; Hussein, 2020).

Pada era reformasi sekarang ini, sumber daya aparatur negara yang profesional
dalam manajemen pemerintahan sangat dibutuhkan untuk menciptakan pemerintahan
yang lebih berkualitas, bisa lebih memaksimalkan fungsi-fungsi pelayanan publik,
pemberdayaan masyarakat, dan pembangunan sosial ekonomi. Apabila aparatur tidak
bisa menjalankan visi dan misi pemerintahan dengan profesional maka pelaksanaan
pembangunan tidak bisa berjalan secara optimal (Hamirul, Ariyanto, & Nova, 2018).

Salah kelola cenderung terjadi dalam manajemen Pemerintah Daerah karena


pusat manajemen Pemerintahan ada pada Kepala Daerah (Bupati/Wali Kota).
Kewenangan yang terpusat menjadi persoalan yang dilematis (Romli, 2008).
Sentralisasi yang terjadi pada Bupati/Wali Kota di satu pihak akan memperpendek jalur
kenaikan pangkat dan promosi bagi pegawai serta pejabat daerah. Namun, di pihak lain,
kekuasaan yang terpusat ini bisa memicu terjadinya berbagai penyimpangan,
penyalahgunaan kekuasaan, dan manipulasi dalam praktek birokrasi lokal. Hubungan-
hubungan yang bersifat personal dan nepotis kerap lebih menentukan karier seorang
birokrat daripada prestasinya dan kinerjanya secara objektif (Haris dalam Afadlal.Ed,
2003:64).
Ada empat jenis etika dalam berinteraksi, yakni etika individual atau moralitas
personal, etika profesi, etika organisasi, dan etika sosial (Shafritz dan Russel 1997:
607). Empat etika tersebut tidak selalu berjalan beriringan di dalam prakteknya.
Misalnya, nepotisme atau favoritisme dalam pelayanan publik merupakan bentuk
pelanggaran etika profesi maupun etika organisasi, tetapi hal tersebut dapat dibenarkan
apabila dilihat dari sisi etika sosial. Hal ini menjadikan etika sebagai suatu isu yang
kompleks dan sarat akan pertentangan nilai sehingga membutuhkan pendekatan yang
hati-hati (Gow, 2005).

Kualitas dari birokrasi sangat ditentukan oleh etika birokrat. Pelaksanaannya


dipengaruhi oleh etika birokrasi yang ada dalam organisasi tersebut. Penguatan good
governance bisa dilakukan dengan penguatan unsur etika dan perilaku birokrat dalam
prinsip-prinsip good governance (Satibi & Ediyanto, 2020).

Sifat patologis birokrasi bukan merupakan hal yang berdiri sendiri, tetapi
merupakan hasil interaksi berbagai aspek, yaitu aspek birokrasi dan aspek individu.
Aspek individu yang dibawa ke tatanan birokrasi, yaitu kemampuan, kepercayaan
pribadi, pengharapan, kebutuhan, dan pengalaman (Sartika, 2013).

Kualitas pelayanan yang diberikan kepada masyarakat dapat menjadi cerminan


keseluruhan perilaku anggota birokrasi karena kinerja organisasi sangat tergantung
pada kinerja individu yang ada di dalamnya (Rislan, 2016).
C. Analisis
i. Identifikasi Permasalahan

Agar berbagai tantangan dapat dihadapi dengan baik oleh birokrasi


pemerintahan, baik tantangan yang bersifat politis, ekonomi, sosial-kultural,
dan teknologikal, berbagai penyakit yang mungkin sudah dideritanya atau yang
akan mengancamnya, perlu diidentifikasi untuk kemudian diobati dengan
pengobatan yang paling efektif (Siagian, 1994:35).

Di Indonesia, kualitas aparatur sipil negara atau birokrat masih jauh dari
yang diharapkan. Beberapa faktor penyebabnya adalah minimnya keahlian yang
dimiliki dan motivasi mereka dalam melayani masyarakat masih rendah.
Rendahnya kualitas tersebut berpengaruh terhadap tidak maksimalnya
pengelolaan sumber daya yang dimiliki. Selain itu, ada hal yang tidak kalah
penting, yaitu pengisian jabatan tinggi dalam instansi. Banyak posisi jabatan
tinggi yang diisi oleh orang-orang yang tidak berkompeten. Hal ini berpotensi
terjadi karena adanya praktek nepotisme di dalam birokrasi.

Kenyataan sekarang ini juga menunjukkan seringnya petugas layanan


atau aparatur yang mengabaikan pelayanan publik, mereka lebih tertarik untuk
melakukan tugas-tugas “terselubung” yang secara finansial dianggap lebih
menguntungkan, padahal menyita waktu yang banyak. Terdapat temuan dari
suatu penelitian bahwa patologi yang dimanisfestasikan dalam perilaku yang
bersifat disfungsional antara lain tidak disiplin, berpura-pura sibuk,
bersekongkol bekerja sama dengan calo, adanya arogansi dari birokrat. Hal ini
jelas merupakan bukti bahwa usaha untuk mewujudkan pemerintahan yang baik
masih belum dapat dilaksanakan dengan efektif.

Sejak awal, birokrasi di Indonesia memang jauh dari tipe ideal birokrasi
modern seperti yang dikemukakan oleh Max Weber, birokrasi kita lebih sering
diberi konotasi negatif, seperti adanya mekanisme dan prosedur kerja yang
berbelit-belit dan penyalahgunaan status. Birokrasi di Indonesia bukan tipe
birokrasi yang modern, melainkan lebih dekat ke birokrasi patrimonial, yang
mana penerapan hierarki birokrasi corak jabatan dan perilaku lebih didasarkan
pada hubungan patron-klien.
Wrong man on the right place lebih sering terjadi daripada right man on
the right place. Hal tersebut menjadikan orang yang tidak tepat bisa menduduki
posisi penting dalam birokrasi yang mengatur perubahan masyarakat. Birokrat
karier yang tidak berpolitik bisa saja tergusur, dipindahkan atau diberi jabatan
penyerta.

Selain itu, setiap warga masyarakat yang datang ke kantor-kantor


pemerintah cenderung memberi kesan negatif. Tidak sedikit masyarakat yang
menganggap para birokrat kurang ramah, kurang informatif, dan kurang
profesional. Kesan lainnya adalah birokrasi pemerintah dianggap selalu
mempersulit sesuatu yang bisa dikerjakan dengan sederhana (Rivai, 2013).

ii. Data pendukung

Banyaknya Pegawai Negeri Sipil yang terlibat dalam kasus tindak


pidana korupsi menjadikan birokrasi sebagai trend setter korupsi. Pegawai
Negeri Sipil atau PNS menjadi aktor terbanyak dalam kasus korupsi karena
dinilai memiliki akses sebagai pelaksana dalam sejumlah kegiatan. Pada 2018,
Badan Kepegawaian Negara (BKN) merilis data rekapitulasi yang
menunjukkan 2.357 PNS terlibat tindak pidana korupsi. Dari jumlah tersebut,
diuraikan sebanyak 98 orang adalah PNS yang berada di sejumlah kementerian
dan lembaga tingkat pusat, sedangkan 2.259 lainnya tersebar di sejumlah
provinsi, kabupaten, dan kota.

Terdapat temuan menarik yang didapatkan dari hasil penyilangan data


rekapitulasi jumlah PNS yang terlibat tindak pidana korupsi versi BKN dengan
perbandingan data anggaran tiap kementerian dan lembaga. Temuan tersebut
menunjukkan bahwa semakin besar jumlah anggaran kementerian/lembaga
maka jumlah PNS yang terlibat tindak pidana korupsi juga tinggi. Dengan
menggunakan data anggaran belanja kementerian/lembaga tahun 2018 sebagai
patokan untuk melihat jumlah PNS yang terlibat kasus tindak pidana korupsi,
BKN menemukan bahwa 90 persen kementerian yang PNS-nya terlibat korupsi
berasal dari kementerian dan lembaga dengan besaran anggaran belanja di atas
Rp 20 triliun.
Pada tahun 2020, Badan Kepegawaian Negara (BKN) mencatat terdapat
118 orang PNS telah ditetapkan oleh Pengadilan Negeri (PN) terlibat tindak
pidana korupsi, tetapi masih bekerja. Kepala BKN, Bima Haria Wibisana,
menyebutkan bahwa hal ini dapat berdampak kerugian pada negara.

Ketua KPK, Firli Bahuri, menyatakan bahwa pada 2020 telah terjadi
tindak pidana korupsi di 26 dari 34 provinsi di seluruh Indonesia. Indonesia
Corruption Watch (ICW) mencatat bahwa sepanjang semester pertama tahun
2020, Indonesia mengalami kerugian sebesar Rp 39,2 triliun dari praktek
korupsi. Sementara itu, total denda yang dijatuhkan kepada terdakwa oleh
majelis hakim hanya berkisar sekitar Rp 102 miliar, serta uang pengganti sekitar
Rp 625 miliar, US$128.200.000, dan SGD2.364.315 atau sekitar Rp 2,3 triliun.

Selain masalah tindak pidana korupsi, pada Pemilihan Kepala Daerah


(Pilkada) 2020 serentak, Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) mendapat 499
laporan dugaan ASN tidak netral. Setelah diselidiki, 389 ASN terbukti
melanggar aturan. Wakil Ketua KASN menyampaikan bahwa 199 ASN
ditindaklanjuti oleh Pejabat Pembina Kepegawaian (PPK) (Novika, 2020).

iii. Analisis akar masalah

Birokrasi pemerintahan pada zaman reformasi ini nampaknya tidak ada


perubahan yang berarti. Pada era Orde Baru, birokrasi dijadikan sebagai mesin
politik yang berdampak masyarakat harus membayar biaya yang mahal.
Timbulnya ketidakpastian waktu, ketidakpastian biaya, dan ketidakpastian
siapa yang bertanggung jawab adalah beberapa fakta empiris rusaknya layanan
birokrasi. Layanan birokrasi justru menjadi ruang untuk melakukan tindak
pidana korupsi, kolusi, dan nepotisme. Birokrasi pemerintah didominasi oleh
pejabat politik. Sistem pada Orde Baru yang berlangsung lebih dari 30 tahun
dengan catatan kelam bangsa Indonesia tidak bisa hilang begitu saja. Hal ini
juga membentuk sikap, perilaku, dan opini bahwa pejabat politik dan pejabat
birokrat tidak dapat dibedakan (www.transparansi.or.id).

Pada zaman Orde Baru, menjaga kestabilan politik, pembangunan


nasional, dan integrasi nasional digunakan sebagai alat pembenaran untuk
melakukan tindakan politik dalam rangka mempertahankan kekuasaannya,
termasuk yang bertentangan dengan demokrasi. Contohnya, prinsip
monoloyalitas PNS yang diadakan untuk melindungi Orde Baru dari gangguan-
gangguan yang mungkin timbul dari musuh-musuh Orde Baru. Prinsip ini
mewajibkan semua PNS memilih Golkar pada setiap pemilu.

Sampai kekuasaan Presiden Soeharto berakhir, Indonesia masih belum


memiliki kebijakan publik yang mengatur pembatasan hubungan partai politik
terhadap birokrasi. Sebagai akibatnya terjadi infinitas (berperan melampaui
batas fungsi utama) sehingga terjadi politisasi birokrasi, yang menyumbang
terjadinya pembusukan politik dan melemahnya kinerja birokrasi.

Patologi yang disebabkan karena kurang atau rendahnya pengetahuan


dan keterampilan petugas pelaksana biasanya disebabkan oleh tidak mampunya
menjabarkan kebijaksanaan pimpinan, ketidaktelitian, rasa puas diri, bertindak
tanpa berpikir, kebingungan, sogok, mutu hasil pekerjaan rendah, kedangkalan,
ketidaktepatan tindakan, inkompetensi, sikap ragu-ragu, bekerja tidak
produktif, ketidakrapian, stagnasi (Hamirul, 2017).

iv. Solusi

Solusi yang dapat dilakukan untuk menghilangkan sifat patologis


birokrat ini, yaitu dilakukannya reformasi birokrasi secara menyeluruh. Sejak
awal era reformasi, pemerintah sudah mengupayakan reformasi birokrasi
dengan diciptakannya aturan yang mengatur soal pemberantasan KKN dan
menciptakan aparat pemerintah yang bersih dan bertanggung jawab, yaitu pada
tahun 1998, antara lain Tap MPR No.XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara
Negara yang bersih dan Bebas KKN; Undang-Undang No. 28 Tahun 1999
tentang Penyelenggara Negara yang bersih dan Bebas KKN; dan Undang-
Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor
31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Selain itu,
berbagai peraturan lainnya yang terkait dengan upaya pemberantasan tindak
pidana korupsi dikeluarkan. Pemerintah juga mengeluarkan undang-undang
tentang administrasi pemerintahan dan pelayanan publik sebagai salah satu
upaya.
Birokrat sebagai penyelenggara birokrasi yang kualitasnya dapat
tercermin atau dilihat melalui kinerja pelayanan publiknya harus bisa
menumbuhkan rasa percaya publik. Tindakan patologis birokrat, seperti
tindakan pidana korupsi sebagai sebuah tindakan penyimpangan tidak bisa
dibiarkan begitu saja, hal ini jelas menjadi ancaman bagi terciptanya PNS yang
bersih dan birokrasi yang berkualitas, serta merupakan hambatan terwujudnya
pemerintahan yang baik (good governance). Dengan demikian, reformasi
mental birokrat sangat perlu untuk dilakukan.

Prof. Dr. Mustopadijaja menawarkan upaya melalui peningkatan


profesionalisme aparatur yang harus ditunjang dengan integritas yang tinggi.
Upaya tersebut mencakup: (a) mempunyai komitmen yang tinggi terhadap
perjuangan untuk mencapai cita-cita dan tujuan bernegara; (b) memiliki
kompetensi yang dipersyaratkan dalam mengemban tugas pengelolaan
pelayanan dan kebijakan publik; (c) berkemampuan melaksanakan tugas
dengan terampil, kreatif, dan inovatif; (d) taat asas, dan disiplin dalam bekerja
berdasarkan sifat dan etika profesional; (e) memiliki daya tanggap dan sikap
bertanggung gugat (akuntabilitas); (f) memiliki jati diri sebagai abdi negara dan
abdi masyarakat, serta bangga terhadap profesinya sebagai seorang Pegawai
Negeri; (g) memiliki derajat otonomi yang penuh rasas tanggung jawab dalam
membuat dan melaksanakan berbagai keputusan sesuai kewenangan; dan (h)
memaksimalka efisiensi, kualitas, dan produktifitas (www.goodgovernance-
bappenas.go.id).

Upaya yang dilakukan untuk meningkatkan kualitas birokrat adalah


melalui perbaikan sistem penerimaan dan pelatihan. Sistem Merit harus
dilaksanakan dengan seharusnya dan maksimal sehingga akan memberi input
dan dampak yang baik bagi birokrasi. Dalam rangka mendorong atau
memaksimalkan kemampuan dan kinerja birokrat, perlu diterapkannya aturan
yang jelas serta pemberian reward atau penghargaan bagi birokrat yang
memiliki kinerja yang baik dan punishment atau hukuman bagi birokrat yang
melakukan tindakan negatif sebagai kontrol agar tindakan tersebut tidak
terulang.
D. Penutup

Birokrasi pemerintah harus bisa menciptakan kondisi keseimbangan antara


tuntutan aktual masyarakat dan transparan dengan kemampuan untuk memenuhi
tuntutan agar tujuan bisa tercapai. Tujuan birokrasi dapat dicapai atau dapat memenuhi
target dengan baik apabila didukung dengan sikap dan perilaku yang baik. Sikap dan
perilaku individu memiliki hubungan yang erat dengan kualitas birokrasi itu sendiri,
yang akan menjadi output atau bentuk pelayanan kepada publik.

Berbagai regulasi yang dikeluarkan memiliki peran penting bagi pengembangan


organisasi dan pencapaian tujuan pemerintah dalam reformasi birokrasi dan
kepegawaian. Aturan-aturan tersebut dijadikan sebagai acuan untuk meningkatkan
kualitas SDM yang lebih baik dalam kinerja dan tanggung jawab sehingga kondisi
lingkungan pemerintahan atau birokrasi yang bersih, kompetitif, netral, dan berwibawa
dapat terwujud. Semakin baik reformasi itu dilaksanakan maka kualitas birokrasi akan
semakin meningkat dan pelayanan publik menuju good government dan good
governance semakin baik.
E. Daftar Pustaka

Boinauw, Irwan; Hussein, R. (2020). Journal of Government Civil Society. Journal of


Government Civil Society, 4(1), 53–71.
Hamirul, Ariyanto, M., & Nova, E. (2018). Profesionalisme Aparatur Sipil Negara Dalam
Rangka Mengatasi Patologi Pelayanan Publik. Jurnal Marketing, 2, 133–148.
Hamirul, H. (2017). Patologi Birokrasi Yang Dimanifestasikan Dalam Perilaku Birokrat Yang
Bersifat Disfungsional. Otoritas : Jurnal Ilmu Pemerintahan, 7(1), 14.
https://doi.org/10.26618/ojip.v7i1.330
Ma’ruf, M. (2010). Patologi Birokrasi. Jurnal Visioner, 4(3), 1–16. Retrieved from
http://eprints.ipdn.ac.id/2414/1/PATOLOGI BIROKRAS1.pdf
Ngadisah. (n.d.). Pengertian dan Teori-Teori Klasik Birokrasi. In Birokrasi Indonesia (pp. 1–
32).
Novika, S. (2020). 499 PNS Dilaporkan Tak Netral Jelang Pilkada 2020. In detik finance.
Rivai, A. (2013). Budaya Kerja Birokrasi Pemerintah dalam Pelayanan Publik. Jurnal
Academica, 05(01), 949–956.
Romli, L. (2008). Masalah reformasi birokrasi. Jurnal Kebijakan Dan Manajemen PNS, 2(2),
1–8. Retrieved from https://jurnal.bkn.go.id/index.php/asn/article/view/149/129
Satibi, I., & Ediyanto, E. (2020). Etika Dan Perilaku Birokrasi Dalam Mendukung Penguatan
Good Governance. Jurnal Academia Praja, 3(2), 234–250.
https://doi.org/10.36859/jap.v3i2.173

Anda mungkin juga menyukai