Oleh:
Nisaul Hasanah
20200520131
Di dalam suatu birokrasi pasti akan terdapat berbagai macam hambatan yang
bisa bersumber dari internal maupun eksternal. Harus diakui bahwa tidak ada birokrasi
yang bebas dari patologi birokrasi. Sebaliknya, tidak ada birokrasi yang menderita
“penyakit birokrasi sekaligus” (Teruna, 2007). Paradigma Actonian menyatakan power
tends to corrupt, but absolute power corrupts absolutely (kekuasaan cenderung korup,
tapi kekuasaan yang absolut pasti korup) yang secara jelas menjelaskan kecenderungan
birokrasi untuk melakukan penyelewengan wewenang (Ismail, 2009). Selain
sistemnya, hal tersebut dapat terjadi pada aparaturnya atau birokratnya.
Smith (1988) dalam Ismail (2009) mengemukakan bahwa ruang lingkup
patologi birokrasi dipetakan dalam dua konsep besar, yaitu:
1. Disfunctions of bureaucracy, berkaitan dengan struktur, aturan, dan
prosedur atau berkaitan dengan karakteristik birokrasi; dan
2. Mal-administration, berkaitan dengan ketidakmampuan atau perilaku yang
dapat disogok, erat kaitannya dengan kualitas birokrat yang ada.
B. Literature Review
Pada era reformasi sekarang ini, sumber daya aparatur negara yang profesional
dalam manajemen pemerintahan sangat dibutuhkan untuk menciptakan pemerintahan
yang lebih berkualitas, bisa lebih memaksimalkan fungsi-fungsi pelayanan publik,
pemberdayaan masyarakat, dan pembangunan sosial ekonomi. Apabila aparatur tidak
bisa menjalankan visi dan misi pemerintahan dengan profesional maka pelaksanaan
pembangunan tidak bisa berjalan secara optimal (Hamirul, Ariyanto, & Nova, 2018).
Sifat patologis birokrasi bukan merupakan hal yang berdiri sendiri, tetapi
merupakan hasil interaksi berbagai aspek, yaitu aspek birokrasi dan aspek individu.
Aspek individu yang dibawa ke tatanan birokrasi, yaitu kemampuan, kepercayaan
pribadi, pengharapan, kebutuhan, dan pengalaman (Sartika, 2013).
Di Indonesia, kualitas aparatur sipil negara atau birokrat masih jauh dari
yang diharapkan. Beberapa faktor penyebabnya adalah minimnya keahlian yang
dimiliki dan motivasi mereka dalam melayani masyarakat masih rendah.
Rendahnya kualitas tersebut berpengaruh terhadap tidak maksimalnya
pengelolaan sumber daya yang dimiliki. Selain itu, ada hal yang tidak kalah
penting, yaitu pengisian jabatan tinggi dalam instansi. Banyak posisi jabatan
tinggi yang diisi oleh orang-orang yang tidak berkompeten. Hal ini berpotensi
terjadi karena adanya praktek nepotisme di dalam birokrasi.
Sejak awal, birokrasi di Indonesia memang jauh dari tipe ideal birokrasi
modern seperti yang dikemukakan oleh Max Weber, birokrasi kita lebih sering
diberi konotasi negatif, seperti adanya mekanisme dan prosedur kerja yang
berbelit-belit dan penyalahgunaan status. Birokrasi di Indonesia bukan tipe
birokrasi yang modern, melainkan lebih dekat ke birokrasi patrimonial, yang
mana penerapan hierarki birokrasi corak jabatan dan perilaku lebih didasarkan
pada hubungan patron-klien.
Wrong man on the right place lebih sering terjadi daripada right man on
the right place. Hal tersebut menjadikan orang yang tidak tepat bisa menduduki
posisi penting dalam birokrasi yang mengatur perubahan masyarakat. Birokrat
karier yang tidak berpolitik bisa saja tergusur, dipindahkan atau diberi jabatan
penyerta.
Ketua KPK, Firli Bahuri, menyatakan bahwa pada 2020 telah terjadi
tindak pidana korupsi di 26 dari 34 provinsi di seluruh Indonesia. Indonesia
Corruption Watch (ICW) mencatat bahwa sepanjang semester pertama tahun
2020, Indonesia mengalami kerugian sebesar Rp 39,2 triliun dari praktek
korupsi. Sementara itu, total denda yang dijatuhkan kepada terdakwa oleh
majelis hakim hanya berkisar sekitar Rp 102 miliar, serta uang pengganti sekitar
Rp 625 miliar, US$128.200.000, dan SGD2.364.315 atau sekitar Rp 2,3 triliun.
iv. Solusi