Anda di halaman 1dari 3

Patologi birokrasi dikaitkan dengan keperilakuan

Nama : Mariana julyanti toto

Npm : 16-221-013

PRODI : ILMU PEMERINTAHAN

KELAS : PAGI (A)

Di Negara dan Pemerintahan manapun, para anggota birokrasi di sebut sebagai abdi Negara dan abdi
Masyarakat. Dengan predikat demikian, mereka diharapkan dan dituntut menampilkan perilaku yang
sesuai dengan peranannya selaku abdi tersebut. Keseluruhan perilaku para anggota birokrasi tercermin
pada pelayanan kepada seluruh masyarakat. Karena penerapan prinsip fungsionalisasi, spesialisasi, dan
pembagian tugas, sudah tentu terdapat bagian masyarakat yang menjadi “clientele” suatu instansi
tertentu. Sebagai prinsip dapat dikatakan bahwa pelayanan yang diberikan oleh birokrasi kepada para
klientelenya harus bersifat adil, cepat, ramah dan tanpa diskriminasi. Dengan kata lain, teramat penting
untuk mengupayakan agar para anggota birokrasi menghindari perilaku yang tidak sesuai dengan
peranannya selaku abdi Negara dan abdi Negara. Dari segi inilah, penting dipahami patologi birokrasi
yang bersumber dari Keperilakuan. Pemahaman perilaku dalam kaitannya dengan patologi birokrasi,
mutlak perlu disoroti dari sudut pandang etos kerja dan kultur organisasi yang berlaku dalam suatu
birokrasi tertentu. Telah dimaklumi bahwa kultur organisasi suatu birokrasi tak bisa dilepaskan dari
kultur sosial dimasyarakat luas. Kultur organisasi penting dipahami karena berperan, antara lain sebagai
alat pengendali perilaku para anggota birokrasi pemerintahan.

Berikut ini didefinisikan dan dibahas berbagai perilaku negatif atau difungsional yang harus dicegah, agar
jangan sampai ditampilkan oleh para anggota birokrasi yang bersangkutan :

 Bertindak sewenang-wenang
 Paksaan
 Konspirasi
 Siapa Takut
 Penurunan Mutu
 Tidak Sopan
 Diskriminasi
 Cara Kerja Yang Legalistik
 Dramatisasi
 Sulit Di Jangkau
 Sikap Tidak Acuh
 Tidak Disiplin
 Inersia
 Sikap Kaku (Tidak Fleksibel)
 Tidak Berperikemanusiaan
 Tidak Peka
 Sikap Tidak Sopan
 Sikap Lunak
 Tidak Peduli Mutu Kinerja
 Salah Tindak
 Semangat Yang Salah Tempat
 Negativism
 Melalaikan Tugas
 Rasa Tanggung Jawab yang Rendah
 Melaksanakan kegiatan yang tidak Relavan
 Cara kerja Yang Berbelit-belit
 Kerahasiaan
 Pengutamaan Kepentingan Sendiri
 Melampaui wewenang
 Pertentangan kepentingan
 Pemborosan
 Tidak Profesional
 Sikap Tidak Wajar

Faktor Penyebab Patologi Birokrasi


 Menurut JW Schoorl (1984) :
1. Kekurangan Administrasi yang Cakap
2. Besarnya Jumlah Aparat birokrasi
3. Luasnya tugas pemerintahan
4. Anasir tradisional (nepotisme,patriomonial,hirarkis)
5. Sentralisasi dan besarnya kekuasaan birokrasi
 Menurut Miftah Thota (2003), Peter M. Blau dan Marshal W Meyer (2000), Taliziduhu Ndraha
(2003) :
1. Lemahnya faktor Moral
2. Gaji Rendah
3. Sistem rekrutmen dan promosi tidak baik
4. Aturan dan mekanisme kerja belum jelas
5. Birokrasi berpotensi politis
6. Lemahnya pengawasan

Mengembalikan Citra Agar Gejala Patologi Tidak Menyebar


Menghadapi berbagai gejala empirik patologi dalam birokrasi, sudah saatnya diupayakan agar birokrasi
memiliki “daya tahan” yang semakin tinggi terhadap berbagai ‘penyakit’ yang menyerangnya. Berbagai
perbaikan, bahkan transformasi juga diperlukan, sehingga gejala patologi yang sudah muncul tidak
meluas dan bisa segera dieliminasi. Orientasi Birokrasi semestinya juga kembali diarahkan untuk
menghasilkan sesuatu yang memiliki nilai secara cepat, tepat, dan dengan biaya yang terjangkau
(ekonomis). Sehingga, kinerja birokrasi dapat mewujudkan efisiensi dan bukan sebaliknya. Semua unsur
pokok birokrasi mengacu pada upaya rasional untuk mengurus organisasi secara efektif dan efisien.
Unsur pokok, menurut Miftah Thoha, sedikitnya mencakup perlakuan yang sama terhadap semua orang
(impersional), pengisian jabatan atas dasar keahlian dan pengalaman, larangan penyalahgunaan jabatan,
standar kerja yang jelas, sistem administrasi yang rapi, serta pengadaan dan pelaksanaan aturan bagi
kepentingan organisasi dan mengikat bagi semua anggotanya. Aparat birokrasi tidak dibenarkan
melakukan partikularisme (korupsi, kolusi, nepotisme maupun primordialisme) dalam administrasi
kepegawaian ataupun dalam menjalankan fungsinya sebagai public servant. Perekrutan pegawai yang
sebelumnya di dasarkan pada patronage system, spoil system dan nepotisme, sebaiknya segera di ubah
dengan merit system atau carier system sehingga terjamin peningkatan mutu, kreativitas, inisiatif dan
efisiensi dalam birokrasi. Kontrak-kontrak kerja yang dibuat, apa pun jenisnya, harus dilaksanakan secara
transparan, objektif dan akuntabel.

Anda mungkin juga menyukai