Anda di halaman 1dari 186

BAB I

PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang

Perilaku organisasi merupakan salah satu kajian ilmu administrasi publik

yang mengamati tentang pengaruh perilaku individu, kelompok dan perilaku dalam

struktur organisasi dengan maksud untuk mendapatkan pengetahuan guna

memperbaiki keefektifan organisasi. Perilaku Organisasi adalah suatu disiplin ilmu

yang mempelajari bagaimana seharusnya perilaku tingkat individu, tingkat kelompok,

serta dampaknya terhadap kinerja (baik kinerja individual, kelompok, maupun

organisasi). Gibson dkk mendefinisikan perilaku organisasi sebagai penelaahan

perilaku, sikap dan prestasi manusia di dalam suatu kerangka organisasi,

penggunaan teori, metode dan prisip-prinsip dari berbagai disiplin ilmu seperti

psikologi, sosiologi, antropologi budaya untuk mempelajari persepsi nilai-nilai,

kapasitas belajar, dan tindakan-tindakan individu ketika bekerja di dalam kelompok

dan di dalam organisasi secara keseluruhan, penganalisian dampak lingkungan luar

atas organisasi dan sumber daya manusianya, misi, tujuan dan strategi.

Perilaku organisasi tidak terlepas dari birokrasi. Birokrasi berhubungan

dengan organisasi masyarakat yang disusun secara ideal. Birokrasi dicapai melalui

formalisasi aturan, struktur, dan proses didalam organisasi. Para teoritikus klasik

seperti Fayol (1949), Taylor (1911), dan Weber (1948), selama bertahun –tahun

telah mendukung model birokrasi guna meningkatkan efektivitas administrasi

organisasi. Max Weber (1948) sosok yang dikenal sebagai bapak birokrasi

1
menyebutkan terdapat delapan karakteristik struktural organisasi birokrasi yang

ideal.

Pertama, aturan-aturan yang disahkan, regulasi, dan prosedur yang

distandarkan dan arah tindakan anggota organisasi dalam pencapaian tugas

organisasi. Weber menggambarkan pengembangan rangkaian kaidah dan panduan

spesifik untuk merencanakan tugas dan aktivitas organisasi.

Kedua, spesialisasi peran anggota organisasi memberikan peluang kepada

divisi pekerja untuk menyederhanakan aktivitas pekerja dalam menyelesaikan tugas

yang rumit. Dengan memecah tugas-tugas yang rumit kedalam aktivitas khusus

tersebut, maka produktivitas pekerja dapat ditingkatkan.

Ketiga, hirarki otoritas organisasi formal dan legitimasi peran kekuasaan

anggota organisasi didasarkan pada keahlian pemegang jabatan secara individu,

membantu mengarahkan hubungan intrapersonal diantara anggota organisasi guna

menyelesaikan tugas-tugas organisasi.

Keempat, pekerjaan personil berkualitas didasarkan pada kemampuan teknik

yang mereka miliki dan kemampuan untuk melaksanakan tugas yang dibebankan

kepada mereka. Para manajer harus mengevaluasi persyaratan pelamar kerja

secara logis, dan individu yang berkualitas dapat diberikan kesempatan untuk

melakukan tugasnya demi perusahaan.

Kelima, mampu tukar personil dalam peran organisasi yang bertanggung

jawab memungkinkan aktivitas organisasi dapat diselesaikan oleh individu yang

berbeda. Pentingnya tugas organisasi yang relatif untuk dibandingkan dengan

anggota organisasi tertentu yang melaksanakan tugas-tugasnya.

2
Keenam, impersonality dan profesionalisme dalam hubungan intrapersonil

diantara anggota organisasi mengarahkan individu kedalam kinerja tugas organisasi.

Menurut prinsipnya, anggota organisasi harus berkonsentrasi pada tujuan organisasi

dan mengutamakan tujuan dan kebutuhan sendiri. Sekali lagi, ini menekankan

prioritas yang tinggi dari tugas-tugas organisasi didalam perbandingannya dengan

prioritas yang rendah dari anggota organisasi individu.

Ketujuh, uraian tugas yang terperinci harus diberikan kepada semua anggota

organisasi sebagai garis besar tugas formal dan tanggung jawab kerjanya. Pekerja

harus mempunyai pemahaman yang jelas tentang keinginan organisasi dari kinerja

yang mereka lakukan.

Kedelapan, rasionalitas dan predictability dalam aktivitas organisasi dan

pencapaian tujuan organisasi membantu meningktakan stabilitas perusahaan.

Menurut prinsip dasarnya, organisasi harus dijalankan dengan kaidah dan panduan

pemangkasan yang logis dan bisa di prediksikan.

Demi tercapainya karakteristik birokrasi tersebut, hal paling mendasar yang

menjadi perhatian adalah peran individu, kelompok dan sistem yang digunakan

dalam birokrasi publik. Tiga aspek penting ini dalam kajian administrasi publik lebih

dikenal dengan istilah Perilaku Birokrasi.

Perilaku Birokrasi pada hakekatnya merupakan hasil interaksi birokrasi

sebagai kumpulan individu dengan lingkungannya (Thoha,2005:138). Pentingnya

perilaku birokrasi dalam organisasi ialah sebagai penentu aktivitas pelayanan untuk

mencapai tujuan organisasi. Olehnya itu, segala tindakan yang berorientasi pada

pencapaian tujuan organisasi harus sesuai dengan perilaku birokrasi.

3
Memahami perilaku birokrasi sama halnya dengan memahami perilaku

individu. Setiap individu mempunyai karakteristik tersendiri, dan karakteristik

tersebut akan dibawanya ketika ia masuk lingkungan tertentu. Karakteristik ini

berupa kemampuan, kepercayaan pribadi, kebutuhan, pengalaman, dan

sebagainya. Demikian pula halnya dengan organisasi sebagai lingkungan bagi

individu mempunyai karakteristik tertentu, yaitu keteraturan yang diwujudkan dalam

susunan hierarki, pekerjaan, tugas, wewenang dan tanggung jawab, sistem imbalan

dan sistem pengendalian. Jika karakteristik individu dan karakteristik organisasi

berinteraksi, maka terbentuklah perilaku individu dalam organisasi. Dapat

dibayangkan betapa rumitnya keadaan sebuah organisasi yang terdiri dari beribu-

ribu individu dan beratus-ratus kelompok dengan jumlah hubungan yang amat besar

yang ada diantara para individu dan kelompok itu (Nimran: 1999).

Penjelasan tersebut memberikan gambaran pentingnya perilaku birokrasi

yang berimplikasi terhadap berbagai upaya pemerintah dalam melaksanakan

program yang ada. Namun, beberapa gejala menunjukan bahwa birokrasi dan

birokratisasi tidak pernah tampil dalam bentuk idealnya, sehingga pencapaian tujuan

organisasi pemerintah cenderung tidak efektif.

Menurut penelitian Dwiyanto (2006:257) dalam penyelenggaraan pelayanan

publik, pada umumnya para pejabat birokrasi belum mampu menempatkan para

pengguna jasa birokrasi sebagai pelanggan yang memiliki kemampuan untuk

memperbaiki nasib diri dan birokrasinya. Pengguna jasa masih diperlukan sebagai

klien yang nasibnya ditentukan oleh tindakannya, akibatnya diskriminasi dalam

penyelenggaraan pelayanan publik masih mudah dijumpai dalam birokrasi

4
pelayanan. Dalam pandangan Thoha (2009) dijelaskan bahwa birokrasi di Indonesia

ada kecenderungan berkembang kearah “parkinsonian” dimana terjadi proses

pertumbuhan jumlah personel dan pemekaran struktur birokrasi secara tak

terkendali. Pemekaran yang terjadi bukan karena adanya tuntunan fungsi, tetapi

semata-mata adalah untuk memenuhi tuntutan struktur. Kecenderungan lain yang

terjadinya birokrasi “orrwellian“ yaitu proses pertumbuhan kekuasaan birokrasi atas

masyarakat, sehingga kehidupan masyarakat menjadi dikendalikan oleh birokrasi.

Akibatnya birokrasi Indonesia semakin membesar dan cenderung tidak efektif dan

tidak efisien. Kondisi seperti ini menyebabkan sangat sulit diharapkan birokrasi siap

dan mampu melaksanakan kewenangan barunya secara optimal.

Penelitian tentang perilaku birokrasi yang pernah dilakukan oleh Hasniati

(2008) perilaku pelayanan birokrat garis-depan mengemukakan bahwa kebutuhan

dan motivasi bagaikan dua sisi mata uang yang tidak dapat dipisahkan. Kebutuhan

dan kekurangan mempengaruhi perilakunya dalam menjalankan peranannya

sebagai anggota organisasi.

Penelitian lainnya mengenai perilaku birokrasi juga dilakukan oleh Pebrianto

Rezza (2012). Hasil penelitian menunjukkan bahwa perilaku organisasi dalam

implementasi kebijakan ditemukan berbagai masalah antara lain kapasitas birokrasi

belum memadai dalam mendukung peningkatan motivasi investasi oleh investor

local, disebabkan antara lain birokrat yang kurang responsive, koordinasi

pengendalian dan pengawasan terhadap pelaksanaan investasi belum maksimal.

Sementara hasil penelitian Bachri Yasin (2018) menemukan bahwa perilaku

5
birokrasi dapat mempengaruhi kualitas pelayanan publik baik dari segi input, proses,

maupun outcomes perilaku individu, kelompok, dan organisasi.

Dari berbagai hasil penelitian di atas, menunjukkan bahwa saat ini perilaku

birokrat dikesankan dengan berbagai perilaku yang menyimpang dari tugas pokok

dan fungsi birokrasi yang seharusnya, sehingga dalam banyak kasus terjadi

penyimpangan terhadap usaha pencapaian tujuan organisasi.

Salah satu fenomena yang menunjukkan belum tercapainya tujuan

organisasi yang disebabkan karena perilaku birokrat ialah dalam hal menangani

persoalan sampah. Sampah, memang merupakan salah satu masalah publik yang

hingga saat ini masih selalu meresahkan masyarakat. Khususnya, di Kabupaten

Mamuju, sampah masih menjadi persoalan utama yang dihadapi birokrasi

pemerintah Kabupaten Mamuju. Oleh karena itu, untuk mengatasi persoalan

tersebut, Pemerintah Kabupaten Mamuju menghadirkan sebuah program yang

dikenal dengan Gerakan Mamuju Mapaccing.

Program Gerakan Mamuju Mapaccing diatur dalam Peraturan Daerah Nomor

02 Tahun 2017 Tentang Pengelolaan Sampah di Kabupaten Mamuju. Dalam Perda

tersebut dijelaskan bahwa tujuan dari program ini adalah untuk:

a. Mewujudkan lingkungan yang sehat dan bersih dari sampah.

b. Menjaga kelestarian fungsi lingkungan hidup dan menjaga kesehatan

masyarakat.

c. Meningkatkan peran serta masyarakat dan pelaku usaha untuk

secara aktif mengurangi dan/atau menangani sampah yang

berwawasan lingkungan.

6
d. Menjadikan sampah sebagai sumber daya yang memiliki nilai

ekonomis; dan

e. Mewujudkan kinerja pelayanan sampah yang efektif dan efisien.

Program tersebut dibentuk untuk menumbuhkan kesadaran masyarakat agar

lebih peduli terhadap kebersihan lingkungan dan pengelolaan sampah. Sebagai

langkah nyata dalam Gerakan Mamuju Mapaccing, setiap hari Jumat usai

melakukan kegiatan olahraga bersama, para pegawai dan tenaga kontrak di seluruh

OPD akan menjadi contoh dengan membersihkan kota Mamuju yang lokasinya telah

direncanakan. Keterlibatan seluruh OPD dalam program ini diharapkan dapat

merangsang kesadaran masyarakat untuk berbuat serupa minimal di lingkungan

tempat tinggal masing-masing.

Selain itu, dalam memaksimalkan usaha pencapaian tujuan program,

pemerintah Kabupaten Mamuju juga memberikan sarana dan prasarana berupa

armada motor tiga roda untuk menjangkau masyarakat hingga ke lorong, serta

membagikan Handy Talky (HT) kepada seluruh OPD termasuk Kecamatan dan

Kelurahan demi lancarnya komunikasi dalam hal pengelolaan sampah di setiap

wilayah.

Dalam Perda tersebut juga ditegaskan bahwa masyarakat berhak melakukan

pengaduan apabila menderita kerugian atas dampak negatif yang ditimbulkan

sampah. Selain itu, masyarakat juga akan diberikan sanksi bagi yang membuang

sampah tidak pada tempatnya.

Namun dalam realisasinya, program Gerakan Mamuju Mapaccing dapat

dikatakan belum berjalan maksimal. Hal ini dilihat dari volume sampah yang

7
dihasilkan masyarakat Kota Mamuju masih relative tinggi. Masyarakat rata-rata

menghasilkan sampah hingga 98.000 kubik setiap hari. Wilayah dengan tingkat

produksi sampah tertinggi yakni di Kelurahan Binanga dengan rata-rata 29.380 kubik

per hari, disusul Kelurahan Simboro dengan rata-rata 21.728 kubik per hari. Kepala

Dinas Lingkungan Hidup dan Kebersihan Kabupaten Mamuju mengatakan bahwa

tingginya produksi sampah di dua wilayah tersebut karena merupakan kawasan

ramai dan pemukiman padat penduduk. Di kelurahan Binanga, ada hotel dan mall

sehingga estimasi timbunan sampah sangat tinggi. Belum lagi keberadaan pasar

lama. Sedangkan untuk di Kelurahan Simboro itu merupakan salah satu kawasan

pemukiman padat penduduk.

Sedangkan untuk kelurahan lain, masing-masing Rimuku dengan estimasi

produksi sampah per hari 17.119 kubik, disusul Karema dengan produksi sampah

rata-rata 14.160 kubik per hari, dan Mamunyu dengan produksi sampah 9.710 kubik

per hari. Jadi bisa dikatakan rata-rata sampah yang dihasilkan di Mamuju dan

terangkut setiap hari itu sekitar 98 ribu kubik per hari dari lima kelurahan tersebut

sampai ke TPA. Ini termasuk sampah hasil kerja bakti yang mencapai lima ribu kubik

per harinya (kumparan.com).

Fenomena lainnya yang menunjukkan belum maksimalnya program Gerakan

Mamuju Mapaccing ialah masih ditemukan bau sampah menyengat dibeberapa

wilayah di Kabupaten Mamuju salah satunya di wilayah Botteng. Bau busuk itu

berasal dari tempat pembuangan akhir (TPA) (sumber: Mamujupos.com,

09/11/2018).

8
Beberapa Lembaga juga menyoroti tentang program Gerakan Mamuju

Mapaccing diantaranya dari Lembaga Esensi Sulawesi Barat mempertanyakan

tingkat akurasi keberhasilan program gerakan ini, justru mereka melihat program

unggulan pemerintah Kabupaten Mamuju itu masih jauh dari kata berhasil, mengapa

demikian? Sebab, “yang kita lihat khususnya di kota Mamuju ini justru kondisi bersih

itu masih sangat jauh. Masih banyak persoalan kebersihan kota di beberapa titik

yang masih perlu dibenahi” urai Syarifuddin, Kamis (15/02), (Wacanainfo.com)

Permasalahan di atas tidak terlepas dari perilaku birokrasi dalam

pelaksanaan program Gerakan Mamuju Mapaccing yang kurang ideal dan masih

jauh dari harapan masyarakat. Hal ini dilihat dari kinerja birokrat dalam pencapaian

tujuan program, belum optimal. Kritik, komplain dan keluhan masyarakat terkait

pengelolaan sampah seringkali tidak mendapat respon dari para birokrat. Bahkan

seringkali, ketika masyarakat melakukan pengaduan, justru mendapatkan jawaban

kurangnya sarana dan prasarana dalam program ini, serta kesalahan dari

masyarakat yang membuang sampah sembarangan.

Selain itu, perilaku birokrat masih berorientasi pada kepentingan internal

organisasi daripada fokus pada pencapaian tujuan program, sehingga masih

terdapat pegawai yang bahkan belum mengetahui dan mengerti mengenai program

ini. Menurut salahsatu staf di Dinas Lingkungan Hidup dan Kebersihan Kabupaten

Mamuju, adanya saling lempar tanggung jawab juga sering ditemui dalam program

ini antara Pihak Dinas Lingkungan Hidup dan Kebersihan dengan Pihak Kecamatan

dan Kelurahan. Sampah yang berhari-hari tidak diangkut di beberapa kawasan yang

menjadi kewenangan Kelurahan membuat masyarakat melapor kepada pihak Dinas

9
Lingkungan Hidup dan Kebersihan. Sementara Pihak Dinas Lingkungan Hidup dan

Kebersihan (DLHK) beranggapan bahwa lokasi tersebut bukan lagi daerah

pengangkutan sampahnya melainkan menjadi tanggung jawab Kelurahan setempat.

Disisi lain, pihak Kelurahan tidak melaksanakan tugasnya dengan alasan merasa

kewalahan dengan banyaknya volume sampah rumah tangga tidak sebanding

dengan sarana dan prasarana yang masih kurang. Pada akhirnya, pihak Kelurahan

masih sering meminta bantuan kepada Dinas Lingkungan Hidup dan Kebersihan

dengan asumsi persoalan sampah dan kebersihan tetap menjadi tanggung jawab

utama Dinas Lingkungan Hidup dan Kebersihan.

Masalah-masalah di atas, tentu menjadi perhatian yang menarik dalam kajian

ilmu administrasi publik, khususnya dalam bidang perilaku birokrasi. Oleh karena itu,

penulis tertarik untuk meneliti mengenai masalah perilaku birokrasi dalam

pengelolaan sampah dengan judul “Perilaku Birokrat Dalam Pelaksanaan

Program Gerakan Mamuju Mapaccing di Kabupaten Mamuju”.

I.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah tersebut, peneliti tertarik untuk melihat

perilaku birokrat dalam pelaksanaan program Gerakan Mamuju Mapaccing oleh

aktor-aktor yang terlibat langsung. Oleh karena itu penelitian ini terfokus pada

perilaku birokrat dari aspek input, proses dan outcomes pada tahap level individu.

Pertanyaan yang kemudian muncul adalah:

1. Bagaimana perilaku birokrat dalam pelaksanaan program Gerakan Mamuju

Mapaccing di Kabupaten Mamuju ditinjau dari aspek input pada tahap model

level individu?

10
2. Bagaimana perilaku birokrat dalam pelaksanaan program Gerakan Mamuju

Mapaccing di Kabupaten Mamuju di tinjau dari aspek proses pada tahap

model level individu?

3. Bagaimana perilaku birokrat dalam pelaksanaan program Gerakan Mamuju

Mapaccing di Kabupaten Mamuju di tinjau dari aspek outcomes pada tahap

model level individu?

I.3 Tujuan Penelitian

Dengan melihat permasalahan di atas tersebut, maka tujuan penelitian ini

ialah:

1. Untuk menganalisis dan mendeskripsikan aspek Input pada tahap model level

individu dalam pelaksanaan program Gerakan Mamuju Mapaccing di

Kabupaten Mamuju.

2. Untuk menganalisis dan mendeskripsikan aspek Proses pada tahap model

level individu dalam pelaksanaan program Gerakan Mamuju Mapaccing di

Kabupaten Mamuju.

3. Untuk menganalisis dan mendeskripsikan aspek Outcomes pada tahap model

level individu dalam pelaksanaan program Gerakan Mamuju Mapaccing di

Kabupaten Mamuju.

I.4 Manfaat Penelitian

1. Manfaat teoritis

Penelitian ini akan diharapkan dapat memberi sumbangan pemikiran

bagi siapa saja yang memiliki perhatian, terutama dalam pengembangan ilmu

11
administrasi public khususnya keperilakuan guna mendorong perangkat

pemerintah daerah, untuk memberikan kesempatan dan menjamin

keberlanjutan berbagai hasil yang dicapai.

2. Manfaat praktis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat membuka wawasan pemerintah

daerah dan masyarakat serta berbagai pihak mengenai perilaku birokrat dalam

pelaksanaan program Gerakan Mamuju Mapaccing sebagai suatu kebijakan

dalam upaya pengelolaan sampah yang baik dan benar.

12
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

II.1 Konsep Perilaku

Disiplin yang menelaah secara sistematis segala tipe perilaku manusia

adalah ilmu perilaku. Ilmu perilaku adalah bagian dari human social sciences, yakni

studi tentang manusia dalam tatanan sosial.

Perilaku menurut Notoatmodjo (2003) adalah semua kegiatan atau aktivitas

manusia baik yang dapat diamati langsung maupun yang tidak dapat diamati pihak

luar. Perilaku manusia pada hakikatnya adalah tindakan atau aktivitas dari manusia

itu sendiri yang mempunyai bentangan sangat luas antara lain: berjalan, berbicara,

menangis, tertawa, bekerja, kuliah, menulis, membaca dan sebagainya.

Pendapat diatas, senada dengan pernyataan Suparyanto (2010) bahwa

perilaku manusia dapat dibedakan menjadi dua tipe, perilaku yang tidak dapat

diamati langsung dan perilaku yang dapat diamati langsung. Perilaku yang tidak

dapat diamati langsung disebut juga perilaku pasif atau respons internal, sedangkan

perilaku yang dapat diamati langsung disebut perilaku aktif atau respons eksternal.

Perilaku pasif terjadi didalam diri individu. Contohnya Berfikir, dan berfantasi atau

berangan-angan. Perilaku aktif sikapnya terbuka dan berupa tindakan nyata.

Contohnya, berbicara, dan mengerjakan sesuatu.

Berdasarkan uraian diatas, perilaku manusia adalah semua kegiatan atau

aktivitas manusia baik yang dapat diamati langsung maupun yang tidak dapat

diamati oleh pihak luar, (Bahri,2018).

13
Salah satu bagian dari ilmu perilaku adalah studi perilaku organisasi. Perilaku

organisasi khususnya organisasi publik merupakan substansi kajian penting dari

administrasi publik. Gibson, Ivancevich dan Donnelly (1997:5-6) menyatakan bahwa

perilaku organisasi merupakan bidang studi yang relatif baru. Perilaku organisasi

bukanlah suatu disiplin atau ilmu yang sudah diterima umum dengan dasar teoritis

yang kuat. Perilaku organisasi merupakan suatu bidang interdisipliner yang

menggunakan prinsip, model, teori dan metode dari ilmu-ilmu (disiplin-disiplin) yang

sudah mapan.

Ducan (1980; 65) menjelaskan bahwa determinan utama pentingnya perilaku

organisasi adalah bagaimana perilaku manusia itu mempengaruhi usaha

pencapaian tujuan-tujuan organisasi. Penjabaran tersebut berimplikasi bahwa

dengan memandang birokrasi sebagai sebuah organisasi formal yang memiliki

tujuan jelas dan terukur, maka dengan menghubungkan perilaku birokrasi secara

individual dengan pencapaian tujuan organisasi dapat dianalisa dan dikaji dengan

menggunakan pendekatan perilaku organisasi.

Pendekatan perilaku organisasi, salah satunya dapat diteliti dengan melihat

kondisi sistem organisasi yang meliput struktur dan desain organisasi, budaya

organisasi, serta kebijakan dan praktek sumber daya manusia (Robbins: 2008).

Dari penjabaran di atas dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa Perilaku

organisasi adalah keseluruhan perilaku manusia dalam setting organisasi. Perilaku

organisasi lebih luas daripada perilaku birokrasi karena birokrasi hanyalah salah

satu tipe organisasi (Bahri, 2018: 115).

14
II.2 Konsep Dasar Perilaku Birokrasi

II.2.1 Definisi Perilaku Birokrasi.

Perilaku birokrasi adalah salah satu tipe dari perilaku organisasi.

Perilaku birokrasi didefinisikan sebagai keseluruhan perilaku yang berbasis

motif di dalam proses-proses operasi dan kebijakan birokrasi atau organisasi

(Schmidt, 2000). Jadi, perilaku birokrasi adalah suatu tipe perilaku organisasi,

yakni perilaku dalam proses-proses operasi dan kebijakan organisasi, serta

mempunyai motif. Motif adalah alasan-alasan yang mendasari perilaku (Lai,

2011). Dari kata motif ini diturunkan kata motivasi, yang berarti hal-hal yang

mendorong atau menggerakkan seseorang untuk melakukan sesuatu (Winardi,

2000). Motivasi berhubungan dengan: (1) arah perilaku, (2) kekuatan respons

setelah karyawan memilih mengikuti tindakan tertentu, dan (3) ketahanan

perilaku, atau berapa lama orang itu terus-menerus berperilaku menurut cara

tertentu (Gibson et al, 2012).

Birokrasi pemerintah merupakan suatu organisasi yang memiliki

struktur dan prosedur dalam mencapai tujuannya. Hal ini mengindikasi bahwa

birokrasi merupakan organisasi yang didesain untuk menyelesaikan tugas

administrasi secara sistematis berdasarkan urutan pekerjaan individu. Struktur

birokrasi banyak diwarnai oleh karakteristik dan kapabilitas individu atau aparat

selaku abdi negara atau pemerintah dan pelayan masyarakat yang secara

hirarki sesuai dengan fungsi dan tanggungjawab dan tata administrasi.

Dengan demikian, dihadapkan dan dituntut menampilkan perilaku yang sesuai

dengan peranannya selaku abdi negara.

15
Konsep perilaku birokrasi dalam pandangan Thoha (2002) dapat

dipakai bersama dengan konsep perilaku organisasi karena pada dasarnya

birokrasi maupun organisasi adalah merupakan suatu sistem yang ditopang

oleh manusia yang berusaha mencapai tujuan dan selalu berperilaku. Konsep

perilaku organisasi menurut Robbins (2008: 11) merupakan perilaku organisasi

sebagai bidang studi yang menyelidiki pengaruh yang dimiliki individu,

kelompok, dan struktur terhadap perilaku dalam organisasi, yang bertujuan

menerapkan ilmu pengetahuan semacam ini guna meningkatkan keefektifan

suatu organisasi. Sedangkan Davis (1989: 5) berpendapat bahwa perilaku

organisasi adalah telaah dan penerapan pengetahuan tentang bagaimana

orang-orang bertindak dalam organisasi.

Dalam organisasi, hasil yang diinginkan dari setiap perilaku adalah

performanya sebagaimana Winardi (2004: 199) menyatakan bahwa, perilaku

yang berkaitan dengan performa, yaitu perilaku yang langsung berkaitan

dengan tugas-tugas pekerjaan, dan yang perlu dilaksanakan guna mencapai

sasaran-sasaran sesuatu tugas.

Perilaku birokrasi tercermin dari perilaku manusia (birokrat), dimana

seperangkat perbuatan individu kemudian menjelma menjadi perilaku

kelompok, dan akhirnya menjadi representasi perilaku organisasi yang

kemudian dimaknai sebagai perilaku birokrasi. Perilaku birokrasi menurut

Ndraha (2003: 521) terbentuk dari interaksi antara karakteristik individu, dan

karakteristik birokrasi (organisasi) atau lebih spesifik lagi antara struktur dan

aktor (pejabat).

16
Dalam hubungannya dengan pemerintah, perilaku birokrat lebih

ditekankan pada pemberian pelayanan yang ditampilkan oleh orang-orang

dalam organisasi untuk mencapai tujuan pemerintah. Perilaku birokrat pada

hakekatnya merupakan hasil interaksi antara individu-individu dengan

organisasinya. Oleh karena itu untuk memahami perilaku birokrasi sebaiknya

diketahui terlebih dahulu individu-individu yang mendukung organisasi itu.

Individu membawa kedalam tatanan birokrasi, kemampuan, kepercayaan

pribadi, pengharapan, kebutuhan, dan pengalaman, dan sebagainya. Ini

semua merupakan karakteristik individu, dan karakteristik ini akan memasuki

lingkungan baru, misalnya birokrasi. Adapun birokrasi yang dipergunakan

sebagai suatu sistem untuk merasionalkan organisasi itu juga mempunyai

karakteristik sendiri. Jika karakteristik individu berinteraksi dengan karakteristik

birokrasi tersebut, maka timbullah perilaku birokrasi. Suatu birokrasi

merupakan suatu organisasi yang memiliki struktur dan prosedur dalam

mencapai tujuannya. Berdasarkan hal tersebut maka teori birokrasi menurut

Marx (1957) merupakan organisasi yang didesain untuk menyelesaikan tugas

administrasi secara sistematis berdasarkan urutan pekerjaan individu.

Menurut Rivai (2006: 190) perilaku organisasi adalah suatu studi yang

menyangkut aspek-aspek tingkah laku manusia dalam suatu kelompok

tertentu. Hal ini meliputi aspek yang ditimbulkan oleh pengaruh organisasi

terhadap manusia demikian pula aspek yang ditimbulakan dari pengaruh

manusia terhadap organisasi. Tujuan praktis dari penelaahan studi ini adalah

17
untuk mendeterminasi bagaimanakah perilaku manusia itu mempengaruhi

usaha pencapaian tujuan-tujuan organisasi.

Perilaku organisasi merupakan bidang ilmu yang mempelajari tentang

interaksi antar manusia dalam organisasi yang meliputi studi secara sistematis

tentang perilaku, struktur, dan proses di dalam organisai. Isu utama perilaku

organisasi adalah hubungan antar manusia dalam organisasi dan organisasi

diciptakan oleh manusia untuk mencapai tujuan. Selain itu, perilaku organisasi

merupakan bidang studi yang mencakup teori, metode, dan prinsip-prinsip dari

berbagai disiplin guna mempelajari persepsi individu dan tindakan-tindakan

saat bekerja dalam kelompok dan di dalam organisasi secara keseluruhan,

menganalisis akibat lingkungan ekternal terhadap organisasi dan sumber

dayanya, misi, saran, dan strategi.

Bagi paradigma perilaku sosial, obyek yang dikaji adalah perilaku

manusia dalam relasi respon-stimulus. Fokus dari paradigma perilaku sosial

adalah hubungan antara akibat dan tingkahlaku individu dengan tingkahlaku

individu itu sendiri. Kajian ini berusaha untuk menerangkan tingkahlaku

individu malalui akibat-akibat dari perilaku individu tersebut. Akibat dari

perilaku masa lalu akan mempengaruhi perilaku di masa yang akan datang.

Peramalan maupun pengulangan perilaku yang sama tidak dapat dirumuskan

tanpa melihat efek dari tingkahlaku tersebut. Pengulangan perilaku tersebut

juga dapat dirumuskan dengan melihat reward dan punishment dari suatu

tindakan. Semakin tinggi reward yang diperoleh, semakin besara kemungkinan

18
perilaku tersebut berulang. Prinsip ini berlaku terbalik jika digunakan pada

konsep punishment.

Penempatan manusia sebagai salah satu unsur yang amat penting

dalam organisasi adalah orientasi dasar dari kegiatan perilaku organisasi, ini

berarti birokrat senantiasa sadar bahwa diantara tiga dimensi pokok dalam

organisasi tindakan bisa memberikan penekanan kepada dimensi yang lain

sehingga menelantarkan dimensi teknis dan dimensi konsep tetapi tidak

mengindahkan dimensi manusia, sebagai dimensi ketiga akan menimbulkan

suatu iklim bekerja yang kurang sehat dan tidak respektif terhadap faktor

pendukung utama dari organisasi yakni respektif tersebut dengan menarik

sebagian pandangannya terpusat pada perilaku manusia itu sendiri.

Perilaku organisasi berkaitan dengan bagaimana orang bertindak dan

bereaksi dalam semua jenis organisasi. Dalam kehidupan organisasi, orang

dipekerjakan, dididik dan dilatih, diberi informasi, dilindungi, dan

dikembangkan. Dengan kata lain, maka perilaku organisasi adalah bagaiman

orang berperilaku di dalam suatu organisasi.

Beberapa penulis memberikan pengertian tentang organisasi secara

berbeda, namun bersifat saling melengkapi. Organisasi adalah unit sosial yang

secara sadar dikoordinasikan, terdiri dari 2 orang atau lebih yang berfungsi

secara relatif berkelanjutan untuk mencapai tujuan bersama atau serangkaian

tujuan (Robbins dan Judge, 2011: 39). Dikatakan pula bahwa organisasi

adalah suatu sistem yang dikoordinasikan secara sadar dari aktivitas 2 orang

atau lebih di pandang sebagai koordinasi rasional dan aktivitas dari sejumlah

19
orang untuk mencapai sasaran bersama melalui pembagian kerja dan hirarki

kewenangan dan akuntabilitas (Saiyadin, 2003: 13).

Sama halnya dengan organisasi, pandangan diantara pakar tentang

perilaku organisasi sangat beragam. Perilaku organisasi adalah suatu bidang

studi yang menginvestasikan dampak perilaku dari individu, kelompok dan

struktur dalam organisasi, dengan maksud menerapkan pengetahuan untuk

memperbaiki efektifitas organisasi (Robbins dan Judge, 2011: 43). Sedangkan

menurut Greenberg dan Baron (2003: 4), perilaku organisasi adalah

merupakan bidang yang mencari peningkatan pengetahuan dari semua aspek

perilaku dalam pengaturan organisasional melalui penggunaan metode

saintifik. Perilaku organisasi adalah suatu bidang studi yang mencurahkan

untuk memahami, menjelaskan, dan akhirnya memperbaiki sikap dan perilaku

individu dan kelompok dalam organisasi (Colquitt, LePine, Wesson, 2011: 7).

Perilaku organisasi adalah bidang yang bersifat interdisiplin didedikasikan

untuk mamahami lebih baik dan mengelola orang di pekerjaan (Kreitner dan

Kinicki, 2010: 5). Perilaku organisasi adalah studi tentang apa yang orang

pikirkan, rasakan dan lakukan di dalam dan sekitar organisasi (Mc Shane dan

Von Glinow, 2010: 4). Perilaku organisasi adalah suatu bidang studi tentang

perilaku manusia dalam pengaturan organisasi, hubungan antara individu

dengan dengan organisasi, dan organisasi itu sendiri (Tyagi, 2000: 2).

Dalam hal ini perilaku dipandang sebagai bekerja pada tingkat individu,

kelompok dan organisasi. Perilaku organisasi juga sebagai suatu bidang

interdisiplin, ini berarti bahwa bidang itu memanfaatkan prinsip-prinsip, model,

20
teori metode disiplin ilmu yang ada. Selain itu di dalam perilaku organisasi

terdapat suatu orientasi humanistik yang nyata yaitu sikap, persepsi, kapasitas

belajar, perasaan dan tujuannya, merupakan hal-hal pokok yang harus diakui

dan di pelajari keberadaannya.

Dengan demikian dapat dirumuskan bahwa perilaku organisasi pada

hakikatnya adalah merupakan bidang studi lintas disiplin yang mempelajari

tentang bagaimana memperbaiki sikap dan perilaku individu dan kelompok

dalam organisasi sehingga dapat memberikan kontribusi secara efektif dalam

mencapai tujuan organisasi.

II.2.2 Teori Perilaku Birokrasi

Perilaku birokrasi atau perilaku organisasi pada dasarnya adalah suatu

bidang studi yang mempelajari dampak perorangan, kelompok dan struktur

pada perilaku dalam organisasi sebagai suatu model. Karena itu, determinan

yang dipelajari dalam perilaku birokrasi atau perilaku organisasi adalah

individu, kelompok dan sistem organisasi.

Tingkat Sistem Organisasi

Tingkat Kelompok

Tingkat Individu
Model di atas

Sumber menjelaskan bahwa

terdapat tiga level analisis

21
dalam perilaku organisasi, yaitu: tingkat individu, tingkat kelompok dan tingkat

sistem organisasi. Ketika terjadi peralihan dari tingkat level individu ke level

sistem organisasi, maka secara sistematis menambahkan pemahaman kita

tentang perilaku organisasi dalam organisasi. Level dasar ini merupakan dasar

pembentukan model perilaku organisasi lebih lanjut, dimana setiap medel

dapat dibangun berdasarkan level sebelumnya.

a. Individual

Manusia yang terlibat dalam suatu organisasi merupakan individu-

individu yang memiliki karakteristik khas yang melekat dalam dirinya.

Perilaku individu yang tercermin dalam tabiat dan sifat merupakan

pencerminan dan kepribadian individu. Supriatna (2000), mengemukakan

bahwa terdapat 4 (empat) faktor yang membentuk tingkah laku seseorang

yaitu: a) pengamatan (persepsi), b) sikap, c) nilai, dan d) motivasi. Faktor-

faktor tersebut dapat membentuk efektivitas (karya), kepuasan kerja dan

motivasi di pengaruhi rancangan kerja (job design) yang meliputi struktur

kerja, tugas dan kewajiban.

Sejalan dengan pendapat Supriatna di atas, Bryant dan White (1989)

selain mengidentifikasi faktor dan dalam diri individu juga mengungkapkan

faktor lingkungan organisasi dalam model sosial psikologi. Bryant dan White

(1989), mengatakan bahwa setidaknya selain mengidentifikasi faktor dan

dalam diri individu juga mengungkapkan faktor lingkungan organisasi dalam

model sosial psikologi. Bryant dan White (1989), mengatakan bahwa

setidaknya terdapat delapan determinan utama penyebab perilaku manusia,

22
yaitu: a) nilai-nilai, b) emosi, c) sikap, d) struktur sosial, e) peran dalam

organisasi, f) teknologi, g) peristiwa atau kejadian tertentu, dan sebagainya.

Sedangkan dalam model rasional, motivasi merupakan faktor utama yang

mempengaruhi individu dalam berperilaku dalam organisasi.

Studi sistematis yang dilakukan Robbins (2003: 31) menunjukkan

bahwa ada enam variable tingkat individual yang mempengaruhi perilaku

individu, yaitu: a) karakteristik biologis (seperti usia, jenis kelamin, status

perkawinan dan masa kerja), b) kemampuan, c) pembelajaran, d) persepsi,

e) pengambilan keputusan pribadi, dan f) motivasi. Pandangan yang

senada juga dikemukankan Kretner dan Kinicki (2010) dimana perilaku

individu dipengaruhi oleh kepribadian, sikap, kemampuan, motivasi dan

persepsi.

b. Kelompok

Manusia adalah makhluk sosial, manusia senang berinteraksi dengan

orang lain, ketika orang menyukai dan berinteraksi mereka cenderung

percaya, menjadi lebih terbuka dan bijaksana. Jika itu terjadi dalam suatu

organisasi atau kelompok kerja, maka karyawan akan lebih memahami

pekerjaan mereka dan struktur kelompok kerja, maka karyawan akan lebih

memahami pekerjaan mereka dan struktur kelompok menjadi lebih baik.

Perilaku seorang pekerja dapat menentukan keberhasilan atau prestasi

kerja, baik secara individu maupun kelompok. Prestasi seorang dalam

suatu organisasi tergantung kepada efektivitas dirinya sendiri, kecakapan

23
teknisnya, pengalaman manajerialnya juga peran yang di mainkan

organisasi.

Eksistensi suatu kelompok sebenarnya bersifat inforlmal berbeda

dengan eksistensi suatu organisasi yang lebih bersifat formal. Dalam

kehidupan suatu kelompok, sudah barang tertentu tidak terlepas dari

adanya perilaku setiap individu yang tidak sesuai dengan fitrahnya sebagai

manusia. Akan tetapi justru dibalik perbedaan itu tersimpan suatu kekuatan

yang besar ketika terakumulasi ke dalam kelompok.

Menurut Robbins (2006: 303); Ducan (1980: 167) kelompok adalah

dua individu atau lebih yang berinteraksi dan saling bergantung untuk

mencapai sasaran-sasaran tertentu yang dapat bersifat formal dan

nonformal. Sementara menurut Rivai (2006: 267) kelompok adalah dua

atau lebih karyawan yang berinteraksi satu sama lain sedemikian rupa,

sehingga perilaku dan/atau prestasi anggota dipengaruhi oleh perilaku

dan/atau prestasi anggota lainnya.

Schein (1997: 181) mengatakan bahwa kelompok adalah sesuatu

yang mempunyai ikatan psikologis dari sejumlah orang yang: a) saling

berhubungan, b) saling memerhatikan, dan c) menerima kenyataan sebagai

suatu kelompok. Selanjutnya Hammer dan Organ (1978: 302)

menambahkan bahwa selain yang ketiga hal tersebut di atas, hal yang tidak

kalah penting dari sebuah kelompok adalah untuk mencapai tujuan

bersama.

24
Berdasarkan rumusan tersebut, Duncan (1980: 168) menyebutkan

ada 4 (empat) ciri utama kelompok yaitu: a) anggota suatu kelompok, paling

tidak harus memiliki tujuan yang sama, b) hubungan dalam suatu kelompok

harus memberikan pengaruh kepada setiap anggotanya. Timngkat

pengaruh tersebut diantara mereka dapat berbeda, c) dalam kelompok

selalu ada pimpinan dan pengikut, dan d) karena kelompok terbentuk untuk

mencapai tujuan bersama, maka pembentukan kelompok biasanya disertai

oleh pola tingkah laku dan sistem nilai bersama, dan setiap anggita

kelompok diharapkan mengikuti pola tersebut.

c. Sistem Organisasi

Sistem adalah sejumlah satuan yang berhubungan antar satu dengan

yang lainnya sedemikian rupa sehingga membentuk suatu kesatuan yang

biasanya berusaha mencapai tujuan tertentu. Sesuatu dapat dinamakan

sistem bila terjadi hubungan inter relasi dan inter depensi, baik internal

maupun eksternal antar subsistem (Rivai, 2006: 408). Dengan demikian

organisasi adalah bentuk suatu sistem yang di dalamnya mempunyai

struktur yang berbeda antara satu dengan yang lainnya.

Organisasi mempunyai batasan-batasan tertentu, sehingga

seseorang yang mengadakan hubungan interaksi dengan pihak lainnya

tidak atas kemauan sendiri, mereka dibatasi oleh aturan-aturan tertentu.

Organisasi merupakan suatu kerangka hubungan yang berstruktur di

dalamnya dan berisi wewenang, tanggung jawab, dan pembagian tugas

untuk menjalankan suatu fungsi tertentu (Robbins dan Coulter: 2005).

25
II.2.3 Variabel-Variabel Perilaku Organisasi Robbins dan Judge (2013)

Sesuai dengan pilihan level analisis individu, kelompok, dan organisasi

maka variabel-variabel berikut penjelasannya dari segi input-input, proses-

proses, dan outcomes sebagaimana yang dispesifikasi dalam model umum

perilaku organisasi Robbins and Judge (2013).

Gambar 1.

Model Prilaku Organisasi Robbins

26
1. Level Individu

a. Input-input Individual

1) Keberagaman (diversity)

Keberagaman menunjuk pada perbedaan-perbedaan dalam

karakteristik pekerja (karyawan). Robbins and Judge (2013) membedakan

dua level keberagaman karakteristik pekerja (karyawan), yakni:

keberagaman pada level yang tampak di permukaan, dan keberagaman

pada level dalam (surface level diversity dan deep-level diversity).

Keberagaman pada level yang tampak di permukaan (surface level

diversity) mencakup perbedaan-perbedaan dalam jenis kelamin, ras, etnis,

usia, dan kesempurnaan fisik. Sementara keberagaman pada level dalam

(deep-level diversity) mencakup perbedaan dalam nilai-nilai yang dianut,

kepribadian, dan preferensi kerja (Robbins and Judge, 2013).

Robbins and Judge (2013) mengatakan bahwa keberagaman dalam

karakteristik karyawan, jika dimanajemeni secara efektif, dapat

meningkatkan akses organisasi terhadap keterampilan, kemampuan, dan

gagasan, dan selanjutnya mempengaruhi kinerja karyawan. Akan tetapi,

manajer yang mengakui adanya perbedaan-perbedaan dalam organisasi

dapat dengan mudah mengarah kepada miskomunikasi

(miscommunication), kesalahpahaman (misunderstanding), dan konflik

dalam organisasi.

Bashir et al. (2011) menunjukkan bahwa faktor-faktor demografis

seperti pendidikan, masa kerja, dan sifat penugasan memfasilitasi pengaruh

27
kepuasan jabatan terhadap system kerja berkinerja tinggi, tetapi usia dan

jenis kelamin tidak berpengaruh. Amangala (2013) mengatakan bahwa

faktor usia, pendidikan, posisi jabatan dan masa kerja berkorelasi positif

dengan komitmen organisasional dan selanjutnya mempengaruhi kinerja

karyawan. Mahnaz et al. (2014) mengemukakan bahwa karakteristik

demografis (jenis kelamin, status kawin, kualifikasi akademik, tipe profesi,

usia, gaji, posisi jabatan, dan lama jam kerja, kecuali etnis), berpengaruh

positif pada organizational citizenship behavior (OCB) karyawan.

Faktor keberagaman kedua yang diidentifikasi dalam model perilaku

organisasi Robbins and Judge (2013) adalah kemampuan intelektual.

Kemampuan intelektual menunjuk pada kemampuan-kemampuan yang

diperlukan untuk menampilkan aktivitas mental yang mencakup pemikiran,

penalaran, dan pemecahan masalah. Banyak masyarakat yang

mengagungkan kemampuan intelektual ini karena orang yang cerdas pada

umumnya mudah tampil sebagai pemimpin, mudah mendapat pekerjaan

dan penghasilan. Namun demikian, menurut Robbins and Judge (2013),

jabatan-jabatan yang berbeda menekankan pada tipe kemampuan

intelektual yang berbeda pula. Makin kompleks suatu jabatan berkenaan

dengan tuntutan pemrosesan informasi, makin bersifat umum kemampuan

intelektual yang diperlukan untuk berkinerja secara sukses.

Mention (2012) mengemukakan bahwa masih sedikit studi yang

menginvestigasi pengaruh modal intelektual terhadap kinerja organisasi.

Wu and Sivalogathasan (2013) mengemukakan bahwa modal intelektual

28
sangat mungkin mempengaruhi kapabilitas inovasi melalui moderasi atas

faktor motivasi. Namun demikian, Hsu and W Wang (2010) mengemukakan

bahwa kemampuan intelektual karyawan mempengaruhi kinerja organisasi.

Faktor keberagaman ketiga yang diidentifikasi dalam model perilaku

organisasi Robbins and Judge (2013) adalah kemampuan fisik.

Kemampuan fisik menunjuk pada kapasitas untuk melakukan tugas-tugas

yang membutuhkan stamina dan kekuatan serta karakteristik lainnya yang

serupa. Pelaksanaan tugas-tugas lapangan pada umumnya membutuhkan

kemampuan fisik yang lebih tinggi dibandingkan tugas-tugas internal kantor.

Aisha dkk. (2013) mengemukakan bahwa kemampuan fisik karyawan

terkait erat dengan motivasi dan insentif dan ketiganya mempengaruhi

kinerja.

2) Kepribadian (personality)

Kepribadian menunjuk pada keseluruhan cara di mana individu

bereaksi terhadap dan berinteraksi dengan orang lain (Robbins and Judge,

2013). Kepribadian seringkali digambarkan dengan sifat-sifat terukur yang

ditampilkan oleh seseorang. Sifat-sifat pribadi ini mencakup karakteristik

yang bertahan lama yang menggambarkan perilaku individu.

Instrumen untuk mengukur kepribadian yang paling banyak

digunakan, menurut Robbins and Judge (2013), adalah the Myers-Briggs

Type Indicator (MBTI). Indikator ini mencakup 100 pertanyaan yang

diajukan kepada seseorang berkenaan dengan bagaimana ia biasanya

merasa dan bertindak dalan situasi-situasi tertentu. Dari jawaban-

29
jawabannya, individu dapat diklasifikasi menjadi: Extravert atau Introvert,

Sensing atau Intuitif, Thinking atau Feeling, dan Judging atau Perceiving.

Ada juga cara klasifikasi kepribdian menjadi lima model berikut:

1. Extraversion. Ini mencakup orang yang menyukai saling hubungan

sehingga mempunyai sifat sosial yang tinggi. Lawannya adalah

Introverts, yakni orang yang cenderung tertutup, ketat soal waktu, dan

pendiam.

2. Agreeableness. Ini mencakup tipe orang yang tunduk pada orang lain.

Orang seperti ini cenderung kooperatif, dan menaruh kepercayaan.

Lawannya adalah bersikap dingin dan antagonistik.

3. Conscientiousness. Ini mencakup tipe orang yang reliabel. Sifat orang

ini adalah responsibel (tanggung jawab), terorganisir, dan persisten.

Lawannya adalah tidak reliabel, tidak teratur, dan mudah dipecah-

belah.

4. Emotional stability. Orang seperti ini mudah menangani stress,

sehingga cenderung calm, percaya diri, dan aman. Lawannya adalah

orang yang suka gugup, merasa terasing, galau dan gelisah.

5. Openness to experience. Tipe ini mencakup orang yang menyukai

kebaruan. Orang seperti ini kreatif, dan sensitive terhadap artistik

(Robbins and Judge, 2013)

Tipe kepribadian yang berkorelasi positif dengan kinerja karyawan

telah terdokumentasi dengan baik dalam literatur. Awadh et al. (2012)

mengemukakan bahwa sifat-sifat pribadi seperti keterlibatan jabatan dan

30
komitmen organisasional mempunyai hubungan positif dengan kinerja

karyawan. Abdullah et al (2013) mengemukakan bahwa sifat-sifat

kepribadian yang merupakan prediktor yang paling baik bagi kinerja

karyawan adalah extraversion, conscientiousness, agreeableness, dan

openness to experience.

3) Nilai-nilai

Nilai menunjuk pada keyakinan mendasar bahwa suatu cara

berperilaku ataupun suatu eksistensi keadaan akhir (end-state) adalah

diinginkan secara pribadi maupun secara sosial (Robbins and Judge, 2013).

Hallinan (2008) mendefinisikan nilai sebagai suatu proses kognitif yang

membantu individu memutuskan tentang benar dan salah dalam suatu

setting sosial tertentu.

Nilai-nilai individu dapat dianalisis pada dua dimensi: nilai akhir

(terminal values), dan nilai instrumental (instrumental values). Nilai akhir

menunjuk pada keadaan akhir yang diinginkan dari suatu eksistensi, atau

tujuan yang ingin direalisasikan oleh seseorang selama hidupnya. Nilai

instrumental menunjuk pada cara berperilaku atau sarana yang lebih

diinginkan untuk mencapai nilai akhir tersebut (Robbins and Judge, 2013).

Sparrow et al. (2010) mengemukakan bahwa nilai-nilai yang dianut

karyawan mempunyai dampak pada kinerja tugas individu. Osman-Gani et

al. (2010) mengemukakan bahwa nilai-nilai individual karyawan

mempengaruhi religiositas dan spiritualitas dan selanjutnya berdampak

pada kinerja karyawan.

31
Robbins and Judge (2013) mengidentifikasi sejumlah nilai akhir yang

diinginkan oleh berbagai level dalam komunitas, yakni: respek diri,

keamanan keluarga, kebebasan, kebahagiaan, kasih sayang, kesetaraan,

dan kedamaian. Selanjutnya, terdapat sejumlah nilai instrumental yang

lebih diinginkan untuk merealisasikan nilai-nilai akhir tersebut di atas, yakni:

jujur, tanggung jawab, kemampuan, ambisi, berani, dan independen. Nilai-

nilai tersebut dapat diranking atau disusun sebagai suatu hirarki menurut

intensitasnya, sehingga kita dapat mengidentifikasi nilai-nilai mana yang

lebih penting bagi individu tertentu.

b. Proses-proses Individual

1) Emosi dan Suasana Hati (Moods)

Emosi, menurut Robbins and Judge (2013), menunjuk pada perasaan

yang amat kuat yang diarahkan pada seseorang atau pada sesuatu. Kita

menunjukkan emosi ketika kita senang dengan sesuatu, marah pada

seseorang, atau takut pada sesuatu. Suasana hati (moods) adalah

perasaan yang cenderung kurang kuat dibandingkan emosi dan yang tidak

mempunyai suatu stimulus kontekstual. Emosi disebabkan oleh kejadian

spesifik, mempunyai durasi yang sangat singkat (hanya dalam detik atau

menit), mempunyai sifat spesifik dan terbatas (seperti marah, takut, sedih,

senang, galau, kaget), dan biasanya diikuti dengan ekspresi wajah yang

berbeda. Suasana hati (moods) lebih bersifat umum dan tidak jelas, lebih

lama durasi waktunya dibandingkan emosi (bisa jam atau hari), dan

umumnya tidak diindikasikan dengan ekspresi wajah yang berbeda.

32
Arti penting emosi bagi kinerja pegawai masih inkonsisten. Sebagian

pendapat menyatakan bahwa pelampiasan emosi dapat membuat kita

kelihatan lemah dan irasional. Namun demikian, sebagian peneliti

menunjukkan bahwa emosi sangat penting bagi pemikiran rasional.

Robbins and Judge (2013) mengatakan bahwa kita memerlukan

kemampuan untuk mengalami emosi agar kita menjadi rasional karena

emosi menyediakan kepada kita informasi penting tentang bagaimana kita

memahami dunia sekitar kita.

Owoseni (2015) mengemukakan bahwa moods dan emosi karyawan

mempengaruhi kepuasan jabatannya dan selanjutnya mempengaruhi

kinerja karyawan. Brief and Weiss (2002) mengatakan bahwa perasaan

(emosi dan moods) dapat mempengaruhi berbagai outcomes kinerja,

seperti perilaku membantu sesama karyawan (helping behaviors) dan

kreativitas.

Sehubungan pentingnya pengaruh emosi dan moods, maka pegawai

perlu memiliki kecerdasan emosional. Kecerdasan emosional adalah

kemampuan untuk mendeteksi dan mengelola isyarat emosional dan

informasi (Robbins and Judge, 2013). Selain itu, pimpinan perlu melakukan

upaya-upaya organisasional untuk mengatur, mempengaruhi dan

mengelola emosi serta mendeteksi kemungkinan efek-efeknya.

2) Motivasi

Motivasi merujuk kepada alasan-alasan yang mendasari perilaku (Lai,

2011), atribut-atribut yang mendorong orang untuk melakukan atau tidak

33
melakukan sesuatu (Broussard & Garrison, 2004; hal-hal yang mendorong

atau menggerakkan seseorang untuk melakukan sesuatu (Winardi, 2000).

Motivasi adalah berkenaan dengan: (1) arah perilaku, (2) kekuatan perilaku,

dan (3) ketahanan perilaku (Gibson, Ivancevich & Donnelly, 1997).

Mempunyai motivasi berarti tergerak untuk melakukan sesuatu, dan

seseorang yang tidak merasakan adanya daya dorong atau inspirasi untuk

bertindak dikarakterisasikan sebagai tidak termotivasi (Ryan & Deci, 2000).

Motivasi dapat muncul dari dalam diri seseorang tetapi dapat pula muncul

dari aktivitas manajemen sumberdaya manusia. Dalil “the Adair 50:50”

mengatakan bahwa 50% dari motivasi datang dari dalam diri seseorang;

dan 50% dari lingkungannya terutama dari kepemimpinan yang

melingkupinya.

Abraham Maslow mengemukakan bahwa seseorang dapat

termotivasi sesuai dengan kebutuhannya. Teori hirarki kebutuhan Maslow

dirumuskan dalam format hipotesis. Maslow menghipotesiskan bahwa di

dalam diri manusia ada lima jenjang kebutuhan, yakni: (1) fisiologis: antara

lain rasa lapar, haus, seks, dan kebutuhan jasmani lainnya; (2) keamanan:

antara lain keselamatan dan perlindungan terhadap kerugian fisik dan

emosional; (3) sosial: antara lain kasih sayang, perasaan dimiliki,

persahabatan; (4) penghargaan: antara lain perasaan dihormati, otonomi,

prestasi, dan status; dan (5) aktualisasi diri: antara lain pertumbuhan,

realisasi potensi, dan pemenuhan diri (Gibson, Ivancevich & Donnelly,

1997).

34
3) Persepsi

Persepsi adalah proses dengan mana individu mengorganisir dan

menginterpretasi kesan-kesan guna memberikan makna terhadap

lingkungannya. Lingkungan disini dapat berupa kondisi lingkungan,

penugasan jabatan, upah, tunjangan, gaya manajemen, dan lainnya.

Persepsi penting dalam studi perilaku organisasi karena perilaku manusia

didasarkan pada persepsinya tentang apa itu realitas, dan bukan pada

realitas itu sendiri (Robbins and Judge, 2013; Robbins, 1998). Srivastava

(2008) mengatakan bahwa persepsi karyawan terhadap lingkungan kerja

mempengaruhi kepuasan jabatan dan kinerja mereka.

Studi mengenai persepsi pada umumnya diarahkan oleh teori atribusi

(Robbins and Judge, 2013; Robbins, 1998. Teori atribusi menyatakan

bahwa bila individu-individu mengamati perilaku, mereka mencoba

menentukan apakah perilaku itu disebabkan faktor internal ataukah

eksternal. Perilaku yang disebabkan faktor internal adalah perilaku yang

diyakini berada di bawah pengaruh kendali pribadi dari individu. Perilaku

yang disebabkan faktor eksternal adalah perilaku yang diyakini sebagai

hasil dari sebab-sebab luar, di mana orang terpaksa berperilaku demikian

oleh situasi. Robbins (1998) mengatakan bahwa kekeliruan mendasar

dalam atribusi seringkali disebabkan prasangka layanan diri, persepsi

selektif, halo efect, dan stereotype.

Persepsi selektif adalah kecenderungan untuk secara selektif

menginterpretasi apa yang dilihat dengan berdasar pada kepentingan

35
seseorang, latar belakangnya, dan pengalamannya. Halo efect adalah

kecenderungan untuk membuat suatu kesan umum tentang individu dengan

berdasar pada sesuatu karakteristik saja. Stereotyping adalah menilai

seseorang dengan berdasar pada persepsi tentang kelompok di mana

seseorang tersebut menjadi anggota (Robbins and Judge, 2013). Ketiganya

(persepsi selektif, halo efect, dan stereotype), cenderung membuat orang

tidak dapat menghasilkan keputusan yang rasional.

4) Pengambilan Keputusan

Pengambilan keputusan adalah membuat pilihan dari antara dua

alternatif atau lebih (Robbins, 1998). Individu-individu dalam organisasi

mengambil keputusan-keputusan. Sifat keputusan-keputusan ini tergantung

pada posisi individu, misalnya manajer membuat keputusan di bidang yang

berbeda dengan yang diambil oleh staf biasa.

Pengambilan keputusan individual dalam organisasi idealnya

mencakup pengambilan keputusan rasional. Keputusan rasional ditandai

dengan rujukan terhadap pilihan yang konsisten dan memaksimumkan nilai

(Robbins, 1998). Tahap-tahap proses pengambilan keputusan rasional

adalah: menetapkan masalah, mengidentifikasi alternatif yang mungkin,

menentukan kriteria, membuat peringkat setiap alternatif berdasarkan

kriteria, dan memilih keputusan yang optimal.

Hastie dalam Certo et al. (2008) mengemukakan bahwa suatu

keputusan yang baik mencakup tiga komponen utama: cara tindakan (yakni

alternatif-alternatif); keyakinan tentang keadaan obyek dan proses

36
(termasuk keadaan outcomes dari alternatif-alternatif); dan keinginan-

keinginan (yakni apa manfaat) yang berkaitan dengan outcomes potensial

dari setiap kombinasi tindakan. Dengan kata lain, keputusan yang baik

adalah keputusan yang mengaitkan kemanfaatan bagi pembuat keputusan

dengan outcomes keputusan.

c. Outcomes Perilaku Individual

1) Sikap dan Stres

Sikap menunjuk pada pernyataan-pernyataan evaluatif tentang obyek,

orang, atau kejadian (Robbins and Judge, 2013). Jadi, sikap selalu

mempunyai obyek, dan merefleksikan bagaimana kita merasa tentang

sesuatu obyek tersebut. Pernyataan evaluatif ini dapat berupa menyukai

atau tidak menyukai. Sikap memiliki tiga komponen, yaitu: afektif, kognitif,

dan intensi.

Studi tentang sikap dalam disiplin perilaku organisasi umumnya

mengarah kepada sikap terhadap jabatan atau sikap terhadap pekerjaan.

Tiga outcomes penting dari sikap jabatan adalah: kepuasan jabatan,

keterlibatan jabatan, dan komitmen organisasional (Robbins and Judge,

2013). Kepuasan jabatan adalah perasaan positif tentang jabatan yang

bersumber dari suatu evaluasi seseorang terhadap karakteristik jabatannya.

Keterlibatan jabatan adalah tingkat sejauh mana seseorang

mengidentifikasi diri dengan jabatannya dan berpartisipasi aktif dalam

jabatan tersebut. Komitmen organisasional adalah tingkat sejauh mana

seseorang mengidentifikasi diri dengan organisasi tertentu, dengan tujuan-

37
tujuan organisasi tersebut, dan berkeinginan untuk mempertahankan

keanggotaannya dalam organisasi tersebut.

Stress menunjuk pada kondisi dinamis di mana seseorang

dihadapkan pada suatu kesempatan, tuntutan, dan sumber daya berkenaan

dengan apa yang diinginkannya, dan karena itu orang tersebut

mempersepsikan outcomes akan menjadi tidak pasti dan penting. Secara

singkat, stress adalah proses psikologis yang tidak menyenangkan yang

terjadi berkenaan dengan tekanan-tekanan lingkungan (Robbins and Judge,

2013).

Stress lebih banyak didiskusikan dalam suatu konteks yang negatif,

namun stress tidak selalu buruk, stress juga mempunyai suatu nilai positif.

Stress adalah suatu kesempatan ketika di situ ada kemanfaatan potensial

sehingga memaksimumkan kinerja. Stress yang bersifat fungsional atau

yang dapat memaksimumkan kinerja adalah stress pada level moderat

(Robbins and Judge, 2013). Karena itu, karyawan dan pimpinan perlu

melakukan upaya untuk memoderatkan stress. Pada level individu, upaya

untuk mengurangi stress dapat berupa: mengelola waktu kerja, berolah

raga, relaksasi, dan memperluas jaringan kerja. Pada level organisasi,

pimpinan dapat melakukan: perbaikan seleksi dan penempatan jabatan,

redesain jabatan, pelibatan karyawan, perbaikan komunikasi organisasi,

dan program kesejahteraan.

2) Kinerja Tugas

38
Kinerja menunjuk pada pencapaian sasaran dan tujuan yang telah

ditetapkan (Bacal, 2002). Definisi ini mengacu kepada perspektif outcomes.

Bernardin et al. (1995) menyatakan bahwa kinerja harus didefinisikan

sebagai outcomes dari pekerjaan dengan alasan bahwa outcomes itulah

yang menyediakan suatu kaitan yang sangat kuat antara perilaku dengan

tujuan-tujuan stratejik organisasi, kepuasan klien, dan kontribusi-kontribusi

ekonomik.

Outcomes adalah dampak substantif yang dihasilkan dari produksi

output, outcomes adalah kriteria akhir untuk mengukur kinerja (Poister,

2003). Analisis tentang kinerja sektor publik dari perspektif outcomes ini

penting karena pejabat publik dituntut untuk mampu melakukan hal yang

benar (to do the right thing).

Carton (2004) menyatakan bahwa esensi dari kinerja adalah

penciptaan nilai. Organisasi-organisasi tidak lain adalah asosiasi dari asset-

asset produksi, termasuk sumber daya kemanusiaan, fisik dan modal, untuk

mencapai suatu tujuan bersama. Pihak-pihak yang menyediakan asset

hanya akan mempunyai komitmen pada organisasi sepanjang mereka

merasa puas dengan nilai yang diterimanya dalam pertukaran,

dibandingkan dengan cara lainnya. Sepanjang nilai yang diciptakan melalui

penggunaan asset tersebut setara dengan atau lebih besar dari nilai yang

diharapkan oleh pihak-pihak yang menyumbangkan asset, maka asset-

asset akan terus disediakan untuk organisasi dan organisasi akan terus

eksis.

39
Dilihat dari perspektif penciptaan nilai, maka tidak semua outcomes

perilaku adalah kinerja, kinerja hanya mencakup outcomes perilaku yang

bernilai atau mengandung penciptaan nilai sehingga menyumbang pada

pencapaian tujuan organisasi. Dalam kaitan tersebut Ammons (2013)

mengemukakan model higher-order measures untuk mengukur kinerja,

yang mencakup: (1) output atau beban kerja, yakni berapa banyak unit

aktivitas yang dilaksanakan; (2) efisiensi, yakni hubungan antara sumber

daya yang digunakan dengan pelayanan yang diproduksi, dapat dinyatakan

dengan unit biaya per kegiatan; dan (3) efektivitas, yakni kualitas pelayanan

dan tingkat sejauh mana tujuan kegiatan tercapai.

3) Perilaku Kewargaan Organisasi (Citizenship Behavior)

Konsep organizational citizenship sebagai outcomes perilaku (OCB)

pertama kali diintroduksi oleh Denis W. Organ pada 1980an untuk meninjau

kembali hubungan antara kepuasan jabatan dan kinerja jabatan dengan

membedakan ukuran-ukuran kuantitatif output dengan aspek-aspek kerja

yang lebih kualitatif, yang keduanya sulit dipisahkan. Dengan menekankan

aspek-aspek kualitatif dari kerja, Organ memperluas definisi yang telah

umum diterima mengenai kinerja jabatan dengan mencakup perilaku-

perilaku yang mempunyai efek positif pada konteks psikologis, sosial dan

organisasional dari kerja.

Definisi OCB dari Organ dan kolega adalah kontribusi diskresioner

yang melampaui deskripsi jabatan yang tegas dan yang tidak meletakkan

klaim terhadap imbalan jasa kontraktual dari sistem ganjaran formal (Organ

40
et al, 2006). Diskresioner berarti lebih merupakan suatu pilihan pribadi,

bukan persyaratan peran yang dituangkan dalam deskripsi jabatan. OCB

adalah diskresioner dalam artian melampaui persyaratan deskripsi jabatan

yang dapat dipaksakan kepada seseorang karyawan. Selain itu, OCB

adalah ekstra-peran (extra-role), melampaui deskripsi jabatan formal

(beyond the job), dan tidak diganjar melalui sistem formal (unrewarded by

formal system). Konsep-konsep ini adalah refleksi dari good soldier

syndrome. Individu-individu yang mencurahkan waktunya untuk aktivitas-

aktivitas yang mendukung organisasi ini oleh Organ disebut sebagai good

citizens.

Dalam Akmal (2017:9) dijelaskan bahwa OCB pada dasarnya

terdapat disemua jenis organisasi. Studi OCB pada awalnya dilaksanakan

di Amerika Serikat, menggunakan individu dan organisasi di Amerika

Serikat sebagai sampel. Namun, belakngan studi OCB telah banyak

dilakukan di luar konteks Amerika Serikat.

Studi OCB merupakan salah satu aspek kajian perilaku organisasi.

Perilaku organisasi adalah studi tentang sistem organisasi dan kinerja

organisasi serta perilaku kelompok-kelompok dan individu-individu dalam

organisasi tersebut. OCB adalah perilaku, yakni tindakan-tindakan yang

secara jelas dapat diobservasi oleh karyawan, supervisor, atau peneliti.

Umpamanya karyawan memberikan bantuan kepada karyawan lain, atau

memberikan informasi tentang adanya perubahan yang dapat

mempengaruhi outcomes kerja karyawan lain, imi adalah tindakan yang

41
secara jelas dapat dibedakan dari motif-motifnya. namun demikian menurut

Niehoff (2000) hal yang masih terlupakan dalam literatur OCB adalah suatu

kerangka untuk memahami mengapa OCB terjadi

4) Perilaku Menarik Diri (Withdrawal Behavior)

Perilaku menarik diri dimaksudkan adalah seperangkat tindakan yang

diambil oleh karyawan guna memisahkan diri dengan organisasi (Robbins

and Judge, 2013). Contoh perilaku menarik diri adalah: terlambat masuk

kerja, tidak mengikuti rapat, tidak hadir kerja, dan pindah kerja. Perilaku

menarik diri dapat terjadi karena sikap terhadap jabatan yang negatif, emosi

dan suasana hati, dan interaksi yang negatif antara karyawan dengan rekan

kerja dan atasannya.

Robbins and Judge (2013) mengatakan bahwa perilaku menarik diri

tersebut di atas dapat mempunyai efek yang sangat negatif terhadap

organisasi karena pelaksanaan tugas jabatan tidak berjalan dengan lancar,

alur kerja terhambat, dan keputusan-keputusan penting dapat tertunda,

bahkan dapat mengurangi kualitas output, efektivitas dan efisiensi.

2. Level Grup

a. Input-Input Grup

1) Struktur Grup

Struktur Grup menurut Robbins (1996) mendefinisikan sebagai dua

individu atau lebih, yang berinteraksi dan saling bergantung, yang saling

bergabung untuk mencapai sasaran-sasaran tertentu. Sementara Gibson

menjelaskan bahwa Struktur organisasi adalah hubungan antar para

42
pegawai dan aktivitas-aktivitas mereka satu sama lain serta terhadap

keseluruhan, dimana bagian-bagiannya adalah tugas-tugas, pekerjaan-

pekerjaan atau fungsi-fungsi dan masing-masing anggota kelompok

pegawai yang melaksanakannya. Struktur organisasi yang akan dibentuk

tentunya struktur organisasi yang baik yang harus memenuhi syarat sehat

dan efisien.

2) Peraturan Kelompok

Kelompok merupakan Pelaku Utama dalam kelembagaan yang

terbentuk atas keinginan dan kebutuhan dari masyarakat. Kelembagaan

dalam upaya mengembangkan organisasinya memerlukan aturan yang

tertulis dan mengikat seluruh anggota kelompok baik yang bersifat keluar

dan kedalam. Sebagai bahan untuk pendampingan pelaku utama, yang

dapat memberikan rambu-rambu atau contoh dalam penyusunan aturan

kelompok.

3) Responsibiltas Tim

Tim adalah suatu unit yang terdiri atas dua orang atau lebih yang

berinteraksi dan mengoordinasi kerja mereka untuk tujuan tertentu. Definisi

ini memiliki tiga komponen.

Responsibilitas merupakan kemampuan organisasi untuk mengatur

sejauhmana pemberian layanan telah berjalan sesuai dengan aturan-aturan

yang diberlakukan atau prosedur yang telah di atur. Responsibilitas

mengukur tingkat pastisipasi pemberi layanan melaksanakan tugasnya.

Responsibilitas adalah ukuran yang menunjukkan sejauh mana proses

43
pemberian pelayanan publik dilakukan sesuai dengan prinsip-prinsip atau

ketentuan- ketentuan administrasi dan organisasi yang benar telah

ditetapkan. Responsibilitas menurut Friedrick merupakan konsep yang

berkenaan dengan standar professional dan kompetensi teknis yang dimiliki

administrator publik untuk menjalankan tugasnya.

b. Proses-proses dalam Kelompok

1) Komunikasi

Komunikasi kelompok dalam organisasi adalah pengiriman dan

penerimaan berbagai pesan antar kelompok yang ada di dalam sebuah

organisasi di dalam kelompok formal maupun informal dari suatu organisasi

(Wiryanto, 2005 dalam Bachry). Komunikasi formal adalah komunikasi yang

disetujui oleh organisasi itu sendiri dan sifatnya berorientasi kepentingan

organisasi. lsinya berupa cara kerja di dalam organisasi, produktivitas, dan

berbagai pekerjaan yang harus dilakukan dalam organisasi.

2) Kepemimpinan

Stephen Robbins mendefinisikan kepemimpinan sebagai ... “the ability

to influence a group toward the achievement of goals” yaitu Kepemimpinan

adalah kemampuan untuk mempengaruhi suatu kelompok guna mencapai

serangkaian tujuan. Kata kemampuan, pengaruh dan kelompok adalah

konsep kunci dari definisi Robbins.

Kepemimpinan adalah faktor kunci dalam suksesnya suatu organisasi

serta manajemen. Kepemimpinan adalah entitas yang mengarahkan kerja

para anggota organisasi untuk mencapai tujuan organisasi. Kepemimpinan

44
yang baik diyakini mampu mengikat, mengharmonisasi, serta mendorong

potensi sumber daya organisasi agar dapat bersaing secara baik.

3) Kekuatan dan Politik Kelompok

Karl Albrecht (1983) dalam Bachry memberikan pemahaman bahwa

suatu organisasi akan dipengaruhi factor-faktor politis internal yang

berkaitan dengan budaya organisasi dan gaya manajemen. Faktor-faktor

politis yang dimaksud Albrecht merupakan iklim politik organisasi yang pada

prinsipnya juga mempengaruhi iklim organisasi secara keseluruhan.

Elemen Politik internal Organisasi yaitu faktor-faktor internal dalam

organisasi, kultur, dan gaya manajemen, yang mempengaruhi para

pengambil keputusan dalam melaksanakan fungsi manajemennya.

Politik keorganisasian adalah serangkaian tindakan yang secara

formal tidak diterima dalam suatu organisasi dengan cara mempengaruhi

orang lain untuk mencapai tujuan individu (Greenberg dan Baron, 1997).

Kreitner (2006) menjelaskan factor-faktor utama yang menyebabkan

munculnya perilaku berpolitik adalah ketidakpastian dalam organisasi:

tujuan tidak jelas, ukuran prestasi dan kinerja tidak terstandar, proses

pembuatan keputusan tidak terdefinisi dengan baik, kompetisi antar individu

dan kelompok tinggi, dan perubahan.

4) Konflik dan Negosiasi

Menurut Robbins (2002) dalam Bachry, konflik adalah suatu proses

yang dimulai bila satu pihak merasakan bahwa pihak lain telah

45
mempengaruhi secara negative atau akan segera mempengaruhi secara

negative pihak lain.

Negosiasi menurut Ivancevich (2007) sebuah proses di mana dua

pihak (atau lebih) yang berbeda pendapat berusaha mencapai

kesepakatan. Menurut Robbins (2008) menyimpulkan negosiasi adalah

sebuah proses di mana dua pihak atau lebih melakukan pertukaran barang

atau jasa dan berupaya untuk menyepakati nilai tukarnya.

c. Outcomes Level Kelompok

1) Kohesi Kelompok

Kohesivitas kelompok secara umum dapat dijelaskan bagaimana

anggota saling berusaha untuk selalu membentuk ikatan emosional, akrab,

dan solid sehingga dapat mempertahankan anggota tetap berada dalam

kelompok. Untuk lebih jelas dalam melihat pengertian kohesi terdapat

beberapa pengertian yang dikemukakan oleh para ahli mengenai

kohesivitas.

Dalam prakteknya kohesivitas melibatkan dua dimensi primer, yakni

tugas sosial dan individu group. Dimensi yang pertama berkaitan dengan

individu tertarik pada tugas kelompok atau dalam hubungan sosial.

Sedangkan dimensi yang kedua berkaitan dengan individu pada kelompok

atau anggota yang lain.

2) Fungsi Kelompok

Untuk dapat memberikan sumbangannya dalam rangka pencapaian

sasaran kelompok kerja dan sasaran keseluruhan organisasu serta dalam

46
usaha merealisasi misi perusahaannya, maka kelompok dapat berfungsi

sebagai (Schein, 1980): (a) pelaksanaan tugas yang majemuk dan saling

tergantung, (b) mekanisme pemecahan masalah, (c) penghasil gagasan

baru dan jawaban kreatif, (d) pelancar dari pelaksanaan keputusan yang

majemuk, (e) vehicle/wahana dari sosialisasi dan pelatihan, (f) penghubung

atau coordinator utama antar beberapa departemen.

3. Level Organisasi

a. Input Organisasi

1) Struktur Organisasi

Model desain organisasi atau struktur organisasi adalah mekanisme-

mekanisme formal pengelolaan suatu organisasi yang menunjukkan

kerangka dan susunan perwujudan pola tetap hubungan-hubungan di

antara fungsi-fungsi, bagian-bagian atau posisi-posisi maupun orang-orang

yang menunjukkan kedudukan, tugas wewenag dan tanggung jawab yang

berbeda-beda dalam suatu organisasi. Komponen ini merupaka salah satu

faktor penting yang mempengaruhi perilaku individu dan kelompok-

kelompok yang ada di dalam organisasi.

Struktur organisasi merupakan wadah dimana semua kegiatan unik

kerja dan para anggota organisasi dikoordinasikan dan di integrasikan

untuk mencapai tujuan. Robbins dan Coulter (2005: 284) mendefinisikan

struktur organisasi sebagai kerangka kerja formal organisasi yang mana

dengan kerangka kerja itu tugas-tugas maupun pekerjaan dibagi,

dikelompokkan, dan di koordinasikan. Definisi tersebut dimaknai bahwa

47
struktur organisasi selain menggambarkan kerangka dan susunan

hubungan di antara fungsi, bagian atau posisi juga mununjukkan hirarki

organisasi dan struktur sebagai wadah untuk menjalankan wewenang,

tanggung jawab dan sistem pelaporan terhadap atasan.

Sebuah struktur dan desain organisasi yang efektif harus mampu

mengoptimalkan kinerja baik organisasi maupun anggotanya. Hal ini

tercapai apabila ada penataan tugas, aktivitas kerja dan individunya

menurut cara-cara tertentu agar tujuan tercapaian. Sebuah struktur dan

desain yang efektif harus mampu menggunakan tipe dan jumlah sumber

daya yang tepat untuk mencapai tujuan. Implikasinya dari hal tersebut

adalah pengorganisasian tugas dalam cara-cara yang paling efisiendan

efektif agar tidak ada duplikasi pekerjaan.

2) Budaya Organisasi

Budaya organisasi merupakan sistem penyebaran kepercayaan dan

nilai-nilai yang berkembang dalam suatu organisasi dan mengarahkan

perilaku anggota-anggotanya. Budaya organisasi dapat dapat menjadi

instrumen keunggulan kompetitif yang utama, yaitu bila budaya organisasi

mendukung strategi organisasi. Robbins (2003) mendefinikasi budaya

organisasi sebagai suatu sistem makna bersama yang dianut oleh anggota-

anggota ynag membedaka organisasi tersebut dengan organisasi tersebut

dengan organisasi lain. Budaya organisasi sebagai pola asumsi dasar yang

ditemukan atau dikembangkan oleh suatu kelompok orang selagi mereka

belajar untuk menyelesaikan problem-problem, menyesuaikan diri dengan

48
lingkungan ekternal, dan berintegrasi dengan lingkungan internal.

Sedangkan Brown (1998) seperti yang dikutip oleh Kenneth et al (2007)

mendefinisikan budaya organisasi sebagai pola kepercayaan, nilai-nilai, dan

cara yang dipelajari menghadapi pengalaman yang telah dikembangkan

sepanjang sejarah organisasi yang manifestasi dalam pengaturan material

dan perilaku organisasi. Berdasarkan beberapa definisi budaya organisasi

diatas maka dapat di simpulkan bahwa budaya organisasi merupakan

norma-norma, nilai, asumsi, kepercayaan, kebiasaan yang dibuat dalam

suatu organisasi dan disetujui oleh semua anggota organisasi sebagai

pedoman atau acuan organisasi dalam melakukan aktivitasnya baik yang

diperuntukkan bagi karyawan maupun untuk kepentingan orang lain.

Dalam suatu organisasi yang besar memiliki suatu budaya yang

dominan dan sejumlah anak budaya. Budaya dominan mengungkapkan

nilai-nilai inti yang dianut bersama oleh mayoritas anggota untuk

mencerminkan masalah, situasi atau pengalaman bersama yang dihadapi

para anggota. Jika suatu organisasi tidak memiliki budaya dominan, nilaai

budaya organisasi sebagai suatu variabel yang bebas akan sangat

berkurang karena tidak ada penafsiran yang seragam atas apa yang

menggambarkan perilaku yang tepat dan tidak tepat, namun juga tidak

dapat diabaikan realitas bahwa banyak organisasi juga mempunyai anak

budaya yang dapat mempengaruhi perilaku anggotanya.

Robbins (2003: 305) menyatakan bahwa sebuah sistem pemaknaan

bersama dibentuk oleh para warganya yang sekaligus menjadi pembeda

49
dengan organisasi lain. Ia juga menyatakan bahwa setidaknya terdapat 2

(dua) unsur penting dalam budaya organisasi, yaitu:

1. Inovasi dan pengambilan resiko, yaitu sejauh mana karyawan didorong

untuk inovatif dan mengambil resiko.

2. Orientasi organisasi, yaitu sejauh mana manajemen organisasi

menfokuskan pada hasil dan memperhitungkan efek keberhasilan orang-

orang dalam organisasi.

b. Proses Level Organisasi

1) Manajemen Sumber Daya Manusia

Bagi suatu organisasi, pengelolaan sumber daya manusia

menyangkut keseluruhan urusan organisasi dan tujuan yang telah

ditetapkan. Untuk itu seluruh komponen atau unsur yang ada didalamnya,

yaitu para pengelola dengan berbagai akitifitasnya harus memfokuskan

pada perencanaan yang menyangkut penyusunan staff, penetapan program

latihan jabatan dan lain sebagainya. Hal ini perlu dilakukan untuk

mengantisipasi perkembangan jangka pendek dan jangka panjang dari

suatu organisasi tersebut, khususnya yang menyangkut kesiapan sumber

daya manusianya. Alasan lainnya adalah bahwa suatu pengelolaan sumber

daya manusia dalam suatu organisasi tidak dapat terlepas dari lingkungan

internal maupun eksternal, yang pada suatu saat akan dapat

mempengaruhi keberadaan organisasi tersebut. (Bachry 2018)

Sumber daya manusia merupakan elemen yang sangat penting

dalam organisasi. Kegagalan mengelola sumber daya manusia dapat

50
mengakibatkan timbulnya gangguan dalam pencapaian tujuan dalam

organisasi, baik dalam kinerja maupun kelangsungan hidup organisasi itu

sendiri. Untuk mengelolah sumber daya diperlukan penyusunan

kepegawaian organisasi, memotivasi pegawai, memimpin pegawai,

komunikasi dengan pegawai, mengatur kelompok kerja dan mengevaluasi

kinerja yang disebut dengan fungs manajemen (Royat, 1994).

Kinerja sumber daya manusia tidak secara otomatis menjadi lebih

baik karena kebijakan yang dibuat organisasi. Banyak sumber daya

manusia memberikan contoh adanya kegagalan organisasi karena

komitmen pada konsensus yang disebabkan fungsi-fungsi internal tidak

mendukung. Oleh karena itu diperlukan suatu kebijakan yang berorientasi

pada sumber daya manusia guna mendukung eksistensi dan akselerasi

suatu organisasi.

2) Perubahan dalam Organisasi

Perubahan Organisasi adalah suatu proses dimana organisasi

tersebut berpindah dari keadaannya yang sekarang menuju ke masa depan

yang diinginkan untuk meningkatkan efektifitas organisasinya. Tujuannya

adalah untuk mencari cara baru atau memperbaiki dalam menggunakan

resources dan capabilities dengan tujuan untuk meningkatkan kemampuan

organisasi dalam menciptakan nilai dan meningkatkan hasil yang diinginkan

kepada stakeholders.

Organisasi mengalami perubahan karena organisasi selalu

menghadapi berbagai macam tantangan. Tantangan itu timbul sebagai

51
akibat pengaruh lingkungan (lingkungan organisasi). Yang dimaksud

dengan lingkungan organisasi adalah keseluruhan faktor yang

mempengaruhi organisasi dan kegiatan organisasi. Faktor-faktor yang

mempengaruhi organisasi tersebut adalah luas, dan jumlahnya cukup

banyak. Dalam arti luas, lingkungan dapat dibedakan menjadi dua macam,

yaitu lingkungan intern dan lingkungan ekstern.

c. Outcomes Level Organisasi

1) Produktivitas Organisasi

Manajemen produktivitas merupakan salah satu sasaran penting

suatu organisasi atau perusahaan / lembaga. Hal ini disebabkan karena

manajemen produktivitas dapat menunjang kesuksesan dan keberhasilan

suatu perusahaan/pemberi jasa untuk mencapai tujuan akhir yang telah

ditentukan.

Tujuan dari manajemen produktivitas adalah efektif dan efisiensi, yaitu

memberdayakan sumberdaya seminimal mungkin untuk mendapatkan hasil

yang maksimal. Efektivitas adalah merupakan derajat pencapaian output

dari sistem produksi. Efisiensi adalah ukuran yang menunjuk sejauh mana

sumber-sumber daya digunakan dalam proses produksi untuk

menghasilkan output. Jika efektivitas berorientasi pada hasil atau keluaran

(output) yang lebih baik, dan efisiensi berorientasi pada masukan (input)

yang lebih sedikit, maka dalam manajemen produktivitas berorientasi pada

keduanya. (Bachry 2018)

2) Kemampuan Organisasi untuk bertahan

52
Kemampuan organisasi untuk bertahan hidup (survive) sangat

ditentukan oleh kemampuan organisasi untuk berubah, menyesuaikan diri

dengan perubahan lingkungan bisnis yang dihadapi atau menyesuaikan diri

dengan perubahan potensial yang akan terjadi di masa mendatang.

Kemampuan organisasi untuk berkembang ditentukan oleh kemampuan

organisasi dalam menciptakan perubahan.

Perubahan tersebut disebabkan oleh beberapa faktor, baik itu faktor

secara negative yang membuat organisasi tersebut mundur, maupun faktor

positive yang mendukung organisasi tersebut menjadi maju. Berbagai

upaya perubahan organisasi yang dilakukan secara terencana, seperti

upaya perubahan dengan melakukan pembelian peralatan baru, atau

merancang ulang sebuah desain, ataupun menyusun ulang suatu kurikulum

sekolah, atau suatu departemen pada suatu fakultas. Hal ini karena fokus

kajian PO (Pengembangan Organisasi) itu terletak pada peningkatan

kemampuan organisasi untuk dapat mengetahui dan memecahkan

berbagai masalah yang dihadapi organisasi itu sendiri.

Pengembangan Organisasi merupakan program yang berusaha

meningkatkan efektivitas keorganisasian dengan mengintegrasikan

keinginan bersama akan pertumbuhan dan perkembangan dengan tujuan

keorganisasian. Pengembangan organisasi (PO) sebagai suatu disiplin

perubahan perencanaan yang menekankan pada penerapan ilmu

pengetahuan dan praktek keperilakuan untuk membantu organisasi-

organisasi mencapai efektivitas yang lebih besar.

53
II.3 Program Gerakan Mamuju Mapaccing

Secara empiric, Kabupaten Mamuju adalah ibu kota Provinsi Sulawesi Barat,

dimana pemerintah Kabupaten Mamuju diharapkan lebih banyak memberikan

kontribusi dalam segala hal, termasuk pengelolaan sampah yang baik. Sehingga di

100 hari kepemimpinan H. Habsi Wahid dan H. Irwan Pababari mencetuskan

program Gerakan Mamuju Mapaccing, gerakan ini pun berkesinambungan sampai

saat ini.

Program Gerakan Mamuju Mapaccing adalah program yang digagas oleh

pemerintah Kabupaten Mamuju, dan dicanangkan langsung oleh Bupati Mamuju

Bapak H. Habsi Wahid tujuan dari program Gerakan Mamuju Mapaccing antara lain;

1. Gerakan Mamuju Mapaccing adalah untuk menggalakkan budaya bersih

lingkungan melalui suatu gerakan penyadaran dan kerja secara nyata,

terencana, terorganisir dan berkelanjutan yang melibatkan komponen

masyarakat, pemerintah dan dunia usaha guna mewujudkan salah satu

visi dan misi Kabupaten Mamuju yang Ramah.

2. Gerakan Mamuju Mapaccing bertujuan mengoptimalkan seluruh potensi

serta kemampuan pemerintah, partisipasi masyarakat, yang didukung

dunia usaha baik melalui program dan kegiatan maupun dengan gerakan

spontanitas masyarakat guna menciptakan Kabupaten Mamuju,

khususnya kawasan perkotaan menjadi kota yang bersih, indah, nyaman,

hijau, teduh, asri, berbudaya, berprestasi dan mendapatkan

penghargaan.

54
Dalam program Gerakan Mamuju Mapaccing ini dibentuk melalui Peraturan

Bupati Mamuju Nomor 12 Tahun 2016. Adapun definisi dari program Mamuju

Mapaccing ialah program Mamuju Bersih, secara etimologi “paccing” diartikan

sebagai bersih dan mendapat awalan Ma yang berarti sangat bersih. Dan untuk

mendukung optimalisasi, pelimpahan kewenangan sebagaimana yang dimaksud

dalam Peraturan Bupati Nomor Tahun 2018, Dinas Lingkungan Hidup dan

Kebersihan Kabupaten Mamuju wajib menyerahkan kepada Camat;

a. Sarana dan prasarana operasional pelayanan persampahan/kebersihan

armada motor fukuda

b. Anggaran pemeliharaan sarana dan prasarana operasional pelayanan

persampahan/kebersihan armada motor fukuda dan

c. Personal tenaga dibidang pelayanan persampahan/kebersihan armada

motor fukuda

Masalah kebersihan merupakan kewajiban sosial setiap warga, sehingga

prinsip pelakasanaannya dilakukan secara bersama-sama antara unsur pemerintah,

pengusaha dan masyarakat dengan semangat gotong royong. Ruang lingkup

kegiatan ini meliputi wilayah administrasi Kabupaten Mamuju dengan

mengutamakan ibu kota dikarenakan kabupaten tersebut sebagai ibu kota Provinsi

Sulawesi Barat.

Pembiayaan program tersebut menggunakan APBD Kabupaten Mamuju

yang setiap tahunnya dianggarkan oleh Dinas Lingkungan Hidup dan Kebersihan

Kabupaten Mamuju, guna pengadaan dan pemeliharaan segala armada, sarana dan

55
prasarana baik yang ada di DLHK sendiri maupun peralatan lainnya yang ada di

kecamatan dan kelurahan.

II.4 Penelitian Terdahulu

Berikut ini akan diuraikan beberapa hasil penelitian terdahulu yang bertujuan

untuk mendorong teori yang dibangun maupun untuk menjelaskan hakekat dan

orisinalitas penelitian ini, secara singkat dapat dilihat dalam table berikut ini:

Matriks Penelitian Terdahulu

NO TAHUN JUDUL HASIL PERBEDAAN


PENELITIAN
1. Abu Bakar Studi Perilaku Perilaku birokrasi Hanya
(2009) Birokrasi Pada dipengaruhi oleh menggunakan
Pemerintah struktur birokrasi, indikator budaya
Kabupaten/Kota di budaya local dan organisasi yang
Sulawesi Selatan manajemen SDM dihubungkan
dengan struktur,
budaya, dan
manajemen tanpa
adanya kebijakan
dan praktik SDM.
2. Ahmad Perilaku Birokrasi Mendeskripsikan Penelitian ini
Nurmandi Publik tiga tipe birokrat, hanya
(2005) yaitu sebagai menjelaskan tipe
operator, manajer birokrasi.
dan eksekutif,
yang masing-
masing
mempunyai
perilaku yang
berbeda-beda.
3. Resi Peningkatan Penelitian ini Hasil penelitian
Yudhaningsih Efektifitas Kerja menunjukkan hanya berfokus
(2011) Melalui Komitmen, komitmen dan pada indikator
Perubahan, dan budaya organisasi budaya organisasi
Budaya Organisasi. dapat yang dihubungkan
mempengaruhi dengan komitmen
efektifitas kerja kerja.
karyawan karena

56
kedua hal
tersebut memiliki
implikasi bahwa
suatu kekuatan
relative setiap
pegawai memiliki
kecepatan dan
ketepatan dalam
penyelesaian
tugas-tugas dan
berperan
terhadap
peningkatan
efektifitas kerja.
4. Pebrianto Kapasitas Birokrasi Hasil penelitian Penelitian ini
Rezza (2012) Pemerintah menunjukkan hanya berfokus
Kabupaten bahwa perilaku pada birokrasi dari
Bengkulu Utara organisasi dalam dimensi budaya
Untuk implementasi organisasi.
Menumbuhkan kebijakan
Motivasi Investasi ditemukan
Lokal. berbagai masalah
antara lain
kapasitas
birokrasi belum
memadai dalam
mendukung
peningkatan
motivasi investasi
oleh investor
local, disebabkan
antara lain
birokrat yang
kurang
responsive,
koordinasi
pengendalian dan
pengawasan
terhadap
pelaksanaan
investasi belum
maksimal.
5. Fianda Pengaruh Struktur Hasil Penelitian ini
Gammahendra Organisasi menunjukkan hanya berfokus
(2014) Terhadap dimensi struktur pada struktur dan
Efektifitas organisasi yang desain organisasi.

57
Organisasi. terdiri dari
variabel
formalisasi
sentralisasi
secara Bersama-
sama
berpengaruh
terhadap
efektifitas
organisasi
6 Hasniati (2008) PERILAKU Hasil penelitian ini Penelitian kualitatif
PELAYANAN menunjukkan: (1) ini menggunakan
BIROKRAT setidaknya pendekatan
GARIS-DEPAN terdapat sepuluh fenomenologis
(Studi tentang bentuk perilaku dengan format
Interaksi Birokrat diferensial dari studi kasus yang
Kepolisian dengan hasil interaksi berfokus pada
Warga Masyarakat antara gaya-gaya perilaku BGD
Dalam Pelayanan negosiasi BGD dalam pelayanan
Surat Izin dan WM, (2) Dari publik
Mengemudi di Kota sepuluh bentuk
Makassar). perilaku
diferensial
tersebut,
setidaknya
terdapat 5 (lima)
bentuk perilaku
diferensial yang
cenderung
menguntungkan
BGD. Sedangkan
3 (tiga) perilaku
yang sifatnya
cenderung
menguntungkan
pelaku interaksi
(mutual benefit.
Dan (3) aktor
dominan penentu
perilaku
pelayanan adalah
BGD, sedangkan
WM berada dalam
kondisi resesif
(lemah).

58
II.5 Kerangka Konsep

Robbins and Judge (2013) mengintegrasikan model perilaku

organisasi dalam kinerja tugas formal dan organizational citizenship behavior

(OCB). Model kontingensi perilaku organisasi Robbins and Judge

memasukkan tiga parameter: input perilaku, proses, dan outcomes perilaku.

Parameter-parameter ini diorganisasikan menurut tiga level analisis perilaku:

individual, kelompok, dan organisasional. Model tersebut di atas sangat

kompleks, namun studi perilaku birokrasi dapat berfokus pada salah satu dari

tiga tingkat analisis tersebut.

Sesuai dengan pilihan level analisis individu, kelompok, dan

organisasi maka variabel-variabel yang dicakup dalam model perilaku

birokrasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah input-input, proses-

proses, dan outcomes level individual sebagaimana yang dispesifikasi dalam

model umum perilaku organisasi Robbins and Judge (2013). Berikut adalah

penjelasan atas variabel-variabel individual dimaksud.

1) Input-input Individual

a. Keberagaman (diversity)

Keberagaman menunjuk pada perbedaan-perbedaan dalam

karakteristik pekerja (karyawan). Faktor keberagaman kedua yang

diidentifikasi dalam model perilaku organisasi Robbins and Judge (2013)

adalah kemampuan intelektual, menunjuk pada kemampuan-kemampuan

yang diperlukan untuk menampilkan aktivitas mental yang mencakup

pemikiran, penalaran, dan pemecahan masalah. Ketiga, adalah kemampuan

59
fisik, menunjuk pada kapasitas untuk melakukan tugas-tugas yang

membutuhkan stamina dan kekuatan serta karakteristik lainnya yang serupa.

Pelaksanaan tugas-tugas lapangan pada umumnya membutuhkan

kemampuan fisik yang lebih tinggi dibandingkan tugas-tugas internal kantor.

b. Kepribadian (personality)

Kepribadian menunjuk pada keseluruhan cara di mana individu

bereaksi terhadap dan berinteraksi dengan orang lain (Robbins and Judge,

2013). Kepribadian seringkali digambarkan dengan sifat-sifat terukur yang

ditampilkan oleh seseorang. Sifat-sifat pribadi ini mencakup karakteristik

yang bertahan lama yang menggambarkan perilaku individu.

c. Nilai-nilai

Nilai menunjuk pada keyakinan mendasar bahwa suatu cara

berperilaku ataupun suatu eksistensi keadaan akhir (end-state) adalah

diinginkan secara pribadi maupun secara sosial (Robbins and Judge, 2013).

Nilai-nilai individu dapat dianalisis pada dua dimensi: nilai akhir (terminal

values), dan nilai instrumental (instrumental values). Nilai akhir menunjuk

pada keadaan akhir yang diinginkan dari suatu eksistensi, atau tujuan yang

ingin direalisasikan oleh seseorang selama hidupnya. Nilai instrumental

menunjuk pada cara berperilaku atau sarana yang lebih diinginkan untuk

mencapai nilai akhir tersebut (Robbins and Judge, 2013).

2) Proses-proses Individual

a. Emosi dan Suasana Hati (Moods)

60
Emosi, menurut Robbins and Judge (2013), menunjuk pada perasaan

yang amat kuat yang diarahkan pada seseorang atau pada sesuatu. Kita

menunjukkan emosi ketika kita senang dengan sesuatu, marah pada

seseorang, atau takut pada sesuatu. Suasana hati (moods) adalah perasaan

yang cenderung kurang kuat dibandingkan emosi dan yang tidak mempunyai

suatu stimulus kontekstual. Emosi disebabkan oleh kejadian spesifik,

mempunyai durasi yang sangat singkat (hanya dalam detik atau menit),

mempunyai sifat spesifik dan terbatas (seperti marah, takut, sedih, senang,

galau, kaget), dan biasanya diikuti dengan ekspresi wajah yang berbeda.

Suasana hati (moods) lebih bersifat umum dan tidak jelas, lebih lama durasi

waktunya dibandingkan emosi (bisa jam atau hari), dan umumnya tidak

diindikasikan dengan ekspresi wajah yang berbeda.

b. Motivasi

Motivasi merujuk kepada alasan-alasan yang mendasari perilaku (Lai,

2011), atribut-atribut yang mendorong orang untuk melakukan atau tidak

melakukan sesuatu (Broussard & Garrison, 2004; hal-hal yang mendorong

atau menggerakkan seseorang untuk melakukan sesuatu (Winardi, 2000).

Motivasi adalah berkenaan dengan: (1) arah perilaku, (2) kekuatan perilaku,

dan (3) ketahanan perilaku (Gibson, Ivancevich & Donnelly, 1997).

c. Persepsi

Persepsi adalah proses dengan mana individu mengorganisir dan

menginterpretasi kesan-kesan guna memberikan makna terhadap

lingkungannya. Lingkungan disini dapat berupa kondisi lingkungan,

61
penugasan jabatan, upah, tunjangan, gaya manajemen, dan lainnya.

Persepsi penting dalam studi perilaku organisasi karena perilaku manusia

didasarkan pada persepsinya tentang apa itu realitas, dan bukan pada

realitas itu sendiri (Robbins and Judge, 2013; Robbins, 1998).

d. Pengambilan Keputusan

Pengambilan keputusan adalah membuat pilihan dari antara dua

alternatif atau lebih (Robbins, 1998). Individu-individu dalam organisasi

mengambil keputusan-keputusan. Sifat keputusan-keputusan ini tergantung

pada posisi individu, misalnya manajer membuat keputusan di bidang yang

berbeda dengan yang diambil oleh staf biasa.

3) Outcomes Perilaku Individual

a. Sikap dan Stres

Sikap menunjuk pada pernyataan-pernyataan evaluatif tentang obyek,

orang, atau kejadian (Robbins and Judge, 2013). Jadi, sikap selalu

mempunyai obyek, dan merefleksikan bagaimana kita merasa tentang

sesuatu obyek tersebut. Pernyataan evaluatif ini dapat berupa menyukai atau

tidak menyukai. Sikap memiliki tiga komponen, yaitu: afektif, kognitif, dan

intensi.

Stress menunjuk pada kondisi dinamis di mana seseorang dihadapkan

pada suatu kesempatan, tuntutan, dan sumber daya berkenaan dengan apa

yang diinginkannya, dan karena itu orang tersebut mempersepsikan

outcomes akan menjadi tidak pasti dan penting. Secara singkat, stress

62
adalah proses psikologis yang tidak menyenangkan yang terjadi berkenaan

dengan tekanan-tekanan lingkungan (Robbins and Judge, 2013).

b. Kinerja Tugas

Kinerja menunjuk pada pencapaian sasaran dan tujuan yang telah

ditetapkan (Bacal, 2002). Definisi ini mengacu kepada perspektif outcomes.

Bernardin et al. (1995) menyatakan bahwa kinerja harus didefinisikan

sebagai outcomes dari pekerjaan dengan alasan bahwa outcomes itulah

yang menyediakan suatu kaitan yang sangat kuat antara perilaku dengan

tujuan-tujuan stratejik organisasi, kepuasan klien, dan kontribusi-kontribusi

ekonomik.

c. Perilaku Kewargaan Organisasi (Citizenship Behavior)

Akmal (2017:9) menjelaskan bahwa OCB adalah perilaku, yakni

tindakan-tindakan yang secara jelas dapat diobservasi oleh karyawan,

supervisor, atau peneliti. Umpamanya karyawan memberikan bantuan

kepada karyawan lain, atau memberikan informasi tentang adanya

perubahan yang dapat mempengaruhi outcomes kerja karyawan lain, ini

adalah tindakan yang secara jelas dapat dibedakan dari motif-motifnya.

d. Perilaku Menarik Diri (Withdrawal Behavior)

Perilaku menarik diri dimaksudkan adalah seperangkat tindakan yang

diambil oleh karyawan guna memisahkan diri dengan organisasi (Robbins

and Judge, 2013). Contoh perilaku menarik diri adalah: terlambat masuk

kerja, tidak mengikuti rapat, tidak hadir kerja, dan pindah kerja. Perilaku

menarik diri dapat terjadi karena sikap terhadap jabatan yang negatif, emosi

63
dan suasana hati, dan interaksi yang negatif antara karyawan dengan rekan

kerja dan atasannya.

Setelah menganalisis indikator-indikator tersebut, maka akan dihasilkan

sebuah penelitian yang menunjukkan perilaku birokrasi dalam pelaksanaan

program Gerakan Mamuju Mapaccing. Apabila perilaku birokrasi sesuai dengan

yang dikemukakan Robbins, maka tujuan program akan tercapai secara efektif.

Sebaliknya, jika perilaku birokrasi tidak mencerminkan yang dikemukakan

Robbins secara ideal, maka tujuan program Gerakan Mamuju Mapaccing belum

tercapai.

Untuk lebih jelasnya, berikut gambar kerangka konsep peneliti yang

diadopsi oleh Robbins and Judge (2013).

64
INPUTS PROSES OUTCOMES

Individual Level:
Individual Level: Individual Level:
1. Emosi dan Suasana
1. Keberagaman Hati 1. Kinerja tugas
2. Kepribadian 2. Motivasi 2. Perilaku
3. Nilai yang dianut 3. Persepsi kewargaan
4. Pengambilan
Keputusan.

PERILAKU BIROKRAT DALAM

PELAKSANAAN PROGRAM

GERAKAN MAMUJU MAPACCING

Diadopsi oleh Robbins and Judge (2013)

65
BAB III

METODE PENELITIAN

Metodologi adalah suatu proses yang gunakan untuk mendekati

permasalahan dalam mencari jawaban. Dengan ungkapan lain, metodologi adalah

suatu pendekatan umum yang digunakan untuk mengkaji topik penelitian.

III.1 Jenis Penelitian

Dalam penelitian ini, penulis menggunakan penelitian kualitatif, yaitu

mengkaji objek yang mengungkapkan fenomena-fenomena yang ada secara

kontekstual melalui pengumpulan data yang diperoleh. Dengan melihat unsur-unsur

dengan satuan objek kajian yang saling terkait selanjutnya mendeskripsikannya.

Alasan menggunakan penelitian kualitatif karena permasalahan masih sangat

beragam sehingga untuk mengidentifikasi masalah yang urgen diperlukan

pendalaman lebih lanjut.

Sebagaimana menurut Bogdam dan Taylor dalam bukunya Lexy. J. Moleong

(2007: 3) mendefinisikan metode penelitian kualitatif sebagai prosedur penelitian

yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-

orang dan perilaku yang dapat diamati. Dengan motode ini penulis mengharapkan

dapat memperoleh data yang akurat dan lengkap berdasarkan fakta yang ada di

lapangan mengenai perilaku biokrat dalam pelaksanaan porgram Gerakan Gerakan

Mamuju Mapaccing.

66
III.2 Lokasi Penelitian

Penelitian ini akan dilaksanakan di Kabupaten Mamuju dengan fokus pada

Kantor Dinas terkait pelaksanaan Program Mamuju Mapaccing yaitu Kantor Dinas

Lingkungan Hidup dan Kebersihan Kabupaten Mamuju dengan kajian lokasi di

Kantor Kelurahan Binanga. Alasan pemilihan lokasi ialah karena persoalan jumlah

penduduk yang terpadat di wilayah Kelurahan tersebut dan sampah yang belum

dapat teratasi meski telah adanya pelimpahan kewenangan dalam program ini, juga

diperkuat dengan program pemerintah yakni Gerakan Mamuju Mapaccing.

III.3 Fokus Penelitian

Penelitian ini berfokus pada tiga variabel perilaku birokrasi di level individu,

yakni: input, proses dan outcomes yang dikemukakan oleh Robbins dan Judge

(2012:25).

Input memiliki elemen kunci yaitu:

1) Diversity (keberagaman). Peneliti akan fokus pada keberagaman dalam

karakteristik pegawai yang akan dilihat dari perbedaan dalam faktor usia,

pendidikan, kualifikasi akademik, posisi jabatan, lama jam kerja, gaji dan

masa kerja yang dapat mempengaruhi kinerja pegawai dalam pencapaian

tujuan program Gerakan Mamuju Mapaccing.

2) Personality (Kepribadian). Penelitian ini akan memfokuskan pada cara di

mana individu bereaksi terhadap dan berinteraksi dengan orang lain melalui

sifat-sifat terukur yang ditampilkan oleh seseorang, mencakup sifat sosial,

tingkat kooperatif, tanggung jawab, mampu menangani stres, serta perilaku

67
terhadap hal-hal yang bersifat kebaruan, khususnya dalam program Gerakan

Mamuju Mapaccing.

3) Nilai-nilai. Nilai yang akan diteliti ialah nilai pada dua dimensi yakni nilai akhir

(terminal values), dan nilai instrumental (instrumental values). Nilai terminal

yang dimaksdudkan ialah kesejahteraan dan kesuksesan ekonomi,

kebebasan, kesehatan dan kebaikan, kedamaian dunia serta arti hidup.

Sementara nilai instrumental yang dimakasudkan ialah otonomi dan harapan

diri, disiplin pribadi, kebaikan, serta orientasi sasaran. Masing-masing dari

penulis menempatkan nilai baik pada hasil (nilai terminal) dan alat (nilai

instrumental) karena keseimbangan diantara keduanya penting,

sebagaimana pemahaman tentang alat untuk mencapainya. Namun didalam

penelitian, nilai terminal dan instrumental beragam per individu.

Sementara proses-proses Individual mencakup:

1) Emotion and Moods (Emosi dan Suasana Hati). Penelitian ini akan fokus

pada bagaimana seseorang menunjukkan emosi dan perasaan yang amat

kuat ketika senang dengan sesuatu, marah pada seseorang, atau takut pada

sesuatu yang biasanya mempengaruhi kinerjanya, khususnya dalam

pelaksanaan program Gerakan Mamuju Mapaccing.

2) Motivasi. Fokus penelitian pada motivasi ialah merujuk kepada alasan-alasan

yang mendasari perilaku, hal-hal apa yang akan mendorong atau

menggerakkan seseorang untuk melaksanakan program Gerakan Mamuju

Mapaccing.

68
3) Persepsi. Fokusnya ialah proses dimana individu mengorganisir dan

menginterpretasi kesan-kesan guna memberikan makna terhadap

lingkungannya. Lingkungan disini yang dimaksudkan penulis ialah yang

dapat berupa kondisi lingkungan, penugasan jabatan, upah, tunjangan, gaya

manajemen, dan lainnya dalam hal pelaksanaan program Gerakan Mamuju

Mapaccing.

4) Pengambilan Keputusan. Penelitian ini akan fokus pada bagaimana

membuat pilihan dari antara dua alternatif atau lebih tergantung pada posisi

individu terkait pelaksanaan program Gerakan Mamuju Mapaccing.

Adapun elemen kunci Outcomes Perilaku Individual yaitu:

1) Sikap dan Stres. Fokus penelitian ini ialah bagaimana sikap pegawai pada

pernyataan-pernyataan evaluatif tentang pelaksanaan program Gerakan

Mamuju Mapaccing, serta pengelolaan stress pegawai pada kondisi dinamis

saat dihadapkan pada suatu kesempatan, tuntutan, dan sumber daya

berkenaan dengan apa yang diinginkannya.

2) Kinerja Tugas. Penelitian akan fokus pada bagaimana pencapaian sasaran

dan tujuan yang telah ditetapkan dalam pelaksanaan program Gerakan

Mamuju Mapaccing oleh masing-masing sub bidang dalam lingkup Dinas

Lingkungan Hidup dan Kebersihan, dan lingkup Kelurahan Binanga. Hal ini

dapat diketahui oleh tingkat kepuasan masyarakat sebagai sasaran atau

objek dalam program ini.

3) Perilaku Kewargaan Organisasi (Citizenship Behavior). Dalam penelitian ini

akan dijelaskan perilaku, yakni tindakan-tindakan yang secara jelas dapat

69
diobservasi oleh peneliti. Umpamanya pegawai memberikan bantuan kepada

pegawai lain, atau memberikan informasi tentang adanya perubahan yang

dapat mempengaruhi outcomes kerja pegawai lain dalam pelaksanaan

program Gerakan Mamuju Mapaccing.

4) Perilaku Menarik Diri (Withdrawal Behavior). Penelitian ini akan fokus pada

perilaku menarik diri pegawai dalam pelaksanaan program Gerakan Mamuju

Mapaccing. Misalnya terlambat masuk kerja, tidak mengikuti rapat, tidak

hadir kerja, pada saat pelaksanaan program, atau bahkan pindah kerja ke

sub bidang lain. Perilaku menarik diri dapat terjadi karena sikap terhadap

jabatan yang negatif, emosi dan suasana hati, dan interaksi yang negatif

antara pegawai dengan rekan kerja dan atasannya.

Setelah menganalisis indikator-indikator tersebut, maka akan dihasilkan

sebuah penelitian yang menunjukkan perilaku birokrasi dalam pelaksanaan program

Gerakan Mamuju Mapaccing. Apabila perilaku birokrasi sesuai dengan yang

dikemukakan Robbins, maka tujuan program akan tercapai secara efektif.

Sebaliknya, jika perilaku birokrasi tidak mencerminkan yang dikemukakan Robbins

secara ideal, maka tujuan program Gerakan Mamuju Mapaccing belum tercapai.

III.4 Sumber Data

1. Data Primer

Data primer yakni data yang diperoleh di lapangan seperti informasi yang

bersumber dari aparat birokrasi sebagai penyelenggara, pengamatan secara

langsung ke lokasi penelitian dengan cara observasi dan wawancara dari Dinas

atau lembaga terkait pelaksanaan Program Mamuju Mapaccing.

70
2. Data Sekunder

Sedangkan data sekunder berupa dokumenter yang bersumber dari buku-buku,

hasil-hasil penelitian, jurnal, majalah, media cetak dan dokumen-dokumen

peraturan pemerintah pusat atau peraturan pemerintah daerah yang berkaitan

dengan penelitian ini yang diperoleh dengan cara penelusuran arsip dan

berbagai perpustakaan.

III.5 Metode Pengumpulan Data

1. Observasi

Observasi merupakan instrumen yang digunakan untuk melakukan

pengamatan langsung tentang fenomena-fenomena yang ada kaitannya dengan

masalah yang akan dibahas dalam penelitian ini, misalnya bagaimana proses

sosialisasi dan mediasi mengenai Program Mamuju Mappaccing yang dilakukan

oleh pemerintah di Kabupaten Mamuju dan Kelurahan Binanga atau sejauh mana

pendampingan yang dilakukan oleh aparat birokrat dalam menyukseskan Program

Mamuju Mapaccing di Kabupaten Mamuju.

2. Wawancara

Wawancara dilakukan dengan bahasa yang dikuasai oleh informan. Dalam

wawancara ini ditempuh dua cara, yaitu: wawancara mendalam dan wawancara

bebas. Wawancara mendalam dilakukan terhadap para pemimpin masyarakat,

seperti Kepala Dinas Lingkungan Hidup dan Kebersihan Kabupaten Mamuju, Lurah

Kelurahan Binanga selaku top level dalam program Gerakan Mamuju Mapaccing.

Selain itu, peneliti juga akan melakukan wawancara pada middle level yakni para

kepala sub bidang pada Dinas Lingkungan Hidup dan Kebersihan serta keala seksi

71
yang membidangi program tersebut Setelah itu, peneliti akan mewawancarai para

street level birokrasi dalam hal ini operator fukuda petugas kebersihan yang terjun

langsung dalam program ini.

Adapun wawancara bebas dan terbuka akan dilakukan pada masyarakat

selaku objek atau sasaran dari program Gerakan Mamuju Mapaccing.

3. Dokumentasi

Dokumentasi merupakan suatu langkah mengumpulkan data-data yang

dibutuhkan, baik data-data tertulis, maupun gambar dan suara. Dokumentasi ini

dilakukan dengan mengumpulkan data yang telah ada seperti dokumen-dokumen

tertulis dalam hubungannya dengan data yang dibutuhkan dalam penelitian ini.

III.6 Informan Penelitian

Dalam penelitian ini yang akan menjadi informan untuk memperoleh

informasi yang dibutuhkan ialah:

1) Kepala Dinas Lingkungan Hidup dan Kebersihan Kabupaten Mamuju

selaku top level dan Lurah Kelurahan Binanga dalam program Gerakan

Mamuju Mapaccing. Melalui Kepala Dinas dan Lurah akan diperoleh

informasi mengenai kebijakan-kebijakan yang terkait dengan program,

serta bagaimana mengatasi perilaku para pegawai dalam pencapaian

tujuan program ini.

2) Kepala Sub bidang dan Kepala Sub Bagian pengelolaan sampah di

lingkup Dinas Lingkungan Hidup dan Kebersihan Kabupaten Mamuju serta

Kepala seksi Kesra Kelurahan Binanga selaku middle level. Melalui

informan ini, peneliti akan mengetahui sejauh mana koordinasi antar

72
bidang dan sub bidang dan para operator fukuda dalam pelaksanaan

program Gerakan Mamuju Mapaccing.

3) Pegawai dan anggota petugas operator fukuda di Dinas Lingkungan Hidup

dan Kebersihan Kabupaten Mamuju dan Kantor Kelurahan Binanga dalam

pelaksanaan program Mamuju Mapaccing selaku street level birokrasi.

Melalui informan ini, peneliti akan memperoleh informasi mengenai jam

kerja, insentif, dukungan sarana dan prasarana dalam pencapaian tujuan

program ini.

4) Masyarakat yang terlibat langsung dan merasakan dengan adanya

Program Gerakan Mamuju Mapaccing selaku objek dari adanya program

ini. Melalui informan masyarakat, akan diketahui perilaku birokrat dalam

pemberian pelayanan khususnya dalam program Gerakan Mamuju

Mapaccing. Selain itu, akan diperoleh pula informasi mengenai tingkat

kepuasan masyarakat terkait program ini.

III.7 Instrumen Penellitian

Instrumen penelitian merupakan salah satu unsur yang sangat penting dalam

pengumpulan data. Dalam rencana penelitian ini, yang akan menjadi instrumen

adalah peneliti sendiri karena jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif. Setelah

masalah dilapangan terlihat jelas, maka instrumen didukung dengan pedoman

wawancara, alat-alat dokumentasi, serta alat tulis.

III.8 Teknik Pengelolaan dan Analisa Data

Miles dan Hubermen (1984), mengemukakan bahwa aktivitas dalam analisis

data kualitatif dilakukan secara interaktif dan berlangsung secara terus menerus

73
sampai tuntas, sehingga datanya jenuh. Ukuran kejenuhan data ditandai dengan

tidak diperolehnnya lagi data atau informasi baru. Aktivitas dalam analisis meliputi

reduksi data (data reduction), penyajian data (data display) serta penarikan

kesimpulan dan verifikasi (conclusion drawing/verification). Analisis data kualitatif

model Miles dan Hubermen terdapat 3 (tiga) tahap:

1. Reduksi Data (Data Reduction)

Reduksi data dimaksud disini adalah proses pemilihan, pemusatan perhatian

untuk menyederhanakan, mengabstrakkan dan transformasi data. Informasi dari

lapangan sebagai bahan mentah diringkas disusun, serta ditonjolkan pokok-pokok

yang penting sehingga lebih mudah di kendalikan. Meringkaskan data kontak

langsung dengan orang, kejadian dan situasi di lokasi penelitian. Pada langkah

pertama ini termasuk pula memilih dan meringkas dokumen yang relevan dengan

perilaku birokra dalam pelaksanaan program Gerakan Mamuju Mapaccing.

2. Penyajian Data (Data Display)

Penyajian data yang telah diperoleh dari lapangan terkait dengan seluruh

permasalahan penelitian dipilih antara mana yang dibutuhkan dengan yang tidak,

lalu di kelompokkan, kemudian diberikan batasan masalah. Dari penyajian data

tersebut, maka diharapkan dapat memberikan kejelasan mana data yang subtantif

dan mana data pendukung dalam perilaku birokrasi.

3. Penarikan Kesimpulan dan Verifikasi (conclusion Drawing/Verification)

Langkah selanjutnya dalam menganalisa data kualitatif adalah penarikan

kesimpulan dan verifikasi, setiap kesimpulan awal yang dikemukakan masih bersifat

sementara dan akan berubah bila di temukan bukti-bukti kuat yang mendukung pada

74
tahap pengumpulan data berikutnya. Upaya penarikan kesimpulan yang dilakukan

secara terus menerus selama berada di lapangan. Setelah pengumpulan data,

peneliti mulai mencari arti penjelasan-penjelasan. Kesimpulan-kesimpulan itu

kemudian diverifikasi selama penelitian berlangsung dengan cara memikir ulang dan

meninjau kembali catatan lapangan sehingga terbentuk penegasan kesimpulan

mengenai perilaku birokrat dalam pelaksanaan program Gerakan Mamuju

Mapaccing di Kabupaten Mamuju.

75
BAB IV

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

III.1 Gambaran Umum Kabupaten Mamuju


Secara astronomis, Mamuju terletak antara 1 0 38’ 110’’ - 2 0 54’ 552’’ LS

dan 110 54’ 47’’ –130 5’ 35’’ BT atau berada di bagian selatan dari garis ekuator

atau garis khatulistiwa. Berdasarkan posisi geografisnya, Kabupaten Mamuju

memiliki batas-batas: Utara - Kabupaten Mamuju Tengah; Selatan - Kabupaten

Majene, Mamasa, dan Provinsi Sulawesi Selatan; Barat - Selat Makassar; Timur -

Provinsi Sulawesi Selatan. Sebagian besar wilayah Kabupaten Mamuju terletak di

Pulau Sulawesi. Kecamatan Kepulauan Bala Balakang terletak di Kepulauan Bala

Balakang. Kepulauan Bala Balakang adalah gugusan pulau di Selat Makassar yang

berbatasan dengan perairan Kalimantan.

Kabupaten Mamuju memiliki luas wilayah sebesar 4.954,57 km2 yang

secara administratif terbagi ke dalam 11 kecamatan. Kecamatan yang paling luas

wilayahnya adalah Kecamatan Kalumpang dengan luas 1.792,55 km2 atau 36,18

persen dari luas wilayah Kabupaten Mamuju. Sementara kecamatan dengan luas

wilayah terkecil adalah Kecamatan Kepulauan Bala Balakang dengan luas 1,47 km2

atau 0,03 persen.

Kecamatan yang letaknya paling jauh dari ibukota Kabupaten Mamuju

adalah Kecamatan Kepulauan Bala Balakang yaitu 188,62 km. Jarak kecamatan lain

dari ibukota kabupaten Mamuju.

76
Luas Wilayah Menurut Kecamatan di Kabupaten Mamuju, 2017

77
Secara administrasi, sejak tahun 2003 telah terjadi pemekaran dua

kabupaten dari Kabupaten Mamuju seiring dengan tuntutan otonomi daerah, yaitu: -

Kabupaten Mamuju Utara dimekarkan dari Kabupaten Mamuju berdasarkan

UndangUndang Nomor 7 Tahun 2003. - Kabupaten Mamuju Tengah dimekarkan

dari Kabupaten Mamuju berdasarkan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2013.

Pemerintahan daerah Kabupaten Mamuju terdiri dari bupati, wakil bupati

beserta Perangkat Daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintah daerah.

Perangkat Daerah terdiri atas Sekretariat Daerah; Sekretariat DPRD; Inspektorat

Daerah; Badan Perencanaan Penelitian dan Pengembangan; Badan Pengelola

Keuangan dan Aset Daerah; Badan Pendapatan Daerah; Badan Kepegawaian

Pendidikan dan Pelatihan; Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga; Dinas

Kesehatan; Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang; Dinas Perumahan

Rakyat, Kawasan Pemukiman dan Pertanahan; Dinas Tenaga Kerja dan

Transmigrasi; Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak; Dinas

Ketahan Pangan; Dinas Lingkungan Hidup dan Kebersihan; Dinas Kependudukan

dan Catatan Sipil; Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa; Dinas Pengendalian

Kependudukan dan Keluarga Berencana; Dinas Perhubungan; Dinas Komunikasi

Informatika dan Persandian; Dinas Koperasi Usaha Kecil Menengah dan

Perindustrian; Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu; Kantor

Perpustakaan dan Kearsipan; Dinas Kelautan dan Perikanan; Dinas Pariwisata dan

Kebudayaan; Dinas Tanaman Pangan Hortikultura dan Peternakan; Dinas

Perkebunan; Dinas Perdagangan; Satuan Polisi Pamong Praja dan Pemadam

Kebakaran; Kecamatan; dan Kelurahan.

78
Wilayah Administrasi

Sampai tahun 2017, Kabupaten Mamuju terdiri atas 11 kecamatan, 88 desa

dan 13 kelurahan. Kecamatan dengan jumlah desa/kelurahan terbanyak yaitu

Kecamatan Tommo dan Kalukku dengan 14 desa/kelurahan. Sedangkan,

kecamatan dengan jumlah desa/kelurahan paling sedikit yaitu Kecamatan

Kepulauan Bala Balakang dengan 2 desa.

79
Jumlah Pegawai Negeri Sipil Menurut Jenis Kelamin dan Jabatan di Kabupaten
Mamuju, 2017

80
Jumlah Pegawai Negeri Sipil Menurut Dinas/Instansi Pemerintah dan Jenis
Kelamin di Kabupaten Mamuju, 2017

81
82
Jumlah Pegawai Negeri Sipil Menurut Pendidikan Tertinggi yang Ditamatkan
dan Jenis Kelamin di Kabupaten Mamuju, 2017

83
Jumlah Pegawai Negeri Sipil Menurut Golongan Kepangkatan dan Jenis
Kelamin di Kabupaten Mamuju, 2017

84
Jumlah Pegawai Negeri Sipil Menurut Jabatan dan Jenis Kelamin di Kabupaten
Mamuju, 2017

85
Jumlah Pegawai Negeri Sipil Menurut Kelompok Umur dan Jenis Kelamin di
Kabupaten Mamuju, 2017

86
Jumlah Pegawai Negeri Sipil Menurut Masa Kerja dan Jenis Kelamin di
Kabupaten Mamuju, 2017

87
BAB V
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

V.1. Level Perilaku Individu dalam Pelaksanaan Program Mamuju Mapaccing

V.1.1. Deskripsi Variabel Input Perilaku Individu dalam Pelaksanaan Program


Mamuju Mapaccing di Kabupaten Mamuju
Keragaman demografis, nilai yang dianut, dan kemampuan intelektual

pegawai. Berikut Variabel input perilaku birokrasi pada level individual yang dicakup

dalam model penelitian ini mencakup ini adalah hasil-hasil empiris dari parameter-

parameter tersebut serta analisis penulis yang dikaitkan dengan hasil-hasil studi

literatur.

V.1.1.1. Keragaman

Keragaman dalam model penelitian ini menunjuk pada perbedaan-

perbedaan dalam jenis kelamin, etnis, usia, dan kesempurnaan fisik (jasmani). Hasil-

hasil empiris menunjukkan bahwa pegawai Kantor Dinas Lingkungan Hiidup dan

Kebersihan Kabupaten Mamuju dan Kantor Kelurahan Binanga relatif beragam

dalam hal etnis dan usia, tetapi relatif homogen dalam jenis kelamin dan

kesempurnaan fisik (jasmani).

Keragaman pegawai menurut jenis kelamin di Kantor Dinas Lingkungan

Hidup dan Kebersihan Kabupaten Mamuju dari 50 orang pegawai yang ada,

sebanyak 40% adalah laki-laki, dan 60% perempuan. Begitu pula di Kantor

Kelurahan Binanga dari 59 orang pegawai 40% adalah laki-laki, dan 60% berjenis

kelamin perempuan, itupun sudah termasuk tenaga kontrak laki-laki dan perempuan.

Hal ini menunjukkan bahwa meskipun ada pegawai laki-laki dan perempuan, tetapi

88
jumlah pegawai perempuan dominan. Dengan kata lain, keragaman pegawai PNS

menurut jenis kelamin di kedua organisasi tersebut relatif rendah. Keadaan ini terkait

semata-mata dengan hasil seleksi pegawai yang ketat menurut prosedur seleksi

nasional. Informan penelitian mengatakan:

“Tidak ada penentuan untuk jenis kelamin tertentu dalam proses penerimaan
calon pegawai di Kantor Dinas Lingkungan Hidup dan Kebersihan. Dalam
spesifikasi jabatan dan analisis jabatan, tidak ada jabatan di Kantor Dinas
Lingkungan Hidup dan Kebersihan yang mensyaratkan calon laki-laki ataupun
sebaliknya calon perempuan.” (wawancara dengan HD, tanggal 02 Mei 2019).

“OPD manapun di Mamuju ini tidak ada yang bisa menentukan jenis kelamin
tertentu dalam proses perekrutan pegawai negeri sipil, mau laki-laki atau
perempuan karena itu sudah kebijakan dari pemerintah pusat. Apalagi Pegawai
yang ada di Kelurahan Binanga ini yaa saya sebagai Lurah terima-terima saja
siapa yang di rolling lagi kesini” (wawancara dengan IR, tanggal 09 Mei 2019)

Proporsi pegawai perempuan yang relatif besar dalam struktur jabatan level

bawah di Kantor Dinas Lingkungan Hidup dan Kebersihan serta Kelurahan Binanga

adalah terkait dengan struktur kepangkatan.

Meskipun ada inkonsistensi antara proporsi pegawai perempuan terhadap

keseluruhan pegawai di satu sisi, dengan proporsi pegawai perempuan yang

menduduki jabatan struktural di sisi lain, namun selama ini tidak ada kritik atau

sorotan negatif tentang hal tersebut. Informan penelitian mengatakan:

“Sudah seperti itu prosedur yang ditetapkan Saya sendiri bersyukur bahwa di
antara sekian banyak perempuan yang mengikuti seleksi masuk calon pegawai
di Kabupaten Mamuju pada saat itu saya bisa lolos. Perempuan lainnya kalau
mau meningkatkan keahlian dan keterampilannya bisa saja masuk menjadi calon
pegawai di sini.” (wawancara dengan SHR, tanggal 09 Mei 2019)

Dari hasil pengamatan penulis bahwa tidak ada perbedaan yang terlalu

signifikan ketika yang melaksanakan program kepada masyarakat adalah pegawai

89
yang berjenis kelamin laki-laki maupun yang berjenis kelamin perempuan. Informan

penelitian mengatakan:

“Yah saya rasa tidak ada perbedaan yang mencolok kalau kita dilayani disini
baik yang melayani itu laki-laki atau perempuan. Saya rasa sama saja, apalagi
tidak semua pegawai perempuan yang bertugas yang mengetahui tentang
pengelolaan sampah.” (wawancara dengan MKD, tanggal 10 Mei 2019)

Pelaksanaan program yang dilakukan oleh pegawai perempuan dan laki-laki

dilaksanakan dengan mengacu pada SOP yang telah ditetapkan. Pegawai

perempuan dalam pelaksanaan program, tampaknya perilaku mereka tidak jauh

berbeda dengan perilaku pegawai laki-laki. Baik laki-laki maupun perempuan

memiliki etika dan moral tinggi serta tanggung jawab, hebat dalam melaksanakan

program. Namun perbedaan pegawai perempuan jika dibandingkan dengan pegawai

laki-laki sebagai aparat pelaksana program, adalah pegawai perempuan diduga

lebih tertutup, sungkan berterus terang dan agak pemalu dalam memberikan

informasi terkait informasi pelaksanaan program tersebut.

Berbeda dengan jenis kelamin, keragaman pegawai Kantor Dinas

Lingkungan Hidup dan Kebersihan serta Kantor Kelurahan Binanga dari segi etnis

relatif tinggi. Pegawai yang ada di dua organisasi tersebut mencakup warganegara

Indonesia yang berasal dari berbagai etnis di Sulawesi Barat maupun dari luar

Sulawesi Barat. Penulis tidak memperoleh informasi perihal asal etnis pegawai

secara keseluruhan namun informan penelitian mengatakan bahwa:

“Pegawai Kantor Dinas Lingkungan Hidup dan Kebersihan Kabupaten Mamuju


ada yang berasal dari etnis Asli Mamuju, yakni Suku Mandar, ada juga dari etnis
di luar Sulawesi Barat seperti Toraja, Bugis/Makassar, Jawa, Bali dan lainnya.
Pegawai di sini sangat beragam etnis.” (wawancara dengan HD, tanggal 02 Mei
2019).

90
Keragaman etnis pegawai Kantor Dinas Lingkungan Hidup dan Kebersihan

Kabupaten Mamuju seperti yang diidentifikasi oleh informan penelitian di atas

tergambar juga dalam pemangkuan jabatan struktural. Para pemangku jabatan

struktural di Kantor Dinas Lingkungan Hidup dan Kebersihan Kabupaten Mamuju

mulai dari pimpinan tertinggi sampai pimpinan level bawah adalah warganegara

Indonesia yang berasal dari beragam etnis baik dari Sulawesi Barat itu sendiri

maupun dari luar Sulawesi Barat.

Keragaman etnis pegawai di Kantor Dinas Lingkungan Hidup dan Kebersihan

Kabupaten Mamuju secara umum, maupun secara khusus dalam pemangkuan

jabatan, bukan suatu rekayasa teknis administratif dalam rekrutmen pegawai tetapi

suatu hasil seleksi yang ketat. Prosedur penerimaan pegawai di Kantor Dinas

Lingkungan Hidup dan Kebersihan Kabupaten Mamuju dan Kantor Kelurahan

Binanga mengacu kepada proses seleksi nasional yang memberikan kesempatan

kepada seluruh warganegara Indonesia yang memenuhi persyaratan obyektif di luar

etnis. Selanjutnya, pencapaian pangkat dan golongan yang menjadi syarat obyektif

pemangkuan jabatan juga terkait erat dengan hasil-hasil rekrutmen calon pegawai

yang dimaksudkan. Informan penelitian mengatakan bahwa:

“Tidak ada batasan etnis dalam penerimaan calon pegawai di Kantor DLHK
Kabupaten Mamuju. Baik dalam spesifikasi jabatan maupun analisis jabatan
Kantor DLHK Kabupaten Mamuju, tidak ada jabatan yang mensyaratkan etnis.
Warganegara yang memenuhi persyaratan dari seluruh wilayah Negara
Kesatuan Republik Indonesia dapat mendaftarkan diri dan mengikuti seleksi.
Demikian juga dengan usulan kenaikan pangkat pegawai, tidak memandang asal
etnis, semua yang memenuhi persyaratan diusulkan kepada institusi yang
berwenang oleh Sub Bagian Kepegawaian.” (wawancara dengan HD, tanggal 02
Mei 2019).

91
Tingginya keragaman etnis Kantor DLHK Kabupaten Mamuju dan Kantor

Kelurahan Binanga tidak menjadi alasan-alasan yang dapat menimbulkan adanya

kelompok-kelompok kecil yang dapat menghambat kelancaran komunikasi sosial

dalam pelaksanaan program di kantor tersebut. Informan penelitian mengatakan

sebagai berikut:

“Pegawai di kantor ini berasal dari beragam etnis tetapi tidak ada kendala
dengan kondisi itu, tidak menjadi alasan untuk tidak membina hubungan kerja
yang baik dengan rekan kerja. Seperti saya ini orang Makassar tetapi bisa
menjadi Kepala Dinas di Mamuju, itu menandakan bahwa saya bisa kerja sama
dengan etnis-etnis yang lain” (wawancara dengan HD, tanggal 02 Mei 2019).

Dari hasil observasi penulis, Pegawai di DLHK Kabupaten Mamuju dan

Kantor Kelurahan Binanga etnis Mamuju dalam hal ini Suku Mandar, budaya kerja

etnis ini sangat positif berkaitan dengan budaya kerja keadilan dan keterbukaan

kreatif, egaliter, dan terbuka menerima kritikan. Sikap kreatifitas dan terbuka

menerima kritikan ini sangat mendukung bagi perwujudan keterbukaan atau

transparansi. Pada Kantor DLHK Kabupaten Mamuju dan Kantor Kelurahan Binanga

yang berkaitan dengan pelaksanaan program dimana pegawai pada Kantor DLHK

Kabupaten Mamuju dan Kantor Kelurahan Binanga adalah mayoritas berasal etnis

Mandar/Mamuju, telah terdapat berbagai bentuk pengumuman-pengumuman

mengenai pelaksanaan program yang diinisiasi oleh Kepala Kantor yang berasal dari

Suku Bugis/Makassar yang cukup kreatif sehingga dapat memudahkan pengguna

jasa pelaksanaan program. Dalam hal kedisiplinan pegawai yang berasal dari Etnis

Mandar/Mamuju, cenderung kurang disiplin. Hal ini tercermin dari jam datang

pegawai yang beretnis Mandar/Mamuju yang biasanya datang terlambat ke kantor.

Dan juga masih terdapat pegawai yang tingkat kehadirannya masih rendah.

92
Berkaitan dengan terbuka menerima kritikan ini terlihat para pejabat dan

pegawai staf pada objek penelitian maka pegawai etnis Sulawesi Barat yakni Suku

Mandar dan Suku Mandar/Mamuju pada umumnya mampu berekspresi dan terbuka

dalam menanggapi kritikan dari berbagai pihak. Sedangkan egaliter mendukung

budaya kerja keadilan karena budaya kerja ini mampu memperlakukan berbagai

pihak tanpa memandang status sosial kemasyarakatan. Namun dalam

kecendrungan budaya kerja negatif yaitu menunda pekerjaan dan mudah bosan, ini

adalah bentuk budaya kerja yang dapat menghambat membangun masyarakat

madani dan demokrasi. Dalam pelaksanaan program ada kesan pegawai etnis

Mamuju yakni Suku Mandar/Mamuju kurang cepat merespon atau cenderung sedikit

santai menghadapi keperluan masyarakat. Disamping itu, dalam mengerjakan suatu

pekerjaan yang membutuhkan jangka waktu panjang mereka cenderung agak

merasa bosan, misalnya dalam rapat-rapat atau pertemuan-pertemuan ingin segera

selesai, mereka cenderung mudah bosan karena menginginkan ada variasi dalam

kegiatan pekerjaan.

Dalam konteks pegawai etnis Jawa, bentuk budaya kerja yang berhubungan

budaya kerja keadilan dan keterbukaan yang bernuansa positif adalah loyal dan

patuh, teliti dan sopan. Sehingga dalam pelaksanaan program merasa cenderung

terlihat lebih sopan daripada etnis Mandar/Mamuju dan etnis Bugis/Makassar dan

Toraja termasuk dalam konteks hubungan atasan – bawahan ataupun dengan rekan

sejawat. Mempunyai loyalitas dan kepatuhan pelaksanaan kerja yang dapat

memberikan dukungan aktifitas dan produktifas penyelenggaraan pemerintahan

daerah. Disamping itu cenderung mengerjakan pekerjaan secara teliti sehingga

93
sesuatu pekerjaan dikerjakan diupayakan dalam keadaan sempurna. Namun dalam

konteks aspek budaya kerja bernuansa negatif cenderung manajemen tertutup,

kurang kritis dan paternalistik. Keadaan dapat mempengaruhi perwujudan budaya

kerja keadilan dan keterbukaan, sebab sikap manajemen terutup dan kurang kritis

mempengaruhi aspek transparansi, sedangkan paternalistik dapat mempengaruh

budaya kerja keadilan, karena budaya kerja ini cenderung mengikuti dan menunggu

arahan pimpinan atau atasan dalam mengerjakan sesuatu. Untuk tingkat disiplin

pegawai yang beretnis jawa merupakan pegawai yang tingkat disiplinnya paling

tinggi. Hal ini tercermin dari pegawai yang berasal dari suku jawa cenderung tepat

waktu datang ke kantor. Serta tepat waktu dalam menyelesaikan pekerjaannya.

Budaya kerja pegawai etnis Mandar/Mamuju, Mandar/Majene, Toraja dan

Bugis/Makassar bernuansa positif yaitu; tegas, berani, terbuka menerima kritikan

tapi cendrung emosional, budaya kerja ini dapat mendukung budaya kerja keadilan

dan keterbukaan dalam membangun masyarakat madani dan demokrasi.

Sedangkan yang bernuansa negatif cenderung emosional, keras hati, primodialisme.

Keadaan menyebabkan adanya anggapan dari etnis – etnis lainnya bahwa pegawai

etnis Bugis/Makassar terkesan keras dan tegas. Disamping mempunyai rasa ikatan

primodialisme yang kuat menyebabkan adanya pendekatan pelaksanaan tugas

mempengaruhi budaya kerja keadilan. Berkaitan dengan primodialisme ini menurut

Bart (1988) orang yang cenderung bersikap primodial adalah budaya kerja yang

dapat membuat individu atau kelompok memiliki sikap etnosentrisme, yaitu suatu

sikap yang cenderung bersifat subyektif dalam memandang budaya orang lain.

Mereka akan selalu memandang budaya orang lain dari kacamata budayanya. Hal

94
ini terjadi karena nilai-nilaiyang telah tersosialisasi sejak kecil sudah menjadi nilai

yang mendarah daging (internalized value) dan sangatlah susah untuk mengubah

dan cenderung dipertahankan bila nilai itu sangat menguntungkan bagi dirinya. Oleh

sebab itu, perlu membentuk suatu model perpaduan budaya etnis yang positif

dengan budaya kerja yang ditetapkan Pemerintah, serta budaya kerja berdasarkan

ajaran agama guna membangun masyarakat madani yang demokratis. Sebab suatu

budaya kerja tanpa adanya mengadopsi nilai-nilai yang terdapat dalam ajaran

agama dapat menyebabkan budaya kerja yang diformulasikan menjadi “kering” atau

kurangnya daya dorong untuk mewujudkannya. Penggalian dan penelusuran lebih

mendalam budaya etnis untuk diwujudkan sebagai bentuk budaya pemerintah

daerah sangat penting. Disamping itu penting perpaduan budaya kerja ini karena

setiap daerah mempunyai keunikkan lokal yang disebabkan perbedaan kebergaman

penduduk yang berada di suatu daerah tersebut.

Untuk tingkat disiplin pegawai yang berasal dari Suku Bugis/Makassar tingkat

disiplinya berada pada tingkat sedang-sedang. Hal ini tercermin walapun pegawai

yang berasal dari Suku Bugis/Makassar tepat waktu ketika datang ke kantor, akan

tetapi ketika menyelesaikan pekerjaan cenderung kurang tepat waktu.

Aspek demografis dalam bentuk kesempurnaan fisik pegawai Kantor DLHK

Kabupaten Mamuju relatif homogen, tidak ada perbedaan-perbedaan yang

menonjol. Kesempurnaan fisik dimaksud adalah tidak adanya cacat anggota badan

yang bersifat menonjol, seperti tuna wicara, tuna netra, tuna rungu dan sebagainya.

95
Hasil pengamatan penulis, tidak ada pegawai di kantor tersebut yang

mempunyai cacat anggota badan dimaksud. Demikian juga penjelasan informan

penelitian:

“Tidak ada pegawai Kantor DLHK Kabupaten Mamuju yang menyandang cacat
fisik seperti buta, bisu, tuli, ataupun yang cacat karena kehilangan anggota
badan seperti tangan dan kaki. Semua pegawai di sini normal dari segi
kesempurnaan fisik. Gagah-gagah dan cantik-cantik ji tawwa” (wawancara
dengan HD, tanggal 02 Mei 2019).

Keragaman demografis pegawai dalam bentuk jenis kelamin, etnis, usia,

dan kesempurnaan fisik (jasmani) yang diuraikan di atas diidentifikasi oleh Robbins

and Judge (2013) sebagai keragaman pada level yang tampak di permukaan

(surface level diversity). Hasil empiris menunjukkan bahwa keragaman demografis

pegawai Kantor DLHK Kabupaten Mamuju dan Kantor Kelurahan Binanga relatif

rendah, hanya dalam aspek-aspek etnis dan usia saja yang cukup menonjol,

sedangkan dalam aspek-aspek jenis kelamin dan kesempurnaan fisik relatif

homogen. Literatur teoritis dan empiris (Robbins and Judge, 2013; Bashir et al.,

2011; Amangala, 2013; dan Mahnaz et al., 2014) masih inkonsisten dalam hal efek

potensial dari keragaman demografis tersebut terhadap kinerja.

V.1.1.2. Nilai yang Dianut Pegawai

Nilai dalam model penelitian ini menunjuk kepada nilai akhir (terminal

values), dan nilai instrumental (instrumental values), yang diinginkan secara sosial

oleh pegawai dan Petugas kebersihan. Nilai akhir adalah tujuan yang ingin

direalisasikan oleh pegawai selama masa karirnya. Contoh: kesenangan (foya-foya),

respek diri, kesinambungan jabatan, kebebasan, kesetaraan, dan kebahagiaan

keluarga. Nilai instrumental adalah cara berperilaku atau sarana yang lebih

96
diinginkan oleh pegawai untuk mencapai tujuan tersebut. Contoh: jujur, patuh,

bertanggung jawab, dan independen. Kedua nilai tersebut saling terkait: sebagai

contoh, untuk merealisasikan respek diri diperlukan kejujuran dan tanggung jawab.

Perihal nilai akhir (terminal values) yang dianut oleh pegawai Kantor DLHK

Kabupaten Mamuju dan Kantor Kelurahan Binanga, hasil-hasil empiris menunjukkan

ada perbedaan menurut level jabatan pegawai. Pegawai level bawah, yang belum

menduduki suatu jabatan struktural, cenderung menginginkan kesejahteraan

ekonomik (kemakmuran). Informan penelitian mengatakan sebagai berikut:

“Kesejahteraan ekonomi dan kesetaraan perlakuan yang paling utama. Dari


keduanya, yang lebih utama adalah kesejahteraan ekonomi, kita tidak munafik
yaa kalua memang kita butuh uang. Kita jadi pegawai negeri terutama karena
ingin hidup sejahtera dengan mendapatkan gaji yang bersifat tetap setiap bulan
dan untuk menikmati masa pensiun di masa tua”. (wawancara dengan AMR,
tanggal 03 Mei 2019).
Data di atas menunjukkan bahwa kesejahteraan ekonomi merupakan nilai

yang utama atau yang menempati hirarki atas dalam system nilai yang dianut

pegawai level bawah. Pekerjaan di sektor non pemerintah (non pegawai), meskipun

ada yang menyediakan insentif yang lebih besar dibandingkan dengan di jabatan

dalam pemerintahan, namun dianggap kurang berkepastian. Informan penelitian

mengatakan:

“Kita pegawai negeri ini masih bisa tetap terima gaji walaupun sakit seminggu
dua minggu, bahkan bulanan, jaminan kesejahteraan kita tetap aman, tapi kalau
di swasta kita dapat imbalan selagi kita produktif dan itu menunjukkan kita
berbeda”. (wawancara dengan FHR, tanggal 08 Mei 2019).
Pengutamaan nilai kesejahteraan bagi pegawai level bawah dapat dipahami

dari aspek hirarki motivasi. Kita ketahui bahwa kebutuhan-kebutuhan level bawah

yang belum terpuaskan cenderung lebih memotivasi ketimbang kebutuhan level

97
atas. Kesejahteraan ekonomi diutamakan oleh banyak pegawai level bawah karena

saat ini masih merasa kurang menikmati kesejahteraan. Informan penelitian

mengatakan:

“Kita memerlukan perbaikan-perbaikan secara konsisten dalam sistem


kesejahteraan pegawai negeri, khususnya tunjangan atau insentif.” (wawancara
dengan FHR, tanggal 08 Mei 2019).

Bagi pegawai yang menduduki jabatan struktural level bawah dan

menengah, nilai yang diutamakan adalah pengakuan sosial di tempat kerja di

samping kesejahteraan ekonomik. Di antara keduanya, yang lebih diutamakan

adalah pengakuan sosial di tempat kerja. Informan penelitian mengatakan:

“Pengakuan sosial di tempat kerja yang paling utama. Memang, kebanyakan


pegawai negeri mengutamakan pencapaian kesejahteraan hidup sampai
memasuki masa pensiun. Tapi dengan adanya perbaikan gaji dan tunjangan
jabatan yang terus dilakukan oleh pemerintah daerah, permasalahan
kesejahteraan hidup sudah dapat diatasi dengan melakukan penghematan-
penghematan. Saat ini yang lebih diperlukan adalah bagaimana para pembuat
keputusan dan kebijakan di level atas memberikan pengakuan sosial kepada
pegawai melalui penggajian berbasis kinerja, bukan hanya berbasis senioritas”.
(wawancara dengan AMR, tanggal 03 Mei 2019).

Berdasarkan Data diatas menunjukkan bahwa adanya pengutamaan nilai

pengakuan sosial di tempat kerja di atas nilai kesejahteraan ekonomik. Hal ini

dikarenakan di satu sisi pegawai negeri yang menduduki jabatan struktural

mempunyai penghasilan yang lebih baik dibandingkan pegawai level bawahnya. Di

sisi lain, pegawai negeri yang menduduki jabatan struktural saat ini masih

merasakan keganjalan berkenan dengan penghargaan atas kapabilitas dan kinerja

yang kurang proporsional. Informan penelitian mengatakan sebagai berikut:

“Masih kurang pengakuan sosial di tempat kerja kepada pegawai. Penggajian


masih senioritas, makin tinggi golongan dan masa kerja, makin banyak gajinya,
padahal kinerja tugas di kantor seringkali tidak berbanding lurus. Kita harapkan

98
ada perbaikan dalam system pengakuan sosial terhadap pegawai yang
berkinerja tinggi”. (wawancara dengan AMR, tanggal 03 Mei 2019)

Di luar kesejahteraan ekonomi dan pengakuan sosial di tempat kerja,

pegawai di Kantor DLHK Kabupaten Mamuju dan Kantor Kelurahan Binanga secara

umum menginginkan respek diri. Pegawai pada umumnya berharap untuk

memperoleh rasa hormat dan simpati dari sesama pegawai. Informan penelitian

mengatakan:

“Kita semua memerlukan kehormatan diri di mana rekan kerja dan orang lain
bukan sekedar tertarik dan kagum karena hal-hal yang dilihat secara sekilas
saja, tapi karena mengetahui pribadi dan melihat perbuatan sehari-hari serta
kemampuan di tempat kerja maupun di lingkungan yang lebih luas. (wawancara
HRM, petugas operator fukuda, tanggal 15 Mei 2019).

Seperti halnya nilai akhir (terminal values) tersebut di atas, nilai instrumental

(instrumental values) yang dianut oleh pegawai Kantor DLHK Kabupaten Mamuju

dan Kantor Kelurahan Binanga juga ada perbedaan menurut level jabatan. Pegawai

level bawah cenderung mengutamakan tanggung jawab, kejujuran dan independensi

(ketidakberpihakan pada pribadi). Informan penelitian mengatakan sebagai berikut

“Pegawai negeri yang ada di Kabupaten Mamuju dimanapun OPDnya perlu lebih
menunjukkan tingkat tanggung jawab yang tinggi, melaksanakan kepercayaan
yang diberikan secara jujur, dan independen atau tidak berpihak pada pribadi
atasan yang menyimpang dari peraturan organisasi.” (wawancara dengan IR,
tanggal 09 Mei 2019).

Pentingnya pegawai mengutamakan tanggung jawab, kejujuran dan

independensi adalah karena ketiganya merupakan kunci utama bagi respek diri.

Informan penelitian mengatakan sebagai berikut:

“Kalau kita bisa bekerja dengan penuh tanggung jawab dan jujur, maka kita pasti
akan mendapatkan penilaian yang baik dari atasan, selanjutnya dapat
diprioritaskan dalam promosi jabatan, dan setelah menduduki jabatan kita bisa
lebih sejahtera.” (wawancara dengan HD, tanggal 02 Mei 2019)

99
Berbeda dengan pegawai level bawahan, nilai instrumental yang diutamakan

oleh pegawai level menengah di Kantor DLHK Kabupaten Mamuju adalah

kapabilitas, ambisi, dan keberanian (keteguhan hati). Informan penelitian

mengatakan bahwa

“Kita perlu mempunyai kapabilitas perencanaan dan implementasi program,


perlu memiliki ambisi untuk lebih maju dengan cara-cara yang spektakuler, dan
keberanian untuk membuat terobosan-terobosan dalam pelaksanaan program
Mamuju mapaccing ini”. (wawancara, AMR, tanggal 03 Mei 2019).

Pengutamaan terhadap nilai-nilai instrumental kapabilitas, ambisi, dan

keberanian dikarenakan ketiganya dianggap sebagai cara untuk meraih kemajuan

dan memenangkan kompetisi jabatan. Informan penelitian mengatakan bahwa:

“Persaingan saat ini ketat, kalau kita tidak mempunyai kapabilitas perencanaan
dan implementasi program, memiliki ambisi untuk lebih maju dengan cara-cara
yang spektakuler, dan keberanian untuk membuat terobosan-terobosan dalam
pelaksanaan program, sangat sulit bagi kita untuk memenangkan persaingan.”
(wawancara FHR, tanggal 08 Mei 2019).

Berdasarkan uraian tersebut di atas, nilai-nilai akhir (terminal values) yang

secara kuat dianut oleh pegawai Kantor DLHK Kabupaten Mamuju dan Kantor

Kelurahan Binanga adalah kesejahteraan ekonomi (kemakmuran), kesetaraan

perlakuan, pengakuan sosial di tempat kerja, dan respek diri. Nilai-nilai instrumental

(instrumental values) yang secara kuat dianut oleh pegawai Kantor DLHK

Kabupaten Mamuju dan Kantor Kelurahan Binanga adalah tanggung jawab,

kejujuran, independensi (ketidakberpihakan pada pribadi), kapabilitas, ambisi, dan

keberanian. Namun, intensitas atau hirarki dari nilai-nilai tersebut berbeda antara

pegawai bawahan dan atasan. Pegawai bawahan mengutamakan kesejahteraan

ekonomik (kemakmuran), kesetaraan perlakuan, dan respek diri. Sarananya

(instrumennya) adalah tanggung jawab, kejujuran, dan independensi. Pegawai

100
atasan mengutamakan pengakuan sosial di tempat kerja, kesejahteraan ekonomik

(kemakmuran), dan respek diri. Sarananya adalah kapabilitas, ambisi, dan

keberanian. Untuk lebih jelasnya perbedaan dimaksud dapat dilihat pada tabel

berikut.

Tabel.V.1

Hirarki nilai utama yang dianut pegawai di Kantor DLHK Kabupaten Mamuju

dan Kantor Kelurahan Binanga.

PEGAWAI BAWAHAN PEGAWAI ATASAN

Nilai Nilai
Nilai Akhir Nilai Akhir
Instrumental Instrumental
Kesejahteraan
ekonomi Tanggung jawab Pengakuan Sosial
Kapabilitas
Kesetaraan Kejujuran Kesejahteraan ekonomi Ambisi
perlakuan Independensi Resek diri. Keberanian
Respek diri
Sumber data: Diringkas dari hasil wawancara dengan beberapa informan.

Nilai-nilai akhir (terminal values) maupun nilai-nilai instrumental (instrumental

values) yang secara kuat dianut oleh pegawai Kantor DLHK Kabupaten Mamuju dan

Kantor Kelurahan Binanga mencakup nilai-nilai umum yang dianut juga oleh

masyarakat lainnya sebagaimana dibahas dalam literatur teoritis dan empiris.

Kesejahteraan (kemakmuran), kesetaraan perlakuan, pengakuan sosial, dan respek

diri, tanggung jawab, kejujuran, independensi, kapabilitas, ambisi, dan keberanian,

demikian juga dengan adanya perbedaan hirarki atau intensitas nilai yang dianut,

telah dibahas dalam model perilaku organisasi dari Robbins and Judge (2013). Nilai-

nilai kesetaraan, pengakuan, kapabilitas, tanggung jawab, ambisi dan keberanian

101
telah dibahas juga dalam model organisasi organik dari Tom Burns and G. M.

Stalker di akhir tahun 1950an. Seluruhnya merupakan nilai-nilai rasional dalam

organisasi system terbuka yang diperlukan untuk menjawab kemajuan-kemajuan

dan perubahan-perubahan lingkungan yang pesat. Hal ini berarti pula bahwa nilai-

nilai yang rasional telah dimiliki juga oleh pegawai di Kantor DLHK Kabupaten

Mamuju dan pegawai Kantor Kelurahan Binanga meskipun dengan perbedaan

intensitas di antara level jabatan yang berbeda.

Meski demikian di kalangan sebagian pegawai dan Petugas yang ada

dilapangan ada suatu sikap pragmatis terhadap nilai instrumental yang tidak selaras

dengan nilai-nilai umum tersebut di atas. Sikap pragmatis yang dimaksudkan adalah

pandangan bahwa menerima sesuatu imbalan dari pelaksanaan tugas atau

pengangkutan sampah dalam hal pelakasanaan program gerakan Mamuju

Mapaccing bukanlah hal yang salah. Informan penelitian mengatakan sebagai

berikut:

“Saya kira tidak terlalu menjadi masalah jika petugas menerima sesuatu
pemberian atau hadiah berkenaan dengan pelaksanaan tugasnya. Yang penting
tidak dengan sengaja meminta atau menentukan tarif tertentu yang tidak resmi.
Kalau kita sudah memberikan pelayanan dan klien merasa senang sehingga
ikhlas memberikan sesuatu ya itu kan waja-rwajar saja. Memang dalam
peraturan itu merupakan larangan”. (wawancara dengan HRM, tanggal 15 Mei
2019)

Bagi penulis, kebiasaan atau kecenderungan sebagian petugas dilapangan

atau pegawai untuk menghubungkan pengelolaan sampah dengan imbalan dari

pelanggan adalah hal yang salah secara normatif. Sangat melarang petugas

ataupun pegawai untuk menerima sesuatu pemberian atau hadiah yang patut atau

dapat diduga ada kaitanya dengan pekerjaan ataupun jabatannya. Sikap pandangan

102
sebagian petugas dan pegawai bahwa menerima pemberian dari pelanggan yang

ikhlas bukan hal yang salah di lokasi penelitian ini menunjukkan adanya nilai

pragmatis yang perlu dibatasi dengan peraturan-peraturan formal.

V.1.1.3. Kepribadian

Kepribadian pegawai dalam model penelitian ini mencakup penalaran dan

pemecahan masalah. Kedua perangkat kemampuan intelektual tersebut sangatlah

diperlukan untuk dapat berkinerja secara sukses. Dalam penelitian ini, penulis

mencoba menginvestigasi kemampuan intelektual pegawai dari parameter

pendidikan formal dan kemampuan aktual. Kedua parameter ini penting untuk

diinvestigasi karena, menurut Riggs (2006, 1996), bahwa di negara-negara

berkembang selalu terdapat kesenjangan yang lebar antara yang formal dengan

yang aktual, termasuk dalam parameter pendidikan.

Keadaan tersebut memberikan suatu gambaran tentang input perilaku yang

berkualitas rendah, khususnya dilihat dari pendidikan formal. Oleh karena

pendidikan merupakan kunci bagi pengembangan ilmu dan teknologi serta vitalitas

budaya (Chimombo, 2005) maka dengan dominannya pegawai dan petugas yang

berpendidikan rendah di Kantor DLHK Kabupaten Mamuju dan Kantor Kelurahan

Binanga sudah tentu akan muncul kendala-kendala berkenaan dengan penerapan

metode ilmiah dan tenologi baru serta introduksi nilai-nilai budaya kerja yang

dianggap vital bagi kinerja pegawai yang cemerlang. Selanjutnya, dengan kondisi di

atas maka kinerja organisasi atau kinerja birokrat secara umum dalam pelaksanaan

program Mamuju Mapaccing juga akan mengalami kendala. Ditegaskan oleh

Haryono (2004) bahwa kinerja perorangan yang baik merupakan basis dari kinerja

103
organisasi yang baik. Kinerja organisasi tidak pernah akan terwujud, tergambarkan

atau terealisir tanpa melihat terselenggaranya kinerja tingkah laku baik seseorang

secara nyata dan konsisten.

Pegawai yang mempunyai latar belakang pendidikan akademik level diploma

dan sarjana di Kantor DLHK Kabupaten Mamuju dan Kantor Kelurahan Binanga

tidak seluruhnya mempunyai kemampuan intelektual yang proporsional dengan level

pendidikan formalnya. Sebagian pegawai tidak mempunyai kemampuan penalaran

dan pemecahan masalah sebagaimana yang diprediksikan dari level pendidikannya.

Informan penelitian mengatakan bahwa:

“Ada pegawai berpendidikan S1 dengan masa kerja sekian tahun namun tidak
mampu melaksanakan program gerakan Mamuju Mapaccing secara benar.
Meskipun sebelumnya saya sudah berikan contoh, dan sudah diberikan koreksi
untuk kegiatan tertentu, tetapi ketika melaksanakan konsep kegiatan dengan
perihal berbeda, tetap saja kelihatan bahwa kemampuannya rendah, jadi saya
artikan bahwa kemampuan penalarannya rendah.” (wawancara dengan HD,
tanggal 02 Mei 2019)
Kemampuan penalaran yang rendah dari pegawai tergambar juga dalam

pelaksanaan program. Terdapat pegawai yang menduduki jabatan struktural level

bawah (Staf) dan level menengah (Kepala Seksi) yang tidak mampu melaksanakan

kegiatan yang diinstruksikan dari atasan. Informan penelitian mengatakan sebagai

berikut:

“Kadang dilapangan itu ada pegawai dan petugas yang keliru memberikan
informasi kepada masyarakat tentang pengelolaan sampah yang baik dan
benar”. (wawancara tanggal FHR 08 Mei 2019).

Petugas yang ada dilapangan, termasuk yang mempunyai latar belakang

pendidikan akademik level SMA dan Sarjana, tidak seluruhnya mempunyai

104
kemampuan pemecahan masalah yang diharapkan. Informan penelitian mengatakan

bahwa:

“Kepala Dinas sudah menginstruksikan agar dalam penyelesaian permasalahan


persampahan di Kabupaten Mamuju mengutamakan pola sosialisasi dan
mediasi yang sudah dilakukan kepada masyarakat sebagai cara terbaik dalam
membantu penyelesaian masalah mengenai pengelolaan sampah di Kabupaten
Mamuju. Namun, penerapan pola belum optimal dalam penanganan masalah
tersebut dikarenakan usulan program yang ada masih menekankan pola lama.
Maksudnya, ada atau tidaknya program ini kami tetap melaksanakan tugas kita
sebagai pegelolah sampah dan kebersihan di Kabupaten Mamuju” (wawancara
FHR, tanggal 08 Mei 2019).

Program gerakan Mamuju Mapaccing ini adalah hal kebaruan dalam

pemecahan masalah pengelolaan sampah di Kabupaten Mamuju yang canangkan

oleh Bupati Mamuju. Di Kantor DLHK Kabupaten Mamuju dan Kantor Kelurahan

Binanga sebagai pelaksana program tersebut belum optimal dikarenakan masih

sangat kurangnya sarana dan prasarana, seperti armada dan sumber daya manusia

yang kurangnya kemampuan dalam pemecahan masalah yang dimiliki oleh pegawai

dan petugas di lapangan pada khususnya. Informan penelitian mengatakan sebagai

berikut:

“Pola sosialisasi dan mediasi dalam membantu penyelesaian masalah


pengelolaan sampah masih kurang optimal dikarenakan lemahnya keterampilan
pemecahan masalah yang dimiliki pegawai dan petugas dilapangan untuk
memahami dan menangani serta membangun komonikasi yang baik dengan
masyarakat masih sangat kurang. Akibatnya, kadang kami masih mendapatkan
complain dan kritikan dari masyarakat maupun dari lembaga-lembaga pemuda
dan swadaya masyarakat”. (wawancara dengan FHR, tanggal 08 Mei 2019).

Terjadinya kesenjangan antara pemilikan pendidikan formal dengan

kemampuan aktual pegawai, khususnya dilihat dari kemampuan pemecahan

masalah mengenai pengelolaan sampah, disebabkan terutama oleh bidang

105
keilmuan yang dimiliki dengan sifat permasalahan yang ada di lapangan. Informan

penelitian mengatakan bahwa:

“Petugas yang ada sekarang yang berpendidikan paling tinggi itu sma.
Sementara para pejabat yang membidangi pengelolaan sampah sebagian besar
sarjana ekonomi dan sarjana pendidikan. Jadi ketika penyelesaian masalah
seperti kesalahpahaman masyarakat tentang pengelolaan sampah mereka
masih kurang dibidang keilmuannya masih dibawah standarlah. Sekarang,
dengan sosialisai dan mediasi, yang diperlukan adalah keterampilan menjalin
hubungan kemanusiaan atau keterampilan antar pribadi”. (wawancara HD
tanggal 02 Mei 2019).

Usaha pimpinan di Kantor DLHK Kabuaten Mamuju untuk mengatasi

kesenjangan kemampuan intelektual tersebut di atas telah dilakukan namun sampai

saat ini belum membuahkan hasil yang lebih nyata dikarenakan formasi pegawai

yang sudah ditentukan dari Badan Kepegawaian Daerah itu sendiri. Informan

penelitian mengatakan sebagai berikut:

“Selaku perangkat daerah di Kabupaten, kami sudah menyampaikan secara


lisan dalam pertemuan-pertemuan di ruang pola agar mutasi pegawai ke depan
lebih memperhatikan isu-isu strategis bidang penyelesain masalah seperti
pengelolaan sampah. Namun, dalam beberapa tahun terakhir ini memang belum
ada mutasi pegawai”. (wawancara HD tanggal 02 Mei 2019).

Sementara itu, usaha-usaha jangka pendek untuk meningkatkan kapasitas

intelektual pegawai dan petugas dilapangan berkenaan dengan pemecahan

masalah dan pengelolaan sampah, dihadapkan juga pada kendala teknis anggaran

dan keterbatasan jumlah pegawai dan petugas. Informan penelitian mengatakan

sebagai berikut:

“Usulan untuk pelatihan intensif tentang pemecahan masalah pengelolaan


sampah telah beberapa kali diusulkan namun belum disetujui Bappeda karena
keterbatasan anggaran. Selain itu, secara teknis pelatihan intensif masih sulit
dilakukan karena keterbatasan jumlah pegawai dan petugas, kalau pegawai dan
petugas diikutkan pelatihan intensif, misalnya seminggu, maka tugas-tugas
pengangkutan dan pengelolaan sampah akan terhambat”. (wawancara dengan
HD, tanggal 02 Mei 2019).

106
Sebagaimana kita ketahui bahwa yang terkait dalam suatu organisasi

pemerintah atau pun di instansi lainnya setiap orang mempunyai tugas dan fungsi

serta mempunyai akal dan perasaan serta motivasi. ketika merasa senang bekerja

dengan penuh semangat dan bergairah, dapat dipastikan bahwa tujuan organisasi

tersebut akan semakin mudah tercapai.

Sebab kebaikan dari pada kinerja seorang karyawan salah satunya dapat

terlihat dari riwayat pekerjaannya, yang dimaksud dalam hal ini adalah pengalaman,

namun hal tersebut tidak selalu menjamin kinerja yang lebih baik. Tentu semakin

lama tingkat kompetensi semakin tinggi persaingan dan semakin ketat. Maka

dibutuhkanlah sebuah tingkat pendidikan yang lebih mampu bersaing untuk

memasuki dunia keorganisasian dengan lebih baik. Dengan bertambahnya

pengalaman seorang pegawai dalam dunia kerja, maka akan bertambah pula

pengetahuan, keterampilan, kecakapan dan kecekatan dalam pengabdian kerjanya

di dalam organisasi. Dengan demikian semakin banyak pengalaman kerja

seseorang atau semakin lamanya waktu organisasi tersebut untuk masa bekerja

akan dapat meningkatkan kerja sama atau dengan kata lain akan mempengaruhi

peningkatan kinerja orang yang bersangkutan.

Tentu saja pengalaman memang penting, namun akan lebih optimal jika

diimbangi dengan tingkat pengetahuan yang terus diperbaharui, karena ilmu

pengetahuan terus menerus berkembang, masalah baru, pekerjaan baru selalu

menciptakan kebutuhan baru bagi suatu organisasi. Walaupun pengalaman kerja

merupakan faktor yang penting, namun tingkat pendidikan juga sangat dibutuhkan.

107
Dalam pendidikan akan terdapat proses yang terus menerus berjalan dan

bukan sesaat saja, namun pendidikan juga bisa disebut sebagai usaha untuk

meningkatkan pengetahuan umum seseorang termasuk di dalamnya penguasaan

teori untuk memutuskan persoalan-persoalan yang menyangkut kegiatan

pencapaian tujuan organisasi. Kinerja pegawai yang baik tentu bisa dijadikan salah

satu faktor dasar atau tolak ukur keberhasilan suatu organisasi, dalam hal ini kinerja

pegawai mengambil peran yang sangat penting dalam upaya untuk melaksanakan

tugasnya dengan sebaik-baiknya. Kinerja pegawai dirasakan semakin besar

perannya dalam mewujudkan tugas dan tanggung jawabnya sebagai seorang

aparatur publik, hal ini dikarenakan seorang pegawai adalah faktor penentu dalam

keberhasilan kegiatan -kegiatan yang telah direncanakan yang sekaligus merupakan

sasaran dan tujuan yang hendak dicapai oleh organisasi, sehingga perubahan

kinerja dipengaruhi oleh tingkat pendidikan, pelatihan (Diklat) serta pengalaman

kerja. Peningkatan pengetahuan pegawai di dalam penguasaan teori dan

ketrampilan dimaksudkan untuk memutuskan persoalan-persoalan kegiatan dalam

mencapai tujuan serta menyelesaikan pekerjaan yang telah dilimpahkan pada setiap

pegawai tersebut. Sehingga hal ini bisa meningkatkan kemampuan mereka dalam

bekerja serta pegawai dapat bekerja lebih efektif. Program pendidikan dan pelatihan

bertujuan untuk meningkatkan kemampuan pegawai, dan kinerja pegawai dalam

mencapai sasaran kerja (Handoko2007:103). Salah satu hal yang digunakan untuk

mengukur kemampuan seorang pegawai dilihat dari latar belakang pendidikan

formal disamping kemampuan dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya

Berdasarkan uraian tersebut di atas, tidak memadainya input perilaku berupa

108
kemampuan intelektual di Kantor DLHK Kabupaten Mamuju dan Kantor Kelurahan

Binanga terjadi selain karena sedikitnya pegawai yang berpendidikan tinggi, juga

karena ada kesenjangan antara pemilikan bidang ilmu dengan realitas

permasalahan di lapangan. Instruksi pimpinan untuk menerapkan pola sosialisasi

dan mediasi dalam masalah pengelolaan sampah lebih memerlukan keterampilan

antar pribadi yang ditawarkan oleh jurusan-jurusan dalam rumpun ilmu sosial.

V.1.2. Deskripsi Variabel Proses Perilaku Individu dalam Pelaksanaan Program


Mamuju Mapaccing di Kabupaten Mamuju

Variabel proses perilaku birokrasi pada level individual yang dicakup dalam

model penelitian ini mencakup emosi, motivasi dan pengambilan keputusan. Berikut

ini adalah hasil-hasil empiris dari parameter-parameter tersebut serta analisis

penulis yang dikaitkan dengan hasil-hasil studi literatur

V.1.2.1. Emosi Pegawai

Emosi dalam model penelitian ini menunjuk pada perasaan yang amat kuat

dan biasanya diikuti dengan ekspresi wajah yang berbeda yang diarahkan pada

seseorang atau pada sesuatu seperti marah kepada seseorang, senang/benci

kepada seseorang, atau takut kepada sesuatu. Emosi diperlukan pada tingkat yang

stabil dan terkendali agar dapat menumbuhkan pemikiran rasional serta kinerja yang

tinggi bagi pegawai. Hasil-hasil empiris menunjukkan bahwa pegawai Kantor DLHK

Kabupaten Mamuju dan Kantor Kelurahan Binanga mempunyai kestabilan emosi

yang baik yang dapat mendorong pemikiran rasional serta kinerja yang tinggi

Perihal emosi yang berwujud perasaan marah yang kuat oleh pegawai

kepada seseorang, baik kepada sesama pegawai maupun kepada pihak lain, tidak

109
ditemukan di lokasi penelitian ini, setidaknya untuk periode waktu yang dapat diingat

oleh informan penelitian. Tidak pernah terjadi kemarahan yang kuat yang mengarah

pada tindakan dan pemikiran irasional. Informan penelitian mengatakan sebagai

berikut:

“Sudah sekitar beberapa tahun saya jadi pegawai di sini seingat saya belum
pernah terjadi ada kemarahan yang kuat. Belum pernah ada pimpinan yang
marah besar kepada bawahan atau sebaliknya, belum pernah juga ada pegawai
yang marah besar kepada pihak luar yang menyangkut program Mamuju
Mapaccing.” (wawancara dengan AMR, tanggal 03 Mei 2019).

Kemarahan yang terjadi di Kantor DLHK Kabupaten Mamuju dan Kantor

Kelurahan Binanga hanya dalam kadar atau intensitas yang rendah atau bisa

disebut perasaan kesal. Misalnya: pimpinan kesal pada bawahan yang lambat

menyelesaikan tugas. Informan penelitian mengatakan sebagai berikut:

“Emosi dalam intensitas yang rendah biasa juga terjadi di kantor ini. Selaku
pimpinan terkadang saya kesal juga kepada bawahan, misalnya sudah
memberikan arahan dan batasan waktu tapi tidak diikuti dengan tertib dan tepat
waktu. Perasaan kesal itu hal yang lumrah karena dapat memberikan peluang
bagi pembinaan bagi pegawai.” (wawancara dengan IR, tanggal 09 Mei 2019).

Kemarahan dalam intensitas yang rendah atau perasaan kesal terjadi juga

karena atasan kesal pada pegawai yang lamban dalam memberikan pelayanan dan

tidak tertib administrasi. Informan penelitian mengatakan sebagai berikut:

“Pernah saya merasa kesal kepada petugas fukuda dikarenakan tidak


mengangkat sampah pada batas waktu yang ditetapkan, dan tidak tertib cara
membersihkan dan mengangkat sampahnya. Saya dijanji datang secepatnya,
tetapi setelah mereka datang bukannya selesai tetapi malahan masih ada
sampah berserakan.” (wawancara MKD, tanggal 10 Mei 2019).

Informan lainnya, masyarakat yang pernah meminta pelayanan

pengangkutan sampah, mengatakan pernah merasa kesal kepada petugas/pegawai

dikarenakan tidak memberikan informasi yang lengkap untuk pengangkutan sampah

110
dan akibatnya harus datang berulang-ulang ke Kantor Kelurahan untuk

mendapatkan pengangkutan sampah yang diinginkannya. Informan tersebut

mengatakan sebagai berikut:

“Saya merasa kesal kepada petugas/pegawai dikarenakan tidak memberikan


informasi yang lengkap untuk jadwal pengangkutan sampah, akibatnya saya
harus datang berkali-kali ke kantornya.” (wawancara dengan MAK, tanggal 12
Mei 2019).

Perasaan marah atau kesal dalam intensitas rendah sebagaimana

disebutkan di atas hanya berlangsung dalam durasi yang singkat karena dapat

diselesaikan baik oleh pihak-pihak yang terlibat ataupun oleh rekan kerja lainnya.

Informan penelitian mengatakan sebagai berikut:

“Perasaan kesal atasan kepada pegawai bawahan, maupun warga masyarakat


kepada pegawai/petugas di Kantor DLHK Kabupaten Mamuju selalu dapat
terselesaikan dengan baik dikarenakan kesadaran dan saling pengertian dari
pihak-pihak terlibat, ataupun karena bantuan mediasi dari rekan kerja.”
(wawancara dengan AMR, tanggal 03 Mei 2019).

Perihal emosi pegawai yang berwujud perasaan senang yang berlebihan

kepada seseorang atau sesuatu, tidak ditemukan di lokasi penelitian ini. Perasaan

senang seringkali dialami oleh pegawai, bahkan mungkin oleh seluruh pegawai dan

petugas yang ada dilapangan, demikian juga oleh pihak lain yang meminta

pelayanan pengangkutan sampah, namun diungkapkan dalam intensitas yang wajar.

Informan penelitian mengatakan sebagai berikut:

“Perasaan senang pegawai biasanya diekspresikan dengan tindakan yang wajar.


Atasan merasa senang kepada pegawai bawahan, diungkapkan dengan pujian
dan terima kasih, pegawai bawahan merasa senang kepada atasan diungkapkan
dengan respek, perasaan senang kepada sesama pegawai selevel diungkapkan
dengan pernyataan terima kasih atau ungkapan lain yang lazim seperti Mantap.
Tidak ada ungkapan perasaan senang yang berlebihan seperti berteriak-teriak di
depan umum.” (wawancara dengan AMR, tanggal 03 Mei 2019).

111
Perasaan senang yang dialami oleh pegawai karena mendapat insentif yang

diharapkan, ataupun karena mampu menyelesaikan target pekerjaan sesuai

harapan pimpinan, juga diungkapkan dalam bentuk tindakan yang wajar berupa

kesyukuran. Informan penelitian mengatakan sebagai berikut:

“Pegawai yang merasa senang karena mendapatkan sesuatu yang diharapkan


seperti insentif ataupun karena dapat menyelesaikan tugas dengan baik,
biasanya mengatakan syukur kepada Tuhan, dan teman-teman lainnya juga
memberikan support.” (wawancara HRM, tanggal 15 Mei 2019).

Perasaan senang yang dialami oleh pegawai ataupun petugas kebersihan

karena mampu menyelesaikan target pengangkutan sampah yang ada sesuai

harapan berkat bantuan pihak lain, biasanya diungkapkan dalam bentuk ucapan

terima kasih. Informan penelitian mengatakan sebagai berikut:

“Pegawai yang merasa sangat senang karena dapat menyelesaikan tugas


dengan bantuan para pihak mengatakan rasa terima kasihnya kepada yang telah
membantu. Mengatakan: terima kasih atas kerjasamanya sehingga pekerjaan ini
dapat terselesaikan sesuai yang diharapkan.” (wawancara dengan HRM, tanggal
15 Mei 2019).

Perihal emosi pegawai atau petugas yang berwujud perasaan takut yang

berlebihan kepada seseorang atau sesuatu, tidak ditemukan di lokasi penelitian ini.

Perasaan takut seringkali juga dialami oleh pegawai dan petugas namun hanya

dalam intensitas yang wajar. Informan penelitian mengatakan sebagai berikut:

“Biasa juga timbul perasaan takut ketika akan berangkat melaksanakan tugas-
tugas lapangan, seperti saat akan melakukan pengangkutan sampah yang
sudah seharusnya diangkut namun terkendala berbagai macam hal, atau
sementara melakukan pengangkutan sampah di lapangan, namun masih dalam
keadaan yang wajar. Tidak sampai membatalkan pelaksanaan tugas atau
melakukan penggantian personil. Alhamdulillah dengan dukungan rekan kerja
dan sikap pasrah kepada Tuhan semuanya bisa dijalani dengan lancar-lancar
saja” (wawancara dengan HRM, tanggal 15 Mei 2019).

112
Sumber rasa takut bisa juga datang dari perilaku pihak lain yang terkait

dengan permintaan pelayanan pengangkutan sampah di lapangan. Pihak-pihak

yang memiliki masalah persampahan seringkali mengeluarkan kata-kata ancaman

kepada pegawai ataupun petugas yang dapat menimbulkan perasaan takut.

Informan penelitian mengatakan sebagai berikut:

“Pernah terjadi saat ada masyarakat yang komplain mengenai sampah yang
terlambat diangkut oleh anggota dengan warga masyarakat. Sempat
mengancam petugas agar jangan seperti ini pelayanannya. Tapi dengan
kesabaran dan memberikan pemahaman kepada pihak tersebut maka
kemarahannya reda juga.” (wawancara dengan FHR, tanggal 08 Mei 2019).

Berdasarkan uraian tersebut, emosi pegawai di lokasi penelitian ini baik

dalam bentuk perasaan senang, marah, dan takut, terjadi dalam intensitas yang

wajar. Faktor-faktor yang memicu emosi dapat bersumber dari kondisi internal,

seperti perolehan insentif, penyelesaian tugas tepat waktu, ketidakadilan dalam

alokasi sumber daya, dan lainnya, maupun dari sumber eksternal, seperti

kemarahan pihak yang dilayani ataupun pihak terkait lainnya. Ungkapan emosi

secara wajar dimaksud antara lain berupa pernyataan memuji, mengapresiasi,

menyatakan terima kasih, dan menyatakan rasa syukur kepada Tuhan. Emosi pada

tingkat yang wajar tersebut secara teoritis dapat menumbuhkan pemikiran rasional

serta kinerja yang tinggi bagi pegawai.

V.1.2.2. Motivasi Pegawai

Motivasi dalam model penelitian ini merujuk kepada alasan-alasan yang

mendorong, memperkuat dan mempertahankan perilaku pegawai, baik yang muncul

dari dalam diri seseorang maupun dari aktivitas manajemen sumberdaya manusia.

Motivasi yang bersumber dari dalam diri pegawai dapat berupa kebutuhan dan

113
harapan, sedangkan motivasi yang bersumber dari aktivitas manajemen dapat

berupa hubungan antara upaya, kinerja, ganjaran, dan tujuan pribadi pegawai

Perihal motivasi yang bersumber dari kebutuhan hidup, hasil-hasil empiris

menunjukkan bahwa ada perbedaan menurut level jabatan pegawai di Kantor DLHK

Kabupaten Mamuju dan Kantor Kelurahan Binanga. Kebutuhan-kebutuhan yang

dianggap dominan memotivasi oleh pegawai level bawah berbeda dengan

kebutuhan yang dianggap dominan memotivasi oleh pegawai level atas

Kebutuhan-kebutuhan tingkat rendah, yakni kebutuhan fisiologis dan

keamanan, hasil temuan di lokasi penelitian ini lebih dominan memotivasi pegawai

level bawah. Secara umum pegawai level bawah lebih berorientasi pada aktivitas

yang memberikan perbaikan kesejahteraan ekonomi secara langsung dalam jangka

pendek ketimbang pada cara-cara tidak langsung melalui perbaikan kinerja.

Informan penelitian mengatakan sebagai berikut:

“Pegawai level bawah cenderung termotivasi oleh perolehan tambahan


penghasilan dalam waktu yang singkat karena dengan tambahan penghasilan
tersebut mereka dapat memenuhi kebutuhan kesejahteraan ekonominya saat
ini.” (wawancara dengan HD, tanggal 02 Mei 2019).

Pegawai level bawah lebih cenderung termotivasi oleh tambahan

penghasilan dalam waktu yang singkat karena pendapatan dari gaji bulanan yang

mereka peroleh dianggap masih sangat kurang memadai untuk kebutuhan

kesejahteraan ekonominya saat ini. Informan penelitian mengatakan bahwa:

“Pendapatan tetap dari gaji bulanan saat ini belum mencukupi, tapi saya tetap
bersyukur. Saya selaku operator Fukuda masih membutuhkan tambahan
penghasilan sekitar 20 persen sampai 25 persen dari gaji agar dapat memenuhi
kesejahteraan rumah tangga secara minimal.” (wawancara dengan HRM,
tanggal 15 Mei 2019).

114
Minimnya jaminan kesejahteraan dari gaji kita lihat dari kebutuhan untuk

hidup layak antara lain sandang, pangan dan papan belum cukup untuk biaya hidup

pegawai negeri sipil jika tanpa jabatan dan kalau ditambah lagi dengan transportasi

anak-anak dan transportasi bekerja tambah dengan uang sekolah dan keperluan

pendanaan sekolah sampai tingkat SLTA kalau sudah kuliah kebutuhan makin

banyak dan mungkin tidak dapat dipenuhi. Jika mengharapkan gaji semata maka

anak-anak pegawai negeri sipil hanya cukup sekolah sampai program yang

diberikan pemerintah yaitu wajib belajar 9 (sembilan) tahun. Kalau ditinjau dari

pendapatan pegawai negeri sipil ini memang tidaklah cukup untuk membiayai anak

sampai kependidikan tinggi.

Tambahan penghasilan dibutuhkan bukan hanya oleh pegawai staf tetapi

juga oleh pegawai yang menduduki jabatan struktural level bawah (Kepala Sub

Bidang dan Kepala Sub Seksi). Namun, persentase tambahan pendapatan yang

diharapkan sedikit lebih rendah dibandingkan dengan pegawai staf tersebut di atas.

Informan penelitian mengatakan bahwa:

“Untuk dapat memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari saya masih membutuhkan


tambahan penghasilan sekitar 20 persen sampai 30 persen dari pendapatan
saat ini. Gaji dan tunjangan jabatan yang saya terima saat ini belum mencukupi”
(wawancara dengan AMR, tanggal 03 Mei 2019).

Baik pegawai maupun petugas tidak pernah meminta biaya tambahan atau

tidak membebankan biaya kepada pihak yang dilayani, diluar biaya yang sudah

resmi ditetapkan pemerintah daerah. Namun, dengan memperbaiki kualitas

pelayanan pengangkutan sampah pihak yang dilayani dengan keihlasan sendiri

memberikan tanda terima kasihnya kepada yang melayani.

115
“Kami tidak membebani mereka, tidak meminta biaya tambahan, tetapi ketika
kami bergerak cepat melakukan pengangkutan dan mempersingkat waktu
pengangkutan sampah, mereka memberikan tanda terima kasih alakadarnya.
Ada juga yang tidak memberikan tanda terima kasih, tetapi kebanyakan begitu.”
(wawancara dengan HRM, tanggal 15 Mei 2019).

Pegawai yang menduduki jabatan level menengahas cenderung

mengutamakan kebutuhan-kebutuhan tingkat yang lebih tinggi dalam hirarki

kebutuhan yang diuraikan oleh Abraham Maslow walaupun mereka juga tidak

mengabaikan kebutuhan pada level yang rendah. Kebutuhan-kebutuhan yang lebih

memotivasi mereka adalah penghargaan dan aktualisasi diri. Informan penelitian

mengatakan bahwa:

“Upaya motivasi lewat penghasilan tambahan memang dibutuhkan juga, tapi


yang lebih penting adalah penghargaan dari atasan yang lebih tinggi dan
kesempatan yang lebih besar untuk aktualisasi diri.” (wawancara dengan IR,
tanggal 09 Mei 2019).

Kondisi-kondisi yang diinginkan oleh pegawai sebagaimana diungkapkan

oleh informan penelitian adalah:

“Sebaiknya penghargaan di tempat kerja benar-benar dikaitkan dengan prestasi


kerja atau kinerja. Sekarang ini system penghargaan masih lebih berat kepada
senioritas. Kami juga menginginkan adanya pendistribusian kesempatan yang
lebih merata untuk melakukan aktualisasi diri seperti ikut seminar nasional atau
forum nasional.” (wawancara dengan FHR, tanggal 08 Mei 2019).

Alasan-alasan pegawai berkenaan dengan kondisi-kondisi yang disebutkan

di atas terutama adalah:

“Sekarang ini promosi jabatan masih sangat menekankan senioritas terutama


kepangkatan dan usia. Banyak pegawai yang berusia muda dan potensial
namun tidak termotivasi untuk mengikuti pendidikan di jenjang yang lebih tinggi
dalam jurusan-jurusan yang relevan karena perolehan pendidikan tinggi dan
relevansi keilmuan belum dihargai secara wajar.” (wawancara dengan AMR,
tanggal 03 Mei 2019).

116
Alasan-alasan lainnya yang diungkapkan oleh pegawai berkenaan dengan

kondisi-kondisi yang disebutkan di atas sebagai berikut:

“Kesempatan untuk aktualisasi diri bagi pegawai level menengah masih terbatas.
Tim kerja untuk penanganan tugas-tugas khusus masih sangat hirarkis di mana
susunan tim masih berbasis level jabatan. Kita inginkan agar pimpinan tingkat
atas lebih terbuka dan lebih demokratis lagi, memberikan kesempatan kepada
yang di level tengah, sedangkan yang di level atas tinggal mengarahkan dan
mengendalikan pelaksanaan tugas.” (wawancara dengan AMR, tanggal 03 Mei
2019).

Kebutuhan-kebutuhan yang memotivasi perilaku pegawai level menengah

yang disebutkan di atas dalam tinjauan teori motivasi McClelland tercakup dalam

kebutuhan akan prestasi, need for achievement atau disingkat nAch. Di samping itu,

penulis melihat juga adanya dorongan kebutuhan di kalangan pegawai level

menengah ini untuk mengendalikan dan menguasai bawahan atau yang disebut

kebutuhan akan kekuasaan, need for power disebut juga nPow. Informan penelitian

mengatakan sebagai berikut:

“Proses-proses pelayanan dan pengangkutan sampah di Mamuju ini belum


berjalan dengan sempurna dikarenakan para pegawai atau petugas dilapangan
yang bertugas di lini terdepan belum sepenuhnya mengikuti instruksi pimpinan.
Dalam beberapa hal pegawai bawahan masih mengabaikan hirarki, misalnya
tidak segera melapor ke pimpinan ketika sudah melaksanakan penugasan
tertentu, atau tidak segera melaporkan hasil-hasil rapat koordinasi dengan
instansi lain ketika ditugaskan untuk itu.” (wawancara IR tanggal 09 Mei 2019).

Hasil pengamatan penulis menunjukkan bahwa motivasi kerja pegawai atau

petugas kebersihan dalam memberikan pelayanan persampahan dikedua instansi

belum seluruhnya mencapai tingkat yang kuat. Sebagian petugas yang termotivasi

kuat dalam memberikan pelayanan persampahan adalah mempunyai kaitan dengan

perolehan “tanda terima kasih” sebagaimana telah diuraikan diatas. Sebagian

petugas atau pegawai yang tidak mempunyai peluang untuk memperoleh “tanda

117
terima kasih” dimaksud, dalam melaksanakan tugas-tugas sehari-hari masih terlihat

santai. Petugas atau pegawai yang penulis maksud memang datang dan pulang

sesuai ketentuan jam kerja. Namun ketika berada di lapangan/kantor dan

melaksanakan tugasnya, terkesan tidak menunjukkan upaya maksimal. Informan

penelitian mengatakan sebagai berikut:

“Untuk apa juga kami berusaha maksimal, selama ini tidak ada juga imbalan
finansial maupun imbalan-imbalan jabatan lainnya seperti promosi dan mutasi ke
tempat yang lebih baik. Saya sudah beberapa tahun dalam jabatan ini, tidak
pindah ke mana-mana, sesuai dengan tanggungjawab saya dalam
melaksanakan tugas.” (wawancara dengan AMR, tanggal 03 Mei 2019).

Kondisi di atas lebih menyerupai prediksi teoritis Vroom yang berargumen

bahwa kekuatan dari suatu motivasi untuk bertindak dalam cara tertentu bergantung

pada kekuatan dari pengharapan bahwa tindakan itu akan diikuti oleh suatu keluaran

tertentu. Dalam contoh di atas, pegawai atau petugas kurang termotivasi untuk

menjalankan tingkat upaya yang tinggi karena ia meyakini bahwa upayanya akan

mengantarkannya kepada peluang promosi dan tidak memuaskan tujuan pribadinya

Usaha pimpinan di Kantor DLHK Kabupaten Mamuju dan Kantor Kelurahan

Binanga untuk menyediakan faktor-faktor motivasi sebagaimana yang diinginkan

oleh pegawai terhalang oleh kendala struktural. Pimpinan di Dinas/Kantor hanyalah

sekedar melaksanakan instruksi dan kebijakan dari Pemerintah. Informan penelitian

mengatakan sebagai berikut:

“Kebijakan-kebijakan internal organisasi yang berkenaan dengan penyediaan


kondisi-kondisi intrinsik seperti penghargaan atas prestasi, maupun ekstrinsik
seperti promosi jabatan dan insentif, sepenuhnya masih ditentukan oleh
pimpinanan yang lebih tinggi. Kepala Dinas hanya sebatas menjalankan
prosedur dan kebijakan yang telah digariskan.” (wawancara, HD tanggal 02 Mei
2019).

118
Berdasarkan uraian tersebut di atas, motivasi dari perilaku pegawai dalam

memberikan pelayanan adalah kebutuhan-kebutuhannya. Terdapat perbedaan

kebutuhan yang memotivasi pegawai pada level bawah dan level menengah ke atas.

Di level bawah, kebutuhan yang dominan memotivasi adalah kebutuhan level yang

lebih rendah. Di level menengah ke atas, kebutuhan yang dominan memotivasi

adalah kebutuhan penghargaan dan aktualisasi diri serta kebutuhan akan

kekuasaan. Di semua level, kekuatan motivasi pegawai belum mencapai tingkat

yang maksimal dikarenakan prediksi pegawai itu sendiri tentang kecilnya

kemungkinan untuk memuaskan kebutuhan-kebutuhannya. Sementara itu, usaha

pimpinan untuk secara optimal menyediakan kondisi-kondisi yang dapat memotivasi

pegawai masih terhalang oleh orientasi kerja yang bersifat struktural-hirarkis.

Motivasi pegawai di kedua Kantor tersebut masih dominan pada kebutuhan-

kebutuhan individualnya sendiri, baik kebutuhan material level rendah maupun

kebutuhan-kebutuhan aktualisasi diri dan penghargaan di level yang tinggi,

memberikan bukti empiris yang kuat terhadap asumsi-asumsi Old Public

Administration (OPA), dan belum mengarah kepada motivasi pelayanan publik

sebagaimana dibahas dalam literatur New Public Services (Denhardt & Denhardt,

2006).

Pegawai publik dalam model NPS diasumsikan dimotivasi oleh niat yang kuat

untuk melayani publik. Gagasan tentang hal ini diuraikan lebih rinci dalam konsep

Motivasi Pelayanan Publik (PSM) dari Perry & Hondeghem (2008). Menurut model

PSM ini, karyawan di sektor publik mempunyai keinginan yang kuat untuk bekerja

guna merealisasikan kepentingan publik, melakukan sesuatu demi kebaikan orang

119
lain dan ikut serta merealisasikan kesejahteraan masyarakat (Perry & Hondeghem,

2008). Perilaku karyawan sektor publik didorong oleh motivasi intrinsik yang kuat

yang berkenaan dengan perwujudan kebahagiaan orang lain, bukan untuk

memaksimumkan kebahagiaan dirinya sendiri dan untuk sekedar mematuhi dan

menjalankan prosedur-prosedur birokratis (Petrovsky, 2009).

V.1.2.3. Pengambilan Keputusan

Pengambilan keputusan yang dimaksudkan dalam model penelitian ini

menunjuk pada pembuatan pilihan di antara alternatif-alternatif. Pegawai dalam

organisasi mengambil keputusan-keputusan. Sifat keputusan-keputusan dimaksud

tergantung pada posisi individu, misalnya manajer membuat keputusan di bidang

yang berbeda dengan yang diambil oleh staf biasa termasuk didalamnya adalah

operator fukuda. Namun, di level apapun, pengambilan keputusan individual dalam

organisasi idealnya mencakup pengambilan keputusan rasional. Keputusan rasional

ditandai dengan rujukan terhadap pilihan yang konsisten dan memaksimumkan nilai.

Analisis tentang proses pengambilan keputusan dalam penelitian ini mencakup tiga

komponen utama model pengambilan keputusan dari Hastie dalam Certo et al.

(2008) yakni: cara tindakan (yakni alternatif-alternatif); keyakinan tentang keadaan

obyek dan proses (termasuk keadaan outcomes dari alternatif-alternatif); dan

keinginan-keinginan (yakni apa manfaat) yang berkaitan dengan outcomes potensial

dari setiap kombinasi tindakan.

Perihal cara tindakan (alternatif-alternatif), hasil-hasil empiris menunjukkan

bahwa pegawai Kantor DLHK Kabupaten Mamuju dan Kantor Kelurahan Binanga

secara umum dalam membuat keputusan-keputusan yang berkenaan dengan

120
pelayanan pengangkutan persampahan mengidentifikasi dan mempertimbangkan

alternatif-alternatif. Proses penyusunan dan identifikasi alternatif-alternatif tindakan

berlangsung melalui rapat internal maupun rapat koordinasi dengan institusi terkait

lainnya. Informasi yang penulis peroleh mengatakan sebagai berikut:

“Seluruh keputusan tentang pelayanan dan pengangkutan sampah diambil


melalui rapat pegawai. Penyusunan usulan kegiatan oleh masing-masing Seksi
dan Bagian diawali dengan rapat yang melibatkan semua pegawai.”
(wawancara, HD tanggal 02 Mei 2019).

Rapat pegawai yang dimaksudkan informan di atas mengambil dua bentuk:

pertemuan konsultasi internal Seksi dan Bagian, dan rapat lengkap pimpinan dan

staf. Pertemuan konsultasi internal Seksi dan Bagian dilakukan terlebih dahulu

sebelum rapat lengkap. Dalam pertemuan konsultasi, pimpinan Seksi dan Sub

Bagian memanggil bawahan dan staf untuk memberikan instruksi dan pengarahan

tentang apa yang perlu dilakukan. Informan penelitian mengatakan sebagai berikut:

“Kita disini selalu terlebih dahulu menyampaikan kepada semua pimpinan Seksi
bahwa kita perlu membicarakan bersama tentang alternatif-alternatif usulan
kegiatan yang akan kita ajukan dalam rapat lengkap. Biasanya saya memanggil
mereka ke ruangan saya untuk menyampaikan hal tersebut.” (wawancara
dengan HD, tanggal 02 Mei 2019).

Hal-hal yang disampaikan oleh pimpinan dalam pertemuan konsultasi

dengan bawahannya bervariasi tergantung kebutuhan atau kondisi tetapi pada

umumnya mencakup cara mengevaluasi tingkat capaian kegiatan tahun

sebelumnya; analisis terhadap kekuatan, kelemahan, peluang dan tantangan; serta

identifikasi alternatif kegiatan. Langkah-langkah seperti ini dilakukan oleh semua unit

di lingkup Kantor Dinas Lingkungan Hidup dan Kebersihan Kabupaten Mamuju.

121
Perihal evaluasi tingkat capaian kegiatan tahun sebelumnya, hal yang

didiskusikan hanyalah persentase capaian secara keseluruhan, bukan per detail

item dalam setiap kegiatan. Informan penelitian mengatakan sebagai berikut:

“Yang ditanyakan pimpinan hanya berapa persen capaian kinerja kegiatan dan
kinerja para petugas dilapangan secara umum. Kalau detail itemnya, seperti
input, proses, output dan dampak tidak ditanyakan karena sudah tercantum
dalam laporan akuntabilitas kinerja.” (wawancara dengan FHR, tanggal 08 Mei
2019).

Informasi tentang capaian kegiatan tahun sebelumnya yang diberikan oleh

pegawai bawahan diperlukan oleh pimpinan untuk dapat membuat keputusan awal

tentang plafon anggaran sementara. Informan penelitian mengatakan sebagai

berikut:

“Pimpinan membutuhkan informasi tentang capaian kegiatan tahun lalu agar


dapat menentukan plafon anggaran tahun berikutnya. Anggaran kegiatan tahun
berikut diprediksikan dari capaian kegiatan tahun sebelumnya yang akan
diusulkan ke Bappeda.” (wawancara dengan AMR, tanggal 03 Mei 2019).

Pembicaraan tentang kekuatan, kelemahan, peluang dan tantangan dalam

pertemuan konsultasi pimpinan pada umumnya hanya mencakup lingkungan teknis,

bukan lingkungan strategis. Bawahan dalam memberikan informasi kepada

pimpinan cenderung memfokuskan perhatian pada faktor ketersediaan anggaran

dan sumber daya manusia. Informan penelitian mengatakan sebagai berikut:

“Saya hanya melihat hal-hal teknis saja yang dapat mendukung ataupun
menghambat pelaksanaan tugas-tugas pelayanan persampahan di Kabupaten
Mamuju. Umumnya yang saya alami adalah keterbatasan anggaran dan sumber
daya manusia sehingga capaian program tidak maksimal.” (wawancara dengan
HD, tanggal 02 Mei 2019).

Pegawai bawahan secara umum belum menganalisis faktor-faktor dalam

lingkungan strategis yang dapat menghambat pencapaian kinerja secara maksimal.

Perubahan-perubahan kebijakan di level atas maupun perubahan preferensi

122
masyarakat berkenaan dengan pelayanan dan pemahaman terkait dengan program,

belum menjadi perhatian pegawai di Kantor DLHK Kabupaten Mamuju. Informan

penelitian mengatakan sebagai berikut

“Perubahan kebijakan, seperti adanya instruksi Kepala DLHK tentang pola


sosialisasi dan mediasi penyerahan sebagian kewenangan belum didiskusikan
secara ekstensif oleh pegawai sehingga belum banyak mendapat perhatian
dalam perencanaan program.” (wawancara dengan AMR, tanggal 03 Mei 2019).

Di sisi lain, pegawai dan pimpinan level bawah di Kantor DLHK Kabupaten

Mamuju dan Kantor Kelurahan Binanga masih mempertimbangkan ketersediaan

anggaran dan sumber daya manusia sebagai kendala utama bagi pendekatan baru

pola soialisasi dan mediasi dalam pelaksanaan program. Untuk dapat memahami

kebijakan-kebijakan pemerintah Kabupaten Mamuju di bidang pengelolaan sampah

yang baik dan benar, pegawai memerlukan peningkatan keterampilan pemecahan

masalah namun upaya ke arah tersebut belum dilakukan karena kendala anggaran.

Informan penelitian mengatakan kepada penulis sebagai berikut:

“Keterampilan pegawai dan petugas dilapangan khususnya operator fukuda dan


sopir amrol secara umum untuk dapat memahami dan menerapkan pendekatan-
pendekatan baru dalam pemecahan konflik yaitu sosialisasi dan mediasi masih
rendah. Usaha untuk meningkatkan keterampilan dan pelatihan belum dapat
dilaksanakan karena keterbatasan anggaran.” (wawancara HD tanggal 02 Mei
2019).

Usulan-usulan alternatif dalam pertemuan konsultasi dengan pimpinan yang

dimaksudkan di atas bukanlah usulan final. Dalam praktek, usulan dalam pertemuan

konsultasi pimpinan baru merupakan ancang-ancang untuk masuk ke dalam rapat

formal lengkap penyusunan rencana kegiatan internal Kantor DLHK Kabupaten

Mamuju yang selanjutnya masih dibahas pula dalam pertemuan di tingkat

Kabupaten melalui Bappeda. Informan penelitian mengatakan bahwa:

123
“Perubahan kebijakan, seperti adanya instruksi Kepala Dinas tentang pola
sosialisasi dan mediasi belum didiskusikan secara kontinyu oleh pegawai dan
petugas dilapangan, sehingga belum banyak mendapat perhatian dalam
perencanaan kegiatan.” (wawancara FHR, tanggal 08 Mei 2019).

Pegawai mempunyai perbedaan keyakinan tentang keadaan obyek dan

proses keputusan, tergantung pada level jabatan. Pegawai yang menduduki jabatan

pimpinan menengah ke atas merasa lebih optimis tentang pengaruh keterlibatan

mereka dalam proses keputusan ketimbang pegawai staf dan yang menduduki

jabatan pimpinan level bawah. Optimisme dimaksud adalah bahwa pegawai yang

menduduki jabatan pimpinan menengah ke atas lebih banyak terakomodasi usulan-

usulannya dalam rapat pengusulan kegiatan. Informan penelitian mengatakan

bahwa:

“Usulan-usulan yang diajukan oleh Kepala Bidang lebih banyak jumlahnya dan
lebih operasional sehingga lebih banyak diakomodasi dalam keputusan final
pimpinan.” (wawancara dengan AMR, tanggal 03 Mei 2019).

Berbeda dengan pimpinan level menengah dan atas, pimpinan level bawah

(Kepala seksi) dan pegawai staf cenderung kurang optimis tentang proses

pengambilan keputusan. Mereka beranggapan bahwa identifikasi alternatif

keputusan dalam pertemuan konsultasi pimpinan maupun rapat lengkap internal

hanya bersifat formalitas saja karena pada akhirnya pimpinan jugalah yang akan

membuat keputusan final dan seringkali tidak mengakomodasi usulan-usulan

pegawai. Informan penelitian mengatakan sebagai berikut:

“Kita menghadiri rapat saja, untuk memenuhi formalitas, kalau yang mengajukan
usulan-usulan kebanyakan dari pimpinan juga. Lagi pula usulan-usulan dari
pengawas lapangan biasanya harus konek dengan kegiatan dilapangan.”
(wawancara dengan ASR, tanggal 05 Mei 2019).

124
Perihal keinginan-keinginan (manfaat) yang berkaitan dengan outcomes

potensial dari setiap alternatif tindakan yang diusulkan pegawai Kantor DLHK

Kabupaten Mamuju secara umum berbeda menurut level jabatan. Pegawai pada

level bawah cenderung mempertimbangkan kebutuhan jangka pendek sedangkan

pegawai pada jabatan menengah ke atas cenderung mempertimbangkan

kesinambungan kegiatan dan sinkronisasi program.

Kebutuhan jangka pendek yang dipertimbangkan oleh pegawai level bawah

adalah tambahan pendapatan. Pegawai cenderung mengusulkan kegiatan yang

dapat memberikan pendapatan tambahan. Informasi yang penulis peroleh

mengatakan sebagai berikut:

“Kita memprioritaskan usulan-usulan kegiatan berupa pelatihan singkat,


konsultasi, perjalanan, dan lainnya dengan harapan dapat memperoleh
tambahan pendapatan.” (wawancara dengan FHR, tanggal 08 Mei 2019).

Kesinambungan kegiatan dan program yang diprioritaskan oleh pegawai

yang menduduki jabatan pimpinan level menengah dimaksudkan bahwa

kemanfaatan finansial tetap juga menjadi perhatian namun dalam mengajukan

usulan mereka cenderung berpedoman pada kegiatan dan program prioritas yang

telah dicantumkan dalam Renstra. Informan penelitian mengatakan sebagai berikut:

“Kesesuaian dengan Renstra yang menjadi patokan utama. Usulan-usulan yang


dapat memberikan benefit finansial jangka pendek dipertimbangkan sepanjang
hal itu telah dicantumkan dalam Renstra.” (wawancara HD, tanggal 02 Mei
2019).

Sinkronisasi kegiatan dan program yang diprioritaskan oleh pegawai yang

menduduki jabatan pimpinan level menengah dimaksudkan bahwa dalam

mengajukan usulan kegiatan mempertimbangkan perubahan kebijakan dari institusi

125
level atas. Perubahan-perubahan kebijakan ini seringkali tidak tercakup dalam

Renstra namun memerlukan perhatian serius dalam implementasinya. Informan

penelitian mengatakan sebagai berikut:

“Usulan-usulan dari masing-masing bidang tetap harus diseleksi dan


disinkronkan dengan program kegiatan yang diarahkan dari Kadis. Perubahan
kebijakan dari Kadis kebanyakan tidak tercakup dalam Renstra Kantor DLHK
Kabupaten Mamuju namun harus mendapat perhatian untuk diimplementasikan.”
(wawancara AMR tanggal 03 Mei 2019).

Pegawai Kantor DLHK Kabupaten Mamuju dan Kantor Kelurahan Binanga

dalam menetapkan alternatif kegiatan mempertimbangkan juga kepentingan publik

setempat. Hal ini dimaksudkan bahwa dalam menentukan usulan kegiatan dan

memilih di antara alternatif-alternatif yang diajukan, kesesuaian dengan

permasalahan publik setempat ikut menjadi pertimbangan. Namun demikian,

kecenderungan untuk mempertimbangkan kemanfaatan bagi kepentingan publik ini

lebih bersifat minor, yakni setelah melihat kesesuaian dengan Renstra dan arahan

kebijakan dari pusat. Informan penelitian mengatakan kepada penulis sebagai

berikut:

“Perhatian terhadap kemanfaatan publik setempat dalam menentukan usulan


kegiatan masih bersifat minor, kami lebih mengutamakan arahan dari atas
karena seluruh usulan dari bawah harus tetap dikonsultasikan dan dibahas
dalam forum Musrenbang tingkat Kecamatan. Dalam forum Musrengbang
daerah dan provinsi, kepentingan umum masih menjadi penentu yang dominan.”
(wawancara dengan HD, tanggal 02 Mei 2019).

Berdasarkan uraian tersebut, pengambilan keputusan Perihal pelayanan

bidang pengelolaan sampah oleh pegawai Kantor DLHK Kabupaten Mamuju sudah

126
menerapkan proses keputusan rasional sebagaimana diuraikan dalam model

Robbins (2013) maupun Hastie dalam Certo et al (2008). Faktanya, proses

pengambilan keputusan oleh pegawai telah mencakup tiga komponen utama: cara

tindakan (yakni alternatif-alternatif); keyakinan tentang keadaan obyek dan proses;

dan keinginan-keinginan (kemanfaatan) dari setiap tindakan.

Namun demikian, penerapan model keputusan rasional dimaksud belum

konsisten. Indikasinya adalah bahwa dalam proses keputusan, nilai yang

dimaksimumkan bukanlah kepentingan publik lokal di wilayah kerja Kantor DLHK

Kabupaten Mamuju dan Kelurahan Binanga. Nilai yang dimaksimumkan adalah

kepentingan prosedur formal, kesesuaian Renstra, arahan kebijakan dari atas, dan

kemanfaatan finansial bagi individu pegawai sebagai pendapatan tambahan

Kondisi tersebut lebih menyerupai konseptualisasi Buchanan (1977) tentang

state-over-citizen, yakni aktivitas pemerintah lebih melayani kepentingan-

kepentingannya sendiri ketimbang kepentingan terbesar rakyat (Kirchner, 2011).

Walaupun keputusan-keputusan pegawai berkenaan dengan pelayanan bidang

pengelolaan sampah ikut mempertimbangkan kepentingan rakyat setempat, namun

hal tersebut lebih bersifat minor dibandingkan dengan kepentingan-kepentingan

birokrasi dan individu pegawai itu sendiri.

Minornya pertimbangan terhadap kepentingan publik dalam keputusan-

keputusan pegawai di Kantor DLHK Kabupaten Mamuju dan Kantor Kelurahan

Binanga menunjukkan bahwa orientasi keputusan birokrasi belum benar-benar

ditujukan ke arah pemenuhan kebutuhan warganegara sebagaimana diprediksikan

dalam model Neo Weberian State dari Pollitt & Bouckaert (2011). Dalam model

127
tersebut, birokrasi modern dicirikan terutama oleh profesionalitas, efisiensi dan

responsifitas terhadap warganegara, di mana salah satu prinsip utamanya adalah

orientasi eksternal ke arah pemenuhan kebutuhan warganegara. Sedangkan yang

ditemukan di lokasi penelitian ini, orientasi proses keputusan birokrasi masih lebih

dominan pada prosedur dan hirarki sebagaimana ciri Old Public Administration

(OPA), serta kepentingan individual material birokrat sebagaimana digambarkan

dalam model Niskanen dan Anthony Downs.

V.1.3. Deskripsi Variabel Outcomes Perilaku Individu dalam Pelaksanaan


Program Gerakan Mamuju Mapaccing di Kabupaten Mamuju

Outcomes perilaku birokrat dalam konteks pelaksanaan program menunjuk

pada segala sesuatu yang terjadi sebagai hasil dari variabel-variabel input dan

proses perilaku. Dalam model penelitian ini, outcomes perilaku birokrasi mencakup

kinerja tugas dan organizational citizenship behavior (OCB) sebagaimana diuraikan

dalam model perilaku organisasi Robbins and Judge (2013). Mengacu kepada

model Robbins and Judge (2013) tersebut maka baik kinerja tugas maupun OCB,

dalam penelitian ini diasumsikan sebagai efek dari proses-proses emosi, motivasi

dan pembuatan keputusan yang ditempuh oleh pegawai.

Sesuatu yang terjadi ketika pegawai mengalami emosi yang tidak terkendali

tentunya dapat berbeda dengan ketika pegawai berada dalam kondisi emosional

yang stabil. Sesuatu yang terjadi ketika pegawai cenderung dimotivasi oleh

kebutuhan-kebutuhannya sendiri dan kebutuhan birokrasi tentunya akan berbeda

dengan ketika pegawai yang bersangkutan dimotivasi oleh pelayanan atas

kepentingan publik. Demikian juga, sesuatu yang terjadi ketika pegawai cenderung

128
terperangkap dalam proses keputusan yang kurang rasional dan berorientasi diri

sendiri tentunya akan berbeda dengan ketika proses keputusan rasional dan lebih

diorientasikan pada pemenuhan kebutuhan publik. Berikut ini adalah hasil-hasil

empiris dari parameterparameter outcomes perilaku birokrasi tersebut serta analisis

penulis yang dikaitkan dengan hasil-hasil studi literatur.

V.1.3.1. Kinerja Tugas

Indikator dari kinerja tugas dalam model penelitian ini adalah efektivitas

pelayanan. Mengacu kepada model Ammons (2013), pelayanan yang dikatakan

efektif adalah pelayanan yang berkualitas, sedangkan pelayanan yang berkualitas

adalah pelayanan yang menimbulkan kepuasan pada pihak yang dilayani. Aspek-

aspek kualitas pelayanan publik yang membedakan kepuasan masyarakat adalah

lama waktu penyelesaian pelayanan pengangkutan sampah di rumah-rumah warga,

biaya iuran perbulan, kemudahan prosedur, dan kejelasan informasi. Hasil-hasil

empiris menunjukkan bahwa kepuasan masyarakat atas pelayanan pegawai dan

petugas yang ada dilapangan berbeda antara warga yang satu dengan lainnya

dilihat dari aspek-aspek tersebut.

Sebagian masyarakat mengeluhkan prosedur pelayanan. Prosedur

pelayanan pengangkutan sampah di Kantor DLHK Kabupaten Mamuju dan Kantor

Kelurahan Binanga dianggap agak berbelit-belit dan rumit. Untuk mengetahui hal

tersebut, penulis mewawancarai warga yang meminta sampahnya diangkut.

”pengangkutan sampah oleh petugas kebersihan di Kantor DLHK Kabupaten


Mamuju biasanya tidak gesit bergerak merespon keluhan-keluhan warga,
penyelesaiannya agak lambat dibandingkan dengan waktu yang dijanjikan.”
(wawancara AYN tanggal 12 Mei 2019).

129
Penulis tidak memperoleh data tentang jadwal pengangkutan sampah di

Kantor DLHK Kabupaten Mamuju dan Kantor Kelurahan Binanga. Informan di kedua

Kantor tersebut tidak bersedia memberikan informasi perihal tersebut di atas.

Namun demikian, wawancara dengan petugas operator fukuda mengatakan

“kami mengangkut sampah itu selalu kewalahan dalam melayani sebab, kalua
hari ini kami angkut sampah dilorong A, barangkali minggu depan kami kembali
lagi ke Lorong A, sementara sampah dilorong A juga setiap hari bertambah
coba bayangkan itu” (wawancara HRM 15 Mei 2019)

Informan lainnya memberikan informasi yang agak bertentangan dengan di

atas. Pelayanan pengangkutan sampah di Kantor DLHK Kabupaten Mamuju dan

Kantor Kelurahan Binanga menurut informan tersebut sudah bagus. Informan

tersebut mengatakan bahwa:

“Saya melihat pengangkutan sampah saya disini sudah tepat waktu dan setiap
jadwal pengangkutannya selalu datang.” (wawancara MKD tanggal 10 Mei 2019)

Data di atas memberikan bukti empiris tentang variasi-variasi dari efektivitas

pelayanan pegawai Kantor DLHK Kabupaten Mamuju dan Kantor Kelurahan

Binanga dalam memberikan pelayanan pengangkutan sampah yang ada di

masyarakat. Hal yang dapat disimak dari data tersebut adalah bahwa kepuasan

masyarakat atas kualitas pelayanan adalah beragam, tetapi kepuasan masyarakat

itu sendiri tidak sepenuhnya tergantung pada kesesuaian standar pelayanan.

Masyarakat tetap dapat merasakan puas ketika penyelesaian pelayanannya sesuai

standar waktu yang ditetapkan.

Dilihat dari kriteria lama penyelesaian pelayanan pengangkutan sampah,

hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pelayanan yang cepat dan tepat waktu

cenderung dinikmati oleh pelanggan yang berada dijalan-jalan besar. Berbeda

130
dengan kondisi yang ada dilorong-lorong yang seringkali terabaikan dalam

pengangkutan sampah mereka.

Temuan penelitian ini Perihal kinerja tugas secara umum menunjukkan

bahwa pegawai Kantor DLHK Kabupaten Mamuju dan Kantor Kelurahan Binanga

belum secara konsisten berkinerja baik. Kinerja yang belum baik ini ditunjukkan

dengan belum tercapainya target-target kinerja yang diukur dengan jumlah unit

armada yang masih sangat minim dan kurangnya sumber daya manusia khususnya

penambahan personil dalam pengangkutan sampah yang ada di Kabupaten

Mamuju, maupun dengan rendahnya efektivitas pelayanan yang diukur dengan

adanya kasus-kasus ketidakpuasan pelayanan yang dirasakan oleh warga

masyarakat yang berurusan dengan para petugas dilapangan.

V.1.3.2. Organizational Citizenship Behavior (OCB)

Outcomes perilaku pegawai yang dicakup dalam model penelitian ini, selain

kinerja tugas, adalah organizational citizenship behavior (OCB). Berbeda dengan

kinerja tugas yang lebih bersifat formal dan dinyatakan dalam uraian kerja pegawai,

organizational citizenship behavior (OCB) lebih merupakan outcomes perilaku yang

diskresioner, yang tidak dinyatakan dalam uraian kerja pegawai tetapi dapat

bermanfaat bagi pencapaian tujuan organisasi secara keseluruhan. Untuk

menginvestigasi organizational citizenship behavior (OCB) pegawai di Kantor DLHK

Kabupaten Mamuju dan Kantor Kelurahan Binanga, penelitian ini mengacu kepada

lima dimensi OCB dari Organ (1997) yang mencakup: altruisme, courtesy,

sportsmanship, conscientiousness, dan civic virtue. Berikut hasil-hasil temuan

penelitian Perihal dimensi-dimensi OCB tersebut.

131
a. Altruisme

Altruisme menunjuk pada perilaku membantu rekan kerja atau klien

berkenaan dengan suatu tugas atau masalah yang relevan secara organisasional.

Untuk memahami keterlibatan pegawai dalam wujud perilaku tersebut, penulis

berfokus pada apakah pegawai membantu rekan kerjanya yang mempunyai

kelebihan beban kerja, dan apakah pegawai membantu mengorientasikan klien yang

terlihat sedang mengalami kesulitan dalam berurusan dengan pegawai

Pegawai di Kantor DLHK Kabupaten Mamuju dan Kantor Kelurahan Binanga

mempunyai uraian tugas yang jelas dan dituangkan dalam dokumen formal. Dalam

melaksanakan tugas-tugas pelayanan, masing-masing pegawai berfokus pada

uraian tugasnya. Informan penelitian mengatakan:

“Sudah ada uraian tugas masing-masing Bidang, baik untuk Bidang sendiri,
maupun untuk Seksi. Pimpinan berfokus pada uraian tugas masing-masing.
Selanjutnya pimpinan memberikan perintah kerja ataupun arahan kerja sesuai
hirarki yang ada sehingga tidak terdapat saling ambil tugas dan pekerjaan dapat
berjalan sesuai rencana.” (wawancara HD, tanggal 02 Mei 2019).

Fokus pada tugas formal yang diuraikan dalam perincian tugas pokok dan

fungsi yang dimaksud dicontohkan oleh informan penelitian yang mengatakan

bahwa:

“di Seksi kerja saya adalah Seksi Pengelolaan sampah. Tugas yang saya
kerjakan sehari-hari adalah memberikan pelayanan berkenaan dengan
pengelolaan sampah dengan baik dan benar dan mengatur keseluruhan
petugas-petugas yang ada dilapangan. Secara umum saya tidak terlibat dalam
pelaksanaan tugas-tugas pelayanan lainnya.” (wawancara dengan FHR, tanggal
08 Mei 2019).

Meski demikian, tidak berarti bahwa pegawai tidak mengalami keterbatasan

dalam melaksanakan tugasnya. Kadang kala pegawai di satu sisi mengalami

keterbatasan secara fisik dan mental maupun teknis administratif sedangkan di sisi

132
lain beban kerja yang ada cukup besar sehingga membutuhkan bantuan dari rekan

kerjanya. Informan penelitian mengatakan bahwa:

Sebagai manusia kita selalu mengalami situasi keterbatasan dalam bekerja.


Selalu ada saat-saat di mana kita mengalami kelebihan beban kerja atau
mempunyai volume kerja yang besar sedangkan waktu yang tersedia terbatas.
Namun, pegawai di sini selalu dengan ikhlas memberikan bantuan sehingga
beban kerja yang berat dapat terselesaikan.” (wawancara dengan HRM, tanggal
15 Mei 2019).

Pemberian bantuan kepada rekan kerja yang mengalami kelebihan beban

kerja di Kantor DLHK Kabupaten Mamuju dan Kantor Kelurahan Binanga mengambil

beragam bentuk dan dilakukan bukan hanya pada lingkup Seksi yang sama tetapi

juga dari Seksi lainnya. Salah satunya sebagaimana dituturkan oleh informan

penelitian, adalah sebagai berikut:

Membantu petugas lain yang mempunyai beban kerja antara lain meminjamkan
alat-alatnya sehingga petugas yang bersangkutan dapat menggunakannya
dengan lebih cepat; membantu memberikan tenaga lain, dan sebagainya. Saling
membantu bukan hanya kita dari satu lorong tapi biasa juga dari Lorong-lorong
yang lainnya.” (wawancara HRM, tanggal 15 Mei 2019).

Perilaku spontan membantu mengorientasikan klien di lokasi penelitian ini

relatif terbatas. Warga yang hendak meminta pelayanan pengangkutan sampah

lansung diarahkan menuju ke ruangan untuk mendapatkan pelayanan pengelolaan

sampah ataupun aduan-aduan masyarakat. Informan penelitian mengatakan

sebagai berikut:

“Waktu saya masuk Kantor Kelurahan Binanga untuk menanyakan


pengangkutan sampah dilorong kami, saya langsung diarahkan ke ruangan
tertentu untuk mendapatkan informasi tersebut” (wawancara AYN, tanggal 12
Mei 2019).

133
Informan lainnya yang mengalami situasi serupa juga mengatakan bahwa

bantuan spontan pegawai untuk mengorientasikan klien di kantor tersebut sudah

ada. Informan penelitian mengatakan bahwa:

‘Terdapat perilaku spontan pegawai atau petugas untuk membantu warga yang
kesulitan dalam menanyakan informasi jadwal pengangkutan sampah. Waktu
saya menanyakan itu langsung masuk ke kantor DLHK Kabupaten Mamuju dan
ada pegawai yang mengarahkan saya dan memberikan nomor HP sopir truk
tersebut” (wawancara dengan MKD, tanggal 10 Mei 2019).

Data di atas menunjukkan bahwa perilaku altruisme pegawai di Kantor DLHK

Kabupaten Mamuju dan Kantor Kelurahan Binanga. Perilaku tersebut terjadi di

antara sesama pegawai, dan juga terjadi pada klien. Pegawai atau petugas operator

fukuda/sopir truk saling membantu ketika mengalami kelebihan beban kerja,

pegawai juga terlibat spontan dalam membantu mengorientasikan klien (warga)

yang terlihat sedang mengalami kesulitan ketika berurusan di kedua Kantor tersebut.

Dengan adanya kepedulian untuk membantu mengorientasikan klien (warga)

terdapat pada level atau kluster jabatan yang berbeda, yakni pada tenaga kontrak

maupun staf lainnya.

b. Courtesy

Courtesy mencakup perilaku diskresioner pegawai yang berorientasi

pencegahan terhadap terjadinya masalah yang lebih besar bagi pegawai lainnya.

Pegawai terlibat dalam perilaku courtesy ketika ia memberikan isyarat kepada

pegawai lain dengan maksud untuk mencegah masalah yang sangat mungkin terjadi

pada pegawai lain tersebut. Untuk mengetahui keterlibatan pegawai dalam perilaku

tersebut, penulis berfokus pada apakah pegawai selalu mawas diri, yakni

mengontrol tindakan-tindakannya agar tidak menimbulkan masalah dengan rekan

134
kerjanya atau kliennya, dan apakah pegawai memberikan pesan-pesan peringatan

yang tepat untuk membantu mencegah masalah bagi rekan kerja atau kliennya

Perilaku membantu mencegah terjadinya masalah bagi rekan kerja atau klien

dilakukan oleh pegawai di Kantor DLHK Kabupaten Mamuju dan Kantor Kelurahan

Binanga. Pegawai ataupun petugas kebersihan dalam melaksanakan aktivitas

sehari-hari di kantor, bahkan dalam aktivitas di luar kantor yang mempunyai kaitan

dengan tugas-tugas formalnya, selalu berusaha menciptakan dan menjaga

hubungan sosial yang harmonis. Salah satu wujudnya adalah:

“Kita berusaha untuk tidak mengambil alih tugas orang lain, tidak melanggar atau
menyalahgunakan hak orang lain, apalagi yang mempunyai kaitan dengan
pendapatan tambahan.” (wawancara AMR, tanggal 03 Mei 2019).

Cara membantu lainnya yang dilakukan pegawai adalah dengan

mengingatkan agar tidak mengabaikan aktivitas atau sekuensi tugas yang bersifat

penting. Hal ini sering dilakukan pegawai dalam kaitanya dengan keamanan dan

keselamatan dalam melaksanakan tugasnya dilapangan. Informan penelitian

mengatakan sebagai berikut:

“Kita selalu saling mengingatkan agar memperhatikan arus kendaraan disaat


bertugas, selalu menjaga stamina dan memperhatikan armadanya masing-
masing. Melapor jika ada hal-hal yang perlu diselesaikan Bersama. Agar tugas-
tugas mereka dapat berkesinambungan.” (wawancara FHR, tanggal 08 Mei
2019).

Wujud perilaku serupa dilakukan pegawai bukan hanya dengan sesama

pegawai atau rekan kerjanya tetapi juga terhadap klien yang membyar iuran

sampahnya perbulan di kedua Kantor tersebut. Salah satunya adalah dengan

memberikan pesan-pesan kepada klien agar menyimpan bukti-bukti transaksi

dengan baik. Informan penelitian mengatakan sebagai berikut:

135
“Saya selalu berpesan kepada warga yang membayar iuran sampah mereka di
sini agar menyimpan baik-baik tanda terima dan tanda bukti bayar, supaya tidak
dobel bayarnya.” (wawancara dengan SHR, tanggal Mei 2019).

Berdasarkan data tersebut di atas, pegawai di Kantor DLHK Kabupaten

Mamuju dan Kantor Kelurahan Binanga melibatkan diri dalam perilaku diskresioner

berupa courtesy dengan maksud untuk mencegah masalah yang sangat mungkin

terjadi pada pegawai dan petugas kebersihan atau pada klien. Wujud perilaku

dimaksud adalah selalu berusaha untuk tidak mengambil alih tugas orang lain atau

tidak melanggar hak orang lain sehingga hubungan sosial yang harmonis dapat

selalu terjaga, saling mengingatkan untuk menyimpanan tanda bukti bayar agar tidak

mengalami kesulitan yang lebih besar ketika ada salah satu kwitansi yang hilang,

dan berpesan kepada klien agar menyimpan bukti-bukti transaksi dengan baik.

Perilaku-perilaku tersebut terjadi secara spontan namun mempunyai manfaat yang

penting dalam mencegah timbulnya masalah atau kesulitan yang lebih buruk dalam

pelaksanaan tugas pelayanan dan pengelolaan sampah.

c. Sportsmanship

Sportsmanship adalah perilaku toleran atau tidak komplain terhadap kondisi-

kondisi lingkungan kerja yang di bawah yang seharusnya. Pegawai terlibat dalam

perilaku sportsmanship ketika dalam bekerja tidak banyak mempersoalkan

kekurangan-kekurangan kondisi lingkungan kerja. Untuk mengetahui keterlibatan

pegawai dalam perilaku tersebut, penulis berfokus pada apakah pegawai tidak

mengeluh dan berkoar-koar tentang kekurangan kondisi kerja yang tidak terelakkan

di tempat kerja.

136
Kekurangan kondisi kerja, berdasarkan hasil penelitian ini, merupakan hal

yang umum bagi semua unit kerja di Kantor DLHK Kabupaten Mamuju dan Kantor

Kelurahan Binanga. Gedung kantor, peralatan dan perlengkapan kerja, kendaraan

dinas, semuanya dalam kondisi yang tidak memadai sesuai kebutuhan standar.

Informan penelitian mengatakan:

“Gedung Kantor DLHK Kabupaten Mamuju, baik luas bangunan maupun


lokasinya masih kurang memadai. Lokasi gedung kantor yang berada di
kerendahan selalu kebanjiran di depan kantor setiap musim hujan. Luas gedung
kantor yang ada tidak memenuhi standar luas ruangan. Kendaraan dinas
tersedia sesuai kebutuhan tugas.” (wawancara dengan HD, tanggal 02 Mei
2019)

“Kantor Lurah ini sebenarnya sudah tidak memadai lagi baik luas dan
gedungnya, ruangannya juga sangat kurang, bahkan kadang saya mendanai
sendiri ini kantor, persoalan kendaraan dinas kami yaa alhamdulillah ada dan
kami syukuri itu”(wawancara IR tanggal 09 Mei 2019)

Hasil pengamatan penulis, kesenjangan antara harapan dan kenyataan lebh

menonjol pada kondisi bangunan fisik serta sarana yang ada. Kelengkapan kerja

seperti penyediaan papan informasi, kotak saran, kamar mandi, dan pendingin

ruangan belum tersedia secara layak dan pada umumnya pegawai mengharapkan

tersedianya sarana tersebut agar secara langsung mereka mempunyai akses

informasi guna menyiapkan segala kelengkapan persyaratan yang dibutuhkan.

Kalau dilihat dari sudut kenyamanan, nampaknya penyediaan sarana waktu

menunggu hanya disediakan kursi panjang, pegawai mengharapkan adanya alat

pendingin untuk kesejukan ruang tunggu.

Meskipun mempunyai keterbatasan sebagaimana disebutkan di atas,

pegawai Kantor DLHK Kabupaten Mamuju dan Kantor Kelurahan Binanga tetap

dituntut untuk dapat melaksanakan tugas-tugas program Gerakan Mamuju

137
Mapaccing secara baik, profesional dan efektif. Dalam kaitan tersebut, pegawai

ataupun petugas kebersihan tidak dapat menjadikan keterbatasan kondisi kerja

tersebut sebagai alasan untuk tidak bekerja secara baik. Informan penelitian

mengatakan sebagai berikut:

“Pegawai ataupun petugas kebersihan bekerja sebagaimana mestinya, tidak


mengeluhkan keterbatasan yang ada, apalagi sampai enggan bekerja hanya
karena alasan tidak memadainya sarana dan prasarana kerja. Pegawai dan
petugas kebersihan selalu berusaha mengoptimalkan apa yang tersedia dalam
memberikan pelayanan kepada masyarakat.” (wawancara HD, tanggal 02 Mei
2019).

Selain mengoptimalkan sarana dan prasarana kerja yang tersedia di kantor,

sebagian pegawai merespons keterbatasan kondisi kerja dengan cara

menggunakan peralatan dan perlengkapan kerja milik pribadinya untuk

memperlancar pelaksanaan kerja. Hal ini biasanya dilakukan untuk merespons

keterbatasan peralatan dan perlengkapan kerja seperti laptop, printer, dan flashdisc

serta ketersediaan akses internet. Informan penelitian mengatakan sebagai berikut

“Kalau komputer di kantor tidak berfungsi biasanya saya menggunakan laptop


milik pribadi untuk melaksanakan pekerjaan pengetikan data, hasilnya
kadangkala saya print di rumah, besoknya saya bawa ke kantor. Biasanya yang
menjadi masalah yang besar adalah terputusnya akses internet. Begitu pula
untuk penyimpanan data, atau untuk melakukan transfer data dari computer lain,
seringkali saya menggunakan flashdisc sendiri. Bukan hanya saya yang seperti
itu tetapi pegawai lain di kantor juga begitu. Kalau kita bertahan dan menunggu
sampai tersedia peralatan dan perlengkapan kerja maka akan sering terjadi
pekerjaan yang terbengkalai.” (wawancara dengan AR, tanggal Mei 2019).

Kekurangan kondisi kerja di Kantor DLHK Kabupaten Mamuju dan Kantor

Kelurahan Binanga seringkali terjadi juga dalam pelaksanaan tugas-tugas lapangan

yakni. Dalam hal seperti itu, pegawai tetap saja berushaa bekerja secara optimal,

dengan menggunakan peralatan milik sendiri ataupun dengan meminjam ke instansi

lainnya. Informan penelitian mengatakan sebagai berikut:

138
“Tugas-tugas pengangkutan sampah seringkali terhambat karena tidak tersedia
kendaraan operasional yang memadai. Seperti kerusakan salah satu fukuda,
biasanya kami meminjam kendaraan di DLHK Kabupaten Mamuju.” (wawancara
dengan IR, tanggal 09 Mei 2019).

Berdasarkan uraian tersebut di atas, pegawai di Kantor DLHK Kabupaten

Mamuju dan Kantor Kelurahan Binanga melibatkan diri dalam perilaku diskresioner

yang berupa perilaku sportsmanship, yakni dalam bekerja tidak banyak

mempersoalkan kekurangan-kekurangan kondisi lingkungan kerja yang tidak

terelakkan. Wujud perilaku diskresioner dimaksud antara lain berusaha

mengoptimalkan apa yang tersedia dalam memberikan pelayanan kepada

masyarakat, menggunakan peralatan dan perlengkapan milik pribadinya untuk

memperlancar pelaksanaan kerja, serta meminjam peralatan dari instansi lain yang

relevan. Pegawai di Kantor DLHK Kabupaten Mamuju dan Kantor Kelurahan

Binanga tidak menonjolkan kekurangan kondisi kerja melainkan berusaha

mengoptimalkan pelaksanaan program dengan cara-cara tersebut di atas.

d. Conscientiousness

Conscientiousness diartikan sebagai perilaku diskresioner pegawai yang

berkenaan dengan kehadiran kerja dan kepatuhan yang melampaui persyaratan

peran minimum organisasi. Pegawai ataupun petugas kebersihan terlibat dalam

perilaku conscientiousness apabila mempunyai rekor kehadiran yang melampaui

ketentuan jam kerja normal, dan dengan sadar tidak menggunakan hak-hak cutinya

dengan maksud agar pekerjaan kantor maupun di lapangan tidak terhambat. Untuk

mengetahui keterlibatan pegawai maupun petugas kebersihan dalam perilaku

conscientiousness tersebut maka penulis berfokus pada apakah pegawai tidak

139
keberatan ketika pulang lebih lambat dari jam kerja yang ditetapkan, melaksanakan

tugas pada hari istirahat (bukan hari kerja), dan tidak mengambil cuti (izin) pada saat

beban kerja menumpuk.

Hasil pengamatan penulis, adanya keterbatasan kondisi kerja di Kantor

DLHK Kabupaten Mamuju dan Kantor Kelurahan Binanga sebagaimana diuraikan di

atas berimbas pada keteraturan pelaksanaan tugas. Kenyataan yang penulis lihat,

keterbatasan kondisi kerja yang tersedia berupa peralatan dan perlengkapan kerja

serta fasilitas ruang tunggu menyebabkan penyediaan pelayanan tidak berjalan

dalam batas waktu yang direncanakan. Untuk menyiasati penyelesaian tugastugas

pelayanan dimaksud, pegawai di Kantor DLHK Kabupaten Mamuju dan Kantor

Kelurahan Binanga menggunakan waktu di luar jam kerja yang ditentukan. Meskipun

ketentuan jam pulang kerja pegawai adalah jam 16.00 tetapi seringkali terjadi

pegawai pulang setelah jam 16.30 sore bahkan sampai larut malam. Informan

penelitian mengatakan sebagai berikut:

“Ketentuan jam pulang kantor itu jam 16.00 tetapi hampir setiap hari kita pulang
setelah jam 16.30 sore bahkan sampai larut malam. Jadi kita menggunakan
waktu sampai beberapa jam di luar jam kerja untuk menyelesaikan tugas-tugas
yang mendesak dan penting, dan itu tidak diperhitungkan sebagai kerja lembur.”
(wawancara AMR, tanggal 03 Mei 2019)

Tidak semua pegawai terlibat dalam perilaku conscientiousness berupa rekor

kehadiran yang melampaui ketentuan jam kerja normal. Sebagian pegawai

mempunyai rekor kehadiran yang rendah. Informan penelitian mengatakan sebagai

berikut:

“Sebagian pegawai menunjukkan kehadiran dalam menyelesaikan pekerjaan


pelayanan hanya kadang-kadang saja, yaitu tergantung situasi desakan
pekerjaan, bahkan masih ada pegawai yang tidak hadir untuk menyelesaikan
pekerjaan. Pegawai-pegawai seperti ini kehadirannya dipengaruhi situasi kerja

140
dan intensitas pekerjaan, ada harapan bila pegawai masuk kantor akan
memperoleh nilai lebih dalam bentuk tambahan pendapatan, bukan karena
kedudukannya sebagai aparat pelayanan masyarakat yang diperlukan
keberadaannya melayani kepentingan masyarakat.” (wawancara IR, tanggal 09
Mei 2019)

Penggunaan waktu di luar jam kerja yang ditentukan seringkali terjadi pada

pelaksanaan tugas pengangkutan sampah. Tugas-tugas seperti ini biasanya

dilakukan melewati jam kerja. Informan penelitian mengatakan sebagai berikut:

“Pengangkutan sampah dilaksanakan pada Pagi hari biasanya pegawai atau


petugas kebersihan masuk kerja seperti biasa. Bahkan biasanya juga dilakukan
pada malam hari, seperti saat ini bulan ramadan. Pegawai yang ditugaskan
selama ini tidak ada yang keberatan, mereka anggap itu sudah risiko menjadi
pegawai atau petugas kebersihan.” (wawancara dengan FHR, tanggal 08 Mei
2019).

Penggunaan hak cuti pegawai di Kantor DLHK Kabupaten Mamuju dan

Kantor Kelurahan Binanga relatif rendah. Kebanyakan pegawai ataupun petugas

kebersihan, walaupun memenuhi persyaratan untuk mengambil hak cuti namun tidak

menggunakannya. Informan penelitian mengatakan bahwa:

“Jarang pegawai mengambil cuti walaupun memenuhi persyaratan untuk


menggunakan haknya. Selama tahun 2018 kemarin hanya 1 orang pegawai
mengambil cuti untuk melahirkan, dan 2 orang mengambil cuti tahunan.
(wawancara HD, tanggal 02 Mei 2019).

Tidak digunakannya hak cuti pegawai bagi yang memenuhi persyaratan

mempunyai beragam alasan namun pada umumnya karena alasan lebih baik

bekerja di kantor melayani masyarakat daripada istirahat di rumah berhari-hari yang

tidak menghasilkan manfaat apapun. Informan penelitian mengatakan bahwa:

“Ada hak cuti tahunan, tapi saya tidak pernah menggunakannya selama saya
menjadi PNSi. Daripada libur di rumah tidak menghasilkan apapun berhari-hari
masih lebih baik saya hadir di kantor untuk bekerja memberikan pelayanan
kepada masyarakat yang membutuhkan.” (wawancara dengan AMR, tanggal 03
Mei 2019).

141
Penggunaan hak cuti tahunan lebih banyak terjadi pada momen lebaran idul

fitri dan oleh pegawai yang berasal dari luar Kabupaten Mamuju. Hal ini biasanya

didorong oleh keinginan untuk merayakan lebaran di kampung halaman sehingga

memerlukan waktu yang lebih lama. Informan penelitian mengatakan bahwa

“Banyak pegawai Kantor DLHK Kabupaten Mamuju yang berasal dari luar
Mamuju, seperti dari Makassar dan Kabupaten-kabupaten yang lain. Namun
hanya sebagian diantaranya yang selalu berkeinginan untuk dapat merayakan
hari lebaran bersama keluarganya di kampung halaman, yang lainnya enggan
karena mempertimbangkan berbagai macam hal. Itulah sebabnya pelayanan
publik khususnya pengangkutan sampah dapat berjalan dengan baik walaupun
jumlah pegawai ataupun petugas kebersihan terbatas.” (wawancara HD, tanggal
02 Mei 2019).

Berdasarkan uraian tersebut di atas, sebagian pegawai Kantor DLHK

Kabupaten Mamuju dan Kantor Kelurahan Binanga melibatkan diri dalam perilaku

conscientiousness, yakni perilaku diskresioner yang berkenaan dengan kehadiran

kerja dan kepatuhan yang melampaui persyaratan peran minimum organisasi.

Wujud perilaku diskresioner dimaksud adalah menggunakan waktu 1 jam di luar jam

kerja yang ditentukan sehingga mempunyai kehadiran yang melampaui ketentuan

jam kerja normal, menggunakan hari libur resmi untuk melaksanakan tugas-tugas

pelayanan, dan tidak menggunakan hak-hak cutinya dengan maksud agar pekerjaan

kantor tidak terhambat. Beragam wujud perilaku conscientiousness tersebut di luar

dari yang dituntut secara normatif namun dilakukan dengan penuh kesadaran.

Sebagian pegawai melibatkan diri dalam perilaku conscientiousness karena alasan

demi membantu masyarakat dalam pengangkutan sampah, namun sebagian lainnya

karena alasan-alasan tidak mempunyai aktivitas yang cukup bermanfaat bagi

keluarganya jika menggunakan waktu untuk berlibur berhari-hari. Namun, sebagian

142
lainnya dari pegawai mempunyai keterlibatan yang rendah dalam perilaku

conscientiousness, bahkan tidak memenuhi harapan normatif yang ditentukan.

e. Civic Virtue

Civic virtue didefinisikan sebagai perilaku diskresioner individu pegawai

berupa keterlibatan yang mendalam atau kepedulian yang tinggi tentang proses

demokrasi dalam organisasi. Pegawai terlibat dalam perilaku civic virtue ketika

mereka mengikuti pertemuan/rapat organisasi dan aktif mencitrakan organisasi ke

masyarakat luas. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa keterlibatan pegawai

dalam perilaku civic virtue beragam, sebagian pegawai melibatkan diri secara aktif

namun sebagian lainnya kurang terlibat secara konsisten.

Pimpinan Kantor DLHK Kabupaten Mamuju dan Kantor Kelurahan Binanga

secara rutin mengadakan rapat lengkap (pimpinan dan staf) sekali dalam sebulan,

dan mengadakan rapat pimpinan dua kali dalam sebulan. Rapat rutin biasanya

membicarakan soal-soal teknis administratif pelayanan, dan untuk keperluan

tersebut pimpinan (Kepala Kantor) biasanya membuat surat pemberitahuan resmi.

Perihal keterlibatan pegawai dalam rapat rutin dimaksud, informan penelitian

mengatakan bahwa:

“Pada umumnya pegawai maupun petugas kebersihan Kantor DLHK Kabupaten


Mamuju hadir dalam rapat rutin, kecuali yang mempunyai alasan yang dapat
ditoleransi. Namun motivasi mengikuti rapat dimaksud adalah beragam,
sebagian pegawai benar-benar ingin menyampaikan sesuatu aspirasi atau
berbagi pengalaman dalam rapat, namun sebagian lainnya hanya untuk
memenuhi undangan pimpinan saja.” (wawancara HD, tanggal 02 Mei 2019).

Berbeda dengan rapat lengkap pimpinan dan staf, dalam rapat-rapat

pimpinan biasanya tidak ada surat resmi. Pimpinan tertinggi hanya memberitahukan

143
secara lisan kepada pimpinan di bawahnya Perihal rencana rapat tersebut baik

waktu maupun agendanya. Informan penelitian mengatakan sebagai berikut:

“Rapat pimpinan sekali sampai dua kali sebulan, bisa juga tiga kali, tergantung
desakan tugas. Biasanya pimpinan tidak membuat surat resmi tetapi
memberitahukan via chat whatsapp. Kadangkala pemberitahuannya melalui
telepon, rentang waktunya biasanya tidak lama, kalau rapat diadakan sore
biasanya siang barulah pimpinan memberitahukan bawahannya bahwa sebentar
sore kita rapat. Jumlah pegawai pimpinan relatif kecil sehingga mudah dikontrol
dan dihubungi secara cepat.” (wawancara FHR, tanggal 08 Mei 2019)

Rapat pimpinan seringkali tidak melibatkan semua pimpinan yang ada tetapi

hanya pada Bagian tertentu saja. Hal tersebut tergantung pada agenda tugas yang

akan dibahas atau dibicarakan dalam rapat. Informan penelitian mengatakan

sebagai berikut:

“Peserta rapat pimpinan bisa semua pimpinan tapi bisa juga hanya seksi yang
relevan, tergantung pada agenda rapat. Kalau pimpinan Bagian Tata Usaha
biasanya selalu ikut karena terkait dengan dukungan anggaran dan
kepegawaian serta dokumentasi.” (wawancara SHR, tanggal Mei 2019).

Keaktifan unsur pimpinan dalam rapat pimpinan lebih tinggi dibandingkan

dengan keaktifan staf dalam rapat lengkap. Keaktifan dimaksud adalah keaktifan

dan antusiasme membicarakan hal-hal yang berkenaan dengan agenda rapat.

Informan penelitian mengatakan bahwa:

“Rapat pimpinan selalu alot dan hidup karena semua pimpinan aktif dalam
membicarakan berbagai hal yang sesuai bidang tugasnya. Lagi pula, dalam
rapat semua unsur pimpinan pasti aktif berbicara karena saya selaku Kepala
Kantor selalu menanyakan secara bergiliran kepada semua peserta rapat.”
(wawancara HD, tanggal 02 Mei 2019).

Perilaku civic virtue dalam bentuk keterlibatan aktif untuk mencitrakan

organisasi ke masyarakat tidak meluas di lokasi penelitian ini. Pegawai terlibat

dalam sosialisasi hanya dalam program-program yang telah ditentukan, baik dalam

bentuk pertemuan tatap muka dengan warga maupun melalui keikutsertaan dalam

144
ekspo yang telah diprogramkan. Tidak ada keterlibatan individual pegawai dalam

seminar atau pertemuan ilmiah yang dapat mencitrakan institusi. Keterlibatan secara

individual untuk mencitrakan organisasi terbatas hanya pada usaha pimpinan

(Kepala Kantor). Informan penelitian mengatakan sebagai berikut:

“Tidak ada usaha-usaha individual pegawai untuk mencitrakan institusi, misalnya


ikut dalam forum seminar atas inisiatif sendiri guna membagi pengalaman,
menulis opini di surat kabar tentang program program Mamuju Mapaccing. Kalau
pencitraan lewat sosialisasi dan ekspo tahunan itu sifatnya terprogram. Hanya
pimpinan (Kepala Kantor) yang seringkali mengundang dan meminta wartawan
surat kabar lokal untuk menyebarluaskan informasi tentang program Gerakan
Mamuju Mapaccing.” (wawancara dengan AMR, tanggal 03 Mei 2019).

Alasan pegawai tidak melibatkan diri dalam usaha individual untuk pencitraan

organisasi seperti yang disebutkan di atas terutama adalah keterbatasan waktu dan

dana (biaya). Informan penelitian mengatakan sebagai berikut:

“Sedikit waktu yang tersedia untuk melibatkan diri dalam kegiatan-kegiatan


individual untuk pencitraan organisasi. Pegawai pulang kantor sore hari dan sisa
sedkit waktu untuk keluarga. Kalau keikutsertaan dalam forum ilmiah itu
membutuhkan biaya. Kalau tidak dibiayai oleh kantor, sulit bagi pegawai untuk
melibatkan diri.” (wawancara FHR, tanggal 08 Mei 2019).

Data di atas menunjukkan bahwa sebagian pegawai di Kantor DLHK

Kabupaten Mamuju dan Kantor Kelurahan Binanga melibatkan diri dalam perilaku

diskresioner civic virtue namun sebagian lainnya tidak melibatkan diri. Perilaku

diskresioner civic virtue ini lebih menonjol pada pimpinan kantor dibandingkan

dengan pegawai staf. Bentuk perilaku civic virtue yang menonjol adalah

menyampaikan aspirasi dalam pertemuan/rapat organisasi, sedangkan keaktifan

mencitrakan organisasi ke masyarakat luas relatif terbatas baik di kalangan

pimpinan unit maupun pegawai staf. Hal ini terkait erat dengan keterbatasan waktu

maupun dengan kemampuan pegawai untuk membiayai sendiri aktivitas dimaksud.

145
PEMBAHASAN PERILAKU BIROKRAT DALAM PELAKSANAAN PROGRAM

GERAKAN MAMUJU MAPACCING DI KABUPATEN MAMUJU.

Penelitian ini adalah tentang perilaku birokrat dalam pelaksanaan program

gerakan Mamuju mapaccing. Perilaku birokrat dianalisis pada level individual

dengan berfokus pada hubungan variabel input perilaku dengan proses perilaku dan

hubungan variabel proses perilaku dengan outcomes perilaku. Konstruksi tujuan

penelitian ini diarahkan oleh model perilaku organisasi dari Robbins and Judge

(2013). Model perilaku Robbins and Judge menspesifikasi hubungan antara input

perilaku birokrat, proses perilaku birokrat dan outcomes perilaku birokrat. Dengan

mengadaptasi model tersebut, variabel input perilaku mencakup keragaman

demografi, nilai-nilai yang dianut, dan kemampuan intelektual pegawai ataupun

petugas kebersihan; variabel proses perilaku mencakup emosi, motivasi, dan

pengambilan keputusan, sedangkan variabel outcomes perilaku birokrat mencakup

kinerja tugas dan organizational citizenship behavior (OCB).

Mengacu kepada model perilaku organisasi oleh Robbins and Judge (2013),

penelitian ini memprediksikan bahwa variabel input perilaku birokrat yang mencakup

keragaman demografi, nilai-nilai yang dianut, selanjutnya variabel proses perilaku

yang mencakup emosi, dan pengambilan keputusan mempengaruhi outcomes

perilaku birokrat. Struktur pembahasan hasil penelitian ini mengacu kepada

perumusan masalah, yakni dimulai dari input perilaku birokrat, kemudian efek dari

variabel input terhadap proses perilaku dan outcomes perilaku birokrat dan terakhir

adalah temuan umum tentang perilaku birokrat dalam pelaksanaan program gerakan

Mamuju mapccing pada level analisis individual.

146
VARIABEL INPUT PERILAKU BIROKRAT DALAM PELAKSANAAN PROGRAM

GERAKAN MAMUJU MAPACCING.

Input perilaku yang berkenaan dengan keragaman demografis pegawai

ataupun petugas kebersihan, penelitian ini berfokus pada perbedaan-perbedaan

dalam jenis kelamin, etnis, usia dan kesempurnaan fisik (jasmani). Hasil-hasil

empiris menunjukkan bahwa pegawai dan petugas kebersihan Kantor DLHK

Kabupaten Mamuju dan Kantor Kelurahan Binanga relative beragam dalam hal etnis

dan usia, tetapi relative homogen dalam jenis kelamin dan kesempurnaan fisik

(jasmani).

Beragam dalam etnis dimaksudkan bahwa pegawai dan petugas kebersihan

berasal dari sejumlah etnis yang berbeda, ada yang berasal dari etnis utama yakni

Mandar/Mamuju ada juga etnis diluar Sulawaesi Barat seperti Bugis/Makassar,

Toraja, Jawa dan lainnya. Keragaman etnis tergambar juga dalam struktur

kemampuan jabatan structural, pejabat structural berasal dari beragam etnis

walupuan persyaratan pemangkuan jabatan tidak mempertimbangkan etnis.

Beragam dalam usia dimaksudkan bahwa pegawai dan petugas kebersihan berasal

dari kelompok usia yang berbeda, mulai dari usia 28 tahun sampai 57 tahun.

Diantara rentang umur tersebut, yang lebih dominan adalah umur 34 sampai 40

tahun, dan umur 55 tahun. Keragaman pegawai dan petugas kebersihan dari segi

jenis kelamin relative rendah yakni pegawai yang dominan jumlahnya adalah

perempuan. Tetapi, dalam pemangkuan jabatan, proporsi pegawai laki-laki yang

menduduki jabatan lebih besar dibandingkan proporsi pegawai perempuan terhadap

seluruh pegawai yang ada. Dari aspek kesempurnaan fisik (jasmani), pegawai dan

147
petugas kebersihan bersifat homogen, dimaksudkan bahwa tidak ada variasi-variasi

yang menonjol berkenaan dengan hal tersebut.

Keragaman demografi yang ditemukan di lokasi penelitian ini sebagian tidak

mempunyai efek yang menonjol pada proses-proses perilaku, baik emosi, motivasi

maupun pengambilan keputusan. Keragaman jenis kelamin dan etnis tidak terlihat

pengaruhnya pada emosi, motivasi maupun pengambilan keputusan. Indikator

keragaman demografi yang terlihat mempunyai pengaruh terhada proses perilaku,

berdasarkan hasil penelitian ini hanyalah umur pegawai dan petugas kebersihan,

yakni berpengaruh terhadap motivasi. Pengaruh yang dimaksud terlihat dari adanya

perbedaan motivasi yang dominan diantara pegawai yang berumur muda dengan

yang berumur yang lebih tua. Namun demikian, menurut analisis penulis, perbedaan

yang dimaksud hanyalah karena fakta bahwa kebanyakan pegawai ataupun petugas

kebersihan yang berumur muda adalah pegawai baru yang mempunyai pendapatan

riil yang kecil sehingga lebih termotivasi oleh kesejahteraan/kemakmuran.

Sebaliknya, kebanyakan yang berumur lebih tua adalah sudah mencapai pangkat

yang lebih tinggi dan sudah menduduki jabatan structural sehingga mempunyai

pendapatan riil yang lebih besar. Kondisi ini terkait juga dengan fakta bahwa

penempatan dan promosi jabatan di Kantor DLHK Kabupaten Mamuju dan Kantor

Kelurahan Binanga berdasarkan pada prinsip senioritas disamping syarat obyektif

yang lainnya.

Penulis tidak melihat adanya perbedaan dalam hal alternative-alternatif yang

dipertimbangkan dalam pembuatan keputusan diantara pegawai yang berumur

muda dengan yang lebih tua, maupun antara pegawai laki-laki dan perempuan, serta

148
antara pegawai yang berbeda etnis. Secara umum pegawai ataupun petugas

kebersihan mempertimbangkan kebutuhan individual dan pemenuhan prosedur

birokratis dalam pembuatan keputusan. Namun hal tersebut tidak berbeda menurut

umur, jenis kelamin dan etnis.

Keragaman demografi yang ditemukan di lokasi penelitian ini sebagian tidak

mempunyai efek yang menonjol pada proses-proses perilaku, baik emosi, motivasi

maupun pengambilan keputusan. Keragaman jenis kelamin dan etnis tidak terlihat

pengaruhnya pada emosi, motivasi maupun pengambilan keputusan. Parameter

keragaman demografi yang terlihat mempunyai pengaruh terhadap proses perilaku,

berdasarkan hasil penelitian ini hanyalah umur pegawai, yakni berpengaruh

terhadap motivasi. Pengaruh dimaksud terlihat dari adanya perbedaan motivasi yang

dominan di antara pegawai yang berumur muda dengan yang berumur lebih tua.

Namun demikian, menurut analisis penulis, perbedaan dimaksud hanyalah karena

fakta bahwa kebanyakan pegawai yang berumur muda adalah pegawai baru yang

mempunyai pendapatan riil yang kecil sehingga lebih termotivasi oleh

kesejahteraan/kemakmuran. Sebaliknya, kebanyakan pegawai yang berumur lebih

tua adalah sudah mencapai pangkat yang lebih tinggi dan sudah menduduki jabatan

struktural sehingga mempunyai pendapatan riil yang lebih besar. Kondisi ini terkait

juga dengan fakta bahwa penempatan dan promosi jabatan di kantor tersebut

berdasarkan pada prinsip senioritas di samping syarat obyektif yang lainnya.

Penulis tidak melihat adanya perbedaan dalam hal alternatif-alternatif yang

dipertimbangkan dalam pembuatan keputusan di antara pegawai yang berumur

muda dengan yang lebih tua, maupun antara pegawai laki-laki dan perempuan, serta

149
antara pegawai yang berbeda etnis. Secara umum pegawai mempertimbangkan

kebutuhan individual dan pemenuhan prosedur birokratis dalam membuat

keputusan. Namun hal tersebut tidak berbeda menurut umur, jenis kelamin dan

etnis.

Pegawai dan petugas kebersihan di kedua Kantor, etnis yang ada di

Sulawesi Barat dalam hal ini Suku Mandar maupun suku Mandar/Mamuju, budaya

kerja etnis positif berkaitan dengan budaya kerja keadilan dan keterbukaan kreatif,

egaliter, dan terbuka menerima kritikan. Sikap kreatifitas dan terbuka menerima

kritikan ini sangat mendukung bagi perwujudan keterbukaan atau transparansi. Pada

kedua Kantor yang berkaitan dengan berbagai kegiatan dimana PNS dan Petugas

Kebersihan adalah mayoritas berasal dari Mamuju yakni suku Mandar dan Suku

Mandar/Mamuju, telah terdapat berbagai bentuk pengumuman-pengumuman

mengenai pelaksanaan program yang diinisiasi oleh Kepala Kantor yang bersuku

Bugis/Makassar, kreatif sehingga dapat memudahkan pengguna jasa pengangkutan

sampah yang ada di Kabupaten Mamuju.

Dalam hal kedisiplinan pegawai yang berasal dari Etnis Sulawesi Barat,

cenderung kurang disiplin. Hal ini tercermin dari jam datang pegawai yang bersuku

Mandar/Mamuju yang biasanya datang terlambat ke kantor. Dan juga masih terdapat

pegawai yang tingkat kehadirannya masih rendah. Serta agak lambat dalam

menyelesaikan pekerjaannya.

Berkaitan dengan terbuka menerima kritikan ini terlihat para pejabat dan PNS

staf pada objek penelitian maka PNS etnis yang berasal dari Sulawesi Barat yakni

suku Mandar ataupun Suku Mandar/Mamuju pada umumnya mampu berekspresi

150
terbuka dalam menanggapi kritikan dari berbagai pihak. Sedangkan egaliter

mendukung budaya kerja keadilan karena budaya kerja ini mampu memperlakukan

berbagai pihak tanpa memandang status sosial kemasyarakatan. Namun dalam

kecendrungan budaya kerja negatif yaitu menunda pekerjaan, dan mudah bosan, ini

adalah bentuk budaya kerja yang dapat menghambat membangun masyarakat

madani dan demokrasi. Dalam pelaksanaan program ada kesan PNS ataupun

Petugas Kebersihan etnis dari Sulaesi Barat yakni suku Mandar ataupun Suku

Mandar/Mamuju kurang cepat merespon atau cenderung sedikit santai menghadapi

keperluan masyarakat. Disamping itu, dalam mengerjakan suatu pekerjaan yang

membutuhkan jangka waktu panjang mereka cenderung agak merasa bosan,

misalnya dalam rapat-rapat atau pertemuan-pertemuan ingin segera selesai, mereka

cenderung mudah bosan karena menginginkan ada variasi dalam kegiatan

pekerjaan.

Dalam konteks PNS etnis Jawa, bentuk budaya kerja yang berhubungan

budaya kerja keadilan dan keterbukaan yang bernuansa positif adalah loyal dan

patuh, teliti dan sopan. Sehingga dalam pelaksanaan program merasa cenderung

terlihat lebih sopan daripada etnis yang berasal dari Sulawesi Barat yakni suku

Mandar ataupun Suku Mandar/Mamuju dan etnis Bugis/Makassar termasuk dalam

konteks hubungan atasan-bawahan ataupun dengan rekan sejawat. Mempunyai

loyalitas dan kepatuhan pelaksanaan kerja yang dapat memberikan dukungan

aktifitas dan produktifas penyelenggaraan pemerintahan daerah. Disamping itu

cenderung mengerjakan pekerjaan secara teliti sehingga sesuatu pekerjaan

dikerjakan diupayakan dalam keadaan sempurna. Namun dalam konteks aspek

151
budaya kerja bernuansa negatif cenderung manajemen tertutup, kurang kritis dan

paternalistik. Keadaan dapat mempengaruhi perwujudan budaya kerja keadilan dan

keterbukaan, sebab sikap manajemen terutup dan kurang kritis mempengaruhi

aspek transparansi, sedangkan paternalistik dapat mempengaruh budaya kerja

keadilan, karena budaya kerja ini cenderung mengikuti dan menunggu arahan

pimpinan atau atasan dalam mengerjakan sesuatu.

Untuk tingkat Disiplin pegawai yang beretnis jawa merupakan pegawai yang

tingkat disiplinnya paling tinggi. Hal ini tercermin dari pegawai yang berasal dari suku

jawa cenderung tepat waktu datang ke kantor. Serta tepat waktu dalam

menyelesaikan pekerjaannya.

Budaya kerja PNS etnis Bugis/Makassar bernuansa positif yaitu; tegas,

berani, terbuka menerima kritikan tapi cendrung emosional, budaya kerja ini dapat

mendukung budaya kerja keadilan dan keterbukaan dalam membangun masyarakat

madani dan demokrasi. Sedangkan yang bernuansa negatif cenderung emosional,

keras hati, primodialisme. Keadaan menyebabkan adanya anggapan dari etnis-etnis

lainnya bahwa PNS etnis Bugis/Makassar terkesan keras dan kurang sopan.

Disamping mempunyai rasa ikatan primodialisme yang kuat menyebabkan adanya

pendekatan pelaksanaan tugas mempengaruhi budaya kerja keadilan. Berkaitan

dengan primodialisme ini menurut Bart (1988) orang yang cenderung bersikap

primodial adalah budaya kerja yang dapat membuat individu atau kelompok memiliki

sikap etnosentrisme, yaitu suatu sikap yang cenderung bersifat subyektif dalam

memandang budaya orang lain. Mereka akan selalu memandang budaya orang lain

dari kacamata budayanya. Hal ini terjadi karena nilai-nilai yang telah tersosialisasi

152
sejak kecil sudah menjadi nilai yang mendarah daging (internalized value) dan

sangatlah susah untuk mengubah dan cenderung dipertahankan bila nilai itu sangat

menguntungkan bagi dirinya Oleh sebab itu, perlu membentuk suatu model

perpaduan budaya etnis yang positif dengan budaya kerja yang ditetapkan

Pemerintah, serta budaya kerja berdasarkan ajaran agama guna membangun

masyarakat madani yang demokratis. Sebab suatu budaya kerja tanpa adanya

mengadopsi nilai-nilai yang terdapat dalam ajaran agama dapat menyebabkan

budaya kerja yang diformulasikan menjadi “kering” atau kurangnya daya dorong

untuk mewujudkannya. Penggalian dan penelusuran lebih mendalam budaya etnis

untuk diwujudkan sebagai bentuk budaya pemerintah daerah sangat penting.

Disamping itu penting perpaduan budaya kerja ini karena setiap daerah mempunyai

keunikkan lokal yang disebabkan perbedaan keberagaman penduduk yang berada

di suatu daerah tersebut.

Untuk tingkat disiplin pegawai yang berasal dari Suku Bugis/Makassar tingkat

disiplinya berada pada tingkat sedang-sedang. Hal ini tercermin walapun pegawai

yang berasal dari Suku Bugis/Makassar tepat waktu ketika datang ke kantor, akan

tetapi ketika menyelesaikan pekerjaan cenderung kurang tepat waktu.

Perihal nilai yang dianut pegawai, model penelitian ini memasukkan nilai

akhir (terminal values) dan nilai instrumental (instrumental values). Nilai akhir adalah

tujuan yang ingin direalisasikan oleh pegawai selama masa karirnya sedangkan nilai

instrumental adalah cara atau sarana yang lebih diinginkan oleh pegawai untuk

mencapai tujuan-tujuan tersebut. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa nilai-nilai

akhir (terminal values) yang secara kuat dianut oleh pegawai dikedua Kantor

153
tersebut adalah kesejahteraan ekonomik (kemakmuran), kesetaraan perlakuan,

pengakuan sosial di tempat kerja, dan respek diri. Nilai-nilai instrumental

(instrumental values) yang secara kuat dianut oleh pegawai adalah tanggung jawab,

kejujuran, independensi (ketidakberpihakan pada pribadi), kapabilitas, ambisi, dan

keberanian. Namun, intensitas atau hirarki dari nilai-nilai tersebut berbeda antara

pegawai bawahan dan atasan. Pegawai bawahan mengutamakan kesejahteraan

ekonomik (kemakmuran), kesetaraan perlakuan, dan respek diri. Sarananya

(instrumennya) adalah tanggung jawab, kejujuran, dan independensi. Pegawai

atasan mengutamakan pengakuan sosial di tempat kerja, kesejahteraan ekonomik

(kemakmuran), dan respek diri. Sarananya adalah kapabilitas, ambisi, dan

keberanian. Ringkasan dari sebaran nilai-nilai tersebut teah disajikan dalam uraian

terdahulu.

Baik nilai akhir maupun nilai instrumental, semuanya adalah nilai-nilai umum

yang dianut juga oleh masyarakat lainnya yang lebih luas sebagaimana dibahas

dalam literatur. Kesejahteraan (kemakmuran), kesetaraan perlakuan, pengakuan

sosial, dan respek diri, tanggung jawab, kejujuran, independensi, kapabilitas, ambisi,

dan keberanian, demikian juga dengan adanya perbedaan hirarki atau intensitas

nilai yang dianut, telah dibahas dalam model perilaku organisasi dari Robbins and

Judge (2013).

Nilai-nilai kesetaraan, pengakuan, kapabilitas, tanggung jawab, ambisi dan

keberanian telah dibahas juga dalam model organisasi organik dari Tom Burns and

G. M. Stalker di akhir tahun 1950an. Seluruhnya merupakan nilai-nilai rasional dalam

organisasi system terbuka yang diperlukan untuk menjawab kemajuan-kemajuan

154
dan perubahan-perubahan lingkungan yang pesat. Hal ini berarti pula bahwa nilai-

nilai yang rasional telah dimiliki juga oleh pegawai dikedua Kantor meskipun dengan

perbedaan intensitas di antara level jabatan yang berbeda.

Namun demikian, hasil penelitian ini menunjukkan adanya inkonsistensi

antara nilai akhir dengan nilai instrumental yang dianut oleh sebagian pegawai.

Inkonsistensi dimaksud terdapat di semua level jabatan. Pegawai pada level yang

rendah mengatakan mengejar kemakmuran dengan cara menunjukkan tanggung

jawab, sedangkan pegawai pada level yang tinggi mengatakan mengejar

penghargaan sosial dengan cara memperbaiki kapabilitas. Kenyataannya, tidak

semua pegawai pada level rendah benar-benar menunjukkan tingkat tanggung

jawab yang tinggi, dan tidak semua pegawai pada level menengah ke atas berusaha

memperbaiki kapabilitasnya. Sebaliknya, penulis melihat bahwa sikap pragmatis

untuk mencapai nilai-nilai akhir kesejahteraan/kemakmuran dan penghargaan

berkembang di kalangan pegawai maupun petugas kebersihan baik yang berumur

muda maupun tua, laki-laki maupun perempuan, dan dari beragam etnis yang ada.

Perihal kemampuan intelektual pegawai, hasil penelitian ini menunjukkan

bahwa pegawai didominasi oleh yang berpendidikan SLTA, hanya 36% yang

berpendidikan tinggi (akademi/universitas). Selanjutnya, hasil penelitian ini

menunjukkan pula bahwa pegawai yang mempunyai latar belakang pendidikan

akademik level diploma dan sarjana tidak seluruhnya mempunyai kemampuan

intelektual yang proporsional dengan level pendidikan formalnya tersebut. Sebagian

pegawai ataupun petugas kebersihan tidak mempunyai kemampuan penalaran dan

pemecahan masalah sebagaimana yang diprediksikan dari level pendidikannya.

155
Kondisi tersebut memberikan suatu gambaran tentang input perilaku yang

berkualitas rendah, khususnya dilihat dari pendidikan formal. Padahal, secara teoritis

pendidikan merupakan kunci bagi pengembangan ilmu dan teknologi serta vitalitas

budaya (Chimombo, 2005). Dominannya pegawai yang berpendidikan rendah dan

yang berpendidikan tinggi tetapi tidak terampil tentu akan menjadi kendala-kendala

berkenaan dengan penerapan metode ilmiah dan tenologi baru serta introduksi nilai-

nilai budaya kerja yang dianggap vital bagi kinerja pegawai yang cemerlang.

Selanjutnya, dengan kondisi di atas maka kinerja organisasi atau kinerja birokrat

secara umum dalam pelaksanaan program Mamuju mapaccing juga akan

mengalami kendala.

Pengaruh kemampuan intelektual terhadap proses perilaku pegawai di lokasi

penelitian ini terlihat hanya pada pembuatan keputusan, tidak terlihat pada emosi

dan motivasi. Tidak terlihatnya pengaruh kemampuan intelektual terhadap emosi

dan motivasi pegawai diindikasikan dengan adanya bauran intensitas emosi dan tipe

motivasi. Telah ditunjukkan dengan data bahwa intensitas emosi pegawai maupun

petugas kebersihan berada dalam tingkat yang wajar atau terkendali. Tidak ada

perbedaan intensitas emosi di antara pegawai yang berpendidikan SLTA dengan

yang lebih tinggi. Demikian juga, tidak ada perbedaan tipe motivasi di antara

pegawai yang berpendidikan SLTA dengan yang lebih tinggi. Terkait hal ini, fakta

menunjukkan bahwa pegawai yang berpendidikan SLTA (dan SLTP) sebagian besar

menduduki posisi staf, hanya sebagian kecil yang menduduki jabatan struktural level

bawah. Akan tetapi, pada kelompok pegawai yang menduduki posisi staf ataupun

yang menduduki jabatan struktural level bawah, kebanyakan dimotivasi secara

156
menonjol oleh kesejahteraan atau kemakmuran, bukan oleh penghargaan sosial.

Pegawai yang berpendidikan rendah maupun tinggi, yang berada dalam level

jabatan yang sama, semuanya mempunyai tipe motivasi utama yang juga sama. Hal

tersebut dapat dimaknai bahwa kemampuan intelektual tidak mempengaruhi tipe

motivasi pegawai.

Pengaruh kemampuan intelektual terhadap proses perilaku birokrat dalam

penelitian ini terlihat pada dimensi pembuatan keputusan, yakni pada keinginan-

keinginan (manfaat) yang berkaitan dengan outcomes potensial dari setiap alternatif

tindakan yang diusulkan pegawai. Dalam uraian terdahulu telah ditunjukkan bahwa

ada perbedaan tipe manfaat yang dipertimbangkan oleh pegawai pada level jabatan

yang berbeda. Pegawai pada level bawah cenderung mempertimbangkan

kebutuhan jangka pendek sedangkan pegawai pada jabatan menengah ke atas

cenderung mempertimbangkan kesinambungan kegiatan dan sinkronisasi program.

Kebutuhan jangka pendek yang dipertimbangkan oleh pegawai level bawah adalah

benefit finansial. Pegawai cenderung mengusulkan kegiatan yang dapat

memberikan pendapatan tambahan, seperti pelatihan singkat, konsultasi,

perjalanan, monitoring, dan lainnya. Sebaliknya, pegawai yang menduduki jabatan

pimpinan level menengah tetap juga menginginkan kemanfaatan finansial namun

secara lebih jauh ikut melihat juga apakah sinkron dengan kegiatan dan program

prioritas yang telah dicantumkan dalam Renstra organisasi. Pengaruh kemampuan

intelektual terhadap pembuatan keputusan oleh pegawai dapat digambarkan bahwa

makin tinggi kemampuan intelektualnya makin strategis cara berpikirnya. Demikian

157
juga, makin tinggi kemampuan intelektual pegawai, makin besar perhatian dan

penekanannya pada kesinambungan program dan kegiatan.

Penelitian ini menganalisis pertama-tama tentang outcomes perilaku birokrat

dalam pelaksanaan program Mamuju mapaccing. Selanjutnya, penelitian ini

menganalisis tentang pengaruh variabel input perilaku terhadap proses perilaku

birokrat, dan pengaruh variabel proses perilaku terhadap outcomes perilaku birokrat

dalam pelaksanaan program tersebut. Model analisis penelitian ini diarahkan oleh

model perilaku organisasi dari Robbins and Judge (2013) yang memprediksikan

adanya pengaruh dari input perilaku terhadap proses perilaku, dan pengaruh proses

perilaku terhadap outcomes perilaku. Temuan-temuan yang berkenaan dengan

tujuan penelitian tersebut adalah sebagai berikut.

Birokrasi merupakan institusi utama pemerintahan di negara-negara yang

sedang berkembang, sering juga disebut sebagai mesin utama pemerintahan.

Birokrasi di negara-negara berkembang sedang dituntut untuk berperilaku rasional,

modern, efisien dan efektif karena perilaku birokrasi dapat menjelaskan kualitas

pelayanan publik dan kinerja sektor publik. Outcomes perilaku yang diharapkan dari

birokrasi adalah kinerja tugas yang baik dan organizational citizenship behavior

(OCB). Berkinerja baik artinya dapat menyelesaikan unit-unit pekerjaan yang sesuai

dengan rencana dan menunjukkan peningkatan, serta menyediakan pelayanan

kepada publik secara memuaskan. Terlibat secara ekstensif dalam OCB artinya

pegawai melangkah lebih jauh dari sekedar uraian tugas formal dengan melakukan

perilaku diskresioner yang mencakup altruisme, courtesy, sportsmanship,

conscientiousness, dan civic virtue.

158
Outcomes perilaku birokrat yang mencakup kinerja tugas formal dan

organizational citizenship behavior (OCB) tidak terjadi dalam suasana vacuum tetapi

melalui suatu proses perilaku. Proses perilaku birokrat pada level individual

mencakup emosi, motivasi, dan pengambilan keputusan. Pegawai dan petugas

kebersihan diharapkan mempunyai kemampuan mengontrol emosi pada level yang

wajar, mempunyai motivasi untuk melaksanakan program, dan menerapkan proses

yang rasional dalam membuat keputusan-keputusan berkenaan dengan tugas-

tugasnya.

Data hasil penelitian menunjukkan bahwa secara umum pegawai ataupun

petugas kebersihan mempunyai emosi dalam intensitas yang wajar yang

diungkapkan dalam bentuk pernyataan memuji, mengapresiasi, menyatakan terima

kasih, dan menyatakan rasa syukur kepada Tuhan. Perbedaan-perbedaan dalam

capaian kinerja tugas tidak mempunyai basis pada perbedaan intensitas emosi.

Semua pegawai mempunyai kecenderungan yang sama dalam intensitas emosi

sedangkan level kinerja tugas formal bervariasi di antara level jabatan yang berbeda.

Namun, keterlibatan pegawai dalam OCB mempunyai basis pada kemampuan

mengontrol emosi. Dengan tingkat emosi yang terkendali, pegawai maupun petugas

kebersihan dapat saling memahami kesulitan tugas, saling membantu dalam

menyelesaikan permasalahan kerja, dan membina hubungan sosial yang harmonis.

Berdasarkan uraian tersebut maka dikemukakan proposisi sebagai berikut:

“Kemampuan mengontrol emosi tidak mempengaruhi kinerja tugas formal tetapi


mempengaruhi keterlibatan pegawai maupun petugas kebersihan dalam
perilaku diskresioner (OCB).”

159
Pegawai mempunyai motivasi yang sama yakni kebutuhan-kebutuhannya.

Kebutuhan level rendah memotivasi semua pegawai tetapi dengan kekuatan yang

berbeda menurut level jabatan. Kebutuhan level yang lebih tinggi hanya memotivasi

pegawai yang mempunyai jabatan level menengah dan atas dalam hirarki

organisasi. Kebutuhan level rendah direpresentasikan dengan pendapatan, baik

pendapatan resmi maupun pendapatan tambahan, sedangkan kebutuhan level yang

tinggi direpresentasikan dengan penghargaan di tempat kerja. Di semua level,

kekuatan motivasi pegawai belum mencapai tingkat yang maksimal. Pegawai di

semua level mempunyai kekuatan motivasi yang rendah atau lemah. Oleh karena

ketersediaan motivasi kebutuhan relatif rendah maka pegawai mengkondisikan

penyediaan sarana sesuai prediksinya tentang imbalan material yang akan diperoleh

setelah selesainya pekerjaan tersebut. Cara yang ditempuh adalah dengan

menunjukkan keseriusan dalam melayani, memperbaiki kualitas pelayanan, guna

memancing keikhlasan dari pihak yang dilayani sehingga memberikan tanda terima

kasihnya kepada petugas yang melayani. Ketika pegawai ataupun petugas

kebersihan memperlancar pelayanan, dan mempersingkat waktu pelayanan, klien

pada umumnya memberikan tanda terima kasih yang berbentuk finansial. Namun,

ketika tanda terima kasih dimaksud tidak diperoleh, maka pegawai mengkondisikan

proses berikutnya baik yang berkenaan dengan tugas-tugas formal maupun perilaku

diskresioner. Berdasarkan uraian tersebut dikemukakan proposisi sebagai berikut:

“Tipe motivasi mempengaruhi level outcomes perilaku birokrat baik dalam


dimensi kinerja tugas maupun perilaku diskresioner (OCB).”

Kecenderungan untuk mengkondisikan pekerjaan berdasarkan prediksinya

tentang “tanda terima kasih” dari klien dilakukan pegawai karena pendapatan dari

160
gaji bulanan yang diperoleh masih kurang memadai untuk kebutuhan kesejahteraan

ekonominya walaupun pada tingkat yang minimal. Berdasarkan hal tersebut

dikemukakan proposisi sebagai berikut:

“Jika pemerintah ingin lebih memperbaiki kinerja tugas dan keterlibatan pegawai
ataupun petugas kebersihan dalam perilaku diskresioner (OCB) maka
penyediaan motivasi kebutuhan tingkat yang rendah perlu diperbaiki.”

Pegawai dan petugas kebersihan secara umum terlibat dalam pengambilan

keputusan rasional. Dalam membuat keputusan, pegawai menempuh tahapan-

tahapan: identifikasi alternatif-alternatif, keyakinan tentang keadaan outcomes dari

alternative-alternatif, dan keinginan-keinginan tentang manfaat yang berkaitan

dengan outcomes potensial dari setiap kombinasi tindakan. Rapat rutin lengkap dan

rapat pimpinan memfasilitasi pembuatan keputusan tersebut. Namun, belum semua

pegawai menempuh tahapan tersebut secara konsisten. Sebagian pegawai hadir

dalam rapat sekedar memenuhi perintah, sebagian lainnya mempunyai keterlibatan

aktif. Sebagian pegawai lebih mempertimbangkan alternatif keputusan yang

dianggap memberikan ruang yang lebih besar untuk memperoleh kemanfaatan

finansial jangka pendek. Dalam kaitan tersebut, permasalahan tugas yang terkait

erat dengan kebutuhan mendesak dari masyarakat kurang terakomodasi dalam

program, proses kerja pegawai menjadi lamban pada area-area yang tidak

memberikan kemanfaatan pribadi dan tidak banyak melibatkan diri dalam perilaku

diskresioner. Berdasarkan uraian tersebut maka dikemukakan penelitian sebagai

berikut:

“Keterlibatan pegawai dan petugas kebersihan dalam pembuatan keputusan


rasional mempengaruhi pencapaian pelaksanaan program dan keterlibatan
dalam perilaku diskresioner (OCB).”

161
Proses perilaku birokrat yang mencakup emosi, motivasi, dan pembuatan

keputusan membutuhkan input perilaku yang relevan. Input perilaku birokrat yang

relevan pada level individual adalah keragaman demografis, nilai-nilai, dan

kemampuan intelektual. Birokrasi membutuhkan pegawai dan petugas kebersihan

dengan karakteristik demografi yang beragam, nilai-nilai professional yang universal,

dan kemampuan intelektual agar dapat menjalankan proses-proses pengendalian

emosi, motivasi melayani kepentingan publik dan pengambilan keputusan yang

rasional.

Pegawai dan petugas kebersihan dikedua Kantor mempunyai keragaman

demografis yang berkenaan dengan etnis dan usia tetapi relatif homogen dalam

jenis kelamin dan kesempurnaan fisik (jasmani). Tidak ada perbedaan dalam variasi

emosi, motivasi maupun pengambilan keputusan di antara pegawai yang

mempunyai jenis kelamin dan asal etnis yang berbeda. Perbedaan dalam tipe

motivasi terdapat di antara pegawai yang berumur muda dengan yang berumur lebih

tua. Namun, perbedaan dimaksud hanyalah karena fakta bahwa kebanyakan

pegawai yang berumur muda adalah pegawai baru yang mempunyai pendapatan riil

yang kecil sehingga lebih termotivasi oleh kesejahteraan/kemakmuran. Sebaliknya,

kebanyakan pegawai yang berumur lebih tua adalah sudah mencapai pangkat yang

lebih tinggi dan sudah menduduki jabatan struktural sehingga mempunyai

pendapatan riil yang lebih besar. Kondisi ini terkait juga dengan fakta bahwa

penempatan dan promosi jabatan dikedua Kantor tersebut berdasarkan pada prinsip

senioritas di samping syarat obyektif yang lainnya. Berdasarkan uraian tersebut

diajukan proposisi sebagai berikut:

162
“Keragaman demografis mempengaruhi tipe motivasi pegawai ataupun petugas
kebersihan melalui mediasi level jabatan dan pendapatan”.

Pegawai dan petugas kebersihan secara umum menjunjung tinggi nilai-nilai

akhir berupa: kesejahteraan ekonomik (kemakmuran), kesetaraan perlakuan,

pengakuan sosial di tempat kerja, dan respek diri. Pegawai juga menjunjung tinggi

nilai-nilai instrumental berupa: tanggung jawab, kejujuran, independensi

(ketidakberpihakan pada pribadi), kapabilitas, ambisi, dan keberanian. Namun,

intensitas atau hirarki dari nilai-nilai tersebut berbeda antara pegawai bawahan dan

atasan. Lagi pula, ada pergeseran nilai instrumental ke arah yang pragmatis di mana

pegawai secara umum memandang lumrah penerimaan balas jasa dari klien yang

terkait dengan pelaksanaan jabatan. Pergeseran nilai ini berakibat pada dominannya

pertimbangan kebutuhan pribadi ketimbang kepentingan publik dalam pembuatan

keputusan. Berdasarkan uraian tersebut dikemukakan proposisi bahwa:

“Kekuatan komitmen pada nilai-nilai akhir dan nilai-nilai instrumental


mempengaruhi tipe motivasi dan pembuatan keputusan pegawai”

Kemampuan intelektual pegawai ataupun petugas kebersihan di lokasi

penelitian ini rendah, sebagaimana diindikasikan dengan dominannya jumlah

pegawai ataupun petugas kebersihan yang berpendidikan SLTA, sedangkan

sebagian pegawai yang mempunyai latar belakang pendidikan akademik level

diploma dan sarjana mempunyai kemampuan penalaran dan pemecahan masalah

yang rendah. Padahal, secara teoritis pendidikan merupakan kunci bagi

pengembangan ilmu dan teknologi serta vitalitas budaya. Kemampuan intelektual

yang rendah terlihat hanya pada pembuatan keputusan, tidak terlihat pada emosi

dan motivasi. Tidak ada perbedaan intensitas emosi di antara pegawai yang

163
berpendidikan SLTA dengan yang lebih tinggi. Demikian juga, tidak ada perbedaan

tipe motivasi di antara pegawai yang berpendidikan SLTA dengan yang lebih tinggi.

Pegawai ataupun petugas kebersihan yang berpendidikan rendah maupun tinggi,

yang berada dalam level jabatan yang sama, semuanya mempunyai tipe motivasi

utama yang juga sama. Akan tetapi, pada dimensi pembuatan keputusan, keinginan-

keinginan (manfaat) yang berkaitan dengan outcomes potensial dari setiap alternatif

tindakan yang diusulkan pegawai dan petugas kebersihan berbeda antara mereka

yang mempunyai kemampuan intelektual dengan yang tidak mempunyai

kemampuan intelektual. Pegawai dengan kemampuan intelektual rendah cenderung

mempertimbangkan kebutuhan jangka pendek sedangkan pegawai yang

mempunyai kemampuan intelektual tinggi cenderung mempertimbangkan

kesinambungan kegiatan dan sinkronisasi program. Berdasarkan uraian tersebut

dikemukakan proposisi bahwa:

“Kemampuan intelektual pegawai maupun petugas kebersihan mempengaruhi


tipe alternatif yang dipertimbangkan dalam pembuatan keputusan”.

Sebagaimana kita ketahui bahwa yang terkait dalam suatu organisasi

pemerintah atau pun di instansi lainnya setiap orang mempunyai tugas dan fungsi

serta mempunyai akal dan perasaan serta motivasi. ketika merasa senang bekerja

dengan penuh semangat dan bergairah, dapat dipastikan bahwa tujuan organisasi

tersebut akan semakin mudah tercapai.

Sebab kebaikan dari pada kinerja seorang karyawan salah satunya bisa

ditilik dari riwayat pekerjaannya, yang dimaksud dalam hal ini adalah pengalaman,

namun hal tersebut tidak selalu menjamin kinerja yang lebih baik. Tentu semakin

164
lama tingkat kompetensi semakin tinggi persaingan dan semakin ketat. Maka

dibutuhkanlah sebuah tingkat pendidikan yang lebih mampu bersaing untuk

memasuki dunia keorganisasian dengan lebih baik. Dengan bertambahnya

pengalaman seorang pegawai dalam dunia kerja, maka akan bertambah pula

pengetahuan, keterampilan, kecakapan dan kecekatan dalam pengabdian kerjanya

di dalam organisasi. Dengan demikian semakin banyak pengalaman kerja

seseorang atau semakin lamanya waktu organisasi tersebut untuk masa bekerja

akan dapat meningkatkan kerja sama atau dengan kata lain akan mempengaruhi

peningkatan kinerja orang yang bersangkutan.

Bertambahnya pengalaman bagi seorang pegawai ataupun petugas

kebersihan dalam melaksanakan tugasnya untuk masyarakat, maka akan

bertambah pula pengetahuan, keterampilan, kecakapan dan kecekatan dalam

pengabdian kerjanya, dengan demikian semakin lamanya waktu seseorang pegawai

atau petugas kebersihan tersebut untuk masa bekerja akan dapat meningkatkan

kemampuan kerja sama atau dengan kata lain akan mempengaruhi peningkatan

kinerja pegawai dan petugas kebersihan itu sendiri.

Tentu saja pengalaman memang penting, namun akan lebih optimal jika

diimbangi dengan tingkat pengetahuan yang terus diperbaharui, karena ilmu

pengetahuan terus menerus berkembang, masalah baru, pekerjaan baru selalu

menciptakan kebutuhan baru bagi suatu organisasi. Walaupun pengalaman kerja

merupakan faktor yang penting, namun tingkat pendidikan juga sangat dibutuhkan.

Dalam pendidikan akan terdapat proses yang terus menerus berjalan dan

bukan sesaat saja, namun pendidikan juga bisa disebut sebagai usaha untuk

165
meningkatkan pengetahuan umum seseorang termasuk didalamnya penguasaan

teori untuk memutuskan persoalan-persoalan yang menyangkut kegiatan

pencapaian tujuan pelaksanaan progam. Kinerja pegawai dan petugas kebersihan

yang baik tentu bisa dijadikan salah satu faktor dasar atau tolak ukur keberhasilan

program Mamuju mapaccing untuk mendapatkan Adipura, dalam hal ini kinerja

pegawai dan petugas kebersihan maupun masyarakat mengambil peran yang

sangat penting dalam upaya untuk melaksanakan tugasnya dengan sebaik-baiknya.

Kinerja pegawai dan petugas kebersihan dirasakan semakin besar perannya dalam

mewujudkan tugas tanggung jawabnya sebagai seorang penggerak pelaksana

program, sehingga perubahan kinerja dipengaruhi oleh tingkat pendidikan, pelatihan

(Diklat) serta pengalaman kerja. Peningkatan pengetahuan pegawai di dalam

penguasaan teori dan keterampilan dimaksudkan untuk memutuskan persoalan-

persoalan kegiatan dalam mencapai tujuan program serta menyelesaikan pekerjaan

yang telah dilimpahkan pada setiap pegawai dan petugas kebersihan tersebut.

Sehingga hal ini bisa meningkatkan kemampuan mereka dalam melaksanakan

tuganya serta dapat bekerja lebih efektif. Program pendidikan dan pelatihan

bertujuan untuk meningkatkan kemampuan pegawai, dan kinerja pegawai dalam

mencapai sasaran kerja (Handoko 2007:103). Salah satu hal yang digunakan untuk

mengukur kemampuan seorang pegawai dilihat dari latar belakang pendidikan

formal disamping kemampuan dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya.

Temuan-temuan penelitian ini perihal perilaku birokrat pada level analisis

individual memperlihatkan konsistensi dengan model perilaku organisasi dari

Robbins and Judge (2013). Namun tidak semua prediksi teoritis Robbins and Judge

166
(2013) Perihal saling pengaruh antara variabel-variabel input, proses dan outcomes

perilaku birokrasi mendapat dukungan empiris dalam konteks penelitian ini. Tidak

semua variabel input perilaku mempengaruhi variabel proses perilaku, dan tidak

semua variabel proses perilaku mempengaruhi outcomes perilaku birokrat di konteks

penelitian ini. Hal ini berimplikasi pada model perilaku organisasi dari Robbins and

Judge (2013). Implikasinya adalah bahwa studi-studi perilaku birokrasi yang

menerapkan model Robbins and Judge (2006) tidak serta merta dapat mengadopsi

seluruh arahan teoritiknya tetapi harus memilih parameter dan indikator yang relevan

untuk konteks penelitian tersebut.

Variabel proses perilaku birokrasi pada level individual dalam model

penelitian ini mencakup: emosi, motivasi, dan pengambilan keputusan. Analisis

berikut difokuskan pada bagaimana pengaruh emosi, motivasi, dan pengambilan

keputusan terhadap outcomes perilaku birokrasi dalam pelayanan publik.

Variabel-variabel Proses Perilaku Individu dalam Pelaksanaan Program

Gerakan Mamuju Mapaccing.

Perihal proses perilaku yang berwujud emosi, penelitian ini berfokus pada

perasaan marah kepada seseorang, senang/benci kepada seseorang, dan takut

kepada sesuatu. Hasil penelitian menunjukkan bahwa emosi pegawai dalam ketiga

aspek tersebut terjadi dalam intensitas yang wajar yang diungkapkan dalam bentuk

pernyataan memuji, mengapresiasi, menyatakan terima kasih, dan menyatakan rasa

syukur kepada Tuhan.

167
Perihal proses perilaku yang berwujud motivasi, penelitian ini berfokus pada

kebutuhan level yang lebih rendah dan kebutuhan level lebih tinggi dalam model

Abraham H. Maslow. Kebutuhan level yang lebih rendah mencakup kebutuhan

fisiologis dan keamanan, sedangkan kebutuhan level lebih tinggi mencakup

kebutuhan sosial, penghargaan, dan aktualisasi diri. Temuan penelitian ini yang

berkenaan dengan motivasi adalah berbaur, terdapat perbedaan kebutuhan yang

memotivasi pegawai pada level bawah dan level menengah ke atas. Tetapi, di

semua level, kekuatan motivasi pegawai dan petugas kebersihan belum mencapai

tingkat yang maksimal.

Perihal proses perilaku yang berwujud pengambilan keputusan, penelitian ini

berfokus pada tiga sekuensi proses keputusan dari Hastie dalam Certo et al. (2008)

dan dalam model Robbins (2013), yakni: alternatif-alternatif, keyakinan tentang

keadaan outcomes dari alternatif-alternatif, dan keinginankeinginan tentang manfaat

yang berkaitan dengan outcomes potensial dari setiap kombinasi tindakan. Hasil

penelitian ini menunjukkan bahwa proses pengambilan keputusan pegawai sudah

mencakup proses keputusan rasional tersebut, namun belum ditempuuh secara

konsisten oleh semua pegawai.

Perihal emosi pegawai, temuan penelitian ini menunjukkan bahwa pegawai

maupun petugas kebersihan secara umum mengalami variasi-variasi emosi namun

berada pada intensitas yang wajar dan diungkapkan dengan cara-cara yang

terkendali sehingga dikategorikan secara umum baik. Kondisi ini menggambarkan

intensitas emosi yang wajar sebagaimana diuraikan oleh Robbins and Judge (2013).

Dalam tingkat yang wajar, emosi dapat menumbuhkan pemikiran rasional serta

168
kinerja yang tinggi bagi pegawai. Robbins and Judge (2013) mengatakan bahwa kita

memerlukan kemampuan untuk mengalami emosi agar kita menjadi rasional karena

emosi menyediakan kepada kita informasi penting tentang bagaimana kita

memahami dunia sekitar kita. Owoseni (2015) mengemukakan bahwa moods dan

emosi karyawan mempengaruhi kepuasan jabatannya dan selanjutnya

mempengaruhi kinerja karyawan. Brief and Weiss (2002) mengatakan bahwa emosi

dapat mempengaruhi berbagai outcomes kinerja.

Kondisi emosi yang baik tersebut tumbuh secara alamiah di lingkungan

pegawai. Secara umum pegawai ataupun petugas kebersihan di kedua Kantor

mempunyai kecerdasan emosional, yakni kemampuan untuk mendeteksi dan

mengelola isyarat emosional dan informasi, sebagai hasil dari pengalaman hidupnya

sehari-hari. Secara legal-formal, pimpinan di institusi tersebut belum melakukan

upaya-upaya organisasional yang bersifat terprogram untuk mengatur,

mempengaruhi dan mengelola emosi serta mendeteksi kemungkinan efek-efeknya

bagi pegawai, sebagaimana yang dianjurkan oleh Robbins and Judge (2013).

Program-program pelatihan atau simulasi kecerdasasan emosional belum pernah

dilakukan secara terprogram untuk pegawai di kantor tersebut.

Emosi pada intensitas yang terkendali/wajar, secara teoritis memungkinkan

seseorang untuk mengelola dorongan-dorongan atau hasrat dalam dirinya,

berkomunikasi secara efektif dengan orang-orang lain, memecahkan masalah, dan

menggunakan humor dalam situasi problematik. Emosi yang terkendali/wajar juga

menumbuhkan dalam diri seseorang rasa empathy, optimisme dalam keadaan

keterbatasan/kelangkaan, dan mampu memecahkan atau menjawab komplain yang

169
diajukan klien. Emosi yang terkendali/wajar membantu menjaga seseorang berada

dalam kejernihan berpikir dan keseimbangan diri.

Temuan-temuan penelitian ini menunjukkan bahwa efek positif dari adanya

emosi pada intensitas yang terkendali yang dimiliki oleh pegawai ataupun petugas

kebersihan di kedua Kantor hanya terdapat pada organizational citizenship behavior

(OCB), tidak terdapat pada kinerja tugas formal. Hasil-hasil penelitian Perihal kinerja

tugas formal secara umum berada pada level yang buruk. Sedangkan outcomes

perilaku pada dimensi organizational citizenship behavior (OCB) berkisar antara baik

hingga berbaur, tidak ada dimensi OCB yang tergolong buruk. Dimensi OCB yang

tergolong baik adalah sportsmanship, sedangkan yang berada dalam kondisi

berbaur adalah altruisme, courtesy, conscientiousness, dan civic virtue. Keterlibatan

pegawai dalam berbagai dimensi OCB tersebut dimungkinkan karena adanya

suasana emosional yang terkendali di mana pegawai dapat saling mengingatkan,

saling berpesan untuk kebaikan, dan membina hubungan sosial yang harmonis di

tempat kerja.

Perihal proses perilaku yang berwujud motivasi, penelitian ini berfokus pada

lima kebutuhan yang diidentifikasi dalam model Abraham Maslow namun

dikelompokkan menjadi dua dimensi, yakni: kebutuhan level rendah, dan kebutuhan

level tinggi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kebutuhan level rendah memotivasi

semua pegawai dan petugas kebersihan tetapi dengan kekuatan yang berbeda

menurut level jabatan. Selanjutnya, kebutuhan level yang lebih tinggi hanya

memotivasi pegawai yang mempunyai jabatan level menengah dan atas dalam

hirarki organisasi. Kebutuhan level rendah direpresentasikan dengan pendapatan,

170
baik pendapatan resmi maupun pendapatan tambahan, sedangkan kebutuhan level

yang tinggi direpresentasikan dengan penghargaan di tempat kerja.

Temuan penelitian ini menunjukkan bahwa kebutuhan-kebutuhan individual

pegawai dan kebutuhan prosedur birokratis dominan memotivasi pegawai. Kondisi

ini menyerupai asumsi-asumsi motivasi dalam era Old Public Administration (OPA).

Kebutuhan untuk melayani kepentingan publik sebagaimana dibahas dalam literatur

New Public Services (NPS) belum menonjol di lokasi penelitian ini. Belum terlihat

jelas bahwa pegawai dalam bekerja didorong oleh keinginan yang kuat untuk

merealisasikan kepentingan publik, melakukan sesuatu demi kebaikan orang lain

dan ikut serta merealisasikan kesejahteraan masyarakat. Kenyataannya, pegawai

lebih didorong oleh motivasi untuk memaksimumkan kebahagiaan dirinya sendiri

dan untuk sekedar mematuhi dan menjalankan prosedur-prosedur birokratis

sebagaimana yang digambarkan oleh Petrovsky (2009). Temuan penelitian ini tidak

sejalan dengan Baarspul (2009) yang menemukan bahwa karyawan di sektor publik

mempunyai community-service motivation yang lebih tinggi daripada di sektor privat.

Di Kantor DLHK dan Kantor Kelurahan Binanga, motivasi untuk melayani

kepentingan komunitas lebih rendah dibandingkan dengan motivasi untuk melayani

kepentingan pribadi dan birokrasi.

Kecenderungan untuk mengkondisikan pelaksanaan program berdasarkan

prediksinya tentang “tanda terima kasih” dari klien dilakukan pegawai maupun

petugas kebersihan karena pendapatan dari gaji bulanan yang diperoleh dianggap

masih sangat kurang memadai untuk kebutuhan kesejahteraan ekonominya saat ini.

Pendapatan tetap dari gaji bulanan saat ini jauh dari mencukupi untuk dapat

171
memenuhi kesejahteraan rumah tangga walaupun pada tingkat yang minimal.

Minimnya jaminan kesejahteraan dari gaji kita lihat dari kebutuhan untuk hidup layak

antara lain sandang, pangan dan papan belum cukup untuk biaya hidup pegawai

maupun petugas kebersihan.

Temuan penelitian ini menunjukkan adanya konsistensi antara tipe motivasi

yang diharapkan dan yang diperoleh di satu pihak, dan level kinerja tugas dan OCB

di lain pihak. Pegawai di semua level belum memiliki motivasi yang cukup kuat

sehingga belum menunjukkan kinerja tugas dan melibatkan diri dalam OCB secara

lebih baik. Selanjutnya, karena terbatasnya faktor-faktor motivasi yang tersedia,

maka pegawai maupun petuga kebersihan di kedua Kantor tersebut mendesain

sendiri pola-pola tindakannya untuk memperoleh faktor-faktor motivasi dimaksud

dengan membebankan kepada klien. Hal ini berefek pada ketidakjelasan jadwal

pengangkutan sampah dan kelambanan penyelesaian pekerjaan yang diterima oleh

klien, serta minimnya keikhlasan untuk membantu klien di luar cara-cara yang sudah

diuraikan dalam prosedur formal pelaksanaan program.

Sedikit pegawai yang melakukan perilaku-perilaku diskresioner untuk klien

karena sudah diintegrasikan dalam siasat individual untuk memperoleh “tanda terima

kasih” dari klien. Di lokasi penelitian ini tidak terlihat kecenderungan “kalau bisa

dipersulit mengapa harus dipermudah” sebagaimana yang seringkali dibicarakan

oleh publik, tetapi yang terjadi adalah pegawai maupun petugas kebersihan tidak

antusias untuk mempermudah pengangkutan sampah.

Variabel ketiga dari proses perilaku birokrat adalah pengambilan keputusan.

Temuan penelitian ini menunjukakn bahwa proses-proses yang ditempuh pegawai

172
maupun petugas kebersihan secara umum berbaur. Sekuensi keputusan rasional

diterapkan tetapi belum konsisten. Kenyatannya, dalam proses keputusan nilai yang

dimaksimumkan oleh pegawai bukanlah kepentingan publik yang luas tetapi

kepentingan prosedur formal, kesesuaian Renstra, arahan kebijakan dari atas, dan

kemanfaatan finansial bagi individu pegawai sebagai pendapatan tambahan.

Walaupun keputusan-keputusan pegawai berkenaan dengan pelaksanaan program

ikut mempertimbangkan kepentingan masyarakat setempat, namun hal tersebut

lebih bersifat minor dibandingkan dengan kepentingan-kepentingan birokrasi dan

individu pegawai itu sendiri. Temuan ini memperkuat teori Buchanan yang

mengatakan bahwa aktivitas pemerintah lebih melayani kepentingan-

kepentingannya sendiri ketimbang kepentingan terbesar rakyat (Kirchner, 2011).

Pertimbangan efisiensi dan responsivitas terhadap kebutuhan warganegara

sebagaimana diasumsikan dalam model Neo Weberian State dari Pollitt & Bouckaert

(2011) belum menguat di lokasi penelitian ini. Efeknya adalah bahwa pegawai tidak

berusaha antusias untuk mencapai kinerja tugas yang tinggi dan melibatkan diri

secara luas dalam berbagai dimensi OCB. Secara logis, kecil kemungkinan bahwa

pegawai akan memaksimumkan kinerja tugas formal dan melibatkan diri secara luas

dalam berbagai dimensi OCB jika pertimbangan-pertimbangan untuk

memaksimumkan kebutuhannya saat ini masih lebih dominan karena kebutuhan-

kebutuhan tersebut, yang direpresentasikan dengan pendapatan (baik resmi

maupun tambahan) dan penghargaan oleh atasan belum diperoleh di tempat

kerjanya secara layak. Hal ini menunjukkan bahwa pertimbangan-pertimbangan

yang dominan dalam membuat keputusan terkait erat juga dengan motivasi yang

173
dominan. Pegawai yang lebih dimotivasi oleh kebutuhan finansial akan cenderung

mempertimbangkan alternatif yang memperluas perolehan “tanda terima kasih”

dalam pengajuan usulan-usulan kegiatannya.

Variabel-variabel Outcomes Perilaku Individu dalam Pelaksanaan Program

Gerakan Mamuju Mapaccing.

Penelitian ini menganalisis dua tipe outcomes perilaku birokrat dalam

pelaksanaan program gerakan Mamuju mapaccing, yakni: (1) kinerja tugas, dan (2)

organizational citizenship behavior (OCB). Kedua tipe outcomes perilaku individual

tersebut diidentifikasi dan dibahas dalam model perilaku organisasi Robbins and

Judge (2013).

Analisis tentang kinerja tugas dalam penelitian ini difokuskan pada dua

parameter kinerja yang diajukan dalam model higher-order performance measures

Ammons (2013), tapi penulis hanya memasukkan satu parameter yakni: efektivitas

pelayanan. Pegawai berkinerja baik jika menunjukkan dan memberikan pelayanan

yang memuaskan kepada klien.

Outcomes perilaku pegawai ataupun petugas kebersihan di kedua Kantor

tersebut, baik dilihat dari aspek efektivitas pelayanan belum mencerminkan kondisi

yang diharapkan. Sebagian besar dari indikator outcomes perilaku tersebut masih

berada pada kategori buruk dan berbaur (segi tertentu baik namun segi lainnya

buruk). Padahal, secara teoritis, melaksanakan dan menyelesaikan tugas-tugas

pelayanan publik secara efektif adalah sangat penting karena pelayanan publik

memainkan peranan sentral dalam kebahagiaan, keberlanjutan dan pertumbuhan

174
komunitas, daerah dan bangsa (Omisore, 2013). Selain itu, pelayanan publik yang

efektif adalah esensi dari sistem demokrasi sehingga secara teoritis tidak ada yang

lebih penting selain dari pemerintah berusaha sekuat mungkin untuk menyediakan

pelayanan publik secara paling efektif (Vigoda, 2000).

Teoritisi lainnya menyatakan bahwa perilaku birokrasi merupakan faktor

penentu bagi kualitas pelayanan publik (Jochimsen, 2007), bahwa perilaku birokrasi

menentukan efektivitas pelayanan pemerintah di negara-negara berkembang

(Keiser, 2003).

Temuan penelitian Perihal outcomes perilaku pegawai ataupun petugas

kebersihan di kedua Kantor tersebut adalah bahwa jumlah unit armada kendaraan

yang ada belum mencapai intensitas yang diharapkan, antara lain: kurangnya

sosialisasi tentang proses, jangka waktu pengankutan sampah di rumah-rumah

warga, masalah layanan informasi yang berbelit-belit.

Dimensi kedua dari outcomes perilaku birokrat dalam model penelitian ini

adalah organizational citizenship behavior (OCB). Berbeda dengan kinerja tugas

formal, organizational citizenship behavior (OCB) lebih merupakan outcomes

perilaku diskresioner, tergantung pada kemauan individu pegawai, dan tidak

dikaitkan dengan ganjaran ataupun hukuman. Organizational citizenship behavior

(OCB) mencakup: altruisme, courtesy, sportsmanship, conscientiousness, dan civic

virtue. Ringkasan temuan penelitian ini berkenaan dengan kelima dimensi OCB

tersebut dalam pelaksanaan program gerakan Mamuju mapaccing yang dapat

disarikan dari hasil-hasil wawancara dengan informan penelitian dan pengamatan

penulis disajikan pada tabel berikut.

175
Ringkasan temuan penelitian Perihal OCB dalam pelaksanaan program
gerakan Mamuju mapaccing

Dimensi/Indikator Baik Berbaur Buruk

Altruism Ѵ
Organizational
Courtesy Ѵ
citizenship
Sportsmanship Ѵ
behavior (OCB)
Conscientiousness Ѵ
Civic virtue Ѵ

Sumber: disarikan dari hasil wawancara dengan informan penelitian dan


pengamatan penulis. Mei 2019

Di antara kelima dimensi organizational citizenship behavior (OCB) hanya

sportsmanship yang berada dalam kondisi baik di lokasi penelitian ini. Keempat

dimensi lainnya yakni altruisme, courtesy, conscientiousness, dan civic virtue

semuanya berbaur, sebagian pegawai melakukannya tetapi sebagian lainnya tidak.

Selain itu, sebagian pegawai melakukannya secara menonjol kepada sesama

pegawai tetapi kurang menonjol untuk klien yang dilayani. Sedikit pegawai yang

melibatkan diri dalam perilaku OCB kepada klien meskipun melihat bahwa klien

berada dalam kondisi kebingungan, keterbatasan, atau kesulitan untuk mengakses

pelayanan.

Organisasi-organisasi perangkat Daerah, termasuk Kantor DLHK Kabupaten

Mamuju dan Kantor Kelurahan Binanga, membutuhkan pegawai dan petugas

kebersihan yang secara antusias melibatkan diri dalam OCB, berkinerja lebih dari

yang diharapkan dalam uraian tugas formal. Bowler (2006) mengemukakan bahwa

176
bukan hanya organisasi-organisasi bisnis, tetapi juga organisasi publik dan seluruh

sistem sosial menikmati hasil dari OCB. Memiliki karyawan semacam ini, menurut

Sirota et al. (2008), merupakan prasyarat bagi bisnis yang sukses dalam jangka

panjang. Di sektor publik, adanya pegawai yang melibatkan diri dalam OCB selalu

mencari cara-cara untuk menyediakan pelayanan publik yang baik, memperkuat

kinerja organisasi, dan berkontribusi pada suatu budaya organisasi yang lebih baik.

Vigoda-Gadot & Beeri (2011) menyatakan bahwa OCB sangat bermanfaat dalam

sektor publik sebab OCB berkontribusi memperbaiki pelayanan public karena

mengobati penyakit birokrasi.

Perilaku Individu di kedua Kantor ditinjau baik dari Segi Input, Proses, dan

Outcomes. Dari hasil penelitian, baik melalui wawancara, studi dokumentasi dan

pengamatan langsung dilapangan menunjukkan bahwa pada Input dan Outcomes

Level Individu Perilaku Birokrat di kedua Kantor masih belum menonjol dalam

memberikan kontribusi terhadap pelaksanaan program.

Hal ini terjadi karena individual memperlihatkan konsistensi dengan model

perilaku organisasi dari Robbins and Judge (20013). Namun tidak semua prediksi

teoritis Robbins and Judge (2013) Perihal saling pengaruh antara variabel-variabel

input, proses dan outcomes perilaku birokrat mendapat dukungan empiris dalam

konteks penelitian ini. Tidak semua variabel input perilaku mempengaruhi variabel

proses perilaku, dan tidak semua variabel proses perilaku mempengaruhi outcomes

perilaku birokrat di konteks penelitian ini. Hal ini berimplikasi pada model perilaku

organisasi dari Robbins and Judge (2013). Implikasinya adalah bahwa studi-studi

perilaku birokrasi yang menerapkan model Robbins and Judge (2013) tidak serta

177
merta dapat mengadopsi seluruh arahan teoritiknya tetapi harus memilih parameter

dan indikator yang relevan untuk konteks penelitian tersebut.

Berdasarkan temuan-temuan penelitian sebagaimana diuraikan di atas,

dapat digambarkan dalam tabel sebagai berikut:

Tabel

Rekapitulasi Input, Proses, dan Outcomes Perilaku Level Individu dalam


Pelaksanaan Program Gerakan Mamuju Mapaccing di Kabupaten Mamuju.

Buruk/Tidak
Level Individu Indikator Baik/Menonjol
Menonjol

Ѵ
Diversity / Keragaman
Input Ѵ
Personality
Nilai yang dianut Ѵ
Ѵ
Emotions & Moods
Proses
Motivasi Ѵ
Pengambilan Keputusan Ѵ
Ѵ
Task Performance
Outcomes
Citizenship Behavior Ѵ
Sumber: Diolah dari Data Primer, 2019

Berdasarkan temuan-temuan penelitian sebagaimana diuraikan di atas, maka


penulis mengemukakan proposisi temuan penelitian sebagai berikut:

Proposisi Minor I:
Jika Input, Proses, dan Output Perilaku Individu dalam Pelaksanaan Program
baik, maka pelaksanaan Program Gerakan Mamuju Mapaccing akan Baik.

178
BAB VI

PENUTUP

VI.1. Kesimpulan

Berdasarkan analisis hasil-hasil penelitian pada bab sebelumnya maka dapat


disimpulkan sebagai berikut:
Input, Proses, dan Outcomes perilaku individu mempengaruhi proses

perilaku birokrat dalam pelaksanaan program Gerakan Mamuju Mapaccing.

Keberhasilan pelaksanaan program Gerakan Mamuju Mapaccing ikut

ditentukan oleh perilaku masyarakat pada umumnya dan apparat birokrat

pada khususnya dalam mengemban misi demi kesuksesan program Gerakan

Mamuju Mapaccing. Namun, tidak semua parameter input perilaku

mempengaruhi semua dimensi proses perilaku birokrat dalam pelaksanaan

program. Proses perilaku individu dalam pelayanan dan pelaksanaan

program di Kantor DLHK Kabupaten Mamuju dan Kantor Kelurahan Binanga

tidak semua parameternya mempengaruhi semua dimensi outcomes perilaku

birokrasi dalam pelayanan dan pelaksanaan program Gerakan Mamuju

Mapaccing. Perilaku birokrasi baik yang membangun citra pelayanan publik

berkualitas prima maupun yang berperilaku sebaliknya, tampaknya tidak

terlepas dari keterkaitannya dengan nilai-nilai budaya lokal yang dianut oleh

setiap individu birokrat. Keterbatasan birokrasi memaknai nilai-nilai budaya

lokal khususnya pegawai yang bersuku Mandar/Mamuju dengan baik

setidaknya juga berdampak terhadap kualitas pelayanan publik. Karena

itulah nilai-nilai budaya lokal dengan perilaku birokrasi saling terkait.

Kemampuan mengontrol emosi tidak mempengaruhi kinerja tugas formal

179
tetapi mempengaruhi keterlibatan pegawai dalam perilaku diskresioner

(OCB); tipe motivasi mempengaruhi level outcomes perilaku birokrasi baik

dalam dimensi kinerja tugas maupun perilaku diskresioner (OCB); sedangkan

keterlibatan pegawai dalam pembuatan keputusan rasional mempengaruhi

pencapaian kinerja tugas formal dan keterlibatan dalam perilaku diskresioner

(OCB). Outcomes perilaku individu dalam pelaksanaan program Mamuju

Mapaccing di kedua institusi kurang sesuai dengan outcomes perilaku yang

diasumsikan dalam birokrasi modern, yang ditandai dengan kinerja tugas

formal yang tinggi dan keterlibatan dalam perilaku diskresioner (OCB) yang

ekstensif. Outcomes perilaku birokrasi dalam pelakasanaan program

Gerakan Mamuju Mapaccing masih kurang sesuai dengan harapan baik

dalam dimensi kinerja tugas formal maupun perilaku diskresioner (OCB)

VI.2. Saran
Berdasarkan kesimpulan penelitian tersebut di atas maka penulis

mengemukakan saran kebijakan untuk pemerintah maupun untuk studi

pengembangan perilaku birokrasi ke depan. Saran kebijakan untuk pemerintah

adalah sebagai berikut:

1. Pemerintah perlu lebih serius memperbaiki perilaku birokrat dalam

pelaksanaan program tersebut melalui pengintegrasian antara penetapan

standar kinerja tugas formal yang terukur dengan keunggulan-

keunggulan perilaku diskresioner pegawai yang mencakup altruisme,

courtesy, sportsmanship, conscientiousness, dan civic virtue.

2. Pimpinan institusi pelaksanaan program tersebut di semua level perlu

mengintegrasikan motivasi-motivasi ekstrinsik dengan motivasi-motivasi

180
intrinsik pada semua level pegawai maupun petugas kebersihan guna

mendorong level outcomes perilaku birokrasi baik dalam dimensi kinerja

tugas maupun perilaku diskresioner (OCB).

3. Pimpinan kedua institusi perlu lebih mempertimbangkan pelayanan atas

kepentingan publik dalam pembuatan program, kegiatan dan keputusan-

keputusan organisasi.

4. Pimpinan di kedua institusi perlu meningkatkan standar pemangkuan

jabatan yang berkenaan dengan kemampuan penalaran dan pemecahan

masalah dibidang pengelolaan sampah, dan mengintegrasikan pemilikan

tingkat pendidikan/keterampilan dengan track-record dalam promosi

jabatan pegawai.

Selanjutnya, saran-saran penulis untuk studi-studi pengembangan

perilaku birokrat dalam pelaksanaan program Gerakan Mamuju Mapaccing di

Kabupaten Mamuju maupun pelaksanaan program lainnya ke depan adalah

sebagai berikut:

1. Studi ke depan di bidang ini, baik dalam konteks pelaksanaan program

Gerakan Mamuju Mapaccing maupun program lainnya di Kabupaten

Mamuju, perlu lebih banyak menginvestigasi dan mengkritisi tentang

bagaimana variabel-variabel input dan proses perilaku secara simultan

dapat mempengaruhi outcomes perilaku birokrat.

2. Variabel-variabel input perilaku individu dan proses perilaku pada level

individual di kedua institusi perlu dianalisis keterkaitannya dengan

program tersebut

181
3. Studi yang sekarang ini mengambil setting pada dua organisasi yakni

Kantor DLHK Kabupaten Mamuju dan Kantor Kelurahan Binanga. Studi

ke depan untuk program tersebut ini perlu menggunakan metode

komparatif baik pada level yang berbeda maupun pada organisasi yang

berbeda dalam satu level untuk mempelajari dan mengidentifikasi

perbedaan karakteristik perilaku birokrat pada setting yang berbeda

tersebut.

182
DAFTAR PUSTAKA

BUKU

Dwiyanto Agus, 2008. Mewujudkan Good Governance Melalui Pelayanan Publik.


Yogyakarta: Gajah Mada University Press.

Ducan, W. Jack. 1980. Organizational Behavior. Edisi kedua, Huston Mifflin


Company. Boston

Dunn, William. 2003. Pengantar Analisis Kebijakan Publik. Yogyakarta. Gajah Mada
University Press.

Gibson Dkk. Jilid 1. Organisasi Perilaku, Struktur, Proses. Jakarta: Erlangga

Gibson Dkk. 1994, Jilid 2. Organisasi Perilaku, Struktur, Proses. Jakarta: Erlangga

Hasniati, 2008. Perilaku Pelayanan Birokrat Garis-Depan Studi Tentang Interaksi


Birokrat Kepolisian Dengan Warga Masyarakat Dalama Pelayanan Surat
Izin Mengemudi di Kota Makassar. Universitas Brawijaya Fakultas Ilmu
Sosial dan Ilmu Politik.

Ibrahim Akmal dan Aslinda, 2017. Organizational Citizenship Behavior dan Kinerja
Organisasi. Yogyakarta: Capiya Publishing.

Robbins Stephen P dan Judge Timothy A, 2015, Perilaku Organisasi


Organizational Behavior.Jakarta: Salemba Empat.

Nimran, Umar. 1999, Perilaku Organisasi. Surabaya: C.V Citra Media.

Yasin, M Bachri. 2018, Perilaku Birokrasi Dalam Pelayanan Pajak Kendaraan


Bermotor di Kantor Samsat Kota Sorong Provinsi Papua Barat. Disertasi
dalam bidang Administrasi Publik. Makassar. Universitas

Weber, Max, 1947. The Theory Of Social And Economic Organization.


Diterjemahkan oleh A.M Henderson dan Talcot Parsons. New York USA:
Oxford University Press.

Thoha Miftah, 2005. Perilaku Organisasi Konsep Dasar dan Aplikasi. Jakarta.

PERATURAN

Peraturan Daerah Nomor 02 Tahun 2017 tentang pengelolaan samah di Kabupaten


Mamuju

183
Peraturan Bupati Mamuju Nomor 12 Tahun 2016 tentang Gerakan Mamuju
Mapaccing

Peraturan Bupati mamuju Nomor Tahun 2018 tentang Kebijakan dan strategi
daerah Kabupaten Mamuju dalam pengelolaan sampah rumah tangga dan sampah
sejenis sampah rumah tangga

TESIS DAN DISERTASI

Abu Bakar, 2009. Studi perilaku birokrasi pada pemerintah Kabupaten/Kota di


Sulawesi Selatan. Lembaga Administrasi Negara

Fianda Gammahendra, 2014. Pengaruh Struktur Organisasi Terhadap Efektifitas


Organisasi. Universitas Brawijaya

Hasniati, 2008. Perilaku Pelayanan Birokrat Garis-Depan Studi Tentang Interaksi


Birokrat Kepolisian Dengan Warga Masyarakat Dalama Pelayanan Surat
Izin Mengemudi di Kota Makassar. Universitas Brawijaya Fakultas Ilmu
Sosial dan Ilmu Politik.

Pebrianto Rezza, 2012. Kapasitas Birokrasi Pemerintah Kabupaten Bengkulu


Utara Untuk Menumbuhkan Motivasi Investasi Lokal. Fakultas Ilmu
Sosial dan Ilmu Politik Universitas Bengkulu

Resi Yudhaningsih, 2011. Peningkatan Efektifitas Kerja Melalui Komitmen,


Perubahan, dan Budaya Organisasi. Politeknik Negeri Semarang

WEBSITE

https://mamujupos.com
http://makassar.tribunnews.com/2019/01/24/pemkab-optimalkan-program-gerakan-
mamuju-mapaccing
https://makassar.antaranews.com/berita/72450/pemkab-mamuju-resmikan-gerakan-
mamuju-mapaccing
http://wacana.info/berita/2590/mamuju-mapaccing-disoal-udin-mandegar-
bagaimana-mengukur-keberhasilan-program-itu-
JOURNAL

184
Amangala, Temple A., 2013. The Effect of Demographic Caracteristics on
Organisational Commitment: a Study of Salespersons in the Soft drink industry in
Nigeria. European Journal of Business and Management, Vol. 5, No.18, 2013

185
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN............................................................................................. 1
I.1 Latar Belakang ........................................................................................... 1
I.2 Rumusan Masalah .................................................................................... 10
I.3 Tujuan Penelitian ...................................................................................... 11
I.4 Manfaat Penelitian .................................................................................... 11

BAB II TINJAUAN PUSTAKA.................................................................................. 13


II.1 Konsep Perilaku ....................................................................................... 13
II.2 Konsep Dasar Perilaku Birokrasi .............................................................. 15
II.2.1 Definisi Perilaku Birokrasi. ................................................................. 15
II.2.2 Teori Perilaku Birokrasi...................................................................... 21
II.2.3 Variabel-Variabel Perilaku Organisasi Robbins dan Judge . .............. 26
II.3 Program Mamuju Mapaccing ....................... Error! Bookmark not defined.
II.4 Penelitian Terdahulu ................................................................................. 59

BAB III METODE PENELITIAN............................................................................... 66


III.1 Jenis Penelitian ........................................................................................ 66
III.2 Lokasi Penelitian ...................................................................................... 67
III.3 Fokus Penelitian ....................................................................................... 67
III.4 Sumber Data ............................................................................................ 70
III.5 Metode Pengumpulan Data ...................................................................... 71
III.6 Informan Penelitian………………………………………………………
III.7 Instrumen Penellitian ................................................................................ 73
III.8 Teknik Pengelolaan dan Analisa Data ...................................................... 73

186

Anda mungkin juga menyukai