Anda di halaman 1dari 9

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Birokrasi merupakan instrumen untuk bekerjanya suatu administrasi. Dimana
birokrasi bekerja berdasarkan pembagian kerja, hirarki kewenangan, impersonalitas
hubungan, pengaturan perilaku, dan kemampuan teknis dalam menjalankan tugas dan
fungsinya sebagai penyelenggara administrasi pemerintahan. Sebagai suatu organisasi
modern, birokrasi pada dasarnya memiliki lima elemen dasar sebagai berikut : satu, the
strategic-apex, atau pimpinan puncak yang bertanggung jawab penuh atas berjalannya
roda organisasi; dua, the middle-line, pimpinan pelaksana yang bertugas menjembatani
pimpinan puncak dengan bawahan; tiga, the operating-core, bawahan yang bertugas
melaksanakan pekerjaan pokok yang berkaitan dengan pelayanan dan produk
organisasi; empat, the tecgnostructure, atau kelompok ahli seperti analis, yang
bertanggung jawab bagi efektifnya bentuk-bentuk tertentu standardisasi dalam
organisasi; lima, the support-staff, atau staf pendukung yang ada pada unit, membantu
menyediakan layanan tidak langsung bagi organisasi, (Mintzberg,1983;11).
Bekerjanya birokrasi berdasarkan hirarki kewenangan memungkinkan terjadinya
kontrol yang efektif dan kinerja yang positif. Apalagi jika kewenangan yang dimiliki
oleh pimpinan puncak (the strategic-apex) didesentralisasikan kepada pimpinan
pelaksana (the middle-line). Struktur yang telah didesentralisasikan tersebut
memungkinkan terciptanya birokrasi profesional yang berdampak kepada
peningkatakan kinerja organisasi dimana birokrasi dapat menjadi bertanggung-gugat
dengan adanya kewenangan yang didelegasikan tersebut. Adanya keteraturan cara kerja
yang terikat kepada peraturan yang ada dalam pandangan Weber bertujuan untuk
menjamin tercapainya kesinambungan tugas dan peran pemerintahan. Namun jika
aturan main tersebut diterapkan secara kaku (rigid) maka akan melahirkan birokrasi
tidak profesional yang terefleksikan dalam menjalankan tugas dan fungsinya terikat
kepada aturan yang berlaku (rule-driven professionalism) dan menjadikan birokrasi
tidak responsif dan inovatif. Apabila birokrasi tidak terlalu terikat kepada petunjuk
pelaksana dan aturan baku pelaksanan tugas tapi lebih digerakkan oleh misi yang ingin
dicapai oleh organisasi (mission-driven professionalism) maka akan terwujud birokrasi
profesional yang menjalankan tugas dan fungsinya secara efektif, efisien, inovatif, dan
mempunyai etos kerja tinggi (Tjokrowinoto,1996;191).

1
Mengingat urgensitas peran aparatur dalam menyelenggarakan peran dan
fungsinya, perlu kiranya dicari dan dirumuskan suatu pendekatan strategis untuk
membangun wajah baru aparatur profesional yang handal, tanggap, inovatif fleksibel
dan tidak prosedural dalam memberikan pelayanan dan penyelenggaraan pembangunan.
Peran pemerintah yang selama ini sebagai ruler seharusnya diganti dengan
sebagai fasilitator seperti yang dikatakan oleh (Osborne & Gaebler,1992;29), dengan
sepuluh prinsip Mewirausahakan Birokrasi, yang memperkenalkan paradigma baru
dengan menempatkan birokrasi sebagai fasilitator bukan sebagai ruler atau patron.
Walaupun upaya untuk mewujudkan birokrasi pemerintahan yang responsif dan
inovatif dengan memposisikan diri sebagai fasilitator bukan pekerjaan yang mudah,
namun upaya untuk mewujudkan cita cita tersebut tetap harus diupayakan demi
memberikan pelayanan yang baik kepada publik dan mampu memperbaiki citra
birokrasi Indonesia yang selama beberapa dasawarsa banyak menimbulkan citra negatif
dan telah kehilangan legitimasi dimata masyarakat.

B. Tujuan Penulisan
Tujuan dalam penulisan makalah ini adalah untuk menambah pengetahuan
dan diharapkan bermanfaat bagi kita semua. Selain itu juga untuk mengkaji kembali
bagaimana perilaku biokrasi. Khususnya perilaku birokrasi di Indonesia yang pada
kenyataannya belum berjalan secara efektif.

C. Manfaat
Manfaat dari pembuatan makalah ini adalah :
1. Untuk memberikan kemudahan bagi mahasiswa maupun pakar sehingga dapat lebih
memudahkan dalam mengetahui tentang perilaku birokrasi.
2. Bagi masyarakat umum yakni agar mengetahui tentang perilaku birokrasi yang
selama ini ada di indonesia

2
BAB II
PEMBAHASAN

1. Pengertian Birokrasi
Pengertian birokrasi dikalangan masyarakat sering dihubungan dengan
ketidakpuasan, rumit, bertele-tele dan banyak lagi perkataan-perkataan yang dilotarkan
oleh sebagai masyarakat yang merasa kecewa atas pelayanan suatu birokrasi yang
mereka alami. Jika dilihat dari segi bahasa, birokrasi terdiri dari dua kata yaitu biro
yang artinya meja dan krasi yang artinya kekuasaan. Birokrasi memiliki dua elemen
utama yang dapat membentuk pengertian, yaitu peraturan atau norma formal dan
hirarki. Jadi, dapat dikatakan pengertian birokrasi adalah kekuasaan yang bersifat
formal yang didasarkan pada peraturan atau undang-undang dan prinsip-prinsip ideal
bekerjanya suatu organisasi. Secara etimologi birokrasi berasal dari istilah “buralist”
yang dikembangkan oleh Reineer von Stein pada 1821, kemudian menjadi
“bureaucracy” yang akhir-akhir ini ditandai dengan cara-cara kerja yang rasional,
impersonal dan leglistik (Thoha, 1995 dalam Hariyoso, 2002). Menurut Ferrel Heady
ada 3 (tiga) pendekatan dalam merumuskan birokrasi yaitu :
a. P e n d e k a t a n s t r u k t u r a l
Menurut pendekatan ini birokrasi sebagai suatu susunan yang terdiri dari hierarki
otorita dan pembagian kerja yang amat terperinci (Victor Thonson);
b. P e n d e k a t a n P e r i l a k u ( B e h a v i o r a l )
Menurut pendekatan ini menekankan arti pentingnya objektivitas, pemisahan,
ketepatan dan konsistensi yang dikaitkan dengan ukuran fungsional dari pejabat
administrasi. Dengan kata lain, perilaku positif lekat dengan pencapaian tujuan
organisasi birokratik;
c. Pendekatan Pencapaian Tujuan
Menurut pendekatan ini birokrasi sebagai suatu organisasi yang memaksimalkan
efisiensi dalam administrasi atau satu metode pelembagaan perilaku sosial yang
terorganisasi dalam kerangka usaha mencapai efisiensi administrasi.

2. Pengertian Perilaku Birokrasi


Perilaku birokrasi adalah pada hakekatnya merupakan hasil interaksi birokrasi
sebagai kumpulan individu dengan lingkungannya (Thoha, 2005:138). Perilaku
birokrasi yang menyimpang lebih tepat dipandang sebagai patologi birokrasi atau gejala

3
penyimpangan birokrasi (dysfunction of bureaucracy). Dalam kaitannya dengan
fenomena perilaku birokrasi maka kedudukan, peran dan fungsinya tidak dapat
dipisahkan dari individu selaku aparat (pegawai) yang mempunyai persepsi, nilai,
motivasi dan pengetahuan dalam rangka melaksanakan fungsi, tugas dan tanggung
jawab sosial.Perilaku manusia dalam organisasi sangat menentukan pencapaian hasil
yang maksimal dalam rangka untuk mencapai tujuan organisasi. Thoha (2005:29)
menjelaskan bahwa perilaku manusia adalah fungsi dari interaksi antara individu
dengan lingkungannya. Perilaku seorang individu terbentuk melalui proses interaksi
antara individu itu sendiri dengan lingkungannya.
Setiap individu mempunyai karakteristik tersendiri, dan karakteristik tersebut akan
dibawanya ketika ia memasuki lingkungan tertentu. Karakteristik ini berupa
kemampuan, kepercayaan pribadi, kebutuhan, pengalaman dan sebagainya. Demikian
pula halnya dengan organisasi sebagai lingkungan bagi individu mempunyai
karakteristik tertentu, yaitu keteraturan yang diwujudkan dalam susunan hierarki,
pekerjaan, tugas, wewenang dan tanggung jawab, sistem imbalan dan sistem
pengendalian. Jika karakteristik individu (aparat) dan karakteristik organisasi
(birokrasi) berinteraksi, maka terbentuklah perilaku individu (aparat) dalam organisasi
(birokrasi).

3. Karakteristik Birokrasi
Dennis. H. Wrong mengungkapkan bahwa setiap organisasi birokrasi mempunyai
ciri structural utama sebagai berikut ;
 Pembagian tugas;
 Hierarki otorita;
 Peraturan dan ketentuan yang terperinci;
 Hubungan interpersonal di antara anggota organisasi.
Sedangkan Max Weber memberikan 6 (enam) ciri dari organisasi birokrasi yaitu
:
a. Terdapat prinsip yang pasti dan wilayah yurisdiksi yang resmi, yang pada
umumnya diatur dengan hukum atau peraturan-perataran administrasi;
b. Terdapat prinsip hierarki dan tingkat otorita yang mengatur system;
c. Manajemen didasarkan atas dokumen-dokumen yang dipelihara dalam bentuk
aslinya;

4
d. Terdapat spesialisasi dan pengembangan pekerja melalui latihan keahlian;
e. Aktivitas organisasi menurut kapasitas anggota secara penuh;
f. Berlakunya aturan-aturan main mengenai manajemen.

4. Pentingnya Birokrasi
Bahwa proses kebijaksanaan pemerintah terdiri dari formulasi, implementasi,
evaluasi dan terminasi, yang kesemuanya itu merupakan proses dari suatu birokrasi,
sehingga birokrasi mempunyai andil dan keterlibatan yang besar dalam pembuatan
keputusan. Robert Presthus memperlihatkan peranan birokrasi dalam pebuatan
keputusan dalam hal-hal sebagai :
a. Pembuatan peraturan dibawah peraturan perundang-undangan (delegated
legislation);
b. Pemrakarsa kebijaksanaan (bureaucracy’s role in initiating policy);
c. Hasrat Intenal birokrasi untuk memperoleh kekuasaan, keamanan dan kepatuhan..

5. Fungsi Biokrasi
Michael G. Roskin, et al. meneyebutkan bahwa sekurang-kurangnya ada 4 fungsi
birokrasi di dealam suatu pemerintahan modern. Fungs-fungsi tersebut adalah ;
a) Administrasi
Fungsi administrasi pemerintahan modern meliputi administrasi, pelayanan,
pengaturan, perizinan, dan pengumpul informasi. Dengan fungsi administrasi
dimaksudkan bahwa fungsi sebuah birokrasi adalah mengimplementasikan undang-
undang yang telah disusun oleh legislatif serta penafsiran atas UU tersebut oleh
eksekutif. Dengan demikian, administrasi berarti pelaksanaan kebijaksanaan umum
suatu negara, di mana kebijakan umum itu sendiri telah dirancang sedemikian rupa
guna mencapai tujuan negara secara keseluruhan.
b) Pelayanan
Birokrasi sessungguhnya diarahkan untuk melayani masyarakat atau kelompok-
kelompok khusus. Badan metereologi dan Geofisika (BMG) di Indonesia merupakan
contoh yang bagus untuk hal ini, di mana badan tersebut ditujukan demi melayani
kepentingan masyarakat yang akan melakukan perjalanan atau mengungsikan diri dari
kemungkinan bencana alam. Untuk batas-batas tertentu, beberapa korporasi negara

5
seperti PJKA atau Jawatan POS dan Telekomunikasi juga menjalankan fungsi public
serviceini.
c) Pengaturan(regulation)
Fungsi pengaturan dari suatu pemerintahan biasanya dirancang demi mengamankan
kesejahteraan masyarakat. Dalam menjalankan fungsi ini, badan birokrasi biasanya
dihadapkan anatara dua pilihan: Kepentingan individu versus kepentingan masyarakat
banyak. Badan birokrasi negara biasanya diperhadapkan pada dua pilihan ini.
d) Pengumpul Informasi (Information Gathering)
Informasi dibutuhkan berdasarkan dua tujuan pokok: Apakah suatu kebijaksanaan
mengalami sejumlah pelanggaran atau keperluan membuat kebijakan-kebijakan baru
yang akan disusun oleh pemerintah berdasarkan situasi faktual. Badan birokrasi, oleh
sebab itu menjadi ujung tombak pelaksanaan kebijaksanaan negara tentu menyediakan
data-data sehubungan dengan dua hal tersebut. Misalnya, pemungutan uang yang tidak
semestinya (pungli) ketika masyarakat membuat SIM atau STNK tentunya mengalami
pembengkakan. Pungli tersebut merupakan pelanggaran atas idealisme administrasi
negara, oleh sebab itu harus ditindak. Dengan ditemukannya bukti pungli, pemerintah
akan membuat prosedur baru untuk pembuatan SIM dan STNK agar tidak memberi
ruang bagi kesempatan melakukan pungli.

6. Perilaku Birokrasi di Indonesia


Perilaku birokrasi di Indonesia berkaitan dengan praktek birokrasi yang dibangun
dari proses kesejarahan yang amat panjang, dari warisan kerajaan-kerajaan yang ada
sampai pada lamanya masa kolonialisme. Sejarah perjalanan birokrasi di Indonesia
tidak pernah terlepas dari pengaruh sistem politik yang berlangsung. Apapun sistem
politik yang diterapkan selama kurun waktu sejarah pemerintahan di Indonesia,
birokrasi tetap memegang peran sentral dalam kehidupan masyarakat. Baik dalam
sistem politik yang sentralistik maupun sistem politik yang demokratis sekalipun,
seperti yang diterapkan di Negara-negara maju, keberadaan birokrasi sulit dijauhkan
dari aktivitas-aktivitas dan kepentingan-kepentingan politik pemerintah (Dwiyanto,
2008:9). Dengan demikian perilaku birokrasi di Indonesia mereflesikan percampuran
atau perpaduan antara karakteristik birokrasi modern yang legal rasional, dengan
karakteristik birokrasi yang berakar dalam sejarah. Jadi konsep neo-patrimonialisme
memiliki atribut yang bersifat modern dan rasional dalam bentuk institusi birokrasi,

6
tetap juga memperlihatkan atribut yang patrimonial tertanam dalam bentuk pola
perilaku.
Faktor kultural dalam masyarakat Indonesia pada umumnya cenderung kondusif
untuk mendorong terjadinya perilaku negatif seperti korupsi, dengan adanya nilai atau
tradisi pemberian hadiah kepada pejabat. Akar kultural pada masyarakat Indonesia yang
nepotis juga memberikan dorongan bagi terjadinya tindak korupsi. Secara struktural,
perilaku negatif juga dapat diakibatkan oleh adanya faktor dominanya posisi birokrasi
pemerintah dalam penguasaan sebagian besar informasi kebijakan dan pengaturan
kegiatan ekonomi (Mas’oed, 2008:30).
Substansi dari persoalan perilaku birokrasi yang korup pada dasarnya merupakan
bagian dari bentuk feodalisme yang terus dipelihara oleh sistem birokrasi. Hal ini
menciptakan kehidupan birokrasi yang kental dengan upaya kooptasi penguasa negara
terhadap institusi birokrasi. Apalagi dominasi negara mengerdilkan kekuatan lain dalam
masyarakat, yang kemudian menjadikan birokrasi menguasai sebagian besar informasi
kebijakan untuk mempengaruhi opini publik. Pendapat Mas’oed (2008:119-120)
tersebut dalam teori Crouch disebut sebagai bentuk bureaucratic polity, yang ciri-
cirinya sebagai berikut: Pertama, lembaga politik yang dominan adalah birokrasi.
Kedua, lembaga-lembaga politik lainnya seperti parlemen, partai politik, dan kelompok-
kelompok kepentingan berada dalam keadaan lemah, sehingga tidak mampu
mengimbangi atau mengontrol kekuatan birokrasi. Ketiga massa diluar birokrasi secara
politik dan ekonomis adalah pasif, yang sebagian adalah merupakan kelemahan partai
politik dan secara timbal balik menguatkan birokrasi.
Analisis ini menjelaskan, bahwa kepentingan penguasa negara yang diwakilkan
lewat institusi birokrasi mengalami penguatan bukan hanya karena ketidakberdayaan
masyarakat dalam mengontrol birokrasi, tetapi juga karena ketidakmampuan birokrasi
sendiri melepaskan diri dari cengkeraman penguasa negara.

7
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Perilaku merupakan suatu fungsi dari interaksi antara seseorang individu dengan
lingkungannya. Thoha (2002:184). Gibson (1997:6), perilaku dipandang sebagai
sesuatu yang bekerja pada tingkat individu, kelompok dan organisasi. Ini formula
psikologi, dan mempunyai kandungan pengertian bahwa perilaku seseorang itu tidak
hanya sampai seberapa jauh interaksi antara dirinya dengan lingkungannya, sedangkan
birokrasi dipergunakansebagai suatu sitem untuk merasionalkan organisasi
(Thoha,2002:184).
Perilaku birokrasi di Indonesia berkaitan dengan praktek birokrasi yang dibangun
dari proses kesejarahan yang amat panjang, dari warisan kerajaan-kerajaan yang ada
sampai pada lamanya masa kolonialisme. Sejarah perjalanan birokrasi di Indonesia
tidak pernah terlepas dari pengaruh sistem politik yang berlangsung. Apapun sistem
politik yang diterapkan selama kurun waktu sejarah pemerintahan di Indonesia,
birokrasi tetap memegang peran sentral dalam kehidupan masyarakat. Baik dalam
sistem politik yang sentralistik maupun sistem politik yang demokratis sekalipun,
seperti yang diterapkan di Negara-negara maju, keberadaan birokrasi sulit dijauhkan
dari aktivitas-aktivitas dan kepentingan-kepentingan politik pemerintah (Dwiyanto,
2008:9).
Dengan demikian perilaku birokrasi di Indonesia mereflesikan percampuran atau
perpaduan antara karakteristik birokrasi modern yang legal rasional, dengan
karakteristik birokrasi yang berakar dalam sejarah. Jadi konsep neo-patrimonialisme
memiliki atribut yang bersifat modern dan rasional dalam bentuk institusi birokrasi,
tetap juga memperlihatkan atribut yang patrimonial tertanam dalam bentuk pola
perilaku. Dari beberapa uraian diatas, maka dapat diperoleh kesimpulan penting, yaitu:
(1) Terdapat tiga tipe birokrat dalam birokrais publik, yaitu operator, manajer dan
eksekutif yang mempunyai perilaku yang berbeda satu sama lain;
(2) Perilaku ketiga tipe birokrat tersebtu pada dasarnya rasional dalam menentukan
pilihan dan selalu menjaga kepentingannya;
(3) Perilaku birokrasi sangat ditentukan oleh perilaku eksekutifnya terutama dalam
memahami budaya organisasinya dan sekaligus juga kekuatan dan kelemahannya dan
hubungan dengan pihak luar organisasi.

8
DAFTAR PUSTAKA

Thoha, Miftah. 2011. Birokrasi pemerintah Indonesia di era


reformasi. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.

Arifin, Indar. 2010. Birokrasi pemerintahan dan perubahan sosial politik. Makassar:
Pustaka Refleksi.

Albrow, Matin. 2004. Birokrasi. Yogyakarta: Tiara Wacana

Blau, Peter dkk. 1987. Birokrasi dalam masyarakat modern. Jakarta: Penerbit UI Press,
Salemba Empat.

Thoha, Miftah. 2002. Perspektif perilaku birokrasi. Jakarta: PT Raja grafindo persada.

http://fadilabidin75.blogspot.co.id/2011/09/perilaku-birokrasi-dalam.html Diakses pada


tanggal 24 April 2018

Anda mungkin juga menyukai