Anda di halaman 1dari 13

Nama : Muhammad Burhan kamil

NPM : 173112351540106

Fakultas : Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Jurusan : Administrasi Publik

Mata Kuliah : Sistem Birokrasi Indonesia

1. Yang dimaksud dengan birokrasi, dengan ciri-ciri birokrasi menurut max webber.
Pada tahun, 1890 seorang ahli sosiologi dari swedia yang Bernama Max Weber
mengemukakan suatu system dalam berorganisasi yang disebut birokrasi. System ini
berusaha untuk mengubah cara lama yang berupa organisasi tradisional, yang bersifat
peronal turun-menurun. Menurut max weber, organisasi harus diatur secara rasional,
impersonal (Kedinasan) dan bebas dari prasangka. Inilah yang merupakan prinsip dari
birokrasi. Dengan adanya peraturan yang birokratis ini maka organisasi akan dapat
memanfaatkan tenaga ahli dan keterampilan yang maksimal bagi tercapainya tujuan
organisasi. Oleh karena itu, sebenarnya teori max waber sebenarnya tidak menghendaki
proses yang berbelit-belit.
Ciri-ciri birokrasi menurut Max Weber:
a) Pembagian tugas dan Spesialisasi
Prinsip ini merupakan upaya untuk melanjutkan pedoman yang telah
dikemukakan oleh Adam Smith dalam bukunya “The Wealth Of Nation”.
Dalam hal ini setiap individu dalam organisasi mempunyai wewenang dan
yurisdiksi yang disesuaikan dengan keahlian serta keterampilan yang
dimilikinya. Dengan spesialisasi ini pekerjaan akan menjadi lebih cepat dan
lebih efesien.
b) Bersifat kedinasan
Hubungan yang terjadi di dalam organisasi adalah hubungan kedinasan
(Impersonal), tidak bersifat perorangan atau hubungan pribadi akan tetapi sekali
lagi bersifat kedinasan. Hal ini sebenarnya yang merupakan ciri fundamental
dari teori birokrasi Weber ini, dimana dengan adanya hubungan yang bersifat
kedinasan maka pertentangan-pertentangan yang terjadi di dalam organisasi
menjadi mudah untuk dipecahkan dan mudah untuk kesalahan-kesalahan yang
telah terjadi. Selain itu, dapat pula diketahui siapa yang bertanggung jawab atas
terjadinya kesalahan yang mengakibatkan pertentangan tersebut.
c) Ada hierarki
Ciri-ciri organisasi birokrasi menuru Max Weber mengharuskan adanya
hierarki kewenangan, dimana setiap bagian yang lebih rendah selalu berada di
bawah kewenangan dan supervise dari bagian di atasnya.
d) Pelaksanaan berdasarkan dokumen tertulis
Dokumen tertulis merupakan buktri yang resemi dalam pelaksanaan sesuatu
tugas. Sebagi perwujudan dari prinsip ini maka setiap penjabat yang menduduki
jabatan tertentu dalam suatu organisasi harus memiliki surat keputusan (SK).
Setiap orang yang akan berusaha pada bidang bisnis tertentu juga harus
memiliki surat izin usaha perdagangan (SIUP) misalnya.
e) Keahlian merupakan kriteria utama
Prinsip ini berusaha untuk mengubah tatan yang terdahulu yang mendasarkan
diri pada hubungan pribadi, keluarga, serta garis keturunan. Seorang karyawan
untuk mendapatkan jejang yang lebih tinggi harus melalui selesksi atas dasar
keahlian dan keterampilan yang ditunjukan dalam organisasi tersebut.
Disamping itu untuk dapat diterima tidaknya seorang sebagai anggota
organisasi tersebut perlu diadakan seleksi atas dasar keahlian yang dimilikinya.

2. Pelaksanaan birokrasi di Indonesia dalam pelayanan public,


Sepanjang periode kemerdekaan Indonesia, birokrasi memiliki peranan penting dalam
perjalanan hidup berbangsa dan bernegara. Selama masa orde baru, birokrasi juga
berperan besar dalam proses pembangunan. Selain itu, birokrasi telah berperan dalam
menopang pelaksanaan fungsi-fungsi pemerintahan seperti pelayanan publik, regulasi,
proteksi dan distribusi.Birokrasi sendiri digambarkan sebagai organisasi formal yang
memiliki kedudukan dan cara kerja yang terikat dengan peraturan, memiliki
kompetensi sesuai jabatan dan pekerjaan, memiliki semangat pelayanan publik,
pemisahan yang tegas antara milik organisasi dan individu, serta sumber daya
organisasi yang tidak bebas dari pengawasan eksternal (Bappenas, 2004). Namun
demikian, pada kenyataannya, birokrasi yang ada di Indonesia, tidak sejalan dengan
perannya yang besar dalam tata pemerintahan. Sebagai suatu organisasi formal,
birokrasi juga tidak dapat menjalankan ketentuan sesuai yang digambarkan tersebut.
Menarik kebelakang, selama beberapa dekade, birokrasi telah mengalami pembusukan
karena keberhasilan rezim orde baru dalam memanipulasi eksistensi birokrasi yang
memiliki fungsi sentral menjadi alat politik strategis untuk melanggengkan kekuasaan.
Dampak dari manipulasi ini yakni terabaikannya praktik birokrasi yang jauh dari makna
ideal yaitu birokrasi yang efektif dan efisien, rasional, impersonal, profesional,
didasarkan pada prinsip meritokrasi dan yang terpenting berorientasi kepada pelayanan
(Weber 1947 dalam Rahmatunnisa, 2010). Sebaliknya, yang terjadi adalah birokrasi
Indonesia syarat akan penyalahgunaan wewenang dalam bentuk KKN (Korupsi, Kolusi
dan Nepotisme), rendahnya sumber daya manusia yang berkualitas, inefisiensi,
rendahnya penegakan hukum, penguasaaan kegiatan ekonomi oleh segelintir orang atau
kelompok tertentu, sulitnya akses pelayanan bagi masyarakat, dan sebagainya.
Ditambah lagi dengan mekanisme kontrol dan partisipasi publik untuk menjaga
pembangunan agar selalu berpihak pada kepentingan masyarakat selalu mengalami
distorsi. Hal ini disebabkan masih kecilnya kesempatan masyarakat untuk
mengorganisasikan dirinya diluar pakem yang telah ditetapkan pemerintah yang
kemudian bermuara pada yang disebut civil society tidak sepenuhnya terbentuk.

Pasca runtuhnya rezim orde baru pada akhir dekade 90-an mendorong menguatnya
upaya reformasi birokrasi untuk memperbaiki citra buruk yang melekat pada birokrasi.
Berbagai upaya terus dilakukan, seiring dengan semakin kuatnya penekanan terhadap
upaya membentuk birokrasi yang ideal serta kondusif untuk mewujudkan tata
pemerintahan yang baik (good governance). Selain menjadikan reformasi birokrasi
sebagai agenda penting pembangunan nasional, urgensi pelaksanaan reformasi
birokrasi ditunjukan pula dengan menjadikannya sebagai nama suatu kementerian.
Sepanjang perkembangannya, hingga saat ini pun reformasi birokrasi terus digaungkan
oleh pemerintah. Namun demikian, banyak permasalahan yang masih menjadi
pekerjaan rumah pemerintah serta seluruh pihak yang terlibat baik langsung maupun
tidak langsung untuk mendukung upaya tersebut. Perbaikan terhadap birokrasi menjadi
hal yang penting untuk dilakukan karena menyangkut kepentingan masyarakat.
Tuntutan terhadap pelayanan yang lebih baik pada kenyataannya masih berbenturan
dengan kondisi birokrasi yang masih buruk dan jauh dari ideal sedangkan dilain sisi,
kepentingan masyarakat merupakan hal yang tidak dapat ditunda-tunda lagi.
Permasalahan ini bukan hal yang sederhana, karena antara yang satu dan yang lainnya
saling berkaitan, misalnya Indonesia masih dihadapkan kembali dengan sistem
desentralisasi yang dijalankan melalui otonomi daerah, sehingga reformasi birokrasi
tidak selesai hanya di tingkat pusat namun juga harus mampu menyentuh dan
mendorong reformasi hingga tingkat daerah, agar tidak terjadi ketimpangan yang
semakin lebar. Namun demikian, bukan tidak mungkin, bahwa Indonesia akan mampu
menciptakan birokrasi yang ideal sehingga terwujud tata pemerintahan yang baik untuk
kepentingan masyarakat sebagai warga negara.

Reformasi birokrasi terus dikembangkan dan digalakan selama beberapa periode.


Namun demikian, kondisi ini merupakan suatu proses dan tahapan yang harus dilalui.
Tidak dapat ditampik bahwa reformasi birokrasi yang dilaksanakan hingga saat ini pun
masih menyisakan berbagai permasalahan. Penyakit yang masih menjangkit tubuh
birokrasi saat ini antara lain, pertama, Tingginya penyalahgunaan kewenangan dalam
bentuk KKN. Prevalensi KKN semakin meningkat dan menjadi permasalahan di
seluruh lini pemerintahan, baik pusat hingga daerah. Kasus KKN yang sudah
menyentuh seluruh lini pemerintahan jelas melukai masyarakat. Hal ini disebabkan,
KKN selalu menyeret beberapa pihak terutama aparatur-aparatur pemerintah termasuk
para pimpinan daerah. Praktik-praktik KKN telah tumbuh subur sejak zaman orde baru
hingga reformasi. Kondisi ini yang kemudian memunculkan persepsi bahwa aparatur
negara memiliki profesionalitas dan komitmen terhadap negara yang masih rendah. Hal
ini kemudian menyebabkan pelayanan yang diberikan kepada masyarakat belum
optimal, serta waktu yang ada tidak digunakan secara produktif. Selain itu akuntabilitas,
responsibiltas dan empati aparatur pemerintah terhadap kepentingan masyarakat masih
rendah. Kondisi demikian yang mempengaruhi masih rendahnya kemampuan
melaksanakan standar kinerja birokrasi seperti yang diharapkan.

Kedua, rendahnya kualitas pelayanan publik. Menjadi rahasia umum bahwa birokrasi
pelayanan di Indonesia lekat dengan sistem dan prosedur yang berbelit-belit, mahal dan
sumber daya manusia yang lamban dalam memberikan pelayanan. Hal ini yang
semakin memperburuk citra birokrasi dan semakin kehilangan kepercayaan dari
masyarakat. Seiring dengan pelaksanaan sistem desentralisasi melalui otonomi daerah,
sudah banyak daerah-daerah yang mampu berinovasi, membenahi budaya birokrasinya,
serta menunjukan perubahan dan perbaikan dalam memberikan pelayanan kepada
masyarakat. Di lain sisi, tidak sedikit pula, terjadi praktik penyimpangan kekuasaan,
menampakan wajah koruptif, manipulatif dan cenderung predatoris (Hadiz, 2010).
Fenomena ini memunculkan paradoks, yang dapat dilihat dari beberapa daerah yang
sebelumnya dinobatkan sebagai daerah reformis atau champion,seperti diantaranya
Bupati Sragen, Jembrana dan Tanah Datar yang diproses hukum dengan dakwaan
melakukan korupsi (Djani, 2013).

Budaya birokrasi yang masih buruk serta birokrasi yang tambun berimplikasi pada
kurang efisien dan efektif dalam melaksanakan tugasnya. Disamping itu sumber daya
aparatur atau sumber daya manusia yang memberikan pelayanan, kurang berkompeten
dibidangnya. Mentalitas dan niat dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat
juga masih rendah. Perilaku aparatur yang arogan serta birokrasi yang tambun,
berkaitan dengan rendahnya kesadaran aparatur bahwa kedaulatan berasal dari rakyat
sedangkan birokrat hanya sebagai pelaksana amanat yang diberikan oleh masyarakat.
Fakta yang ada di lapangan, aparatur bukan melayani namun dilayani.

Ketiga, pengaruh politik yang kuat terhadap birokrasi, juga menjadi penyumbang
terhadap masih terhambatnya kinerja birokrasi sehingga lemah dalam merespon agenda
dan tantangan dalam pembangunan nasional. Kondisi ini tidak dapat dihindari karena
sistem pemerintahan yang dijalankan oleh Indonesia. Sistem kepartaian yang dianut
oleh Indonesia, sedikit banyak berdampak pada kinerja aparatur yang tidak netral.
Aparatur negara terkooptasi dan terintervensi oleh kepentingan partai yang dinilai
berjasa dalam mengusung namanya menjadi aparatur negara. Tidak sedikit
pengangkatan pejabat eselon I berbagai kementerian/lembaga negara serta BUMN yang
disesuaikan dengan nafas politik menterinya (Bappenas, 2004). Pergolakan politik
berkontribusi terhadap jalannya pemerintahan di Indonesia. Kedua hal ini, baik
birokrasi dan politik memang tidak dapat dipisahkan. Beberapa jabatan di birokrat tidak
dapat dipungkiri diduduki oleh orang-orang yang berangkat dari partai, yang membawa
kepentingan partainya masing-masing yang diperoleh melalui pemilu. Pada akhirnya
mengarahkan anggapan bahwa masyarakat hanya dijadikan sebagai obyek dalam
pemilu untuk memenangkan tujuan berpolitik beberapa pihak/kelompok, mengantarkan
elit pimpinan menjadi pimpinan negara dan pemerintah. Setelah terpilihnya pihak-
pihak tersebut, lantas kepentingan rakyat terlupakan dengan kepentingan
pribadi/kelompok. Kondisi ini menunjukan sangat lemahnya akuntabilitas dan
pertanggungjawaban kepada publik.
Meskipun masih banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan untuk menciptakan
birokrasi yang bersih dan ideal sesuai harapan, bukan tidak mungkin semuanya dapat
diselesaikan dengan berbagai proses dan tahapan melalui reformasi birokrasi. Hal-hal
yang dapat terus dilakukan oleh pemerintah antara lain, pertama, meningkatkan
pengawasan dan akuntabilitas penyelenggaraan pemerintahan dengan memberikan
akses kepada masyarakat, ikut berperan dalam melakukan pengawasan. Akses yang
diberikan bukan hanya sebatas kotak pengaduan, karena pada kenyataannya, cara ini
tidak efektif sebagai bentuk pengaduan atau penngawasan. Pemerintah dapat
memberikan kemudahan akses dengan membentuk lembaga pengaduan atau
memaksimalkan fungsi lembaga/komisi yang sudah ada seperti KPK (Komisi
Pemberantasan Korupsi), BPKP, kepolisian dan lembaga pengaduan yang lain.
Peningkatan penegakan hukum melalui perbaikan terhadap sistem kerja internal serta
keselarasan antara lembaga penegak hukum dan lembaga pengawasan. Bentuk
akuntabilitas bukan sebatas Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi dan Pemerintah
(Lakip), tetapi juga perlu pemahaman lebih terhadap konsep akuntabilitas itu sendiri.
Keberhasilan pemerintah bukan sebatas terserapnya anggaran melalui program-
program pemerintah atau pencapaian output, tetapi yang terpenting adalah outcome
yang dicapai melalui program tersebut. Kerap kali, dalam Lakip, output dapat tercapai,
namun luput terkait outcome apa yang sudah tercapai. Kedua, meningkatkan komitmen
aparatur pemerintah untuk memberikan pelayanan yang maksimal kepada masyarakat.
Upaya ini memang tidak mudah, mengingat hal ini terkait dengan mentalitas, etika,
kesadaran serta empati masing-masing birokrat. Namun hal ini dapat ditempuh dengan
pembuatan sistem yang kemudian mengharuskan aparatur untuk dapat memberikan
pelayanan dan mengerjakan tugasnya sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Misalnya
melalui, penilaian kinerja masing-masing pegawai sesuai dengan apa yang dikerjakan.
Perekrutan pegawai sesuai dengan kompetensi dan dilakukan analisis jabatan yang
sesuai dengan latar belakang pendidikan. Ketiga, membenahi dan meningkatkan mutu
pelayanan publik, sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Pelayanan publik yang
disediakan oleh pemerintah, dapat diupayakan dengan memberikan kemudahan akses
bagi masyarakat, memperpendek proses birokrasi, mempercepat waktu pelayanan,
memberikan kenyamanan tempat pelayanan, dan mengubah budaya pelayanan dengan
memberikan pelatihan kepada pegawai (birokrat) untuk memberikan pelayanan
layaknya kepada konsumen. Hal yang penting adalah membentuk SOP (standart
operasional prosedur) sehingga jelas standar pelayanan yang diberikan kepada
masyarakat. Selain itu yang tidak kalah penting adalah, semua harus diatur dalam
bentuk peraturan tertulis, yang menyangkut sanksi apabila SOP tidak dilaksanakan
sesuai dengan ketentuan. Bukan hanya masyarakat yang mendapat sanksi tetapi juga
birokrat/ pegawai juga wajib menerima sanksi apabila tidak memberikan pelayanan
sesuai ketentuan. Dalam hal pelayanan ini, sudah banyak daerah-daerah yang mampu
berinovasi dalam memberikan pelayanan yang kemudian dapat menjadi studi bagi
daerah lain untuk melakukan hal yang sama tentunya disesuaikan dengan kebutuhan,
kemampuan dan karakteristik masyarakat.

3. Birokrasi sebagai organisasi yang rasional yang dijalankan oleh pejabat dan
kewenangannya,
Bagi Weber, istilah “birokrasi” tidak dapat dipisahkan dengan istilah “rasionalitas”
karena menggunakan pemikiran rasional dalam mengembangkan organisasi. Sehingga,
gagasan Weber ini sering kali disebut dengan istilah “birokrasi rasional”.
Namun, faktor apa yang harus dimiliki untuk mewujudkan birokrasi rasional?
Sebagaimana diungkapkan Weber, organisasi merupakan birokrasi, dan birokrasi tidak
akan terwujud tanpa adanya tiga hal yang merupakan karakteristik birokrasi.
a) Otoritas atau kewenangan (authority);
Otoritas atau kewenangan biasanya muncul bersama-sama dengan kekuasaan,
tetapi pada organisasi, otoritas haruslah sah atau legitimate, yang berarti
pemegang otoritas telah diberikan izin secara formal (authorized formally) oleh
organisasi.
Efektivitas organisasi bergantung pada seberapa besar manajemen menerima
“kekuasaan sah” (legitimate power) dari organisasi. Jika Anda adalah seorang
karyawan, maka Anda akan mengikuti apa yang diperintahkan atasan Anda
karena organisasi (perusahaan di mana Anda bekerja) memberikan kewenangan
yang sah kepada atasan untuk memberikan perintah. Menurut Weber, cara
terbaik untuk mengelola kewenangan legal rasional adalah melalui hierarki
(hierarchy), dengan kata lain atasan memiliki atasan lagi. Dan atasan dengan
kedudukan lebih tinggi memiliki atasan yang lebih tinggi lagi kedudukannya,
begitu seterusnya.
Hierarki ini secara hati-hati dan cermat diatur melalui aturan-aturan dalam
organisasi. Setiap lapisan manajemen memiliki kewenangan sah mereka
masing-masing, dan hanya pimpinan tertinggi organisasi yang memiliki
kewenangan puncak dan menyeluruh.

b) Spesialisasi (spesialization);
Prinsip organisasi kedua adalah spesialisasi, yang berarti sejumlah individu
dibagi menurut pembagian pekerjaan, dan mereka mengetahui pekerjaan
mereka masing-masing dalam organisasi.
Peningkatan atau perluasan posisi atau jabatan dan uraian pekerjaan (job
description) seorang karyawan adalah contoh bagus dari spesialisasi. Pada
organisasi yang sangat besar, pembagian pekerjaan sering kali bersifat sangat
luas, terdapat puluhan atau ratusan macam pekerjaan, sehingga karyawan sering
kali hanya sedikit tahu atau bahkan ada juga yang tidak tahu apa kontribusi
pekerjaan yang dilakukannya terhadap tujuan organisasi atau perusahaan.
Weber menyatakan bahwa spesialisasi adalah hal penting bagi birokrasi yang
rasional dan garis batas yang jelas dan tegas yang memisahkan satu fungsi
bagian dengan bagian lainnya dalam organisasi harus dinyatakan dengan aturan
dan prosedur yang jelas.

c) Peraturan (regulasi).
Aspek ketiga dari birokrasi adalah kebutuhan terhadap peraturan. Apa yang
membuat koordinasi organisasi dimungkinkan adalah karena adanya
pelaksanaan dari seperangkat aturan bersama yang mengatur perilaku setiap
orang.
Menurut Weber, aturan organisasi haruslah rasional yang berarti bahwa aturan
dirancang untuk mencapai tujuan organisasi, dan supaya organisasi dapat
mengikuti segala hal yang terjadi maka setiap kegiatan operasional organisasi
perlu dicatat, dan catatan perlu dipelihara secara hati-hati dan cermat agar aturan
dapat dievaluasi. Hanya melalui berbagai aturan maka berbagai kegiatan para
manajer dan bawahannya yang berjumlah puluhan, ratusan atau bahkan ribuan
orang yang berada pada berbagai tingkatan dalam organisasi dapat diperkirakan
dan dikoordinasikan. Jika kita tidak dapat memperkirakan apa yang akan
dilakukan orang lain maka kita tidak akan dapat mengandalkan mereka.
4. tantangan birokrasi dimasa yang akan datang dari prespektif mahasiswa terhadap
Indonesia baru,
PROGRAM Reformasi Birokrasi yang sudah dimulai sejak 2010 dengan
dikeluarkannya Peraturan Presiden No 81 Tahun 2010 tentang Grand Design Reformasi
Birokrasi (GDRB) 2010-2025. Grand Design Reformasi Birokrasi 2010-2025 ini lalu
dibuatkan Road Map Reformasi Birokrasi 2010-2014 fase ke-1 dan Road Map
Reformasi Birokrasi 2015-2019 fase ke-2. Pada 2020, Reformasi Birokrasi akan masuk
fase ke-3, yaitu sejak 2020-2024. Fase ke-1 di bawah kepemimpinan Presiden SBY
serta fase ke-2 dan ke-3 di bawah kepemimpinan Presiden Joko Widodo. Tujuan
Reformasi Birokrasi sesuai GDRB 2010-2025, yakni untuk mewujudkan tata kelola
pemerintahan yang baik (good governance) dengan birokrasi pemerintah yang
profesional, berintegritas tinggi, menjadi pelayan masyarakat, dan abdi negara.
Birokrasi seperti itu diharapkan akan memberikan kontribusi nyata pada
capaian kinerja pemerintahan dan pembangunan nasional serta daerah. Tujuan
Reformasi Birokrasi di atas ialah dalam rangka mengejar visi Reformasi Birokrasi
'terwujudnya pemerintahan kelas dunia'. Dalam rangka menjalankan program
Reformasi Birokasi pada kedua fase yang sudah berjalan, ditetapkanlah delapan area
perubahan, yaitu mentalitas ASN, pengawasan, akuntabilitas, kelembagaan, tata
laksana, peraturan perundangan, dan pelayanan publik.
Evaluasi terhadap capaian Reformasi Birokrasi fase pertama dan fase kedua
pada kedelapan area perubahan menunjukkan hasil yang beragam. Namun, tetap
menunjukkan kurang signifikannya perubahan yang terjadi. Reformasi Birokrasi pada
area akuntabilitas pemerintah melalui pembangunan sistem akuntabilitas kinerja
instansi pemerintah (SAKIP) tampaknya merupakan area perubahan yang cukup
signifikan. Area pelayanan publik, walaupun memperlihatkan terjadinya sejumlah
perubahan dengan dibangunnya mal pelayanan publik dan berbagai usaha untuk
meningkatkan kualitas pelayanan, masih merupakan area perubahan yang
memprihatinkan. Data tentang kepatuhan pemerintah, terutama pemerintah daerah
kabupaten/kota sebagai ujung tombak pelayanan publik, terhadap peraturan
perundangan di bidang pelayanan publik (UU No 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan
Publik) masih tidak baik. Demikian pula evaluasi Komisi Aparatur Sipil Negara
(KASN) pada 2018 dan 2019 memperlihatkan masih sangat sedikit
kementerian/lembaga dan pemerintah daerah yang menerapkan manajemen sumber
daya manusia (SDM) dengan baik. Area perubahan yang berkaitan dengan mentalitas
aparatur sipil negara (ASN) malah tidak terlihat program dan gaungnya. Kapabilitas
dan integritas ASN pun masih banyak dipertanyakan orang. Evaluasi terhadap area
perubahan yang berkaitan dengan kelembagaan dan tata laksana (dalam hal ini
electronic government) juga memperlihatkan hasil yang memprihatinkan.
Salah satu temuan evaluasi terhadap implementasi e-govt di Indonesia ialah
rendahnya tingkat keterhubungan (connectivity) antarsistem e-govt, baik dalam satu
kementerian, lembaga, daerah maupun--apalagi--antarkementerian, lembaga, dan
daerah. Area perubahan peraturan perundangan dan pengawasan masih menjadi area
perubahan yang paling memprihatinkan. Silo mentality. Masalah lain di luar kedelapan
area perubahan yang juga menjadi masalah besar di Indonesia ialah soal egoism sectoral
antarkementerian, lembaga, dan daerah. Bahkan, egoism sectoral terjadi dalam satu
kementerian, satu lembaga pemerintah, dan satu organisasi perangkat daerah tertentu.
Masalah ini sering dikenal dengan silo mentality.
Bahkan, menurut data yang ada, masih lebih dari 100 daerah di Indonesia yang
sama sekali belum melaksanakan program Reformasi Birokrasi. Laporan dari berbagai
lembaga internasional juga menunjukkan kondisi birokrasi Indonesia yang masih
memprihatinkan. Nilai ease of doing business (EoDB) Indonesia masih di bawah
Malaysia, Thailand, dan bahkan Vietnam pada 2016-2019. Hal ini mengakibatkan daya
saing investasi Indonesia di kawasan ASEAN cukup terpuruk. Indikator lain yang juga
masih memprihatinkan ialah indeks persepsi korupsi yang walaupun ada perubahan,
tapi tidak signifikan. Indikator terakhir yang dapat digunakan untuk menilai kualitas
birokrasi Indonesia ialah government effectiveness index (GEI) yang masih kurang
baik walaupun secara terus-menerus terjadi perbaikan. Reformasi Birokrasi fase
pertama dan kedua tampaknya menyisakan banyak 'pekerjaan rumah' yang harus
diselesaikan dengan cepat dan tuntas oleh pemerintahan Joko Widodo.
Apa tantangan yang dihadapi Indonesia dan juga berbagai pemerintahan di
dunia pada masa yang akan datang? Sebuah buku yang berjudul Government in 2071:
Guidebook (2018), pemerintahan di dunia, termasuk Indonesia dihadapkan pada era
perkembangan teknologi yang canggih (artificial intelligence). Indonesia harus
mengantisipasi era keterbukaan antarnegara yang semakin luas, yang berujung pada
kemampuan untuk bersaing dalam rangka menarik calon investor yang kredibel.
Indonesia menghadapi perubahan iklim (climate change) yang sangat signifikan,
bahkan sudah berdampak pada sejumlah kota besarnya seperti Jakarta. Indonesia
menghadapi warga dunia yang semakin tinggi mobilitasnya, demikian pula pada
pertambahan penduduknya yang signifikan. Indonesia menghadapi ketertinggalan
dalam hal kesejahteraan masyarakatnya, terutama pada bidang pendidikan dan
kesehatan. Sampai saat ini pemerintah belum mampu membuat regulasi yang berkaitan
dengan penyelesaian masalah taksi daring. Untuk itu, dibutuhkan birokrasi yang
berkualitas tinggi, yang ditunjang profesionalisme, ketangguhan, produktivitas, dan
integritas yang prima. Lalu, bagaimana strategi Reformasi Birokrasi yang harus
dibangun untuk masa Reformasi Birokrasi fase ke-3?
Pertama, sesuai dengan tujuan Reformasi Birokrasi yang dituang dalam Grand
Design Reformasi Birokrasi 2010-2015, yaitu mewujudkan tata pemerintahan yang
baik (good governance). Maka itu, pemerintah harus melakukan berbagai hal untuk
perubahan pola pikir melalui manajemen perubahan (change management). Birokrasi
Indonesia selama ini bergerak dengan paradigma lama yang sering disebut sebagai
paradigma lama administrasi publik (old public administration). Walaupun sudah
terjadi perubahan dalam administrasi publik Indonesia, tampaknya tanpa kesadaran
tentang perlunya perubahan cara berpikir (perubahan paradigmatis) dalam mengelola
negara dan pemerintahan. Melalui kegiatan manajemen perubahan yang signifikan,
orientasi para birokrat dapat diperbarui. Dari Orientasi kekuasaan kepada orientasi
pemberian pelayanan publik yang prima. Dari orientasi bekerja sendiri (dengan asumsi
pemerintah tahu segalanya) ke orientasi bekerja sama dengan berbagai komponen
masyarakat (stakeholders). Paradigma yang baru ini mengubah orientasi cara bekerja
dengan apa yang disebut sebagai network government, collaborative governance.
Pemerintah sudah tidak dapat bekerja dan menyelesaikan masalah-masalah publik
sendirian.
Kedua, ruang lingkup Reformasi Birokrasi. Tampaknya delapan area perubahan
dalam Reformasi Birokrasi Indonesia saat ini terlalu luas atau terlalu banyak fokus. Hal
ini membebani kementerian/lembaga, terutama daerah. Pemerintah dapat mengurangi
delapan area perubahan yang ada agar Reformasi Birokrasi menjadi lebih fokus dan
mempunyai prioritas. Karena target pencapaian pada 2019 (reformasi birokrasi fase
kedua) ialah performance bureaucracy (birokrasi yang berorientasi pada kinerja),
pekerjaan rumah utama yang harus diselesaikan ialah area perubahan yang akan
mendorong terwujudnya target birokrasi yang berorientasi pada kinerja. Untuk itu,
reformasi yang berkaitan dengan sistem akuntabilitas kinerja instansi pemerintah
(SAKIP), anggaran berbasis kinerja, organisasi (Kelembagaan) berbasis kinerja, dan
sistem sumber daya aparatur yang berorientasi pada kinerja harus menjadi prioritas
utama. Jika hal ini dilakukan dengan baik dan benar, reformasi pelayanan publik yang
berkinerja baik pun lebih mudah dilakukan. Area Reformasi Birokrasi berikutnya ialah
hal-hal yang berkaitan dengan integritas dan pengawasan. Dengan demikian, kedelapan
area perubahan di-regrouping ke dalam 3 kelompok. Rasa memiliki Aspek penting
lainnya untuk diperhatikan dalam program Reformasi Birokrasi di Indonesia ialah sense
of belonging (rasa memiliki) dari semua kementerian/lembaga dan daerah terhadap
program Reformasi Birokrasi. Ada banyak organisasi pemerintahan yang melihat dan
merasa bahwa Reformasi Birokrasi adalah program Kementerian Pendayagunaan
Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemenpan-Rebiro) yang dititipkan pada
mereka. Rasa memiliki yang rendah terhadap program Reformasi Birokrasi dari
berbagai pihak mengakibatkan pelaksanaan Reformasi Birokrasi merupakan beban,
bukan kebutuhan. Juga, dilaksanakan 'setengah hati'. Ini merupakan salah satu hal
penting yang harus dimasukkan dalam manajemen perubahan Reformasi Birokrasi.
Aspek terakhir yang penting untuk diperhatikan dalam program Reformasi
Birokrasi ialah soal sistem penanganan program ini. Sejauh ini, tanggung jawab dan
beban untuk menjalankan Reformasi Birokrasi tampaknya hanya ada pada Kementerian
Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemenpan-Rebiro).
Pemerintah harus mendesain tanggung jawab masalah beban dan tanggung jawab
pelaksanaan kepada berbagai kementerian dan kelembagaan yang relevan serta menjadi
kunci keberhasilan program Reformasi Birokrasi. Misalnya, untuk semua area
perubahan yang berkaitan dengan daerah haruslah mengikutsertakan Kementerian
Dalam Negeri. Untuk area yang berkaitan dengan SDM, misalnya, harus
mengikutsertakan Lembaga Administrasi Negara dan BKN. Untuk area SAKIP dan
anggaran berbasis kinerja sebaiknya mengikutsertakan Kementerian Keuangan dan
Bappenas. Untuk area perubahan integritas dan pengawasan mengikutsertakan BPKP
dan KPK. Keikutsertaan berbagai kelembagaan tersebut tidak sekadar berkoordinasi,
tetapi juga diberi tanggung jawab dalam hal-hal yang relevan dengan tugas dan
fungsinya. Melalui kejelasan paradigma ruang lingkup dan target yang wajar serta
manajemen pelaksanaan Reformasi Birokrasi yang baik, program reformasi birokrasi
dapat berjalan dengan baik.
Sumber: https://mediaindonesia.com/opini/278422/tantangan-dan-strategi-reformasi-
birokrasi-2020

5. apa yang terkandung dibuatnya reformasi birokrasi,


MAKNA REFORMASI BIROKRASI
Perubahan besar dalam paradigma dan tata kelola pemerintahan Indonesia.
Pertaruhan besar bangsa Indonesia dalam menghadapi tantangan abad ke-21.
Berkaitan dengan ribuan proses tumpang tindih antar fungsi-fungsi pemerintahan,
melibatkan jutaan pegawai, dan memerlukan anggaran yang tidak sedikit.
Menata ulang proses birokrasi dari tingkat tertinggi hingga terendah dan melakukan
terobosan baru dengan langkah-langkah bertahap, konkret, realistis, sungguh-sungguh,
berpikir di luar kebiasaan yang ada, perubahan paradigma, dan dengan upaya luar biasa.
Merevisi dan membangun berbagai regulasi, memodernkan berbagai kebijakan dan
praktik manajemen pemerintah pusat dan daerah, dan menyesuaikan tugas fungsi
instansi pemerintah dengan paradigma dan peran baru.

TUJUAN REFORMASI BIROKRASI


Menciptakan birokrasi pemerintah yang profesional dengan karakteristik, berintegrasi,
berkinerja tinggi, bebas dan bersih KKN, mampu melayani publik, netral, sejahtera,
berdedikasi, dan memegang teguh nilai-nilai dasar dan kode etik aparatur negara.
Sumber : Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi - Makna
dan Tujuan (menpan.go.id)

Anda mungkin juga menyukai