Anda di halaman 1dari 22

EFEKTIVITAS LEMBAGA OMBUDSMAN REPUBLIK INDONESIA

PERWAKILAN PROVINSI SUMATERA UTARA DALAM PENGAWASAN


PELAYANAN PUBLIK

Disusun Oleh :

Bethesda Elrika Simanjuntak

170903147

Dosen Pembimbing :

Dr. Tunggul Sihombing, MA

PROGRAM STUDI ILMU ADMINISTRASI PUBLIK


FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
2020
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Masalah pelayanan publik adalah masalah yang tidak dapat dipandang sebelah mata di
negeri ini, sebab tugas maupun kewajiban utama dari Pemerintah baik pusat maupun daerah
adalah untuk melayani publik (masyarakat). Menurut Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009
tentang pelayanan publik, pelayanan publik adalah segala kegiatan dalam rangka pemenuhan
kebutuhan dasar sesuai hak-hak dasar setiap warga Negara dan penduduk atau suatu barang,
jasa dan atau pelayanan administrasi yang disediakan oleh penyelenggara pelayanan yang
terkait dengan kepentingan publik.

Setiap warga negara berhak untuk mendapatkan persamaan perlakuan yang adil, baik
dalam hukum maupun pemerintahan. Reformasi pemerintahan, dengan tujuan menciptakan
suatu pemerintahan yang baik, bersih dan efisien guna mewujudkan kesejahteraan bagi
seluruh warga negara. Namun dalam kenyataanya, pelayanan publik dewasa ini belum dapat
dikatakan sesuai dengan harapan masyarakat luas. Berbagai macam permasalahan buruknya
pelayanan publik seperti: rendahnya kualitas pelayanan publik, KKN (Korupsi, Kolusi dan
Nepotisme), maladministrasi, penyalahgunaan wewenang oleh aparatur negara serta prosedur
yang berbelit dan standar operasional pelayanan publik yang tidak jelas.

Untuk itu dibutuhkan lembaga pengawas yang berfungsi sebagai pengawas pelayanan
publik seperti Ombudsman. Dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 37 Tahun
2008 tentang Ombudsman Republik Indonesia, ditegaskan bahwa yang dimaksud dengan
Ombudsman Republik Indonesia adalah lembaga negara yang mempunyai wewenang
mengawasi penyelenggaraan pelayanan publik yang diselenggarakan oleh penyelenggara
negara dan pemerintahan termasuk yang diselenggarakan oleh Badan Usaha Milik Negara,
Badan Usaha Milik Daerah, dan Badan Hukum Milik Negara serta badan swasta atau
perseorangan yang diberi tugas menyelenggarakan pelayanan publik tertentu yang sebagian
atau seluruh dananya bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan/atau
Anggaran Pendapatan Dan Belanja Daerah. Tugas Ombudsman adalah memeriksa laporan
atas dugaan maladministrasi dalam penyelenggaraan pelayanan publik. Kedudukan Lembaga
Ombudsman adalah sebagai lembaga Negara yang indenpenden. Hal ini dimaksudkan agar
dalam melaksanakan tugasnya dapat bersikap objektif, transparan dan mempunyai
akuntabilitas kepada publik.
Upaya pembentukan lembaga Ombudsman di Indonesia oleh pemerintah dimulai ketika
Presiden B.J. Habibie berkuasa, kemudian dilanjutkan oleh penggantinya, yakni K.H.
Abdurrahman Wahid. Pada masa itulah disebut tonggak sejarah pembentukan lembaga
Ombudsman di Indonesia. Pada masa pemerintahan K.H. Abdurrahman Wahid pemerintah
nampak sadar akan perlunya lembaga Ombudsman di Indonesia menyusul adanya tuntutan
masyarakat yang sangat kuat untuk mewujudkan pemerintahyang bersih dan penyelenggaraan
negara yang baik atau clean dan good governance.

Dalam rangka memperlancar tugas pengawasan penyelenggaraan tugas Negara di


daerah, jika dipandang perlu Ketua Ombudsman Nasional dapat membentuk Ombudsman di
daerah provinsi, Kabupaten/Kota yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari
Ombudsman Nasional. Seluruh peraturan Perundang-undangan dan ketentuan lain yang
berlaku bagi Ombudsman Nasional berlaku pula bagi Perwakilan Ombudsman di daerah.
Pembentukan Ombudsman Republik Indonesia di tingkat daerah bertujuan mendekatkan
pelayanan Ombudsma kepada masyarakat luas. Peran pokok Ombudsman adalah menangani
keluhan masyarakat, menyangkut keputusan atau tindakan administrasi pemerintahan dan
pelayanan umum, melindungi orang dari pelanggaran hak, penyalahgunaan kekuasaan,
kesalahan, keputusan yang tidak adil. Peranan Ombudsman ini diarahkan agar kinerja
administrasi pemerintahan di level pusat maupun di daerah dapat diperbaiki dan ditingkatkan.

1.2 Perumusan Masalah


Rumusan masalah dari penelitian ini adalah “Bagaimana efektivitas Lembaga
Ombudsman Republik Indonesia Perwakilan Provinsi Sumatera Utara Dalam Pengawasan
Pelayanan Publik?”

1.3 Tujuan Penelitian


Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui efektivitas Lembaga Ombudsman
Republik Indonesia Perwakilan Provinsi Sumatera Utara dalam pengawasan pelayanan
publik.

1.4 Manfaat Penelitian


1. Manfaat Teoritis
Dari penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan tentang pelayanan publik,
penyadaran hak masyarakat atas pelayanan publik, fungsi-fungsi lembaga ombudsman dan
tentang kualitas pelayanan publik yang baik. Hasil penelitian ini juga dapat menjadi bahan
referensi untuk penelitian selanjutnya.
2. Manfaat Praktis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan evaluasi dan bahan pertimbangan
untuk meningkatkan langkah-langkah untuk melakukan penyadaran hak masyarakat terkait
dengan masalah pelayanan publik di Republik Indonesia Perwakilan Provinsi Sumatera
Utara, melalui fungsi Lembaga Ombudsman Republik Indonesia Perwakilan Provinsi
Sumatera Utara .
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Efektivitas

2.1.1 Pengertian Efektivitas

Menurut The Liang Gie (1991:53), Efektivitas adalah Perbandingan terbalik antara input dan
output, antara keuntungan dan biaya, antara hasil pelaksanaan dengan sumber-sumber yang
dipergunakan seperti halnya juga hasil maksimum yang dicapai dengan penggunaan sumber
yang terbatas, dengan kata lain hubungan antara apa yang telah diselesaikan dengan apa yang
harus diselesaikan. Pada pengertian tersebut, input yang dimaksudkan adalah semua sumber
yaitu sarana dan prasarana yang digunakan organiasi untuk mencapai tujuan.

Koemaruddin (1991:83), dikemukakan bahwa : “Efektivitas adalah Pencapaian sasaran


menurut perhitungan terbaik mengenai suasana dagang dan kemungkinan daripada Laba”.
Efektivitas sebagaimana dikemukakan oleh LAN RI (2000:13), adalah: “Mencapai hasil
sepenuhnya seperti yang benar-benar diinginkan, setidak-tidaknya berusaha mencapai hasil
semakasimal mungkin”. Lebih jelas pengertian Efektivitas yang dikemukakan oleh Parieta
Westera (1991:109) sebagai berikut: “Keadaan atau berhasilnya suatu suatu kerja yang
dilakukan oleh manusia dan memberikan guna yang diharapkan”. Jadi efektivitas dilihat dari
hasil pekerjaan yang dilakukan dengan manfaat yang diberikan bagi organisasi. Efektivitas
itu sendiri dapat dilihat dari efek dan akibat yang dikehendaki untuk menjadi suatu
kenyataan. Yang tentu saja dilakukan dengan kemampuan maksimal yang dimiliki oleh
seseorang yang merupakan komponen penting dalam organisasi. Pengertian efektivitas
tersebut nampak lebih luas dan memiliki kriteria yang beragam pula dalam memandang
efektivitas, yaitu dapat sudut ekonomi, phsykoligis, psikologi dan sosial. Dan secara jelas
memberikan suatu standar korelasi yang dapat menentukan hasil akhir dari kegiatan dan
efektifitas juga digunakan sebagai standar nilai apabila dilakukan dengan dengan sepenuh
kemampuan yang ada sebagai unsur peningkatan yang ada sebagai unsur peningkatan
presatasi kerja dan produktivitas kerja secara maksimal dalam menjangkau aspek yang
diinginkan secara kolektif.
1.2 Lembaga Ombudsman Republik Indonesia
2.2.1 Sejarah Lembaga Ombudsman Republik Indonesia
Upaya pembentukan Komisi Ombudsman Nasional di Indonesia diawali dengan
tumbangnya rezim pemerintahan Soeharto, kemudian dilanjutkan oleh penggantinya yakni
K.H. Abdurrahman Wahid. Pada saat itu, Abdurrahman Wahid sebagai Presiden RI
mendapatkan tekanan dari masyarakat yang menginginkan pemerintahan yang transparan,
bersih dan bebas KKN. Akhirnya Abdurrahman Wahid memutuskan membentuk
Ombudsman sebagai lembaga yang diberikan wewenang untuk mengawasi kinerja
pemerintahan.

Pada tanggal 10 Maret 2000 Presiden resmi menerbitkan Keputusan Presiden nomor 44
tahun 2000 tentang pembentukan Komisi Ombudsman Nasional, dengan mengangkat
Antonius Sujata sebagai Ketua merangkap anggota. Pada tanggal 20 Maret 2000 Ketua,
Wakil Ketua, dan anggota Komisi Ombudsman Nasional dilantik presiden Abdurahman
Wahid di istana negara.

Pada tanggal 07 Oktober 2008 Komisis Ombudsman Nasional (KON) telah berganti
nama menjadi Ombudsman Republik Indonesia (ORI) seiring dengan disahkannya Undang-
Undang Nomor 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman Republik Indonesia oleh Presiden
Republik Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono. Menurut Pasal 2 Keputusan Presiden
Nomor 44 Tahun 2000 tentang Komisi Ombudsman Nasional, yang dimaksud dengan
ombudsman nasional adalah lembaga pengawasan masyarakat yang berasaskan Pancasila dan
bersifat mandiri, serta berwenang melakukan klarifikasi, monitoring atau pemeriksaan atas
laporan masyarakat mengenai penyelenggaraan negara khususnya pelaksanaan oleh aparatur
pemerintahan termasuk lembaga peradilan terutama dalam memberikan pelayanan kepada
masyarakat (Masthuri, 2005).

Menurut Undang-Undang No 37 tahun 2008 pada pasal 1 Ombudsman republik


indonesia yang selanjutnya disebut ombudsman adalah lembaga negara yang mempunyai
kewenagan mengawasi penyelenggeraan pelayanan publik yang diselenggarakan oleh
penyelenggara negara dan pemerintah termasuk yang di selenggarakan oleh badan usaha
milik negara serta badan usaha milik daerah, dan badan hukum milik negara serta badan
swasta atau perseorangan yang diberi tugas menyelenggarakan pelayanan publik tertentu
yang sebagian atau seluruh dananya bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja negara
dan/atau anggaran pendapatan dan belanja daerah.

Ombudsman Republik Indonesia dibentuk di Provinsi Sumatera Utara pada 1 Januari


2008 atau sebelum Undang-Undang Nomor 37 tahun 2008 tentang Ombudsman Republik
Indonesia disahkan dan diundangkan 7 Oktober 2008. Pada awal dibentuk, namanya masih
Komisi Ombudsman Nasional (KON) Perwakilan Sumatera Utara–Nanggore Aceh
Darussalam (NAD). Namun setelah Undang-Undang Nomor 37 tahun 2008 disahkan dan
diundangkan, namanya menjadi Ombudsman Republik Indonesia Perwakilan Provinsi
Sumatera Utara. Pembentukan Ombudsman Republik Indonesia Sumatera Utara didasarkan
pada Keputusan Ketua Komisi Ombudsman Nasional Nomor: 0045/KONSK/XII/2007
tentang Pembentukan Kantor Perwakilan Komisi ombudsman Nasional Wilayah Provinsi
Sumatera Utara dan Nanggroe Aceh Darussalam (NAD). Sejak dibentuk hingga tahun 2013,
wilayah kerja Ombudsman Republik Indonesia di Provinsi Sumatera Utara mencakup dua
provinsi, yakni Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) dengan 23 Kabupaten/Kota dan
Provinsi Sumatera Utara dengan 33 Kabupaten/Kota. Dan setelah Ombudsman Republik
Indonesia Perwakilan Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) dibentuk pada 1 Januari 2013, baru
kemudian wilayah Ombudsman Republik Indonesia Perwakilan Sumatera Utara hanya pada
Provinsi Sumatera Utara.

Tujuan dibentuknya lembaga Ombudsman seperti yang tercantum dalam Pasal 4, UU No. 37
Tahun 2008 adalah :

a. Mewujudkan negara hukum yang demokratis, adil, dan sejahtera;

b. Mendorong penyelenggaraan negara dan pemerintahan yang efektif dan efisien, jujur,
terbuka, bersih, serta bebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme;

c. Meningkatkan mutu pelayanan negara disegala bidang agar setiap warga negara dan
penduduk memperoleh keadilan, rasa aman, dan kesejahteraan yang semakin baik;

d. Membantu menciptakan dan meningkatkan upaya untuk pemberantasan dan pencegahan


praktek-praktek Maladministrasi, diskriminasi, kolusi, korupsi, serta nepotisme;

e. Meningkatkan budaya hukum nasional, kesadaran hukum masyarakat, dan supremasi


hukum yang berintikan kebenaran serta keadilan.
Kemudian dalam Pasal 2, UU No. 37 Tahun 2008, dijelaskan Ombudsman merupakan
lembaga negara yang bersifat mandiri dan tidak memiliki hubungan organik dengan lembaga
negara dan instansi pemerintahan lainnya, serta dalam menjalankan tugas dan wewenangnya
bebas dari campur tangan kekuasaan lainnya. Hal ini berarti lembaga ini bersifat independen
dalam menjalankan tupoksinya.

2.2.2 Fungsi, Tugas, dan Wewenang Lembaga Ombudsman Republik Indonesia

Berdasarkan Pasal 6 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2008, Ombudsman berfungsi


mengawasi penyelenggaraan pelayanan publik yang diselenggarakan oleh penyelenggara
negara dan pemerintah baik dipusat maupun di daerah termasuk yang diselenggarakan oleh
BUMN (Badan Usaha Milik Negara), BUMD (Badan Usaha Milik Daerah), dan BHMN
(Badan Hukum Milik Negara) serta badan swasta atau perseorangan yang diberi tugas
menyelenggarakan pelayanan publik tertentu.

Kemudian terkait dengan tugasnya diatur dalam Pasal 7, UU No. 37 Tahun 2008,
Ombudsman bertugas :

a. Menerima Laporan atas dugaan Maladministrasi dalam penyelenggaraan pelayanan publik;

b. Melakukan pemeriksaan substansi atas Laporan;

c. Menindaklanjuti Laporan yang tercakup dalam ruang lingkup kewenangan Ombudsman;

d. Melakukan investigasi atas prakarsa sendiri terhadap dugaan Maladministrasi dalam


penyelenggaraan pelayanan publik;

e. Melakukan koordinasi dan kerja sama dengan lembaga negara atau lembaga pemerintahan
lainnya serta lembaga kemasyarakatan dan perseorangan;

f. Membangun jaringan kerja;

g. Melakukan upaya pencegahan Maladministrasi dalam penyelenggaraan pelayanan publik;

h. Melakukan tugas lain yang diberikan oleh Undang-Undang.

Dalam menjalankan fungsi dan tugas tersebut diatas Ombudsman berwenang :


1. Meminta keterangan secara lisan dan/atau tertulis dari Pelapor, Terlapor, atau pihak lain
yang terkait mengenai Laporan yang disampaikan kepada Ombudsman;
2. Memeriksa keputusan, surat menyurat, atau dokumen lain yang ada pada Pelapor ataupun
terlapor untuk mendapatkan kebenaran suatu laporan;
3. Meminta klarifikasi dan/atau salinan atau fotokopi dokumen yang diperlukan dari instansi
manapun untuk pemeriksaan laporan dari instansi terlapor;
4. Melakukan panggilan terhadap pelapor, terlapor, dan pihak lain yang terkait dengan
laporan;
5. Menyelesaikan laporan melalui mediasi dan konsiliasi atas permintaan para pihak;
6. Membuat rekomendasi mengenai penyelesaian laporan, termasuk rekomendasi untuk
membayar ganti rugi dan/atau rehabilitasi kepada pihak yang dirugikan.
7. Demi kepentingan umum mengumumkan hasil temuan, kesimpulan, dan rekomendasi.

2.2.3 Visi dan Misi Ombudsman Republik Indonesia Perwakilan Sumatera Utara

Visi Ombudsman Republik Indonesia Perwakilan Sumatera Utara : Mewujudkan pelayanan


publik yang prima yang menyejahterakan dan berkeadilan bagi seluruh rakyat Indonesia.

Misi Ombudsman Republik Indonesia Perwakilan Sumatera Utara :

a. Melakukan tindakan pengawasan, menyampaikan saran dan rekomendasi serta mencegah


maladministrasi dalam pelaksanaan pelayanan publik.

b. Mendorong penyelenggara Negara dan pemerintahan agar lebih efektif dan efisien, jujur,
terbuka, bersih serta bebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme.

c. Meningkatkan budaya hukum nasional, kesadaran hukum masyarakat dan supremasi


hukum yang berintikan pelayanan, kebenaran serta keadilan.

d. Mendorong terwujudnya sistem pengaduan masyarakat yang terintegrasi berbasis teknologi


informasi.

2.3 Teori pengawasan

2.3.1 Pengertian pengawasan

Pengawasan adalah Proses pengamatan seluruh kegiatan organisasi untuk menjamin


semua pekerjaan yang sedang dilakukan berjalan sesuai dengan rencana yang telah
ditentukan sebelumnya. Pengawasan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai
penilikan dan penjagaan. Pengawasan pada dasarnya adalah untuk menghindari adanya
kemungkinan penyelewengan atau penyimpangan atas tujuan yang akan dicapai.

Menurut Sondang Siagian, Pengawasan adalah proses pengamatan daripada pelaksaan


seluruh kegiatan organisasi untuk menjamin agar semua pekerjaan yang sedang dilakukan
berjalan sesuai dengan rencana yang telah ditentukan sebelumnya.

Henry Fayol mengartikan pengawasan sebagai berikut: “Control consist in verifying


whether everything occurs in conformity with the plan adopted, the instruction issued and
principles established. It has objective to point out weaknesses and errors in order to rectify
then prevent recurrance”. Pengawasan mencakup upaya memeriksa apakah semua terjadi
sesuai dengan rencana yang ditetapkan, berdasarkan suatu perintah instruksi yang
dikeluarkan, dan prinsip yang dianut dengan melaksanakannya bertujuan secara timbal balik
untuk melaksanakan perbaikan bila terdapat kekeliruan atau penyimpangan sebelum menjadi
lebih buruk dan sulit diperbaiki.

George R Terry, pengawasan adalah proses penentuan apa yang harus dicapai yaitu
standar, apa yang sedang dilakukan, yaitu menilai pelaksanaan dan bila perlu melakukan
perbaikan-perbaikan sehingga pelaksanaan sesuai dengan rencana yaitu selaras dengan
standar.

2.3.2 Tujuan dan Prinsip Pengawasan

Tujuan diadakannya Pengawasan adalah :

a. Untuk mengetahui apakah pelaksanaan wewenang oleh pejabat atau badan tata usaha telah
sesuai dengan maksud dan tujuan pemberinya

b. Untuk mengetahui apakah pelaksanaan wewenang oleh pejabat atau badan tata usaha telah
sesuai dengan prinsip-prinsip penyelenggara pemerintahan yang baik

c. Untuk mengetahui kemungkinan adanya kendala atau kelemahan-kelemahan serta


kesulitan dalam pelaksanaan wewenang yang telah diberikan kepada pejabat/badan tata usaha
negara sehingga dapat diadakan perubahan untuk memperbaiki serta mencegah pengulangan
kegiatan yang salah
d. Untuk melindungi hak asasi manusia yang telah dijamin oleh Undang-Undang dari
kemungkinan tindakan penyalahgunaan wewenang oleh aparatur negara

e. Untuk menghindari terjadinya perbuatan pemerintah yang dapat merugikan kepentingan


masyarakat

Menurut Victor M. Situmorang dan Jusuf Jukir, tujuan pengawasan di lingkungan


pemerintahan meliputi :

a. Agar terciptanya aparatur pemerintah yang bersih dan berwibawa yang didukung oleh
suatu sistem manajemen pemerintah efektif dan efisien serta ditunjangnya oleh partisipasi
masyarakat yang konstruktif dan terkendali dalam wujud pengawasan masyarakat yang
objektif, sehat dan bertanggungjawab.

b. Agar terselenggara tertib administrasi di lingkungan aparatur pemerintah, tumbuhnya


dispilin kerja yang sehat. Agar ada kelugasan dalam melaksanakan tugas, fungsi atau
kegiatan, tumbuh budaya malu, rasa bersalah untuk berbuat hal-hal tercela terhadap
masyarakat.

Adapun prinsip-prinsip dalam melakukan pengawasan menurut Simbolon (2004:69) yaitu


sebagai berikut :

a. Pengawasan berorientasi kepada tujuan organisasi.

b. Pengawasan harus objektif, jujur dan mendahulukan kepentingan umum daripada


kepentingan pribadi

c. Pengawasan harus berorientasi terhadap kebenaran menurut peraturan-peraturan yang


berlaku, berorientasi terhadap kebenaran atas prosedur yang telah ditetapkan dan berorientasi
terhadap tujuan (manfaat) dalam pelaksanaan pekerjaan.

d. Pengawasan harus menjamin daya dan hasil guna pekerjaan

e. Pengawasan harus berdasarkan atas standar yang objektif, teliti (accurate) dan tepat

f. Pengawasan harus terus-menerus (continue)


g. Hasil pengawasan harus dapat memberikan umpan balik (feed back) terhadap perbaikan
dan penyempurnaan dalam pelaksanaan, perencanaan dan kebijaksanaan waktu yang akan
datang.

2.3.3 Jenis-jenis Pengawasan

Adapun jenis-jenis Pengawasan dapat dilihat dari sudut pandang berikut :

a. Pengawasan ditinjau dari segi Institusi/Lembaga yang melakukan pengawasan

Ditinjau dari segi Institusi/Lembaga ada 2 macam pengawasan, yaitu : pengawasan internal
dan pengawasan eksternal.

1. Pengawasan internal yaitu pengawasan yang dilakukan oleh aparat dalam


organisasi/pemerintah itu sendiri.
2. Pengawasan eksternal yaitu pengawasan yang dilakukan oleh lembaga pengawasan yang
sama sekali berada di luar organisasi pemerintah.

b. Pengawasan dari segi substansi/objek yang diawasi


Dari segi substansi/objeknya, pengawasan dapat dilakukan secara langsung maupun tidak
langsung.
1. Pengawasan langsung dilakukan secara pribadi oleh pemimpin atau pengawas dengan
mengamati, meneliti, mengecek sendiri secara on the spot di tempat pekerjaan objek yang
diawasi. Jenis pengawasan ini dikenal pula dengan operasi mendadak.
2. Pengawasan tidak langsung diadakan dengan mempelajari laporan-laporan yang diterima
baik lisan maupun tertulis, mempelajari masukan masyarakat tanpa terjun langsung ke
lapangan.

c. Pengawasan dari segi waktu


Pengawasan dari segi waktu dapat dibedakan ke dalam pengawasan reprentif dan
pengawasan represif.
1. Pengawasan reprentif adalah pengawasan yang dilakukan sebelum pelaksanaan (masih
bersifat rencana) atau sebelum dikeluarkannya kebijakan pemerintah. Tujuan pengawasan
reprentif adalah untuk mencegah terjadinya kekeliruan.
2. Pengawasan represif adalah pengawasan yang dilakukan setelah pekerjaan dilaksanakan
atau setelah peraturan pemerintah dikeluarkan.
2.4 Pelayanan Publik
2.4.1 Pengertian Pelayanan Publik
Pelayanan Publik dapat diartikan sebagai pemberian layanan (melayani) keperluan orang
atau masyarakat yang mempunyai kepentingan pada organisasi itu sesuai dengan aturan
pokok dan tata cara yang telah ditetapkan.
Dalam konteks pelayanan publik menurut Moenir adalah kegiatan yang dilakukan oleh
seseorang atau sekelompok orang dengan landasan faktor material melalui sistem, prosedur
dan metode tertentu dalam usaha memenuhi kepentingan oranglain sesuai dengan haknya.
Pemberian pelayanan publik oleh aparatur pemerintah kepada masyarakat sebenarnya
merupakan implikasi dari fungsi aparat negara sebagai sebagai pelayan masyarakat.
Menurut Agung Kurniawan (Pasalong, 2007:135) pelayanan publik adalah pemberian
pelayanan (melayani) keperluan oranglain atau masyarakat yang mempunyai kepentingan
pada organisasi itu sesuai dengan aturan pokok dan tata cara yang telah ditetapkan.
Sedangkan menurut AG. Subarsono seperti yang dikutip oleh Agus Dwiyanto (2005:141)
pelayanan publik didefinisikan sebagai serangkaian aktivitas yang dilakukan oleh birokrasi
publik untuk memenuhi kebutuhan warga pengguna.
Dalam Keputusan Menpan No: 63/KEP/M.PAN/7/2003 tentang Pedoman Umum
Penyelenggaraan Pelayanan Publik, pengelompokan pelayanan publik secara garis besar
adalah :
a. Pelayanan administratif
b. Pelayanan barang
c. Pelayanan jasa

2.4.2 Standar Pelayanan Publik


Berdasarkan Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara No.63 Tahun 2003 tentang
pedoman umum penyelenggaran pelayanan publik, standar pelayanan sekurang-kurangnya
meliputi:
1. Prosedur Pelayanan
Prosedur pelayanan yang dibakukan bagi pemberi dan penerima pelayanan termasuk
pengaduan.
2. Waktu Penyelesaian
Waktu penyelesaian yang ditetapkan sejak saat pengajuan permohonan sampai dengan
penyelesaian termasuk pengaduan.
3. Biaya Pelayanan
Biaya/tarif pelayanan termasuk rinciannya yang ditetapkan dalam proses pemberian layanan.
4. Produk Pelayanan Hasil pelayanan yang akan diterima sesuai dengan ketentuan yang telah
ditetapkan.
5. Sarana dan Prasarana
Penyediaan sarana dan prasarana pelayanan yang memadai oleh peyelenggaraan pelayanan
publik.
6. Kompetensi Petugas Pemberi Pelayanan Publik
Kompetensi petugas pemberi pelayanan harus ditetapkan dengan tepat sesuai berdasarkan
pengetahuan, keahlian, keterampilan, sikap dan prilaku yang dibutuhkan

2.4.3 Asas-asas Pelayanan Publik


a. Transparansi, pemberian pelayanan publik harus bersifat terbuka, mudah dan dapat
diakses oleh semua pihak yang membutuhkan dan disediakan secara memadai serta mudah
dimengerti. Transparansi meliputi prosedur, biaya pelayanan dan waktu selesainya pelayanan.
b. Akuntabilitas, pelayanan publik harus dapat dipertanggungjawabkan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
c. Kondisional, pemberian pelayanan publik harus sesuai dengan kondisi dan kemampuan
pemberi dan penerima pelayanan dengan tetap berpegang pada prinsip efisiensi dan
efektivitas. Artinya pelayanan publik tidak bersifat sangat kaku, terdapat hal-hal kondisional
yang dikecualikan asal tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip pelayanan.
d. Partisipatif, mendorong peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan pelayanan publik
dengan memperhatikan aspirasi, kebutuhan dan harapan masyarakat. Perlunya peran aktif
dari masyarakat yang menerima pelayanan, baik dalam memberikan kritik, saran dan usulan.
e. Tidak diskriminatif (kesamaan hak), pemberian pelayanan publik tidak boleh bersifat
diskriminatif, dalam arti tidak membedakan suku, ras, agama, golongan, gender, status sosial
dan ekonomi.
f. Keseimbangan hak dan kewajiban, pemberi dan penerima pelayanan publik harus
memenuhi hak dan kewajiban masing-masing pihak.
Dalam UU No. 25 Tahun 2009 tentang pelayanan Publik dapat dikemukakan dalam Pasal 4
bahwa penyelenggaraan pelayanan publik berasaskan:
a. Kepentingan umum
b. Kepastian hukum.
c. Kesamaan hak.
d. Keseimbangan hak dan kewajiban.
e. Keprofesionalan.
f. Partisipatif.
g. Persamaan perlakuan/tidak diskriminatif.
h. Keterbukaan.
i. Akuntabilitas.
j. Fasilitas dan perlakuan khusus bagi kelompok rentan.
k. Ketepatan waktu.
i. Kecepatan, kemudahan, dan keterjangkauan.

2.4.4 Prinsip-prinsip Pelayanan Publik


Prinsip-prinsip dalam pelayanan publik antara lain:
a. Kesederhanaan prosedur, prosedur pelayanan hendaknya mudah dan tidak berbelit-belit.
Mudah artinya bisa dilakukan hampir setiap orang dan tidak dipersulit, sedangkan tidak
berbelit-belit artinya prosedur yang paling sederhana.
b. Kejelasan, kejelasan dalam hal persyaratan teknis dan administratif pelayanan publik; unit
kerja/pejabat yang berwenang dan bertanggungjawab dalam memberikan pelayanan dan
penyelesaian keluhan, persoalan, sengketa, atau tuntutan dalam pelaksanaan pelayanan
publik; serta rincian biaya pelayanan publik dan tata cara pembayarannya.
c. Kepastian waktu, pelaksanaan pelayanan publik dapat diselesaikan dalam kurun waktu
yang telah ditentukan.
d. Akurasi produk pelayanan publik, produk pelayanan publik yang diberikan kepada
masyarakat harus akurat, benar, tepat, dan sah.
e. Kelengkapan sarana dan prasarana, tersedianya sarana dan prasarana kerja, peralatan kerja
dan pendukung lainnya yang memadai termasuk penyedian sarana teknologi informasi dan
komunikasi.
f. Keamanan, proses dan produk pelayanan publik memberikan rasa aman dan kepastian
hukum. Artinya harus ada jaminan keamanan dalam proses pelayanan dan hasil pelayanan
diakui secara hukum.
g. Tanggung jawab, pimpinan penyelenggara pelayanan publik atau pejabat yang ditunjuk
bertanggungjawab atas penyelenggaraan pelayanan dan penyelesaian keluhan atau persoalan
dalam pelaksanaan pelayanan publik.
h. Kemudahan akses, tempat dan lokasi serta sarana pelayanan yang memadai, mudah
dikangkau oleh masyarakat, dan dapat memanfaatkan teknologi komunikasi dan informatika.
i. Kedisplinan, kesopanan, dan keramahan, pemberi pelayanan harus bersikap disiplin, sopan
dan santun, ramah, serta memberikan pelayanan dengan sepenuh hati (ikhlas).
j. Kenyamanan, lingkungan pelayanan harus tertib, teratur, disediakan ruang tunggu yang
nyaman, bersih, rapi, lingkungan yang indah dan sehat serta dilengkapi dengan fasilitas
pendukung pelayanan, seperti parkir, toilet, tempat ibadah, dan sebagainya.
BAB III
METODE PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitian


Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian kualitatif.
Konsep kualitatif sebenarnya merujuk dan menekankan pada proses dan berarti tidak diteliti
secara ketat dan terukur, dilihat dari kualitas, jumlah, intesitas atau frekuensi. Penelitian
kualitatif menekankan sifat realita yang dibangun secara sosial, hubungan yang intim antara
peneliti dengan yang diteliti dan kendala situasional yang membentuk penyelidikan (Salim,
2001:11). Proses penelitian ini yaitu, mengangkat data dan permasalahan di lapangan. Tujuan
penelitian kualitatif tidak selalu mencari sebab akibat sesuatu, tetapi lebih berupaya
memahami situasi tertentu. Mencoba menerobos dan mendalami gejalanya dengan
menginterpretasikan masalahnya/menyimpulkan kombinasi dari berbagai arti permasalahan
sebagaimana disajikan oleh situasinya. Secara spesifik penelitian kualitatif ini menggunakan
pendekatan deskriptif, dimana peneliti berusaha mendeskripsi-kan suatu fenomena yang
terjadi secara utuh dan sistematis. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk melihat
Efektivitas Ombudsman Perwakilan Sumatera Utara dalam pengawasan pelayanan publik.

3.2 Lokasi Penelitian


Peneliti melaksanakan penelitian di kantor pusat Ombudsman Republik Indonesia (ORI)
Perwakilan Sumatera Utara di Jalan Sei Besitang No. 3, Sei Sikambing D, Kec. Medan
Petisah, Kota Medan. Adapun alasan pemilihan lokasi penelitian ini adalah bahwa
Ombudsman Perwakilan Sumatera Utara merupakan lembaga pengawas penyelenggaraan
pelayanan publik yang bertugas untuk menerima, dan menindaklanjuti laporan atas dugaan
maladministrasi, melakukan investigasi atas prakarsa sendiri, melakukan koordinasi dengan
berbagai pihak dan melakukan upaya pencegahan maladministrasi dalam penyelenggaraan
pelayanan publik.

3.3 Populasi dan Sample


1. Populasi
Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas objek/subjek yang mempunyai
kuantitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti (Sugiyono 2006:57).
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh pegawai/staff yang ada pada Ombudsman
Republik Indonesia Perwakilan Provinsi Sumatera Utara yaitu berjumlah 16 orang. Subjek
penelitian ini adalah orang yang dapat memberikan informasi, yaitu 1 kepala perwakilan
Ombudsman Provinsi Sumatera Utara dan 2 anggota asisten Lembaga Ombudsman Provinsi
Sumatera Utara.

2. Sampel
Sampel merupakan contoh atau himpunan bagian (subset) dari suatu populasi yang
dianggap mewakili populasi tersebut sehingga informasi apa pun yang dihasilkan oleh sampel
ini bisa dianggap mewakili keseluruhan populasi. Menurut Hidayat (2002:2) sampel adalah
kelompok kecil yang kita amati dan merupakan bagian dari populasi sehingga karakteristik
populasi juga dimiliki oleh sampel.
Kriteria dijadikan sampel dalam penelitian ini adalah Kepala Perwakilan Ombudsman
Provinsi Sumatera Utara dan asisten di bidang penyelesaian laporan masyarakat.
Pertimbangan kriteria ini karena mereka yang bertanggungjawab menyelesaikan masalah
pengaduan masyarakat tentang penyelenggara pelayanan publik. Sampel berikutnya yaitu 5
warga Kota Medan. Pertimbangan kriteria ini karena warga tersebut melaporkan
penyimpangan yang terjadi di pelayanan publik Kota Medan.

3.4 Teknik Penentuan Sample


Sampling dalam penelitian empirik diartikan sebagai proses pemilihan atau penentuan
sampel (contoh). Secara konvensional, konsep sampel (contoh) menunjuk pada bagian dari
populasi. Akan tetapi, dalam penelitian kualitatif tidak bermaksud untuk menggambarkan
karakteristik populasi atau menarik generalisasi kesimpulan yang berlaku bagi suatu populasi,
melainkan lebih berfokus kepada representasi terhadap fenomena sosial. Data atau informasi
harus ditelusuri seluas-luasnya sesuai dengan keadaan yang ada. Hanya dengan demikian,
peneliti mampu mendeskripsikan fenomena yang diteliti secara utuh (Burhan Bungin,
2012:53).
Menurut Sugiyono, dalam penelitian kualitatif teknik sampling yang lebih sering
digunakan adalah purposive sampling dan snowball sampling. Purposive sampling adalah
teknik pengambilan sampel sumber data dengan pertimbangan tertentu, misalnya orang
tersebut dianggap paling tahu tentang apa yang kita harapkan. Snowball sampling adalah
teknik pengambilan sampel sumber data yang pada awalnya jumlahnya sedikit, lama-lama
menjadi besar (Sugiyono,2009:300). Sementara itu menurut Burhan Bungin (2012:53), dalam
prosedur sampling yang paling penting adalah bagaimana menentukan informan kunci (key
informan) atau situasi sosial tertentu yang sarat informasi. Memilih sampel, dalam hal ini
informan kunci atau situasi sosial lebih tepat dilakukan dengan sengaja atau bertujuan, yakni
dengan purposive sampling. Penelitian ini mengunakan teknik purposive sampling.

3.5 Metode Pengumpulan Data


1. Data Primer
Adalah data yang diperoleh secara langsung dari responden berdasarkan hasil wawancara
mendalam (in deepth interview).
a. Observasi adalah kegiatan mengunjungi atau mendatangi lokasi penelitian, kegiatan
terhadap suatu proses atau objek dengan maksud merasakan dan kemudian memahami
pengetahuan dari sebuah fenomena berdasarkan pengetahuan dan gagasan yang sudah
diketahui sebelumnya, untuk mendapatkan informasi-informasi yang dibutuhkan untuk
melanjutkan suatu penelitian. Observasi dapat dilakukan dengan tes, kuesioner, rekaman
gambar dan rekaman suara. Cara observasi yang paling efektif adalah melengkapinya dengan
pedoman observasi/pedoman pengamatan seperti format atau blangko pengamatan. Format
yang disusun berisi item-item tentang kejadian atau tingkah laku yang digambarkan akan
terjadi. Setelah itu, peneliti sebagai seorang pengamat tinggal memberikan tanda cek ceklis
pada kolom yang dikehendaki pada format tersebut. Orang yang melakukan pengamatan
disebut pengamat.
b. Metode wawancara mendalam (Indepth interiview). Merupakan salah satu teknik
pengumpulan data kualitatif dimana wawancara dilakukan antara seorang responden dengan
pewawancara yang terampil, yang ditandai dengan penggalian yang mendalam dan
menggunakan pertanyaan terbuka (Iskandar,2008,pp.253). Tujuan dari wawancara adalah
untuk mendapatkan informasi yang tepat dari narasumber yang terpercaya. Wawancara
dilakukan dengan cara penyampaian sejumlah pertanyaan dari pewawancara kepada
narasumber. Data-data yang digali dari wawancara ini adalah data-data yang tergambar dalam
fokus penelitian sebagaimana dalam rumusan masalah. Hal ini yang dimaksudkan
mendapatkan informasi secara mendalam terkait masalah tersebut. Adapun yang penulis
wawancarai adalah Kepala Perwakilan Ombudsman Provinsi Sumatera Utara dan asisten
dibidang penyelesaian laporan masyarakat karena mereka yang bertanggungjawab
menyelesaikan masalah pengaduan masyarakat tentang penyelenggara pelayanan publik.

2. Data Sekunder adalah data yang diperoleh melalui pengumpulan atau pengolahan data
yang bersifat studi dokumentasi (analisis dokumen).
a. Data dokumentasi dimaksudkan untuk mendukung data-data yang di dapat dari
wawancara (data primer). Selain itu dokumentasi penting juga untuk melihat data-data
tertulis yang menunjukkan keterangan dinamika suatu lembaga atau dokumentasi setiap
kegiatan lembaga. Dokumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah dokumen resmi,
baik dokumen internal maupun eksternal. Dokumen internal berupa memo, pengumuman,
instruksi, laporan, dan sebagainya yang merupakan informasi tentang keadaan, aturan,
disiplin, proses dan lainnya. Dokumen eksternal dapat berupa bahan-bahan informasi yang
dikeluarkan oleh suatu lembaga sosial (majalah, koran, buletin, jurnal, dan lainnya) yang
relevan dengan penelitian ini. Dokumen sebagai data pendukung utama dari data primer yang
digunakan dalam penelitian ini adalah dokumen laporan tahunan dan laporan triwulanan,
dokumen anggaran dari tahun ke tahun, dokumen struktur organisasi, dokumen kajian
terhadap lembaga Ombudsman,serta dokumen-dokumen kegiatan dari Lembaga Ombudsman
Provinsi Sumut. Seluruh dokumen tersebut diolah untuk dijadikan laporan dan pelengkap
data hasil wawancara.

3.6 Validitas Data


Dalam Wirawan (2012:156) untuk memastikan data/informasi lengkap dan validitasnya
dan reliabilitasnya tinggi, penelitian kualitatif mempergunakan teknik triangulasi
(triangulation). Triangulasi adalah suatu pendekatan riset yang memakai suatu kombinasi
lebih dari satu strategi dalam satu penelitian untuk menjaring data/informasi. Triangulasi
adalah suatu metode yang dipakai dalam metode yang dipakai dalam penelitian kualitatif-
sering juga dipakai dalam metode kuantitaif- untuk mengukur validitas dan reabilitas dalam
penelitian kualitatif. Triangulasi merupakan sintesis dan integrasi data dari berbagai sumber-
sumber melalui pengumpulan, eksaminasi, perbandingan dan interprestasi. Triangulasi
membantu untuk meniadakan ancaman bagi setiap validitas dan reabilitas data, triangulasi
tidak hanyamembandingkan data dari berbagai sumber data, akan tetapi juga mempergunakan
berbagai teknik dan metode untuk meneliti dan menjaring data/informasi dari fenomena yang
sama. Dalam penelitian dapat dipergunakan lima jenis triangulasi, yaitu :
1. Triangulasi data adalah mempergunakan berbagai sumber data/informasi. Dalam teknik
triangulasi ini adalah mengelompokkan para pemangku kepentingan program dan
mempergunakannya sebagai sumber/data informasi.
2. Triangulasi peneliti. Teknik triangulasi ini digunakan oleh evaluator atau tim evaluator
dalam satu proyek evaluasi. Para evaluator mempergunakan metode kualitatif yang sama,
misalnya wawancara, observasi, studi kasus, kelompok kunci atau informan kunci. Temuan
dari setiap evaluator dibandingkan, jika temuan dari berbagai evaluator berbeda Satu sama
lain maka diperlukan studi lebih lanjut untuk menentukan perbedaan tersebut.
3. Triangulasi teori. Triangulasi teori adalah penelitian dengan mempergunakan berbagai
profesional dengan berbagai latar belakang ilmu pengetahuan untuk menilai suatu set
data/informasi.
4. Triangulasi metode. Triangulasi metode adalah pemakaian berbagai metode-metode
kuantitatif dan/atau metode kualitatif untuk mengevaluasi program. Jika kesimpulan dari
setiap metode sama, maka validitas penelitian ditetapkan.
5. Triangulasi lingkungan. Triangulasi jenis ini mempergunakan berbagai lokasi yang
berbeda, altar dan faktor-faktor lainnya yang berhubungan dengan lingkungan dimana
penelitian mengambil tempat seperti waktu suatu hari, hari suatu suatu minggu atau musim
dalam satu tahun.
Dalam penelitan ini penulis menggunakan jenis triangulasi data. Teknik triangulasi data
dilakukan dengan membandingkan data yang diperoleh melalui wawancara antara subjek
penelitian yang satu dengan yang lain.

2.7 Teknik Analisis Data


Analisa dan interpretasi data mengunakan metode penelitian deskriptif (kualitatif) dilakukan
dengan cara :
a. Peringkasan data (reduksi data) dimana data mentah diseleksi, disederhanakan, dan diambil
intinya.
b. Data disajikan secara tertulis berdasarkan kasus-kasus faktual yang saling berkaitan.
Tampilan data (displai data) ini digunakan untuk memahami tentang fenomena apa yang
sebenarnya terjadi.
c. Menjabarkan dan menghubungkan proposisi-proposisi yang muncul dari data di atas dan
kemudian menyusunnya kembali sehingga mampu menjelaskan fenomena yang terjadi.
d. Menarik kesimpulan (verifikasi data) atau pola keteraturan/pola penyimpangan yang
terjadi dalam fenomena-fenomena tersebut, membuat prediksi atas kemungkinan
perkembangan selanjutnya.
DAFTAR PUSTAKA

Buku :
Denhardt, Janet V dan Robert B.Denhardt. 2007. The New Public Service. United States of
America: M. E Sharpe, Inc.
Gunawan, Imam. 2015. Metode Penelitian Kualitatif. Jakarta: Bumi Aksara
Juniarso, Ridwan dan Achmad Sodik Sudrajat. 2010. Hukum Administrasi Negara dan
Kebijakan Pelayanan Publik. Bandung: Penerbit Nuansa
Masthuri, Budi. 2005. Mengenal Ombudsman Indonesia. Jakarta: Pradnya Pramita
Mochtar, Zainal Arifin. 2017. Lembaga Negara Independen. Depok: Rajawali Pers
Moeheriono

Sumber Undang-Undang:
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik
Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman Republik Indonesia
Peraturan Ombudsman RI Nomor 18 Tahun 2015 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja
Di Lingkungan Ombudsman Republik Indonesia
Peraturan Ombudsman Nomor 26 Tahun 2017 tentang Tata Cara Penerimaan, Pemeriksaan,
dan Penyelesaian Laporan
Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2011 tentang Pembentukan, Susunan, dan Tata Kerja
Perwakilan Ombudsman Republik Indonesia Di Daerah

Sumber Internet:
www.Ombudsman.go.id
https://www.liputan6.com/news/read/3185999/ombudsman-ri-pelayanan-publikkita-masih-
buruk

Anda mungkin juga menyukai